tugas individu

34
( Sesi 1 ) Pajak Berganda Internasional A. Pengertian Pajak Berganda Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu: 1. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal. 2. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah. Dampak dari Pajak Berganda Internasional ( PBI ) Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh pengusaha (masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan ( dari dua negara ) memberikan tambahan beban terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan resiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi. Oleh karena itu, nampak sudah merupakan kebutuhan Internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijkana perpajakannya bersifat netral untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi Internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi terhadap PBI. B. Terjadinya Pajak Berganda Internasional Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang

description

osteomilitis

Transcript of tugas individu

( Sesi 1 )

Pajak Berganda Internasional

A.     Pengertian Pajak Berganda Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya

yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu:

1.       Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.

2.       Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.

Dampak dari Pajak Berganda Internasional ( PBI )Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh

pengusaha (masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan ( dari dua negara ) memberikan tambahan beban terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan resiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi. Oleh karena itu, nampak sudah merupakan kebutuhan Internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijkana perpajakannya bersifat netral untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi Internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi terhadap PBI.

B. Terjadinya Pajak Berganda InternasionalPajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum

internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.

Perjanjian Dalam Pajak Berganda InternasionalPerjanjian seperti ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan

persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa macam pajak yang

kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan persetujuan.

Tax TreatyTax Treaty adalah perjanjian perpajakan anatar dua Negara atau lebih yang dibuat dalam

rangka meminimalisir perpajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak (penggelapan pajak).Perjanjian ini digunakan oleh dua Negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi diantara mereka.

Yang menjadi tujuan dari Tax Treaty adalah :

1. Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)Dalam menerapkan ketentuan perpajakan,Yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan

berinteraksi dengan yusrisdiksi perpajakan Negara lainnya. Interaksi dua yurisdiksi perpajakan dua Negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda.Yang membuat timbulnya pajak berganda ini karena dua Yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.

2. Mencegah Pengelakan pajakAda 2 hal yg bisa dilakukan dalam menghindari pajak yaitu : Tax Avoidance cara ini masih

dalam tahap ketentuan perpajakan artinya masih dalam tahap yg wajar dan tidak menjadi masalah. Contohnya membuat modal sebagai pinjaman sehingga dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan. Sedangkan Tax Evasion adalah cara menghindar pajak dengan melakukan pelanggaran ketentuan pajak. Contohnya tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif, dan cara ini illegal dan termasuk kriminal.

3. Penukaran InformasiUntuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi

internasional, dapat dilakukan juga dengan pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus  penghindaran atau pengelakan   pajak seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang  tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tinda pidana perpajakan.

( Sesi 2 )

Perjanjian Perpajakan

Perjanjian perpajakan (Tax Treaty) atau lebih dikenal dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah suatu istilah yang dikenal dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak  suatu implementasi dari pasal 32A UU PPh yang mengatakan pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Adapun tujuan P3B diantaranya adalah :

1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara :

a). Menghindarkan pengenaan pajak berganda,

b). Memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu, Pembagian Hak Pemajakan.

2. Alat untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya, tentang: anti tax avoidance (Pengelakan Pajak) , EoI (Exchange  Of Information) MAP.

Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN) dari negara mitra P3B. P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B. Pada umumnya penyalahgunaan P3B terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

1. Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;

2. Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau

3. Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN dengan syarat :

1. Penerima penghasilan bukan SPDN Indonesia,2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;

dan3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

tentangpencegahan penyalahgunaan P3B

Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B :

1. Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh ; dan

2. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.

Salah satu tujuan dari perjanjian pemajakan seperti disebutkan di atas adalah Exchange Of Information (EOI) dimana Exchange of Information adalah fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat didalam P3B yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra P3B untuk upaya pencegahan tax avoidance, pengelakan pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak (tax treaty abuse) sehingga secara tujuan pertukaran informasi ini adalah :

1. Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak dan pengelakan pajak,   Mengumpulkan informasi untuk menyelesaikan kasus treaty shopping (i.e. beneficial owner), transfer pricing, atau tindak pidana fiskal.

