Tugas Ikm Fix

34
1. Beda air bersih dan air minum Air Bersih Beberapa pengertian air bersih menurut beberapa literature diantaranya adalah : 1. Air bersih adalah air sehat yang dipergunakan untuk kegiatan manusia dan harus bebas dari kuman-kuman penyebab penyakit, bebas dari bahan-bahan kimia yang dapat mencemari air bersih tersebut. Air merupakan zat yang mutlak bagi setiap mahluk hidup dan kebersihan air adalah syarat utama bagi terjaminnya kesehatan (Dwijosaputro, 1981). 2. Menurut Peraturan Menteri Kesehata RI Nomor : 41 6/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat pengawasan kualitas air, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat- syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air Minum Berikut beberapa pengertian air minum menurut beberapa literature : 1. Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat¬Syarat dan Pengawasan Kualitas Air bersih, Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan langsung dapat diminum. 2. Menurut Permendagri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada

description

bbk

Transcript of Tugas Ikm Fix

1. Beda air bersih dan air minum

Air Bersih

Beberapa pengertian air bersih menurut beberapa literature diantaranya adalah :

1. Air bersih adalah air sehat yang dipergunakan untuk kegiatan manusia dan harus

bebas dari kuman-kuman penyebab penyakit, bebas dari bahan-bahan kimia yang

dapat mencemari air bersih tersebut. Air merupakan zat yang mutlak bagi setiap

mahluk hidup dan kebersihan air adalah syarat utama bagi terjaminnya kesehatan

(Dwijosaputro, 1981).

2. Menurut Peraturan Menteri Kesehata RI Nomor : 41 6/Menkes/Per/IX/1990 tentang

syarat-syarat pengawasan kualitas air, air bersih adalah air yang digunakan untuk

keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dapat

diminum apabila telah dimasak.

Air Minum

Berikut beberapa pengertian air minum menurut beberapa literature :

1. Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat¬Syarat dan

Pengawasan Kualitas Air bersih, Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi

syarat-syarat kesehatan dan langsung dapat diminum.

2. Menurut Permendagri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara

Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum, Departemen dalam

Negeri Republik Indonesia, Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan

atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

2. Syarat air bersih

Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat kualitas air bersih, antara lain:

1. Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air bersih, antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna,

rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20- 260C), tidak mengandung zat padatan.

2. Syarat Kimia

Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral, tidak

mengandung zat kimia beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam,

kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik.

3. Syarat Biologis

Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli dianggap

telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Sutrisno, 2004). Berdasarkan

PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan bakteriologis air bersih

adalah dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air dengan kadar maksimum yang

diperbolehkan adalah 50.

3. Syarat jamban yang baik

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jamban adalah sebagai berikut :

1) Tidak mengakibatkan pencemaran pada sumber-sumber air minum, dan permukaan tanah

yang ada disekitar jamban;

2) Menghindarkan berkembangbiaknya/tersebarnya cacing tambang pada permukaan tanah;

3) Tidak memungkinkan berkembang biaknya lalat dan serangga lain;

4) Menghindarkan atau mencegah timbulnya bau dan pemandangan yang tidak

menyedapkan;

5) Mengusahakan kontruksi yang sederhana, kuat dan murah;

6) Mengusahakan sistem yang dapat digunakan dan diterima masyarakat setempat.

Dalam penetuan letak kakus ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu jarak terhadap

sumber air dan kakus. Penentuan jarak tergantung pada :

1) Keadaan daerah datar atau lereng;

2) Keadaan permukaan air tanah dangkal atau dalam;

3) Sifat, macam dan susunan tanah berpori atau padat, pasir, tanah liat atau kapur.

Faktor tersebut di atas merupakan faktor yang mempengaruhi daya peresapantanah. Di

Indonesia pada umumnya jarak yang berlaku antara sumber air danlokasi jamban berkisar

antara 8 s/d 15 meter atau rata-rata 10 meter.

4. Dalam penentuan letak jamban ada tiga hal yang perlu diperhatikan :

1) Bila daerahnya berlereng, kakus atau jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak

sumber air. Andaikata tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang

dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur.

2) Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang sering digenangi

banjir. Andai kata tidak mungkin, maka hendaknya lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih

tinggi dari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir.

3) Mudah dan tidaknya memperoleh air.

