TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

55
Atas dasar itu, dosen kemudian melakukan tanya jawab dengan para mahasiswa. Beberapa jawaban menarik yang mereka kemukakan adalah bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menentukan tema karangan, mereka pun bingung dalam mengawali sebuah karangan, membedakan jenis karangan, dan mengaitkan paragraf satu dengan yang lainnya dalam karangan itu. Dari hasil tanya jawab itu pun diperoleh informasi bahwa sebelumnya dalam proses mengarang di sekolah-sekolah asal (baca: SMP dan SMA), mereka lebih banyak diam mendengarkan penjelasan guru. Kegiatan belajar mengajar di kelas biasanya dimulai dengan pembahasan materi, kemudian guru member kesempatan bertanya kepada mereka mengenai materi yang dijelaskan. Namun, kesempatan tersebut jarang mereka gunakan sehingga tidak teridentifikasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi itu. Komunikasi yang terjadi ketika belajar di kelas kebanyakan masih bersifat satu arah yaitu dari guru kepada siswa. Setelah menerangkan materi, kegiatan dilanjutkan dengan pengerjaan latihan yaitu membuat sebuah karangan. Kemudian karangan tersebut dikumpulkan lalu dinilai tanpa adanya umpan balik dari guru yang bersangkutan untuk perbaikan. Mereka ketika itu hanya mempunyai nilai berupa angka sebagai tanda telah mengerjakan tugas. Evaluasi seperti ini menurut mereka kurang relevan apalagi berkaitan dengan kegiatan tulis-menulis yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Berdasarkan rangkaian studi awal itu, dipandang perlu merancang suatu metode pembelajaran menulis karangan, yakni masyarakat belajar atau learning community dengan penekanan pada pengembangan tradisi membaca dengan menggunakan pendekakatan

description

b.indo

Transcript of TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Page 1: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Atas dasar itu, dosen kemudian melakukan tanya jawab dengan para mahasiswa.

Beberapa jawaban menarik yang mereka kemukakan adalah bahwa mereka mengalami

kesulitan dalam menentukan tema karangan, mereka pun bingung dalam mengawali sebuah

karangan, membedakan jenis karangan, dan mengaitkan paragraf satu dengan yang lainnya

dalam karangan itu. Dari hasil tanya jawab itu pun diperoleh informasi bahwa sebelumnya

dalam proses mengarang di sekolah-sekolah asal (baca: SMP dan SMA), mereka lebih

banyak diam mendengarkan penjelasan guru. Kegiatan belajar mengajar di kelas biasanya

dimulai dengan pembahasan materi, kemudian guru member kesempatan bertanya kepada

mereka mengenai materi yang dijelaskan. Namun, kesempatan tersebut jarang mereka

gunakan sehingga tidak teridentifikasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi itu.

Komunikasi yang terjadi ketika belajar di kelas kebanyakan masih bersifat satu arah yaitu

dari guru kepada siswa. Setelah menerangkan materi, kegiatan dilanjutkan dengan pengerjaan

latihan yaitu membuat sebuah karangan. Kemudian karangan tersebut dikumpulkan lalu

dinilai tanpa adanya umpan balik dari guru yang bersangkutan untuk perbaikan. Mereka

ketika itu hanya mempunyai nilai berupa angka sebagai tanda telah mengerjakan tugas.

Evaluasi seperti ini menurut mereka kurang relevan apalagi berkaitan dengan kegiatan tulis-

menulis yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan.

Berdasarkan rangkaian studi awal itu, dipandang perlu merancang suatu metode

pembelajaran menulis karangan, yakni masyarakat belajar atau learning community dengan

penekanan pada pengembangan tradisi membaca dengan menggunakan pendekakatan

kolaboratif. Konsep masyarakat belajar (learning community) dan pendekatan kolaboratif

menyarankan agar hasil pembelajaran itu diperoleh melalui kerja sama antarpara mahasiswa.

Mereka akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan

gagasannya kepada mahasiswa lain atau kepada dosen dan publik. Dengan kata lain,

membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.

Interaksi memunkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman para mahasiswa melalui

diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar

kelompok/berkolaborasi. Penyampaian gagasan oleh mahasiswa dapat mempertajam,

memperdalam, memantapkan atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh

tanggapan dari mahasiswa lain atau dari dosen. Pembelajaran berkolaborasi mendorong

mahasiswa untuk mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada

mahasiswa lain, dosen, atau pihak-pihak lain (publik).

Page 2: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Penggunaan teknik atau strategi tersebut didasari oleh permasalahan- permasalahan

yang mereka hadapi itu sebagaimana yang ditemukan pada studi awal, yakni kurangnya

motivasi eksternal dalam mengembangkan kecakapan mengarang serta minimnya wawasan

mereka dalam mengembangkan isi karangan. Dengan adanya tutorial sebaya atau strategi

kolaboratif/masyarakat belajar itu, kegiatan perkuliahan bisa memberikan penghargaan dan

kritik atas karangan mereka serta masukan-masukan pengetahuan dan pengalaman dari

berbagai bacaan sehingga diharapkan keterampilan menulis mahasiswa akan lebih baik.

Tindak Lanjut

Berdasarkan ketiga siklus yang telah diakukan, dosen melakukan analisis dan tindak lanjut

terhadap karangan-karangan termasuk rangkaian aktivitaas yang dilakukan para mahasiswa

itu sendiri. Hasil analisis dan tindak lanjut yang teerankum sebagai berikut.

a. Sumber-sumber bacaan yang dimiliki para mahasiswa sangat terbatas. Mereka

cenderung memilih koran sebagai sumber bacaan di samping beberapa cetakan artikel

dari internet. Buku-buku bacaan yang mereka gunakan sangat terbatas dan pada

umumnya merupakan terbitan lama. Hal tersebut menyebabkan karangan mereka

menjadi tumpukan fakta dan analisis mereka terhadap topik-topik yang mereka

gunakan sangat dangkal.

b. Terbatasnya buku bacaan yang mereka gunakan juga menyebabkan analisis mereka

kutrang berimbang. Mereka hanya menggunakan satu atau beeberapa sumber saja.

Hal tersebut menyebabkan tulisan mereka menyerupai salinan atau pencitraan

kembali atas isi suatu buku/bacaan.

c. Para mahasiswa mengalami kesulitan dalam merelevansikan bahan-bahan bacaan

yang mereka miliki dengan disiplin ilmu yang tengah mereka geluti. Bahan-bahan

bacaan itu kurang mereka olah; mereka biarkan apa adannya. Padahal, bahan-bahan

bacaan itu bisa mereka tarik ke dalam bidang keilmuan mereka, yakni kebahasaan,

kesastraan, dan pendidkan bahasa dan sastra. Apabila langkah itu mereka lakukan

maka karangan-karangan itu akan lebih inovatif dan lebih hidup karena sesuai dengan

minat “asli” mereka sebagai mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia.

d. Dominasi mahasiswa tertentu dalam diskusi masih kuat. Kerja sama mereka masih

lemah. Oleh karena itu, karangan yang mereka hasilkan cenderung masih bersifat

karya individual.

e. Lemahnya pengalaman keilmuan—karena topik-topik yang mereka garap di luar

kebahasaan dan kesastraan—menyebabkan komentar mereka dalam kegiatan silang

Page 3: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

baca kurang argumentative. Komentar-komentar mereka pada akhirnya cenderung

menyangkut hal-hal yang bersifat teknis sepeerti masalah ejan dan tanda baca.

Di samping kelemahan-kelemahan yang ditemukan itu, dosen menemukan beberapa

indikator keberhasilan atas pendekatan kolaboratif dalam meningkatkan keterampilan

menulis dengan mengembangkan tradisi membaca yang terlah dilakukan itu, yakni

sebagai berikut.

a. Mahasiswa lebih antusias dan serius dalam mengikuti perkuliahan.

b. Minat mahasiswa terhadap kegiatan menulis lebih berkembang. Yang semula mereka

menganggap bahwa menulis itu sebagai kegiatan yang menyenangkan.

c. Timbulnya kesadaran pada diri mhasiswa bahwa membaca merupakan modal utama

untuk menjadi seorang penulis.

d. Semangat mahasiswa dalam berburu bahan bacaan juga tumbuh. Hal tersebut

berdasarkan observasi kami terhadap intensifikasi kunjungan mereka ke perpustakaan

serta ke internet UPI (Direktorat TIK UPI).

e. Indikator keberhasilan produk ditandai oleh meningkatnya keterampilan dan kualitas

tulisan mahasiswa berkaitan dengan keterampilan mereka dalam menentukan topik,

mengembangkan organisasi karangan, serta aspek-aspek kebahasaan, seperti

pemilihan diksi, penulisan kalimat, paragraf, dan masalah mekanik (ejaan dan tanda

baca).

f. Kesadaran akan pentingnya bacaan dalam keterampilan menulis perlu ditanamkan

oleh setiap dosen pada berbagai perkuliahan. Tugas-tugas yang diberikan kepada para

mahasiswa harus mendorong mereka untuk lebih aktif dalam membaca, terlepas apa

pun bahan bacaannya. Dengan cara demikian, tradisi membaca di kalangan

mahasiswa akan lebih terbentuk dan keterampilan mahasiswa dalam menulis pun akan

terbangun. Bersamaan dengan itu, lomba-lomba menulis di lingkungan kampus—

khususnya—perlu lebih dibudidayakan. Hal tersebut sangat berguna untuk

menciptakan kultur akademik kampus yang lebih literat.

Page 4: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

DAFTAR PUSTAKA

Burns, Paul C. And Albert L. Lowe. (1996). The Language Arts in Childhood Education.

Chicago: McNally and Company.

Danifil. (1985). “Kemampuan Membaca Bahasa Inggris Tenaga Edukatif Non-Bahasa

Inggris di Universitas Riau”, Disertasi (tidak dipublikasikan). Malang: PPs IKIP

Malang.

Kurniawan, K. (2004). “Pembelajaran Menukisa dengan Menggunakan Pendekatan Proses”/

Jurnal Mimbar Pendidikan No. 2 Tahun XXIII 2004.

Kurniawan, K. (2000). “Pembaharuan Pendidikan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Madani”,

Jurnal Pendidikan Mimbar Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, No. 1 Tahun

XIX 2000.

Kurniawan, K. (2000). "Tradisi Membaca sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan

Mahasiswa Belajar Mandiri dalam Menulis", Jurnal Ilmu Pendidikan, Agustus 2000,

Jilid 7, Nomor 3.

Kurniawan, K. (2002). "Kemampuan Menulis Esai Argumentatif Mahasiswa Bahasa dan

Sastra Indonesia", LITERA, Volume I Nomor 2 Juli 2002.

McTaggart, R., Stephen Kemmis. (1990). The Action Research Planner. Melbourne: Deakin

University.

Miles, M. and Huberman M. (1984). In Qualitative Data Analysis: A Source Book of New

Methods. Beverly Hills: Sage Publikation.

Rifai, M.A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan dan Penerbitan Karya Ilmiah

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rosidi, A. (1983). Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.

Supriadi, D. (1997). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV

Alfabeta.

Tampubolon, D.P (1987). Kemampuan Membaca, Teknik Membaca Efektif dan Efisien.

Bandung: Angkasa.

Tarigan, H.G. (1983). Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa Bandung: Angkasa.

Tarigan,HG. (1989). Dosenan Analisis Kontrastif Bahasa. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.

