Tugas Pajak Faktur Pajak

31
FAKTUR PAJAK Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap: 1. penyerahan Barang Kena Pajak; 2. penyerahan Jasa Kena Pajak; 3. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau 4. ekspor Jasa Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan. Saat Pembuatan Faktur Pajak Faktur Pajak harus dibuat pada: 1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; 2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; 3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau 4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak. Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak

description

faktur pajak nota retur

Transcript of Tugas Pajak Faktur Pajak

Page 1: Tugas Pajak Faktur Pajak

FAKTUR PAJAK

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

1. penyerahan Barang Kena Pajak;2. penyerahan Jasa Kena Pajak;3. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau4. ekspor Jasa Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan.

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada:

1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.

Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak

Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak dengan ketentuan sebagai berikut :

1. dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :

a. nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;b. nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;d. PPN yang dipungut;e. PPn BM yang dipungut;f. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dang. nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Page 2: Tugas Pajak Faktur Pajak

2. Setiap Faktur Pajak harus menggunakan Kode dan Seri Faktur Pajak yang telah ditentukan di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu :

a. kode Faktur Pajak terdiri dari : 2 (dua) digit Kode Transaksi; 1 (satu) digit Kode Status; dan 3 (tiga) digit Kode Cabang.

b. nomor seri Faktur Pajak terdiri dari : 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan (delapan) digit Nomor Urut.

3. bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam butir a di atas. Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

4. Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam rangkap dua yaitu :a. lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti Pajak

Masukan.b. lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti

Pajak Keluaran.c. Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari rangkap dua, maka harus dinyatakan

secara jelas penggunaannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan.5. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani

termasuk kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri merupakan Faktur Pajak cacat;6. dalam hal rincian BKP atau JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu

Faktur Pajak, maka PKP dapat membuat Faktur Pajak dengan cara :a. dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing menggunakan kode dan

nomor seri Faktur Pajak yang sama,ditandatangani setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian baris Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijn, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan PPN cukup diisi pada lembar Faktur Pajak terakhir; atau

b. dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Penjualan yang bersangkutan dan faktur penjualan tersebut merupakan lampiran Faktur Pajak yang tidak terpisahkan.

7. PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat (dapat lebih dari 1 orang termasuk yang diberikan kuasa) yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai contoh tandatangannya kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan paling lambat pada saat pejabat yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak.

8. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan pada huruf a di atas dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak.

9. Atas Faktur Pajak yang cacat, atau rusak, atau salah dalam pengisian, atau penulisan, atau yang hilang, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat membuat Faktur Pajak Pengganti.

Dokumen Tertentu Yang Kedudukannya Dipersamakan Dengan Faktur Pajak

Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak paling sedikit harus memuat :

Page 3: Tugas Pajak Faktur Pajak

1. nama, alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;2. nama pembeli BKP atau penerima JKP;3. jumlah satuan barang apabila ada;4. Dasar Pengenaan Pajak; dan5. jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah :

1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;

2. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh Bulog/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

3. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;

4. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;5. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang

dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;6. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;7. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik;8. Pemberitahuan Ekspor Jasa Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri

dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

9. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; dan

10. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean.

Larangan Membuat Faktur Pajak

Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

Sanksi

PKP dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak apabila tidak membuat Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.

Faktur Pajak 2013 dengan Sistem Penomoran Baru

Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Output Pajak Keluaran dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diperbarui melalui PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 yang

