Tugas Mata (Keratitis)

download Tugas Mata (Keratitis)

of 31

description

h

Transcript of Tugas Mata (Keratitis)

.PRESENTASI KASUSKERATITIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Pendidikan Profesi

Bagian Ilmu Kesehatan Mata

RSUD Salatiga

Disusun oleh:

Nicky Adi Saputra S.Ked

20090310123

Dokter Pembimbing :

Dr. Awang Wimbo Sp. M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dipresentasikan Kasus dengan Judul

Keratitis

Disusun oleh

Nicky Adi Saputra, S.Ked

20090310184

Pada Tanggal :

Di RSUD SALATIGA

Dosen Pembimbing dan Penguji

Dr. Awang Wimbo Sp.M

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. N

Umur

: 38 tahun

Jenis kelamin: Laki Laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: swasta

Alamat

: Sidorejo lor

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Mata merah dan nyeriRiwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Salatiga dengan keluhan mata kanan merah, nyeri,sejak+ 4 hari yang lalu. Pasien mengaku 4 hari yang lalu kelilipan masuk debu, setelah itu mata kanannya menjadi merah, nyeri, terasa nganjel.Nyeri dan nganjel dirasakan sepanjang hari dan terus menerus sehingga mengganggu aktivitas, Pasien juga mengeluh matanya silau dan berair bila terkena sinar matahari.Pasien juga merasakan penglihatan sebelah kanan kabur.pasien ke puskesmas diberi alletrol namun tidak kunjung sembuh. Pasien mengeluh mata belekan 2hari sebelum ke RSUD salatiga, namun saat diperiksa di RSUD Salatiga sudah tidak ada belekan, pasien juga tidak mengeluh pusing, pasien tidak pernah memakai kacamata sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien mengaku belum penah mengalami penyakit serupa sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama.Riwayat Alergi :

Tidak ada riwayat alergi sebelumnya

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan darah: tidak dilakukan

Nadi

: tidak dilakukan

Frekuensi nafas: tidak dilakukan

Suhu

: tidak dilakukan

STATUS OFTALMOLOGI

Gambar :

1

Keterangan :

1. Injeksi silier OCULI DEXTRA(OD)PEMERIKSAANOCULI SINISTRA(OS)

6/12 Visus6/6

Tidak dilakukanPinholeTidak dilakukan

Tidak dilakukanPlacido testTidak dilakukan

(-)flurosence(-)

Gerak bola mata normal, enoftalmus (-), eksoftalmus(-),strabismus (-)Bulbus okuliGerak bola mata normal, enoftalmus (-), eksoftalmus(-), strabismus (-)

Edema (-), hiperemis(-),blefarospasme (+), lagoftalmus (-), ektropion (-),entropion (-)PalpebraEdema (-), hiperemis(-),blefarospasme (+), lagoftalmus (-), ektropion (-), entropion (-)

edem (-), injeksi konjungtiva(-), injeksi siliar (+), infiltrat (-), hiperemis (-), pinguekula (+)KonjungtivaEdema(-), injeksi konjungtiva(-), injeksi siliar (-),infiltrat (-), hiperemis (-), pinguekula (+)

Merah SkleraPutih

Bulat, edema (-), ulkus (-),keratik presipitat(-), infiltrat (+),injeksi perikornea (+) sikatriks (-), sensibilitas normalKorneaBulat, edema (-), ulkus (-), keratik presipitat(-), infiltrat (-), sikatriks (-), sensibilitas normal

Jernih, cukup, Arkus senilis (-), hipopion (-),hifema (-),Camera Oculi Anterior(COA)Jernih, cukup, Arkus senilis (-), hipopion (-), hifema (-),

Kripta(+),warnacoklat (-), edema(-), synekia (-)IrisKripta(+),warnacoklat(-), edema(-), synekia (-)

bulat, diameter 3mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+), refleks pupil tak langsung (+)Pupilbulat, diameter 3mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+), refleks pupil tak langsung (+)