2. Untuk menguji kewajiban “self-assessment” yang dijalankan WPDN, terkait dengan penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Menyediakan informasi untuk menguji pelaksansaan “worldwide income”.

SESI 3

Metode P3B

Metode P3B dibuat untuk mempermudah negara – negara dalam mebuat P3b. Dalam mengadakan persetujuan dengan negara lain, biasanya negara – negara di dunia menggunakan Model P3B sebagai acuan. Model P3B yang paling umum dikenal, yaitu:

1. OECD Model. OECD Model merupakan model P3B yang digunakan sebagai acuan negara – negara yang tergabung dalam organisasi OECD (organization for economic cooperation and development) . OECD Model menganuta azas domisili, model ini lebih banyak digunakan oleh negara – negara maju sebagai negara yang mempunyai subjek dari yang mempunyai penghasilan.

2. UN Model. UN Model merupakan model P3B yang dikembangkan oleh organisasi perserikatan Bangsa – Bangsa (united nation/UN). UN Model menganut azas sumber, model ini lebih banyak digunakan oleh negara – negara yang sedang berkembang sebagai negara yang memounyai sumber penghasilan.

Metode Penghindaran Pajak Berganda dalam P3B

Metode penghindaran pajak berganda dalam model P3B Indonesia diatur di pasal 23. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur perlakuan perpajakan terhadap penduduk di masing – masing negara atas penghasilan yang dikenakan pajak negara sumber ( diluar negeri).

Pada kenyataannya beberapa pasal – pasal yang membagi hak pemajakan atas penghasilan dalam P3B memungkinkan negara sumber mengenakan pajak. Metode penghindaran pajak berganda dalam Model P3b Indonesia sejalan dengan perlakuan kredit pajak luar negeri yang diatur dalam pasal 24 UU PPh. OECD Model dan UN Model memberikan dua pilihan, yaitu:

1. Metode Pembebasan/Pengecualian (exemption method)

Dalam UN Model, apabila penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) memperoleh penghasilan atau memiliki kekayaan yang berdasarkan P3B dapat dikenakan pajak di negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber) maka negara yang disebut pertama (negara domisili) akan memebebaskan penghasilan atau kekayaan tersebut dari pengenaan pajak.

Apabila sesuai dengan ketentuan P3B penghasilan yang diperoleh, atau kekayaan yang dimiliki oleh penduduk suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) dibebaskan dari pengenaan pajak di negara pihak pada persetujuan (negara domisili), maka negara pihak pada persetujuan (negara domisili) dalam menggenakan pajak atas penghasilan lainnya atau kekayaan dari penduduk tersebut memperhitungkan penghasilan yang dibebaskan itu. Ketentuan metode pembebasan/pengecualian dalam OECD Model relatif sama dengan UN Model, perbedaannya dalam OECD Model pengecualian tidak mencakup royalti, karena dalam OECD Model hak pemajakan royalti berada di negara domisili.

2. Metode Kredit (credit method)

Metode Kredit dalam OECD Model dan UN Model pada prinsipnya sama, menurut UN Model, apabila penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) memperoleh penghasilan atau memiliki kekayaan yang berdasarkan P3B dapat dikenakan pajak di negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber), maka negara domisili wajib memberikan pengurangan pajak (kredit pajak) atas penghasilan pendudukan tersebut sebesar pajak yang dibayar di negara lainnya (negara sumber).

Sesi 4

Perjanjian Perpajakan Indonesia

Sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di dalam Undang-undang No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-undang tersebut mengatur tatacara pengesahan suatu perjanjian internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya.

