Tugas makalah pai
-
Upload
nana-dibra -
Category
Presentations & Public Speaking
-
view
363 -
download
4
description
Transcript of Tugas makalah pai
KATA PENGANTAR
Berawal dari hati, ingin kami ucapkan semua rasa syukur ini kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta pertolongannya kepada kami melalui orang-orang
pilihan-Nya, sehingga Makalah ini dapat selesai tepat waktu. Shalawat serta salam tetap
tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah mengingatkan kami
tentang arti kesabaran, kerja keras, dan perjuangan dalam menjalani kehidupan.
Penulisan Makalah ini melalui perjalanan yang tidak mudah. Cukup melelahkan dan
banyak cobaan. Tapi insya Allah semua itu memberi arti tersendiri untuk kami. Semua itu tak
lepas dari teman, sahabat, dan para pengajar. Disini pula kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak
2. Anggota kelompok kami yang senantiasa membantu demi kelancaran Makalah ini
3. Orang tua kami tercinta yang selalu mendukung kami dari segala arah
4. Semua teman dan sahabat yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.
Penulis telah berupaya untuk menyelesaikan Makalah dengan baik dan sesempurna
mungkin, akan tetapi tentunya masih ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka dari itu,
penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.
Surabaya, 21 September 2014
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang muslim yang paripurna adalah nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal
dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan
manusia, sehingga sulit diterka mana lebih dulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran
akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian aqidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang
menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi aqidah, Islam hanya menerima
hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran aqidah yang benar dan
lurus.
Konsep ketuhanan dalam Islam mulai muncul setelah wafat-Nya Rasulullah
Muhammad SAW. Karena muncul beberapa aliran yang sifatnya tradisional dan modern.
Sering sekali terjadi pendapat dan tafsiran terhadap Al-quran dan Hadits. Ada yang melihat
secara tekstual dan ada yang melihat secara kontekstual.
Dalam Islam, konsep ketuhanan merupakan hal utama dan paling awal yang harus
diperbaiki, karena itu merupakan pondasi yang menopang kehidupan ke-Islamannya nanti.
Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena kalau tidak, itu akan mengurangi
hakekat ke-Islaman seorang manusia.
Pembuktian wujud tuhan seorang Islam atau pembuktian wujud Allah sangatlah susah
karena tidak ada yang pernah dan bisa melihat Allah, tapi hal yang harus kita ketahui bahwa
manusia tidak mungkin bisa ada tanpa pencipta, dunia dan alam ini tidak mungkin bisa ada
tanpa pencipta. Tidak mungkin semua hal itu bisa ada tanpa adanya sang pencipta. Dan
penciptanya itu adalah Allah. Manusia, hewan, dan alam ini adalah akibat, sedangkan
sebabnya adalah Allah SWT.
Keimanan seseorang tumbuh dari lingkungan, seorang anak yang lahir dari keluarga
yang bagus ibadahnya kemungkinan besar ibadahnya juga bagus, keimanan akan tumbuh
dengan baik ketika kita pelihara, harus ada pembiasaan dalam melakukan ibadah.
Beriman kepada Allah tidak hanya sekedar mengucapkan tapi harus dikuatkan dalam
hati dan dibuktikan lewat perbuatan. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang sesuai
dengan ajaran Agama Islam.
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai.
Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan
kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal
sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan
diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan
mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut.
Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak
serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai
membina jiwa generasi mendatang, dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar,
pikir, dan akal budi mereka, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif
pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan
berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera
diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan
berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan
dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu, Islam adalah
agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan
keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin
menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki
tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman
ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali
dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang
begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam
tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti
perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena
Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-
cabang keimanan.
Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang
eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh
yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana
filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan
adanya penggerak yang tak terlihat.
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini
kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam.
Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam
dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina,
dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf dalam
penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat.
Ketika kita membahas tentang hakikat alam, maka sesungguhnya kita pun membahas tentang
eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu
pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak
mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan
faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan
seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yakni,
Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia
meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.
