Tugas Makalah PHI
-
Upload
devananda9 -
Category
Documents
-
view
843 -
download
10
description
Transcript of Tugas Makalah PHI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang 1
I.II Rumusan Masalah 1
I.III Tujuan Penulisan 1
I.IV Manfaat Penulisan 2
BAB II RANGKUMAN DASAR ILMU HUKUM DI INDONESIA
II.I Definisi Hukum 3
II.II Sejarah Hukum 9
II.III Sumber Hukum 14
II.IV Dasar Hukum 17
II.V Hukum Positif 1 8
II.VI Dasar Kemanunggalan 22
II.VII Pluralisme 22
II.VIII Gejala Hukum 24
BAB III HUKUM BERDASARKAN KRITERIA
III.I Kepentingan atau Tujuan 25
III.II Fungsi 26
III.III Berlakunya Hukum 27
III.IV Sifat 28
BAB IV PENUTUP
IV.I Simpulan 29
IV.II Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Fenomena yang berkembang saat ini dalam pembelajaran ilmu hukum khususnya mahasiswa ilmu hukum adalah kurangnya informasi dan media yang memberi pengetahuan secara relevan, tepat dan benar adanya. Dengan demikian perlu adanya kumpulan makalah yang dibuat oleh perorangan dalam mengerti dasar ilmu hukum khusunya hukum yang ada di Indonesia
I.II Rumusan Masalah
I.II.I Apa definisi dari hukum
I.II.II Apa dasar dari hukum
I.II.III Sumber hukum yang ada di Indonesia
I.II.IV Gejala hukum Indonesia
I.II.V Sejarah hukum yang ada di Indonesia
I.II.VI Kriteria atau penggolongan hukum
I.II.VII Pluralisme hukum
I.II.VIII Dasar kemanunggalan hukum
I.II.IX Hukum positif
I.III Tujuan Penulisan
I.III.I Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mempermudah mempelajari hukum di indonesia.
1
I.III.II Tujuan Khusus
Pemenuhan tugas Pengantar Hukum Indonesia di Universitas Udayana fakultas hukum tahun 2013.
I.IV Manfaat Penulisan
Penulisan ini dapat bermanfaat bagi orang awam maupun seseorang yang ingin mengetahui tentang ilmu hukum yang ada di Indonesia.
2
BAB II
RANGKUMAN DASAR ILMU HUKUM DI INDONESIA
II.I Definisi Hukum
Terdapat beberapa pengertian atau definisi hukum menurut para
ahli yang berbeda-beda satu sama lain. Hal ini terjadi karena hingga saat ini
belum ada kesepahaman antara para ahli mengenai definisi hukum yang dapat
disepakati.pengertian hukum berdasarkan ahli adalah sebagai berikut :
Soerojo Wignjodipoero,
hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang berisikan suatu
perintah dan larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
hal, hukum bersifat memaksa serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib
dalam kehidupan bermasyarakat.
J.C.T. Simorangkir, SH & Woerjono Sastroparnoto,
hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa dan menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib dimana pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan
mengakibatkan hukuman yang tertentu
SM. Amin, SH,
hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atasi norma dan
sanksi-sanksi hukum
M.H. Tirtaatmidjaja, SH,
hukum adalah semua aturan norma yang harus diturut dalam tingkah laku
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti
3
kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau
harta
Wirjono Prodjodikoro,
hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-
orang sebagai anggota suatu masyarakat tertentu
Prof. Achmad Ali,
Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem, yang
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia
sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber
dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh
otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan
oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya dan
jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas
tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal
Prof. Soedikno Mertokusumo,
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu
kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
sanksi
Mochtar Kusumaatmadja,
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan
proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan
Abdulkadir Muhammad, SH,
4
Segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas
terhadap pelanggarnya
R. Soeroso SH,
Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk
mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan
melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya
Plato,
Merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat
Aristoteles,
Sesuatu yang sangat berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspresikan
bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para
hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap
pelanggar
Tullius Cicerco (Romawi) ,
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia
untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
Schapera,
Setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan
Hugo de Grotius,
5
Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan
hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which
is right)
Paul Bohannan,
Merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam
pranata hukum
Leon Duguit,
Seluruh aturan tingkah laku anggota suatu masyarakat, dimana aturan tersebut
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan/diikuti oleh anggota
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika ada yang
melanggar, maka akan menimbulkan reaksi bersama terhadap seseorang atau
beberapa orang yang melakukan pelanggaran itu
Pospisil,
Aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi
yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu
otoritas pengendalian
Immanuel Kant,
Keseluruhan syarat-syarat yang dengan syarat-syarat tersebut kehendak bebas
dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
orang yang lain menuruti peraturan hukum mengenai kemerdekaan
Thomas Hobbes,
Perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan
memaksakan perintahnya kepada orang lain
Roscoe Pound,
6
Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia
dengan individu yang lainnya dan hukum merupakan tingkah laku para individu
yang dapat mempengaruhi individu lainnya. Hukum sebagai kumpulan dasar-
dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif
atau A Law as a tool of social engineering
John Austin,
Seperangkat perintah yang diberikan baik langsung maupun tidak langsung dari
pihak mereka yang berkuasa kepada warga masyarakatanya yang merupakan
masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki
otoritas yang tertinggi
Rudolf von Jhering,
Keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara
Karl Von Savigny,
Aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah
manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan
warga masyarakat
Van Vanenhoven,
Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam
keadaan berbenturan tanpa henti dari dan dengan gejala-gejala lain
Karl Marx,
Suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada
suatu tahap perkembangan tertentu
Holmes,
7
Sesuatu yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan
Utrecht,
Himpunan petunjuk hidup,perintah dan larangan yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu. Himpunan peraturan-
peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib
suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri.