Wiryotinoyo, M. (1990). "Membaca Bebas dan Kemampuan Menyusun Bentuk-bentuk

Retoris Mahasiswa", Tessis (tidak dipublikasikan). Malang: PPs IKIP Malang.

Page 5: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Bagian III:

Realisasi Sosial

dalam Bahasa dan Sastra

Page 6: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

SASTRA, PENERJEMAHAN, DAN

PENYEBARAN BUDAYA:

BERBAGAI FAKTA DAN RENUNGAN

Berthold Damshӓuser

Universitas Bonn, Jerman

Pendahuluan

Untuk pertama kalinya saya diundang menjadi peserta seminar yang diadakan oleh

sebuah universitas pendidikan di Indonesia. Bahkan untuk pertama kalinya saya, pada hari

ini, memasuki kampus sebuah Universitas Pendidikan di Indonesia. Ini jelas merupakan

peristiwa penting, paling sedikit bagi saya sendiri. Mengapa? – Karena saya yakin, di antara

ddemikian banyak tempat yang berarti, juga indah di Indonesia ini, mustahil ada tempat

dengan lembaga yang lebih berarti daipada Universitas Pendidikan.

Kita semua tahu: Nasib dan masa depan sebuah bangsa tergantung dari generasi

mudanya. Dalam era yang diwarnai oleh globalisasi yang semakin pesat dan semakin

menyeluruh, nasib, dan masa depan sebuah bangsa tergantung dari pengetahuan manusianya,

yakni pengetahuan dalam bidang sebanyak mungkin, mulai dari teknologi dan sains sampai

ke kesenian dan budaya. Adalah guru-guru yang diharapkan sanggup menanam pengetahuan

demikian ke dalam akal dan jiwa generasi muda, yakni murid-murid di sekolah dasar dan

sekolah lanjutan. Berhasilnya penanaman itu tergantung dari apakah guru sendiri memiliki

pengetahuan itu, dan mengingat itu kita semua sadari: Masa depan sebuah bangsa sangatlah

tergantung dari kwalitas guru. Karena itu pun lembaga calon guru jelas termasuk tempat

paling berarti di sebuah negara.

Tadi saya kaitkan makna mutu pendidikan dengan perihal globalisasi. Pengaitan itu

sering dilakukan, mungkin karena gllobalisasi diwarnai persaingan antara bangsa-bangsa

seduania, khususnya dalam bidang ekonomi. Memang betul pengaitan itu. Namun perlu

dinyatakan dengan tegas: Andai pun tiada gejala globalisasi, masa depan sebuah bangsa tetap

tergantung dari generasi mudanya, berarti tergantung juga dari adanya guru yang

berpengetahuan serta berbakat mengajar.

Saya yakin para penanggungjawab di Universitas Pendidikan di Bandung ini

menyadari semua yang saya katakana tadi dan senantiasa bertindak atas dasar pemikiran

seperti tiu. Seminar yang kkita hadiri pada saat ini dapat kita anggap sebagai bukti. Dan,

Page 7: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

berkaitan dengan seminar ini, perlu dicatat sesuatu yang cukup penting: Tema sastra lah yang

diangkat untuk menjadi focus perhatian kita. Sastra lah, termasuk sastra terjemahan, dianggap

merupakan tema penting bagi calon guru. Mungkin kita, yang pada hari ini bertemu disini,

menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa dan sama sekali bukan hal yang istimewa.

Barangkali di Indonesia memang demikian. Barangkali di Indonesia sastra sudah dianggap

merupakan tema penting bagi calon guru. Mungkin kita, yang pada hari ini bertemu di sini,

menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa dan sama sekali bukan hal yang istimewa.

Barangkali di Indonesia memang demikian. Barangkali di Indonesia ssastra sudah dianggap

sama penting dengan matematika, ilmu fisik dan ilmu ekonomi. Barangkali dalam hal ini

Indonesia sudah lebih maju daripada negara saya, di mana penghargaan terhadap karya

susastra sebagai bahan bermanfaat dalam pendidikan sedang menurun, suatu hal yang juga

cukup terasa dalam bidang kajian Indonesia, di mana banyak jurusan yang dulu

memfokuskan bahasa dan sastra Indonesia telah berubah menjadi jurusan yang menyibukkan

diri dengan apa yang dinamakan “kajian kawasan” yang mementingkan tema ekonomi,

politik dsb. Saya sendiri sangat menyesalkan perkembangan demikian yang dalam bidang

“kajian Indonesia” tidak terjadi di Jerman saja.

Tetapi, itu perkembangan di tingkat universitas. Mungkin lebih payah lagi kalau

susastra dianaktirikan dalam pendidikan dasar dan lanjutan. Saya yakin bahwa sastra,

termasuk puisi (bahkan khususnya puisi), sangat besar manfaatnya sebagai bahan untuk

mencerdaskan anak, bila diajar dengan pandai, misalnya dengan melakukan interpretasi yang

dalam tentang sebuah teks, sesuatu yang menurut saya juga dapat dilakukan bersama anak

yang umurnya baru 6 atau 7 tahun. Interpretasi berbenntuk pertanyaan semisal “apa yang

terjadi dalam teks iu” “siapa kiranya orang/tokoh yang tampil”. “apa hubungan antara orang

dan sebuah tempat atau benda”. Ya, pertanyaan sderhan aseperti itu, yang disusul oleh

hipotesa-hipotesa mengenai “maksud” sebuah puisi, di mana si murid diminta berfantasi dan

berkhayal tanpa ditegur guru andai ia berkhayal terlalu “jauh”, tapi dengan lembut dibimbing

guru ke arah yang agak arsional dan tidak kelewat subjektif.

Bukankah mempelajari atau mencoba memahami sebuah teks tak jauh berbeda

dengan upaya memahami realitas, memahami dunia. Kiranya bukan kebetulan, jika berbagai

ahli filsafat, seperti Michel Focault, menganggap dunia sebagai teks, karena dunia seperti

teks, seperti juga puisi - berisikan informasi atau kenyataan yang perlu kita teliti dan analisa

guna memahaminya, mengaitkannya secara logis, sebelum mampu bertindak secara optimal.

Dilihat dari segi itu dapat dikatakan, bahwa menekuni dan menginterpretasikan teks

merupakan latihan yang cukup baik untuk menginterpretasi dan memahami dunia.

Page 8: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Tetapi, saya pada hari ini tidak diminta untuk membicarakan pentingnya peranan

sastra dalam pendidikan, dan sebaiknya maju ke hal-hal yang wajib saya paparkan dalam

makalah ini. Panitia telah meminta saya untuk bicara dalam rangka tema "Sastra

dan Konteks Terjemahan". Khususnya saya diminta untuk mengarah kepada hal-hal

berikut:

1) pengenalan berbagai karya sastra terjemahan yang sudah ada, khususnya terjemahan

sastra Jerman;

2) upaya-upaya yang dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga Jerman dalam

menyosialisasikan kekayaan karya sastra yang dimilikinya lewat penerjemahan ke

dalam berbagai bahasa, khususnya bahasa Indonesia;

3) prinsip-prinsip dalam melakukan penerjemahan suatu karya sastra.

Ketiga hal itu akan saya bicarakan dalam tiga bab (yaitu bab 2, 3 dan 5). Ini berarti

akan ada tambahan dua bab, yakni bab 1 ("Makna Terjemahan Bagi Perkembangan Budaya

dan Sastra") dan bab 4 ("Upaya yang (tidak) dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga

negara Indonesia dalam bidang penyebaran sastra Indonesia di Jerman"). Saya akan berupaya

supaya kelima bab itu memfokuskan fakta dan segi yang paling penting, sehingga semuanya

dapat disampaikan dengan cara sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, saya harap, masih

akan tersedia waktu cukup untuk acara tanya jawab dan tukar pikiran.

Makna Terjemahan bagi Perkembangan Budaya dan Sastra

Bila kita memperhatikan perkembangan budaya-budaya dunia secara menyeluruh,

termasuk di masa lalu, kita akan menyadari, bahwa perkembangan masing-masing budaya-

bangsa ke arah lebih maju terjadi atas dasar pertukaran budaya atau - lebih sering – atas dasar

pengaruh satu budaya terhadap budaya lain. Bangsa dan budaya Romawi, misalnya, tak

mungkin berkembang ke arah kemajuan, andai tak dipengaruhi budaya Yunani. Pengararuh -

pengaruh demikian telah, masih dan sedang terjdi di ratusan tempat, di ratusan zaman. Orang

Jerman telah belajar dari orang Romawi, orang Eropa telah belajar dari orang Islam, orang

Mongol telah belajar dari orang Cina, orang Indonesia telah belajar dari orang India dll. Dan

kita tidak perlu terlalu kecewa, kalau pertukaran budaya, yakni sebuah proses saling

memperkaya, terjadi agak jarang, walau kita boleh berharap bahwa itulah yang semakin

sering akan terjadi di masa mendatang.

Page 9: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Bagaimana pun, dalam rangka proses perkembangan budaya itu, sangat kentara

bahwa teks yang merupakan alat menentukan. Penyebaran agama, misalnya agama Nasrani,

tak mungkin dilakukan tanpa teks, dalam hal ini Al Kitab. (Yang sama tentu berlaku bagi

agama-agama lain, juga bagi ide-ide filsafat). Teks adalah dasar utama dalam menyampaikan

gagasan-gagasan baru, dalam mentransfer "kebaruan" ke tubuh sebuah budaya. Gereja

Katolik dari dulu sadar akan makna teks, dan mengambil kesimpulan yang wajar: A l Kitab

wajibditerjemahkan ke semua bahasa. Maka, tindakan para misonaris yang pertama adalah

mempelajari bahasa setempat, lalu menerjemahkan Al-Kitab ke bahasa bangsa-bangsa yang

mau "dinasranikan".

Bila teks yang merupakan alat utama dalam transfer budaya, maka penerjemahan

adalah upaya yang mutlak diperlukan untuk menyebarkan teks itu. Dapat dikatakan bahwa

hampir segala upaya dalam rangka transfer budaya, agama, juga sains dan teknologi

memerlukan upaya penerjemahan. Sehingga jumlah terjemahan tentu saja melebihi jumlah

teks asli. Dapat dikatakan: Kita akan terbelenggu dalam kebisuan dan stagnasi, andai tidak

ada terjemahan. Budaya dunia nyaris akan berhenti berkembang.

Semua itu tentu juga berlaku bagi dunia susastra. Sastra sebuah bangsa pun akan

mandek jika tak ada interaksi dengan sastra bangsa- bangsa yang lain. Dan semakin giat ia

berinteraksi, semakin gemilang pula perkembangannya. Sastra di Eropa merupakan salah satu

dari sekian banyak bukti. Sastra nasional Jerman, misalnya, tumbuh subur karena kena

pengaruh dan diperkaya oleh khazanah sastra dari budaya-budaya tetangga, Perancis,

Inggeris, Itali dll. Yang sebaliknya tentu juga terjadi. Dan semua itu baru dimungkinkan

dengan adanya terjemahan. Betapa berjasa para penerjemah! Jose Saramago, sastrawan

Portugal dan pemenang Hadiah Nobel tahun 1998, dengan sangat beralasan mengatakan:

Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh

penerjemah

Dalam keterangan mengenai seminar ini, panitia menulis sebagai berikut: Arus

Globalisasi yang terjadi saat ini berpengaruh pada keberadaan dan perkembangan

kesusastraan di berbagai wilayah di dunia. Kesusastraan suatu bangsa tidak dapat

mengelakkan diri dari persentuhannya dengan karya-karya kesusastraan bangsa lain. Istilah

"tidak dapat mengelakkan diri" barangkali mengandung konotasi yang kurang tepat,

khususnya dalam kaitan dengan "persentuhan dengan karya sastra bangsa lain". Seolah-olah

karya-karya itu perlu dihindari. Kebalikanlah yang diharapkan! Sastra nasional patut

membuka lebar segala pintu-pintunya. Dengan sukacita ia mesti menerima kekayaan-

kekayaan baru. Dan kekayaan-kekayaan sendiri mesti ia sebarkan dengan bangga dan rasa

Page 10: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

percaya diri. Saya yakin, justru dalam dunia sastra interaksi atas dasar hak yang sama, dan

pertukaran yang sejati antara masing-masing sastra nasional sangat dimungkinkan, dan hal

itu pun telah dan masih terjadi.