Dalam Al-qur’an, kata tuhan disebut dengan kata “ilah” dipakai untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan oleh manusia.
Menurut Al-qur’an, Tuhan (ilah) diartikan sesuatu yang sangat dipentingkan oleh
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya untuk dikuasai olehnya.
Dipentingkan secara luas berarti :
1. Dipuja
2. Dicintai
3. Diharapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan
4. Ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (Tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya
ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi
ilah (Tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula
berperan sebagai ilah. Sebelum turun Al-Quran di kalangan masyarakat, Arab telah menganut
konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam doa maupun acara-acara ritual. Abu Thalib,
ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun
sebelum turunya Al-Quran), ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. Adanya nama
Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya
Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemahabesaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-
lain, telah terbukti. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan, Apakah konsep ketuhanan
yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam
mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika
konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka
yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari
konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti : konsep
tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep
penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya
konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari
pemahaman konsep Tuhan.
Konsep Tuhan dalam Islam, bersifat unik dan final, yang tidak sama dengan konsep
Tuhan dalam agama-agama lain, seperti : Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Berbeda juga dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi
mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Al-Attas bahwa:
“The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God
Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the
conceptions of God understood in greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the
conceptionsvof God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of
Occidental and Oriental mystical traditions”.
Konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang
juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah, Shalih fi kulli zaman wa
makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas menjelaskan “The nature of God
as revealed in Islam is Derived from Revelation”.
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personifikasi,
sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak, ruh
qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan
filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada
dalam pikiran manusia. Yang berarti bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan
itu tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda
dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran
mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta.
Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan
konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan
konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun
kaum pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun
konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun
doktrinnya di atas keraguan-raguan (skeptis) dengan meragukan kebenaran yang seharusnya
diyakini. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan pada konsep Tuhan dua agama
semitik (Kristen dan Islam) dan Tuhan dalam pandangan Pluralisme agama.
Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam Al-Qur’an yang tergambar dalam
syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan
meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah.
Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan bahwa Muhammad sebagai
utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid
disini dinamakan tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang Maha Esa
sebagai satu-satunya Tuhan.
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, diantaranya, dalam
Surah Muhammad, Allah telah menyatakan “ketahuilah bahwa tiada tuhan selain
Allah”. Dalam Surah Thaha, Allah berfirman, “ Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang
akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku.
Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku”. Ayat ini merupakan
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam Surah Al-Isra’, Allah
berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”. Dari beberapa ayat tersebut, nampak jelas bahwa
Tuhan dalam Islam adalah Allah.
Selain terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa ilaaha illallah juga terdapat dalam
beberapa hadits. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari ayahnya, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan lisannya, dan dengan ini kalbunya
tentram, niscaya ia diharamkan menghuni neraka”. Riwayat lain, dari Mu’ad ibn Jabal
meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Siapa yang akhir
perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga.
BAB II
PERMASALAHAN
Beberapa masalah yang akan dibahas pada Makalah ini antara lain :
2.1 Siapakah Tuhan itu?
2.2 Bagaimana Sejarah Pemikiran Manusia tentang Konsep Ketuhanan?
2.3 Siapakah Tuhan menurut Pandangan Islam?
2.4 Bagaimana Pembuktian Wujud Tuhan?
2.5 Apa Pengertian Iman dan Taqwa kepada Tuhan?
2.6 Bagaimana Tanda-tanda Orang Beriman serta Bertaqwa kepada Tuhan?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Tuhan
Secara umum, Tuhan sering disebut-sebut dengan nama Sang Pencipta. Penggunaan
Logika yang benar dapat mengantar manusia mengenal pencipta-Nya, yaitu dengan
merenungi ciptaan-Nya serta tanda-tanda kekuasaan-Nya. Hal ini akan lebih lengkap jika
dibarengi dengan qalbu yang tidak pernah membohongi pemilik-Nya. Kedua anugerah sangat
berharga dari Sang Pencipta tersebut dilengkapi dengan panduan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan dan kemampuan berfikir (logika) umat manusia. Itulah makanya penjelasan
dalam kitab suci samawi selalu bertambah, dari yang paling awal hingga yang paling terakhir.
