TUGAS KEBIJAKAN.rtf

download TUGAS KEBIJAKAN.rtf

If you can't read please download the document

description

Pengelolaan hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa decade, kegagaln Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai factor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan

Transcript of TUGAS KEBIJAKAN.rtf

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pengelolaan hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa decade, kegagaln Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai factor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama penggerak pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar, baik dari segi ekologis, social-budaya dan ekonomis.

Setidaknya terdapat beberapa permasalahn yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan hutan. Pertama, paradigma pengelolaan hutan selama ini yang cenderung eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tampa melihat nilai social-budaya, serta ekologis dari kawasan hutan. Kedua, kebijakan pengelolaan hutan tidak bersifat strategis dan multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan hutan dengan sector pembangunan lainnya. Ketiga, konflik desentralisasi menjadi salah satu factor perlunya peninjauan kembali kerangka pengelolaan kawasan hutan agar dapat dianfaatkan bagi seluruh masyarakat dan tidak elitis. Oleh karna itu perlunya kita mengetahui sejarah dan pengelolaan hutan di Indonesia.B. TUJUAN1. Mengetahui sejarah pengembangan pengelolaan hutan di Indonesia?2. Mengetahui pengembangan pengelolaan Hutan di Indonesia 3. Mengetahui Perundang-undangan yang mengatur pengelolaan hutan

PEMBAHASAN

SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN

Hukum Pengelolaan Hutan pada Masa Kolonial BelandaHukum Pengelolaan Hutan pada Masa Kolonial Belanda Upaya untuk mengelola sumber daya hutan pada masa pe- merintahan kolonial Belanda dimulai dari pengelolaan hutan jati (Tectona grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke- 19, setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati di- eksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban., Gresik, sampai Pasuruan (Peluso, 1990, 1992; Simon, 1993, 1999). Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelang- sungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang me- ngandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan. Karena itu, ketika pemerintah kolonial Belanda kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalah merehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius. Untuk mendukung pelaksanaan tugas rehabilitasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari tugasnya, maka Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan),

membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang mengalami degradasi, dan juga mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati tanpa seijin Jawatan Kehutanan. Pada tanggal 26 Mei 1808 Daendels mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa yang me- muat prinsip-prinsip seperti berikut: (1) Pemangkuan hutan sebagai domein Negara dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan Negara; (2) Penarikan pemangkuan hutan dari kekuasaan Residen dan dari jurisdiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang ada; (3) Penyerahan pemangkuan hutan kepada dinas khusus di bawah Gubernur Jenderal, yang dilengkapi dengan wewenang admi- nistratif dan keuangan serta wewenang menghukum pidana; (4) Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar, dan perusahaan dengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengan kewajiban melakukan reforestasi dan pembudidayaan lapangan tebangan; (5) Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat desa, dan mereka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (6) Kayu-kayu yang ditebang pertama-tama harus digunakan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baru untuk memenuhi kepentingan perusahaan suasta; (7) Rakyat desa diberikan ijin penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku. Kebijakan yang dilakukan Daendels pada masa pemerintahan- nya di Hindia Belanda dengan melakukan reforestasi dan me- netapkan peraturan hukum yang membatasi eksploitasi sumber daya hutan jati di Jawa, dipandang sebagai awal dari dari kegiatan pengelolaan hutan yang menggunakan teknik ilmu kehutanan dan institusi modern di Indonesia, terutama setelah Daendels mem- bentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) yang diberikan wewenang mengelola hutan di Jawa (Supardi, 1974). Peraturan hukum mengenai pengelolaan hutan di Jawa dan Madura untuk pertama kali dikeluarkan pada tahun 1865, yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang- Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat di- buktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah (Peluso, 1990). Namun demikian, upaya Daendels untuk melakukan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil yang optimal, selain karena keterbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dimiliki petugas-petugas Jawatan Kehutanan, juga karena pada tahun 1830-1870 van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa, di mana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi eksport. Hukum Pengelolaan Hutan pada Masa Pendudukan JepangPada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah kolonial Belanda taklukdengan tanpa syarat kepada Bala Tentara Dai Nippon Jepang. Taktik perang bumi hangus yang dilakukan pemerintah Belanda sebelum menyerah kepada Dai Nippon telah menimbulkan ke- rusakan sarana dan prasaran produksi, perhubungan, tele- komunikasi, sarana pertanian, termasuk perusakan kawasan hutan jati terutama di Karesidenan Semarang, Jepara, Rembang, Telawa, dan Bojonegoro. Boschwezen (Dinas Kehutanan) juga tidak luput dari sasaran taktik penghancuran bumi hangus, agar tidak dapat digunakan dan dinikmati oleh bala tentara Jepang. Karena itu, kilang-kilang penggergajian kayu di Saradan dan di Cepu serta los-los tempat penimbunan kayu di Madiun dengan sengaja dirusak dan dibakar. Selain itu, jembatan rel gantung di Payak Sonde dalam kawasan hutan Ngawi juga dengan sengaja dirusak dan dihancurkan sebagai bagian dari taktik bumi hangus (Supardi, 1974). Pada masa pendudukan tentara Dai Nippon Jepang (1942-1945) Jawatan Kehutanan Belanda (Dient van het Boschwezen) diganti namanya menjadi Ringyo Tyuoo Zimusyo. Semua pegawai Jawatan Kehutanan diminta untuk terus melaksanakan tugasnya di posnya masing-masing, dan Ordonansi Hutan Jawa dan Madura 1927 (Staatsblad 1927 No. 221 serta Verordening Kehutanan tahun 1932 (Staatsblad 1932 No. 446) dinyatakan tetap berlaku oleh pemerintah Dai Nippon untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura. Sementara itu, urusan pengelolaan hutan di luar Jawa dan Madura ditangani oleh Pemerintah Pusat, tetapi sebagian juga ditangani oleh Pemerintah Swapraja (Zelf besturende Landschappen dan Inheemse Rechtsgemeenschappen). Selama masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutan jati di Jawa mengalami masa surut, dalam arti tidak berjalan seperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini selain karena hanya sebagian kecil dari bekas pegawai Jawatan Kehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentingan pemerintah Dai Nippon, juga karena keadaan chaos akibat perang gerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan, sehingga tidak memungkinkan dapat dilakukan kegiatan pengelolaan hutan seperti yang diharapkan pemerintah Dai Nippon.

Hukum Pengelolaan Hutan Pasca Kemerdekaan: dari Orde Lama, Orde Baru, sampai Masa Pemerintahan Orde Reformasi Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pe- ngelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Namun demi- kian, peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari peme- rintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru dise- lenggarakan pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan Surat Ketetapan Gunseikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945. Upaya pertama yag dilakukan pemerintah adalah pada bulan Desember 1946 Jawatan Kehutanan membentuk satu tim pe- nerjemah yang ditugaskan menerjemahkan peraturan-peraturan hukum kehutanan yang diproduk pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan sebagai bahan pembentukan peraturan hukum kehutanan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pembukaan UUD 1945. Sebelum itu, rapat dinas Jawatan Kehutanan pada tanggal 20-22 Maret 1946 yang di- selenggarakan di Madiun telah berhasil membentuk Pedoman Kerja Jawatan Kehutanan tahun 1946, sebagai penjabaran dari kebijakan politik pemerintah di bidang pengelolaan hutan. Kemudian, berdasarkan Surat Ketetapan Kepala Jawatan Kehutanan tangga l4 Juli 1947 Nomor 2758/KBK/Yg. dibentuk satu Panitia Peraturan Kehutanan, yang diberikan tugas untuk meyusun rancangan peraturan-peraturan di bidang kehutanan.

PENGOLAHAN HUTANPengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan buah-buahan, damar, kopi dan kakao dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest) (de Foresta et al 2000). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan pemerintah daerah setempat (Dala dan Jaya 2002).

Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per tahun (Badan Planologi Kehutanan 2003). Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PHB) adalah pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan menggunakan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan yang sangat luas. Berbagai lembaga kehutanan sekarang mencoba berbagai bentuk pengelolaan hutan berkelanjutan dengan berbagai metode dan alat-alat yang tersedia yang telah diuji dari waktu ke waktu.The Forest Principles yang diadopsi pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro pada tahun 1992 menangkap pemahaman internasional umum pengelolaan hutan lestari pada waktu itu. Sejumlah kriteria dan indikator telah di set sejak dikembangkan untuk mengevaluasi pencapaian PHB di beberapa negara dengan tingkat unit pengelolaan. Ini semua upaya untuk mengkodifikasi dan menyediakan untuk penilaian independen terhadap sejauh mana tujuan yang lebih luas dari pengelolaan hutan berkelanjutan yang telah dicapai dalam praktek. Pada tahun 2007, Majelis Umum PBB mengadopsi Non-Legally Binding Instrument pada semua jenis hutan. Instrumen ini adalah yang pertama dari jenisnya, dan mencerminkan komitmen internasional yang kuat untuk mempromosikan pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui pendekatan baru yang membawa semua pemangku kepentingan bersama-sama.Definisi Definisi PHB dikenal dengan kehutanan yang berkelanjutan sampai saat ini memahami pengelolaan hutan yang disepakati oleh Konferensi Menteri tentang Perlindungan Hutan di Eropa MCPFE, dan sejak itu pula telah diadopsi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Mendefinisikan pengelolaan hutan berkelanjutan sebagai berikut:Mengurus dan menggunakan hutan dan lahan hutan dengan cara, dan pada tingkat, yang mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada, produktivitas, kapasitas regenerasi, vitalitas dan potensi mereka untuk memenuhi, sekarang dan di masa depan, fungsi ekologi, ekonomi dan sosial yang relevan, di tingkat lokal, nasional, dan global, dan yang tidak menyebabkan kerusakan ekosistem lainnya. Secara sederhana, konsep ini dapat digambarkan sebagai pencapaian keseimbangan-keseimbangan antara tuntutan masyarakat yang semakin meningkat untuk produk hutan, manfaat, dan pelestarian kesehatan hutan dan keanekaragaman. Keberlanjutan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup hutan, dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada hutan. Untuk pengelola hutan berkelanjutan, mengelola saluran hutan tertentu berarti menentukan, dalam cara yang nyata, bagaimana menggunakan hari ini untuk memastikan manfaat yang sama, kesehatan dan produktivitas di masa depan. Untuk menghasilkan kebijakan hutan yang terpadu, manajerial hutan (pemerintah red.) harus menilai dan mengintegrasikan beragam masalah kadang-kadang faktor yang saling bertentangan nilai komersial dan non-komersial, pertimbangan lingkungan, kebutuhan masyarakat, bahkan dampak global. Dalam kebanyakan kasus, pengelola hutan (pemerintah red.), mereka mengembangkan rencana konsultasi (dengan berbagai pihak red.) seperti dengan warga, pengusaha, organisasi dan pihak lain yang berkepentingan di dalam dan sekitar saluran hutan yang dikelola. Alat dan visualisasi baru-baru ini telah berkembang untuk praktek-praktek manajemen/pengelolaan yang lebih baik. Karena hutan dan masyarakat berada dalam fluks konstan, hasil yang diinginkan dari pengelolaan hutan berkelanjutan/lestari bukanlah tidak berubah atau tetap. Melainkan hutan yang dikelola secara berkelanjutan/lestari akan berubah dari waktu ke waktu sebagai nilai-nilai yang dipegang oleh publik mengenai perubahan itu sendiri.Kriteria dan indikator Kriteria dan indikator adalah alat yang dapat digunakan untuk membuat konsep, mengevaluasi dan menerapkan manajemen hutan lestari atau berkelanjutan. Kriteria mendefinisikan dan mencirikan unsur-unsur penting, serta seperangkat kondisi atau proses, dimana pengelolaan hutan lestari dapat dinilai. indikator berkala diukur mengungkapkan arah perubahan yang berkenaan dengan kriteria masing-masing. Kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari secara luas digunakan, banyak negara membuat laporan nasional yang menilai kemajuan mereka terhadap pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan). Ada sembilan kriteria internasional dan regional dan inisiatif indikator, yang secara kolektif melibatkan lebih dari 150 negara. Tiga dari inisiatif lebih maju adalah orang-orang dari Kelompok Kerja tentang Kriteria dan Indikator untuk Pengelolaan Konservasi dan berkelanjutan iklim dan Hutan ( juga disebut Proses Montreal), Konferensi Menteri untuk Perlindungan Hutan di Eropa, dan International Tropical Timber Organization. Negara-negara yang merupakan anggota dari inisiatif yang sama biasanya setuju untuk menghasilkan laporan pada waktu yang sama dan menggunakan indikator yang sama. Dalam negara, di tingkat unit manajemen, upaya juga telah diarahkan pada tingkat lokal mengembangkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari. Center for International Forestry Research, International Model Forest Network dan peneliti di University of British Columbia telah mengembangkan sejumlah alat dan teknik untuk membantu masyarakat yang bergantung pada hutan mereka sendiri mengembangkan kriteria dan indikator tingkat lokal. Kriteria dan Indikator juga membentuk dasar standar atau yang disebut Kanada Asosiasi Standar, sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan). Tampaknya ada tumbuh konsensus internasional pada elemen kunci dari pengelolaan hutan lestari. Tujuh wilayah tematik umum pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan) telah muncul berdasarkan kriteria dari sembilan kriteria regional dan internasional yang sedang berlangsung dan inisiatif indikator.Ketujuh daerah tematik adalah:Luas Sumber daya hutanKeanekaragaman hayatiHutan kesehatan dan vitalitasProduktif fungsi sumber daya hutanPerlindungan fungsi sumber daya hutanFungsi Sosial-ekonomiHukum, kebijakan dan kerangka kelembagaan.