Berikut merupakan tambahan definisi-definisi tentang hukum menurut
para ahli :
Van Apeldoorn,
hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin
menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
I Kisch,
oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka sukarlah
untuk membuat definisi tentang hukum yang memuaskan.
Lemaire,
hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan
tak mungkin orang membuat suatu definisi apapun hukum itu sebenarnya.
Grotius,
hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui
sanksi-sanksi yang djatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan
melalui suatu otoritas pengendalian.
Aristoteles,
hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekadar mengatur dan
mengekpresikan bentuk dari kontitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur
8
tingkah laku hakim dan putusannya di pengadilan untk menjatuhkan hukuman
terhadap pelangggar.
Schapera,
hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh
pengadilan.
Paul Bohannan,
hukum adalah merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan
kembali dalam pranata hukum.
Pospisil,
hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui
sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan
melalui suatuotoritas pengendalian.
Karl von Savigny,
hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan
kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum
berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran,
keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Marxist,
hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam
masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
John Austin,
melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun tidak
langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan
masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa)
meruipakan otoritas tertinggi.
Selain pengertian hukum menurut para ahli yang disebutkan diatas,
terdapat juga pengertian hukum secara umum sebagai berikut:
9
Himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat,
dibuat oleh lembaga yang berwenang dan bersifat memaksa serta berisi
perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi
II.II Sejarah Hukum
Sejarah tata hukum Indonesia terdiri atas sebelum tanggal 17 agustus
1945 dan sesudah tanggal 17 agustus 1945. Berikut merupakan kronologi
historisnya.
Masa Verenigde Oost Indische Compagnie(VOC) ( 1602 – 1799)
Sebelum kedatangan belanda pada tahun 1596, orang indonesia atau
nusantara pada zaman itu tunduk pada hukum tidak tertulis yang berlaku di
daerah indonesia ( hukum adat). Setelah orang-orang belanda mendirikan VOC
pada tahun 1602, VOC diberi hak istimewa dalam berdagang yang sibeut hak
octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan
perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Peraturan tersebut
merupakan hukum positif orang belanda di daerah perdagangan. Lalu setiap
peraturan-peraturan yang dibuat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama
Statuten van Batavia ( statuta betawi) pada tahun 1642. Statuta tersebut
berlaku sebagai hukum positif untuk semua kalangan yang berada di daerah
hindia belanda. Dengan demikian tata hukum yang berlaku pada kurun waktu
tersebut adalah aturan yang berasal dari daerah belanda dan kebijakn gubernur
jendral VOC serta aturan adat baik tertulis maupun tidak bagi golongan pribumi.
Masa Besluiten Regerings ( 1814 – 1855)
Setelah adanya penyerahan kembali daerah nusantara dari pihak inggris
ke pihak belanda, para komisaris jendral belanda saat itu tidak membuat
peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya dan tetap memberlakukan
peraturan yang berlaku pada masa inggris berkuasa di indonesia, yakni
10
mengenai landrente ( hak tanah), usaha pertanian, dan susunan pengadilan
buatan Rafles.
