Tugas Mandiri PBL Skenario 3
-
Upload
harvienbhayangkara -
Category
Documents
-
view
32 -
download
0
description
Transcript of Tugas Mandiri PBL Skenario 3
Harvien Bhayangkara1102013124
1. Memahami dan Menjelaskan Asma pada Anak
1.1. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di
dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik
dengan atau tanpa pengobatan.
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
1.2. Etiologi
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan
dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah,
binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta
pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan
pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara
dingin, histamin dan metakolin
1
Harvien Bhayangkara1102013124
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma :
1. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap
menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa
menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang
diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu
pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan
akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi
peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah
perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan,
gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
2
Faktor genetik
Faktor lingkungan
Sensitisasi inflamas
iGejala Asma
Pemicu (inducer)
Pemacu (enhancer)
Pencetus (trigger)
Hipereaktifitas bronkus obstruksi
Harvien Bhayangkara1102013124
2. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer
dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik.
Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih
lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah alergen,
yang tampil dalam bentuk ingestan.(alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut),
inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen
yang didapat melalui kontak dengan kulit
( VitaHealth, 2006).
Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
1. Alergen : dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan
dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan
(seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Pada beberapa orang
yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan alergen utama
yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini
menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga pemaparan terhadap
faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat
respon alergen berupa asma.
2. Olahraga : Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat
diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise
3
Harvien Bhayangkara1102013124
Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan.
Misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan
dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan
wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit
sebelum latihan.
3. Infeksi bakteri pada saluran napas : Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali
sinusitis mengakibatkan eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan
perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme
mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem
bronkial.
4. Stres : Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan
motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5. Gangguan pada sinus : Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada
sinus, misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini
menyebabkan inflamasi membran mucus.
1.3. Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.
1. Faktor genetic
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
4
Harvien Bhayangkara1102013124
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur
dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktifitas tertentu
Perubahan cuaca
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT
ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
1.4. Klasifikasi
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten Bulanan APE≥80%
- Gejala<1x/minggu. ≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi
5
Harvien Bhayangkara1102013124
- Tanpa gejala diluar
serangan.
- Serangan singkat.
APE≥80%
nilai terbaik.
- Variabiliti APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80%
- Gejala>1x/minggu
tetapi<1x/hari.
- Serangan dapat
mengganggu aktifiti
dan tidur
>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi
APE≥80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari.
- Serangan
mengganggu aktifiti
dan tidur.
- Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari.
>2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik.
- Variabiliti APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%
- Gejala terus menerus
- Sering kambuh
- Aktifiti fisik terbatas
Sering - VEP1≤60% nilai prediksi
APE≤60% nilai terbaik
- Variabiliti APE>30%
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di
Indonesia, 2004
Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma episodik
sering; dan 3) Asma persisten
6
Harvien Bhayangkara1102013124
Klasifikasi derajat asma pada anak
Parameter klinis,
kebutuhan obat
dan faal paru asma
Asma episodik
jarang
Asma episodik sering Asma persisten
1 Frekuensi
serangan
<1x/bulan >1x/bulan Sering
2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
periode bebas
serangan
3 Intensitas
serangan
Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4 Diantara
serangan
Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5 Tidur dan
aktifitas
Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu
6 Pemeriksaan
fisik diluar
serangan
Normal ( tidak
ditemukan kelainan)
Mungkin tergganggu
(ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7 Obat
pengendali(anti
inflamasi)
Tidak perlu Perlu Perlu
8 Uji faal
paru(diluar
PEFatauFEV1>80% PEFatauFEV1<60-80% PEVatauFEV<60%
7
Harvien Bhayangkara1102013124
serangan)
9 Variabilitas faal
paru(bila ada
serangan)
Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%.
Variabilitas >50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced
expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
Sumber : Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).
Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan
ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang
mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan
yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien
memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk
dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi (lihat bagan 1, bagan 2 dan bagan 6).