4. Peraturan perundangan terkait air bersih

Pada awalnya pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) banyak dilakukan

oleh pemerintah pusat. Tetapi sejalan dengan upaya desentralisasi melalui PP No.14 Tahun

1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah bidang Pekerjaan Umum kepada

Daerah, urusan pembangunan, pemerliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air

minum diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun urusan tersebut telah

diserahkan, namum pendanaannya masih dapat dibantu sebagian oleh Pemerintah pusat.

Penyerahan urusan pembangunan, pemerliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air

minum sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota tersebut

selanjutnya dipertegas dalam Pasal 16 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air dan Pasal 40 PP No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air

Minum dengan rumusan “memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di wilayahnya sesuai

dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.”

Penetapan wewenang dan tanggung jawab tersebut sejalan pula dengan pengaturan dalam

Pasal 14 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menempatkan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi

masyarakat di Kabupaten/Kota sebagai “urusan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota”.

Tentunya lingkup atau pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta

pelayanan dasar bagi masyarakat di Kabupaten/Kota tersebut mencakup pula penyediaan air

minum bagi masyarakat.

Untuk mengatur pengembangan sistem penyediaan air minum nasional yang sekaligus

terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan persampahan, Pemerintah telah menetapkan

pengaturannya dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah (PP) No.16 Tahun 2005 tentang

Pengembangan Sisitem Penyediaan Air Minum (SPAM). Pasal 23 Peraturan Pemerintah

tersebut juga menegaskan bahwa perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan

pengaturan pengembangan SPAM dan prasarana dan sarana sanitasi, yang meliputi sarana

dan prasarana air limbah dan persampahan. Hal mendasar lainnya yang diatur dalam PP

tersebut adalah bahwa Pemerintah bertanggung jawab dan wajib untuk menjamin

penyelenggaraan pelayanan air minum yang berkualitas, melalui :

- Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan

harga terjangkau,

- Terciptanya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa

pelayanan,

- Meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum dan sanitasi.

Hingga kini, penyediaan air bersih masih menjadi persoalan serius negeri ini. Dan jika

dikaitkan dengan salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) dimana pada

tahun 2015 setidaknya separo (50%) masyarakat dunia sudah harus mendapatkan akses

terhadap air bersih, maka Indonesia mungkin menjadi salah satu negara yang harus menata

diri untuk mencapai target global tersebut.

Air sehat bagi seluruh rakyat, seyogyanya didefinisikan sebagai air minum. Ketentuan

tentang air minum, sebagaimana tertuang dalam PP No.16 / 2005 tentang Pengembangan

Sistem Penyediaan Air Minum, adalah air minum rumah tangga yang melalui proses

pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat

langsung diminum. Persyaratan kesehatan air minum ini sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat Syarat dan Pengawasan Air

Minum.

Pemenuhan kebutuhan air minum tidak saja diorientasikan pada kualitas sebagaimana

persyaratan kesehatan air minum, tetapi sekaligus menyangkut kuantitas dan kontinuitasnya.

Pemerintah dan Pemerintahan di daerah berkewajiban menyelesaikan persoalan penyediaan

air minum yang memenuhi ketentuan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk seluruh

rakyat, khususnya terhadap masyarakat yang masih belum memiliki akses terhadap air

minum. Di sisi lain, Pemerintah mempertimbangkan pemenuhan akses masyarakat terhadap

air minum berlandaskan tantangan nasional dan global.

Upaya melindungi sumber air baku, saat ini mendapatkan perhatian yang cukup serius

dari pemerintah. Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa sumber

air sebagai unsur lingkungan yang vital merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat

menjamin berlanjutnya kehidupan.

Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan seperti yang dituangkan dalam

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No.7/2004 tentang

Sumber Daya Air. Peraturan-peraturan pelaksanaannya antara lain dituangkan dalam

Peraturan Pemerintah No.22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, PP 27/1991 tentang Rawa,

PP 35/1991 tentang Sungai, PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air, PP 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah dan Keppres No. 32/1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila master plan dan sistem jaringan air bersih

akan disusun,  landasan hukum yang dapat digunakan dalam penyusunan adalah sebagai

berikut :

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

2. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup

4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

5. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan

Air Minum

6. Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan

Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

7. Peraturan Pemerintah No. 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air

8. Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air

9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 294/PRT/M/2005 tentang Badan Pendukung

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan

Strategi Sistem Penyediaan Air Minum

11. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat

Syarat dan Pengawasan Air Minum

5. Peraturan perundangan terkait pengelolaan sampah

a. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah

Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

b. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

Terdapat beberapa muatan pokok yang penting yang diamanatkan oleh peraturan

pemerintah ini, yaitu:

