TUGAS Kuliah Sholeh

73
TUGAS TARIKH TASYRI’ Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’ Oleh : HANDAYANI 310.006 Dosen Pembimbing : Drs. ADITIAWARMAN M.Ag JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN IMAM BONJOL PADANG 1432 H / 2011 M

Transcript of TUGAS Kuliah Sholeh

Page 1: TUGAS Kuliah Sholeh

TUGAS

TARIKH TASYRI’

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’

 

Oleh :

HANDAYANI

310.006

Dosen Pembimbing :

Drs. ADITIAWARMAN M.Ag

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN IMAM BONJOL PADANG

1432 H / 2011 M

SEJARAH PERTUMBUHAN

DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Page 2: TUGAS Kuliah Sholeh

1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL

            1.Situasi masyarakat arab pra islam

Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang arab adalah umat yang tidak memiliki aturan

dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak

ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini

penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat

kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan

dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan

dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta

langkah yang mulia.

            Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di

jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya

merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan dan

mencegah sipembuat kerusakan. [1]

            2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian

Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan orang-

orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab

pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan

dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari

kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah, dengan menanamkan

kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat

yang maha tinggi dan melepaskandari  jiwa mereka  akhlak yang tercela, menghapuskan adat

yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan

yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk

Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]

A.    PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH

Pada  awal mulanya, islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat

berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi berikutnya

yaitu meletakkan aturan kehidupan.

Page 3: TUGAS Kuliah Sholeh

Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan

lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi,

justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat

terdahulu.[3]

B.     PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH

Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum

hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad,

pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup

ilmu fiqih.

Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:

1.      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan

orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk berselisih

dalam hukum.

2.      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari

suatu pertanyaan.

3.      Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-sebagian

dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD

          Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi hanyalah

Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan

mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk

bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut

perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan tawanan

perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber hukum disamping

Alqur’an dan sunnah.

          Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian

setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan,

karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga dilakukan

ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka

Page 4: TUGAS Kuliah Sholeh

kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau

salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]

          Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu masalah

persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan.

Seperti:

“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi atau

hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu dan

mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau

memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar

penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama,

karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]

          Pada masa sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara

menjelaskan dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada

ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku pengganti Rasulullah.

Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan banyak dari kalangan sahabat sebagai

Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam mengaktualkan ijtihadnya. Mereka mampu menjelaskan

nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak ada ketetapannya

menurut konteks nash.[7]

      

          Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat tinggal di

Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di berbagai kota

dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan ijma’, kemudian

mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang

berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat, sehingga muncullah hasil ijtihad yang

berbeda pula.[8]

          Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan

munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan

penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa

sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode ini,

muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang dan

meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan terjadi.[9]

Page 5: TUGAS Kuliah Sholeh

SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN

  Masa Rasul

         Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan

ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di dalamnya

Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan kebatilan. Kalau

terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena terjadi perselisihan,

ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah satu

atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah

menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum yang

wajib diikuti.

         Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak

menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan hukum

suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil

ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.[10]

  Masa Sahabat

         Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan islam.

Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya wilayah islam

keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan dirinya dihadapkan

kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.

         Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam

Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum

masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi mereka

untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm Alqur’an dan

Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan bagi mereka jalan

berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi ijtihad mereka, benar atau

Page 6: TUGAS Kuliah Sholeh

salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya mengeluarkan hukum-hukum

masalah yang mereka hadapi.[11]

        Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:

1.      Alqur’anul Karim

2.      Sunnah Rasulullah

3.      Ijtihad Sahabat.

  Masa Tabi’in

         Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka

sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua hukum

yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini muncul Madrasah

Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah

hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka

banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm

menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena

hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka

hadapi sangat berat dan beragam.[12]

  Masa Keemasan

         Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:

1.      Al qur’an

2.      Sunnah

3.      Ijma’

4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan,

istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.

           Kalau seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam Alqur’an

atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan kalau tidak

mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan

hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang fatwa hukum berdasarkan

ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam

Page 7: TUGAS Kuliah Sholeh

Alqur’an dan Sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan

beristinbat dan beristinbat dengan metode istinbat yan ditunjukkan syari’at.[13]

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN

       

         Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih spesifik,

kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh), penulisan sunnah,

metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]

         Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada

periode ini cukup banyak, diantaranya:

1.      Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.

2.      Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan,

prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.

3.      pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan memberi

fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.

4.      Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal

ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.

5.      Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh

faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu

Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]

6.      Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’, seperti

berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka juga

berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.

7.      Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an dan

As sunnah serta Ushul Fiqh.

Page 8: TUGAS Kuliah Sholeh

8.      Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu untuk

lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain yang

tidak familiar sebelumnya.

