Tugas Mandiri PBL Skenario 3

50
Harvien Bhayangkara 1102013124 1. Memahami dan Menjelaskan Asma pada Anak 1.1. Definisi Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA) 1.2. Etiologi Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma: 1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya. 2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. 1

description

pbl

Transcript of Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Page 1: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

1. Memahami dan Menjelaskan Asma pada Anak

1.1. Definisi

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang

menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai

dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di

dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik

dengan atau tanpa pengobatan.

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

1.2. Etiologi

Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor

lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan

dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.

Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu

(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi

yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan

dengan hiperreaktivitas bronkus.

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)

maka akan terjadi serangan asma (mengi)

Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah,

binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta

pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan

pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara

dingin, histamin dan metakolin

1

Page 2: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma :

1. Pemicu Asma (Trigger)

Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan

(bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap

menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa

menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang

diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu

pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan

akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi

peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah

perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan,

gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.

2

Faktor genetik

Faktor lingkungan

Sensitisasi inflamas

iGejala Asma

Pemicu (inducer)

Pemacu (enhancer)

Pencetus (trigger)

Hipereaktifitas bronkus obstruksi

Page 3: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

2. Penyebab Asma (Inducer)

Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus

hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer

dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik.

Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih

lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah alergen,

yang tampil dalam bentuk ingestan.(alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut),

inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen

yang didapat melalui kontak dengan kulit

( VitaHealth, 2006).

Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.

Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:

1. Alergen : dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu

binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan

dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan

(seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).

Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Pada beberapa orang

yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan alergen utama

yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini

menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga pemaparan terhadap

faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast.

Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat

respon alergen berupa asma.

2. Olahraga : Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena

aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat

diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise

3

Page 4: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan.

Misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan

dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan

wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit

sebelum latihan.

3. Infeksi bakteri pada saluran napas : Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali

sinusitis mengakibatkan eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan

perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme

mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem

bronkial.

4. Stres : Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain

itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan

motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum

diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

5. Gangguan pada sinus : Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada

sinus, misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini

menyebabkan inflamasi membran mucus.

1.3. Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan

faktor lingkungan.

1. Faktor genetic

Hipereaktivitas

Atopi/alergi bronkus

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

Jenis kelamin

Ras/etnik

2. Faktor lingkungan

4

Page 5: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur

dll)

Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan

laut, susu sapi, telur)

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)

Ekpresi emosi berlebih

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan

aktifitas tertentu

Perubahan cuaca

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT

ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

1.4. Klasifikasi

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)

Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu. ≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi

5

Page 6: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

- Tanpa gejala diluar

serangan.

- Serangan singkat.

APE≥80%

nilai terbaik.

- Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala>1x/minggu

tetapi<1x/hari.

- Serangan dapat

mengganggu aktifiti

dan tidur

>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi

APE≥80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE 20-30%.

Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari.

- Serangan

mengganggu aktifiti

dan tidur.

- Membutuhkan

bronkodilator setiap

hari.

>2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai

prediksi APE 60-80%

nilai terbaik.

- Variabiliti APE>30%.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus menerus

- Sering kambuh

- Aktifiti fisik terbatas

Sering - VEP1≤60% nilai prediksi

APE≤60% nilai terbaik

- Variabiliti APE>30%

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di

Indonesia, 2004

Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)

mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma episodik

sering; dan 3) Asma persisten

6

Page 7: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis,

kebutuhan obat

dan faal paru asma

Asma episodik

jarang

Asma episodik sering Asma persisten

1 Frekuensi

serangan

<1x/bulan >1x/bulan Sering

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang

tahun, tidak ada

periode bebas

serangan

3 Intensitas

serangan

Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

4 Diantara

serangan

Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan

malam

5 Tidur dan

aktifitas

Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu

6 Pemeriksaan

fisik diluar

serangan

Normal ( tidak

ditemukan kelainan)

Mungkin tergganggu

(ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

7 Obat

pengendali(anti

inflamasi)

Tidak perlu Perlu Perlu

8 Uji faal

paru(diluar

PEFatauFEV1>80% PEFatauFEV1<60-80% PEVatauFEV<60%

7

Page 8: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

serangan)

9 Variabilitas faal

paru(bila ada

serangan)

Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%.