1. Memberikan landasan yang lebih kuat bagi pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dari berbagai

aspek antara lain legal formal, manajemen, teknis operasional, pembiayaan,

kelembagaan, dan sumber daya manusia;

2. Memberikan kejelasan perihal pembagian tugas dan peran seluruh parapihak

terkait dalam pengelolaan sampah mulai dari kementerian/lembaga di tingkat pusat,

pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dunia usaha, pengelola kawasan

sampai masyarakat;

3. Memberikan landasan operasional bagi implementasi 3R (reduce, reuse, recycle)

dalam pengelolaan sampah menggantikan paradigma lama kumpul-angkut-buang;

4. Memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelibatan dunia usaha untuk turut

bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah sesuai dengan perannya.

6. Peraturan perundangan terkait limbah

PP tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun seperti yang

diamanatkan dalam Pasal 58 ayat (2) UU 32/2009

PP tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun seperti yang

diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (7) UU 32/2009

PP Dumping Limbah seperti yang diamanatkan dalam Pasal 60 ayat (3) UU

32/2009.

7. Program kesehatan masyarakat terkait penyediaan air bersih

Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) adalah salah

satu program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank

Dunia, program ini dilaksanakan di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.

Program Pamsimas  bertujuan untuk meningkatkan jumlah fasilitas pada warga

masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah

perdesaan dan peri-urban. Dengan  Pamsimas, diharapkan mereka dapat mengakses

pelayanan air minum dan sanitasi yang berkelanjutan serta meningkatkan penerapan

perilaku hidup bersih dan sehat. Penerapan program ini dalam rangka mendukung

pencapaian target MDGs (sektor air minum dan sanitasi) melalui pengarusutamaan dan

perluasan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

Program Pamsimas I dilaksanakan pada tahun 2008 sampai tahun 2012 di 110

Kabupaten/Kota dari 15 Provinsi. Pamsimas I berhasil diterapkan pada 6.845 (enam ribu

delapan ratus empat puluh lima) desa, terdiri dari 6.262 (enam ribu dua ratus enam puluh

dua) desa reguler dan sekitar 593 (lima ratus sembilan puluh tiga) desa replikasi.

Program Pamsimas II dilaksanakan pada tahun 2013 sampai dengan 2016. Program

Pamsimas II ditargetkan akan dilaksanakan di sekitar 5000 desa di 32 provinsi di 220

Kab/Kota.

8. Bagaimana pengelolaan limbah rumah sakit yang seharusnya?

Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang

diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan

kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan

(treatment) (Slamet Riyadi, 2000).

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan

kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :

1. Pemisahan Limbah

-  Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

-  Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas

-  Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan

kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H,

1995).

2. Penyimpanan Limbah

Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan

kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan

mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan

ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.

3. Penanganan Limbah

-  Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian

diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas

-  Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga  jika dibawa mengayun

menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat  tertentu untuk dikumpulkan

-  Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan  warna yang sama

telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai

-  Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak

sebelum diangkut ketempat pembuangan.

4. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah

bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa

keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan

dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut

sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada  kebocoran

kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.

5. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat

penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak

mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada

hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.

(Bambang Heruhadi, 2000).

Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator berukuran

kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin

dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit.

Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi

limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator modern yang baik

tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah

klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak

terpakai lagi.

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan

ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :

1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter

2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi  75 cm

3. Tambahkan lapisan kapur

4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai

ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah

5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah

(Setyo Sarwanto, 2003).

Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi (nonbiodegradable), misalnya

kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan

kapur ini dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam.

Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU

atau kontraktor swasta dan dibuang ditempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah

umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang pada tempat pembuangan samapah

umum.

Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui

langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan.

Semua petugas harus menggunakan pakaian pelindung yang memadai, imunisasi terhadap

hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan

dibagian kesehatan kerja (Moersidik. S.S, 1995).

9. Bagaimana pengelolaan sampah di berbagai kota di Indonesia?

Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dari masing-masing rumah tangga / sumber

sampah ditangani oleh petugas yang telah ditunjuk oleh RT,RW / Lingkungan, dimana untuk

biaya pengumpulan dan pengangkutan sampah sampai ke TPS / transfer depo dibiyai dengan

iuran oleh masyarakat yang besarnya sesuai kesepakat masyarakat.