Page 4: Tugas Pajak Faktur Pajak

akan berlaku khususnya hari ini pada tanggal 01 April 2013. Direktorat Jenderal Pajak memandang bahwa pembuatan faktur pajak harus dikontrol karena faktur pajak merupakan cara untuk membantu pendapatan Negara sehingga perannya sangat strategis. Penyempurnaan system dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalah gunaan pembuatan Faktur Pajak. Poin yang harus dilakukan oleh para Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang berhak untuk menerbitkan faktur pajak adalah mengikuti Program Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), untuk meningkatkan kerapihan administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Per Dirjen) PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 yang memuat hal Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 01 April 2013. Poin yang harus diperhatikan dalam PER-24/PJ/2012 ini adalah : 1. Penomoran Faktur Pajak tidak dilakukan oleh PKP, melainkan dikendalikan oleh Dirjen Pajak melalui jatah pemberian nomor seri Faktur Pajak (FP) dengan bentuk dan tata caranya. 2. Dalam hal Nomor Seri Faktur Pajak, PKP harus mengajukan permohonan kode aktifasi & password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Setelah hal itu dilakukan, maka surat pemberitahuan kode aktifasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password tersebut akan dikirimkan lewat e-mail. 3. Setelah menerima kode aktifasi & password, PKP selanjutnya meminta nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan perkiraan transaksi PKP selama 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak. 4. Pastikan bahwa alamat terdaftar PKP adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata dari PKP yang bersangkutan. Hal itu agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktifasi dapat diterima oleh PKP. Bila ada perbedaan, seyogyanya PKP perlu melakukan update informasi terkait. 5. PKP perlu mempersiapkan alamat e-mail untuk keperluan receipt pemberitahuan kode aktifasi, surat pemberitahuan penolakan kode aktifasi yang kembali dan tentunya untuk penerimaan password bilamana semua persyaratan telah dipenuhi.

Ketentuan baru yang diatur adalah :1. Kode & nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2 (dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak. 2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh Dirjen Pajak melalui permohonan dengan

Page 5: Tugas Pajak Faktur Pajak

kunci pengaman berupa kode aktifasi dan password. 3. Identitas Penjual & Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamat sesungguhnya. 4. Jenis Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa kena Pajak (JKP) harus diisi dengan keterangan sesungguhnya. 5. Setiap PKP, Pejabat, anggota dewan pengurus, serta pegawai penanda tangan Faktur Pajak bersangkutan, wajib melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah dan legal. 6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak system baru dari Dirjen Pajak / menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak tidak lengkap. 7. Faktur Pajak tidak lengkap menyebabkan Pajak Masukan pada PKP pembeli tidak dapat dikreditkan, selain itu PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan Ketentuan Perpajakkan yang berlaku.

Page 6: Tugas Pajak Faktur Pajak

NOTA RETUR

Pengembalian Barang Kena Pajak Dan Pembuatan Nota Retur, Pembatalan Jasa Kena Pajak Dan Pembuatan Nota Pembatalan

1. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan (retur) dan/atau atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, dapat dikurangkan dari PPN dan PPnBM yang terutang dalam masa pajak terjadinya pengembalian BKP atau pembatalan JKP.

2. Pembeli BKP atau penerima JKP harus membuat dan menyampaikan Nota Retur atau Nota Pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual, jika terjadi pengembalian Barang Kena Pajak (BKP) atau pembatalan Jasa Kena Pajak (JKP), kecuali diganti dengan BKP/JKP yang jenisnya, tipenya, jumlahnya dan harganya sama.

3. Nota Retur paling sedikit memuat:a. Nomor Nota retur;b. Nomor Seri dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan;c. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;d. Nama, alamat, NPWP PKP Penjual;e. Jenis barang dan jumlah harga jual BKP yang dikembalikan;f. PPN atas BKP yang dikembalikan;g. PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;h. Tanggal pembuatan Nota Retur;i. Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani nota retur.

4. Nota Pembatalan paling sedikit memuat:a. Nomor nota pembatalan;b. Nomor Seri dan tanggal Faktur Pajak dari JKP yang dibatalkan;c. Nama, alamat, dan NPWP penerima JKP;d. Nama, alamat, NPWP PKP Pemberi Jasa Kena Pajak;e. Jenis jasa dan jumlah penggantian JKP yang dibatalkan;f. PPN atas JKP yang dibatalkan;g. Tanggal pembuatan Nota pembatalan;h. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.

5. Dianggap tidak terjadi pengembalian BKP atau pembatalan JKP jika Nota Retur atau Nota Pembatalan tidak mencantumkan syarat-syarat yang harus dimuat dalam Nota Retur atau Nota Pembatalan, tidak dibuat pada saat BKP dikembalikan atau JKP dibatalkan dan tidak menyampaikan lembar ke-3 nota retur ke KPP pembeli sehingga tidak dapat mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan, atau harta, atau biaya bagi pembeli.

6. Nota Retur atau Nota Pembatalan dibuat paling sedikit rangkap 2 (dua):a. lembar ke-1 : untuk PKP penjual/pemberi JKPb. lembar ke-2 : untuk arsip pembeli/penerima JKP

7. Jika pembeli BKP atau penerima JKP bukan PKP, Nota Retur atau Nota Pembatalan dibuat rangkap 3 (tiga). Lembar ke-3 untuk KPP pembeli.

8. Nota Retur atau nota pembatalan harus dibuat pada saat terjadinya pengembalian BKP atau pembatalan JKP.

Page 7: Tugas Pajak Faktur Pajak

9. Bentuk dan ukuran Nota Retur dapat disesuaikan dengan kebutuhan administrasi pembeli BKP atau penerima JKP.

Pelaporan Nota Retur Atau Nota Pembatalan

Dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) Nota Retur atau Nota Pembatalan yang dibuat oleh pembeli BKP atau penerima JKP dan yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak penjual harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN agar dapat mengurangi PPN/PPnBM yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN sebelumnya

1. Pengurangan Pajak Keluaran atau Pajak Keluaran dan PPnBM oleh PKP penjual dan/atau PKP pemberi JKP dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian BKP atau pembatalan JKP.

2. Pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya oleh pembeli atau penerima JKP dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian BKP atau pembatalan JKP.

Page 8: Tugas Pajak Faktur Pajak

FASILITAS KHUSUS DIBIDANG PPN/PPnBM ; TIDAK DIPUNGUT & DIBEBASKAN

Pasal 16B Undang-Undang PPN memberikan fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai. Fasilitas ini diberikan dalam dua bentuk, yaitu berupa pajak terutang "tidak dipungut" atau "dibebaskan" dari pengenaan pajak. Selanjutnya di ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16B ini menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang atas penyerahannya Tidak Dipungut PPN dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya Dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan. Namun apa yang menjadi perbedaan mendasar dari kedua fasilitas ini tidak dijelaskan lebih lanjut, bahkan pengertian dari masing-masing fasilitas ini pun tidak dijelaskan.

Tulisan ini akan coba mengulas apa yang menjadi perbedaan hakikat antara fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas PPN Dibebaskan berdasarkan analisa dari pengalaman interaksi mengajar PPN di kelas. Tentu masing-masing punya keunikan tersendiri. Dengan mengetahui perbedaannya diharapkan akan membantu kita memahami latar belakang kenapa suatu jenis transaksi diberikan fasilitas PPN Tidak Dipungut sementara transaksi jenis lainnya diberikan fasilitas PPN Dibebaskan.

Kata kunci: fasilitas PPN, Tidak Dipungut, Dibebaskan.

Latar Belakang Pemberian Fasilitas

Undang-Undang PPN tidak membedakan latar belakang pemberian fasilitas Tidak Dipungut dan Dibebaskan. Latar belakang keduanya tidak dipisahkan namun dijelaskan secara sekaligus dan bersama-sama, antara lain, di Penjelasan Umum dan di penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN. Utamanya latar belakang pemberian fasilitas ini adalah untuk:

• Meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak

• Menunjang peningkatan penanaman modal

• Mendorong peningkatan ekspor

• Menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru

• Menunjang pelestarian lingkungan hidup

• Mendorong sektor-sektor ekonomi dengan prioritas tinggi dalam skala nasional

• Dan lain-lain

Terlihat dari latar belakang ini bahwa fasilitas diberikan untuk tujuan-tujuan yang memberikan dampak keuntungan secara nasional, bukan hanya untuk kepentingan sekelompok orang tertentu saja.

Page 9: Tugas Pajak Faktur Pajak

Ada satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam pemberian fasilitas ini, yaitu harus selalu diupayakan agar terdapat perlakuan yang sama kepada Wajib Pajak atau transaksi yang pada hakekatnya sama. Artinya jangan sampai mencederai prinsip "netralitas"1 dalam PPN. Meskipun disadari - dengan kewaspadaan tinggi - bahwa setiap pemberian fasilitas sesungguhnya akan mencederai netralitas PPN. Pengecualian diberikan untuk – dan hanya untuk – mencapai tujuan-tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam latar belakang pemberian fasilitas ini. Setiap penyelewengan dari tujuan pemberian fasilitas yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, akan mengakibatkan dua kali kerugian: prinsip keadilan dan prinsip netralitas PPN yang tercederai.

Bagaimanapun, latar belakang pemberian fasilitas ini tidak dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan antara fasilitas PPN Tidak Dipungut dari fasilitas PPN Dibebaskan. Latar belakang keduanya dibahas dan dijelaskan secara bersamaan tanpa batasan, sehingga kita tidak bisa memisahkan, misalnya, bahwa fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan untuk tujuan tertentu sementara PPN Dibebaskan diberikan untuk tujuan yang lain. Atau bisakah? Kita akan coba lihat dalam pembahasan berikutnya.

Analisis Perbedaan fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas PPN Dibebaskan

Undang-Undang PPN hanya memberi satu clue yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk membedakan antara fasilitas PPN Tidak Dipungut dari fasilitas PPN Dibebaskan. Petunjuk itu adalah perbedaan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana disebutkan di atas. Coba perhatikan perbedaannya pada ilustrasi yang dialami oleh seorang PKP X berikut ini:

Tabel 1 Ilustrasi Perbedaan Perlakuan Pengkreditan Pajak Masukan pada Fasilitas PPN Tidak Dipungut dan Fasilitas PPN Dibebaskan

Terlihat pada tabel 1 di atas bahwa dengan jumlah penyerahan dan Pajak Masukan yang sama pada kedua jenis fasilitas akan mengakibatkan perbedaan pada jumlah PPN yang terutang. Pada fasilitas PPN Tidak Dipungut terjadi lebih bayar sebesar Pajak Masukannya (Rp1.600.000,-), sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan terjadi PPN terutang sebesar Nihil.

Sebenarnya apakah pajak masukan sebesar Rp1.600.000,- itu? Tidak lain dan tidak bukan itu adalah akumulasi nilai tambah (value added) dari semua mata rantai produksi dan distribusi

Page 10: Tugas Pajak Faktur Pajak

sebelum sampai pada PKP X .2 Berarti semua PPN yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua mata rantai sebelum PKP X dikembalikan. Hal yang berbeda terjadi pada fasilitas PPN Dibebaskan. PPN yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua mata rantai sebelum PKP X tidak dikembalikan. Kalau begitu apa untungnya mendapat fasilitas PPN Dibebaskan? Kita akan lihat dengan membandingkannya pada penyerahan yang tidak mendapat fasilitas, pada ilustrasi berikut:

Tabel 2 Nilai Tambah (PPN Disetor) pada Setiap Mata Rantai Produksi, Distribusi, dan Konsumsi dengan Skema Fasilitas PPN Tidak Dipungut dan Fasilitas PPN Dibebaskan

Ilustrasi pada Tabel 2 dengan jelas menunjukkan bahwa pada fasilitas PPN Tidak Dipungut, seluruh PPN yang telah disetor (seluruh nilai tambah yang telah tercipta) pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya dikembalikan. Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan, hanya nilai tambah yang dihasilkan oleh PKP X saja yang tidak disetor. Seluruh nilai tambah yang dihasilkan pada mata rantai sebelumnya telah disetor dan terakumulasi di kas negara. Hal ini makin mudah dipahami jika kita membandingkan antara kolom 3 dengan kolom 4 pada Tabel 2 di atas. Selisih akumulasi PPN disetor ke kas negara - antara pada fasilitas PPN Dibebaskan dengan tanpa fasilitas - adalah sebesar Rp200.000,- yaitu sebesar nilai tambah yang dihasilkan oleh PKP X. Jadi sesungguhnya keuntungan konsumen/pembeli yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan tidaklah sebesar tarif dikali harga beli, namun hanya sebesar tarif dikali nilai tambah pada mata rantai terakhir, yaitu saat pemberian fasilitas tersebut. Konsumen tetap menanggung beban PPN sebesar tarif dikali nilai tambah pada proses produksi dan distribusi sebelumnya (dalam ilustrasi Tabel 2 adalah sebesar 1.600.000).

Sekarang coba kita lihat apa yang terjadi apabila pemberian fasilitas dilakukan pada level sebelum sampai dikonsumsi oleh PKP X, misalnya pada level Distributor Utama:

Page 11: Tugas Pajak Faktur Pajak

Tabel 3 Simulasi Pemberian Fasilitas PPN Tidak Dipungut dan Fasilitas PPN Dibebaskan sebelum sampai level konsumsi

Ternyata akumulasi PPN disetor ke kas negara tidak berbeda antara pada penyerahan yang diberikan fasilitas Tidak Dipungut dengan Tanpa Fasilitas. Perbedaannya hanya pada pergeseran saat penyetoran PPN terutang, yaitu dari Distributor Utama kepada Retailer. Jumlah PPN yang dikembalikan pada level Distributor Utama akan terakumulasi kembali dalam pemungutan PPN pada level Retailer. Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan, akumulasi PPN disetor malah menjadi lebih besar daripada tanpa fasilitas. Kenaikan jumlah akumulasi PPN ini - sebesar 900.000 - adalah merupakan akibat dari terjadinya pemajakan berganda pada level Retailer .3

Dari penjelasan di atas, selanjutnya kita akan coba memahami hakikat dari fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas PPN Dibebaskan:

Fasilitas PPN Tidak Dipungut

Fasilitas PPN Tidak Dipungut pada hakikatnya sama saja dengan pengenaan PPN dengan tarif 0%. Keduanya sama tidak memungut PPN dan dibolehkan mengkreditkan Pajak Masukan. Sehingga konsumen yang membeli barang atau jasa yang diberi fasilitas PPN Tidak Dipungut sama sekali tidak akan menanggung beban PPN.

Jika fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan sebelum pada level konsumsi akhir (yaitu pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi), sejatinya tidak akan memberi manfaat sama sekali dari sisi beban pajak dan penanggung pajaknya. Konsumen akhir tetap akan menanggung PPN sebesar tarif dikali harga beli. Karena itu, fasilitas PPN Tidak Dipungut hanya akan efektif dan bermanfaat bila diberikan pada level konsumsi (pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi) atau pada jenis barang/jasa yang mempunyai karakter sebagai produk akhir (finished goods), bukan intermediary goods .4

Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Tidak Dipungut paling cocok jika diberikan pada kegiatan ekonomi yang dianggap sebagai prioritas nasional tanpa merugikan sektor usaha yang menjadi konsumen dari sektor prioritas tersebut. Misalkan suatu ketika diputuskan bahwa industri dirgantara merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas nasional, maka fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan industri dirgantara, tanpa harus menyebabkan sektor penerbangan nasional – yang merupakan konsumen industri dirgantara – menanggung beban tambahan. Atau untuk pembangunan infrastruktur tertentu seperti pelabuhan, mass rapid transit, jembatan, gedung sekolah, perumahan rakyat, dll sepanjang digunakan bukan untuk proses produksi berikutnya sehingga prinsip netralitas tetap dapat terjaga .

Fasilitas PPN Tidak Dipungut juga cocok diberikan untuk barang/jasa tertentu yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Misalnya adalah pakaian seragam sekolah, susu anak, obat anti tetanus, dll.5 Barang-barang ini cocok diberikan fasilitas PPN Tidak Dipungut jika dianggap sangat penting bagi kemajuan bangsa sambil tetap dapat menjaga prinsip netralitas tidak tercederai karena tidak digunakan sebagai bagian dari proses produksi berikutnya.