Masalah ini diatur di Pasal 10, yaitu pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila perjanjian tersebut berkenaan dengan:

1. Masalah politik.2. Perdamaian.3. Pertahanan 4. Keamanan negara

Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia;

1. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.2. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. 3. Pembentukan kaidah hukum baru.4. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Selanjutnya Pasal 11 mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

Kemudian pemerintah akan menyampaikan salinan keputusan presiden tersebut kepada DPR Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010

Dalam Pasal 26 ayat (1) PP Nomor 94 Tahun 2010 diatur bahwa dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU PPh, perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.

Pada ayat berikutnya diatur bahwa pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Sesi 5

Isi Perjanjian Perpajakan Internasional

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Perjanjian internasional dapat dilakukan dengan cara : penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk :

a. ratifikasi (ratification); b. aksesi (accession); c. penerimaan (acceptance); d. penyetujuan (approval).

jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan keterikatan negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua:

a. kontrak perjanjian (treaty contract), dan

b. perjanjian-perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties).

Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

Pasal 1ORANG DAN BADAN YANG DICAKUP DALAM PERJANJIAN

Perjanjian ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara Pihak pada Perjanjian.

Pasal 2PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERJANJIAN

1. Perjanjian ini diterapkan terhadap pajak-pajak yang berlaku sekarang ini, yaitu:(a) Dalam hal Indonesia, pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Pajak

Penghasilan Tahun 1984, Pajak Perseroan Tahun 1925, dan Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti Tahun 1970.

(b) Dalam hal Amerika Serikat, pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan Internal Revenue Code (undang-undang pajak Amerika Serikat) namun tidak termasuk the accumulated earnings tax (sanksi perpajakan atas penumpukan laba), the personal holding company tax (pajak yang dikenakan terhadap perusahaan yang lebih dari 50% (lima puluh persen) nilai sahamnya dimiliki oleh lima atau kurang dari lima orang pribadi), dan sosial security taxes (pajak yang digunakan untuk membiayai jaminan sosial).

Perjanjian ini berlaku pula terhadap pajak-pajak yang serupa atau yang pada dasarnya sama yang

2. diberlakukan kemudian sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang berlaku sekarang ini.

Pasal 3PENGERTIAN UMUM

1. Kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, untuk kepentingan Perjanjian ini:(a) Istilah "Indonesia" meliputi wilayah Republik Indonesia dan perairan di sekitarnya di mana

Republik Indonesia memiliki kedaulatan, hak-hak kedaulatan, atau yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur) sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea).

(b) Istilah "Amerika Serikat," jika digunakan dalam pengertian geografis, meliputi wilayah negara-negara bagiannya, Distrik Columbia, dan setiap wilayah daratan dan lautan di mana Amerika Serikat memiliki kedaulatan, hak-hak kedaulatan, atau hak-hak lain sesuai dengan hukum internasional.

(c) Istilah "Negara Pihak pada Perjanjian" dan "Negara Pihak lainnya pada Perjanjian" berarti Indonesia atau Amerika Serikat, tergantung dari hubungan kalimatnya.

(d) Istilah "orang/badan" mencakup orang pribadi, persekutuan (partnership), perusahaan, warisan yang belum terbagi (estate), perwalian (trust), atau kumpulan-kumpulan lain dari orang-orang dan/atau badan-badan.

(e) Istilah "perusahaan" berarti setiap badan hukum atau lembaga lainnya yang untuk tujuan perpajakan diperlakukan sebagai badan hukum.

(f) Istilah "pejabat yang berwenang" berarti: (i) Dalam hal Indonesia, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah, dan (ii) Dalam hal Amerika Serikat, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah.

(g) Istilah "Pajak Indonesia" berarti pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Indonesia di mana Perjanjian ini dapat diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan istilah "Pajak Amerika Serikat" berarti pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Amerika Serikat di mana Perjanjian ini dapat diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(h) Istilah "jalur internasional" berarti setiap pengangkutan dengan kapal laut atau pesawat udara, kecuali jika kapal laut atau pesawat udara tersebut semata-mata dioperasikan di antara tempat-tempat di Negara Pihak lainnya pada Perjanjian.