Buku-buku berisikan terjemahan Indonesia dari karya susastra Jerman

Karya sastra terjemahan semakin hadir di Indonesia. Hal itu dapat kita saksikan di

banyak toko buku. Melihat rak-rak yang penuh dengan karya terjemahan, misalnya di

Gramedia, timbul kesan pada saya, bahwa karya terjemahan mungkin lebih diminati daripada

karya dalam bahasa Indonesia. Juga timbul kesan, seolah buku terjemahan itu kebanyakan

novel, jarang ada puisi, dan sering merupakan bestseller yang tak jarang berasal dari pena

penulis novel hiburan. Gejala yang sama dapat disaksikan pada buku-buku sastra Indonesia.

Seolah-olah novel pop jauh lebih laku daripada sastra yang tidak cari popularitas. Tapi, ini

cuma kesan, saya tidak memiliki data andal.

Berikutnya saya akan menyampaikan berbagai informasi tentang ”kehadiran" sastra

Jerman di Indonesia, khususnya mengenai sastra Jerman yang telah terbit dalam bentuk buku.

Dalam hubungan ini saya tidak akan membicarakan dongeng, novel remaja atau novel

hiburan, termasuk karya-karya Karl May. Menurut saya, sastra Jerman dalam arti tadi belum

dapat dikatakan "hadir" di Indonesia. Sebab, baru adanya 30-40 buku berisikan sastra Jerman

yang bermutu sebenarnya merupakan petanda bahwa sastra Jerman tetap merupakan sesuatu

yang sangat jarang di Indonesia. Di negara Asia lain, di Cina, Jepang, juga Korea, sastra

Jerman baru boleh dikatakan hadir. Di sana ada ratusan buku, dan jumlahnya bertambah

terus-menerus. Sedangkan di Indonesia sama sekali belum ada buku dengan terjemahan

demikian banyak sastrawan Jerman yang bernama harum dan telah menghasilkan karya yang

dibaca di seluruh dunia. Seperti Thomas Mann, Friedrich Schiller, Heinrich Heine, Friedrich

Holderlin, Novalis dll. Nama-nama agung itu saja belum ”hadir" di Indonesia.

Khususnya puisi Jerman cukup lama dianaktirikan. Sampai tahun 2003 buku berisikan

terjemahan dari puisi Jerman ke bahasa Indonesia cuma ada dalam bentuk tiga buah antologi.

Keadaan itu mulai membaik sejak ada "Seri Puisi Jerman" yang saya editori bersama

sastrawan Agus R. Sarjono. Dalam rangka "Seri Puisi Jerman" telah disajikan kepada

pembaca Indonesia kumpulan puisi dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, dan

Johann Wolfgang von Goethe. Sedangkan kumpulan puisi dari Hans Magnus Enzensberger

(Seri Puisi Jerman V) baru saja terbit dan diluncurkan di beberapa kota di Indonesia,

termasuk Bandung. Untuk jilid Seri Puisi Jerman berikutnya direncanakan terjemahan dari

Page 11: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

puisi Friedrich Nietzsche dan Novalis. Dengan demikian sastra Jerman, khususnya puisi,

mulai semakin hadir di Indonesia. Namun, upaya-upaya demikian, menurut

saya, masih sangat perlu ditingkatkan di masa depan.

Negara Jerman sebagai pendukung penyebaran sastra Jerman di luar negeri,

khususnya di Indonesia

Jerman dari dulu cukup giat menyebarkan budayanya, tentu juga sastranya. Sikap ini

kiranya dilatarbelakangi oleh rasa percaya diri serta rasa bangga bangsa Jerman atas budaya

dan tamadunnya sendiri, sebuah rasa yang sebenarnya positif, tapi - di masa lalu – sempat

berkembang ke arah nasionalisme yang berlebihan dan tak lagi sehat. Republik Federal

Jerman yang didirikan pada tahun 1949 meneruskan tradisi lama itu, dengan cara yang halus

dan sama sekali tidak agresif.

Republik Federal Jerman telah mengembangkan sebuah konsep tentang "politik

budaya luar negeri", di mana politikbudaya (yakni penyebaran bahasa dan budaya Jerman di

luar negeri) merupakan salah satu dari tiga pilar politik luar negeri Jerman, di samping pilar

"politik keamanan" dan "politik ekonomi". Lembaga terpenting dalam rangka "politik-budaya

luar negeri" itu adalah Goethe-Institut, pusat kebudayaan Jerman, yang punya cabang di

hampir semua negara. Di Indonesia ada dua cabang Goethe-Institut, di Jakarta dan Bandung.

Goethe-Institut sebagai lembaga negara berkewajiban untuk menyebarkan bahasa dan

budaya Jerman di luar negeri. Khususnya untuk penyebaran sastra Jerman Goethe-Institut

melaksanakan sebuah "program pendukung penerjemahan". Dalam rangka program itu honor

untuk penerjemah sebuah karya sastra Jerman dapat ditanggung. Program demikian pada

dasarnya cukup bagus, cuma, menurut saya, kurang efektif di negara-negara seperti di

Indonesia, di mana perihal honor penerjemah bukan kendala utama dalam penerbitan buku

sastra Jerman, melainkan kenyataan bahwa penerbit Indonesia sering perlu dibantu dengan

dana untuk percetakan buku. Kiranya, kurang efektifnya program itu menjadi salah satu

sebab jumlah buku sastra Jerman masih cukup terbatas di Indonesia.

Pada tahun 1996 saya sempat membicarakan masalah itu dengan Kanselir Jerman,

ketika itu Helmut Kohl. Sempat saya keluhkan kepadanya, bahwa - misalnya - kumpulan

puisi Goethe saja belum terdapat di Indonesia. Kanselir Kohl ternyata seorang pemimpin

yang peduli, juga terhadap masalah kurang hadirnya sastra Jerman di Indonesia. Dan ia

bertindak lebih cepat daripada saya duga. Pada hari berikutnya ia sarankan kepada Presiden

Republik Indonesia, ketika itu Soeharto, untuk membentuk sebuah komisi bilateral yang

bertugas untuk mendukung penyebaran sastra Jerman di Indonesia, juga penyebaran sastra

Page 12: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Indonesia di Jerman, yakni melalui penerjemahan karya-karya kedua sastra nasional itu ke

bahasa Indonesia dan sebaliknya. Presiden Soeharto setuju dengan saran Kanselir Jerman,

dan atas petunjuk kedua pemimpin negara pada tahun 1997 didirikan "Komisi Indonesia-

Jerman untuk Bahasa dan Sastra".1

Ternyata pembentukan Komisi itu membawa angin segaruntuk upaya-upaya penyebaran

sastra Jerman di Indonesia. Bukan karena Komisi sendiri menyediakan dana, melainkan

berkat kesadaran anggota-anggota Jerman dalam Komisi itu (misalnya Kedutaan Besar

Jerman, Departemen Luar Negeri Jerman, dan Goethe-Institut Jakarta) yang menyadari

bahwa mereka wajib bertindak demi pewujudan tujuan komisi, setelah Kanselir Jerman

sendiri telah memperhatikan nasib sastra Jerman di Indonesia. Dan, dengan adanya kesadaran

demikian, akhirnya dapat juga ditemukan dana (baik dana negara maupun dana swasta) yang

memungkinkan - di samping sebuah proyek perkamusan - terbitnya lima jilid "Seri Puisi

Jerman" yang telah saya sebutkan tadi. Ini membuktikan, bahwa lembaga-lembaga negara

Jerman tetap peduli terhadap penyebaran atau penyosialisasian sastra Jerman di luar negeri,

khususnya di Indonesia.

Upaya yang (tidak) dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga negara Indonesia

dalam bidang penyebaran sastra Indonesia di Jerman

Tak banyak yang dapat diceritakan di sini, kalau yang diharapkan adalah fakta atau

bukti mengenai upaya-upaya nyata lembaga kenegaraan di Indonesia. Memang, DKI Jakarta

pernah ikut mensponsori terbitnya sebuah antologi berisikan puisi tentang Jakarta dan

Berlin2, tapi selain itu tak ada upaya yang saya ketahui, dan andai memang ada, seharusnya

saya, sebagai anggota Komisi lndonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra, pernah mendengar

tentangnya.

Ini berarti, hampir sama sekali tid ak ada upaya negara Indonesia atau lembaga-

lembaga negara Indonesia untuk menyebarkan karya sastra Indonesia di Jerman.

Mengecewakan! Bahkan mengejutkan! Bukankah lebih dari 10 tahun yang lalu, yakni atas

1 Sebuah dokumentasi lengkap tentang latar belakang dan kegiatan ” Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra" terdapat di : Berthold Damshauser: “Peran Negara dalam Penyebaran Sastra: Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra", Horison XLIII, No. 12/2008, hal. 18-30.Pada bagian akhir makalah ini dilampirkan teks dua dokumen resmi berkaitan dengan Komisi itu, yakni teks brosur Komisi serta kata sambutan Presiden Republik Indonesia.

2 Berthold Damshauser/Ramadhan K.H. (editor): Jakarta dan Berlin dalam Cermin Puisi, Pustaka Firdaus/Jakarta 2002.

Page 13: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

petunjuk Presiden Republik Indonesia, telah dibentuk sebuah komisi yang diwajibkan untuk

memperjuangkan penyebaran sastra Indonesia di Jerman? Bukankah dalam komisi itu

terdapat juga anggota dari pihak Indonesia, yakni lembaga kenegaraan seperti Deplu,

Depdiknas, Pusat Bahasa etc.? Bukankah “political will" Presiden Indonesia, yaitu Presiden

Soeharto, yang bersama Kanselir Jerman membentuk komisi bilateral itu , telah diperkuat

oleh Presiden Habibie melalui “kata sambutan" menjelang sidang komisi yang pada tahun

1998 dilaksankan di Kementeriaan Pendidikan dan Budaya.3

Sebagai dosen untuk bahasa dan sastra Indonesia, lebih lagi sebagai pecinta budaya

dan sastra Indonesia, saya teramat kecewa dengan kenyataan pahit itu. Dan, sebagai anggota

Komisi Indonesia-Jerman, yang merasa terpanggil untuk juga bertindak demi penyebaran

sastra Indonesia, saya merasa gagal total. Tadinya, saya berharap wakil Indonesia dalam

komisi itu akan bercontoh kepada mitra Jermannya, akan pula berjuang demi terwujudnya

sebuah proyek nyata, sebuah “Seri Puisi Indonesia" dalam bahasa Jerman misalnya.