Klasifikasi asma menurut derajat serangan
8
Harvien Bhayangkara1102013124
Parameter klinis, fungsi
faal paru, laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman
henti napas
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi :
Menangis
keras
Bayi :
-Tangis pendek
dan lemah
-Kesulitan
menetek/makan
Bayi :
Tidakmau
makan/minum
Posisi Bisa
berbaring
Lebih suka
duduk
Duduk
bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin
iritabel
Biasanya iritabel Biasanya
iritabel
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang,
sering hanya
pada akhir
ekspirasi
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi ±
inspirasi
Sangat
nyaring,
terdengar
tanpa
stetoskop
Sulit/tidak
terdengar
Penggunaan otot bantu
respiratorik
Biasanya
tidak
Biasanya ya Ya Gerakan
paradok
torako-
9
Harvien Bhayangkara1102013124
abdominal
Retraksi Dangkal,
retraksi
intercostal
Sedang,
ditambah
retraksi
suprasternal
Dalam,
ditambah
napas cuping
hidung
Dangkal /
hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :
Usia Frekuensi napas normal
per menit
< 2 bulan <60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40
6-8 tahun < 30
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi normal
per menit
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Pulsus paradoksus
(pemeriksaannya tidak
praktis)
Tidak ada
(< 10 mmHg)
Ada
(10-20 mmHg)
Ada
(>20mmHg)
Tidak ada,
tanda
kelelahan otot
10
Harvien Bhayangkara1102013124
respiratorik
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/%nilai
terbaik)
Pra bonkodilator
Pasca bronkodilator
>60%
>80%
40-60%
60-80%
<40%
<60%,
respon<2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%
PaO2 Normal
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
>60 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Sumber : GINA, 2006
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1023/MENKES/SK/XI/2008
TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA)
1.5. Patofisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena inflamasi
saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di
seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan
napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan
distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak
merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi
dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan
penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan
11
Harvien Bhayangkara1102013124
tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang
menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran
napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan
intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung
yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu
padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan
dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi
hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya
masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman
gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau
tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini dapat
menjelaskan patofisiologi asma.
(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)
12
Harvien Bhayangkara1102013124
1.6. Manifestasi
1. Serangan Akut
Saat serangan pasien merasa dadanya seperti diikat dan upaya inspirasi dan
ekspirasi sama sama sulit. Mungkin ada batuk yang awalnya kering namun
kemudian menjadi produktif, khususnya jika ada infeksi.Pasien biasanya duduk
tegak dengan dada yang mengembang berlebihan, terdengar mengi ekspirasi, dan
gelang bahu tidak bergerak karena menggunakan otot-otot tambahan
pernfasan.Jumlah nafas mungkin sedikit berubah namun denyut nadi hampir
selalu cepat.
2. Asma Rekuren
Penderita asma ringan biasanya memiliki fungsi respirasi yang normal diantara
serangan, namun penderitas asma berat jangka panjang cenderung mengalami
emfisema dan sesak sampai derajat tertentu serta obstruksi saluran nafas yang
menetap diantara serangan akut. Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk
dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang
harus ada (“sine qua non”).
Objektif
Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan. Bernafas
dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan, Cyanosis, tachicardia,
gelisah, pulsus paradoksus.Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di
apex dan hilus)
Subjektif : Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial: Cemas, takut dan mudah tersinggung
1.7. Diagnosis & Diagnosis Banding
13
Harvien Bhayangkara1102013124
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan semestinya, mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis.
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang .
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan sesak
di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas
atau olah raga?
Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis alergi)?
Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan.
Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang
paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak
didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat berat
14
Harvien Bhayangkara1102013124
mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan
kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut, sesuai derajat serangan :
Inspeksi
pasien terlihat gelisah,
sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal),
sianosis
Palpasi
biasanya tidak ditemukan kelainan
pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
Perkusi
biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi
ekspirasi memanjang,
mengi,
suara lendir
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
15
Harvien Bhayangkara1102013124
Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
Diagnosis Banding
Dewasa
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Bronkitis kronik
Gagal jantung kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis
Emboli paru
Anak
Rinosinusitis
Refluks gastroesofageal
Infeksi respiratorik bawah viral berulang
Displasia bronkopulmoner
Tuberkulosis
Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
intratorakal
Aspirasi benda asing
Sindrom diskinesia silier primer
Defisiensi imun
Penyakit jantung bawaan
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
16
Harvien Bhayangkara1102013124
1.8. Tatalaksana
Secara umum Konsensus Nasional juga masih menggunakan alur tersebut dengan
beberapa perubahan dan penambahan. Dalam alur tersebut terlihat bahwa jika tata
laksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap
tidak baik dalam 6-8 minggu maka derajatnya berpindah ke yang lebih berat. Sebaliknya
jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja
pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini tidak mudah dilakukan
berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping
itu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler)
memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu
(untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.7 Bila obat
hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan peroral.
Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam tata laksana
asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat
betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping.7 Di samping itu penggunaan beta-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal
ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat
sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten
ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali
(controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat
17
Harvien Bhayangkara1102013124
hirupan. Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller) untuk
istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional. Obat pengendali
diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan / gejala. Sedangkan obat yang diberikan
saat serangan disebut obat pereda (reliever). Konig menemukan bukti bahwa dengan
mengikuti panduan tata laksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator
tanpa anti-inflamasi pada asma ringan, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada
kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak,
asma sedang yang mendapat kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid
hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang
dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan,
bahkan sampai asmanya asimtomatik.
Asma episodik sering (asma sedang)
Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali
dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.2
Antiinflamas lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10
mg 3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya.
Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali
perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak,
dan efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan
obat satu golongan dengan kro moglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan
batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk anak >2 tahun.
Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak >12 tahun.
Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan pemberian steroid
hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif ) sebagai obat pengendali.
Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3 dari 4) GINA merekomendasikan
steroid hirupan tanpa memberi tempat untuk kromoglikat. Menurut hemat kami,
18
Harvien Bhayangkara1102013124
seyogyanya untuk obat pengendali tetap dimulai dengan kromoglikat dahulu. Jika tidak
berhasil baru diganti dengan steroid hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-
sedatif (misalnya ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak balita
dan/atau asma tipe rinitis.
Asma persisten (asma berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis
hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat.
Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian
steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau
sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada
kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat,
dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek
(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal. Steroid hirupan
biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid
dengan dosis 200 mg/hari, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan
adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai
berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak
terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi dengan
penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang akan meningkatkan deposisi
obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi
absorbsi sistemik. Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai obat pereda tetap
diteruskan
Asma sangat berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali maka
pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma persisten).
19
Harvien Bhayangkara1102013124
Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari secara teratur dan terus
menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma.
Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika
dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali,
maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau
beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat.6 Dahulu beta-agonis dan teofilin
hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga
mempunyai efek anti-inflamasi. Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya
tetap belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan,
bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari
asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.6 Untuk steroid oral sebagai
dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.
(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)
20
Harvien Bhayangkara1102013124
Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit
-
21
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap
berikan pengobatan oral atau inhalasi
Tidak PerbaikanPerbaikan
Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2
injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
Serangan Asma Mengancam JiwaSerangan Asma Sedang/BeratSerangan Asma Ringan
Respons buruk dalam 1 jam
Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
menurun APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 60 mmHg
Respons Tidak Sempurna
Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringan – sedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan
Respons baik
Respons baik dan stabil dalam 60 menit
Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai
terbaik
Penilaian Ulang setelah 1 jam
Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi
Penilaian Awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi
SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik
Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik
Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan kanul
nasal atau masker venturi Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar
teofilin
Pulang
Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2
Membutuhkan kortikosteroid oral
Edukasi pasien- Memakai obat yang
benar- Ikuti rencana pengobatan
selanjutnya
Harvien Bhayangkara1102013124
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik / IGD
22Catatan:
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan
0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan
asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,
lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-
6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif
Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan
klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap
Boleh pulang bekali obat -agonis
(hirupan / oral) jika sudah ada obat
pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg.
pencetus, dapat diberi steroid oral
dalam 24-48 jam kon-
trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi
Serangan berat
(nebulisasi 3x,
respons buruk)
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi
pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika
sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang
Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)
observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh
pulang jika gejala timbul lagi,
perlakukan sebagai serangan sedang
Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,
respons parsial)
berikan oksigen (3)
nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi
Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)
Nilai derajat serangan(1)
(sesuai tabel 3)
Harvien Bhayangkara1102013124
Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang
Asma episodik jarang
3-4 minggu, obat
dosis / minggu > 3x < 3x
Asma episodik sering
6-8 minggu, respons: (-) (+)
Asma persisten
6-8 minggu, respons: (-) (+)
6-8 minggu, respons: (-) (+)
23
Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan
asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,
lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-
6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif
Obat pereda: -agonis atau teofilin
(hirupan atau oral) bila perlu
Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)
Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:
-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)
Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:
-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)
PE
NGHINDARAN
Harvien Bhayangkara1102013124
*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka
obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu.
Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat
profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan- pelan yaitu 25% setip penurunan setelah
tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.
Obat – obat Pereda (Reliever):
I. Bronkodilator
a. Short- acting ß2 agonist :
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor
ß2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah,
otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor ß2 adrenergik
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos
jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast
• Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada ß2 agonis selektif.
Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor ß1, ß2, dan a sehingga menimbulkan efek
24
Obat diganti kortikoteroid oral
Harvien Bhayangkara1102013124
samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol
kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan
menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.
• ß2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral : 0,1-
0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam. Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 -
0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin
nebulisasi : 2,5 mg atau 1
respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai
dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi)
memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 - 4 semprotan tiap 3 - 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi. Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB
melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 - 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse
kontinu. Efek samping ß2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
25
Harvien Bhayangkara1102013124
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan ß2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi ß2 agonist dan anticholinergick. Efek bronkodilatasi teofilin
disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi
tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh
tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui
metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi
dapat
timbul kejang, takikardi dan aritmia.
c. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi ß2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
26
Harvien Bhayangkara1102013124
Terapi inisial inhalasi ß2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan
klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah
prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 –
3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru
lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4– 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.
e. Ekspektoran
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi
salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan.
Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian
yang ada di Puskesmas adalah Obat Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP),
Glicseril guaiakolat (GG).
f. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi
saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
27
Harvien Bhayangkara1102013124
Obat – obat Pengontrol
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled ß2-agonist, theofilin, cromones,
dan long acting oral ß2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan
mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat mencegah
penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau
mengurangi terjadinya down regulation receptor ß2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400ug/hari (respire anak).
Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya
dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut:
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
c. Dapat diberikan per oral.
28
Harvien Bhayangkara1102013124
d. Montelukast. Hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak
mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga
dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
– Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1
kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
– Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada
berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting ß2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug
dengantambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV pagi dan sore,
penggunaan steroid oral,menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi
ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan
salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi
efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek
samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi,
takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung.
29
Harvien Bhayangkara1102013124
Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai
pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Prinsip terapi inhalasi
Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui
penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai
pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti
antibiotik,mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi.
Obat asma inhalasi yang memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru,
dimana saja dan kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas.
Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat asma inhalasi harus berukuran sangat
kecil (2-5 mikron).
Keuntungan terapi inhalasi ini adalah obat bekerja langsung pada saluran napas sehingga
memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan asma karena setelah dihisap, obat
akan langsung menuju paru-paru untuk melonggarkan saluran pernapasan yang
menyempit. Selain itu memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah. Untuk efek samping obat minimal karena
konsentrasi obat didalam rendah.
Jenis Terapi Inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak
mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh pasien, orang cacat, dan orang tua. Namun
keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.
Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
Metered Dose Inhaler (MDI)
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan
30
Harvien Bhayangkara1102013124
di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml)
dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-
1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.
Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup
kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan
obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan
MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih
konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun
Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan ke
paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena
tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung 60-
200 dosis.
Ada indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh produk:
Bricasma, Pulmicort, Symbicort Rotahaler.
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan
menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap.
Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia
lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap
Nebulizer
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang
telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak,
usila dan mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa
31
Harvien Bhayangkara1102013124
kompresor dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer,
karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam
paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk
yang bisa digunakan dengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin
nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk
dipasangkan ke nebulizer.Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas
untuk mengobati bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak
napas dan epiglottis Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan langsung
pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah.
Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.
Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat
daripada rute lainnya seperti: subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah
lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronkus.
Perhatian dan Kontraindikasi
Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan
mask/sungkup, tetapi mask efektifnya berkurang secara spesifik.
Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak
ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang
menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.
Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan.
Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan disritmia
Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent Positive
Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme
32
Harvien Bhayangkara1102013124
1.9. Komplikasi
1. Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai
bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps
paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh
trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah
Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi
sempit oleh adanya lendir.
(Mansjoer, Arif, dkk, (2008), Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media
Aesculapius)
33
Harvien Bhayangkara1102013124
1.10.Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang
telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen
dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak
yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi
senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic
children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak
atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen)
dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu
ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai
pengendali asma (controller).
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT
ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
1.11.Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira
34
Harvien Bhayangkara1102013124
10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan
fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya
ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10
tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai
rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat
relative rendah (6 sampai 19 persen).
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak
progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru
yang irreversible, pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid seperti perokok
sigaret yang tidak dapat dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati,
pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit
yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi
spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita penyakit ini di usia
dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya
serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien menjadi tua.
Daftar pustaka
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT
ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)
(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan
Dokter Anak Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)
35