Ini konsensus di area tematis umum (atau kriteria) secara efektif memberikan definisi, umum implisit pengelolaan hutan lestari. Ketujuh wilayah tematik yang diakui oleh masyarakat kehutanan internasional di sesi keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa Forum Hutan dan sesi ke-16 Komisi Kehutanan. Daerah-daerah tematik sejak itu diabadikan dalam Non-Legally Binding Instrument pada Semua Jenis Hutan sebagai kerangka acuan untuk pengelolaan hutan lestari untuk membantu mencapai tujuan instrumen.Perundang undangan yang menyangkut Pengelolaan hutanPP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Produksi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 610/Kpts-IV/1993 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan produksi alam secara lestari pada tingkat Manajemen UnitUndang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang KehutananPP No. 3 Tahun 2008 tentang KPH

PENUTUPKesimpulan

Hutan di Indonesia sangatlah luas hampir di seluruh Pulau di Indonesia terdiri dari hutan. Akan tetapi ini kepedulian terhadap hutan sangat menurun karena banyak orang lebih banyak yang memeningkan dirinya sendiri-sendiri dibandingkan kepedulian terhadap lingkungannya. Banyak contoh dinegara kita diantaranya banyaknya penebangan liar secara ilegal yang sangat merugikan makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri karena itulah banyaknya fauna yang punah yang disebabkan oleh tangan manusia itu sendiri. Hutan apabila dilakukan pengelolaan secara baik akan menghasilkan yang baik pula karena hutan sebagai paru-paru dunia yang sangat penting bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di muka bumi kita ini. Apabila tidak ada hutan maka akan terjadi penipisan ozone karena dampak radiasi yang disebut pemanasan global/Global Warming.

Saran

Dengan disusunnya makalah ini mudah-mudahan kita semua mengetahui pengelolaan hutan dengan cara yang kecil kecil terlebih dahulu diantaranya menjaga kelestarian lingkungan, melakukan reboisasi terhadap lahan gundul.

DAFTAR PUSTAKA

http://Google.com/http://www.anakunhas.com/2011/03/pelestarian-hutan-memberi-manfaat-bagi-ekonomi-rakyat-dan-lingkungan.htmlhttp://www.irwantoshut.net/definisi_hutan.htmlNurjaya Nyoman, 2011. SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA.

Tugas Pengelolaan Hutan Indonesia

Oleh Ferdian arif abadiD1B5 11 109

JURUSAN KEHUTANANFAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGANUNIVERSITAS HALU OLEO2014