Ibarat sebuah software, maka setiap edisi akan lebih baik dari edisi sebelumnya
hingga sampai pada edisi yang sempurna. Namun demikian, pesan utamanya selalu sama
walau umat yang menerima petunjuk tersebut tidak mau atau memang tidak memahami pesan
dari kitab suci tersebut. Pesan tauhid selalu diletakkan dalam urutan nomor satu di dalam
semua kitab samawi, mulai dari Shuhuf Ibrahim, Taurat, Zabur (Mazmur), Injil hingga Al-
Qur'an. Sekuat apapun manusia mencoba menutupi kebenaran dan membelokkan ajaran
tersebut, sunnatullah akan berkata lain. Kebenaran itu akan terkuak sekalipun masih ada saja
manusia yang tetap tidak mau menerimanya.
Sebagai contoh, Ajaran Ibrahim Alaihi Sallam (2000-1900 SM) hingga Musa Alaihi
Sallam (1400 SM) yang sempat punah, ditulis kembali Oleh Ezra atau Uzair pada 536-456
SM yang masuk ke dalam Perjanjian Lama sebagai "The book of Ezra." Ajaran Ezra yang
dibelokkan oleh Bani Israel, diperbarui dan digenapi oleh Injil yang diturunkan kepada Isa
Alaihi Sallam (Abad Pertama Masehi).
Saat ajaran Injil dibelokkan lagi, Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad
Salallahu'alaihi Wasallam dan tidak pernah berubah hingga akhir zaman. Namun, ketika
pelurusan Al-Qur'an tidak diterima oleh para ahli kitab (mereka yang mengimani kitab-kitab
Taurat, Zabur, dan Injil), Allah memperingatkan ahli kitab dengan dua peristiwa besar, yaitu
penemuan Naskah Laut Mati yang lebih banyak menyinggung kitab Perjanjian lama (Taurat)
serta kajian sarjana Bible yang objektif dalam meluruskan ajaran Injil (Gospel, Perjanjian
Baru).
Umat Yahudi yang suka sekali bermain-main dengan sejarah untuk kepentingan
semangat nasionalisme mereka, diberi peringatan dengan penemuan Naskah Qumran, dan
umat Kristen yang suka melawan rasionalisme diberi peringatan dengan berbagai kajian
objektif dan rasional tentang keyakinan mereka dengan pertanyaan, Masihkan mereka belum
percaya juga? Jika umat muslim pun ikut-ikutan meninggalkan Al-Qur'an, maka entah
peringatan apa yang akan mereka terima dari Allah.
Upaya membelokkan peng-ESA-an Allah menjadi paham Trinitas dalam tradisi
Gereja, sebenarnya sangat bertentangan dengan kitab suci yang menjadi panduan gereja itu
sendiri. Namun keyakinan semu yang sudah mengendap lebih dari ± 20 abad lamanya ini
agaknya menjadi penghalang paling besar bagi mereka untuk menghargai nalar dan akal di
samping dogma, yang seharusnya sangat dapat diunggulkan.
Bible memuat penyataan tegas dari Tuhan seperti: "Dengan siapa hendak kamu
samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? Firman Yang Mahakudus." (Yesaya 40: 25).
Sama tegasnya dengan pernyataan Al-Qur'an: "Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya."
(QS. As-Syura [42]:11). Menunjuk pernyataan tegas dalam Bible di atas, maka sebenarnya
ajaran tentang pribadi dan roh, hanyalah bualan semata. Tapi karena kepercayaan berkata
lain, sebagian kelompok Kristen tidak menerima ayat ini, karena ayat ini terdapat di dalam
kitab perjanjian lama yang mereka tolak, walaupun pada sisi lain para penolak perjanjian
lama menggunakan beberapa ayatnya untuk melegalisir beberapa kepercayaannya
berdasarkan Perjanjian Baru.