Sedangakan pengangkutan sampah tersebut dari masing-masing TPS / transfer depo

ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA) adalah tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota

Mataram dimana masyarakat membayar retribusi kebersihan / sampah ( sesuai dengan Perda

No. 4 Tahun 2005 ).

Dengan kata lain bahwa retribusi sampah wajib dibayar oleh anggota masyarakat

( Produsen Sampah ) sedangkan iuran adalah kesepakat anggota masyarakat untuk membayar

petugas pengumpul / pengangkut sampah dari rumah kerumah menuju TPS / transfer depo.

Sebagai gambaran volume sampah yang dihasilkan setiap harinya di Kota Mataram

sebesar 1126 m3 yang bersumber dari :

o   Sampah Pemukiman          : 425    m3/hr

o   Sampah Pasar                     : 380    m3/hr

o   Sampah Komersial             : 108    m3/hr

o   Sampah Perkantoran          :   36    m3/hr

o   Fasilitas Umum                  :   60    m3/hr

o   Penyapuan Jalan                :   34    m3/hr

o   Kawasan Industri               :   18    m3/hr

o   Saluran                               :   11    m3/hr

o   Lain-lain                             :   54    m3/hr

Jumlah                              : 1126 m3/hr

Untuk menangani volume sampah sedemikian besar yang dihasilkan setiap harinya

oleh penduduk Kota Mataram tentunya tidak dapat ditangani secara tuntas oleh Dinas

Kebersihan Kota Mataram.

Sehubungan dengan hal itu maka ditetapkan pola penangan sampah di Kota Mataram

dengan :

1.    Pola Kantong, yang ditetapkan pada Kelurahan-kelurahan yang berada pada jalur-jalur

dan jalur penghubung yang ada di Kota Mataram, dimana sampah-sampah yang dihasilkan

oleh masyarakat ditempatkan dalam wadah berupa kantong ( plastik / Karung ) sehingga

pengangkutan sampah di TPS / kontainer oleh armada angkutan sampah akan lebih efektif.

2.    Pola Bin Kontainer, yaitu penempatan kontainer pada tempat-tempat strategis dimana

sampah-sampah yang dihasilkan oleh masyarakat / pusat-pusat Perdagangan dibuang di

kontainer tersebut, selanjutnya diangkut oleh Arm Roll untuk dibuang ke TPA.

3.    Pola Musnah sendiri, yang diterapkan pada kelurahan yang berada dipinggiran wilayah

Kota Mataram yang karena adanya ketersediaan lahan yang dimungkinkan sehingga sampah

– sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat dimusnahkan sendiri dengan cara ditimbun /

dibakar. ( Dengan terlebih dahulu memilah sampah plastik ).

Sarana prasarana yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Mataram saat ini sebagai

berikut :

§  Pick Up Kijang                               :      1             Buah

§  Dump Truck                                    :    27             Buah

§  Pick Up Panther                              :      7             Buah

§  Arm Roll                                         :    17             Buah

§  Whell Loader                                  :      1             Buah

§  Bull Dozzer                                     :     2 Buah

§  Truck Tinja                                      :     4 Buah

§  Kontainer                                        :    70             Buah

§  Kereta Dorong                                :    69             Unit

§  Transfer Depo                                 :      9             Buah

§  TPS                                                 : 104 Buah

§  TPA (Dengan luas 8,6 Hektar)       :      1             Buah

10. Bagaimana pengelolaan sampah di kota Mataram?

Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dari masing-masing rumah tangga / sumber sampah

ditangani oleh petugas yang telah ditunjuk oleh RT,RW / Lingkungan, dimana untuk biaya

pengumpulan dan pengangkutan sampah sampai ke TPS / transfer depo dibiyai dengan iuran

oleh masyarakat yang besarnya sesuai kesepakat masyarakat.

Sedangakan pengangkutan sampah tersebut dari masing-masing TPS / transfer depo ke

tempat pembuangan akhir sampah (TPA) adalah tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota

Mataram dimana masyarakat membayar retribusi kebersihan / sampah ( sesuai dengan Perda

No. 4 Tahun 2005 ).

Dengan kata lain bahwa retribusi sampah wajib dibayar oleh anggota masyarakat ( Produsen

Sampah ) sedangkan iuran adalah kesepakat anggota masyarakat untuk membayar petugas

pengumpul / pengangkut sampah dari rumah kerumah menuju TPS / transfer depo.

