Tugas Morfin

39
BAB I PENDAHULUAN Laporan world drug report 2006/2007 (dipublikasikan 2008) menyatakan bahwa pada saat ini terdapat sekitar 208 juta orang atau sekitar 5% daripada penduduk dunia, yang menggunakan narkotika dan zat adiktif lain setidaknya satu kali dalam 12 bulan yang terakhir ini. Penguna –penguna ini berusia dalam lingkungan 15 hingga 64 tahun . Hasil penelitian BNN dan Universitas Indonesia diperkirakan jumlah penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia di tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik. Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). (BNN, 2008). Mengikut data hasil Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) diperkirakan jumlah penyalahgunaan coba pakai sekitar 807 ribu sampai 938 ribu orang, dimana sekitar 90%-nya adalah kelompok pelajar/mahasiswa. Pada tahun 2008 diperkirakan terdapat sebanyak 16.9 juta pelajar/mahasiswa. Sekitar 4.6% dari total jumlah pelajar/mahasiswa 1

description

obat

Transcript of Tugas Morfin

Page 1: Tugas Morfin

BAB I

PENDAHULUAN

Laporan world drug report 2006/2007 (dipublikasikan 2008) menyatakan bahwa

pada saat ini terdapat sekitar 208 juta orang atau sekitar 5% daripada penduduk dunia,

yang menggunakan narkotika dan zat adiktif lain setidaknya satu kali dalam 12 bulan

yang terakhir ini. Penguna –penguna ini berusia dalam lingkungan 15 hingga 64 tahun .

Hasil penelitian BNN dan Universitas Indonesia diperkirakan jumlah penyalahgunaan

narkotika dan zat adiktif sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau sekitar 1,99% dari

total seluruh penduduk Indonesia di tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut,

terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan

7% pecandu suntik. Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif pada kelompok bukan

pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa

(40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%).

(BNN, 2008).

Mengikut data hasil Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) diperkirakan

jumlah penyalahgunaan coba pakai sekitar 807 ribu sampai 938 ribu orang, dimana

sekitar 90%-nya adalah kelompok pelajar/mahasiswa. Pada tahun 2008 diperkirakan

terdapat sebanyak 16.9 juta pelajar/mahasiswa. Sekitar 4.6% dari total jumlah

pelajar/mahasiswa diperkirakan menyalahgunakan narkotika dan zat adiktif lain.

Disamping itu,hasil survei juga menunjukkan bahwa usia pertama kali pakai narkotika

dan zat adiktif pada usia 16-18 tahun (41%) atau setara dengan mereka yang sedang

duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada usia ini, didapati remaja

mendapat tekanan begitu besar baik dari kelompok pergaulannya (peer group), rasa

keingintahuan atau coba-coba, serta ke-ego-an yang mendorong untuk pakai narkotika

dan zat adiktif . Selain itu, kampus juga sebagai tempat subur peredaran gelap narkoba

karena kampus sebagai tempat bertemu mahasiswa, dan otoritas kampus membuat pihak

kepolisian tidak bisa bebas melakukan razia ataupun penggeledahan. Di kampus jenis

narkotika yang sering menjadi tempat transaksi adalah ‘putaw’; sedangkan di diskotik

tempat transaksi adalah piskotropika, dan hotel tempat transaksi adalah shabu.( Dit

IV/Narkoba, Januari 2009)

1

Page 2: Tugas Morfin

Di samping itu, mengikut data kasus Narkoba di Indonesia selama 11 tahun

yiaitu dari tahun 1997 hingga 2008, jumlah pengunaan narkotika adalah paling tertinggi

rata –rata per tahun adalah 47.2% dibandingkan dengan psikotropika 38.2% dan zat

adiktif 14.6%. Selain itu hasil pemantauan Badan Narkotika Nasional Indonesia

menunjukkan jenis – jenis narkotika yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah

Heroin, Kokain,Candu dan Morphin. Di kalangan empat jenis narkotika, kasus heroin

banyak dijumpai yiaitu sebanyak 64%, dikuti dengan kokain sebanyak 30.1%, candu

4.1% dan morphin 1.8%. (Dit IV/Narkoba, 2009).