Variabilitas >50%

PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced

expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)

Sumber : Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global

Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma

berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan

laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.

Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan

asma serangan berat.

Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).

Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan

ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang

mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang

dapat menyebabkan kematian.

Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap

untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam

menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan

yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien

memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk

dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi (lihat bagan 1, bagan 2 dan bagan 6).

Klasifikasi asma menurut derajat serangan

8

Page 9: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Parameter klinis, fungsi

faal paru, laboratorium

Ringan Sedang Berat Ancaman

henti napas

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi :

Menangis

keras

Bayi :

-Tangis pendek

dan lemah

-Kesulitan

menetek/makan

Bayi :

Tidakmau

makan/minum

Posisi Bisa

berbaring

Lebih suka

duduk

Duduk

bertopang

lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin

iritabel

Biasanya iritabel Biasanya

iritabel

Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Wheezing Sedang,

sering hanya

pada akhir

ekspirasi

Nyaring,

sepanjang

ekspirasi ±

inspirasi

Sangat

nyaring,

terdengar

tanpa

stetoskop

Sulit/tidak

terdengar

Penggunaan otot bantu

respiratorik

Biasanya

tidak

Biasanya ya Ya Gerakan

paradok

torako-

9

Page 10: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

abdominal

Retraksi Dangkal,

retraksi

intercostal

Sedang,

ditambah

retraksi

suprasternal

Dalam,

ditambah

napas cuping

hidung

Dangkal /

hilang

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

Usia Frekuensi napas normal

per menit

< 2 bulan <60

2-12 bulan < 50

1-5 tahun < 40

6-8 tahun < 30

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal

per menit

2-12 bulan < 160

1-2 tahun < 120

6-8 tahun < 110

Pulsus paradoksus

(pemeriksaannya tidak

praktis)

Tidak ada

(< 10 mmHg)

Ada

(10-20 mmHg)

Ada

(>20mmHg)

Tidak ada,

tanda

kelelahan otot

10

Page 11: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

respiratorik

PEFR atau FEV1

(%nilai dugaan/%nilai

terbaik)

Pra bonkodilator

Pasca bronkodilator

>60%

>80%

40-60%

60-80%

<40%

<60%,

respon<2 jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%

PaO2 Normal

(biasanya

tidak perlu

diperiksa)

>60 mmHg <60 mmHg

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Sumber : GINA, 2006

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1023/MENKES/SK/XI/2008

TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA)

1.5. Patofisiologi

Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang

merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena inflamasi

saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di

seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan

napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan

distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak

merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi

dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan

penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan

11

Page 12: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang

menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran

napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan

intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung

yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu

padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan

dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi

hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.

Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas

dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis

respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya

masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman

gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan

produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan

vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan

vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau

tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini dapat

menjelaskan patofisiologi asma.

(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak

Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)

12

Page 13: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

1.6. Manifestasi

1. Serangan Akut

Saat serangan pasien merasa dadanya seperti diikat dan upaya inspirasi dan

ekspirasi sama sama sulit. Mungkin ada batuk yang awalnya kering namun

kemudian menjadi produktif, khususnya jika ada infeksi.Pasien biasanya duduk

tegak dengan dada yang mengembang berlebihan, terdengar mengi ekspirasi, dan

gelang bahu tidak bergerak karena menggunakan otot-otot tambahan

pernfasan.Jumlah nafas mungkin sedikit berubah namun denyut nadi hampir

selalu cepat.

2. Asma Rekuren

Penderita asma ringan biasanya memiliki fungsi respirasi yang normal diantara

serangan, namun penderitas asma berat jangka panjang cenderung mengalami

emfisema dan sesak sampai derajat tertentu serta obstruksi saluran nafas yang

menetap diantara serangan akut. Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk

dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang

harus ada (“sine qua non”).

Objektif

Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.

Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan. Bernafas

dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan, Cyanosis, tachicardia,

gelisah, pulsus paradoksus.Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di

apex dan hilus)

Subjektif : Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.

Psikososial: Cemas, takut dan mudah tersinggung

1.7. Diagnosis & Diagnosis Banding

13

Page 14: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani

dengan semestinya, mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik

awal untuk menegakkan diagnosis.

Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang .

1. Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:

Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?

Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah

terpajan alergen atau polutan?

Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan sesak

di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?

Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas

atau olah raga?

Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat

pelega (bronkodilator)?

Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca

atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?

Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis alergi)?

Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,

saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan.

Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang

paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak

didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat berat

14

Page 15: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan

kesadaran menurun.

Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal

sebagai berikut, sesuai derajat serangan :

Inspeksi

pasien terlihat gelisah,

sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,

retraksi suprasternal),

sianosis

Palpasi

biasanya tidak ditemukan kelainan

pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus

Perkusi

biasanya tidak ditemukan kelainan

Auskultasi

ekspirasi memanjang,

mengi,

suara lendir

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:

Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer

Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter

Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)

Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.

Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.

15

Page 16: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain

asma.

Diagnosis Banding

Dewasa

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Bronkitis kronik

Gagal jantung kongestif

Batuk kronik akibat lain-lain

Disfungsi larings

Obstruksi mekanis

Emboli paru

Anak

Rinosinusitis

Refluks gastroesofageal

Infeksi respiratorik bawah viral berulang

Displasia bronkopulmoner

Tuberkulosis

Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

intratorakal

Aspirasi benda asing

Sindrom diskinesia silier primer

Defisiensi imun

Penyakit jantung bawaan

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA,

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

16

Page 17: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

1.8. Tatalaksana

Secara umum Konsensus Nasional juga masih menggunakan alur tersebut dengan

beberapa perubahan dan penambahan. Dalam alur tersebut terlihat bahwa jika tata

laksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap

tidak baik dalam 6-8 minggu maka derajatnya berpindah ke yang lebih berat. Sebaliknya

jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih

ringan

Asma episodik jarang (asma ringan)

Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja

pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini tidak mudah dilakukan

berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping

itu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler)

memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu

(untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.7 Bila obat

hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan peroral.

Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam tata laksana

asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat

betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan

kemungkinan timbulnya efek samping.7 Di samping itu penggunaan beta-agonis oral

tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal

ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.

Untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat

sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten

ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali

(controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat

17

Page 18: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

hirupan. Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller) untuk

istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional. Obat pengendali

diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan / gejala. Sedangkan obat yang diberikan

saat serangan disebut obat pereda (reliever). Konig menemukan bukti bahwa dengan

mengikuti panduan tata laksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator

tanpa anti-inflamasi pada asma ringan, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada

kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak,

asma sedang yang mendapat kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid

hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang

dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan,

bahkan sampai asmanya asimtomatik.

Asma episodik sering (asma sedang)

Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung

penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali

dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.2

Antiinflamas lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10

mg 3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya.

Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali

perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak,

dan efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan

obat satu golongan dengan kro moglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan

batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk anak >2 tahun.

Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak >12 tahun.

Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan pemberian steroid

hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif ) sebagai obat pengendali.

Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3 dari 4) GINA merekomendasikan

steroid hirupan tanpa memberi tempat untuk kromoglikat. Menurut hemat kami,

18

Page 19: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

seyogyanya untuk obat pengendali tetap dimulai dengan kromoglikat dahulu. Jika tidak

berhasil baru diganti dengan steroid hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-

sedatif (misalnya ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak balita

dan/atau asma tipe rinitis.

Asma persisten (asma berat)

Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis

hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat.

Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian

steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau

sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada

kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat,

dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek

(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal. Steroid hirupan

biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid

dengan dosis 200 mg/hari, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka

panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan

adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai

berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak

terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi dengan

penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang akan meningkatkan deposisi

obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi

absorbsi sistemik. Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang

optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat

dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan

asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai obat pereda tetap

diteruskan

Asma sangat berat

Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali maka

pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma persisten).

19

Page 20: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari secara teratur dan terus

menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma.

Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika

dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali,

maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau

beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat.6 Dahulu beta-agonis dan teofilin

hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga

mempunyai efek anti-inflamasi. Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya

tetap belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan,

bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari

asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.6 Untuk steroid oral sebagai

dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis

terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.

(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak

Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)

20

Page 21: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

-

21

Dirawat di ICU

Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Pulang

Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap

berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak PerbaikanPerbaikan

Pengobatan Awal

Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2

injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) Kortikosteroid sistemik :

- serangan asma berat

- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator

Serangan Asma Mengancam JiwaSerangan Asma Sedang/BeratSerangan Asma Ringan

Respons buruk dalam 1 jam

Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran

menurun APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 60 mmHg

Respons Tidak Sempurna

Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringan – sedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons baik

Respons baik dan stabil dalam 60 menit

Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai

terbaik

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Dirawat di ICU

Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi

SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi

mekanik

Dirawat di RS

Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik

Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan kanul

nasal atau masker venturi Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar

teofilin

Pulang

Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2

Membutuhkan kortikosteroid oral

Edukasi pasien- Memakai obat yang

benar- Ikuti rencana pengobatan

selanjutnya

Page 22: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

22Catatan:

1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik

2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan

0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan

asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,

lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-

6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang

jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan

klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

Boleh pulang bekali obat -agonis

(hirupan / oral) jika sudah ada obat

pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg.

pencetus, dapat diberi steroid oral

dalam 24-48 jam kon-

trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi

Serangan berat

(nebulisasi 3x,

respons buruk)

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi

pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika

sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang

Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)

observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh

pulang jika gejala timbul lagi,

perlakukan sebagai serangan sedang

Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,

respons parsial)

berikan oksigen (3)

nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi

Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)

nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)

Page 23: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Asma episodik jarang

3-4 minggu, obat

dosis / minggu > 3x < 3x

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Asma persisten

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

23

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan

asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,

lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-

6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang

jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Obat pereda: -agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:

-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

PE

NGHINDARAN

Page 24: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat

pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala

asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka

obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu.

Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat

profilaksis. Obat ini digunakan untuk

mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian

pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya

kemudian pemberiannya diturunkan pelan- pelan yaitu 25% setip penurunan setelah

tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever):

I. Bronkodilator

a. Short- acting ß2 agonist :

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor

ß2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,

jantung, pembuluh darah,

otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor ß2 adrenergik

menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos

jalan napas yang menyebabkan terjadinya

bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas

vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast

• Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada ß2 agonis selektif.

Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor ß1, ß2, dan a sehingga menimbulkan efek

24

Obat diganti kortikoteroid oral

Page 25: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

samping berupa sakit

kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol

kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan

menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.

• ß2 agonis selektif

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral : 0,1-

0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6

jam. Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 -

0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu

dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin

nebulisasi : 2,5 mg atau 1

respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai

dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi)

memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 - 4 semprotan tiap 3 - 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat

inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih

sering terjadi. Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB

setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB

melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 - 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse

kontinu. Efek samping ß2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine

25

Page 26: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan ß2 agonist inhalasi, tapi karena efek

sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan

asma berat dengan kombinasi ß2 agonist dan anticholinergick. Efek bronkodilatasi teofilin

disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.

Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian

teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya

adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi

tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh

tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui

metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi

dapat

timbul kejang, takikardi dan aritmia.

c. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi ß2

agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,

nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :

untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya

adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:

26

Page 27: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Terapi inisial inhalasi ß2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan

sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan

klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah

prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 –

3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja

sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,

menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan

menurunkan permeabilitas vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru

lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis

metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis

Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4– 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB

dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

e. Ekspektoran

Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi

salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan.

Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian

yang ada di Puskesmas adalah Obat Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP),

Glicseril guaiakolat (GG).

f. Antibiotik

Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi

saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.

27

Page 28: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Obat – obat Pengontrol

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled ß2-agonist, theofilin, cromones,

dan long acting oral ß2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan

direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan

penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan

asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.

Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-

gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah

sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan

mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat mencegah

penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau

mengurangi terjadinya down regulation receptor ß2 agonist. Dosis yang dapat digunakan

sampai 400ug/hari (respire anak).

Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan

gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya

lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya

dengan steroid hirupan + LABA.

Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut:

a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane

b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;

c. Dapat diberikan per oral.

28

Page 29: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

d. Montelukast. Hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak

mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia;

e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan

kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga

dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta

diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :

– Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1

kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

– Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun

dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada

berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek

samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan

transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting ß2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug

dengantambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV pagi dan sore,

penggunaan steroid oral,menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi

ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan

salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI

sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan

meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan

untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi

efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek

samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi,

takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung.

29

Page 30: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai

pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Prinsip terapi inhalasi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui

penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai

pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti

antibiotik,mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi.

Obat asma inhalasi yang memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru,

dimana saja dan kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas.

Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat asma inhalasi harus berukuran sangat

kecil (2-5 mikron).

Keuntungan terapi inhalasi ini adalah obat bekerja langsung pada saluran napas sehingga

memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan asma karena setelah dihisap, obat

akan langsung menuju paru-paru untuk melonggarkan saluran pernapasan yang

menyempit. Selain itu memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang

sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah. Untuk efek samping obat minimal karena

konsentrasi obat didalam rendah.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak

mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di

saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh pasien, orang cacat, dan orang tua. Namun

keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

Metered Dose Inhaler (MDI)

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga

kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan

30

Page 31: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml)

dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-

1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)

Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup

kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan

obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan

MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih

konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun

Turbuhaler

Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan ke

paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena

tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung 60-

200 dosis.

Ada indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh produk:

Bricasma, Pulmicort, Symbicort Rotahaler.

Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan

menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap.

Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia

lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap

Nebulizer

Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang

telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak,

usila dan mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa

31

Page 32: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

kompresor dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer,

karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam

paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk

yang bisa digunakan dengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin

nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk

dipasangkan ke nebulizer.Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas

untuk mengobati bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak

napas dan epiglottis Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan langsung

pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah.

Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.

Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat

daripada rute lainnya seperti: subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah

lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronkus.

Perhatian dan Kontraindikasi

Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan

mask/sungkup, tetapi mask efektifnya berkurang secara spesifik.

Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak

ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang

menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat

menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.

Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan.

Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan disritmia

Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent Positive

Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme

32

Page 33: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

1.9. Komplikasi

1. Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai

bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps

paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.

2. Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai

emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.

Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh

trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran

udara atau usus ke dalam rongga dada .

3. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan

yang sangat dangkal.

4. Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan

tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat

menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah

Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.

5. Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam

paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan

karbondioksida dalam sel-sel tubuh.

6. Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari

saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain

bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita

merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang

berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi

sempit oleh adanya lendir.

(Mansjoer, Arif, dkk, (2008), Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media

Aesculapius)

33

Page 34: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

1.10.Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu

1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan

risiko asma (orangtua asma), dengan cara :

Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa

perkembangan bayi/anak

Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak

mengganggu asupan janin

Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

Diet hipoalergenik ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang

telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen

dalam ruangan terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak

yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi

senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic

children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak

atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen)

dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu

ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai

pengendali asma (controller).

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT

ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

1.11.Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan

kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira

34

Page 35: Tugas Mandiri PBL Skenario 3

Harvien Bhayangkara1102013124

10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan

fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik

ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya

ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10

tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai

rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat

relative rendah (6 sampai 19 persen).

Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak

progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru

yang irreversible, pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid seperti perokok

sigaret yang tidak dapat dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati,

pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit

yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi

spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita penyakit ini di usia

dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya

serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien menjadi tua.

Daftar pustaka

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1023/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT

ASMA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA)

(Konsensus Nasional Asma Anak Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan

Dokter Anak Indonesia Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66)

35