Jernih, letak sentralLensaJernih, letak sentral

Tampak adanya lesi punktata superficialis pada kornea (+)Slit lampLesi pada kornea (-)

Epifora (+)Sistem LakrimasiEpifora (-)

(-)Shadow test(-)

Normal Lapang pandangNormal

DIAGNOSIS KERJA

OD Keratitis pungtata superficialis

Dasar Diagnosis :

Anamnesis : Mata kanan nyeri, nganjel , merah, pandangan kabur, matanya menjadi sensitif terhadap cahaya atau silau serta semakin berair jika terkena cahaya Pemeriksaan ophtalmologi (OD)

Conjungtiva : injeksi siliar (+), pinguekula (+)

Kornea

:infiltrat (+) bulat kecil, sensibilitas normal Sistem lakrimasi : epifora (+)

IV. DIAGNOSIS BANDING

1. Konjungtivitis

2. Ulkus korneaV. PENATALAKSANAAN

Antibiotik topical, Cendo fenicol 6 dd Gtt 1

Imunos 1x1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Gambar 1. Anatomi dan histologi korneaKornea (cornum = seperti tanduk) merupakan selaput bening mata yang tembus cahaya dan pelindung struktur mata internal (Ilyas, 2006; James et al., 2006). Jaringan ini bersifat avaskular dantransparan. Kornea dewasa mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, 0,65 mm di tepi, dan diameter 11,5 mm (Vaughan, 2009).Kornea memberikan kontribusi dari total kekuatan refraksi mata atau setara dengan 40 dioptri dari total 50 dioptri mata manusia (Ilyas, 2006; Golnaz dan Jeffrey, 2007).

Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata dan udara bebas. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (Lang, 2000). Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus (Ilyas, 2006).Dari anterior ke posterior (Gambar 1), kornea memiliki 5 lapisan yang berbeda-beda. Adapun lapisan-lapisan tersebut sebagai berikut (Vaughan, 2009).1. EpitelTerdiri 5 lapis sel epitel squamous bertingkat tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5% (50m) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapisan sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng.Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).2. Membran bowmanLapisan basal tipis yang berasal dari sel basal epitel squamous bertingkat. Lapisan ini memiliki daya tahan yang tinggi terhadap trauma, namun tidak memiliki daya regenerasi. Apabila terjadi trauma akan menimbulkan jaringan parut (Lang, 2000). Tebal lapisan ini sekitar 12 m (Khurana, 2007).

3. StromaLapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 0,5 mm yang saling menjalin dan mencakup seluruh diameter kornea. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2006).4. Membran DescemetLapisan ini merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 40 m. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnyadibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005).5. EndotelBerasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 m melekat erat pada membran Descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknyaendotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2006). 2.2 Fisiologi KorneaKornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh susunanfilamen-filamen kolagen pada stroma yang uniform, avaskular, dan komposisi air yang konstan di dalam stroma atau keadaan dehidrasi relatif (deturgesens). Air di dalam stroma dipertahankan sebanyak 70% (Lang, 2000; Khurana, 2007).

Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009). Penetrasi obat ke dalam ke korneabersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, parasit, dan jamur (Vaughan, 2009). 2.3 Keratitis

2.3.1 Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).2.3.2Epidemiologi

Keratitis bakterialis merupakan penyebab kebutaan di negara berkembang. Pada tahun 1996, Gonzales et al. Melaporkan bahwa insidensi keratitis di selatan India 11,3 per 10.000 penduduk,35% dari ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri dan 32% adalah karena jamur. Penelitian lain di timur India ditemukan bahwa 62% dari ulkus kornea disebabkan jamur. Di Nepal angka ini diperkirakan 799 per 100.000 per tahun. Jamur menyebabkan keratitis di sekitar 6% dari pasien di daerah beriklim sedang, tetapi angka yang lebih menonjol di daerah tropis. (Norina et al., 2008).Angka kejadian infeksi keratitis di negara maju juga telah meningkat karena tingginya tingkat pengguna lensa kontak. Saat ini 2 sampai 11 per 100.000 per tahun. Sebuah penelitian dari Hongkong menemukan kejadian tahunan 0,63 per 10.000 pada bukan pemakai lensa kontak dan 3,4 per 10.000 pada pemakai lensa kontak. Keratitis acanthamoeba sekarang menyumbang sekitar 1% dari semua kasus, dengan menggunakan lensa kontak yang bertindak sebagai faktor risiko utama.

Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang setiap tahun. Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks (Suhardjo, 1995).2.3.3Etiologi dan faktor risikoPenyebab keratitis bermacam-macam dan digolongkan menjadi infeksi dan non infeksi. Adapun penyebab infeksi berupa bakteri, virus, fungi, dan parasit (Vaughan, 2009). Matthew et al. (2008) menemukan beberapa faktor risiko penyebab terjadinya keratitis yaitu penggunaan kontak lens, penyakit kornea sebelumnya, trauma mata, dan ocular surgery. Selain itu faktor lainnya adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, dan kekurangan vitamin A (Mansjoer, 2001).2.3.4

Patofisiologi

Permukaan kornea secara normal akan dilindungi oleh berbagai macam mekanisme pertahanan termasuk diantaranyabarrier fisik dari kelopak mata terhadap benda asing, kedipan mata yang reguler untuk menyapu kotoran yang menempel pada film air mata, dan persambungan antara epitel konjungtiva dan kornea. Ada juga mediator sistem imun yang mempertahankan kornea, seperti sel mast konjungtiva, conjunctiva-associated lymphoid tissue (CALT) yang bertanggung jawab atas antigen lokal, substansi imunoaktif pada film air mata(IgA, lisozim, beta lisin,laktoferin, dan albumin spesifik dari air mata), sel-sel plasma, makrofag, danlimfosit T (Golnaz dan Jeffrey, 2007).

Ketika terjadinya defek pada epitel kornea, maka proses infeksi dan inflamasi akan dimulai (Golnaz dan Jeffrey, 2007). Karena kornea bersifat avaskular, maka pertahanan ketika peradangan tidak akan segera datangseperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Mediator sistem imun dan sel-sel imun yang terdapat pada kornea dan konjungtiva akan segera bekerja, kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea (siliar). Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang mengakibatkan timbulnya infiltrat dan tampak sebagai bercak berwarna kelabu keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009).

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.Fotofobia pada penyakit kornea timbul akibat kontraksi iris yang meradang dan nyeri. (Vaughan, 2009).Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat. Meskipun mata berair, sekret biasanya tidak ditemukan(Vaughan, 2009).

2.3.5Manifestasi klinisTanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik) yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum keratitis adalahsebagai berikut (Mansjoer, 2001).Gejala subjektif: Keluar air mata yang berlebihan (epifora) Fotofobia Blefarospasme Nyeri

Gejala objektif:

Penurunan tajam penglihatan

Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

Mata merah (injeksi siliar) Infiltrat (+/-)2.3.6Klasifikasi Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profundayang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut (Khurana, 2003).I. Keratitis Superfisial

1. Keratitis epitelial

a. Keratitis punctata superfisialis

b. Herpes simpleks

c. Herpes zoster

2. Keratitis subepitelial

a. Keratitis nummularis

b. Keratitis disiformis

3. Keratitis stromal

a. Keratitis neuroparalitik

b. Keratitis lagoftalmusII. Keratitis Profunda

1. Keratitis interstisial

2. Keratitis sklerotikans

3. Keratitis disiformis

(A)(B)

(C)

Gambar 2. (A) Keratitis pungtata. (B) Keratitis numularis. (C) Keratitis interstisialSumber: Anonimous (2009)

Berdasarkan etiologinya, keratitis dapat dibedakan atas (Vaughan, 2009):1. Keratitis bakterialis

2. Keratitis virus

3. Keratitis fungi4. Keratitis parasit2.3.7 Diagnosis kerja1) Anamnesis

Pasien biasanya datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan,mata merah, merasa kelilipan, nyeri, fotofobia, epifora, dan blefarospasme.