2

Page 3: Tugas Morfin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MORFIN

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.

Opium yang berasal dari getah Papever somniferum mengandung sekitar 20 jenis

alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Didalam klinik opioid dapat

digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini

sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada

potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat

menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.

Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),

semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,

fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid

dapat digolongkan menjadi:

1. Agonis opioid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan ,

dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada

reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil,

sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

2. Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua

reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor,

contoh : nalokson.

3. Agonis-antagonis opioid (campuran)

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai

agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada

reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

Terdapat 3 jenis peptida opioid: enkefalin, endorphin dan dinorfin. Peptida

opioid yang didistribusikan paling luas dan memiliki aktifitas analgesik adalah

3

Page 4: Tugas Morfin

pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin).

Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat di dalam ke 3 protein prekursor

utama: prepro-opiomelanokortin, preproenkefalin (proenkefalin A) dan preprodinorfin

(proenkefalin B).

Prekursor opioid endogen terdapat pada daerah di otak yang berperan dalam

modulasi nyeri dan juga ditemukan di medulla adrenal dan pleksur saraf di usus.

Molekul prekursor opioid endogen dapat dilepaskan selama stress seperti adanya nyeri

atau antipasti nyeri. Ada 3 jenis utama prekursor opioid yaitu :

1. mu (μ)

Memberi efek analgesik, depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas

saluran cerna.

Terdapat dua jenis :

a. reseptor μ1, hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan

analgesia suprasinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan

katalepsi.

b. reseptor μ2 dengan penurunan tidal volume dan bradikardia.

2. delta (δ)

Memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernafasan yang

ditimbulkan opioid.

3. kappa (κ)

Memberi efek sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat

agonis μ.

4. beberapa subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2 dan kappa3.

Salah satu golongan opioid yang sering disalah gunakan adalah morfin. Morfin

adalah hasil olahan dari opium/candu mentah dan merupakan alkaloida utama dari

opium ( C17H19NO3 ) yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang

ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat digunakan

untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Morfin rasanya pahit, berbentuk

tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan

cara dihisap dan disuntikkan.

4

Page 5: Tugas Morfin

Gambar 1. Struktur dari Morphin

R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut

sebagai OH fenolik; sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik sehingga disebut

sebagai OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus membentuk berbagai alkaloid

opium.[1]

Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama tetapi berbeda

secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas berhubungan dengan efek

analgetik, hipnotik, depresi napas, dan obstipasi. Gugus OH alkoholik bebas merupakan

lawan efek gugus OH fenolik. Adanya kedua gugusan OH bebas disertai efek konvulsif

dan efek emetik yang tidak begitu kuat. Substitusi R1 mengakibatkan berkurangnya efek

analgetik, efek depresi napas dan efek spasmodik terhadap usus; sebaliknya terjadi

penambahan efek stimulasi SSP. Substitusi pada R2 mengakibatkan bertambahnya efek

opioid dan efek depresi napas. Substitusi pada R1 dan R2 bersamaan mengakibatkan

bertambahnya efek konvulsif dan berkurangnya efek emetik.[1]

Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral

dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk

menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri

hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. Morfin

diperdagangkan secara bebas dalam bentuk:

1. Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat

disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur

5

Page 6: Tugas Morfin

dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas

disilet sendiri oleh para korban.

2. Cairan berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya

hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.

3. Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna

yang berbeda-beda.

4. Tablet dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.

Gambar 2. Sediaan morfin

B. FARMAKODINAMIK

Agonis opioid (morfin) bekerja berikatan dengan reseptor G protein-coupled

spesifik yang terdapat di otak dan korda spinalis yang terlibat dalam transmisi dan

modulasi rasa nyeri.