 

Sebagai gambaran volume sampah yang dihasilkan setiap harinya di Kota Mataram sebesar

1126 m3 yang bersumber dari :

o   Sampah Pemukiman          : 425    m3/hr

o   Sampah Pasar                     : 380    m3/hr

o   Sampah Komersial             : 108    m3/hr

o   Sampah Perkantoran          :   36    m3/hr

o   Fasilitas Umum                  :   60    m3/hr

o   Penyapuan Jalan                :   34    m3/hr

o   Kawasan Industri               :   18    m3/hr

o   Saluran                               :   11    m3/hr

o   Lain-lain                             :   54    m3/hr

Jumlah                              : 1126 m3/hr

Ket. :

Volume sampah tersebut berdasarkan hasil penilaian Tim Dinas Kebersihan Kota Mataram

Tahun 2010.

Untuk menangani volume sampah sedemikian besar yang dihasilkan setiap harinya oleh

penduduk Kota Mataram tentunya tidak dapat ditangani secara tuntas oleh Dinas Kebersihan

Kota Mataram.

Sehubungan dengan hal itu maka ditetapkan pola penangan sampah di Kota Mataram dengan:

1.    Pola Kantong, yang ditetapkan pada Kelurahan-kelurahan yang berada pada jalur-jalur dan

jalur penghubung yang ada di Kota Mataram, dimana sampah-sampah yang dihasilkan oleh

masyarakat ditempatkan dalam wadah berupa kantong ( plastik / Karung ) sehingga

pengangkutan sampah di TPS / kontainer oleh armada angkutan sampah akan lebih efektif.

2.    Pola Bin Kontainer, yaitu penempatan kontainer pada tempat-tempat strategis dimana

sampah-sampah yang dihasilkan oleh masyarakat / pusat-pusat Perdagangan dibuang di

kontainer tersebut, selanjutnya diangkut oleh Arm Roll untuk dibuang ke TPA.

3.    Pola Musnah sendiri, yang diterapkan pada kelurahan yang berada dipinggiran wilayah

Kota Mataram yang karena adanya ketersediaan lahan yang dimungkinkan sehingga sampah

– sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat dimusnahkan sendiri dengan cara ditimbun /

dibakar. ( Dengan terlebih dahulu memilah sampah plastik ).

Sarana prasarana yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Mataram saat inisebagai berikut :

§  Pick Up Kijang                               :      1             Buah

§  Dump Truck                                    :    27             Buah

§  Pick Up Panther                              :      7             Buah

§  Arm Roll                                         :    17             Buah

§  Whell Loader                                  :      1             Buah

§  Bull Dozzer                                     :     2 Buah

§  Truck Tinja                                      :     4 Buah

§  Kontainer                                        :    70             Buah

§  Kereta Dorong                                :    69             Unit

§  Transfer Depo                                 :      9             Buah

§  TPS                                                 : 104 Buah

§  TPA (Dengan luas 8,6 Hektar)       :      1             Buah

Dengan Personil :

  DATA KEPEGAWAIAN

1.    PNS Menurut Golongan

a.       Golongan  I           38 Orang

b.      Golongan  II          70 Orang

c.       Golongan  III    20 Orang

d.      Golongan  IV          7 Orang

Jumlah      135 Orang

2.    PNS Menurut Jabatan Eselon

a.       Eselon II/b                         1 Orang

b.      Eselon III/a                       1 Orang

c.       Eselon III/b                       3 Orang

d.      Eselon IV/a                       10 Orang

Jumlah                         15 Orang

3.    PEGAWAI NON PNS (HONORER)

a.       Honor Daerah                    322 Orang

b.      Satgas (Buruh Harian)       125 Orang

c.       Tenaga Kontrak                 11 Orang

Jumlah                       458 Orang

Sebagai gambaran bahwa dari seluruh timbunan sampah yang ada di Kota Mataram

sebesar 1126 m3 / hari yang diangkut oleh armada / sarana prasarana yang tersedia adalah

sebesar 76 % atau 858 m3/hari, sedangkan sisanya sebanyak 270 m3 atau 24 % sebagiannya

ditanggulangi dengan kebijakan kerja tambahan (sweeping). Disamping itu ada juga yang

dimusnahkan sendiri oleh masyarakat.