2. Istilah-istilah lain yang tidak didefinisikan namun digunakan dalam Perjanjian ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, mempunyai arti yang sesuai dengan perundang

undangan Negara Pihak pada Perjanjian yang akan menetapkan pajak. Menyimpang dari ketentuan tersebut, jika arti dari suatu istilah menurut perundang-undangan salah satu Negara Pihak pada Perjanjian berbeda dengan arti menurut perundang-undangan Negara Pihak lainnya pada Perjanjian, atau jika arti dari suatu istilah tersebut tidak dapat segera ditentukan menurut perundang-undangan salah satu Negara Pihak pada Perjanjian, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Perjanjian tersebut, untuk mencegah pengenaan pajak berganda atau untuk tujuan lain dari Perjanjian ini, dapat menetapkan arti umum dari suatu istilah tersebut untuk kepentingan Perjanjian ini.

Sesi 6Metode Penghindaran Pajak Berganda

1. Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime

Yang dimaksud dengan Tax Haven adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak. Berupa penetapan tarif pajak yang rendah kepada wajib pajak (WP) negara lain agar penghasilan dari WP negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka.

2. Controlled Foreign Corporations (CFC)

Corporate terkendali yang dimiliki oleh WP dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance). Aturan CFC pada dasarnya untuk mencegah wajib pajak di suatu negara melakukan tax deferral atas penghasilannya, dengan cara melakukan transaksi atau investasi di negara-negara yang dikenal dengan sebutan "tax heaven", karena tarif pajak di negara-negara tersebut sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali. Di Indonesia, CFC diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan

3. Treaty Shopping

Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak.

Pencegahan Penghindaran Pajak Berganda

1. Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara yang berbeda. Aturan ini dikenal dengan istilah Tie Breaker Rule yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (2) P3B.

2. Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21 P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.

3. Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing.

4. Adanya ketentuan tentang penerapan metode penghindaran pajak berganda yang diatur dalam Pasal 23 P3B.

5. Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya melalui MAP ini.

Ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.Di Indonesia, telah dikeluarkan ketentuan pelaksanaan terkait penerapan P3B ini, yaitu :

PER-61/PJ./2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

PER-67/PJ./2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan P3B.

Dalam P3B OECD Model, ketentuan tentang pertukaran informasi dimuat dalam Pasal 26. Sementara itu aturan internal di Indonesia untuk melakukan proses pertukaran informasi diatur dalam SE-61/PJ/2009.Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Sesi 7Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Penghasilan BUTPenghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu ;

1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.

2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia

3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan.

Biaya BUTSelain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan  Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Witholding Tax PPh Pasal 26Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :

1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.

2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.

3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

Prinsip Worlwide IncomePrinsip worldwide income pada UU PPh biss kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata “dari luar Indonesia” inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.

SESI 9Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Pengangkutan Laut dan Udara

1. PPh Pasal 15

Jika perusahaan pelayaran (perusahaan dalam negeri) memberikan jasa pelayaran seperti mengangkut orang dan/atau barang maka perusahan pelayaran harus membayar PPh pasal 15 dengan tarif 1,2% dari peredaran bruto. PPh Pasal 15 bersifat final. Dengan demikian jika penghasilan pelayaran semata-mata dari jasa pelayaran maka PPh Pasal 25 dan Pasal 29 nya akan nihil.

2. PPh Pasal 23

Jika perusahaan pelayaran menyewakan kapalnya kepada pihak lain maka perusahaan pelayaran akan dipotong PPh Pasal 23 oleh penyewa dengan tarif 2% dari jumlah bruto. Pengertian menyewakan kapal adalah sewa kapal tanpa awak (bareboat charter).Penyewaan kapal selain bareboat tidak dikenakan PPh Pasal 23 tetapi dikenakan PPh Pasal 15.

3. PPN

Dalam PPN tidak dikenal jasa pelayaran, yang ada adalah jasa angkutan umum diatas air. Jasa angkutan umum diatas air tidak termasuk JKP.Jasa pelayaran bisa menjadi JKP jika Kapal dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan atau untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Laut, dalam satu perjalanan (trip).