9.      Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada

banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di

setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha untuk

bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara

mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya benar, tetapi

ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT

RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)

Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)

Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta,

AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)

[1] Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14[2] Ibid., hlm. 14[3] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17[5] Ibid., hlm. 17-18[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11[7] Ibid., hlm. 46[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70 [9] Ibid. hlm. 105[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82

Page 9: TUGAS Kuliah Sholeh

[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73

Page 10: TUGAS Kuliah Sholeh

MASHLAHAH MURSALAH

PENDAHULUAN

Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w.

Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat al-Qur’an).

Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.

Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi dan interpretasi serta implementasi dari wahyu Allah SWT.

Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal teknik Nabi ber-ijtihad.

Page 11: TUGAS Kuliah Sholeh

Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian, terlihat bahwa sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.

Masa pun terus bergulir, para sahabat Nabi pun mulai wafat. Otoritas tasyri’ pun diambil alih oleh generasi tabi’in kemudian tabi’ tabi’in dan seterusnya.

Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) dan lain sebagainya.

Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash-nash (al-Qur’an dan atau as-Sunnah) tertentu.

Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Sedangkan metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk

maslahah-mursalah atau istishlah yang diperkenalkan oleh Imam Malik selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iyah.[1]

Melihat fenomena di atas, penulis mencoba memberikangambaran tentang mashlahah-mursalah ini kepada para pembaca sekalian.

A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH

Page 12: TUGAS Kuliah Sholeh

Kata mashlahah memiliki dua arti,[2] yaitu:1. Mashlahah berarti manfa’ah baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna. 2. Mashlahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah.

Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan ( االستصالح ) yang berarti mencari yang baik ( االصالح .(طلب

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya :

1. Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah sebagai berikut[3]:

Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.

2. Imam Al-Ghazali[4] mendefinisikan sebagai berikut:

Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.

3. Al-Khawarizmi[5] mendefinisikan mashlahah sebagai berikut:

Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).

Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari

Page 13: TUGAS Kuliah Sholeh

berbagai bentuk kerusakan.

Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.[6]

B. SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut[7] :

1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.

2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh

Page 14: TUGAS Kuliah Sholeh

mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.

3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.

C. MACAM-MACAM MASLAHAH

Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.

1. Maslahat dari Segi Tingkatannya.

Ulama ushul membagi maslahah dari segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu[8]:

1. Maslahah dharuriyah (Primer)

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha

Page 15: TUGAS Kuliah Sholeh

memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.

Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.

2. Maslahah Hajjiyah (Sekunder)

``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit ataupun bolehnya mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan.

Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

3. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)

Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.

Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( للحياة sifatnya hanya untuk (زينةkebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang

Page 16: TUGAS Kuliah Sholeh

penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.

Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.

2. Maslahat dari Segi Eksistensinya.

Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib terbagi dalam tiga klasifikasi[9], yaitu:

1. al-munasib al-mu’tabar (syara’ mengukuhkannya)

2. al-munasib al-mulgho (syara’ menolak keberadaannya) dan

3. al-munasib al-mursal (syara’ tidak menyikapi keberadaannya dengan mengukuhkan atau menolaknya)

Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushul[10], juga membagi mashlahah menjadi tiga macam, yaitu[11]:

Page 17: TUGAS Kuliah Sholeh

1. Maslahat Mu’tabarah

Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh[12]. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.

2. Maslahat Mulgah

Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.

3. Maslahah Mursalah.

Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan

Page 18: TUGAS Kuliah Sholeh

yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.

D. KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya : Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.[13] Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya. Imam Al-Qarafi[14] berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``.

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.[15]

E. ALASAN ULAMA MENJADIKANNYA SEBAGAI HUJJAH

Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karena kejadian tersebut tidak ada hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut

Page 19: TUGAS Kuliah Sholeh

untuk kemaslahatan umum.

Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut[16]:

1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air - Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.

2. Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i

3. Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas, yaitu[17] :

1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.

2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk

Page 20: TUGAS Kuliah Sholeh

kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

Sedangkan alasan-alasan golongan yang tidak memakai maslahat,[18] adalah:

1. Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan hawa nafsu

2. Maslahat mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum

3. Seandainya kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman)

4. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada penyimpangan hukum syari’at.

F. CONTOH PENERAPAN MASHLAHAH MURSALAH

Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, banyak sekali contoh-contoh permasalahan yang diselesaikan dengan melihat maslahatnya. Sebagai satu contoh, ketika terjadi perang melawan nabi-nabi palsu pada zaman khalifah Abu Bakar, seiring dengan banyaknya para huffazh al-Qur’an wafat Abu Bakar mulai mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an atas usulan dan desakan sahabat Umar bin Khattab. Beliau juga memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Bahkan, menjelang ajal menghampiri beliaupun sempat berwasiat agar beliau digantikan oleh sahabat Umar bin Khattab sebagai khalifah.

Contoh lain dari penerapan maslahah mursalah ini ialah Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara. Bahkan, Umar menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri. Hal itu terjadi ketika di Madinah dirundung musim paceklik yang menyebabkan terjadinya krisis pangan.

Dengan demikian, semua bentuk kemaslahatan tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum. Hal ini bisa dilakukan selama tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

PENUTUP

Page 21: TUGAS Kuliah Sholeh

Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk meng-istinbath hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas.

Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab menggunakan maslahat Mursalah dalam memngambil isthinbath hukum. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan qiyas, digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Sifat munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah mursalah.

Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdu Rabbuh, Muhammad Sa’id ‘Ali, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha ‘Inda al-Ushuliyyin,Kairo: Mathba’ah As-Sa’adah, 1997.

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr Al-Islamiy.

az-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 , Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005.

Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Syalabiy, Muhammad Mushthafa, Madkhal fi at-Ta’srif bi al-Fiqh al-Islamiy wa Qawa’id al-

Page 22: TUGAS Kuliah Sholeh

Milkiyyah wa al-‘Uqud fihi , Bairut: Dar an-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1985.

[1] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 184.

[2] Muhammad Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha ‘Inda al-Ushuliyyin (Kairo: Mathba’ah As-Sa’adah, 1997), 78-79.

[3] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 79.

[4] Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 ( Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005), 36-37.

[5] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 37.

[6] Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali:, 104.

[7] Muhammad Mushthafa Syalabiy, Madkhal fi at-Ta’srif bi al-Fiqh al-Islamiy wa Qawa’id al-Milkiyyah wa al-‘Uqud fihi (Bairut: Dar an-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1985), 256.

[8] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 35-36.

[9] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 33-35. Lihat juga, al-Mustashfa juz 1 hal. 139, Syarh al-Isnawi juz 3 hal. 67, al-Madkhal ila Madzhab Ahmad hal. 136, al-Ibhaj li as-Subkiy juz 3 hal.43, 111, Raudlah an-Nadzir juz 1 hal. 38- seterusnya.

[10] Ulama’ ushul ialah ulama’ yang ahli dalam ushul fiqh. Semua ulama’ madzhab adalah ulama’ ushul.

Page 23: TUGAS Kuliah Sholeh

[11] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 94-100. az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 49-50. Ghazali membagi mashlalah menjadi tiga bagian, yaitu, mashlalah yang diakui eksistensinya oleh syari’/dibenarkan syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah), mashlahah yang tidak diakui eksistensinya /yang ditolak syara’ (al-mashlahah al-mulghah), dan mashlalah yang tidak ada ketentuan pengakuan dan penolakan eksistensinya oleh syara’ (al-mashlahah al-mursalah). Dengan demikian, medan untuk berkutatnya akal adalah pada mashlahah yang tidak ada ketentuan hukumnya dari syari’, yaitu mashlahah mursalah.

[12] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 95.

[13] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 101.

[14] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr Al-Islamiy) 284.

[15] Abu Zahrah, Ushul, 285.

[16] Abu Zahrah, Ushul, 280-282.

[17] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 42-43.

[18] Lihat, az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 41-42.

Page 24: TUGAS Kuliah Sholeh

MASLAHAH MURSALAH

Pengertian Maslahah Mursalah

 

Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan ( yang mutlak) sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.

 

Macam-macam Maslahah

 

Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :

 

a.  Mashlahah al-Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara'. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw hukuman bagi pencuri dengankeharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.

b.    Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara',karena bertentangan dengan ketentuan syara'. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa'ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).

c.     Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara' melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :

Page 25: TUGAS Kuliah Sholeh

(1).Mashlahah al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara', baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa itu) tidak dapat menemukan contoh pastinya. BahkanImam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada alam teori.

(2).Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara'atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash(ayat atau hadist).

 

Para ulama tentang Maslahah Mursalah

 

  Pandangan Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;

1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).

2.      Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.

3.      Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:

Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).

Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:

1.      Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.

2.      Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.

3.      Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:

Page 26: TUGAS Kuliah Sholeh

  Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.

  Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

 

  Pandangan Ulama Al- Tuhvi

Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara' maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.

Di antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsepmashlahah bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :

Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)

Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalamnash adalah mashlahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara'.

Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;

1.      akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang mafsadat maka;

2.      maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.

3.      lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.4.       maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, engutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan

bayan. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum islam  

Para Jumhur Ulama’ berbeda pendapat mengenai kedudukan Mashalihul Mursalah sebagai sumber hokum.

1.      jumhur menolaknya sebagai sumber hokum, dengan alas an;

Page 27: TUGAS Kuliah Sholeh

-          bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.

-          Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.

-          Akan melahirkan perbedaan hukum akibat berbedaan suatu wilayah atau negara.2.                  Imam MAlik membolehkan berpegang tuguh kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i boleh berpegang kepda Mashalihul Mursalah apabila sesuai dengan dalil Kully atau dalil Juz’y dari syara’.

Pendapat kedua ini berdasarkan:

-          kemashlahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i (Allah SWT), tentu banyak kemashlahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.

-          Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan mashlahat yang tidak ada petunjuknya dari Syar’i, misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.