Sedangkan bila dilihat dari aspek wilayah yang dapat dilayani cakupannya telah mencapai

80 % atau sebanyak 40 kelurahan dari 50 Kelurahan yang ada di Kota Mataram. Dengan

perkiraan penududuk Kota Mataram yang berjumlah 362.243 jiwa (pada akhir tahun

2010/data dari Bappeda Kota Mataram) dimana asumsi setiap kepala/jiwa menghasilkan

sampah 2,6 Ltr./Hr, maka Sarana Prasarana yang harus dimiliki adalah :

v 725 orang buruh sapu dengan asumsi 500 penduduk dilayani 1 (satu) orang buruh sapu.

v 47 unit Dump Truck dengan asumsi mengankut 1 (satu) ritasi/hari dengan kapasitas volume

sampah 8 m3.

v 24 unit Arm Roll dengan asumsi mengangkut kontainer kapasitas 8 m3 setiap harinya 4 (empat)

ritasi.

v 96 Kontainer Kapasitas 8 m3.

v 232 TPS dengan asumsi 1 (satu) unit Dump Truck melayani 5 (lima) TPS.

Dengan melihat keterbatasan anggaran Dinas Kbersihan Kota Mataram, tidak dimungkinkan

untuk dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana seperti diatas. Maka untuk mengatasi

permasalahan sampah agar lebih optimal harus turut peran serta masyarakat dan swasta

sehingga dapat bersama-sama mengatasi permasalahan sampah di Kota Mataram. Apabila 

hal ini dapat dilakukan dapat meringankan tugas pemerintah dalam hal ini Dinas Kebersihan

Kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram yang bersih, indah dan nyaman.

11. Pengelolaan sampah di negara maju

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti

menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita

terhadap barang (material) yang kita gunakan sehari-hari. Jenis sampah pun sangat tergantung

dari jenis material yang kita konsumsi.

Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik biasa juga kita sebut

sampah basah dan sampah anorganik kita sebut sampah kering. Sampah basah adalah sampah

yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah kering,

seperti kertas, plastik, kaleng, botol, besi dll. Sampah organik dapat terdegradasi membusuk

dan hancur secara alami.

Sedangkan sampah anorganik, sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami serta

memerlukan proses berpuluh tahun agar hancur. Semua negara di dunia mengalami masalah

sampah ini, mari kita tengok bagaimana pengelolaan sampah di negara-negara maju? Pertama

di Asia, contohnya: negara Jepang yang kita kenal dengan budaya tachiyomi (membaca

sambil berdiri di toko buku tanpa membeli). Selain itu, Jepang sangat disiplin dalam

mengelola sampah sangat jauh berbeda dengan negara kita (Indonesia). Mereka (Jepang)

telah membuat peraturan tentang pengelolaan sampah ini, yang diatur oleh pemerintah kota.

Mereka telah menyiapkan dua buah kantong plastik besar dengan warna berbeda, hijau dan

merah. Namun selain itu ada beberapa kategori lainnya, yaitu: botol PET, botol beling,

kaleng, batu betere, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik yang masing-masing

memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.

Sebagai ilustrasi, cara membuang botol minuman plastik adalah botol PET dibuang di

keranjang kuning punya pemerintah kota. Setelah sebelumnya label plastik yang menempel di

botol itu kita copot dan penutup botol kita lepas, label dan penutup botol plastik harus masuk

ke kantong sampah berwarna merah dan dibuang setiap hari kamis. Apabila dalam label itu

ada label harga yang terbuat dari kertas, pisahkan label kertas tersebut dan masukkan ke

kantong sampah berwarna hijau dan buang setiap hari Selasa.

Selain pengelolaan sampah di rumah, departemen store, convenient store, dan supermarket

juga menyediakan kotak-kotak sampah untuk tujuan recycle (daur ulang). Kotak-kotak

tersebut disusun berderet berderet di dekat pintu masuk, kotak untuk botol beling, kaleng,

botol PET. Bahkan di beberapa supermarket tersedia untuk kemasan susu dan jus (yang

terbuat dari kertas). Uniknya lagi, dalam kotak kemasan susu atau jus (biasanya terpisah),

terdapat ilustrasi tentang cara menggunting dan melipat kemasan sedemikian rupa sebelum

dimasukkan ke dalam kotak. Proses daur ulang itu pun sebagian besar dikelola perusahaan

produk yang bersangkutan, dan perusahaan lain atau semacam yayasan untuk menghasilkan

produk baru. Hebatnya lagi, informasi tentang siapa yang akan mengelola proses recycle juga

tertulis dalam setiap kotak sampah.