Bukannya saya tidak berusaha, macam-macam proyek telah saya sarankan kepada

pihak/wakil Indonesia dalam komisi itu. Terakhir saya sarankan proyek antologi puisi

Indonesia mutakhir. Sejak beberapa tahun proyek itu telah juga saya bicarakan dengan pihak

Pusat Bahasa yang juga merupakan anggota komisi. Pembicaraan demikian selalu

menimbulkan harapan bahwa kelak akan ada hasil nyata. Tapi akhirnya dan entah kenapa

tidak juga ada rindakan. Padahal, naskah antologi puisi Indonesia mutakhir dalam terjemahan

Jerman sudah siap cetak. Dan tadinya sudah ada kesepakatan juga, bahwa bukunya perlu

diluncurkan di beberapa kota di Jerman, juga di Swis dan Austria negara-negara berbahasa

Jerman itu, dengan dihadiri oleh penyair-penyair Indonesia yang puisinya dimuatkan dalam

antologi ini. Telah pula ada ide bersama untuk menjadikan peluncuran itu suatu event, suatu

peristiwa yang istimewa. Penyairpenyair Indonesia akan diutuskan ke Jerman, Austria dan

Swis dalam rangka sebuah "delegasi aksara" yang sebelumnya tak pernah ada. Kali ini

Indonesia, yang sudah terbiasa mengutuskan wakil-wakil kesenian tradisional atau budaya

lisan, seperti penari atau pemusik gamelan, akan mengutuskan mereka yang sanggup

membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia juga memiliki budaya modern serta budaya

aksara. Yakni para seniman bahasa yang mencipta dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional

sebuah bangsa berbudaya tinggi yang telah sampai dalam kemodernan.

Tetapi, semua ini tetap impian belaka. Kapan diwujudkan? Wallahualam...

Penerjemah adalah Penyairnya Penyair:

3 Teks kata sambutan Presiden Habibie dilampirkan pada bagian akhir makalah ini.

Page 14: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

catatan singkat tentang penerjemahan karya susastra

Adalah Novalis (1772-1801), pujangga Jerman dari zaman romantik, yang betul-betul

menyadari peranan dan kewajiban penerjemah, ketika mengatakan: Penerjemah adalah

Penyairnya Penyair. Kalimat itu berarti, bahwa seorang penerjemah perlu bertindak sebagai

sastrawan atau seniman bahasa saat ia menerjemahkan karya susastra. Karena penerjemahan

karya susastra seharusnya merupakan penciptaan ulang dalam bahasa tujuan, tentu dengan

memperhatikan semantika ("makna") serta estetika (keindahan) teks asli. Hanya terjemahan

demikianlah yang akan berhasil dalam upaya memperkenalkan karya susastra ke publik yang

berbahasa berbeda.

Ini berarti, bahwa seorang penerjemah sastra, apalagi seoarang penerjemah puisi,

wajib berbakat sastra, wajib berkemampuan menulis teks sastrawi. Ini syarat pertama. Syarat

kedua yang tak penting: Ia wajib menguasai, benar-benar menguasai, bahasa dari teks yang

mau diterjemahkannya. Andai kurang menguasai bahasa itu--kesempurnaan dalam menguasai

bahasa asing memang jarang terjadi--ia wajib melibatkan penutur asli sebagai nara sumber.

Seorang teman saya yang penerjemah juga sastrawan, Wolfgang Kubin, pernah

mengatakan bahwa di antara para penerjemah susastra terdapat terlalu banyak "pembunuh

ganda". Yang ia maksudkan adalah mereka yang berani .menerjemahkan karya sastra, walau

kurang menguasai bahasa asal (dan tak juga melibatkan penutur asi) dan tidak menguasai

bahasanya sendiri. Mereka adalah pembunuh: Pembunuh bahasa asal dan bahasa tujuan.

Bahkan boleh ditambahkan: Mereka juga pembunuh sastrawan yang karyanya

diterjemahkan oleh mereka. Karena terjemahan tak bermutu bukan saja tidak akan bertahan

dan mungkin ditertawakan, tapi akan juga menghancurkan nama baik seorang sastrawan. Apa

bunuh diri juga terjadi? Ya, terjadi juga. Dan, sayang sekali, sering terjadi di Indonesia ini.

Paling sedikit secara tidak langsung. Yakni, ketika seorang sastrawan Indonesia rela karyanya

diterjemahkan, misalnya ke bahasa Inggeris, oleh orang-orang yang: 1) bukan penutur asli

bahasa Inggeris, dan 2) karena itu mustahil menghasilkan teks puitis seperti dapat diharapkan

dari seorang penyair atau seniman bahasa yang penutur asli bahasa Inggeris. (Mungkin ada

kekecualian, mungkin ada segelintir orang yang sanggup menghasilkan teks puitis dalam

bahasa yang bukan bahasa ibu, tapi itu terjadi sangat jarang.)

Mengingat semua itu, saya tidak akan berani menerjemahkan sendiri puisi Jerman ke

bahasa Indonesia, karena tahu keterbatasan saya dalam menyusun teks puitis dalam bahasa

Indonesia. Karena itu saya bekerja sama dengan penyair Indonesia. Dulu dengan Ramadhan

K.H., dan sejak beberapa tahun dengan sahabat saya Agus R. Sarjono. Sebagai tim, Agus dan

saya kiranya memenuhi syarat-syarat bagi penerjemah yang bertanggung jawab: Benar-benar

Page 15: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

memahami teks asal, lalu sanggup mencipta ulang dalam bahasa tujuan. Bersama-sama kami

merasa boleh berupaya menjadi "penyairnya penyair".

Semoga terjemahan karya susastra yang disampaikan kepada pembaca Indonesia,

termasuk para siswa yang akan dididik oleh calon guru yang ramai menghadiri seminar ini,

senantiasa bermutu dan sanggup memperkaya mereka yang membuka diri terhadapnya!

Page 16: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Lamp ir an 1:

Penyebarluasan Karya Sastra

Indonesia dan Jerman Melalui Terjemahan

Serta Usaha Memajukan Bidang Perkamusan

Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra

Dalam rangka kunjungan kenegaraan Kanselir Helmut Kohl di Indonesia pada tahun 1996

Presiden Soeharto dan Kanselir Jerman telah mencapai kesepakatan untuk membentuk

sebuah "Komisi Bersama untuk Bidang Bahasa dan Sastra". Mengenai kesepakatan ini

Kanselir Kohl, dalam pidatonya pada jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh

Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1996, menyatakan sebagai berikut:

"Kami [Presiden Soeharto dan Kanselir Kohl] akan membentuk sebuah Komisi Bersama,

yang bertugas untuk menyebarkan dan memperluas pengetahuan kita mengenai kesusastraan

dan bahasa masing-masing. Secara kongkret hal itu berarti, bahwa kita bersama-sama akan

berusaha untuk lebih memperkenalkan karya susastra Indonesia dan Jerman, yaitu dengan

cara saling menerjemahkan karya-karya sastra kedua negara. Dan dalam rangka itu kita

juga perlu berusaha agar disusun kamus-kamus Indonesia-Jerman dan Jerman-Indonesia

yang modern dan lengkap. Sayakira benar-benar sudah waktunya untuk mengerjakannya."

Pada tanggal 25 September 1997 di Jakarta telah dibentuk "Komisi Indonesia- Jerman untuk

meningkatkan pengetahuan masing-masing dalam bidangsastra dan bahasa kedua negara"

(secara singkat : Komisi Bersama untuk Bidang Bahasa dan Sastra). Anggota pendirinya

adalah Departemen Kebudayaan dan Pendidikan RI, Departemen Luar Negeri RI,

Kementerian Luar Negeri RFJ, Kedutaan BesarRIdi Bonn, Kedutaan Besar RFJ di Jakarta,

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta, Goethe-Institut Jakarta serta ahli

ahli Indonesia dan Jerman dari kalangan akademis dan sastra.

Kesepakatan itu juga dilatarbelakangi pengertian bahwa leksikografi yang maju serta

pengetahuan timbal balik tentang sastra-sastra nasional akan menyumbangkan kontribusi

yang sangat berarti

- bagi peningkatan hubungan bilateral dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan,

yang dalam kerangkanya pengetahuan tentang masing-masing bahasa dan sastra merupakan

faktor yang sangat penting

Page 17: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

- bagi pengembangan prasarana komunikasi bahasa yang optimal dalam semua bidang (ilmu

pengetahuan, ekonomi, hukum, teknologi All.), yaitu melalui penyusunan kamus-kamus

kosakata umum yang lengkap serta kamus-kamus istilah sebagai prasyarat untuk proses

penerjemahan teks-teks ilmiah.

- untuk mendukung saling pengertian kedua belah pihak dalam bidang kebudayaan dan

pandangan hidup, yaitu melalui penerjemahan karya-karya susastra dan filsafat yang agung.

Dalam mewujudkan tujuannya, Komisi mengharapkan keikutsertaan para leksikograf dan

penerjemah karya sastra. Komisi akan mendukung proyekproyek yang bermanfaat di bidang

leksikografi dan penerjemahan sastra dengan merekomendasikannya kepada lembaga

lembaga donatur yang ada. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan tujuan Komisi,

Pemerintah Republik Federal Jerman mensponsori pencetakan Kamus Indonesia-]erman

susunan Adolf Heuken, yang akan segera terbit.

Karena keterbatasan dana lembaga-lembaga donatur tersebut -dipihak Jerman terdapat

Inter Nationes dan "Gesellschaft zur Forderung der Literatur Asiens, Afrikas und

Lateinamerikas" (Lembaga untuk Memajukan Sastra Asia, Afrika dan Amerika Latin) -,

Komisi merencanakan juga pembentukan fonds sendiri untuk mendukung pelaksanaan

proyek-proyek (seperti misalnya penyusunan "bank data leksikografis" bahasa Indonesia

Jerman yang akan dapat diakses melalui internet). Fonds demikian memang baru akan

berhasil dibentuk, bila ada bantuan yang cukup besar dari para sponsor Indonesia dan

Jerman. Selain menyumbang pada fonds demikian, para sponsor berkesempatan juga untuk

mendukung proyek-proyek kongkret, misalnya publikasi hasil terjemahan sebuah karya

susastra Indonesia atau Jerman.

Sponsor yang berminat diharapkan menghubungi:

1) Bagian Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta

2) Bagian Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn.

Permohonan untuk memperoleh bantuan dalam rangka mengerjakan proyek leksikografi

atau penerjemahan dapat juga disampaikan kepada kedua lembaga tersebut.

(Sumber: Brosur dwibasa yang dicetak oleh Kementeriaan Luar Negeri Republik Federal

Jerman)

Page 18: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Lampiran 2:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KATA SAMBUTAN

Peningkatan hubungan kerjasama dalam bidang kebudayaan antara Pemerintah

Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman mencapai tonggak sejarah baru

dengan dihasilkannya kesepakalan bersama untuk pendirian "Komisi Indonesia-Jerman

dalam bidang Bahasa dan Sastra" pada saat kunjungan Kanselir Helmut Kohl ke Indonesia

pada bulan Oktober 1996.

Saya gembira mendengar bahwa tujuan perabentukan komisi bersama adalah untuk

menyebarkan dan memperluas pengotahuan kedua bangsa mengenai kesusastraandan bahasa

masing-masing. Bangsa Indonesia dan Jerman akan saling memperkenalkan karya-karya

sastranya dengan menerjernahkan dan menyebarluaskan kepada masyarakat kedua negara.

Dalam kerangka itu pula, kornisi bersama dapat mengusahakan penyusnnan kamus

Indonesia- Jerman dan kamus Jerman-Indonesia yangmutakhir dan lengkap.