Pada tahun 1830 pemerintah belanda berhasil mengkodifikasikan hukum
perdata yang dapat terlaksana pada tanggal 1 oktober 1838. Selanjutnya di
hindia belanda timbul pemikiran untuk mengkodifikasikan hukum perdata yang
berlaku di daerah kolonial tersebut. Maka tanggal 15 Agustus 1839 komisi
undang undang yang dibentuk oleh menteri jajahan belanda menyelesaikan
beberapa peraturan yang kemudian disempurnakan oleh mr. H.L. Wicher yaitu :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie ( RO) atau Peraturan Organisasi
Pengadilan.
2. Algemene Bepalingen van Wetgeping (AB) atau Ketentuan Umum tentang
Perundang-undangan.
3. Burgerlijk Wetboek ( BW) atau Kitab Undang Undang Hukum Sipil (KUHS).
4. Wetboek van Koophandel ( WVK) atau Kitab Undang Undang Hukum
Dagang ( KUHD).
5. Reglement op de Burgerlijke Rechts vordering (RV) atau Peraturan
Tentang Acara Perdata ( AP).
Berdasarkan kenyataan sejarah di atas maka pada saat itu berlaku peraturan
tertulis yang dikodifikasikan, yang tidak dikodifikasikan, serta peraturan tidak
tertulis ( hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan eropa.
Masa Regerings Reglement ( 1855 – 1926)
Pada saat itu peraturan dasar yang dibuat oleh raja bersama dengan
parlemen untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan indonesia adalah
Regerings Reglement (RR). Pada masa berlakunya RR telah berhasil
diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu :
1. Kitab hukum pidana unutk golongan eropa sebagai hasil saduran dari
Code Penal yang berlaku di Belanda waktu itu.
2. Algement Politie Strafreglement sebagi tambahan kitab hukum pidana
untuk golongan eropa.
3. Kitab hukum pidana bagi orang bukam eropa yang isiinya hampir sama
dengan kitab hukum pidana eropa tahun 1866.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan eropa.
11
5. Wetboek van Strafrecht atau hukum perdana materiil.
Masa Indische Staatsregeling ( 1926-1942)
Pada tanggal 23 Juni 1925 RR tersebut diubah menjadi Indische
Staatsregeling ( IS) atau peraturan ketatanegaraan indonesia yang membagi
golongan penduduk untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi
masing-masing golongan, yaitu :
1. Bagi golongan eropa adalah hukum perdata yaitu Burgerlijk Wetboek dan
Wetboek van Koophandel. Untuk hukum pidana materiil yaitu Wetboek
van Strafrecht. Untuk hukum acara yang dilaksanakn dalam proses
pengadilan bagi golongan eropa di jawa dan madura diatur dalam
Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering untuk proses perdata dan
Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana. Adapun
acara peradilan di luar jawa dan madura diatur dalam Rechts Reglement
Buitengewesten (RBg).
2. Bagi golongan pribumi atau bumiputra hukum perdatatnya adalah hukum
adat yang tidak tertulis tetapi kedudukannya dalam kolonial Hindia
Belanda tidak mutlak dan dapat diganti dengan ordonasi jika dikehendaki
dengan pemerintah Hindia Belanda. Adapun hukum yang berlaku bagi
golongan pribumi dengan contoh adalah Staatblad 1927 nomor 91
(koperasi pribumi), Staatblad 1931 nomor 53 ( pengangkatan wali di Jawa
dan Madura), Staatblad 1933 nomor 74 ( perkawinan orang kristen di
Jawa, Minahasa dan Ambon), Staatblad 1933 nomor 75 (pencatatan jiwa
bagi orang Indonesia), Staatblad 1939 nomor 569 ( Maskapai Andil) dan
Staatblad 1939 nomor 570 ( perhimpunan pribumi). Sedangkan hukum
perdana materiil yang berlaku di golongan pribumi antara lain adalah
hukum pidana materiil ( Wetboek van Strafrecht), Hukum acara perdata
untuk daerah jawa dan madura ( Inlands Reglements) dan bagi acara
peradilan peradilan di luar jawa dan madura diatur dalam Rechts
Reglement Buitengewesten.