Sementara, pengelolaan sampah di stasiun kereta bawah tanah, shinkansen, pada saat para

penumpang turun dari kereta adapetugas yang berdiri di depan pintu keluar dengan membawa

kantong plastik sampah besar siap untuk menampung kotak bento dan botol kopi penumpang

sambil tak lupa untuk membungkuk dan mengucapkan "otsukaresama deshita!."

Sebelum isu meningkatnya gerakan anti-terorisme (setidaknya mereka menyebut demikian),

pada awalnya, di tempat umum juga menyediakan menyediakan kotak-kotak sampah,

biasanya untuk kategori kaleng, beling, dan sampah biasa (ordinary).

Sementara itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini, Komisi Eropa telah membuat

panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan untuk negara-negara anggotanya,

seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah,

pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Lalu, Kebijaksanaan Eropa itu kemudian

diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing ke dalam perundang-undangan

domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga daerah.

Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di

abad berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit, sehingga pemerintah menyediakan

tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di

tempat tertentu, tapi bukan lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas

pemerintah daerah yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20

sampah yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan

dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda) saat itu kira-kira

sama seperti di Indonesia saat ini.

Kini di abad ke-21 teknologi pembakaran sampah yang modern mulai diterapkan. Teknologi

itu memungkinkan pembakaran tidak menimbulkan efek sampingan yang merugikan

kesehatan. Agar tujuan itu tercapai, sebelum dibakar sampah mesti dipilah-pilah, bahkan

sejak dari rumah. Hanya yang tidak membahayakan kesehatan yang boleh dibakar. Sampah

yang memproduksi gas beracun ketika dibakar harus diamankan dan tidak boleh dibakar.

Yang lebih menggembirakan, selain bisa memusnahkan sampah, ternyata pembakaran itu

juga membangkitkan listrik.

Sementara, pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan

salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. dasar pengelolaan sampah

diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi.

Keberhasilan penanganan sampah itu didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang

sudah sangat tinggi. Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam

sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur

ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi secara

signifikan.

Sehingga, kebijaksanaan pengelolaan sampah swedia antara lain meliputi: Pengurangan

volume sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 % pada tahun

2015. Sampah yang dapat dibakar (combustible waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak

tahun 2002. Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008

pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan.

Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.

Sedangkan di Jerman terdapat perusahaan yang menangani kemasan bekas (plastik, kertas,

botol, metal dsb) di seluruh negeri, yaitu DSD/AG (Dual System Germany Co). DSD dibiayai

oleh perusahaan-perusahaan yang produknya menggunakan kemasan. DSD bertanggung

jawab untuk memungut, memilah dan mendaur ulang kemasan bekas.

Berbeda dengan kondisi Jerman 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak

terkontrol, tapi kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan Akhir). 10-30 % dari sampah awal

berupa slag yang kemudian dibakar di insinerator dan setelah ionnya dikonversikan, dapat

digunakan untuk bahan konstruksi jalan. Cerita menarik proses daur ulang ini datangnya dari

Passau Hellersberg adalah sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos dan

biogas ini memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik pertahun

selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi, gas yang tercipta digunakan

untuk pasokan listrik bagi 2.000-3.000 rumah.

Sejak 1972 pemerintah Jerman melarang sistem sanitary landfill karena terbukti selalu

merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah merupakan campuran segala macam

barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi campurannya seringkali tidak pernah bisa diduga

akibatnya. Pada beberapa TPA atau instalasi daur ulang selalu terdapat pemeriksaan dan

pemilahan secara manual. Hal ini untuk menghindari bahan berbahaya tercampur dalam

proses, seperti misalnya baterei dan kaleng bekas oli yang dapat mencemari air tanah.

Sampah berbahaya ini harus dibuang dan dimusnahkan dengan cara khusus.

12. Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia

Sampai saat ini, sampah masih menjadi permasalahan yang belum terpecahkan

khususnya bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan lain-

lain. Permasalahan ini timbul terutama karena besarnya volume sampah, keterbatasan lahan

untuk pembuangan akhir yang diiringi dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi,

dimana hal ini ditunjang pula oleh adanya teknis pengelolaan sampah yang masih

konvensional.

Pengelolaan sampah perkotaan khususnya pada daerah pemukiman sampai saat ini

umumnya dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut, yaitu pewadahan tercampur

dari rumah tangga, pengumpulan sampah dari rumah-rumah ke LPS (meliputi depo atau

landasan), pengangkutan sampah baik langsung dari sumbernya ke LPA (Lahan Pembuangan

Akhir) atau dari LPS (Lahan Pembuangan Sementara) ke LPA, sampai pada pembuangan

akhir sampah di LPA.