Syarat-syarat berpegang kepada Mashalihul Mursalah1.      Mashlahat itu harus jelas dan pasti bukan hanya berdasarkan kepada prasangka;2.      Mashlahat itu bersifat umum, bukan untk kepentingan pribadi;3.      hukum yang ditetapkan berdasarkan mashlahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau

prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’; 1. Mashalihul Mursalah hanya berlaku dalam masalah mu’amalah dan adat kebiasaan, bukan pada bidang ibadah

hanya berlaku dalam mu’amal Sedangkan secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan.[8] Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah –dalam term mashalih al-mursalah– adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara/melindungi maksud-maksud hukum syar’i).[9] 

Para ulama telah menyepakati bahwa maqashid al-syari’ah ada lima hal,[10] yakni:

4.      1) Al-muhafazhah ‘ala al-dini (menjaga/memelihara keselamatan agama). Yakni dengan menghindarkan timbulnya fitnah dan keselamatan dalam agama serta mengantisipasi dorongan hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh. Misalnya hukuman terhadap ahli bid’ah yang mendakwahkan bid’ahnya. Hal ini karena perbuatan tersebut akan me-reduksi keberagaman seseorang.[11]

Page 28: TUGAS Kuliah Sholeh

2) Al-muhafazhah ‘ala al-nafsi (menjaga/memelihara keselamatan jiwa). Yaitu jaminan keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia. Termasuk dalam cakupan pengertian umum ini adalah jaminan keselamatan nyawa,anggota badan dan terjaminnya kehormatan kemanusiaan.[12] Misalnya kewajiban qisas, karena dengan qisas jiwa akan “terselamatkan” dari pembunuhan-pembunuhan.

3) Al-muhafazhah ‘ala al-‘aqli (menjaga/memelihara keselamatan akal), ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, sumber kejahatan atau bahkan menjadi sampah masyarakat.[13] Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal. Hal itu karena akal merupakan “ukuran” taklif (pembebanan) terhadap manusia.[14]

4) Al-muhafazhah ‘ala al-nasli (menjaga/memelihara keselamatan keturunan), ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang baik budi pekerti serta agamanya.[15] Misalnya kewajiban menghukum orang yang telah melakukan zina.

5) Al-muhafazhah ‘ala al-mali (menjaga/memelihara keselamatan harta). Yaitu meningkatkan kekayaan seseorang secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.[16]

Setiap segala sesuatu yang mengandung makna pemeliharaan/penjagaan terhadap kelima maqashid al-syari’ah, dinamakan maslahah; sedangkan segala sesuatu yang menghilangkan kelima maqashid al-syari’ah, dinamakan mafsadah, menolak/menghilangkan mafsadah berarti maslahah.ah, bukan pada persoalan ibadah karena tidak berubah-ubah.

a.    Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya.

Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan[17]:

a) Maslahah Dhoruriyyat

Yaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir, maka hilanglah kehidpan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syari’ah.

b) Maslahah Hajiyyat

Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya. Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual beli– serta berbagai macam

Page 29: TUGAS Kuliah Sholeh

keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh syari’, misalnya menjama’ dan menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan lain sebagainya.

c) Maslahah Tahsiniyyat

Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya makanan yang kotor danlain sebagainya.

Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat tahsiniy/takmily.[18]

2. Contoh Mashalilhul Mursalah

Diantara contoh mashalihul mursalah tidak ada petunjuknya dari syara’ yang ditetapkan oleh para

sahabat, tabi’in, dan para Mujtahid adalah membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan

membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Ditetapkannya pajak penghasilan, serta surat nikah sebagai bukti

sahnya perkawinan dan lain-lain.

3. Kehujjahan Mashalihul Mursalah.

Hukum Islam diciptakan adalah untuk menuju kemaslahatan manusia pada semua tempat dan

waktu.

Jumhur ulama menolak mashalihul mursalah sebagai sumber hukum dengan alasan berikut ini :

1. Dengan nash-nash yang ada dan cara qiyas yang benar, syara’ senantiasa mampu merespons

masalah yang muncul demi kemaslahatan manusia.

2. Bila menetapkan hukum hanya berdasarkan kemaslahatan berarti dapat membuka pintu

keinginan hawa nafsu.

Sementara imam syafi’i membolehkan berpegang mashalihul mursalah dengan syarat harus sesuai

dengan dalil kulli atau dalil juz’i dan syara’. Sedangkan Imam Malik membolehkan secara mutlak,

dengan alasan sebagi berikut :

1. Bahwa setiap hukum selalu mengandung kemaslahatan bagi manusia. Rasul diutus juga untuk

menjadi rahmat bagi setiap alam. Kemaslahatan manusia ,akan senantiasa dipengaruhi

perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada

hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan manusia.

Page 30: TUGAS Kuliah Sholeh

2. Para sahabat, tabi'in, dan para mujtahid banyak yang menetapkan hukum untuk mewujudkan

kemaslahatan yang tidak ada petunjuk dari Syara'.