3. Bagi golongan timur asing berlakulah hukum perdata dan hukumm pidana
adat mereka, namun beberapa golongan timur asing juga tunduk dengan
hukum acara yang berlaku di daerah Eropa dan hukum acara yang berlaku
bagi golongan pribumi
12
Masa Jepang (Osamu Seirei)
Pada masa ini pemerintah di Indonesia berpedoman terhadap undang-undang
yang disebut dengan Gun Seirei melalui Osamu Seirei dan peraturan pelaksana
Osamu Kanrei. Osamu Seirei berlaku secara umum, sedangkan Osamu Kanrei
sebagai peraturan pelaksana isinya juga mengatur hal yang diperlukan unutk
menjaga ketertiban umum dan keamanan. Untuk golongan Eropa, Timur Asing
Cina dan Indonesia Timur Asing bukan Cina yang dulunya tunduk terhadap
hukum Eropa tetap berlaku baginya hukum perdata Eropa tersebut. Adapun
bagi golongan Indonesia dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak
tunduk terhadap hukum Eropa teap memberlakukan hukum-hukum perdata
adatnya. Selanjutnya pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun
Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei nomor 25 tahun 1944, yang memuat
aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus, sebagai pelengkap
peraturan yang ada sebelumnya.
Masa Tahun 1945 – 1949
Setelah bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, saat
itu juga pemerintah Indonesia mengambil sikap untuk mengambil sikap untuk
menentukan nasib bangsa sendiri, mengatur dan menyusun negarnya serta
menetapkan tata hukumnya , sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkanlah Undang-Undang Dasar 1945. Menurut ketentuan pasal 1 dan 2
aturan peralihan tersebut dapat diketahui bahwa semua peraturan dan lembaga
yang telah ada dan berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun Jepang,
tetap diberlakukan dan difungsikan. Dengan demikian tata hukum yang berlaku
pada masa tersebut adalah semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku
pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang dan peraturan baru yang
dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun 1945 – 1949.
13
Masa Tahun 1949 – 1950
Berdasarkan hasil konferensi meja bundar tahun 1949, berlakulah
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum yang berlaku pada
waktu itu adalah peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945 – 1949 dan
peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia
Serikat selama kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus
1950. Berdasarkan ketentuan pasal 192 KRIS aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Serikat.
Masa Tahun 1950 – 1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara
kesatuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku sampai tanggal 4
Juli 1959. Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang
terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan pasal 142
UUDS 1950, dan ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh
pemerintah negara selama kurun waktu tersebut.
Masa Tahun 1959 – Sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 tidak berlaku lagi dan kembali berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945 sampai sekarang. Adapun tata urutan peaturan yang diatur
berdasarkan ketetapan MPR nomor III tahun 2000 adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5. Peraturan Pemerintah.
6. Keputusan Presiden.
7. Peraturan Daerah.
14
II.III Sumber Hukum
Ada 2 sumber hukum yatu sumber hukum dalam arti materil dan formil :
Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah faktor yg turut serta menentukan isi
hukum. Dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah,
sosiologi, filsafat, agama, dll. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah
faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh
terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb). Atau faktor
yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat
darimana materi hukum tiu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor
yang membantu pembentukan hukum.
Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan. Faktor idiil
adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh
para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam
melaksanakan tugasnya. Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-
benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku
sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur
ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dll
Dalam berbagai kepustakan hukum ditemukan bahwa sumber hukum
materil itu terdiri dari tiga jenis yaitu (van Apeldoorn) :
1) sumber hukum historis (rechtsbron in historischezin) yaitu tempat kita dapat
menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini
dibagi menjadi :
a) Sumber hukum yg merupakan tempat dapat ditemukan atau dikenal
hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar, dll.
b) Sumber hukum yg merupakan tempat pembentuk UU mengambil
hukumnya.
2) sumber hukum sosiologis (rechtsbron in sociologischezin) yaitu Sumber
hukum dalam arti sosiologis yaitu merupakan faktor-faktor yang menentukan isi
hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, kebudayaan
dsb.
15
3) sumber hukum filosofis (rechtsbron in filosofischezin) sumber hukum ini dibagi
lebih lanjut menjadi dua :
a) Sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum asalnya darimana. Ada
tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu :
-pandangan theocratis, menurut pandangan ini hukum berasal dari Tuhan
-pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
akal manusia
-pandangan mazhab hostoris, menurut pandangan isi hukum berasal dari
kesadaran hukum.
b). Sumber kekuatan mengikat dari hukum yaitu mengapa hukum
mempuyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.
Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu
yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi sumber hukum
formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati
oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum.
Macam-macam sumber hukum formal :
1) Undang-undang, yaitu suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara
Menurut Buys, Undang-Undang itu mempunyai 2 arti :
Dalam arti formil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan UU
karena cara pembuatannya (misalnya, dibuat oleh pemerintah bersama-
sama dengan parlemen)
Dalam arti material, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat setiap penduduk.
2) Kebiasaan (custom) adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima
16
oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan
rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan
sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu
kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
3) Jurisprudensi (keputusan hakim) adalah keputusan hakim yang terdahulu yag
dijadikan dasar pada keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini
menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa
hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia
sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai
pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang
sama.
Ada 2 jenis yurisprudensi :
1. Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan
yang serupa dan dijadikan dasar atau patokanuntuk memutuskan suatu
perkara (standart arresten)
2. Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan
standart arresten.
4) Traktat (treaty) adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 negara atau lebih
yang mengikat tidak saja kepada masing-masing negara itu melainkan mengikat
pula warga negara-negara dari negara-negara yang berkepentingan. Traktat
dibagi menjadi :
1. Traktat bilateral, yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya
perjanjian internasional yang diadakan diadakan antara pemerintah RI dengan
pemerintah RRC tentang “Dwikewarganegaraan”.
2. Traktat multilateral, yaitu perjanjian internaisonal yang diikuti oleh beberapa
negara, misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-negara
Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.
E. Perjanjian (overeenkomst) adalah suatu peristiwa dimana dua orang
atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu. Para pihak yang telah saling sepakat mengenai hal-hal yang
17
diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya (asas pact
sunt servanda).
F. Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau
beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusannya.
II.IV Dasar Hukum
Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap
penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang
perorangan atau badan hukum. Selain itu dasar hukum juga dapat berupa norma
hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
landasan atau dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang
lebih baru dan atau yang lebih rendah derajatnya dalam hirarki atau tata urutan
peraturan perundang-undangan. Bentuk yang disebut terakhir ini juga biasanya
disebut sebagai landasan yuridis yang biasanya tercantum dalam considerans
peraturan hukum atau surat keputusan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga
tertentu.
Dasar hukum dalam pembentukan Surat keputusan merupakan sesuatu
yang penting karena menunjukkan darimana kewenangan seorang pejabat atau
lembaga tertentu mendapatkan legitimasi untuk membuat surat keputusan itu.
Demikian halnya dengan dasar hukum yang biasanya disebutkan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah dan
peraturan daerah. Dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang
dimaksud tersebut adalah merujuk darimana perintah untuk membuat
pengaturan tersebut diperoleh oleh suatu peraturan daerah dan atau darimana
sumber kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu untuk membuat
produk perundang-undangan yang sebagaimana dimaksud.
Setiap penyelenggaraan tugas, fungsi dan wewenang oleh lembaga-lembaga
negara harus memiliki dasar hukum atau paling tidak tindakan atau
penyelenggaraan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika
serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18
Penentuan suatu dasar hukum dapat dilakukan dengan mengambil
ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang isinya kurang
lebih menyuratkan perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu tindakan
hukum. Dasar hukum merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang secara jelas dapat dimengerti maksud dan tujuannya karena secara tegas
menyebutkan ketentuan tersebut sebagai pendukung sebuah tindakan hukum.
Sedangkan hukum dasar memuat ketentuan peraturan hukum berupa prinsip-
prinsip hukum umum atau secara garis besarnya saja, tidak terperinci dan tidak
mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam hukum dasar inilah kemudian dibuat penjabaran yang
menguraikan ketentuan tersebut secara lebih spesifik dalam peraturan
perundang-undangan.
II.V Hukum Positif
Hukum positif dalam hilisan ini adalah Hukum Positif Indonesia. Dan yang
diartikan sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum
tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadilan dalam negara Indonesia. " Penekanan " pada saat ini sedang berlaku,
karena secara keilmuan Rechtwefenschap, pengertian hukum positif diperluas.
Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum
yang pernah berlaku dimasa lalu. Perluasan ini timbul karena dalam definisi
keilmuan mengenai hukum positif dimasukkan unsur "berlaku pada waktu
tertenu dan tempat tertentu." Hukum yang pernah berlaku, adalah juga hukum
yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk
pengertian hukum positif, walaupun dimasa lalu. Memasukkan hukum yang
pernah berlaku sebagai hukum positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian
keilmuan yang membedakan antara ius constitutum dan ius constituendum. Ius
constituendum lazim didefinisikan sebagai hukum yang diinginkan atau yang
dicita-citakan, yaitu "hukum" yang telah didapati dalam rumusan-rumusan
hukum tetapi belum berlaku. Berbagai rancangan peraturan perundang-
undangan (RUU, RPP, R.Perda, dan lain-lain rancangan peraturan) adalah contoh-
contoh dari ius constituendum. Termasuk juga ius constituendum adalah
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku
misalnya: Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
19
Negara telah menjadi Undang-Undang pada tahun 1986, tetapi baru dijalankan
lima tahun kemudian (1991). Selama lima tahun tersebut, Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 merupakan ius constituendum. Pada suatu ketika didapati berbagai
rancangan perubahan Undang-Undang Dasar yang telah di susun PAH I MPR,
merupakan ius constituendum yang diharapkan suatu ketika ditetapkan sebagai
ius constitution. Dipihak lain ada ius constitutum yaitu hukum yang berlaku atau
disebut hukum positif. Hukum yang pernah berlaku adalah ius constitutum
walaupun tidak berlaku lagi, karena tidak mungkin dimasukkan sebagai ius
constituendum.
Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis dan hukum
positif tidak tertulis.
1. Hukum Positif Tertulis, dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang
berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus.
1.1Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari:
a) Peraturan perundang-undangan; yaitu hukum positif tertulis yang
dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan
yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan
tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum. Termasuk
dalam kategori peraturan perundang¬undangan adalah aturan hukum
sebagaimana disebutkan dalam Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari
wewenang pembentukannya, peraturan perundang-undangan dapat
dibedakan antara yang bersifatkenegaraandanyang bersifat
administrasi negara. Selanjutnya ditinjau dari daya ikatrlya ada yang
bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan ada yang bersifat
administrasi negara (admnistratiefrechttelijk). Ditinjau dari lingkungan
tempat berlaku, dapat dibedakan antara peraturan perundang-
undangan tingkat nasional dan daerah.
b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy rides),
yaitu peraturan yang dibuat baik kewenangan atau materi muatannya
tidak berdasar pada peraturan perundang-undangan, delegasi, atau
mandat, melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari Freis
Ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk
20
mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Aturan kebijakan hanya didapati dalam lapangan administrasi negara,
karena itu keientuan aturan kebijakan hanya dalam lapangan hukum
administrasi negara. Termasuk kedalam kategori ini adalah "surat
edaran, juklak, juknis." Pada saat ini didapati juga semacam aturan
kebijakan yang dikeluarkan oleh badan yang bukan administrasi
negara seperti Surat Edaran Mahkamah Agung. Meskipun dari segi
bentuk, menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat Edaran
Mahkamah Agung tidak perlu dikategorikan sebagai aturan kebijakan.
Pertama; Mahkamah Agung bukan administrasi negara. Kedua;
wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan
pada kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang.
Ketiga; Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang
terbatas yaitu sebagai pedoman yang berisi petunjuk bagi badan
peradilan tingkat rendah yang mandiri dalam menjalankan fungsi
peradilan.
1.2 Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis yang
berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan administrasi negara dan
yang ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara. Disebut berlaku
khusus karena hanya berlaku untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan
atau obyek atau obyek-objek tertentu yang bersifat konkrit. Berbagai hukum
positif tertulis yang berlaku khusus, adalah:
a) Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit.
Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau
keputusan semacam ini lazim disebut atau dinamakan beschikking. Pada
negara-negara berbahasa Inggris disebut decree. Bentuk hukum yang
dipergunakan adalah keputusan, seperti Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam kategori ini keputusan
administrasi negara mengenai pengangkatan atau pemberhentian pejabat
dalam lingkungan administrasi negara, pemberian atau pencabutan hak
atau izin atas obyek tertentu dan lain-lain yang bersifat konkrit dan
tertentu subyek dan atau obyeknya. Ketetapan atau keputusan konkrit
badan-badan kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara
bukan atas nama pemerintah (administrasi negara).
21
b) Ketetapan atau keputusan suatu lembaga negara yang berwenang
mengangkat atau memberhentixan pejabat lembaga negara lainnya.
Misalnya Ketetapan MPR yang mengangkat dan memberhentikan Presiden
clan Wakil Presiden. Ketetapan MPR mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden tidak mempunyai arti hukum yang bersifat konstitutif. Seorang
menjadi Presiden atau Wakil Presiden bukan karena ada Ketetapan
melainkan karena dipilih MPR. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan
mulai berwenang menjalankan jabatan sejak mengucapkan sumpah bukan
karena ada Ketetatapan MPR. Praktek ketatanegaraan semacam ini tidak
akan didapati lagi karena dimasa depan, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat.
2. Hukum Positif Tidak Tertulis, yang dapat dibedakan atau terdiri dari Hukum
Adat, Hukum Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis lainnya:
a) Hukum Adat, yaitu hukum ash bangsa Indonesia yang hidup dan
berlaku secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang
berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim.
Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan
(dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis,
karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang
berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas
dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan
berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai hukum
positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif tertulis atau karena
yurisprudensi.
b) Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama
yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem
keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai
agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan -
melalui undang-undang- sebagai hukum positif.
c) Hukum Yurisprudensi, adalah hukum positif yang berlaku secara umum
yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan sifat
22
hukum antara putusan hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim adalah
hukum yang bersifat konkrit dan khusus berlaku pada subyek yang terkena atau
terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat suatu putusan hakim diterima
sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan
dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.
d) Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam
praktek penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dan hukum yang tumbuh
dan dijalankan dalam praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain. Hukum-
hukum ini sebenarnya merupakan (hukum) adat istiadat. Secara singkat dapat
disebut hukum adat.
II.VI Dasar Kemanunggalan
Indonesia adalah negara demokratis dan menempatkan kedaulatan di
tangan rakyat serta menempatkan hukum sebgai panglima atau penguasa,
karena Indonesia juga merupakan negara hukum. Opini ini menyatakan politik,
kekuasaan dan hukum dalam praktiknya menjadi “ manunggal” karena proses
pembuatan UU adalah sebuah proses politik yang dibuat bersama antara
pemerintah dan DPR.
II.VII Pluralisme
Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman
hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu
aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada
dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John
Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Gagasan
pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an,
bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang
berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara
tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam
23
suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga
negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah
hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas
kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-
kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang
lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71).
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah
kritik, di antaranya: (i) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada
batasan istilah hukum yang digunakan; (ii) pluralisme hukum dianggap kurang
mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi
terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu kelemahan
penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek
keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep
jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai
untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam peraturan perundang-undangan yang ada di indonesia dengan contoh
adalah dalam menentukan batas usia dewasa seseorang.
Dalam KUHP yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun
atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah.
Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum
berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur
17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan
belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21
tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup
umur". Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa.
Sedangkan menurut UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam
pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut
uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan hanya diizinkan bila pihak
pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Penentuan batas usia dewasa anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan seperti yang telah diuraikan satu persatu diatas,
merupakan potret bagi pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan
24
yang masih berlaku sampai dengan saat ini, hal tersebut merupakan cermin bagi
masyarakat untuk menentukan batas usia saja tidak hanya diatur dalam satu
peraturan perundang-undangan tetapi di ada di atur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan kita yang berbeda-beda dalam menentukan batas usia
dewasa anak.
II.VIII Gejala Hukum
Manusia, dari lahir sampai meninggal, hidup dalam pergaulan di antara
manusia lain. Manusia adalah anggota masyarakat. Oleh Aristoteles (ahli
filsafat Yunani) berkata Manusia itu “zoon politicon”.
Masing-masing manusia berkepentingan yang sama dan yang berbeda.
Misalnya kepentingan penjual menerima pembayaran dan kepentingan
pembeli menerima barang/jasa.
Pertentangan antara kepentingan itu dapat menimbulkan kekacauan
bilamana tidak ada suatu kekuasaan – yakni tata tertib – yang dapat
menyeimbangkan (in evenwicht houden) kepentingan yang bertentangan
tersebut.
Sebab itu, supaya perdamaian dalam masyarakat tetap terpelihara,
maka oleh manusia sendiri dibuat petunjuk hidup (levensvoorschriften).
Petunjuk itu diberi nama kaidah (norm) – terdapat dalam hukum, kebiasaan,
adat istiadat, agama dan kesusilaan. Petunjuk itu menjadi suatu gejala
sosial , yang terdapat dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala sosial.
Dan tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum.
Hukum berusaha membawa jaminan bagi seseorang, bahwa
kepentingannya diperhatikan oleh tiap orang lain. Misalnya pasal 1474 dan
1513 KUH Perdata. Ketentuan pertama membawa jaminan bagi pembeli
menerima penyerahan barang. Ketentuan kedua membawa jaminan bagi
penjual menerima pembayaran. Oleh ketentuan tersebut maka dua
kepentingan disetarakan.
Sebagai gejala sosial, hukum menjadi suatu aspek dari kebudayaan.
Seperti halnya dengan agama, kesusilaan, adat istiadat dan kebiasaan, yang
masing-masing menjadi anasir-anasir kebudayaan kita.
25
BAB III
HUKUM BERDASARKAN KRITERIA
III.I Kepentingan atau Tujuan
Berikut merupakan tujuan hukum menurut teori-teori yang ada di seluruh
dunia :
1. Teori etis (etische theorie)
Teori ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk
mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan
oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori
ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam bukunya Ethica
Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ” hukum mempunyai tugas yang
suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :
1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang
jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap
orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya,
melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.