2) Pemeriksaan fisik

Injeksi siliar merupakan penanda pada kebanyakan kasus keratitis, terdapat kekeruhan kornea, pupil miosis, kedalaman bilik mata depan normal, tekanan intraokular normal, sekret (-).3) Pemeriksaan penunjang

Tes placido

Penderita membelakangi jendela atau sumber cahaya, pemeriksa menghadap ke penderita dengan jarak pendek sambil memegang alat placid. Alat placid dipasang didepan mata penderita dan pemeriksa melihat bayangan placido pada kornea penderita melalui lubang yang terdapat ditengah-tengah alat tersebut, sedang penderita melihatkearah lubang tersebut. Yang diperhatikan adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada permukaan kornea penderita. Bila bayangan dikornea gambarannya sirkuler dan teratur disebut placid (-), pertanda permukaan kornea baik. Jika gambaran sirkulernya tidak teratur, placid (+), berarti permukaan kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat, ulkus, sikatrik, atau astigmatisma.

Uji fluoresensi

Mata ditetesi dengan fluoresens warna kuning kemudian dibilas dengan NaCl akan berubah menjadi hijau. Untuk lebih jelas diamati dengan slitlamp memakai warna biru atau digunakan kertas fluoresens yang diletakkan di sakus lakrimal dan pasien disuruh berkedip-kedip kemudian diamati.

Tes fistel

Setelah pemberian fluoresens bola mata harus ditekan sedikit, untuk melepaskan fibrin dari fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar melalui fistel, seperti air mancur pada tempat ulkus tersebut.

Bakteriologi

Dilakukan pemeriksaanhapusan langsung, pembiakan, tes sensitivitas. Dari pemeriksaan hapusan langsung dapat diketahui jenis kuman penyebab. Bila tidak terdapat kumannya, dari macam-macam sel yang ditemukan dapat diketahui kira-kira penyebab terjadinya keratitis. Bila terdapat banyak monosit maka diduga akibat virus, leukosit PMN kemungkinan bakteri, Eosinofil menunjukkan radang akibat alergi, limfosit terdapat pada radang yang kronis.

Sensibilitas kornea.

Pemeriksaan sensibilitas kornea dilakukan pada mata kanan dan kiri yaitu pada bagian parasentral meridian horizontal temporal, menggunakan dua macam alat yaitu:a) menggunakan kapas pilin

Pasien duduk didepan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa difiksasi dengan cara diminta melihat kearah nasal. Kapas pilin disentuhkan pada kornea dari temporal. Bila terjadi refleks kedip dicatat sebagai sensibilitas kornea positif (+), sedangkan bila tidak terjadi refleks kedip maka dicatat sensibilitas kornea negatif (-).

b) menggunakan estesiometer

Pasien duduk didepan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa disinari dengan lampu senter dari jarak kurang lebih 40 cm, dan disuruh melihat kearah lampu senter. Estesiometer dengan panjang filamen 6 cm, diarahkan ke mata responden dan disentuhkan pada kornea parasentral bagian temporal dengan arah tegak lurus sampai filamen sedikit membengkok 5o. Bila tidak ada refleks kedip maka pemeriksaan diulangi dengan panjang filament dikurangi 0,5 cm, begitu seterusnya sampai terjadi refleks kedip. Hasil yang dicatat adalah panjang filament terpanjang yang menyebabkan refleks kedip.

2.3.8 Diagnosis banding1. Ulkus korneaUlkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk ulkus kornea yaitu ulkus kornea sentral dan marginal atau perifer.12Penyebab ulkus kornea adalah bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes simpleks.Bakteri yang sering mengakibatkan ulkus kornea adalah Streptokokkus alfa hemolitik, Streptokokkus aureus, Moraxella likuefasiens, Pseudomonas aeruginosa, Nocardia asteroids, Alcaligenes sp., Streptokokkus beta hemolitik, dll.Pada ulkus kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epite yang dikelilingi leukosit polimorfnuklear. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitivitas disekitarnya.12Gejala yang dapat menyertai adalah terdapat penipisan kornea, lipatan descement reaksi jaringan uvea, berupa hipopion, hifema dan sinekia posterior.Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membuat diagnosa kausa. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sediaan hapus yang memakai larutan KOH.12

2. KonjungtivitisKonjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata.Konjungtivitis menunjukkan gejala yaitu hiperemi konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat dengan secret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak membengkak dan mata terasa seperti ada benda asing.