Page 31: TUGAS Kuliah Sholeh

USHUL FIQH - Maslahah Mursalah

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan

hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash

juz’i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak tidk ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula

ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara

istiqra’ (induksi dari jumlah nash). Sebagaimana yang di kemukakan pada qiyas, bahwa suatu

yang dijadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang dijadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im)

dengan hukum dan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’. Sifat yang mula’im tersebut ada yang

berbentuk mu’tabar (ditunjuk langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), dan ada

Page 32: TUGAS Kuliah Sholeh

yang mursal (yang tidak didukung dan ditolak oleh nash juz’i, tetapi didukung secara umum oleh

sejumlah nash).1[1]

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu maslahah mursalah?

2.      Apa saja macam-macam maslahah mursalah?

3.      Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?

4.      Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?

C.    Tujuan

1.      Menjelaskan pengertian maslahah mursalah.

2.      Menjelaskan apa saja macam-macam maslahah mursalah.

3.      Menjelaskan syarat-syarat maslahah mursalah.

4.      Menjelaskan bagaimana kehujjahan maslahah mursalah.

BAB II

PEMBAHASAN

1[1] Nasrun Harun, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran. 1997

1

Page 33: TUGAS Kuliah Sholeh

A.    Pengertian Maslahah Mursalah

Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak) sedangkan menurut ahli

ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk

merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau

pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada

ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan

dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus

yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.

B.     Macam-macam Maslahah Mursalah

1.      Maslahah Dharuriyah

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tegaknya tempat kehidupan

manusia, yang apabila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan, merejalelalah kerusakan,

timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.2[2]

Perkara-pekara ini dapat dikembalikan dalam lima perkara, yang merupakan perkara pokok

yang harus dipelihara, yaitu:

a.       Keselamatan keyakinan agama,

b.      Keselamatan jiwa,

c.       Keselamatan akal,

d.      Keselamatan keluarga dan keturunan, dan

e.       Keselamatan harta benda.

2[2] Caerul Uman, Dkk. Ushul Fiqh 1. Pustaka Setia: Bandung. 1998

Page 34: TUGAS Kuliah Sholeh

Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia

dapat hidup aman dan sejahtera.3[3]

Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad

(berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah islamiyah. Begitu juga

menghancurkan orang-orangyang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga

menyiksa kaum muslimin yang keluar dari agama islam.

Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah keawajiban untuk berusaha

memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya.

Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban utnuk

meninggalkan minuman khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa

orang yang meminumnya.

Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban diri untuk

menghindarkan diri dari berzina. Begitu juga hukum yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-

laki atau perempuan.

Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhi

pencurian. Begitu juga pemotongan tangan laki-laki atau perempuan. Dan juga larangan riba

serta keharusan bagi orang yang untuk mengganti harta yang telah dilenyapkannya.4[4]

2.      Maslahah Hajjiyah

3[3] Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus: Jakarta. 2002

4[4] Caerul Uman, Dkk. Ushul Fiqh 1. Pustaka Setia: Bandung. 1998

Page 35: TUGAS Kuliah Sholeh

Maslahah hajjiyah adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan

kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan

dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan

meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir: dalam bidang

muamalah di bolehkan berburu binantang dan makan makanan yang baik, dibolehkan melakukan

jual beli pesanan (bay’ al-asam), kerja sama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan

(musaqqah).

3.      Maslahah Tahsiniyyah

Maslahah tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang sifatnya lengkap berupa keleluasaan yang

dapat melemngkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk makan yang bergizi,

berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan

berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.5[5]

Kemudian contoh lain dalam lapangan uqubat misalnya, dilarang berbuat curang (khianat)

dalam lapangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak,

pendeta dan orang-orang yang sudah lanjut usia6[6]

C.    Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum

(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah

tidak bercampur dengan haw nafsu, tujuan dan keinginan yang merusak manusia dan agama.

5[5] Nasrun Haroen. Ushul fiqh 1. Logos (Wacana Ilmu dan Pemikiran): Jakarta. 1997

6[6] Caerul Uman, Dkk. Ushul Fiqh 1. Pustaka Setia: Bandung. 1998

Page 36: TUGAS Kuliah Sholeh

Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan

syahwatnya sebagai syari’atnya.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1.      Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Serta mempunya disiplin ilmu tertentu memandang

bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik

manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

2.      Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak

khusus untik beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Al-Ghazali memberi contoh tentang

maslahah yang bersifat meyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentangi diri

dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh

mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentangi mereka, maka orang kafir

akan menang, dan merek akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum

muslimin memerangi orang Islam yang membentangi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini

dari seluruh orang Islam yang membentangi orang kafir tersebut. Demi memelihara

kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya denfan cara melawan atau memusnahkan musuh-

musuh mereka.

3.      Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i. Maslahah

tersebut harus dari jenis maslahah yang didatangkan oleh Syari’. Seandainya tidak ada dalil

tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju

oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.