Dalam terminologi jasa angkutan kapal (lautan dan udara), dikenal beberapa jenis charter/sewa, yaitu:

a. Sewa berdasarkan pemakaian ruang (space charter);

b. Sewa berdasarkan pemakaian waktu (time charter);

c. Sewa kapal tanpa awak (bareboat charter);

d. Sewa kapal dengan awak (fully-manned basis).

4.. Pasal 3 angka 1 PP 146/2000 stdtd PP 38/2003 tanggal 14 Juli 2003 mengatur bahwa JKP Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN adalah Jasa yang diterima oleh

– Perusahaan Angkutan Laut Nasional,

– Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,

– Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional, atau

– Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi :

a. Jasa persewaan kapal;

b. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;

c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;

Jasa Angkutan Umum di Air

jasa angkutan umum di darat, jasa angkutan umum di air juga tidak dikenakan PPN. Jasa angkutan umum di air yang tidak dikenai PPN ini meliputi tiga jenis yaitu jasa angkutan umum di laut, jasa angkutan umum di sungai dan danau, dan jasa angkutan umum penyebrangan.Untuk jasa angkutan umum di air yang menggunakan kapal yang disewa atau dicarter, tetap dikenai PPN.

Jasa angkutan umum di sungai dan danau merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kapal, yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, atau terusan, dengan dipungut bayaran.

Ketiga jenis jasa pengangkutan di air tersebut sama sama menggunakan kapal. Pengertian kapal sendiri adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

SESI 10

(Pajak atas Deviden, Royalti, Bonus dll)

Deviden

Pengertian atau definisi dividen menurut Pajak Penghasilan terdapat dalam penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh). Di bagian tersebut ditegaskan bahwa dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

Jika penghasilan dividen yang bersumber dari Indonesia diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka atas penghasilan dividen tersebut wajib dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak yang membayarkan. Besarnya tarif PPh Pasal 26 ini adalah 20% dari penghasilan bruto. Namun demikian, apabila penerima dividen ini adalah penduduk dari negara yang mempunyai perjanjian perpajakan dengan Indonesia, maka tarif yang dikenakan adalah tarif sesuai dengan tax treaty.

Dividen, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi merupakan objek PPh yang bersifat final. Tarif PPh yang bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto dividen yang diterima.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah:

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/ 2010.

Objek PPh Pasal 23 adalah bunga dan imbalan lainnya termasuk premium maupun diskonto yang merupakan bunga antar pinjaman yang diterima atau diperoleh oleh WP OP DN maupun WP Badan DN dari pihak pembayar bunya yang merupakan pemotong PPh Pasal 23

Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya. Premium merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi.

Diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

Tarif

1. 15% dari Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final2. Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek

PPh Pasal 23 tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang seharusnya Pasal 23 ayat (1a) UU Nomor 36 Tahun 2008)

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak. Royalti yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah royalti yang diberikan kepada Subjek Pajak dalam negeri—baik Subjek Pajak orang pribadi maupun Subjek Pajak badan usaha, termasuk kepada BUT (bentuk usaha tetap atau permanent establishment)

Tarif PPh Pasal 23 untuk royalti adalah 15%. Namun jika si penerima royalti tidak mempunyai NPWP, tarifnya dinaikkan menjadi 30% [Pasal 23 ayat (1a) UU PPh]. Sedangkan yang menjadi DPP-nya adalah jumlah bruto royalti yang terutang atau kita bayarkan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, PPh Pasal 23 atas royalti dihitung sebesar = 15% (atau 30%) dikalikan dengan jumlah bruto royalti yang terutang atau dibayarkan.