6

Page 7: Tugas Morfin

1. Tipe reseptor

2. Aksi selular dan mekanisme analgesik

Opioid (golongan morfin yang bekerja pada reseptor mu) memiliki dua aksi ikatan G-

Protein coupled langsung di neuron :

a. menutup voltage-gated Ca2+ channels yang mengurangi pembebasan

transmitter di presynaptic

b. menginhibisi aktivitas di neuron postsynaptic dengan membuka K+ channels

3. Toleransi dan withdrawal

Adanya pemaparan kronis terhadap morfin, otak memperlihatkan tanda-tanda

adptasi. Ketika morfin digunakan pada jangka waktu tertentu dan dosisnya harus

ditingkatkan secara progresif agar efek analgesik dan rewarding tetap ada, hal

inilah yang disebut toleransi. Mekanisme terjadinya toleransi morfin masih

belum jelas. Akan tetapi, terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa terjadi

desentisasi yang menjaga sel dari stimulasi berlebih. Dalam hipotesis ini

diperkirakan bahwa morfin gagal untuk memicu endosistosis reseptor sehingga

terjadi proses adaptasi secara tidak proporsional yang berakibat toleransi.

Perubahan adaptif yang terjadi saat obat dihentikan disebut putus-obat

(withdrawal). Sebagai contoh, ketergantungan akan analgesia dan rewarding

hilang pada mencit yang memiliki sedikit u reseptor tetapi tidak pada mencit

yang kekurangan receptors (, ). Hal ini memperlihatkan bahwa

7

Reseptor Fungsi

u (mu)

Analgetik spinal dan supraspinal, sedasi, inhibisi

respirasi, menurunkan peristaltik usus, modulasi

penglepasan hormon dan neuroransmitter

δ (delta) Analgetik spinal dan supraspinal, modulasi

penglepasan hormon dan neuroransmitter

κ (kappa) Analgetik spinal dan supraspinal, efek

psikomimetik, menurunkan peristaltik usus

Page 8: Tugas Morfin

ketergantungan pada reseptor u lebih hebat dan hal ini juga memperlihatkan

bahwa ketergantungan ini dapat menyebabkan gejala putus obat yang hebat juga.

Gambar 3. Mekanisme kerja opioid

4. Efek Morfin pada organ

a. Analgesia

Morfin menghilangkan rasa nyeri dengan ikatan yang terjadi dengan

reseptor mu pada neuron.

b. Euphoria

Pengguna morfin akan mengalami sensasi melayang dan tidak ada

kecemasan.

c. Sedasi

Kesadaran yang menurun sangat sering didapati pada pengguna morfin.

d. Depresi pernafasan

Semua golongan opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan dengan

menginhibisi batang otak. Indikator yang paling reliable dalam menilai

depresi ini adalah tidak adanya repon terhadap percobaan karbon dioksida.

8

Page 9: Tugas Morfin

e. Miosis

Kontriksi pupil akibat aktivitas.

f. Mual dan muntah

Adanya aktivasi chemoreceptor trigger zone pada batang otak.

g. Jantung

Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan menurunnya frekuensi nadi dan

tekanan darah khususnya bila diberikan intravena. Morfin menurunkan kerja

jantung dan menurunkan kebutuhan oksigen pada otot jantung

h. Ginjal

Fungsi ginjal terdepresi. Selain itu reseptor u memiliki efek antidiuretik

pada manusia sehingga urin menjadi sedikit.

i. Pruritus

Morfin dapat menyebabkan sensasi gatal dan keringat. Selain itu, diperkiran

sensasi gatal yang terjadi akaibat reaksi pelepasan histamin oleh SSP. Hal

ini lebih sering terjadi pada penggunaan obat yang jenisnya parenteral.

C. FARMAKOKINETIK

1. Absorpsi

Absorbsi morfin pada saluran cerna jelek dan sulit diprediksi, Morfin dapat

diberikan per rektal secara supositoria. Morfin dalam jumlah kecil yang

diberikan secara epidural atau intratekal ke saluran spinal dapat memberikan

analgesia yang kuat yang dapat betrahan 1 sampai 24 jam. Akan tetapi, karena

sifat hidrofilik morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek

samping, terutama depresi pernapasan. Jika morfin diberikan secara intravena,

maka kerjanya cepat. Akan tetapi senyawa yang lebih larut dalam lemak

bekerja lebih cepat dari morfin setelah pemberian subkutan karena perbedaan

laju absorpsi dan masuknya ke SSP.