Saya percaya pembentukan komisi bersama ini dapat memajukan leksikografi

Indonesia dan Jerman serta penerjemahan timbal balik dalam bidang sastra. Kemajuan

leksikografl dan pengetanuan timbal balik tentang sastra, merupakan sumbangan yang sangat

berarti bagi peningkatan hubungan antara Jerman dan Indonesia, seperti: peningkatan

hubungan dalarn bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, pengembangan persyaratan

komunikasi bahasa dalam segala disiplin ilmu, memajukan pengajaran Bahasa Jerman di

Indonesia dan pengajaran Bahasa Indonesia di Jerman, serta mendukung terjalinnya saling

pengertian di antara kedua bangsa di bidang kebudayaan dalam arti luas. Dengan demikian,

pendirian "Komisi Indonesia-Jerman dalam bidang Bahasa dan Sastra" ini diharapkan akan

lebih meningkatkan jumlah pelajar dan mahasiswa yang akan menempuh studi di kedua

negara.

Saya berharap Sidang ke-2 Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra ini

dapat menghasilkan sualu bentuk nyata bagi upaya peningkatan hubungan kedua bangsa dan

negara kita dalam bidang kebudayaan.

Kepada semua peserta sidang, saya ucapkan selamat bertugas. Semoga

berhasil dan sukses.

Jakarta, 24 Agustus 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

B. J. H A B I B I E

Page 19: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Tentang Pemakalah:

Berthold Damshauser lahir 1957 di Wanne-Eickel. Sejak 1986 mengajar bahasa dan sastra

Indonesia di Institut fur Orient- und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di

Universitas Bonn. Pemimpin redaksi “Orientierungen", sebuah jurnal tentang kebudayaan-

kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke

bahasa Jerman. Penyunting antologi puisi Indonesia dan Jerman. Bersama Agus R. Sarjono

menjadi editor "Seri Puisi Jerman". Salah seorang pendiri Komisi Jerman-Indonesia untuk

Bahasa dan Sastra. Daftar publikasinya terakses di: www.uni-bonn.de/~uso008/

Publikationen/publik_

Page 20: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

JEJAK BUDAYA KORUPSI

DALAM TOGOG MENGGUGAT

KARYADJOKO B.

Resti Nurfaidah

Balai Bahasa Bandung

Pendahuluan

Togog Menggugat merupakan sebuah mahakarya yang berasal dari kebiasaan penulis

untuk selalu membuat joke di sela-sela kegiatan kesehariannya (TM, 2008:5). Namun penulis

bukan merupakan pelawak kacangan yang mengumbar humor murahan. Dalam buku ini,

humor penulis dibentuk sedemikian rupa menjadi humor kelas atas dengan kutipan beberapa

cerita atau kata-kata bijak para filsuf dan tokoh ternama.

Tema humor dalam buku ini adalah budaya korupsi yang telah marak ditemukan

dalam kehidupan masyarakat bumi pertiwi ini. Slogan- slogan antikorupsi kerap

dikumandangkan dan dibombardirkan ke tengah masyarakat. Namun, para penggemar

korupsi jumlahnya semakin meningkat tajam. Meskipun demikian, mereka tampak seperti

kelompok rayap yang kerapkali tidak tertangkap dalam lensa mata, tetapi tiba-tiba mampu

menghancurkan sebuah bangunan. Cara-cara korupsi itu pun kini semakin canggih dengan

melibatkan kaum hawa, teknologi, atau asset-aset fiktif. Korupsi telah menjadi buah

simalakama karena jika tidak dilakukan seseorang akan disingkirkan, tetapi jika dilakukan

akan menuai badai dalam kehidupannya.

Gambaran tentang korupsi dan berbagai hal yang bergulat dalam dunia korupsi dan

para koruptor tergambar jelas dalam bentuk rangkaian dialog antara dalang dan para

punakawan, serta antar tokoh pewayangan lainnya. Buku ini juga mengusung beberapa

nasihat yang tidak menggurui karena disajikan dengan rangkaian dialog yang cukup ringan

sehingga dapat dipahami oleh berbagai kalangan yang memiliki minat baca tinggi, terutama

para koruptor sendiri.

Tokoh Togog disampaikan dalam cerita ini sebagai pengusung utama dialog selain Ki

Dalang sendiri. Dalam sebuah sumber (wikipedia) Togog yang aslinya merupakan putra dewa

dengan nama Bathara Antaga mengikuti sayembara pemilihan penguasa kahyangan. Salah

Page 21: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

satu syarat untuk menjadi penguasa adalah kemampuan untuk menelan sebuah gunung.

Namun, gunung itu tidak mampu ditelannya dan hanya tersangkut di mulutnya. Akibatnya

mulutnya tampak melebar. Bentuk mulut demikian menggambarkan ketamakan Togog.

Namun, Togog bertobat dan bersama Batara Ismaya (Semar), Togog akhirnya diutus turun ke

marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati

kehidupan dan kebajikan pada manusia. Semar pada akhirnya dipilih sebagai pamong untuk

para ksatria berwatak baik (pandawa)dan togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria

dengan watak buruk (kurawa).

Nurwahid (dalam Djoko B., 2008:20) menyatakan bahwa buku ini dibaca dan

disebarluaskan sebagai usaha pencerahan kepada masyarakat, agar semua kalangan dari

tingkat apapun serta golongan manapun dapat peduli serta ikut serta mendukung usaha

pemberantasan korupsi di negeri ini, agar semua mengerti dan memahami, dan yang lebih

penting lagi tidak ikut-ikutan korupsi.

Sementara itu, Indrayana (dalam Djoko B., 2008:25) menyatakan bahwa kemudahan

dalam memahami isi buku ini adalah dengan ditampilkannya tokoh pewayangan. Wayang

adalah sastra tradisi dalam kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Melalui media wayang ini,

para leluhur menyampaikan ajaran-ajaran, pesan-pesan moral, nilai-nilai leluhur yang patut

diteladani dan diamalkannya.

Korupsi bukan merupakan perkara yang mudah. Pemerintah dengan berbagai upaya

melakukan pemberantasan korupsi ke tengah masyarakat. Terlebih, berupaya membersihkan

kasus serupa dalam tubuhnya sendiri. Namun, upaya itu terasa hambar karena kasus

korupsi terus bermunculan. Indrayana dalam sumber yang sama (dalam Djoko B., 2008:26)

menyatakan bahwa sebenarnya banyak jalan menuju Roma untuk pemberantasan korupsi itu,

salah satu di antaranya seperti yang dilakukan penulis dalam buku Togog Menggugat itu.

Jejak Budaya Korupsi dalam Togog Menggugat Karya Djoko B: Sebuah Resensi

Budaya

Togog Menggugat menyampaikan korupsi secara paripurna diawali dengan

penyampaian definisi korupsi dan koruptor, jenis korupsi, kata-kata bijak, kisah teladan,

peran ibu, dan si kancil.

Definisi Korupsi, Jenis Korupsi, dan Definisi Koruptor

Dalam episode pertama, disampaikan definisi dan jenis-jenis korupsi oleh, ironisnya,

para kurawa. Dursasana (dalam Djoko B., 2008:33) menyatakan bahwa makna harfiah

Page 22: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

korupsi adalah keinginan untuk menguasai barang yang bukan miliknya secara paksa, baik

secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sementara itu, korupsi terdiri

atas beberapa jenis sebagai berikut.

1. Korup transaksional, yaitu korup yang timbul karena ada pemberi dan penerima di

mana kedua-duanya ingin mendapatkan keuntungan dan sama-sama aktif

mengupayakan hal itu.

2. Korup mirip preman, yaitu korup yang sifatnya memeras. Pihak yang diperas harus

memberikan penyuapan guna menghindari hambatan atau halangan atas usaha atau

karirnya.

3. Korup bersifat otogenik, yaitu korup yang melibatkan yang bersangkutan sendiri,

misalnya manajer yang mendukung peraturan karena hal itu akan memberikan

keuntungan baginya.

4. Korup bersifat defensif, yaitu korup yang timbul ketika ada yang menawarkan uang

suap untuk membela kepentingannya.

5. Korup bersifat investasi, yaitu korup berupa imbalan barang atau jasa pelayanan yang

diberikan sebaik-baiknya kepada pihak tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan

imbalan proyek atau imbalan karir atas pelayanan itu.

6. Korup bersifat nepotisme, yaitu korup yang diawali dengan penunjukkan kerabatnya

untuk menduduki suatu jabatan atau kerabatnya mendapatkan perlakuan khusus

sehingga menjadi ATM (Anjungan Tunai Mandiri) pihak tertentu.

7. Korup bersifat suportif, yaitu korup yang muncul akibat sikap masa bodoh dari

masyarakat sehingga memungkinkan untuk memperluas peluang terjadinya korup itu.

Orang yang melakukan tindakan korupsi disebut orang korup atau koruptor.

Koruptor adalah orang yang tamak, orang yang serakah, orang yang cintanya akan harta dan

kekayaannya sangat berlebihan, orang yang mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan

menjaditujuan utama hidupnya, orang yang dengan mudah menjadi keras hati, dan buta

terhadap kebutuhan orang-orang yang kurang beruntung (TM,2008:94). Koruptor berasal dari

benih-benih ketidakseimbangan antara kepentingan pribadi, kehendak, keinginan. Akibatnya,

ia akan melakukan kebohongan demi kebohongan untuk menggapai kehendak, keinginan,

dan ambisi pribadinya itu. Terkadang koruptor menunjukkan sikap yang benar kepada

khalayak. Padahal, apa yang ia lakukan semata hanya kebohongan publik. Kebohongan demi

kebohongan selalu diperbuat koruptor silih berganti untuk mengganti kebohongan yang lalu

(TM,2008:40).

Page 23: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Kata-kata Bijak

Buku ini juga menyajikan beberapa kata bijak yang berkaitan dengan memaknai hidup dan

korupsi itu sendiri, di antaranya sebagai berikut.

1. Viktor Emil Frankel: 'Manusia harus mempunyai makna hidup, tanpa makna hidup,

manusia akan kehilangan hidup itu sendiri' (TM,2008:45),

2. Imam Al-Ghazali: 'Cahaya atau nur dari hati itu akan tampak, jika hati itu selalu

dibersihkan dan disucikan dari sifat-sifat tercela’ (TM,2008:53).

3. Jacques Lacan: 'Kita tidakbisa bercermin diri, maka bahasalah yang akan senantiasa

menggantikan atau mengikutinya' (TM,2008:54).

4. Martin Heidegger: 'Berkata dan berbicara itu tidaklah sama, seseorang bisa saja

bicara banyak, tetapi sebetulnya tidak mengatakan sesuatu apa pun, seseorang yang

diam saja, tanpa bicara, akan mengatakan banyak hal' (TM,2008:61).

5. Dante Alighieri: 'Tempat yang paling jahanam dalam proses pembusukan di segala

bidang adalah mereka yang pada masa krisis moral yang hebat tetap berskap netral'

(TM,2008:79).

6. Kartini: 'Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan

segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala asyik yang ada padanya,

itulah ibu. Lebih tinggi ibu yang jadi ibu karena hati sanubarinya, daripada ibu yang

menjadi ibu hanya karena badannya' (TM,2008:85).

7. Pablo Picasso: 'Lukisan sekali-sekali tidaklah sekadar untuk menghiasi apartemen-

apartemen, tetapi itu adalah alat untuk menyerang dan sekaligus pertahanan melawan

musuh' (TM,2008:126).