Al-Qur'an juga menyinggung soal firman (kalam), namun dalam pengertian yang
sangat berbeda dibandingkan dengan pemahaman gereja yang acapkali menggunakan ayat-
ayat Al-Qur'an untuk mendukung pemahaman ketuhanan Yesus. Padahal ayat ini justru
meluruskan pemahaman tentang firman. "(Ingatlah) ketika malaikat berkata: Wahai Maryam,
sesungguhnya Allah memberi kabar gembira kepada engkau dengan kalimat dari pada-Nya,
namanya Almasih "Isa anak Maryam, yang mempunyai kebesaran di dunia dan akhirat dan
termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah." (QS. Ali Imran[3]: 45). Kalimat yang
dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam surat yang sama pada ayat
berikutnya yaitu: "Maryam berkata: Wahai Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belurn pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun. Allah berfirman:
"Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak
menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu
jadilah." (QS. Ali Imran[3]: 47). Dengan pengertian bahwa firman adalah perkataan Allah
untuk mewujudkan kehendak-Nya, maka kata "milik" atau "dari" tidak boleh dihilangkan.
Sebab ini sekaligus merupakan jawaban atas ketidakmampuan manusia untuk menalar adanya
seorang manusia yang lahir tanpa pertemuan antara ovum dan sperma. Bahwa jika Allah
berkehendak maka cukup berfirman "Kun" maka "jadilah" apa pun yang dikehendaki-Nya,
termasuk penciptaan Adam atau Yesus. Hal ini tidak dapat dipungkiri baik oleh umat Kristen
atau Muslim sebab baik menurut Alkitab maupun Al-Qur'an memang keduanya
dijelaskan menjadi wujud melalui proses yang berbeda dari manusia pada umumnya.
3.2 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Konsep Ketuhanan
3.2.1 Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama-kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada
yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana
(Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan panca indera. Oleh karena itu, dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-
kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan
ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih
dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan
tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap
cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme.
Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain. Dengan lahirnya pendapat
Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya,
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide
tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan
tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki
oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).
3.2.2 Pemikiran Umat Islam
Di kalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlak yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada
doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusia lah yang menentukan
nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan
suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah
yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah
al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat
dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai
kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut
Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifah ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan, yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.
Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan
darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi
Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan,
antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran.
Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali
yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali
(sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu
merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu :
kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak
mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok Syiah, dan
kelompok kedua disebut dengan Khawarij. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi
tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syiah, dan 3)
Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-
segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij, semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah
maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44.
3.3 Pengertian Tuhan menurut Pandangan Islam
Tuhan dalam Islam biasa kita sebut dengan Allah. Bagaimana kita membuktikan
bahwa Allah itu ada? Cobalah kita perhatikan benda-benda di sekeliling kita, di rumah
terdapat meja, kursi, almari, TV, komputer, dan segala macam perabotan, alat-alat dapur dan
sebagainya. Apakah semua itu terjadi dengan sendirinya? Tentu tidak, semua itu pasti ada
yang membuatnya. Siapakah yang membuatnya? Meski kita tidak tahu namanya, bagaimana
bentuk tubuhnya, warna kulitnya, tetapi kita yakin bahwa yang membuat barang-barang itu
tentulah manusia. Kita tentu akan menolak jika ada yang mengatakan bahwa barang-barang
itu ada dengan sendirinya. Akal kita tidak menerima kalau benda-benda itu dibuat oleh
hewan, atau yang serupa dengan benda itu. Misalnya meja, dibuat oleh manusia yang rupa
dan jenisnya seperti meja. Bila kita arahkan pandangan ke lingkungan yang lebih luas lagi,
kita akan menemukan banyak benda berupa hewan, ada yang jinak dan liar, yang berkaki
dua, dan empat. Ada yang terbang dan ada pula berjalan lamban. Kita juga dapat menjumpai
beraneka jenis tumbuh-tumbuhan, tanaman lunak dan keras. Ada yang berpohon menjalar,
dan ada pula yang tinggi. Buahnya juga beraneka macam. Besar, kecil dengan rasa manis,
kecut dan pahit. Bunga-bungaan juga menampilkan aneka macam warna indah yang
menyenangkan mata memandangnya. Kita berkeyakinan bahwa tak mungkin benda-benda itu
terjadi dengan sendirinya. Pastilah ada yang menciptakan, meskipun kita tidak pernah melihat
penciptanya.