2. Distribusi dan metabolisme

Bila morfin dalam kondisi terapeutik terdapat dalam plasma, sekitar 6% terikat

dengan protein, dan diantaranya 80-90% berikatan dengan albumin dan lainnya

dengan globulin. Ikatan dengan protein meningkat pada pasien adiksi dan

menurun pada pasien gagal ginjal dan hepar. Morfin sendiri tidak menetap

9

Page 10: Tugas Morfin

dalam jaringan, dan 24 jam setelah dosis terakhir konsentrasi dalam jaringan

rendah.

Di dalam tubuh, morfin dimetabolisme di hepar oleh enzim uridine-5’-

diphosphate (UDP) glucoronosyltransferase, dengan afinitas khusus pada

isoenzim UGT2B7. UGT2B7 merupakan enzim utama pada proses

metabolisme morfin. Metabolit-metabolit hasil proses tersebut antara lain

morphine-3-glucuronide (M3G), morphine-6-glucoronide (M6G) dan

metabolit-metabolit lainnya. Metabolit M3G dan M6G memiliki aktivitas

farmakologik. M3G dihasilkan lebih banyak dibanding M6G. Beberapa

penelitian mengatakan bahwa M6G mempunyai efek analgesik sedangkan

M3G memiliki aktivitas neuroeksitasi. Studi lainnya mengatakan bahwa M3G

juga memiliki andil dalam meningkatkan ambang pecandu morfin. Kedua

metabolit ini dielimininasi di ginjal. Peningkatan M6G di dalam darah erat

hubungannya dengan toksisitas morfin. [2,3] Walau 3- dan 6-glukuronid sangat

polar, keduanya dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek

klinis yang bermakna. Dengan pemberian dosis oral kronis, kadar morfin-6-

glukuronid dalam darah biasanya melampaui kadar morfin. Sekitar 10%

mengalami demetilasi membentuk nor morfin yang inaktif. Pada dewasa muda,

waktu paruh morfin sekitar 2 jam, waktu paruh morfin-6-glukuronid agak lebih

lama.

Gambar 4. Struktur dua metabolit utama morfin

10

Page 11: Tugas Morfin

3. Ekskresi

Eliminasi memalui urin 85% dalam bentuk glucoronid, 5% nor morfin dan 5%

dalam bentuk morfin yang tidak berubah. Sekitar 8% morfin glucoronid

tereliminasi lewat empedu. Metabolisme ekstra hepatal sering terjadi di dalam

ginjal.

D. INTOKSIKASI MORFIN

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih

mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin

paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya

cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya)

relatif selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba,

rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi nyeri pun tidak

selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :

1. morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

2. morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah

reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima

oleh korteks serebri dari thalamus

3. morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri

meningkat.

Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa

gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan.

Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan

pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang

selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat

klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain

efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.

Efek pada sistem pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan

menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian

intravena atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat

11

Page 12: Tugas Morfin

pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran

pernafasan.

Efek pada sistem saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi

karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan

motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing.

Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing

serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda

pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian

sipemakai serta harapannya.

Gejala kelebihan dosis :

1. Pupil mata sangat kecil (pinpoint).

2. Pernafasan satu- satu.

3. Koma.

Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga

nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru.

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasa terjadi akibat percobaan bunuh diri

dimana Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas

lambat, 2-4 kali/menit, dan pernafasan mungkin berupa Cheine Stokes. Pasien sianotik,

kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik

akan menurun sampai terjadi syok bila nafas memburuk dan ini dapat diperbaiki dengan

memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika

telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan

ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot

rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan

nafas. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi nafas.

Selain terjadinya intoksikasi dapat juga terjadi toleransi dan ketergantungan fisik

setelah penggunaan berulang yang merupakan gambaran spesifik pada penggunaan

obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadinya ketergantungan fisik tersebut

merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaannya.

Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut:

1. habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan

akan morfin.

12

Page 13: Tugas Morfin

2. ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan

biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin

3. adanya toleransi, toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak

timbul terhadap efek eksitasi, meiosis dan efek pada usus. Toleransi

timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar

bila digunakan dosis besar secara teratur.