4.      Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak

membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

Page 37: TUGAS Kuliah Sholeh

D.    Kehujjahan Maslahah Mursalah

Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaaan pendapat di kalangan ulama

ushul di antaranya:

1.      Maslahah mursalah tidak dapt menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama syafi’iyyah, ulama-

ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyyah, seperti Ibnu ajib dan ahli zahir.

2.      Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian

ulama Syafi’i. Tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama

ushul. Jumhur hanafiyyah dan syafi’iyyah mensyaratkan tentang maslahah ini, hendaknya

dimasukkan di bawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya

dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat

untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada

kemaslahatan yang dibenarkan syara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah

yang dibenarkan syara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereka soal pengetahuan syari’ (Allah)

terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum yang merealisir kemaslahatan. Hal ini karena

hampir tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.

3.      Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah:

Artinya:

“Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mahzab, karena

mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu denan yang lainnya karena

adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.”

Page 38: TUGAS Kuliah Sholeh

Diantara para ulama yang paling banyak melakukan atau mengguanakan maslahah mursalah

ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya

kepada kemaslahatan. Kalau memamng mereka diutus demi membwa kemaslahatan manusia,

maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu salah satu yang dikehendaki oleh syara’/agama

mengingat hukum Allah untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.7[7]

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada

nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk

meng-istinbath hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas.

Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab menggunakan maslahat Mursalah

dalam memngambil isthinbath hukum. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan

qiyas, digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Sifat

munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah mursalah.

DAFTAR PUSTAKA

Uman, Caerul. Dkk. 1998. Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: LOGOS (Wacana Ilmu dan Pemikiran)

7[7] Caerul Uman, Dkk. Ushul Fiqh 1. Pustaka Setia: Bandung. 1998

Page 39: TUGAS Kuliah Sholeh

Abu Zahrah, Muhammad. 2002. Ushul fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus

Page 40: TUGAS Kuliah Sholeh

Maslahah Mursalahhafidzahmuda ♦ Mei 22, 2012 ♦ Tinggalkan Sebuah Komentar

BAB I

Latar Belakang Masalah

Diera zaman moderenisasi saat ini, banyak permasalahan-permasalahan baru yang timbul di dalam lingkungan masyarakat, terutama masalah yang berbau agama, banyak hal yang perlu pertinjauan oleh fikih. Semakin banyak permasalahan yang timbul maka harus semakin banyak solusi yang didapat untuk menyelesaikan masalah, bagaimana cara kita mencari jalan keluar, dan bagaimanakah bentuk jalan keluar yang baik. Melihat fenomena ini penulis ingin sedikit membahas di dalam makalah ini mengenai teori Maslahah Mursalah yang merupakan salah satu teori pemecahan masalah di dalam ushul fiqih.

Rumusan MasalahApakah Maslaha Mursalah?Bagaimana penerapan teori Maslahah Mursalah didalam masyarakat?

Tujuan Penulisan

Mengetahui teori Maslahah Mursalah dan mengetahui aplikasi teori ini didalam masyarakat.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Pengertian Maslahahh Mursalah

Maslahah Mursalah atau masholihul mursalah secara etimologi adalah kemaslahatan yang mutlak, umum atau terlepas. Di katakan mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui atau menolak, membenarkan atau menyalahkan maslahah tersebut. Maslahah Mursalah menurut pandangan ahli ushul fikih, menurut :

Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya “Al Madkhol Liddirosatil Fiqh Al Islami” merumuskan mashalah sebagai berikut:

setiap kemaslahatan yang tidak dikaitkan dengan nash syar’i yang menyebabkan seseorang mengakui atau tidak mengakuinya, sedang apabila kemaslahatan itu diakui akan memberikan manfaat dan menolak madhorot[1]

Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya “Ilmu Ushulil Fiqh”:

Page 41: TUGAS Kuliah Sholeh

Kemaslahatan yang tidak disyariatkan hukumnya oleh Syar’i dalam rangka merealisasikan/ menciptakan kemaslahatan di samping tidak ada dalil syar’ie yang mengakui atau menolaknya.

Imam Ar-Razi

Maslahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, keturunananya dan harta bendanya.[2]

Imam Al-Ghazali:

Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madharat.[3]

Muhamad Hasbi As-Siddiqi

Memelihara tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.

Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para Ulama, memang satu sama lain berbeda dalam redaksinya, akan tetapi bila diperhatikan dengan cermat kesemuanya mempunyai pengertian yang sama jika diperhatikan lebih mendalam lagi, maka akan nampak bahwa kesemuanyakeseluruhanya saling lengka melengkapi satu sama lain dalam memperjelas pengertian serta hakikat maslahah mursalah. Supaya dapat memberikan gambaran yang lebih jelas lagi, maka maslahah mursalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bahwa maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada ketentuan hukumnya dari nash syar’i baik yang mengakui atau menolaknya.Bahwa maslahah mursalah hams sejalan dan senafas dengan maksud dan tujuan syar’i dalam mensyariatkan hukum.Bahwa maslahah mursalah dalam realisasinya harus dapat menarik manfaat dan menolak madharot.

Dasar Hukum diberlakukannya Maslahah Mursalah

Ada bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah diantaranya adalah :

a. Dalil Al Quran.

Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah SWT.

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)

Page 42: TUGAS Kuliah Sholeh

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).

b. Dalil Hadits.

Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.

Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan.

(H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas hasan)2

c. Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf

Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemeaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.[4]

Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujahan Mslahah Mursalah dalam pembentukan hukum Islam telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusak manusia dan agama.syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :

Maslahah irtu harus hakikat bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqli dan mereka mempunyai displin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

Maka maslahah-maslahah yang bersipat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syariat, tidaklah diperlukan seperti dalil maslahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami menalak istrinya dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan.

Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak husus untuk orang tertentu dan tidak husus untuk beberapa orang didalam jumlah sedikit.Maslahah itu sejelan dengan tujuan-tujuan hukum yang dituju oleh syar’I, maslahah tersebut harus sesuai dengan yang ditunjukan oleh syar’I, seandainya tidak ada dalil tertentu yang

Page 43: TUGAS Kuliah Sholeh

mengakui nya, maka maslaha tersebut tidak sejalan denga yang ditujukan oleh Islam.Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

Dengan diterimanya maslahah mursalah sebagai sumber hukum ini, akan memberi gerak yang lebih luwes lagi bagi hukum Islam, terutama dalam menghadapi berbagai peristiwa dan kasus yang begitu komplek yang tidak seluruhnya diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunah,sehingga hukum Islam sebagai suatu sistem tata hukum akan mampu menjawab tantangan modernisasi dan perkembangan manusia di sepanjang zaman.

Macam-macam Maslahah

Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :

Dilihat dari segi maslahah menurut syara

a) Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw hukuman bagi pencuri dengankeharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.

b) Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’,karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa’ad (94-175 H, Ahli fiqh Maliki di Spanyol).

c) Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :

(1) Mashlahah al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa itu) tidak dapat menemukan contoh pastinya. Bahkan

Page 44: TUGAS Kuliah Sholeh

Imam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada alam teori.

(2) Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash(ayat atau hadist).

Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:

Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu pertama memelihara agama, kedua, memelihara jiwa, ketiga. memelihara akal, keempat memelihara keturunan, dan kelima, memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.

Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqih membaginya kepada:

a) Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

b) Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).

Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:

Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.b. Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.

E. Kehujjahan Mashalah Mrsalah

Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsifnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.

Page 45: TUGAS Kuliah Sholeh

Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat atau motivasi hukum dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak ember bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.

BAB III

A. Penerapan Maslahah Mursalah dalam Realita

Didalam penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif

Page 46: TUGAS Kuliah Sholeh

bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.

Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.

Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.

Selain ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-keputusan hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di Indonesia. Namun di sini penulis hanya akan mengemukakan secara global saja tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan maslahah.

Sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak kasusu-kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti program KB, bayi tabung, iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh, donor darah, operasi plastik dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar maslahahlah yang paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif pemecahannya. Para Ulama yang tergabung dalam tiga organisasi keagamaan tersebut, pada dasarnya boleh dikatakan sepakat memper-bolehkan masalah-masalah tersebut dengan berbagai pariasi keputusan dan syarat-syarat tertentu yang sedikit ada perbedaan yang terkadang menunjukkan spesifikasi masing-masing. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU misalnya, dalam menetapkan hukum biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara memperluas pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang dalam hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang sebenarnya didasarkan atas pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.

[1] Ali Madkhol Liddirosatil Fiqhil Islami, hal. 200

Page 47: TUGAS Kuliah Sholeh

[2] Al-Mashul oleh Ar-Razi, juz II, hal 434.

[3] Al-Mustafa oleh iamam Ghazali,juz1,halaman 39

[4] Abdul Wahab Kholaf Ilmu Ushulil Fiqh, hal. 85

Page 48: TUGAS Kuliah Sholeh

MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

Disusun oleh: Zainal Masri

1. Defenisi Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah secara istilah terdiri dari dua kata yaitu maslaha dan mursalah. Kata

maslahah menurut bahasa artinya “manfaat” dan kata mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan

Abdul wahab kallaf berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk

merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.[1]

Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan (maslahah yang bersifat

umum), menurut istilah ulama ushul yaitu maslahah dimana syar’i tidak mensyariatkan hukum untuk

mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau

pembatalannya.

Contohnya: maslahah yang karena maslahah itu, sahabat mensyariatkan pengadaan penjara,

atau mencetak mata uang atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan

warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak pengasilannya, atau maslahah-maslahah lain yang harus

dituntut oleh keadaan-keadaan darurat, kebutuhan atau karena kebaikan, dan belum di syariatkan

hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara’ yang mengakuinya atau membatalkannya.[2]

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Ada bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah

diantaranya adalah :

a) Al Quran.

[1] Satria Efendi,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 148-149

[2] Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-Kaedah Hukum Islam, (kairo: 1942) hal. 126

Page 49: TUGAS Kuliah Sholeh

Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah

SWT.

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).

b) Hadits.Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah

sabda Nabi saw.

Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan. (H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas hasan)

c) Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf

Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat

seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka

ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan

maslahah musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh

Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual

yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia

berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan

prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan

kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.[3]

Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil

hukum. Maslahah mursalah ialah :

a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan

keperluan hidupnya.

[3] Abdul Wahab Khallaf, Kaedah-Kaedah Hukum Islam, hal. 85

Page 50: TUGAS Kuliah Sholeh

b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah

melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan

kaum muslimin pada masa itu.

3. Macam-macam Maslahah Mursalah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :

1) Maslahah Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang

bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran

yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa, akal,

keturunan dan harta.

2) Maslahah Hajjiyah

aلمصaلحة أم\ا \ةc ا ي cلحاجa بارة` فهcي ا cع cعن cمالaألعa فاتc ا oصر\ rيa والت ^ الت aها تتوقف ال aك علي cل aألصوaلc ت تتحق\ق` بلa الخمaسةc ا

cها cدوaن cنa ب rقc مع^ صcيانةc ولك aلحرجc الضي وا

“Maslahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang

lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi juga terwujud,

tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”.

3) Maslahah Tahsiniyah

cح أم\ا aلمصال \ة ا cي aن ي cسaح\ بارةc فهcي الت cع aعن cرaوaألمa cيa ا aها الت c المروaءةc تفaتضcي aألخaالقc ومكارcم نc ا cومحاس cلعاداتa ا

“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat

kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.

4. Kedudukan atau Kehujjahan Maslahah Mursalah

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan

hukumdalam bidang ibadah karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya yang

diwariskan oleh rasulullah SAW, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.[4]

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di

antaranya :

a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah,

dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir

[4] Satria Efendi, Op.Cit .h.150

Page 51: TUGAS Kuliah Sholeh

b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam

syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur

Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas,

yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit

(tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan.

Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi

mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya

pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya

hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki

dalil yang mengakui kebenarannya

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah

mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya

karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat. Diantara ulama yang paling banyak

melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus

utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus

demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang

dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik

dunia maupun akhirat.

5. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Abdul wahab kallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yaitu:

1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan

mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudaratan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya

mempertimbangkan adanya kemamfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.

Minsalnya yang disebut terahir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada di

tangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah maslahat yang palsu, karena bertentangan dengan

ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami

sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:

“dari ibnu umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid hal

ini diceritakan kepada nabi SAW, maka beliau bersabda: suruh ibnu umar untuk merujuknya lagi,

kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil” (HR. Ibnu majah)

2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi

Page 52: TUGAS Kuliah Sholeh

3. Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan dalam

Alquran atau sunnah Rasulullah atau bertentangan dengan ijma’.[5]

6. Maslahah Mursalah di Zaman Kontenporer

Didalam penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/

1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai

nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini

jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum,

yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak

didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.

Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang

batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah

batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah

tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa

yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang

jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.

Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan

peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU.

No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan

yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi

kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak

mereka.

Selain ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-

keputusan hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, sehingga

akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di Indonesia. Namun di sini

penulis hanya akan mengemukakan secara global saja tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya

didasarkan atas pertimbangan maslahah.

Sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak kasusu-

kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti program KB, bayi tabung,

[5] Satria Efendi,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 152-153

Page 53: TUGAS Kuliah Sholeh

iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh, donor darah, operasi plastik dan lain-lain.

Kasus-kasus tersebut merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al

Quran dan As Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan

status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar maslahahlah yang

paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif pemecahannya. Para Ulama yang tergabung dalam

tiga organisasi keagamaan tersebut, pada dasarnya boleh dikatakan sepakat memper-bolehkan masalah-

masalah tersebut dengan berbagai pariasi keputusan dan syarat-syarat tertentu yang sedikit ada

perbedaan yang terkadang menunjukkan spesifikasi masing-masing. Hal ini dimungkinkan terjadi

mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU

misalnya, dalam menetapkan hukum biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara

memperluas pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang dalam

hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji

secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang sebenarnya didasarkan atas

pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.[6]

Diposkan oleh ZAINAL MASRI di 02.22

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook

Tidak ada komentar:

Poskan KomentarPosting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

[6] Muhammad Akbar Amnur bin Amir bin Sahibe Ahmad, 4 Juni 2012, Diakses dari: www. Docstoc. Com., istihsan_istishab_ maslahah mursalah

Page 54: TUGAS Kuliah Sholeh

Pengikut

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH ALLAH SWT. Template Watermark. Gambar template oleh sbayram. Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog 2012 (13)

o September (12)

IJTIHAD SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

Mahkum Fih dan Mahkum

QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

Pengantar ushul fiqih

MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

ISTISHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

SADD AZ-ZARI’YAH

‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

IJMA' SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM

o Juni (1)

2011 (1)

l

a

n