Ulkus kornea dapat diadiagnosis banding dengan konjungtivitis dilihat dari gejala mata merah yang terjadi.Pada konjungtivitis kornea masih jernih dan terang sehingga tidakada gangguan visus yang berbeda dengan ulkus kornea dimana terjadi kekeruhan lensa.

3. KeratomikosisKeratomikosis merupakan suatu infeksi kornea oleh jamur.Biasanya dimulai oleh suatu ruda paksa pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian-bagian tumbuhan. Setelah beberapa hari pasien akan merasa sakit hebat pada mata dan silau.Keratomikosis dapat didiagnosis banding dengan ulkus kornea karena menujukkan gambaran yang sama pada kornea. Untuk mendiagnosis keratomikosis perlu dilakukan pemerikasaan KOH dimana diharapkan pada kerokan kornea ditemukan adanya hifa2.4Keratitis Bakterialis

Keratitis bakterialis adalah keratitis yang disebabkan oleh bakteri patogen dan dapat menyebabkan kebutaan (Jabran et al., 2008). Ciri-ciri khusus keratitis bakterialis adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi korneal lengkap bisa terjadi dalam 2448 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea, dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini (Anonimous, 2009).2.4.1 Patogen

Berikut ini adalah patogen keratitis bakterialis dengan karakteristik infeksi masing-masing infeksi.

Tabel 2. Karakteristik infeksi patogen keratitisSumber: Lang (2000)2.4.2 PatogenesisAwal dari keratitis bakterialis adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan masuknya mikroorganisme patogen ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma (Anonimous, 2009).Difusi produk-produk inflamasi di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea (Anonimous, 2009).

2.4.3Manifestasi klinis

Pasien dengan keratitis bakteri (Gambar 3) pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, fotofobia, hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan diantaranya riwayat pemakaian kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi air mata, penyakit kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan sekret kental mukopurulen, edema kornea, injeksi siliar, dan pada kasus yang berat bahkan dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan hipotonus badan siliar. Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat akibat sumbatan dari trabecular meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata juga dapat edema (Anonimous, 2009).

S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval, kuning-putih, supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih, serta menyebar dari fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan gram akan ditemukan diplokokus gram positif (Anonimous, 2009).

Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis liquefaktif yang difus, dan semiopak ground glass pada penampakan stroma. Infeksi berkembang dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh Pseudomonas. Terasa nyeri dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada pemeriksaan gram akan ditemukan bakteri batang gram negatif (Anonimous, 2009).

Gambar 3. Keratitis bakterialisSumber: Anonimous (2009)

2.4.4 Tata laksanaTerapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial sering terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi. Aminoglikosida (gentamisin 1,5% atau tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam dan sefalosporin (cefazolin 1 tetes/jam pada jam bangun selama lima hari atau cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan fluorokuinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30 menit selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Perbaikan kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya (Anonimous, 2009).Terapi single drug dengan menggunakan flourokuinolon (misalnya ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya streptococcus) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan florokuinolon dan prevalensi resistensi terhadap golongan florokuinolons tampaknya semakin meningkat (Anonimous, 2009). Moksifloksasindilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram positif dari florokuinolon generasi sebelumnya pada uji in-vitro (Aamnaet al., 2008). Penggunaan steroid harus dihindari karena dapat mengganggu proses reepitelisasi dari kornea (Bowlling et al., 2011).2.5 Keratitis Virus2.5.1 Keratitis virus herpes simpleks (HSV)Keratitis herpes simpleks (HSV) merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering ditemukan dalam praktik. Disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2 (Foster, 2008).Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simpleks primer pada mata jarang ditemukandan bentuk ini (Vaughan, 2009).2.5.1.1Gejala KlinisInfeksi primer ditandai oleh adanya demam,malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebihdapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik.Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanyaantara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (Suhardjo, 1995).

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi perikorneal, dan penglihatan kabur. Beratringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnyalesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea.Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang jugadisertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikuskeratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensakontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifikpada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia (Suhardjo, 1995).2.5.1.2LesiKeratitis herpes simpleks juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial dan profunda. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritik merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakkan virus dan menyeba serta menimbulkan kematian sel dengan defek bercabang. Lesi dendritik merupakan gambaran lesi yang memiliki percabangan linear dengan tepian kabur dan memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendritik, namun keratitis herpes dapat juga menyerupai infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis banding (Vaughan, 2009).

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk lesi geografik yaitu lesi dendritik menahun dengan lesi berbentuk lebih lebar. Hal ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid.Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelialblotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun, semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

Gambar 4. Lesi dendritik (kanan) dan lesi geografik (kiri) pada keratitis HSVKeratitis herpes simpleks bentuk dendritik harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster.Pada keratitis herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mukus plak dan bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas, 2006).Keratitis diskiformis (Gambar 5B) adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran Descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis diskiformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan.Edema adalah tanda terpenting dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009). Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring(Gambar 5A)diduga sebagai infiltrat PMN disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda-tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, infeksi bakteri atau fungi sekunder(Vaughan, 2009).

(A) (B)

Gambar 5. (A) Lesi dengan Wessely Ring (B). Keratitis Diskiformis

2.5.1.3 PatogenesisKeratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitel, mengakibatkan kerusakan sel epitel, dan membentuk ulkus kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).2.5.1.4 Tata laksanaBertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang (Suhardjo, 1995).1. Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Iodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropin 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh.Umumnya adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).2. Terapi obat

Agen anti virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine (IDU), trifluridine (TFT), vidarabine, dan asiklovir. TFT dan asiklovir efektif untuk penyakit stroma. IDU dan TFT sering menimbulkan reaksi toksik. Asiklovir oral digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil, bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus, danbersifat toksik untuk epitel normal, tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vidarabin sama dengan IDU, akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. TFTsama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam. Asiklovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal (Anonimous, 2009). Foster (2008) menemukan gansiklovir gel lebih efektif dibandingkan asiklovir.Kortikosteroid topikal tidak perlu bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009).3. Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai siktarik kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukanuntuk mencegah penolakantransplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009).

Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparan. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafimungkin diperlukan untuk pemulihandefek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simpleks (Vaughan, 2009).

4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi (Vaughan, 2009).2.6 Keratitis Fungi

Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur (Sachin et al., 2012).2.6.1EtiologiSecara ringkas dapat dibedakan:

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.

a) Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

2.6.2Manifestasi KlinisReaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamela kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat (Srinivasan, 2004).Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan(Srinivasan, 2004).Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut (Srinivasan, 2004).1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama2. Lesi satelit3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh4. Plak endotel5. Hipopion, kadang-kadang rekuren6. Formasi cincin sekeliling ulkus7. Lesi kornea yang indolen

Gambar 7. Keratitis aspergilus dan keratitis candidaSumber: Srinivasan (2004)

2.6.3DiagnosislaboratoriumPemeriksaan laboratorium sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75%dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa (Srinivasan, 2006).

2.6.4Tata laksanaTerapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya2. Jamur berfilamen3. Ragi (yeast)4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Golongan I: Topikal Amphotericin B 1,0-2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin 10 mg/ml, golongan Imidazole. Golongan II: Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%,Natamycin 5% (obat terpilih), Econazole 1% (obat terpilih). Golongan III: Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, Fluoconazol 2 % Golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwaterapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.2.7Keratitis Parasit

Parasit dapat menyebabkan keratitis terutama acanthamoeba. 1-4% dari keseluruhan kasus keratitis disebabkan oleh acanthamoeba (Ranjakumar, 2008).2.7.1Patogenesis

Penyebab keratitis adalah multifaktor. Penyabab utama dikarenakan trauma minor okular. Biasanya trauma minor pada mata oleh karena penggunaan kontak lens. Kemudian amoeba masuk ke kornea melalui penggunaan kontak lens saat berenang atau cairan kontak lens. Adapun karakteristik keratitis acanthamoeba untuk dibedakan dengan keratitis lainnya adalah:

1. Infiltrat yang berbentuk cincin

2. Peninggian lesi kornea

3. Kurangnya vaskularisasi baik pada kasus kronis maupun peradangan berat (Ranjakumar, 2008).2.7.2Manifestasi klinis

Adapun gambaran klinis keratitis acanthamoeba adalah sebagai berikut:

1) Stadium dini: defek epitel, epitel yang berkabut, pseudodenritik

2) Stadium lambat: defek epitel, infiltrat stroma, keratitis numularis

3) Stadium lanjut: infiltrat yang berbentuk cincin, abses stroma, lesi satelit (Ranjakumar, 2008).Gambar 8. Gambaran keratitis acanthamoebaSumber: Ranjakumar (2008)2.7.3Tata laksana

Tata laksana keratitis parasit adalah dengan pengobatan sistemik dan topikal. Sistemik dengan menggunakan itraconazole atau ketaconazole 600 mg/hari secara oral. Obat-obat lain yang digunakan adalah:

1) Aromatic diamidines: Propamidine isethionate0.1 %, Dibromopropamidineointment 0.15 %

2)Aminoglycosides: Neomycin

3)Imidazole dan triazole antifungal4)Polimiksin5)Cationic antiseptik: Polyhexamethylenebiguanide (PHMB)0.02 %Chlorhexidine 0.02 % (Ranjakumar, 2008).BABIII

KESIMPULANKeratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.DAFTAR PUSTAKA

1. Aamna J, Aurengzeb S, Syed AH, Zia-ud-din S. Role of Moxifloxacin in Bacterial Keratitis. Pak J Ophthalmol, 2009.25(2): 81-6. 2. Anonimous. Keratitis Waspada Invasi Kuman pada Mata. Farmacia, 2009. 9(3). Serial online: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=13883. Bowlng E, Russell GE, Shovlin JP, Sindt CW. The Corneal Atlas. Review Of Optometry, 2011. 4. Golnaz J, Jeffrey JZ. Keratitis. 2007. Serial online:www.antimicrobe.org5. Foster CS. Ganciclovir GelA New Topical Treatment for Herpetic Keratitis. Clinical Professor of Ophthalmology, 2008. 52-6.6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2006.7. Khurana AK. Comprehensive Opthamology. New Age International: New Dehli, 2007.8. Lang GK. Opthamology. Thieme Stuttgart: New York, 2000.9. Mansjoer AM. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Media Aesculapius FKUI: Jakarta, 2001. Hal: 56.10. Matthew G, Andrew A, Fiona S. Risk Factors and Causative Organismsin Microbial Keratitis. Cornea,2008. 27:2227.11. Norina TJ, Raihan S, Bakiah S, Ezanee M, Liza-Sharmini AT, Wan HWH.Microbial Keratitis: Aetiological Diagnosis And Clinical Features In Patients Admitted To Hospital Universiti Sains Malaysia. Singapore Med J.2008. 49(1): 67-71.12. Ranjakumar. Parasitic Keratitis. Dept. of Ophthalmology Medical college: Kozhikode. 2008. 412-6.

13. Sachin D, Ruchi K, Santosh S. Epidemiological Features And Laboratory Results OfBacterial And Fungal Keratitis: A Five-Year Study At A Ruraltertiary-Care Hospital In Western Maharashtra, India. Singapore Med J,2012. 53(4): 264267.

4