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbulah gejala

putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu

tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun

ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor,

iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam dan nafas

cepat. Gejala ini semakin hebat disertai timbulnya muntah, kolik dan diare. Frekuensi

denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai

hiperhidrolisis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan pasien

menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan

kematian.

E. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR PENGGUNAAN NARKOTIKA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika :

1. Pasal 1 ayat 1

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini

2. Pasal 1 ayat 13

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

Narkotika, baik secara fisik maupun psikis

3. Pasal 1 ayat 14

Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan

untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang

13

Page 14: Tugas Morfin

meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya

dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas

4. Pasal 1 ayat 15

Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak

atau melawan hukum

5. Pasal 6 ayat 1

Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam

a. Narkotika Golongan I

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III

6. Pasal 7

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

7. Pasal 8 ayat 1

Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan

8. Pasal 8 ayat 2

Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk

reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan

persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan

9. Pasal 39 ayat 1

Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar

farmasi, dansarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang ini

10. Pasal 40 ayat 1

Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. Pedagang besar farmasi tertentu

b. Apotek

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah terntentu; dan

14

Page 15: Tugas Morfin

d. Rumah sakit

11. Pasal 40 ayat 2

Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:

a. Pedagang besar farmasi tertentu lainnya

b. Apotek

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu

d. Rumah sakit; dan

e. Lembaga ilmu pengetahuan

12. Pasal 40 ayat 3

Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat

menyalurkan Narkotika kepada:

a. Rumah sakit pemerintah

b. Pusat kesehatan masyarakat

c. Balai pengobatan pemerintah tertentu

13. Pasal 41

Narkotika Golongan 1 hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar

farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

14. Pasal 43 ayat 3

Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat dan balai pengobatan

hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter

15. Pasal 43 ayat 4

Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:

a. Menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan

b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika

melalui suntikan; atau

c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek

16. Pasal 111 ayat 1

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

Golongan 1 dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda

15

Page 16: Tugas Morfin

paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp 8.000.000.000, 00 (delapan miliar rupiah)

17. Pasal 112 ayat 1

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan

tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)

18. Pasal 115 ayat 1

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan 1, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)

19. Pasal 127 ayat 1

Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun

b. Narkotika Golongan 2 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun

c. Narkotika Golongan 3 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun

F. DIAGNOSA KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis

(medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan

narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada

organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan

pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh

pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT

dan SGPT).

16

Page 17: Tugas Morfin

Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan

komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis).

Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat

kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing

dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil,

atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa

nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan

toleransi dan ketergantungan.

Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat

patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering

disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases),

berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam

berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma

putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.

Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat

menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya.

Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut “sakau”

dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara

merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma

putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare,

menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik.

Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan

muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus

diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan.

Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan

pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984)

dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan

erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan

pembunuhan.

Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak

digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan

dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku

17

Page 18: Tugas Morfin

serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada

umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan.

Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan,

kecemasan, dorongan – dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah

mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering

dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex,

meningkatkan daya tahan jasmani.(2,4)

Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :

1. tanda- tanda pemakai obat

2. keadaan lepas obat

3. kelebihan dosis akut

4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )

5. komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).(2)

G. GAMBARAN FORENSIK

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada

umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat

minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokter, apalagi untuk racun- racun yang

sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium

akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus

melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan.

Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan

sebagai berikut:

1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Gejala klinis :

a. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain

nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu

menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.

b. pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.

c. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.

18

Page 19: Tugas Morfin

d. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral,

timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.(1)

Tahapan intoksikasi morfin terdiri dari :

a. Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi,

tanpa ada tahap 1, terdiri dari :

Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.

Halusinasi.

Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.

Dapat menjadi maniak.(2)

b. Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa

jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari :

Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.

Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.

Wajah sianosis, pupil amat mengecil.

Pulse dan respirasi normal.(2)

c. Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :

Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.

Proses sekresi.

Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada

asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir.

Respirasi cheyne stokes.

Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.(2)

2. Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :

a. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.

b. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.

c. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.

d. Barang bukti lainnya.(8)

Metode yang digunakan :

a. Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid

Chromatography)

Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral, barang bukti

dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin

19

Page 20: Tugas Morfin

akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa

usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin

yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari

beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.

b. Nalorfine Test.

Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%,

berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila

kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin

dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.

Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin

atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk

morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari

morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau

hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit,

dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.(2,8)

Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja

sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik, psikiater

maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan

dengan hal di atas meliputi :

1. Apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan,

ataupun kemungkianan pembunuhan?

2. Jenis obat apakah yang digunakan?

3. Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut?

4. Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?

5. Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali

memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat?

6. Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut?

7. Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit

yang mungkin sudah ada pada korban?

8. Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian

korban?

20

Page 21: Tugas Morfin

Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :

1. TKP (Tempat Kejadian Perkara).

2. Riwayat korban.

3. Otopsi.

4. Pemeriksaan Toksikologi.

Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian

narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang

ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang

perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan

kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan

informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977).

Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada

pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan

yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari

hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh

pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam,

asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu

pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan-

sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab

kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat

pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan

mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada

pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema

dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan

narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk

mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara

keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha penyelundupan narkoba

( Tedeschi, 1977).(8)

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah-

daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya

perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat

memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.

21

Page 22: Tugas Morfin

Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang

bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi

hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. Cairan

empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat

pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan

toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas

hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin (Knight, 1996).(8)

Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid (morfin atau heroin)

1. Pemeriksaan luar

Tanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang

dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.

a. Needle marks

Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat

lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla

mamae.

Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub

kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah.

Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa

jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous

mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu

dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau

ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya

dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya

diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka

inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya.

Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi,

sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan

menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu

dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasalswab’).

b. Hipertrofi kelenjar getah bening regional.

22

Page 23: Tugas Morfin

Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi

kelenjar getah bening di regio aksiler. Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’.

Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak

hipertrofi dan hyperplasia limfositik.

c. Gelembung-gelembung pada kulit

Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk

suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi

gas CO dan barbiturate.

d. Tanda mati lemas.

Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama

tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai

tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka,

kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik

perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat

ditemukan perforasi pada septum nasi.

2. Pemeriksaan Dalam Paru-paru

a. Perubahan akut : Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian.

Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :

Dari 0 sampai 3 jam

Hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada

dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian

posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada

emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di

dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear

dalam alveoli.

Dari 3 sampai 12 jam pertama

Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus).

Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea

tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak

gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi

adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan

terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan

23

Page 24: Tugas Morfin

bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag,

perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel

polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus

respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum

opiate.

Dari 12 sampai 24 jam.

Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan

proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan

tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.

b. Perubahan kronis.

Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya

reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk

bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan

mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat

garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular,

perivascular, atau di dalam alveolus.

Hati

Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu.

Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel

narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris

yang mengalami proliferasi.

Ada 4 kelainan :

o Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa.

o Hepatitis persisten kronika : adanya infiltrasi sel radang didaerah

portal

o Hepatitis reaktif kronika.

o Perlemakan hati.

Getah bening

Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan

duktus kholedocus. Makin berat menyandunya, makin banyak

kelainannya.

Makroskopis : tampak pembesaran

24

Page 25: Tugas Morfin

Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.

3. Pemeriksaan toksikologi

a. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan.

b. Darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral.

c. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup

d. Barang bukti lainnya.(2,8)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hedi R. Dewoto. Analgesik opoiod dan antagonis. In: Sulistya GG, Rianto SN,

Elysabeth, ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2009: 211-2.

2. Erica Wittwer, Steven E. Kern. Role of Morphine’s Metabolites in Analgesia:

Concepts and Controversies. The AAPS Journal. 2006 [cited 2013 July 2nd]; 8 (2):

Article 39. Available online: http://www.aapsj.org.

3. Simona DG, Manuela DG, Guglielmina NR, Massimo A, Cristina M, Mario R.

Morphine metabolism, transport and brain disposition. Metab Brain Dis. 2012

[cited 2013 July 2nd]; 27:1–5.

25