2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang
jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya
hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau
sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.
Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap
orang memperoleh bagian yg sama.
26
2. Teori utilitas (utiliteis theorie)
Menurut teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus
teori ini adalah Jeremy Betham. Dalam bukunya yang berjudul “introduction to
the morals and legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/manfaat bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah
memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan tidak mempertimbangkan tentang
hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk menerima anggapan Betham ini
sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu
belum tentu memenuhi nilai keadilan atau dengan kata lain apabila yang
berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping,
dan jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu,
hal ini akan menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.
3. Teori campuran
Teori ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok
dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu tujuan lain dari
hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya
menurut masyarakat dan zamannya.
4.Teori normatif-dogmatif
Tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum
(John Austin dan van Kan). Arti kepastian hukum disini adalah adanya
melegalkan kepastian hak dan kewajiban. Van Kan berpendapat tujuan hukum
adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan
terjaminnya kepastiannya.
5. Teori Peace (damai sejahtera)
Menurut teori ini dalam keadaan damai sejahtera (peace) terdapat
kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak benar-benar
mendapatkan haknya dan adanya perlindungan bagi rakyat. Hukum harus dapat
menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban.
27
III.II Fungsi
1. Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Hukum sbg petunjuk bertingkah laku untuk itu masyarakat harus menyadari
adanya perintah dan larangan dalam hukum sehingga fungsi hukum sebagai
alat ketertiban masyarakat dapat direalisir.
2. Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum
yg bersifat mengikat, memaksa dan dipaksakan oleh alat negara yang
berwenang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran karena ada
ancaman hukumanya (penjara, dll) dan dapat diterapkan kepada siapa saja.
Dengan demikian keadilan akan tercapai.
3. Hukum berfungsi sebagai alat penggerak pembangunan karena ia
mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat dimamfaatkan sebagai alat
otoritas untuk mengarahkan masyarakat ke arah yg maju.
4. Hukum berfungsi sebagai alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum tidak
hanya mengawasi masyarakat semata-mata tetapi berperan juga untuk
mengawasi pejabat pemerintah, para penegak hukum, maupun aparatur
pengawasan sendiri. Dengan demikian semuanya harus bertingkah laku
menurut ketentuan yg berlaku dan masyarakt pun akan merasakan keadilan.
5. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan pertingkaian. Contoh
kasus tanah.
III.III Berlakunya Hukum
Berdasarkan berlakunya, hukum dapat dibagi menjadi :
1. Berdasarkan tempat berlakunya suatu hukum :
a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku pada suatu wilayah
negara tertentu. Bagi seorang warga negara suatu negara maka
hukum negaranya merupakan hukum nasionalnya, sedangkan
hukum negara lain disebutnya sebagai hukum asing.
b. Hukum internasional, yaitu hukum yang berlaku di wilayah berbagai
negara.
c. Hukum asing, adalah hukum yang berlaku di negara lain.
2. Berdasarkan waktu berlakunya suatu hukum :
28
a. Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu. Ius
constitutum ini disebut juga dengan hukum positif.
b. Ius Constituendum, yaitu hukum yang dicita-citakan (diharapkan )
berlaku pada masa yang akan datang.
c. Hukum Alam ( Nature Law), yaitu hukum yang berlaku di mana-
mana, kapan saja dan untuk siapa saja. Jadi hukum alam ini bersifat
universalis, tidak mengenal batasan dan bersifat abadi.
III.IV Sifat
Berdasarkan sifatnya, hukum dapat digolongkan dalam:
1. Hukum yang bersifat memaksa (imperatif), ketentuan hukum yang tidak dapat di kesampingkan oleh para pihak.
2. Hukum yang bersifat mengatur (fakultatif), ketentuan hukum yang dapat di kesampingkan oleh para pihak apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat ketentuan sendiri dalam perjanjian.
29
BAB IV
PENUTUP
IV.I Simpulan
IV.II Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, Titon Slamet S.H., M.H., Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2009.
Ishaq, S.H., M.Hum., Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum. dan I Ketut Tjukup, S.H., M.H., Bahan Kuliah :
Pengantar Ilmu Hukum, Bagian Dasar Ilmu Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, 2005.
Sudarsono, Drs., S.H., M.Si., Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Mertokusumo, Prof. Dr. Sudikno, S.H., Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986.
www.statushukum.com
www.tiarramon.wordpress.com
www.harliandasaputra.blogspot.com
www.p2d.org
www.emakalah.com
www.pdhi1956.wordpress.com
31