Page 12: Tugas Pajak Faktur Pajak

Fasilitas PPN Dibebaskan6

Pada hakikatnya barang/jasa yang diberikan fasilitas PPN Dibebaskan sama dengan Non BKP/Non JKP. Pembeli/konsumen tetap menanggung beban PPN, yaitu yang telah terutang pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya. Beban PPN ini akhirnya menjadi tanggungan pembeli karena digeser secara bertahap dalam tiap mata rantai produksi dan distribusi. Keuntungan dari fasilitas PPN Dibebaskan yang diterima hanya sebesar PPN atas nilai tambah pada level pemberian fasilitas itu saja. Sedangkan PPN atas nilai tambah mata rantai sebelumnya tetap menjadi tanggungan pembeli. Semakin panjang rantai produksi dan distribusi sebelum mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, semakin besar pula pajak yang ditanggung (atau semakin kecil pula efek keuntungan yang diperoleh dari pemberian fasilitas ini).

Fasilitas PPN Dibebaskan berpotensi besar akan menyebabkan distorsi pada netralitas PPN. Jika fasilitas PPN Dibebaskan diberikan sebelum sampai pada level konsumsi akhir, secara keseluruhan bukan hanya tidak memberi manfaat, yang terjadi justru adanya pemajakan berganda. Sektor ekonomi yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan memang mendapat (sedikit) keringanan, tetapi itu diperoleh dengan mengorbankan sektor ekonomi yang menjadi konsumennya. Konsumen akhir akan menanggung beban pajak lebih besar daripada tanpa pemberian fasilitas. Karena itu, fasilitas PPN Dibebaskan hanya boleh diberikan pada barang/jasa yang mempunyai karakteristik sebagai produk akhir (finished goods), bukan intermediary goods.

Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Dibebaskan cocok jika diberikan pada pembelian barang/jasa yang akan digunakan untuk konsumsi, bukan sebagai bahan baku atau alat produksi. Khususnya jika produksi barang/jasa yang sama masih harus diimpor karena belum bisa dihasilkan di dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan keadilan dalam pembebanan pajak. Misalnya untuk komoditas –seperti air dan listrik- yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak, sepanjang komoditas ini tidak digunakan untuk alat produksi.7 Utamanya jika komoditas ini dihasilkan pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi –misalnya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan.

Fasilitas PPN Dibebaskan juga cocok diberlakukan pada transaksi yang tidak menginginkan adanya kerumitan administrasi. Misalkan pembelian BKP/JKP oleh perwakilan negara asing dan organisasi internasional, yang diberikan untuk mengakomodir kelaziman pergaulan internasional. Atau atas barang bawaan penumpang lintas negara.8

Penutup

Fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas PPN Dibebaskan mempunyai keunikan karakteristik sendiri-sendiri. Sehingga akan lebih optimal bila penggunaannya disesuaikan antara tujuan dengan karakteristiknya. Fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat diberikan pada suatu sektor ekonomi tanpa menimbulkan beban tambahan pada sektor ekonomi yang menjadi konsumennya. Sementara Fasilitas PPN Dibebaskan punya potensi besar akan menimbulkan distorsi pada netralitas PPN karena adanya efek pemajakan berganda.

Page 13: Tugas Pajak Faktur Pajak

Umumnya fasilitas PPN Tidak Dipungut cocok diberikan pada kegiatan ekonomi yang dianggap sebagai prioritas nasional. Juga untuk barang/jasa tertentu yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Sementara fasilitas PPN Dibebaskan, secara umum, cocok diberikan pada barang konsumsi yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan nasional namun belum mampu dihasilkan di dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan keadilan dalam pembebanan pajak, utamanya untuk barang yang dihasilkan pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi.

Tentu masih dimungkinkan penggunaan kedua fasilitas ini untuk tujuan yang sama. Misalnya jika sulit untuk menentukan posisi pada mata rantai produksi dan distribusi. Namun secara umum penggunaan kedua fasilitas ini harus dibedakan, sehingga baiknya dikaji dahulu dengan seksama fasilitas mana yang cocok diberikan untuk suatu kegiatan/transaksi tertentu supaya tidak sampai tertukar.

Pertanyaan lanjutan seperti apakah fasilitas PPN Tidak Dipungut bermanfaat diberikan untuk produk yang berorientasi ekspor? Apakah, misalnya, barang modal cocok diberikan fasilitas PPN Dibebaskan? Bagaimana pemberian fasilitas PPN Tidak Dipungut / Dibebaskan mempengaruhi daya saing industri dalam negeri? Sejauh mana kita sudah menggunakan fasilitas ini untuk meningkatkan keadilan dalam pembebanan pajak? Dan lain-lain akan coba dibahas dalam tulisan berikutnya.

Page 14: Tugas Pajak Faktur Pajak

PPN ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

 Landasan Peraturan Perpajakan

Berikut ini adalah peraturan perpajakan yang akan kita jadikan dasar acuan dalam pembahasan kali ini, yaitu:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.Perlu diinformasikan Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu 30 hari sejak tanggal 22 Oktober 2012 dan dengan diberlakukannya ketentuan ini maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Penetapan Secara Jabatan atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan / Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri

Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri

Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sehingga kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang kita rencanakan atau lakukan itu termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain”.

Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi

Page 15: Tugas Pajak Faktur Pajak

teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria sebagai berikut:a. Konstruksi utamanya  terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,

dan/atau baja;b. Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; danc. Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila memenuhi definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas.

Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan secara pribadi, baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang dibangun itu untuk ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak, apakah termasuk kedalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atasnya? Jika hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan rumah pribadi diatas dapat memenuhi definisi kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena pembangunan rumah yang dilakukan dalam kasus ini tidak berkaitan dengan kegiatan usaha serta untuk dimanfaatkan atau digunakan sebagai keperluan pribadi, namun untuk menentukan apakah terhadap pembangunan rumah tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita tidak cukup hanya dengan melihat definisi saja, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah bangunan yang kita bangun (dalam kasus ini rumah) itu memenuhi kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika memang kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu sesuai dengan penjelasan definisi serta kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Setelah memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri, mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.

 Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur bahwa:

1. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri

Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri adalah sebagai berikut :

 

Page 16: Tugas Pajak Faktur Pajak

PPN = Tarif x DPP

  PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun       bangunan)

 

Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri:

Contoh:

Pada Bulan Desember  2012  Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp 200.000.000, pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor dan pekerja bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pembangunan rumah tersebut?Jawab:

Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah:

= 10% X  DPP

= 10%  X (20% X Total biaya Pembangunan)

= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)

Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah

= 10% X 20% X Rp 250.000.000

= Rp 5.000.000

Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam rangka pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.

 

Page 17: Tugas Pajak Faktur Pajak

Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa:1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan

satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

 

Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa:

* Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya

* Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

* Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran  Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

 

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.

* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran

Page 18: Tugas Pajak Faktur Pajak

Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a.   Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi

tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi  atau badan yang     melakukan kegiatan membangun sendiri

* Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a.  Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi

tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b.    pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. 

 

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

* membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar

Page 19: Tugas Pajak Faktur Pajak

ketiga Surat Setoran Pajak.* Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor

Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1),  wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

 

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

1. Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut;

2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

5. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai

Page 20: Tugas Pajak Faktur Pajak

terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.6.  Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri. 

7. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki  NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

8. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan

 Penetapan Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 6 disebutkan bahwa:* Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri

tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi.

* Selanjutnya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri :

1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau

2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap,

Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penetapan secara jabatan untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri ini diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 yang merupakan Perubahan Atas Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012.

Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tersebut diatur bahwa:

* Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka membangun sendiri ditetapkan secara  jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya.

Page 21: Tugas Pajak Faktur Pajak

* Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga:

1. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau

2. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan.

* Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a mengacu pada Pedoman Penggunaan Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) Dalam Rangka Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan untuk Membangun Bangunan yang Digunakan untuk Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri sebagaimana terdapat dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Jadi Cara Perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang ditentukan secara jabatan adalah sebagai berikut :

PPN = Tarif x DPP

Tarif = 10%  DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun

bangunan

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun       bangunan)

Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan

 

 

 

=

Nilai Terendah Harga Satuan tertinggi berdasarkan Klasifikasi Bangunan Gedung Negara

 

x Koefisien xLuas bangunan keseluruhan

Page 22: Tugas Pajak Faktur Pajak