8. Muhammad Baqir: 'Tidak ada suatu masa kapan pun yang sama sekali bersih dari

dosa dan noda yang mencemari hidup manusia. Karena itu tidak dibenarkan adanya

sikap yang menganggap seolah-olah sekarang ini Zaman Edan dan bahwa tidak ada

jalan lain kecuali mengikuti arus agar lebih aman dan berhasil (TM,2008:197).

9. Samuel (pemimpin bangsa Ibrani); 'Di sinilah aku di hadapan kesaksian Tuhan, di saat

aku jadi pemimpinmu, lembu dan keledai siapa telah aku ambil? Siapa yang telah aku

peras? Dari tangan siapa telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku

akan mengembalikan kepadamu!' (TM,2008:199).

10. Mahatma Gandhi: 'Bumi itu cukup persediaannya untuk memenuhi kebutuhan kita,

tetapi tidak akan cukup memenuhi keserakahan kita!' (TM,2008:204).

Page 24: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

11. John F. Kennedy: 'Ketika kekuasaan telah menyeret manusia ke arah arogansi, puisi

telah mengingatkan bahwa manusia punya keterbatasan. Ketika kekuasaan

mendangkalkan area kepedulian, puisi mengingatkan bahwa eksistensi manusia itu

kaya dan punya banyak ragam. Ketika kekuasaan itu menyimpang, puisi

membersihkannya!'.

Kisah teladan

Gambaran tentang korupsi disampaikan penulis melalui beberapa kisah teladan

berikut, baik yang berasal dari khazanah sastra Indonesia maupun sastra dunia. Kisah-kisah

teladan yang terdapat dalam Togog Menggugat adalah sebagai berikut.

1) Karang Taruna dan 17 Agustusan

Bukan hal yang aneh jika Karang Taruna di berbagai tempat di kawasan bumi pertiwi

ini mau bersusah payah memeriahkan peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal

17 Agustus. Berbagai upaya dilakukan mereka untuk memeriahkan hari bersejarah itu.

Penggalangan dana, penyusunan rencana kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan

pembahasannya. Semua dilakukan tanpa pamrih dan tidak sedikit pun mengambil keuntungan

dari dana tersebut demi memeriahkan hari kemerdekaan, menggalang persatuan dan kesatuan,

dan mempererat hubungan sosial antarwarga. Upaya mereka pada umumnya didukung oleh

warga setempat, bahkan tidak jarang warga atau karang taruna itu bersedia mengeluarkan isi

kocek mereka untuk menutupi kekurangan dana agustusan itu (TM, 2008:45—46).

Dari kisah karang taruna tadi, dapat kita simpulkan bahwa hidup itu harus dijalankan

dengan terlebih dahulu menentukan makna dalam kehidupan. Makna kehidupan akan muncul

dengan sendirinya ketika kita sadar akan tanggung jawab, ketika kita tidak memiliki

keserakahan, ketika kita memandang serius manusia adalah saudara dan hamba Allah, dan

ketika kita sadar bahwa kita hidup itu untuk ibadah (TM, 2008: 46).

2) Kisah Dua Pemahat

Pada zaman dahulu kala, dua orang pemahat ternama dipanggil ke kerajaan untuk

meredam persaingan tidak sehat di antara keduanya. Mereka diperintahkan untuk mengikuti

lomba pahat di kerajaan itu. Di dalam kerajaan itu terdapat sebuah bangunan yang dua

dindingnya terbuat dari batu mulia. Untuk menghindari perseteruan di aritara mereka di

antara dua dinding itu dibentangkan sebuah tirai besar. Pada hari H, kain itu dibuka. Hasil

pahatan kedua pemahat itu sama bagusnya. Namun, pemahat I menilai bahwa karya pemahat

Page 25: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

II lebih bagus. Ia minta perpanjangan waktu. Tirai pun dipasang kembali. Pada hari H , tirai

itu dibuka. Seperti hari pertama, pemahat I merasa tidak puas dengan hasil karyanya. Ia

menaruh rasa iri kepada pemahat II . Hal itu terus berulang sampai berbulan-bulan lamanya.

Batas waktu pun tiba. Tirai dibuka. Pemahat I merasa bahwa hasil karya pemahat II masih

jauh lebih bagus -daripadanya. Pemahat I selalu mencurahkan tenaganya sepenuh jiwa untuk

mengubah hasil pahatannya, sementara pemahat II hanya menghaluskan hasil pahatan

pertamanya sehingga karyanya tampak lebih kemilau.

Dari kisah dua pemahat itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemahat I

mencerminkan manusia yang terlalu mencintai dunia. Ia tidak pernah merasa puas dengan

apa yang telah diraihnya serta senantiasa menaruh iri kepada orang lain. Pemahat II

merupakan gambaran orang bijak, yaitu orang yang selalu berhasil menghaluskan hatinya

bagai cermin. Orang seperti inilah yang bisa merasakan kebahagiaan melebihi orang-orang

terkaya manapun (TM, 2008:49—52).

3) Kisah Harun Al-Rasyid

Kisah tentang Harun Al-Rasyid, seorang khalifah dan Raja Dinasti Abbasiyah (Irak)

dalam buku ini terdiri dari dua kisah, yaitu kisah tentang dialog sang raja dengan Syaqiq

Al_Bakhli (seorang sufi terkemuka) dan kisah raja dengan Fudhail bin Iyad.

a) Kisah Harun Al-Rasyid dan Syaqiq Al Bakhli

Pada suatu hari sang raja mendatangi Syaqiq Al-Bakhli, seorang sufi ternama di Irak

untuk meminta nasihat beliau tentang tanggung jawab seorang pemimpin. Sufi itu bertanya

kepada sang raja bahwa jika ia sedang berada di sebuah padang tandus yang maha luas. Di

tengah perjalanan ia merasa kehausan. Pada saat itu, datang seorang pengembara yang

membawa botol air minum. Namun, pengembara itu memberikan syarat jatah setengah

kerajaan sang raja sebagai penebus botol air minum itu. Sufi itu bertanya apa yang akan

dilakukan sang raja jika berada dalam kondisi demikian? Raja berkata bahwa ia dengan

sukarela akan memberikan setengah kerajaannya. Kemudian, sufi itu bertanya kembali, jika

sang raja telah segar kembali dan meneruskan perjalanan, tentu pada suatu saat ia akan buang

air kecil. Namun, ia tidak dapat melakukan hal itu di padang tandus tadi. Tentu saja, hal itu

berbuah derita sehingga ia harus menemui seorang tabib. Namun, tabib itu mengajukan syarat

yang sama seperti yang diajukan sang pengembara. Raja menjawab jika ia berada dalam

kondisi seperti itu, ia akan memberikan setengah kerajaan itu kepada tabib demi menebus

kesembuhan dirinya. Sufi pun tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sang raja. Ia

Page 26: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

berkata bahwa nilai kerajaan itu sangat rendah, yaitu setara sebotol air minum dan segelas air

kencing. Mendengar hal itu sang raja menangis tersedu-sedu.

Dari kisah sang raja Irak itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa menjadi seorang

pemimpin itu sangat berat. Risikonya sangat tinggi. Harun AI-Rasyid mengetahui bahwa

siksaan bagi seorang pemimpin yang hanya mengejar tahta dan fasilitas jabatan, lupa

terhadap tugas dan tanggung jawab kepada rakyatnya, tidak adil, dan tidak jujur sangat berat.

Banyak pemimpin yang alpa bahwa kepemimpinan itu merupakan sebuah amanah dan kerja

yang penuh tanggung jawab lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (TM, 2008:57—

62).

b) Kisah Harun Al-Rasyid dan Fudhail bin Iyad

Kisah ini bercerita tentang Harun Al-Rasyid yang berkunjung kepada Fudhail bin

Iyad, salah seorang sufi terkenal. Sang raja meminta nasihat karena ia mulai merasa jenuh

dengan segala kemewahan dan tahta yang ada dalam genggamannya. Fudhail memberikan

nasehat kepada raja yang tersiksa itu. Ia menyarankan bahwa sang raja dapat melepaskan

siksaan batin itu dengan cara-cara sebagai berikut, yaitu memandang orang lanjut usia

sebagai orang tua sendiri, menganggap kaum muda sebagai saudara dan anak sendiri,

mengunjungi kedua orang tua, menghormati saudara, dan menjadi ayah yang baik,

menunjukkan rasa takut kepada Allah, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,

menjaga diri untuk selalu bersikap hatihati dan bijaksana, serta bersikap peduli terhadap

orang yang membutuhkan. Kemudian, sang raja berkata apakah sufi itu memiliki utang. Sang

sufi pun menjawab ya. Raja menawarkan berpundi-pundi uang kepadanya. Namun, sufi itu

berkata bahwa ia berutang banyak kepada Allah, bukan utang kepada sesama manusia, yang

ia khawatir tidak akan dapat memenuhi jika Allah suatu saat menagih kepadanya. Sang raja

merasa malu kepada sufi sederhana itu (TM, 2008:164—166).

Kisah raja itu dapat kita simpulkan sebagai berikut. Fudhail merupakan gambaran

penasihat kerajaan yang bertindak jujur dan senantiasa menyampaikan kebenaran kepada

rajanya. Berbeda dengan para penasihat pemimpin sekarang ini. Sebelum ditarik ke kerajaan

atau istana kepresidenan, calon penasihat ini dikenal sebagai orang yang vokal dan senantiasa

menyuarakan kebenaran. Namun, ketika ditarik sebagai kepercayaan orang nomor satu di

satu negara, ia seolah bungkam dan lebih mendukung tindakan dan kehendak pemimpinnya

daripada mengarahkan sang pemimpin ke jalan yang benar. Jika sang pemimpin tersangkut

sebuah perkara, para penasihat akan membela mati-matian atasannya itu dengan mengumbar

dalil-dalil yang cenderung menguntungkan sang pemimpin dan kedudukan mereka sendiri.

Page 27: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Dengan kata lain, mereka cenderung menjadi seorang penjilat yang haus harta dan haus

kedudukan. Zaman sekarang, gambaran sikap penjilat bukan hanya terjadi pada para

penasihat pejabat saja, melainkan pula telah merambah ke berbagai bidang kelimuan

lainnya.

3) Kisah Istri Bos Perusahaan Lilin Negara

Seorang istri bos mulai bercerita dalam sebuah arisan pertemuan ibu-ibu Perusahaan

Lilin Negara yang suasananya kaku. Namun, lama-kelamaan para istri pegawai PLN itu

mulai tertarik dengan cerita istri bos itu. Terlebih cerita yang disampaikan itu berbau humor

seksual. Sejak saat itu, istri si bos selalu ditunggu kehadirannya pada setiap pertemuan.

Dengan demikian, istri bos tersebut dapat dengan mudah menyampaikan ide-ide, gagasan,

atau kehendaknya (TM, 2008:63-67).

Dari cerita istri bos tadi dapat kita simpulkan bahwa humor cukup memegang peranan

penting dalam kehidupan manusia karena humor itu dapat memecahkan kebekuan,

menghilangkan ketegangan, dapat dijadikan sebagai sarana menjual dan menghasilkan, serta

menyembuhkan segala penyakit fisik dan penyakit hati (TM, 2008:68). Para koruptor itu juga

mengetahui bahwa humor itu sangat penting dalam kehidupannya. Mereka rela membeli

humor dengan uang hasil korupnya. Mereka menginginkan berumur panjang, tetapi sayang

jiwanya sangat kering. Humor yang mereka beli tidak dapat dijadikan sebagai sarana untuk

sadar diri dan mengembangbiakkan toleransinya untuk ingat sesama agar tak korupsi lagi.

5) Kisah Si Ujang dan Juragan Asep

Pada suatu hari Si Ujang mendengar bahwa Juragan Asep akan mengobral tanahnya

dengan harga murah. Ketika ia mendatanginya, juragan itu hanya meminta upah sewa tanah

seribu per hari. Namun, Si Ujang harus menerima syaratnya, yaitu bersedia berkeliling ke

seluruh tanah untuk menentukan luas yang akan disewanya selama sehari penuh. Sebuah

tongkat ditancapkan sebagai tanda batas awal dan akhir. Si Ujang tanpa perhitungan berlari

dengan cepat mengelilingi tanah juragan. Rupanya tanah itu sangat luas sehingga ia

kelelahan. Namun, dengan sekuat tenaga ia berusaha melawan kelelahan yang sudah-

menderanya hingga akhirnya tepat ketika matahari terbenam, Si Ujang berhasil meraih

tongkat itu meskipun harus kehilangan nyawanya.

Dari kisah tersebut dapat kita buat satu simpulan bahwa Si Ujang merupakan

gambaran anak muda yang merasa angkuh dengan segala kkelebihannya serta terlalu

mencintai dunia. Si Ujang tidak mampu memperhitungkan diri dengan cermat sebelum

mencapai start. Ia memforsir seluruh tenaganya sejak awal pertandingan sehingga staminanya

Page 28: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

mengalami kelelahan di tengah perjalanan. Ia tidak dapat memutuskan untuk melakukan

sesuatu yang berguna dalam kondisi lemah. Ia terlalu memaksakan diri hingga akhirnya

menemui ajalnya tepat di garis akhir (TM, 2008:98-105).

6) Kisah Orang Dermawan

Pada suatu hari seorang tuan tanah, yang terkenal kedermawanannya sangat tinggi itu,

yang memiliki banyak kebun mengajak tamunya untuk melihat kebun mangga miliknya. Ia

memerintahkan seorang pegawai penjaga kebun kepercayaannya untuk memilihkan mangga

yang akan dihidangkan kepada tamunya. Namun, sang tuan merasa kecewa karena mangga

hasil kebunnya itu semua masam. Ia bertanya kepada pegawainya mengapa ia tidak dapat

membedakan mana mangga yang manis dan yang masam. Namun, tuan tanah itu akhirnya

merasa malu ketika mendengar jawabannya. Rupanya selama 15 tahun masa baktinya kepada

tuan tanah itu tidak pernah sedikit pun tangan dan lidahnya menjamah buah mangga di kebun

itu. Pegawai tersebut menyadari bahwa buah itu bukanlah miliknya sehingga tidak patut

dijamahnya (TM, 2008:106-108).

Dari kisah tuan tanah yang dermawan tadi dapat kita simpulkan bahwa seseorang

harus dapat melihat mana yang hitam dan yang putih, mana yang baik dan mana yang buruk,

mana yang halal dan mana yang haram, termasuk yang abu-abu atau belum jelas kepastian

hukumnya. Para koruptor justru merupakan orang-orang yang tidak mampu melihat kedua hal

yang kontradiksi itu hingga akhirnya tergelincir ke jurang kesesatan.

7) Kisah Profesor dan Penolongnya

Pada suatu hari seorang profesor berjalan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan

ia terperosok ke dalam sebuah sumur. Teriakan sang profesor di dengar oleh seseorang yang

bersedia menolongnya. Namun, ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan sang

penolong, profesor itu menegurnya dan mengatakan bahwa tata bahasanya sangat buruk dan

harus diperbaiki. Dengan perasaan tidak enak, sang penolong pun akhirnya membatalkan

pertolongannya dan mengatakan bahwa jika ingin diselamatkan oleh dirinya, sang profesor

harus menunggu selama rentang waktu satu dasawarsa karena ia membutuhkan waktu

sebanyak itu untuk belajar memperbaiki tata bahasanya (TM, 2008:121-122).

Dari kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa profesor tadi memanfaatkan

kelemahan si penolong agar dirinya tampak hebat. Sementara itu sang penolong yang egonya

memuncak karena teguran tadi merasa jengkel karena terusik kelemahannya. Profesor tadi

ingin menunjukkan kepiawaiannya sementara si penolong ingin dihargai sebagai seorang

pahlawan. Makna lebih dalam yang dapat kita petik dari kisah tersebut adalah kesadaran akan

Page 29: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

keberagaman. Dunia ini terdiri atas berbagai keragaman. Tentu saja, semua itu merupakan

karunia Illahi yang patut disyukuri dan dihargai makhluknya. Setiap hal yang ada di dunia ini

memiliki kelemahan dan kelebihannya. Kewajiban yang patut kita lakukan adalah memahami

keragaman berikut segala kelemahan dan kelebihannya itu.

Toleransi tinggi digambarkan penulis pada kehidupan rayap. Serangga kecil itu

bentuknya sangat kecil, tetapi memiliki kebersamaan yang sangat solid. Kerja sama rayap

sangat bagus, tetapi hanya dapat dilakukan di tempat gelap. Rayap tidak tahan dengan terpaan

sinar matahari. Cara kerja rayap itu merupakan cerminan cara kerja para koruptor yang hanya

mau berkubang di tempat yang gelap saja karena ia tidak mungkin memamerkan

kepiawaiannya itu di tempat yang sangat terbuka. Koruptor itu seperti rayap, senang

memakan tiang-tiang penting dalam sebuah bangunan. Koruptor juga demikian, memakan

tiang-tiang bangunan sebuah negara hingga negara itu hancur Iuluh.

8) Kisah Raja Telanjang

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang terkenal sangat gemar berbelanja baju

mewah dan memamerkan di depan rakyatnya. Tidak ada jalan lain bagi rakyat kerajaan itu

selain memuji busana sang raja. Pada suatu hari dua orang penipu yang mengaku sebagai

perancang busana datang menghadapnya. Mereka menyatakan bahwa rancangan busana

untuk sang raja terbuat dari bahan-bahan yang tidak biasa jenisnya dan sangat mahal

harganya. Namun, baju itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang pintar atau para petinggi

negeri itu. Sementara itu, orang-orang yang bodoh tidak akan dapat melihat

busana itu. Raja percaya dengan ucapan kedua penipu itu. Dikenakannya busana tak terlihat

mata telanjang itu dan ia berjalan di depan rakyatnya memamerkan keindahan karya sang

penipu itu. Namun, di tengah perjalanan, seorang anak kecil melontarkan komentar yang

sangat menyinggung perasaan sang raja. Anak itu menertawakan sang raja karena pemimpin

itu tidak malu memamerkan tubuhnya yang telanjang di hadapan rakyatnya. Raja akhirnya

merasa malu.

Dari kisah tadi dapat kita simpulkan bahwa kebenaran atau kejujuran dapat

memporakporandakan kebohongan dan kepalsuan. Raja menggambarkan seseorang yang

memiliki talenta megalomania, yaitu orang yang menganggap bahwa dirinya sendiri yang

lebih mulia daripada orang lain serta menganggap rendah orang lain. Selain itu, raja

menganggap bahwa rakyat jelata dapat dipermainkan dengan sesuka hati. Koruptor juga

demikian. Perilakunya dalam menggeruk harta haramnya itu tentu merupakan penipuan dan

dusta yang mengorbankan kepentingan orang lain. Dengan kata lain, korupsi bisa memecah

Page 30: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

belah persatuan, menimbulkan keadaan yang tidak stabil, membuat orang menjadi tidak peka,

menyeret seseorang ke arah yang salah, mendukung pemimpin yang salah, melunturkan

legitimasi pemimpin, dan memberikan teladan yang salah kepada generasi yang akan datang

(TM, 2008:131-134).

9) Kisah Petani Lencho dan Pegawai Pos

Seorang petani yang merasa kecewa karena lahan ladangnya musnah diterpa badai.

Petani itu bernama Lencho. Lencho lalu menulis surat kepada Tuhan dan mengirimkan surat

yang berisi permohonan permintaan uang itu ke kantor pos. Surat itu sangat menyita

perhatian para pegawai pos. Mereka membuka surat itu. Hati mereka tersentuh setelah

membaca surat itu. Pemimpin kantor pos lalu memutuskan untuk menggalang dana bagi

Lencho. Dana yang terkumpul berjumlah 70 peso dari 100 peso yang diinginkan oleh

Lencho. Lencho merasa kecewa ketika balasan darituhan yang berisi uang sisihan para

pegawai pos itu dibukanya. Ia mengirimkan surat kedua yang berisi permohonan kepada

Tuhan untuk memberikan sisa kekurangan dana yang ia butuhkan.

Kisah Lencho tadi menggambarkan krisis kepercayaan para petani, rakyat kecil,

terhadap orang-orang disekitarnya. Namun, kita masih dapat melihat sisi baik dari cerita itu,

yaitu ketika para pegawai pos, yang juga dilanda krisis yang sama, juga terketuk hatinya dan

masih sempat menyisihkan sedikit bagian dari gaji mereka yang tidak seberapa untuk

menolong orang lain. Para koruptor tidak dapat menaruh kepercayaan kepada lingkungan

sekitar, bahkan Tuhan, demi meraup tumpukan harta haramnya itu.

10) Kisah Sebuah Keluarga

Sepasang orang tua mendapat pertanyaan dari sang anak tentang segala kelebihan

yang dimiliki oleh dirinya. Ia belum merasa yakin apakah dirinya lebih kuat daripada ibu atau

ayahnya. Namun, pada akhir dialog, sang ayah mengatakan bahwa ia Iebih kuat daripada

kedua orangtuanya karena ia merupakan buah cinta ayah-ibunya. Sang anak bertanya lagi

tentang makna cinta. Lagi-lagi anak itu mendapat jawaban bijak dari sang ayah bahwa ia

merupakan buah cinta kedua orangtuanya (TM, 2008:151-153).

Dari kisah singkat itu dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa peran kedua orang tua

sangat penting dalam kehidupan seorang anak. Dengan pendidikan kasih sayang yang tepat,

sang anak akan mampu berdiri tegak saat ia dewasa kelak.

11) Kisah Murid dan Guru

Pada suatu hari seorang murid bersama gurunya bertafakur di atas sebuah puncak

bukit. Sang murid bertanya bagaimana caranya agar ia dapat dipertemukan dengan seseorang

Page 31: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

yang akidahnya lebih baik dan agar mereka dapat belajar banyak dari orang itu. Sang guru

memerintahkan muridnya untuk menemui si Fulan. Muriditu sangat heran ketika menyadari

bahwa orang yang ditemuinya hanyalah seorang buruh miskin. Ia kembali kepada gurunya

dan menyampaikan keheranannya. Sang guru memerintahkan muridnya untuk mengambil

semangkuk air dan diletakkan di kepalanya. Diperintahkannya pula sang murid untuk terus

berzikir kepada Allah, sambil berkeliling'desa serta menjaga agar air di dalam mangkuk itu

tidak tumpah. Karena terlalu berkonsentrasi pada mangkuk itu, sang murid tidak sempat

berzikir. Guru yang bijak pun mengatakan bahwa baru saja sang murid mendapatkan tugas

yang kecil sudah alpa kepada Illahi sementara si Fulan yang lebih berat beban hidup dan

pekerjaannya masih dapat beribadah kepada Allah (TM, 2008:158-159).

Dari kisah murid dan guru tadi dapat kita simpulkan bahwa si Fulan merupakan

gambaran seseorang yang tingkat spiritualnya sangat tinggi. Meskipun didera beban

kehidupan yang berat, ia tidak pernah melupakan aktivitas spiritualnya kepada Sang Pencipta

karena ia menyadari bahwa hal itu akan menghindarkannya dari perbuatan keji dan mungkar.

Sementara, sang murid merupakan gambaran betapa manusia itu sangat rapuh dan mudah

berbelok dari jalan yang lurus.

12) Kisah Sekelompok Anjing

Pada suatu hari, Rumi sedang berjalan. Ia melihat sekelompok anjing yang tampak

rukun sedang bermalas-malasan di bawah terik matahari. Ketika seseorang datang kepadanya

dan mengatakan bahwa kawanan anjing itu akrab satu sama lain. Rumi menjawab bahwa

kelompok anjing itu tampak damai jika tidak ada pemancing kerusuhannya. Namun, jika kita

lemparkan sepotong tulang ke tengah-tengah mereka, kelompok yang damai dan tenteram itu

akan berubah menjadi kisruh saling berebut tulang tanpa memedulikan orang lain.

Dari kisah tadi dapat kita simpulkan bahwa kehidupan seperti kawanan anjing dapat

menimpa diri kita. Kehidupan sekelompok manusia yang damai dan tenteram akan berubah

drastis menjadi kisruh jika timbul sifat rakus, tidak mau berbagi, tidak menerima apa adanya,

tidak sanggup membatasi keinginan, dan tidak rela. Kehidupan para koruptor pun demikian,

dunia mereka seakan dipenuhi kedamaian. Namun, ketika tulang-tulang pengundang korupsi

dilemparkan ke hadapan mereka, mereka akan bertindak ganas seperti kelompok anjing tadi.

Akibatnya, negara juga yang merugi karena tulang-belulangnya habis digerogoti pihak yang

salah dan keji.

Page 32: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

13) Kisah Pak Waras

Pak Waras adalah salah seorang korban semburan lumpur Lapindo. Ia mendapatkan

uang ganti rugi yang sangat besar. Beruntung, Pak Waras dikaruniai sifat jujur. Ia

mengembalikan tiga per empat uang ganti rugi, yang ia sebut sebagai 'kelebihan', kepada

perusahaan yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana itu. Pihak perusahaan sangat

menghargai keputusan dan kejujuran Pak Waras. Mereka memberikan penghargaan setinggi-

tingginya kepada Pak Waras dengan memberikan sebuah rumah siap huni, uang tunai dalam

jumlah yang cukup besar, dan perhiasan yang cukup mahal. Upacara pemberian penghargaan

itu juga dihari para petinggi di tempat itu dan diliput oleh beberapa media. Namun, Pak

Waras bukanlah Firaun yang sangat pongah dengan kekayaannya. Ia tetap seorang lelaki

sederhana yang menganggap bahwa sebenarnya ia tidak pantas untuk mendapatkan

penghargaan yang nilainya sangat besar itu (TM, 2008:241-242).

Humor

Sekali lagi, korupsi dan berbagai hal yang bergelimpangan di dalamnya digambarkan

penulis melaui jalur komedi dalam buku ini. Sekali lagi, humor merupakan sarana penting

dalam kehidupan di semua kalangan. Humor juga mutlak diperlukan berbagai kalangan.

Kalangan kaum papa merupakan kelompok masyarakat yang memerlukan humor yang dapat

menertawakan diri sendiri. Di kalangan para petinggi, termasuk para koruptor, humor sedapat

mungkin dapat dijadikan sebagai sarana untuk membaca diri sendiri dan sadar diri. Humor

sebenarnya merupakan obat mujarab untuk segala penyakit fisik dan penyakit hati.

Peran Ibu

Togog Menggugat juga menampilkan beberapa sosok wanita mulia, terutama yang

telah menjadi ibu, di antaranya, Kartini, Marsinah, dan Maryam binti Imran. Kartini

merupakan pahlawan yang berjuang melalui kata-katanya. Kata-kata yang terangkai dalam

surat korespondensi bersama sahabat-sahabatnya di negeri Kincir Angin. Kartini banyak

mengumbarkan persamaan derajat di antara kaum hawa dan keinginannya untuk memajukan

mereka. Sementara itu, Marsinah yang hanya seorang buruh pabrik jam tangan, berjuang

melalui sikap tubuhnya untuk mendapatkan kenaikan upah kerja yang tidak seberapa besar

jumlahnya. Marsinah laksana berhadapan dengan senjata makan tuan karena perjuangan yang

ia lakukan akhirnya telah berbalik mencabut nyawanya. Sementara itu, Maryam adalah

gambaran seorang ibu yang taat kepada Tuhannya. Ia menjadi pendamping setia Isa as sejak

masih dalam buaian hingga ajal menjemputnya.

Page 33: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

Mengapa ibu ditampilkan dalam buku ini? Ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-

anaknya. Korupsi adalah buah dari akibat pendidikan moral dan etika yang gagal. Pendidikan

moral dan etika tentu saja sudah harus ditanamkan sejak janin manusia masih berada dalam

kandungan ibunya. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan ibu sejak dini kepada anak-

anaknya, dengan demikian sang anak sudah memiliki pegangan yang kuat ketika menghadapi

kerasnya kehidupan kaum dewasa sekarang ini.

Si Kancil

Cerita Si Kancil merupakan cerita legenda yang melekat hampir dalam setiap generasi di

bumi pertiwi ini. Si Kancil dikenal dalam berbagai sekuel ceritanya sebagai binatang yang

lincah, cerdik, dan selalu. dapat mengelabui musuh-musuhnya. Namun, banyak pakar

pendidikan yang berpendapat bahwa negeri kita sudah disusupi budaya koruptor sejak kecil,

aitu melalui cerita Si Kancil itu. Untuk mengelabui musuh-musuhnya, Si Kancil selalu

memiliki siasat atau tipuan yang dapat menjebak mereka. Si kancil lebih merupakan

gambaran koruptor saat ini. Si Kancil selalu menemukan jalan pintas untuk keluar dari

persoalan dengan mudah, aman, dan cepat baginya. Ia tidak peduli dengan nasib musuh-

musuhnya yang terjungkal begitu saja demi kemenangan yang diraihnya. Dikaitkan dengan

para koruptor, mereka selalu mencari jalan pintas yang bisa memberikan imbalan pundi-

pundi harta yang melimpah tanpa harus bersusah payah memeras keringat. Cerita Si Kancil

menuai kontroversi dan jika disampaikan kepada siswa harus mengalami perubahan alur

cerita.

Kiat Memberantas Korupsi

Pada bagian akhir buku ini, penulis memberikan gambaran tentang kiat untuk

menghindarkan diri dari budaya korupsi. Kiat-kiat untuk menghindari hal itu, antara lain,

sebagai berikut yang diambil dari kisah Ramayana. Dalam kisah tersebut terdapat delapan

kewajiban yang patut dipenuhi oleh seorang pemimpin berikut yang disebut Hashta Brata

(TM, 2008:235-237).

1. Keharusan meneladani watak Endra, yaitu meneladani sifat bumi atau tanah, seperti rela,

legawa, menerima apa adanya, dan rendah hati.

2. Keharusan meneladani watak Surya, yaitu meneladani sifat matahari yang pada setiap

edarnya senantiasa memancarkan pencerahan ilmu terus-menerus dengan teratur

Page 34: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

3. Keharusan meneladani watak Bayu, yaitu meneladani sifat angin yang senantiasa

menghembuskan napas kehidupan dan selalu waspada dengan cikal bakal pemecahan

kerukunan.

4. Keharusan meneladani watak Kuwera, yaitu selalu bersikap seperti mendung atau awan

yang senantiasaa memayungi atau mengayomi serta memberikan ketentraman.

5. Keharusan meneladani watak Baruna, yaitu harus bersikap seperti samudera sebagai

tempat yang mampu menampung dan memberikan solusi segala keluh kesah tanpa

mengeluh, bermanfaat setiap waktu dan setiap tempat, serta sebagai penyejuk dari segala

kehausan.

6. Keharusan meneladani watak Yama, yaitu bersikap seperti bintang yang mampu

menerangi manusia di dalam gelap agar ia tidak tersesat.

7. Keharusan meneladani watak Chandra, seperti rembulan yang tampak putih, bersih, dan

tampak dekat dengan Tuhan.

8. Keharusan meneladani watak Brama, yaitu bersikap seperti api dengan cara

menyingkirkan nafsu-nafsu api angkara murka, rriampu memuliakan, serta mengajak

orang lain ke dalam kebaikan.

Selain kedelapan kewajiban tadi, penulis juga menegaskan bahwa seorang calon

pemimpin sejak awal sudah menyadari dan memahami bagaimana seharusnya mereka

bersikap. Dengan demikian, mereka tidak akan berbuat aniaya, tidak memanipulasi, dan

korupsi ketika mereka mencapai dan menduduki jabatan yang strategis itu (TM, 2008:238).

Simpulan

Togog Menggugat merupakan sebuah bacaan dalam sebuah cermin yang sanggup

mengaduk-aduk perasaan kita pada saat membacanya. Gaya komedi dan penampilan karakter

beberapa tokoh pewayangan mampu menekan ketajaman satir yang diungkapkan penulis

kepada para pembacanya, terutama mereka yang pernah atau hampir tergelincir ke dalam

jurang korupsi. Buku ini layak dijadikan sebagai sumber pemecahan dalam pemberantasan

korupsi di tengah masyarakat dengan cara yang tidak menggurui.

Togog Menggugat menyampaikan bunga rampai korupsi, mulai dari definisi, baik

korupsi dan koruptor, termasuk faktor pencetus serta kiat untuk memberantas korupsi itu

sendiri. Budaya korupsi yang tumbuh pesat di dalam masyarakat rupanya sudah dipicu sejak

awal dalam budaya kita, yaitu bersumber pada cerita Si Kancil. Cerita Si Kancil menuai

kontroversi. Ia adalah binatang yang cerdik dan memikiki segudang tipuan untuk mengelabui

musuh-musuhnya. Gambaran seperti itu juga terdapat pada koruptor. Ia berupaya membuka

Page 35: TUGAS MENGETIK HLM 184-220 (Safiera 2010420167 Unpar A).docx

jalan pintas dalam mencapaitujuannya, menjadi kaya dalam tempo singkat, tanpa harus

bersusah payah. Cerita ini telah berakar dan melekat erat dalam setiap generasi manusia di

bumi pertiwi. Oleh karena itu, sejumlah pakar mengutarakan bahwa isi cerita Si Kancil harus

diubah sebelum disampaikan kepada anak-anak kita.

Selain cerita Si Kancil, buku ini juga menyajikan keteladan wanita, terutama ibu, yang

bertindak sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan moral dan etika mutlak

ditanamkan sedini mungkin dalam kehidupan seorang anak, agar ia mampu menancapkan

akar kebenaran saat dewasa kelak. Buku ini juga menyajikan beberapa kisah teladan, baik

yang berasal dari khazanah sastra di negeri ini juga dari sastra dunia. Makna yang diperoleh

dari kisah-kisah teladan tersebut dapat kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa

kata bijak yang sarat makna kehidupan juga dikutip penulis sebagai dasar pemahaman

terhadap sikap hidup pembaca dalam mencermati budaya korupsi yang dijabarkan dalam

buku itu.

Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Togog diunduh tanggal 1 Juni 2009 pukul 10.00 WIB

Djoko B. 2008. Togog Menggugat. Yogyakarta: Rumah Tumbuh Publishing.