PENEGASAN PERLAKUAN PPh ATAS PEMINDAHTANGANAN HARTA

Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan,

antara perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, dengan ini disampaikan penegasan

sebagai berikut :

Pemindahtanganan harta dapat dilakukan dalam bentuk :

1. penjualan,2. pengalihan/tukar menukar,3. hibah,4. warisan dan5. penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind perticipation)

Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (selanjutnya disebut UU PPh 1984) yaitu dalam :

- Pasal 4 ayat (1) huruf d,

- Pasal 4 ayat (3) huruf a, b, e dan f,

- Pasal 6 ayat (1) huruf d,

- Pasal 9 ayat (1) huruf f,

- Pasal 10 ayat (1),

- Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8),serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.

SESI 11

(Pajak atas Pekerjaan Bebas,Hubungan Kerja, dll )

Pajak Atas Pekerjaan Bebas

Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dinyatakan bahwa WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan (diatur pada ayat (2)-nya) tetapi diwajibkan melakukan pencatatan adalah WP orang pribadi :

a) yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

b) yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan.

Perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto-nya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (yaitu yang peredaran brutonya kurang dari Rp. 600.000.000,- dalam setahun cfm. Kep.Dirjen Pajak No. KEP-536/PJ./2000).

Dari pembukuan atau pencatatan yang dilakukan oleh WP itulah dapat dilakukan penghitungan kewajiban pajak terutangnya (termasuk PPh dan PPN) pada setiap tahun pajak atau masa pajak, sesuai dengan azas self assessment yang dianut oleh undang-undang perpajakan kita.

Definisi Bukan Pegawai (Olahragawan, Seniman)

Bukan pegawai merupakan penerima penghasilan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;olahragawan, penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; pengarang, peneliti, dan penerjemah; pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; agen iklan; pengawas atau pengelola proyek; pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; petugas penjaja barang dagangan; petugas dinas luar asuransi; distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegia

Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari Jumlah Kumulatif dari Jumlah Penghasilan Bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009 yaitu :“Penerima penghasilan bukan pegawai tersebut dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya”

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari Jumlah Penghasilan Bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dari atas Jumlah Kumulatif dari Penghasilan Kena Pajak yang diterima atau diperoleh bukan pegawai selain tenaga ahli, yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan. sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya (memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009)

SESI 12

(Pajak atas Pensiun, Guru, Mahasiswa Dll)

Uang Manfaat Pensiun

Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Tarif PPh Pasal 21 Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah:

2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. Istilah dibayarkan sekaligus mengandung arti bahwa sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Apabila Pemotong PPh Pasal 21 membayarkan imbalan kepada tenaga ahli, maka atas penghasilan yang diterima tenaga ahli tersebut harus dipotong PPh Pasal 21. Yang dimaksud tenaga ahli adalah orang pribadi yang yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

Tarif yang dikenakan adalah 15% dari perkiraan penghasilan neto yang besarnya adalah 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, tarif efektifnya adalah 15% x 50% atau 7,5% dari penghasilan bruto.

Sesi 13

Kegiatan Laut, Ph lain- lain, P3B, Non Diskriminasi

Pasal 1 (UU No 18 Tahun 2000)

DalamUndang-Undangini yang dimaksuddengan :

1. Daerah PabeanadalahwilayahRepublik Indonesia yang meliputiwilayahdarat, perairan, danruangudaradiatasnyasertatempat-tempattertentu di ZonaEkonomiEksklusifdanLandasKontinen yang di dalamnyaberlakuUndang-UndangNomor 10 Tahun 1995 tentangKepabeanan.

2. Barangadalahbarangberwujud, yang menurutsifatatauhukumnyadapatberupabarangbergerakataubarangtidakbergerak, danbarangtidakberwujud.

3. BarangKenaPajakadalahbarangsebagaimanadimaksuddalamangka 2 yang dikenakanpajakberdasarkanUndang-Undangini.

4. PenyerahanBarangKenaPajakadalahsetiapkegiatanpenyerahanBarangKenaPajaksebagaimanadimaksuddalamangka 3.

5. Jasaadalahsetiapkegiatanpelayananberdasarkansuatuperikatanatauperbuatanhukum yang menyebabkansuatubarangataufasilitasataukemudahanatauhaktersediauntukdipakai, termasukjasa yang dilakukanuntukmenghasilkanbarangkarenapesananataupermintaandenganbahandanataspetunjukdaripemesan.