Kita pun menolak kalau dikatakan bahwa yang menciptakan itu sama dengan benda-
benda yang diciptakan. Pencipta ayam sama dengan ayam, pencipta manusia sama dengan
manusia. Atau setidak-tidaknya ada keserupaan pencipta dengan makhluk, mempunyai mata,
telinga, hidung, berwajah, berkaki, bertangan, dan sebagainya. Atau mungkinkah patung
dapat menciptakan sesuatu. Kalau ya, alangkah lucunya dan kalau tidak mengapa ada yang
menyembahnya, atau mengangkatnya sebagai Tuhan?
Pencipta memang tidak sama dengan yang dicipta. Khalik tidak sama dengan
makhluk. Ia adalah Dzat Yang Wajib Adanya (Dzat Wajibul Wujud). Bagaimana jenis dan
bentuknya bukanlah jangkauan akal manusia, karena itu kita dilarang memikirkan Dzat
Tuhan. Pikirkanlah ciptaan-Nya, janganlah pikirkan Dzat-Nya. Dengan melihat ciptaan yang
begitu menakjubkan, kita percaya bahwa yang menciptakan tentulah lebih Agung lagi.
Artinya :
62. Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.
63. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi, dan orang-orang
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka Itulah orang-orang yang merugi.
Artinya :
255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-
Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Artinya :
114. Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-
gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan
Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
3.4 Pembuktian Wujud Tuhan
3.4.1 Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode
pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah
agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan
(agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode
ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan
ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris.
Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat
dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “Analogi Ilmiah”
dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan
itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah,
hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat
yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode Sains yang pasti, karena ilmu
pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara
empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya
jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat
bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu, banyak
sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana
pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya”
(force), “Energy”, “Alam” (nature), dan “Hukum Alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana
pun yang mengenal apa itu : “Gaya, Energi, Alam, dan Hukum Alam”. Sarjana tersebut tidak
mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti
ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “Iman kepada yang Ghaib” dan
ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “Pengamatan Ilmiah”. Sebab, baik agama maupun
ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja
ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “Penentuan Hakikat” terakhir
dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja.
Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang
agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab
itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak
kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan : “Kenyataan
yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan
ilmu, sebab tidak dapat diamati”. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang
ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak
berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap
kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
3.4.2 Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak
boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya,
suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada”
dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang
adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan : “Percaya adanya makhluk, tetapi
menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang tidak benar”. Belum pernah diketahui
adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun
ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu, bagaimana akan percaya bahwa alam
semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3.4.3 Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19, pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya
sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “Hukum
Kedua Termodinamika” (Second Law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan
landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori
pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat
azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas
beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak
mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas
dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam
bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan
energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh
karena, itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
3.4.4 Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi
sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya
selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil
dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh
garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat
gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan
kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama
dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil
per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap
sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga
beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada
sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang
teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan
akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat
dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah
Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian
alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “Dalil Ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga
menggunakan metode lain yaitu “Dalil Inayah”. Dalil Inayah adalah metode pembuktian
adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia
(Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
3.5 Pengertian Iman dan Taqwa kepada Tuhan
Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari’at yaitu
meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal
perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang
tertinggi adalah ucapan هالا ا هلل dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas,
sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya. Rasulullah Shallahu’alaihi wa
Sallam bersabda, ”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya
perkataan هالا ا هلل dan yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan
malu merupakan cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676,
Tirmidzi: 2614).
Secara pokok, iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam
hadist Jibril (Hadist no. 2 pada hadist arba’in an-Nawawi) tatkala bertanya kepada Nabi
Muhammad Shallahu’alaihi wa Sallam tentang iman, lalu beliau menjawab, ”Iman adalah
engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari
akhir, dan percaya kepada taqdir-Nya, yang baik dan yang buruk.” (Mutafaqqun ‘alaihi).