Permasalahan timbul karena umumnya pengumpulan sampah di LPS dilakukan secara

tercampur, sedangkan pengangkutan sampah baik dari sumber maupun dari LPS ke LPA

tidak dilakukan tiap hari. Timbunan sampah lebih dari dua hari ini yang menimbulkan bau

tak sedap, lalat, dan lindi yang dapat meluber ke jalanan.

Hal di atas dapat disebabkan karena letak LPA yang sangat jauh dari LPS. Bahkan di

kota-kota besar dimana cukup sulit untuk mencari lahan yang bisa dijadikan LPA, tidak

jarang penempatan LPA harus dilakukan di pinggiran kota bahkan luar kota. Di Surabaya

dimana wilayahnya terbagi atas 5 bagian (Surabaya Pusat, Utara, Barat, Timur, dan Selatan)

penempatan LPA dilakukan di wilayah Surabaya bagian barat (LPA Benowo), karena masih

tersedianya lahan yang cukup luas untuk pembangunan LPA dan letaknya yang berjauhan

dengan daerah pemukiman. Hal ini menimbulkan masalah mengenai jauhnya jarak yang

harus ditempuh untuk mengangkut sampah dari LPS khususnya di wilayah Surabaya Timur

seperti kecamatan Sukolilo.

Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan pengelolaan sampah lebih dekat ke

sumbernya, hal ini diperkuat pula karena tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Surabaya

hanya pada pengangkutan sampah dari LPS menuju LPA, sedangkan pengelolaan sampah

dari masing – masing rumah tangga sampai pada LPS menjadi tanggung jawab masyarakat

(RTRW Kota Surabaya 2013).

Secara garis besar, sampah perkotaan mengandung 10% (berat) bahan yang langsung

dapat di daur-ulang (kertas, besi, kaleng,dsb), 50% bahan organik dan 40% residu. Dengan

demikian maka 60% (berat) sampah dapat di daur ulang : 10% melalui penggunaan kembali,

dan 50% melalui pengomposan (Anonim,1992). Data dari Dinas Kebersihan Kota Surabaya

menyebutkan dari total volume sampah harian kota Surabaya, 79,19%-nya merupakan

sampah yang berasal dari pemukiman.

Berdasarkan kenyataan di atas dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan

sampah kota, yaitu dengan melakukan upaya daur ulang sampah organik dengan penekanan

pada proses pengomposan. Dimana proses pengomposan ini merupakan salah satu kegiatan

reduksi sampah yang dapat dilakukan di sumber sampah. Di Surabaya telah dilakukan

beberapa kegiatan pengomposan skala komunal seperti yang dilakukan di Depo `Karah dan

Depo Bratang. Selain itu kegiatan pengomposan secara individu juga sudah dilakukan oleh

sebagian warga yang beradadi kelurahan Kalirungkut, Rungkut Kidul, Jambangan dan

Menanggal.

DAFTAR PUSTAKA

Esti, Haryanto Sahar. 2000. Jamban Sistem Leher Angsa. Jakarta: Deputi Menegristek

Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Available on:

http://www.ristek.go.id (diakses tanggal 11 Juli 2014)

Menkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Available on: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.

%201204%20ttg%20Persyaratn%/20Kesehatan%20Lingkungan%20RS.pdf (diakses tanggal

15 Juli 2014)

Menkes RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

492/Menkes/IV/2010. Available on:

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/PMK%20No.%20492%20ttg

%20Persyaratn%/20Kualitas%20Air%20Minum.pdf (diakses tanggal 15 Juli 2014)

PAMSINAS. 2013. Pedoman Pelatasaknaan PASIMAS di Tingkat Masyarakat. P2-Ed 2013.

Presiden RI. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2008 tentang

pengelolaan sampah. Available on: http://www.menlh.go.id/DATA/UU18-2008.pdf (diakses

tanggal 15 Juli 2014)

World Bank. 2013. Memperluas Akses Air Bersih Untuk Masyarakat Miskin. Available on:

http://www.worldbank.org/in/results/2013/04/04/indonesia-expending-access-to-clean-water-

for-the-poor (diakses tanggal 15 Juli 2014)

BLOK XII: RESPIRASI

TUGAS IKM

INDIVIDU DAN POPULASI

MAYA FARAHIYA

H1A012034

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM

2014