6. JasaKenaPajakadalahjasasebagaimanadimaksuddalamangka 5 yang dikenakanpajakberdasarkanUndang-Undangini.

7. PenyerahanJasaKenaPajakadalahsetiapkegiatanpemberianJasaKenaPajaksebagaimanadimaksuddalamangka 6.

8. PemanfaatanJasaKenaPajakdariluar Daerah PabeanadalahsetiapkegiatanpemanfaatanJasaKenaPajakdariluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

9. Imporadalahsetiapkegiatanmemasukkanbarangdariluar Daerah Pabeankedalam Daerah Pabean.

10. PemanfaatanBarangKenaPajaktidakberwujuddariluar Daerah PabeanadalahsetiapkegiatanpemanfaatanBarangKenaPajaktidakberwujuddariluar Daerah Pabeankarenasuatuperjanjian di dalam Daerah Pabean.

11. Eksporadalahsetiapkegiatanmengeluarkanbarangdaridalam Daerah Pabeankeluar Daerah Pabean.

12. Perdaganganadalahkegiatanusahamembelidanmenjual, termasukkegiatantukarmenukarbarang, tanpamengubah

13. Menghasilkanadalahkegiatanmengolahmelalui proses mengubahbentukatausifatsuatubarangdaribentukaslinyamenjadibarangbaruataumempunyaidayagunabaru, ataukegiatanmengolahsumberdayaalamtermasukmenyuruh orang pribadiataubadan lain melakukankegiatantersebut.

14. DasarPengenaanPajakadalahjumlahHargaJual, Penggantian, NilaiImpor, NilaiEkspor, atauNilai Lain yang ditetapkandenganKeputusanMenteriKeuangan yang dipakaisebagaidasaruntukmenghitungpajak yang terutang.

15. Penggantianadalahnilaiberupauang, termasuksemuabiaya yang dimintaatauseharusnyadimintaolehpemberijasakarenapenyerahanJasaKenaPajak, tidaktermasukpajak yang dipungutmenurutUndang-undanginidanpotonganharga yang dicantumkandalamFakturPajak.

16. NilaiImporadalahnilaiberupauang yang menjadidasarpenghitunganbeamasukditambahpungutanlainnya yang dikenakanpajakberdasarkanketentuandalamperaturanperundang-undanganPabeanuntukimporBarangKenaPajak, tidaktermasukPajakPertambahanNilai yang dipungutmenurutUndang-Undangini. .

17. Penerimajasaadalah orang pribadiataubadan yang menerimaatauseharusnyamenerimapenyerahanJasaKenaPajakdan yang membayaratauseharusnyamembayarPenggantianatasJasaKenaPajaktersebut.

18. FakturPajakadalahbuktipungutanpajak yang dibuatolehPengusahaKenaPajak yang melakukanpenyerahanBarangKenaPajakataupenyerahanJasaKenaPajak, ataubuktipungutanpajakkarenaimporBarangKenaPajak yang digunakanolehDirektoratJenderal Bea danCukai.

19. PajakMasukanadalahPajakPertambahanNilai yang seharusnyasudahdibayarolehPengusahaKenaPajakkarenaperolehanBarangKenaPajakdanataupenerimaanJasaKenaPajakdanataupemanfaatanBarangKenaPajaktidakberwujuddariluar Daerah PabeandanataupemanfaatanJasaKenaPajakdariluar Daerah PabeandanatauimporBarangKenaPajak.

25. PajakKeluaranadalahPajakPertambahanNilaiterutang yang wajibdipungutolehPengusahaKenaPajak yang melakukanpenyerahanBarangKenaPajak, penyerahanJasaKenaPajak, ataueksporBarangKenaPajak.

26. NilaiEksporadalahnilaiberupauang, termasuksemuabiaya yang dimintaatauseharusnyadimintaoleheksportir.

27. PemungutPajakPertambahanNilaiadalahbendaharawanPemerintah, badan, atauinstansiPemerintah yang ditunjukolehMenteriKeuanganuntukmemungut, menyetor, danmelaporkanpajak yang terutangolehPengusahaKenaPajakataspenyerahanBarangKenaPajakdanataupenyerahanJasaKenaPajakkepadabendaharawanPemerintah, badan, atauinstansiPemerintahtersebut."

Undang-undangini, yang secarakhususbelumdiaturdalamUndang-undangini, berlakuketentuandalamUndang-undangtentangKetentuanUmumdan Tata Cara Perpajakansertaperaturanperundang-undanganlainnya.

Sesi 14

Prosedur Persetujuan Bersama, Tukar Info, dan Bantuan Penagihan.

PELAKSANAAN MAP (Mutual Agreement Procedure)

(1) Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pelaksanaan MAP dengan mempertimbangkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf c, atau Pasal 20 ayat (1) huruf b.

(2) Tim pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk:

a. melakukan penelitian atas hal-hal yang diajukan dalam permintaan pelaksanaan MAP;

b. melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP atas permasalahan yang akan atau sedang dibahas dalam pelaksanaan MAP

c. melakukan pembahasan dengan WNI atau Wajib Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP

d. melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP

e. melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak f. melakukan pembahasan dengan unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal

Pajak;g. meminta dokumen pendukung dan informasi lain yang diperlukan dari WNI atau

Wajib Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP;h. melakukan penelitian ketentuan perpajakan dan kelaziman praktik secara

internasional terkait permasalahan yang akan atau sedang dibahas dalam pelaksanaan MAP;

i. meminta untuk dilakukan pertukaran informasi dalam rangka perpajakan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dalam hal diperlukan;

j. meminta usulan dari unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal diperlukan;

k. meminta dokumen dan informasi yang diperlukan dari pihak terkait lainnya, dalam hal diperlukan;

l. menyiapkan rekomendasi naskah posisi (position paper);m. meneliti perlu tidaknya dilakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak di Indonesia

atas rancangan Persetujuan Bersama, menyiapkan kemungkinan dilakukannya penyesuaian kewajiban objek pajak lainnya (secondary adjustment) akibat Persetujuan Bersama terkait permasalahan Transfer Pricing, dalam hal diperlukan; dan

n. melakukan dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan.

                          

Pasal 24

(1) Direktur Jenderal Pajak membahas naskah posisi (position paper).(2) Tim quality assurance merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam

rangka penetapan naskah posisi (position paper).(3) Dalam pelaksanaan MAP, dengan mempertimbangkan pendapat Otoritas Pajak Negara

Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan keadaan yang sebenarnya dapat dilakukan perubahan naskah posisi (position paper, untuk melaksanakan ketentuan dalam P3B.

(4) Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan usulan perubahan naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak.

(5) Direktur Jenderal Pajak membahas usulan perubahan naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersama dengan tim quality assurance.

                                           

    

Pasal 30 Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembetulan.                              

DOKUMENTASI PROSES MAP DAN KERAHASIAAN

Pasal 31

Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan dokumentasi atas:

a. laporan penelitian atas permintaan pelaksanaan MAP;b. laporan penelitian tim pelaksanaan MAP atas penyiapan usulan naskah posisi

(position paper) dan perubahannya;c. laporan pembahasan bersama Direktur Jenderal Pajak dan tim quality assurance dalam

menentukan naskah posisi (position paper) dan perubahannya yang disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;

d. naskah posisi (position paper) dan perubahannya;e. surat menyurat, termasuk surat menyurat elektronik;f. hasil rekaman digital atau elektronik; dang. dokumen lainnya yang terkait.

              

Pasal 32  Dokumen yang dipergunakan sejak pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sampai dengan penyelesaian atau dihentikannya proses pelaksanaan MAP diperlakukan secara rahasia sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.