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan
yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan
menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya, ”Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu”. (QS. Al-Baqarah:143).
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala engkau
menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke
Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis. Iman kepada Allah adalah
mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan
kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Maha Benar, tempat
bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala
makhluk, yang melakukan segala yang dikehendaki-Nya, dan mengerjakan dalam kerajaan-
Nya apa yang dikehendaki-Nya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar dengan
macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu
tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa harus
didahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu
pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Muhammad Shallahu’alaihi wa Sallam
bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah
yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori). Bahwa makhluk
tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti
ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman,
”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35). Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada
yang menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti
mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci. Lebih jelasnya kita ambil
contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda ada sebuah istana yang sangat megah
yang dikelilingi taman, terdapat sungai yang mengalir di sekitarnya, di dalamnya penuh
permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu orang tersebut berkata kepada anda,
istana yang lengkap beserta isinya itu ada dengan sendirinya atau muncul begitu saja tanpa
ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera mengingkari dan tidak mempercayai cerita
tersebut dan anda menganggap ucapannya itu sebagai suatu kebodohan. Lalu apa mungkin
alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi dengan bumi, langit, bintang, dan planet yang
tertata rapi, muncul dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba tanpa ada yang
menciptakan?
(b). Adanya kitab-kitab samawi yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian
pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi
kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya. Ditolongnya orang-orang yang
sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah. Allah berfirman:
”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan
doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (QS. Al-
Anbiya’: 76).
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat adalah suatu
bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa
Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala beliau diperintah memukulkan
tongkatnya ke laut sehingga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering
dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah, ”Lalu kami wahyukan
kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan
tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar”. (QS. Asy-Syu’ara’: 63). Contoh lain
adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa ’Alaihissalam berupa membuat burung dari
tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahirnya dan penyakit sopak (sejenis penyakit kulit),
menghidupkan orang mati dan mengeluarkan dari kuburannya atas izin Allah. Allah
berfirman: “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung;
Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku
menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan
Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang
kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu ”. (QS. Ali Imran: 49).
2. Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah) yaitu mengimani sepenuhnya bahwa
Allah-lah memberi rizki, menolong, menghidupkan, mematikan dan bahwasanya Dia itu
adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.
3. Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah) yaitu mengimani hanya Dia lah yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, meng-Esakan Allah melalui segala ibadah yang memang
disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun
baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya. Tauhid rububiyah saja tanpa adanya
tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada
zaman Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa
mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan
mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan selain Allah. Allah
berfirman, “Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi,
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup
dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka, mereka men-jawab: ‘Allah.’ Maka,
katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. Yusuf: 31-32). Dan Allah
berfirman, “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).” (QS. Yusuf : 106).
4. Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat) yaitu menetapkan apa-apa
yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama
maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif dan ta’thil serta tanpa takyif dan tamtsil. Dua prinsip
dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah Subhanahu wa ta’ala wajib disucikan
dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan
lainnya. Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit
pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. Imam Abu
Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan
sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah,
tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka
bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya
atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat
yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah. Beliau juga berkata: “Allah tidak
serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu
tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah berfirman, ”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syuura’: 11).
Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana digambarkan akan membuahkan
beberapa hasil yang sangat agung bagi orang-orang beriman, diantaranya: merealisasikan
pengesaan kepada Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak
takut, dan tidak menyembah kepada selain-Nya. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah,
serta mengagungkan-Nya sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan
sifat-sifat-Nya Yang Agung. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa
yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Pengertian Taqwa secara dasar adalah menjalankan perintah, dan menjauhi larangan.
Kepada siapa? Maka dilanjutkan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah SWT.
Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataannya banyak orang yang belum
sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar
kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan terang-terangan makan di tempat umum,
padahal bila ditanya " mas, agama-nya apa?" jawab-nya muslim, ada juga yang sudah
berpuasa tapi masih suka melirik kanan-kiri dan ketika ditanya " mas, ini kan lagi puasa?"
jawabnya cuma sebentar kan boleh. Ya... Allah, manusia..., manusia.., sebenarnya banyak
contoh bagaimana lingkungan di sekitar kita atau mungkin kita pribadi masih belum mampu
mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.
Taqwa = Terdiri dari 3 Huruf. Ta = Tawadhu' artinya sikap rendah diri (hati), patuh,
taat baik kepada aturan Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan
diri / sok. Qof = Qona'ah artinya sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua aspek,
baik ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah, kebahagiaan atau teguran dari
Allah SWT, harus disyukuri dengan hati yang lapang dada. Wau = Wara' artinya sikap
menjaga hati / diri (introspeksi), ketika menemui hal yang bersifat subhat (tidak jelas hukum-
nya) atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh Allah SWT. Beberapa ulama
mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya memelihara iman agar
terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan dari sifat
syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah sehingga
apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali menutup mata akan hal ini.
"Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa,
dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan beragama islam." (Al-Imron : 102).
3.6 Tanda-tanda Orang Beriman serta Bertaqwa kepada Tuhan
1. Sangat mencintai Allah SWT.
Ketahuilah bahwa orang kalau sudah mencintai pastinya akan sangat trengginas,
cekatan dan aktif, dan dalam hal ini melakukan berbagai macam kebajikan sebagai wujud
akan rasa cintanya.
Dalilnya, Surat Al-Baqarah ayat 165.
والذين آمن أندادا يحبونهم كحب الل د ومن الناس من يتخذ من دون الل وا أ
ولو يرى الذين ظلموا إذ يرون العذاب أن القو جميعا وأ حبا لل ة لل ن الل
ديد العذاب
Artinya:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal)”.
2. Menjadi Kader Perjuangan Islam.
Dalilnya Surat Al-Anfaal ayat 64-65.
انا إنهم كانوا فكذبوه فأنجيناه والذين معه في الفلك وأغرقنا الذين كذبوا بآي
قوما عمين
وإلى عاد أخاهم هودا قال يا قو ما لكم من إله غيره أفال ت قون م اعبدوا الل
Artinya:
64. “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan Dia dan orang-orang
yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”
65. “Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
3. Selalu Komitmen dalam Syahadatnya.
Dalilnya Surat Al-Fath ayat 18.
عن المؤمنين إذ يبايعونك حت الشجرة فعلم ما ف ي قلوبهم لقد رضي الل
قريبافأنزل السكينة عليهم وأثابهم فتحا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya)”.
4. Tiap Pekerjaan selalu didasari Ilmu.
Dalilnya Surat Al-Isar' ayat 36.
ان عنه وال قف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك ك
مسئوال
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”.
5. Hidup Berjamaah
Dalilnya Surat An-Nisa' ayat 59.
ون كمثل آدم خلقه من راب ثم قال له كن فيك إن مثل عيسى عند الل
Artinya:
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang
manusia), Maka jadilah Dia”.
6. Senantiasa Bersyukur.
Dalinya Surat Saba ayat 13.
يا يعملون له ما يشاء من محاريب وماثيل وجفان كالجواب وقدور راس
كرا وقليل من عبادي الشكور اعملوا آل داود
Atinya:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang
Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang
tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi,
maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis.
1) Manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh alam semesta ini lahir pasti ada penyebabnya,
pasti ada penciptanya, dan penciptanya itu adalah Allah tuhan bagi seluruh makhluk.
2) Keimanan tidak hanya diucapkan lewat bibir, tapi juga harus diyakini dalam hati, dan
dibuktikan lewat perbuatan.
3) Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang dalam memeluk sesuatu agama
karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang diperintahkan dan
apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk
orang jadi bertaqwa.
4) Takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan larangannya.
5) Iman adalah percaya pada pandangan dan sikap hidup dengan ajaran Allah, yaitu al-Qur’an
menurut Sunnah Rasul, atau dengan selain ajaran Allah, yang terwujud ke dalam ucapan dan
perbuatan.
SARAN
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat lebih
mengembangkan ilmu pengetahuan Agama Islam dan dapat pula mengerti dan paham akan
ketakwaan keimanannya kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA