Tugas Filsafat Sila Ke 5
-
Upload
agustina-dwi -
Category
Documents
-
view
152 -
download
5
Transcript of Tugas Filsafat Sila Ke 5
BAB II
Pembahasan
A. Keadilan Sosial
Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan
partisipasi di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. Para pendiri Republik Indonesia
secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas
bangsa jajahan dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun
lamanya, haruslah berwajah dua, yaitu revolusi politik (nasional) dan revolusi nasional.
Revolusi politik adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk
mencapai satu Negara Republik Indonesi. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur
sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.
Cita-cita keadilan dan kemakmuran hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan
demokrasi politik dengan demokrasi-ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian
pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan,
keadilan dan kesejahteraan.
Perspektif Historis
Demi impian masyarakat yang adil dan makmur, tidak sedikit pengorbanan yang telah
dicurahkan oleh para pahlawan bangsa. Seperti perkataan Ir. Soekarno bahwa masyarakat adil
dan makmur merupakan tujuan terakhir dari revolusi kita. Dan untuk mencapai harapan itu
terdapat di dalam bumi Indonesia, syarat-syarat badaniah, syarat-syarat rohaniah, syarat-
syarat material dan spiritual mental.
Sebelum zaman es berakhir, penghuni daratan Sunda merupakan perintis peradaban
dunia dengan mempelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah bisa membuat perabotan.
Setelah zaman es berakhir, sejak sekitar 7000 tahun yang lalu telah berkembang jaringan
perdagangan maritim pulau dan pesisir diseluruh cincin pasifik dan kepulauan Asia Tenggara.
Seorang arkeolog Amerika, Wilhelm Solheim, menyebut budaya jaringan ini “Nusantao”.
Asal usul jaringan Nusantao” adalah yang berlayar dari Indonesia Timur dan Filifina
selatan yang dengan cepat mengembangkan kemampuan berlayarnya yang didesak oleh
tingkat permukaan laut yang meninggi, akibat lelehan es dikutub, yang membutuhkan
pergerakan melintasi bentangan-bentangan laut yang terbuka untuk mempertahankan kontak
dengan relasi negeri asal. Nusantao mempelopori perdagangan di jalur samudra Hindia,
beberapa millennium sebelum masehi, jauh sebelum wilayah itu dijelajahi oleh para pelaut
3
Mesir, India, Yunani, Romawi dan China. Jaringan perdagangan Nusantao yang kemudian
disebut juga Nusantara telah mampu mencapai pantai timur Afrika berabad-abad sebelum
masehi. Sebagai suatu geografi perekonomian, kepulauan Indonesia bisa dikategorikan dalam
suatu susunan perekonomian tersendiri yang terletak di titik silang antara lautan India dan
lautan China selatan, dengan Jawa sebagai pusatnya.
Sekitar abad pertama Masehi, perdagangan rempah-rempah dan hasil hutan mulai
berkembang. Para pelaut Indonesia dengan menggunakan perahu gandung yang besar
membawa hasil kayu, seperti kapur barus, kemenyan, damar pinus (yang digunakan dalam
obat-obat, dupa, dan wewangian), dan emas ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dan Cina
bagian selatan untuk pertukanan dengan kain, porselen, dan barang-barang dari logam. Kayu
manis dan rempah-rempah lainnya dibawa langsung melintasi lautan India ke pantai timur
pesisir Afrika dan diteruskan melalui mesir ke pasar di kerajaan Romawi.
Pada abad ke 7 dan ke 8, aktivitas perdagangan tumbuh di kawasan Selat Malaka dan
Laut Jawa (terutama ujung selatan Laut Jawa) sebagai dua kawasan perekonomian terpenting
di nusantara. Periode ini digabungkan dengan munculnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera
Tenggara dan Kerajaan Mataram (kuno) di Jawa Tengah. Selat malaka tergantung dengan
perdagangan sedangkan di Jawa Bali memperlihatkan kelimpahan sumber daya. Sejak abad
ke-7, kerajaan Sriwijaya telah menjadi saluran perdagangan bagi wilayah pedalaman di
Sumatera bagian Selatan yang kaya dan memiliki maritim yang kuat, terletak dekat kota
Palembang saat ini. Kerajaan Mataram kuno muncul di daerah Kedu yang kondusif untuk
penanaman padi sebagai sumber utamanya. Penanaman padi di Jawa membuat tidak adanya
hambatan terjal bagi pergerakan manusia menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk
terbesar di pulau ini. Selepas abad kesepuluh, pusat peradaban Jawa berpindah ke Jawa
Timur, yang mencapai puncaknya dalam kemunculan kerajaan majapahit.
Setelah meredupnya kekuasaan Budha-Hindu di Sumatera dari Jawa, kawasan
Nusantara memperlihatkan perkembangan baru dalam perdagangan. Pada abad ke-13, para
pedagang menunjukkan sikap terbuka terhadap agama Islam dengan pesan tentang kesamaan
manusia di hadapan Allah dan aturan eksplisit tentang hubungan komersial. Memasuki abad
ke-15, perekonomian nusantara merupakan bagian integral dari dinamika perekonomian dunia
dalam konteks globalisasi. Produk perdagangan yang sangat penting adalah lada, dcengkeh,
dan pala, yang mendorong pertumbuhan cepat di segala sektor perekonomian. Adapun dunia
kebaharian merupakan contoh perekonomian yang giat-hebat (vigorous), tanpa jeda
(seamless) dan saling terhubung.
Untuk menilai tingkat perkembangan perekonomian Indonesia pada masa pra colonial,
Vincent J.H Houben(2002) menggunakan lima indikatorkunci yang bisa diidentifikasi, yaitu:
4
(1) Tingkat spesialisasi perekonomian, (2) Jarak dan diferensiasi jaringan komersial, (3)
tingkat monetisasi(monetization), (4) Tingkat urbanisasi, (5) Watak regulasi perekonomian
Kesimpulan Houben, bahwa Kepulauan Indonesia pra kolonial terdiri dari sejumlah
perekonomian yang terbuka yang mengalami tingkat komersialisasi yang tinggi selama
pertumbuhan. Periode antara 1450 dan 1680 merupakan momen puncak aktivitas
perekonomian, yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, jarak luas dari jaringan
komersial, tingkat monetisasi (penggunaan uang) yang tinggi serta proses urbanisasi yang
cepat.
Perkembangan gemilang perekonomian Nusantara pra-modern ini mengalami
gangguan oleh penetrasi kekuatan dari luar, terutama dari Eropa. Pada 1511, armada Portugis
menaklukan Malaka, yang telah menggantikan peran Sriwijaya. Kedatangan armada Belanda,
Inggris, Denmark dan Prancis juga memberikan pengaruh terhadap nusantara karena kondisi
kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan sehingga membuka jalan untuk kolonialisme dan
imperialism.
Kekuatan Eropa paling kuat adalah Belanda, yang semula mereka merasa terancam
kehilangan mata pencaharian akibat pelarangan berdagang oleh Portugis tetapi armada
Belanda dipersatukan dalam satu kongsi dagang yaitu VOC. VOC berkuasa hampir 200 tahun
(1602-1800). Belanda menjalankan kapitalisme tua yaitu produksi kecil-kecilan dan kemudian
menjadi imperialism tua yaitu mengambil rempah-rempah untuk dijual di Eropa.
VOC juga mengambil kekuasaan atas Ambon dan Tidore dari Portugis. Pada 1619,
VOC dipimpin oleh Jan Pieteszoon Coen menaklukkan pelabuhan Jayakarta dan membangun
pos perdagangan di Pantai barat Laut Jawa dengan nama Batavia dan dijadikan pusat
pemerintahan serta berkembang menjadi kota Hindia Belanda. Gowa (Makasar) dan Mataram
pun dikuasai. Sejak abad ke 17, kewenangan politik Jawa sebagai pusat teladan dihancurkan.
Lenyapnya kekuatan Malaka dan Jawa menjadikan lenyapnya kekuatan maritime Asia
Tenggara. Pada 31 Desember 1799, VOC bangkrut karena mismanajemen dan diambil alih
oleh Republik Batavia di bawah juridiksi pemerintahan Belanda. Setelah kekuasan sementara
Inggris selama perang Napoleon (1811-1816), Hindia Belanda pun diserahkan kepada
imperium Negara-kolonial yaitu dibawah kekuasaan Inggris.
Negara kolonial Belanda pada mulanya ditempuh melalui pengembangan sistem
tanam paksa (Cultuur Stelsel) sejak 1830. Melalui sistem ini, pemerintah kolonial
memobilisasi tanah dan pekerja untuk memproduksi tanaman perkebunan untuk dikapalkan
ke Eropa dengan monopoli perusahaan dagang Belanda bernama Nederlansche Hendel-
Maatschappij. Produk yang dibutuhkan Belanda adalah kopi, the, rempah-rempah, nila, gula
dan tembakau. Akibat tanam paksa, banyak kawasan di Jawa jatuh miskin.
5
Kepentingan ekonomi kolonial tidak terbatas pada sektor agrikultural saja. Pada 1840-
an, mereka juga menambang batubara dan timah pada 1850-an. Pada 1870, sistem tanam
paksa diganti dengan sistem perkebunan yang dimiliki secara pribadi karena pengaruh
liberalisme di Belanda. Liberalisasi muncul karena uang yang berlimpah hasil perdagangan
monopoli dan sistem tanam paksa. Kemakmuran di Belanda memacu tumbuhnya kelas
pengusaha dan kelas menengah baru. Mereka tidak puas terhadap pengelolaan uang, memiliki
tujuan ingin meraih kekuasaan di Belanda dan kemudian memiliki akses atas keuntungan
kolonial. Aspirasi kaum liberal adalah mengenai kebebasan uasaha, kebasan kerja, dan
pemilikan pribadi. Upaya memperoleh kendali atas keuntungan kolonial berarti mendesak
pemerintah kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan
kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan baru.
Melalui desakan perekonomian liberal, uang hasil kolonial ditanam kembali di Hindia
Belanda dalam bentuk perkebunan dan pabrik. Pergeseran kearah perekonomian liberal di
Indonesia ditandai oleh lolosnya Hukum Agrarua dan Hukum Gula pada 1870 yang menjamin
hak-hak kepemilikan dan operasi perusahaan swasta. Hukum Agraria memfasilitasi penerapan
ekonomi tunai di Indonesia yang amat menghancurkan kehidupan petani yang kesulitan akses
atas tanah dan lahan miliknya tidak dapat menghidupi keluarga. Sebagai akibatnya, orang-
orang desa yang miskin hidup dengan kredit. Melalui pinjaman uang itu, mereka meminjam
lahan kepada pemilik tanah Eropa. Sementara itu buruh perkebunan diberi upah yang murah
sedangkan pemilik tanah harus membayar pajak ke pemerintah Belanda.
Produk utama perkebunan adalah karet, permintaanya terus meningkat setelah
pengenalan mobil model T-Ford pada 1908. Minyak bumi juga menjadi komoditas utama di
pasar dunia sejak 1890-an. Pada 1890, wirausahawan Belanda membangun perusahaan
minyak di Indonesia, Royal Ducth Sheel, yang seiring pergantian abad mulai membor minyak
di Kalimantan dan memiliki sumur minyak di seluruh kawasan tersebut.
B. Keadilan Sosial dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para pemimpin
pergerakan kebangsaan itu kemudian mewarnai diskusi tentang falsafah Negara dalam
persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945,
gagasan keadilan dari kesejahteraan telah dikemukakan oleh beberapa pembicara.
Pada 29 Mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan
tentang pentingnya “Kesejahteraan rakyat: perubahan besar tentang kesejahteraan yang
mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”.
Pada 30 Mei, A. Rachim Pratalykrama menyatakan bahwa salah satu dasar Negara yang harus
6
diperhatikan adalah masalah perekonomian. “Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu
diperluas dan diperdalam dan disegala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-
perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpacht,… dan postal
harus dikembalikan pada rakyat via pemerintah.”
Pada 31 Mei, Abdul Kadir menyatakan bahwa salah satu dari tiga dasar pembentukan
Negara baru yang diusulkan adalah “Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat
agar rakyat menjadi makmur”. Pada tanggal yang sama, Soepomo menguraikan gagasan
tentang keadilan sosial ini secara lebih elaboratif, dalam kaitannya dengan “perhubungan
antara Negara dan perekonomian”, menurutnya, “Dalam Negara yang berdasar integralistik
yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem ‘sosialisme
negara’ (staatssocialisme).” Selanjutnya, dia menguraikan tentang bagaimana perekonomian
disusun dalam sosialisme negara tersebut.
Akhirnya Soepomo menyimpulkan bahwa keadilan merupakan konsekuensi dari
negara integralistik yang merefleksikan keinsafan akan keadilan rakyat seluruhnya: atas dasar
pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang
bersifat integralistik tadi, dimana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara
keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia
yang bersatu dan adil, seperti sudah termuat dalam Pancha Dharma, pasal 2, yang berbunyi:
“Kita mendirikan Negara Indonesia, yang makmur, bersatu, berdaulat, adil’. Maka Negara
hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun
rakyat pada cita-cita yang luhur, menurut aliran zaman. Perhatian pada prinsip keadilan juga
diungkapkan pada hari yang sama oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dalam pandangannya,
islam, selain “mementingkan perekonomian”, juga memerintahkan untuk “membangun
pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan”.
Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pidatonya. Dalam uraiannya
mengenai dasar falsafah Negara Indonesia merdeka , dia memasukan prinsip “kesejahteraan”
sebagai prinsip keempat. Selanjutnya Soekarno mengemukakan visi emansipasinya, bahwa
dengan prinsip kesejahteraan. ‘tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”, juga
tidak akan dibiarkan “kaum kapitalis merajalela”. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu
I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Cheng: nationalism, democracy, socialism.
Selama masa reses persidangan BPUPK (2 Juni-9 Juli), panitia kecil berhasil
mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo Sangi In (Iin). Usulan-usulan itu antara lain
meliputi: Kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya, Dasar Negara, Bentuk Negara, Daerah
Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, Bentuk Pemerintahan dan Kepala
Negara, Soal Agama dan Negara, Soal Pembelaan, dan Soal Keuangan. Dalam usulan
7
mengenai dasar negara, prinsip keadilan dan kesejahteraan diusulkan secara eksplisit oleh
seorang lin dalam terma “kemakmuran hidup bersama”.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang berkembang di masa
persidangan pertamadan usulan dari anggota Chuo Sangi In itu dirumuskan ulang oleh panitia
Sembilan yang merancang pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan
hasil rumusan panitia Sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat
dalam pidato Soekarno pada 1 Juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya
disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Selain terkandung dalam sila ke-5 Pancasila, Pembukaan UUD 1945 sendiri
memberikan perhatian yang istimewa terhadap masalah keadilan, sedemikian rupa sehingga
kata “keadilan/adil” dan prinsip keadilan hampir ada di semua alinea kecuali alinea ke-3.
Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945
mengandung empat pokok pikiran. Dua dari empat pokok pikiran terkait dengan “keadilan
sosial”. pokok pikiran pertama menyatakan, “Negara-begitu bunyinya yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia“. Pokok pikiran ini
mengandung pengertian bahwa persatuan nasional – sebagai wahana untuk melindungi
segenap bngsa dan tanah air – mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran yang
kedua menyatakan, “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Dengan pokok pikiran ini, Negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial
basis legitimasinya.
Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Woediodiningat
selaku ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia:
1. Panitia perancang hukum dasar
2. Panitia perancang keuangan dan ekonomi
3. Panitia perancang pembelaan tanah air
Yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua diketuai oleh Mohammad Hatta,
dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam perkembangannya panitia
perancang hukum dasar yang diketuai Soekarno membentuk panitia kecil yang bertugas untuk
merumuskan rancangan UUD yang dipimpin oleh Soepomo. Persoalan yang menyangkut
prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dibicarakan dalam Panitia Kecil perumus
perancangan UUD dan dalam panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi yang diketuai oleh
Mohammad Hatta.
Pada rapat besar panitia perancang Undang-undang Dasar (13 Juli), hasil rancangan
pertama panitia kecil yang diketuai Soepomo mulai dibahas. Pasal-pasal tersebut dirumuskan
8
panitia kecil perancang hukum dasar dengan mendapatkan masukan dari Mohammad Hatta.
Masukan mengenai keadilan dan kesejahteraan sosial itu selengkapnya sebagai berikut:
1. Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong
2. Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan dan mendapat penghidupan
yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang,
3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif,
4. Cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah
5. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-orang berhak memakai tanah sebanyak yang
perlu baginya sekeluarga,
6. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain,
7. Fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah.
Tidak semua masukan dari Hatta itu diakomodasi dalam pasal-pasal UUD, tetapi tetap
menjiwai semangat pasal-pasal yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada
rapat besar BPUPK (15 Juli) yang membahas rancangan UUD, Soekarno sekali lagi
mengingatkan: “kita telah menentukan di dalam sidang pertama, bahwa kita menyetujui kata
keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada
dasar individualisme.
Pasal-pasal yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan memperoleh tanggapan dari
Kolopaking, Boentaran, dan Muhammad Yamin. Kolopaking memandang adanya kekurangan
dari rancangan tersebut. Dia mengusulkan, antara lain, perlunya pasal-pasal tentang kesehatan
dan hak tanah. Boentaran berkeberatan dengan bunyi pasal 32, “fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam pandangannya, “sesungguhnya dalam Negara
yang berdasarkan kekeluargaan, tidak boleh lagi ada fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara untuk menjamin kesehatan rakyat sepenuh-penuhnya.” Oleh karena itu, dia
mengusulkan supaya kalimat itu diganti dengan: “kesehatan rakyat seluruhnya dipelihara oleh
Negara.” Menurutnya, “itu akan menjamin kesehatan rakyat yang menjadi sendi kekuatan
rakyat dan kekuatan Negara. Apabila kesehatan rakyat dipelihara sebaik-baiknya, maka
dengan sendirinya akan tidak ada fakir miskin dan anak-anak yang terlantar ini, warisan dari
pemerintah jajahan dulu.”
Pandangan Boentaran itu menunjukan perbedaan perspektif dengan pandangan
Soepomo. Persfektif Boentaran menekankan perlunya pencegahan kemiskinan melalui usaha
Negara menjamin kesehatan rakyat seluruhnya. Sedangkan persfektif Soepomo bersifat
kuratif, dengan melihat kenyataan bahwa di Negara yang peradabannya sudah tinggi
sekalipun fenomena fakir-miskin dan anak-anak terlantar akan selalu dijumpai. Ditambah,
9
barangkali, oleh pikiran bahwa usaha preventif mencegah kemiskinan itu sudah diakomodasi
dalam pasal-pasal lain (terutama pasal 31, yang pada rancangan akhir menjadi pasal 33).
Setelah itu Yamin mengajukan usulan, “hendaklah pasal-pasal tentang kesejahteraan,
seperti dijanjikan dalam pembuka undang-undang dasar, diberi jaminan yang lebih luas dan
lebih terang.” Yamin juga menekankan perlunya Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai
“Negara kesejahteraan”. Selengkapnya dia nyatakan: adapun Republik Indonesia ialah Negara
kesejahteraan, seperti constitution Weimar, Rusia, Filipina, dan Republik Tiongkok
hendaklah garis-garis besar kesejahteraan diatur dengan sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya.
Rancangan ini mempunyai isi yang sangat sederhana dan tidak memberi jaminan yang teguh
pada suatu dasar, yang telah dijanjikan dalam penerangan kemerdekaan dan preambule
undang-undang dasar ini.
Tentang hal ini, tidak ada tanggapan dari Soepomo. Namun, masih dalam semangat
memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sosial, pada rapat besar 15 Juli, Hatta
menekankan bahwa yang termasuk sebagai utusan golongan yang berhak duduk di MPR
adalah utusan badan-badan seperti koperasi dan serikat pekerja. Usaha memperjelas pasal-
pasal mengenai kesejahteraan yang diminta oleh Yamin itu hingga taraf tertentu diberikan
oleh Hatta yang bertugas memberi penjelasan atas pasal 33 (rancangan akhir UUD). Dalam
penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia, yang menyangkut pasal 33 disebutkan:
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasiekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang sebab itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah kooperasi perekonomian berdasar
atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang itu. Sebab itu cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai
oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan
rakyat yang ditindas. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang
boleh ditangan orang seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, UUD yang sifatnya supel memang tidak bisa menampung segala jaminan
yang diperlukan. Untuk itu, perlu juga diperhatikan dokumen-dokumen tertulis lain yang
dapat mendukung pemahaman terhadap pasal-pasal konstitusi, karena dokumen-dokumen itu
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari proses penyusunan UUD. Dalam kaitan
dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan, dokumen yang patut diperhatikan adalah hasil
10
rumusan Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi bentukan BPUPK yang dipimpin oleh
Mohammad Hatta.
Hasil rumusan panitia ini melahirkan suatu nota tentang ‘soal Perekonomian Indonesia
Merdeka’ dan nota tentang ‘soal keuangan Indonesia Merdeka’. Nota tentang ‘soal
Perekonomian Indonesia Merdeka’ mengandung ideologi perekonomian yang harus menjadi
haluan perekonomian nasional. Ideologi perekonomian ini bersendikan empat prinsip pokok:
1. Perekonomian Indonesia akan didasarkan pada cita-cita tolong menolong dan usaha
bersama (koperasi);
2. Perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hidup orang banyak harus di bawah kendali
Negara, dan dalam penjelmaannya akan berbentuk koperasi publik;
3. Tanah, sebagai faktor penting produksi terpenting, dibawah kekuasaan Negara;
4. Perusahaan tambang yang besar akan dijalankan sebagai usaha Negara. Uraian
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Orang-orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong, perekonomian Indonesia
merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolongusaha bersama, yang akan
diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi.
Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menggunakan hidup orang banyak,
tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah
pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila sebaik-baiknya perusahaan
itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan beberapa orang
partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi
pengawas dan pengatur, dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh pemerintah
adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahan besar-besar.
Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah
dibawah kekuasaan Negara, tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk
menindas dan memeras hidup orang lain. Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa
dengan itu dijalankan sebagai usaha Negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara
mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Dan tanah
serta isinya Negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan
kepada badan yang bertanggung jawab kepada pemerintah, menurut peraturan yang
ditetapkan.
Pada 16 Juli, Soepomo menyetujui secara umum nota dari panitia Perancang
Keuangan dan Ekonomi, yang dalam garis besarnya, usulan dari panitia ini memiliki
kecocokan pandangan dengan pasal-pasal yang telah dituangkan dalam rancangan UUD.
Namun, dia memberi catatan khusus soal tanah, yang dalam nota ditulis bahwa “tanah
11
haruslah kepunyaan masyarakat sesuai dengan hukum adat istiadat asli”. Dalam pandangan
Soepomo hukum adat Indonesia asli tidak menolak sistem hak milik seseorang.
Soepomo juga menambahkan bahwa, di Perancis pun, beberapa ahli hukum seperti
Prof. Duguit menganjurkan supaya hak milik seseorang atas tanah harus memiliki sifat sosial.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar ada penegasan bahwa dalam Negara Indonesia, tanah
sebagai faktor produksi harus mempunyai tujuan sosial, dan demi tujuan keadilan sosial harus
pula ditegaskan bahwa tanah pertanian harus tetap dalam tangan petani.
Dokumen lain yang perlu diperhatikan sebagai sesuatu yang menjiwai pasal-pasal
UUD adalah nota tentang “soal keuangan Indonesia merdeka”. Disana terkandung apa yang
disebut sebagai “dasar politik keuangan”. Dasar pertama yang harus diperhatikan adalah
“mencocokan pengeluaran (belanja) dengan pendapatan”. Beberapa saran yang dianjurkan
untuk menutupi kekurangan adalah:
1. Perbaikan pemasukan pajak
2. Pemberlakuan pajak progresif
3. Mengadakan pajak baru, yang tidak menimpa penghidupan rakyat jelata
4. Pinjaman dalam negeri berdasarkan prinsip tolong diri sendiri
5. Memperkuat semangat simpanan
6. Mengecilkan belanja Negara
7. Memperbesar pelbagai macam produksi
8. Menaikan pelbagai bea “pemakain jasa pemerintah”.
Dasar kedua menyangkut soal sirkulasi, yang berkaitan dengan mata uang. Dalam nota
disebutkan: hak mengeluarkan uang kertas menjadi monopoli suatu bank Negara, yang akan
diberi nama “Bank Indonesia”. Tanggungan emas sekian persen dari pada sirkulasi tidak
diwajibkan. Dasar yang dipakai ialah dasar a-metalisme. Tanggungan 40%dari pada sirkulasi
boleh diadakan dengan barang-barang yang tersimpan lama, seperti padi atau bahan-bahan
mentah. Padi yang dijadikan “emas tanggungan” itu dapat pula dipergunakan di waktu rakyat
kekurangan padi atau beras.
Demikianlah, prinsip keadilan sosial dari pancasila mendapatkan perhatian penting
dalam pembukaan UUD 1945. Prinsip keadilan sosial dari pembukaan ini meliputi suasana
kebatinan perumusan pasal-pasal UUD dan dokumen lain yang terkait dengan itu- yang bisa
dijadikan sebagai sumber hukum dasar yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak
nyata, baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan Negara- yang
menekankan pemuliaan partisipasi dan daulat rakyat- maupun dalam pasal-pasal yang
menyangkut pengelolaan perekonomian-yang menekankan pemenuhan hak warga dan
jaminan keadilan/kesejahteraan sosial.
12
C. Perspektif teoretis Komparatif
1. Pemikiran (Keadilan) Ekonomi Pra Merkantilis
Tantangan atas keadilan ekonomi muncul ketika terjadi ketimpangan dalam sistem
produksi dan distribusi dan diligitimasi oleh sistem sosial-politik yang ada. Aristoteles
melihat ancaman terhadap harmoni sosial ini ditimbulkan oleh tiga gejala, yaitu perolehan
dijadikan tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat kehidupan yang nyaman, proses
akumulasi modal dan kekayaan cenderung tidak mengenal batas padahal kehidupan nyaman
hanya memerlukan kekayaan materi yang terbatas, dan keuntungan sebagian anggota
masyarakat diperoleh atas kerugian orang lain.
Aristoteles mengajukan dua konsep keadilan, keadilan komutatif (commutative
justice) dan keadilan distributif (distributive justice). Keadilan komutatif menyangkut
keadilan dalam harga pertukaran, bahwa harga yang adil (just price) adalah tingkat harga
yang memberikan kepada produsen setiap komoditi , hasil yang sesuai dengan kedudukan
sosial berdasar profesi dan keahliannya. Keadilan distributif menyangkut pendapatan yang
cukup layak bagi setiap orang. Dalam kaitan ini, Aristoteles memprihatinkan gejala
penumpukan kekayaan oleh para pedagang karena proses itu telah mengubah hubungan-
hubungan pertukaran yang membawa ketimpangan dalam pembagian pendapatan, yang pada
gilirannya menyulitkan pemenuhan kebutuhan materiil masyarakat secara keseluruhan.
Ketika Eropa memasuki jaman kegelapan, di belahan dunia lain, peradaban Islam,
Cina, dan Nusantara memasuki jaman kegemilangan. Islam memandang positip aktivitas
perdagangan baik secara domestik maupun internasional. Betapapun Islam memijarkan etos
yang kuat dalam perekonomian, teologi Islam juga memiliki kesamaan dengan tradisi
pemikiran Graeceo-Romawi hingga skolastik, dalam hal penekanannya pada moralitas
perekonomian. Islam secara tajam mengkritik perilaku boros, tamak, napsu menimbun, dan
kesenangan duniawi secara berlebihan, serta pemberhalaan harta. Dengan memuliakan
martabat manusia, Islam mengakui konsep hak milik pribadi, namun di dalam hak milik
pribadi itu ada fungsi sosial. Dengan fungsi sosial dan hak milik pribadi itu, Islam
menekankan keadilan sosial.
Stimulus Islam terhadap Dunia Barat mendorong semangat renaisans (renaissance) di
Eropa. Perkataan renaisans berasal dari bahasa Perancis renaissance yang artinya adalah Lahir
Kembali atau Kelahiran Kembali. Yang dimaksudkan adalah kelahiran kembali budaya klasik
terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. Masa ini ditandai oleh kehidupan
yang cemerlang di bidang seni kesusastraan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Yang
mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual jaman pertengahan.
13
2. Pemikiran (Keadilan) Ekonomi Merkantilis
Pada mulanya, para pemikir merkantilis menekankan pentingnya regulasi negara atas
perdagangan. Sasaran dan regulasi negara ini antara lain: akumulasi kekayaan atau perhiasan,
peningkatan kemakmuran nasional atau pertumbuhan ekonomi, pencapaian keseimbangan
perdagangan, pemaksimalan tenaga kerja, proteksi industri lokal, dan peningkatan kekuatan
negara.
Doktrin merkantilis berkembang lebih jauh karena topangan dari para filsuf hukum
alam (natural law), dimana hukum alam ini mulanya diperkenalkan oleh Aquinas dalam
kerangka penggunaan nalar untuk menginterpretasikan rencana Ilahi mengenai apa yang
benar dan adil, yang dalam perkembangangannya berpengaruh dalam penyediaan topangan
baru untuk membenarkan peniagaan bebas. Fransisco de Victoria (1557), seorang ahli
Dominikian, menerapkan konsep ini pada hubungan antarbangsa. Lebih lanjut, Fransisco
Suarez (1612) berkeyakinan bahwa seluruh perniagaan internasional harus bebas bukan
sebagai suatu kewajiban dari hukum alam melainkan dari “hukum bangsa-bangsa” (law of
nations, ius gentium). Alberto Gentilli (1612) bahkan beragumen bahwa perang barangkali
dibenarkan terhadap negara-negara yang menolak untuk berdagang. Perang adalah alamiah
jika dilakukan karena beberapa privilese alam yang ditolak oleh manusia.
Memasuki abad ke-17, para penulis Inggris mulai mengembangkan perspektif yang
luas mengenai perdagangan. Menulis pada suatu periode yang diwarnai konflik politik dan
agama antarnegara, para pemikir merkantilis awal mengambil perspektif ekonomi nasional
yang ketat dimana satu-satunya perolehan yang dianggap relevan dari perdagangan ialah yang
menguntungkan suatu negara. Pertikaian ekonomi dan politik antar negara memunculkan
pandangan, bahwa jika karena jumlah perdagangan di dunia adalah tetap panas setiap titik
waktu, maka peningkatan perdagangan suatu negara harus diperoleh dengan pengorbanan
negara lain.
Perbedaan antara kepentingan privat saudagar dengan kepentingan yang lebih luas dari
bangsa dari bangsa membentuk basis fundamental bagi pembelaan merkantilis akan perlunya
regulasi negara atas perdagangan. Pengaturan, bimbingan, dan intervensi negara diperlukan
untuk mengaitkan aktivitas saudagar dengan kepentingan nasional, untuk menjamin agar
perdagangan dilakukan demi kemakmuran negara daripada kesejahteraan saudagar sendirian.
Samuel Fortrey (1663) berpendapat bahwa “betapa pentingnya keuntungan publik diletakkan
pada suatu tangan kekuasaan untuk mengarahkan, yang kepentingannya hanya demi
keuntungan keseluruhan.”
14
Tekanan merkantilis pada peran negara ini mendapat tantangan dari pemikir
“fisiokrasi” Perancis serta filsafat moral Inggris dan Skotlandia. Pierre de Bois dan Francois
Quesnay mendukung perdagangan bebas dalam konteks pendekatan laissez-faire secara
umum yang memproklamasikan keharmonisan antara tindakan privat dengan kesejahteraan
publik. Sedangkan Thomas Hobbes, Richard Cumberland, Lord Kames, dan Josiah Tucker,
memperlihatkan posisi yang bernuansa, bahwa kompetisi dalam kerangka kebebasan alamiah
(natural liberty) menjamin harmoni yang luas, meski tidak sempurna, dari kepentingan-
kepentingan ini, dengan mengandaikan peran negara dalam menciptakan suatu litasi
kovergensi institusional (suatu sistem keadilan) yang akan memfasilitasi konvergensi ini
tanpa perlu mengarahkan aktivitas-aktivitas individual.
Munculnya jaman pencerahan (Age of Enlightenment) di Eropa sejak sekitar abad ke-
18, yang mengandung semangat revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional, memberi
stimulus-stimulus baru bagi kemunculan tradisi intelektual yang sedikit berbeda pada
pertengahan abad ke-18 di Perancis dan Inggris. Semangat pencerahan ini mendapatkan
konteks situasi sosialnya dari revolusi industrial yang berlangsung sejak 1700-an. Tokoh yang
terkenal di jaman ini adalah David Hume dalam “Of Commerce” (1752) yang memuji
perdagangan luar negeri karena memperbesar kekuasaan negara dan juga kekayaan dann
kebahagian subjek. Wawasan kosmopolitan Hume, lebih tampak pada esainya “Of the
Balance Trade” (1752) dan “Of the Jealously of Trade” (1758), yang menolak isolasi dan
pembatasan perdagangan, meski mendukung tarif dan pajak yang menurutnya berguna untuk
mendorong industri dalam negeri.
3. Pemikiran Keadilan Ekonomi Pasca-Merkantilis
Kecenderungan pemikiran yang mendukung liberalisasi perdagangan itu memberi
latar belakang bagi kemunculan pemikiran ekonomi liberalism klasik (classical liberalism)
yang merupakan reaksi terhadap kecenderungan menguatnya intervensi negara dalam
kehidupan pribadi dan sosial, yang mendapat sokongan dan pemikiran merkantilis awal,
sehingga negara cenderung menjadikan manusia semata sebagai alat untuk melayani tujuan-
tujuan arbitrernya, seolah-olah dapat menentukan apa nilai dan impian terbaik bagi setiap
individu. Ide pokok dari liberalism klasik adalah suatu oposisi terhadap seluruh intervensi
negara dalam kehidupan pribadi dan sosoial, kecuali dalam bentuknya yang paling minimal
dan terbatas.
Tokoh terpenting dari pemikiran ekonomi liberalisme klasik adalah Adam Smith.
Pemikiran Smith berangkat dari suatu pengandaian moral berbasis imajinasi, yang dia
rumuskan pertamakalinya dalam The Theory of Moral Sentiments (1759). Teori moral ini
15
berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia adalah mahluk dengan daya “imajinasi”, dan
penemuan terbesar dari imajinasi adalah moralitas. Dengan Imajinasi, manusia mampu
menumbuhkan “simpati” terhadap apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, bahkan
tanpa perlu melalui pengindraan secara langsung. Dengan kekuatan imajinasi dan simpati itu,
Smith melihat ada potensi moral dalam kepentingan diri sendiri maupun orang lain.
Dalam buku “The Wealth of Nations”, Adam Smith menekankan bahwa kebebasan
alamiah individu untuk berinteraksi dalam bidang ekonomi, masing-masing memburu
kebaikannya sendiri dengan menawarkan barang dan jasa kepada orang lain akan mengarah
pada alokasi sumber daya secara efisien dari sudut pandang masyarakat, individu-individu
yang saling berkeinginan dan berkepentingan akan bekerjasama, jika hal itu member
keuntunagan, dan hasil tahunan masyarakat akan naik pada level tertinggi.
Untuk bekerjanya mekanisme pasar yang menguntungkan semua pihak, diperlukan
apa yang disebutnya sebagai kondisi “persaingan yang sempurna”. Hanya dalam persaingan
yang fair, akan muncul “tangan-tangan tersembunyi” yang membawa keuntungan secara tidak
sengaja bagi semua pihak. Smith mengungkapkan berbagai keadaan dimana dimana
kebijakan pemerintah, seperti penyedian sarana-sarana publik serta penegakan sistem hukum
dan keadilan, dapat memungkinkan “tangan-tangan tersembunyi” dari pasar beroperasi secara
lebih efektif.
Masalah dalam pemikiran ekonomi liberalisme klasik bersumber dari asumsi
moralnya yang terlalu optimis dalam mengandalkan simpati moral dari kepentingan
individual, serta pengandaian adanya kondisi persaingan pasar yang sempurna. Simpati moral
dapat ditumpulkan oleh hasrat akumulasi kapital dengan cara memperoleh keuntungan
setinggi-tingginya melalui cara-cara yang tidak adil dalam ketiadaan kondisi persaingan pasar
yang sempurna.
Kemacetan simpati moral mulai terlihat tanda-tandanya, sebagai inplikasi dari tuntutan
Adam Smith sendiri bahwa pembagian kerja (division of labour) atau spesialisasi merupakan
salah satu kunci pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus. Pembagian kerja akan
berkembang jika pasaran barang yang diproduksi terjamin. Perluasan pembagian kerja akan
mandek apabila pasar untuk barang-barang sudah tidak tumbuh lagi, sehingga dibutuhkan
perluasan territorial untuk menjamin perluasan pasar yang pada gilirannya juga untuk
perluasan kawasan investasi.
Untuk itu, Adam Smith mendukung adanya koloni ekonomi meski diandaikan dalam
keadaan bebas dan alamiah. Namun, pengandaian itu terlalu bersifat positivistik karena untuk
pembentukan koloni ekonomi tersebut nyatanya diperlukan bantuan pemerintah dengan
aparatus pernaksnya, yang pada gilirannya melahirkan kolonialisme dan imperialism sebagai
16
perpanjangan dari liberialisme-kapitalisme menunjukkan kegagalan simpati moral berbasis
kepentingan individual dan juga kemacetan mekanisme “the invisible hand”, yang hanya
menguntungkan kapitalis-kolonialis di atas kerugian dan penderitaan kaum terjajah.
Salah seorang pemikir terpenting dari libertarian kanan ini adalah Friedrich von Hayek
(1899-1922). Pemikirannya mengenai ekonomi moneter dalam “Prices and Production”
(1931) dan “Pure Theory of Capital” (1941) dibahasakan dalam terma politik dalam Road to
Serfdom (1944) dan Constitution of Liberty (1966). Gagasan bahwa pemerintah atau lembaga
antar-pemerintahan menjadi pelaku pokok amat ditentang oleh von Hayek, dan ini menjadi
arah kritik von Hayek pada beberapa gagasan Keynes. Von Hayek mempunyai sisi kuat yaitu
dorongan supaya manusia secara aktif membangun interaksi demi kemajuan. Namun gagasan
von Hayek, dipandang sebagai purist, tidak memperhitungkan apa yang ditunjukkan oleh
game theory dan juga dalam konsep free rider, bahwa manusia dapat menjadi amat oportunis,
bahkan dalam hal yang seharusnya amat mulia seperti “amal”. Gagasan von Hayek tidak
tahan uji dalam praktik. Dalam model von Hayek, keadilan sosial bias terwujud, namun tidak
pasti.
Libertarian capitalism membawa paradigma neoliberalisme dalam perekonomian
yang cenderung melompat pada individualisme, tanpa mengingat dimensi emansipasi
liberalisme klasik yang berusaha menyelamatkan kebebasan dan keadilan individual dari
sangkar besi intervensi negara. Dengan langsung melompat pada individualisme, seraya
mengabaikan konteks emansipatorisnya, neoliberalisme cenderung meringkus peran negara,
dengan membatasi semata-mata sebagai pelayan pasar. Dengan menjadikan negara sebagai
pelayan pasar, neoliberalisme member terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan
bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan
dan ketidakadilannya sendiri.
Tahun 1848, John Stuart Mill, menunjukkan keterkejutannya atas ketidakadilan serius
dalam distribusi kekayaan masyarakat dan mencoba mencari penyebabnya. Dia mengusulkan
untuk memisahkan secara tegas antara sistem produksi dan sistem distribusi. Dua puluh tahun
kemudian, Karl Marx (1818-1883) menggugat secara radikal teori tentang keadilan ekonomi
yang hanya memperhatikan hubungan distribusi, yang menurut penilaiannya tidak mengenai
sasaran. Dalam pandangan Marx, yang pertama dianalisis adalah hubungan produksi. Dalam
hubungan produksi, buruh berkedudukan lemah karena hanya memiliki tenaga, sedangkan
pemilik modal berkedudukan jauh lebih kuat. Eksploitasi nilai tambah oleh pemilik modal di
atas pemiskinan kaum buruh, merupakan sumber ketidakadilan ekonomi pada tahap yang
lebih dini.
17
Paham sosialisme bangkit kembali sebagai respons atas ketidakadilan baru yang
ditimbulkan oleh individualisme. Kata “sosialisme” sendiri pertama kali dimunculkan oleh
Robert Owen yang dituangkan dalam majalah Inggris, Coorporative Magazine (1827).
Majalah ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan pandangan-pandangan Owen sendiri, yang
dikemudian dikenal sebagai pendiri utama gerakan kooperasi. Sebagai perintis gerakan
sosialisme dan kooperasi, Owen membayangkan adanya masyarakat yang terdiri dari
komunitas mandiri yang mempertautkan individu-individu bebas dan berpikir rasional.
Permuliannya pada kebebasan individu ini tidaklah jauh berbeda dari paham liberalisme.
Namun begitu, segera dia tambahkan bahwa individu-individu kooperatif, yang bersifat
altruis, asosiatif, dan harmonis dengan kehidupan dan kebajikan kolektif.
Pada perkembangan lebih lanjut, sosialisme ini menuntut egalitarianisme yang lebih
tuntas dengan menawarkan konsepsi perjuangan kelas pekerja. Hal ini mendapatkan
formulasinya sejak Karl Marx menerbitkan pamflet “Manifesto Komunis” pada 1848, yang
pada gilirannya mendorong lahirnya berbagai varian sosialisme.
Perbedaan pandangan yang terjadi dalam rumpun Marxisme-sosialisme di Eropa
mengenai bagaimana menjalankan proyek transformasi dari kapitalisme menuju sosialisme.
Dalam pandangan Marxisme ortodoks, transformasi menuji sosialisme akan terjadi begitu
kapitalisme bangkrut akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri. Tugas kaum Marxis
adalah mengintensifkan krisis internal kapitalisme melalui pertentangan kelas dan revolusi
sosial. Beberapa pemikir utama sosialisme revolusioner adalah Karl Kautsky, Rosa
Luxemburg, dan Leon Trotsky.
Percobaan pembumian model pemikiran Marxisme ortodoks memperoleh katalisnya
melalui Revolusi Rusia pada 1917, yang melahirkan gerakan Marxisme-sosialisme
Internasional ke-3, dengan haluannya yang terkenal sebagai haluan bolsjewik atau komunis.
Dibawah sistem ini, ekonomi komando dijlankan dengan melahirkan etatisme.
Sistem ekonomi etatisme hanya menguntungkan sekelompok kecil elite yang
mengarah pada pembentukkan semacam kelas sosial tersendiri yang disebut “nomenklatura”
yang menguasai berbagai posisi administratif di semua bidang kehidupan. Menyimpang dari
pandangan Marxis orthodox, Eduard Bernstein menganggap bahwa perjuangan demokratik
melalui mekanisme parlementer untuk merebut negara merupakan suatu cara yang diperlukan
untuk mentranformasikan kapitalisme menuju sosialisme. Pandangan ini membuat Adam
Przeworski (1988) melihat gerakan sosial demokrasi sebagai jalan parlementer menuju
sosialisme. Penekanan Bernstein adalah pada revisionisme demokratik dan sosialisme yang
lebih evolusioner, yang kemudian melahirkan paham “social-democracy” atau sering disebut
sosdem.
18
Doktrin revisionisme Bernstein dianggap sebagai kontradiksi terhadap Maxisme
mainstream, bahkan Bernstein sendiri akhirnya di cap sebagai pembelot. Pemikiran sosdem
berusaha memperjuangkan keadilan ekonomi dengan berusaha mengatasi kelemahan-
kelemahan dari sistem sosialisme-etatisme dan kapitalisme. Hal ini ditempuh melalui
intervensi negara dalam penataan pasar dan jaminan sosial, disertai keleluasaan yang
diberikan bagi kebebasan kreatif individual. Aktualisasi peran negara ini dikembangkan
melalui eksistensi negara kesejahteraan.
Gagasan negara kesejahteraan ini beresonansi dengan pemikiran ekonomi yang
dikembangkan oleh seorang pemikir ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946).
Keynes amat terkenal dengan karya pentingnya “Treatise on Money” (1930) dan “The
General Theory, Interest and Money” (1936), yang juga dilingkupi dengan karya-karya yang
lebih politis seperti Economic Consequence of Peace (1919) dan The End of Laissez-Faire
(1926). Dalam karyanya, Keynes menunjukkan bagaimana pranata kemanusiaan, terutama
negara, mempunyai peranan penting dalam “memutar’ penghidupan manusia. Jika manusia
dibiarkan bertarung dengan manusia lain tanpa adanya pranata, yang terjadi adalah
kemustahilan setiap upaya manusia itu sendiri.
Keynes memuji gagasan von Hayek dalam ”Road to Sefrdom” (1944) bahwa
ketidakbebasan dapat datang dari suatu bentuk kolektivisme, sebagaimana yang ditunjukkan
dalam pengalaman Nazisme dan komunisme-Uni-Soviet. Keynes mengakui bahwa manusia
mempunyai kemampuan yang unik dalam mengembangkan relasi dan penghidupannya
terhadap manusia lain. Pemikiran Keynes yang menekankan pentingnya pranata manusia
memperoleh kesempatan dan pembuktiannya, ketika dia dengan memanfaatkan capital market
menjadi tokoh penting dalam mendesain ekonomi dunia selama dan setelah Great
Depression. Yang lebih penting, Keynes juga menjadi arsitek penting bagi terciptanya negara
kesejahteraan.
Negara Kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan demokratis
yang menempatkan negara sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang menempatkan
negara sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, melalui
serangkaian kebijakan publik dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan
sosial demi pencapaian kesejahteraan dan keadialan sosial. Sistem negara kesejahteraan
diorientasikan untuk mempromosikan efisiensi ekonomi, menngurangi kemiskinan,
memperkuat kesejahteraan sosial, dan mempeomosikan kemandirian individu.
Model pertama dari negara kesejahteraan adalah model “universal welfare state”.
Model ini berbasis rezim kesejahteraan sosdem yang didirikan dengan cakupan jaminan sosial
yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif.
19
Model ini berkembang di Demark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda. Model ini
beresonasi dengan model yang berkembang di negara-negara lain yang lebih konservatif
seperti Austria, Belgia, Perencis, Jerman, Italia, dan Spanyol. Dalam persenyawaanya dengan
tardisi sosialisme kekristenan, berkembanglah di negara-negara tersebut rezim kesejahteraan
konservatif yang melahirkan model “social insurance welfare state”. Model ini dicirikan oleh
sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting jejaring keluarga sebagai
penyedia pasok kesejahteraan.
Berkaitan dengan hal itu, sebagai respons atas kritik sosialisme dan juga sebagai
ikhtiar untuk meredakan perlawanan kelas pekerja dari lingkungan internal kspitalisme
sendiri, negara-negara yang berbasis liberal-kapitalisme juga mengembangkan rezim
kesejahteraan tersendiri. Hal ini pada gilirannya melahirkan model “residual welfare state”,
yang berbasis pada rezim kesejahteraan liberal yang bercirikan jaminan sosial yang terbatas
terhadap kelompok target secara sselektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk
mengurus pelayanan public. Model ini berkembang antara lain di Australia, Kanada, Selandia
Baru, dan Amerika Serikat.
Pergulatan antara sosialisme dan kapitalisme mengarah pada usaha saling belajar
untuk mengambil sisi-sisi positif seraya meninggalkan sisi-sisi negative dari kedua paham
tersebut. Perkembangan kebijakan perekonmian dari kedua kutub tersebut cenderung bergerak
menuju titik keseimbangan antara dimensi individual dan sosial manusia, antara peran negara
dan pasar. Dari arah kiri ke kanan, negara komunis (bekas komunis) seperti RRC dan Rusia
yang semula menerapkan sistem ekonomi komando, dalam perkembangan terkahir mulai
membuka diri bagi peran pasar dalam perekonomiannya.
Dari arah kanan ke kiri, terjadi pergeseran dari fundamentalisme pasar menuju
ekonomi “pasar sosial”. Ekonomi pasar sosial menghargai hak milik, kombinasi usaha
individu dan masyarakat serta keragaman aktivitas ekonomi. Ekonomi pasar sosial
meletakkan supremasi demokrasi dan konstitusi sebagai pemandu dan perangkum dari
ekonomi suatu negara dan dunia, sebagai basis pembebasan manusia dari penindasan dan
ketimpangan. Seiring dengan itu, pranata negara dianggap mempunyai peran penting dalam
melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai, seperti melalui bentuk-bentuk
asuransi, skema pendanaan untuk masyarakat, penetapan cadangan komoditi atau modal, dan
lain sebagainya. Peran negara amat aktif, tetapi tidak menindas atau meniadakan keragaman.
Kecenderungan ke arah ekonomi pasar sosial itu tampak sebagai fenomena yng
berkembang di negara-negara Eropa pasca perang dunia II, terutama di Jerman dan Perancis.
Berbagai negara di Eropa memilih ekonomi pasar sosial sebagai sebuah pilihan dan
pengakuan bahwa pluralitas manusia adalah faktor penting dalam ekonomi. Tidak ada boleh
20
penyeragamanm dan tidak ada boleh dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Ekonomi
pasar sosial ini juga banyak dikembangkan di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Ekonomi pertanian amatlah besar, baik dalam hal modal, akses, dan tenaga kerja. Ekonomi
yang berbasis pada industri manufaktur yang intensif pastilah bukan pilihan pertama dari
negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, penting, tetapi bukan yang utama. Disini
terletak pentingnya ekonomi pasar sosial yang berangkat dari situasi masyarakatnya.
Perkembangan selanjutnya, krisis ekonomi-finansial Amerika pada awal millennium
baru, yang merembet menjadi krisis global, juga memaksa negara-negara kapitalis untuk
memeriksa ulang pengandaian moralnya atas supremasi kebebsasan individual serta
keutamaan fundamentalisme pasar. Dapat dikatakan inilah gelombang surut proyek
neoliberalisme seperti yang kita kenal. Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana
kebijakan neoliberal menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasim
ketidaksetaraan, dan perusakan lingkungan. Robert Kuttner (2007) memperlihatkan bahwa
neoliberalisme Amerika Serikat menggunakan kekuatan negara sebagai instrument pasar
untuk menderegulasikan industri keuangan. Dengan demikian, secara radikal mengubah
pemerintahan dan masyarakat dengan menekankan pada persaingan, desentralisasi, devolusi,
deregulasi, dan privatisasi atas industri, tanah, dan pelayanan public, serta mengganti
kebijakan-kebijakan sosial yang bersifat welfare dengan “workfarist”.
Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan apa yang disebut
ekonom Joseph Stiglitz (2008) inkompetensi dari pihak pengambil keputusan serta
merangsang ketidakjujuran dari pihak institusi financial. Perilaku tidak patut di dalam dunia
korporasi merajalela. Megaskandal Enron, Lehman Brothers, dan yang lainnya menurut
Daniel Yankelovich (2006), lebih disebabkan oleh bertemunya tiga kecenderungan.
Pertama, deregulasi. Hasrat menggebu melakukan deregulasi pada 1980-an mengubah
para penjaga gawang, seperti firma akuntan, bankin, ataub firma hukum bisnis menjadi pelaku
utama. Alih-alih mengawasi, mereka justru mempermudah atau malah melakukan tindakan
kejahatan bisnis.
Kedua praktik menyambungkan bagian terbanyak dari kompensasi CEO ke bursa
saham, para petinggi korporat ini diberikan saham bernilai milyaran sebagai bonus atas gaji.
Akibatnya mereka lebih mengedepankan nilai saham ketimbang kesejahteraan perusahaan
atau masyarakat. Dan ketiga, memasukkan norma-norma kalah atau menang ke dalam
kehidupan korporasi. Penggabungan kecenderungan-kecenderungan ini turut menciptakan
mesin skandal yang sering membuat skandal sebagai satu keniscayaan.
Akhirnya, krisis financial yang berkembang menjadi krisis ekonomi juga
menggamarkan sesuatu yang lebih mendalam-apa yang disebut Robert Reich (2007) sebagai
21
“superkapitalisme”. Superkapitalisme adalah suatu konsep yang menggambarkan semakin
menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor yang
kemudian merambah ke dunia politik. Persaingan bisnis itu mengakibatkan dana dalam
jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan guna membiayai dan
mengarahkan politik dan kebijakan publik demi kepentingan mereka. Dengan kata lain,
“capitalism has invaded democracy”.
Berbagai moral hazard dalam perekonomian neoliberalisme Amerika Serikat
membawa masuk kembali anasir sosialisme melalui pintu belakang. Peran negara kembali
diperkuat yang jalannya dicoba diratakan kembali oleh pemerintahan Obama, melalui proyek
“nasionalisasi” serta perluasan sistem jaminan sosial.
Putaran balik pendulum pemikiran ekonomi ke jalan tengah, dengan penguatan
kembali peran negara, juga tercermin dari kecenderungan para peraih anugerah Nobel
Ekonomi sejak penghujung abad lalu yang didominasi oleh para ekonom yang berdomisili di
Amerika Serikat, Amartya Sen, peraih nobel ekonomi pada 1998 mengakui pentingnya peran
negara dalam kaitan antara welfare economics dan kebebasan manusia. Dalam pandangannya,
negara mempunyai kekuatan untuk bersiasat dengan berbagai instrument kebijakan untuk
melindungi dan mempromosikan kesetaraan dan kebebasan manusia. Pengakuan ini diperkuat
antara lain oleh pemikiran peraih nobel ekonomi tahun 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin,
dan Roger Myerson, yang sama-sama berkontribusi dalam mengembangkan apa yang disebut
sebagai “mechanism design theory”. Dalam teori ini, diakui bahwa alokasi barang dan jasa
diandaikan terjadi secara lebih efisien dalam ekonomi pasar.
Kecenderungan perekonomian yang mencari titik keseimbangan antara dimensi
individual dan sosial manusia, antara peran pasar dan negara mendapat topangan teoritisnya
antara lain dari pemikir liberal kiri John Rawls. Dalam Opus magnum-nya, A Theory of
Justice (1971), Rawls menggabungkan konsep hak milik individu dari John Locke, kemauan
hidup bersama demi terpenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama dari Jean-Jacquaes
Rousseau, dan kemauan melakukan kebaikan pada orang lain tanpa tendensi apa pun sesuai
dengan aturan formal dari Immanuel Kant.
Dalam kerangka teori diatas, Rawls mengasumsi masyarakat sebagai kumpulan
individu yang berdimensi ganda, di satu sisi, sebagai mahluk sosial yang mau bersatu karena
adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, di sisi lain, sebagai mahluk individual
yang masing-masing mempunyai pembawaan serta hak yang berbeda, yang tidak bisa dilebur
begitu saja ke dalam kehidupan sosial. Persoalannyam bagaimana menyerasikan antara
kehendak memenuhi hak-hak dan pembawaan individu, dengan kewajiban sosial demi
22
memenuhi kebutuhan dan kebijakan kolektif, yang dapat menciptakan hubungan sosial yang
berkeadilan.
Teori keadian Rawls berusaha menjawab tantangan tersebut. Dengan mendefinisikan
keadilan sebagai fairness, Rawls mengajukan dua prinsip keadilan sebagai basis untuk
menjaga harmoni antara hak individu dengan kewajiban sosial. Pertama, prinsip kesetaraan
kebebasan (principle of equal liberty), bahwa setiap orang memiliki kebebasan dasar yang
sama. Kebebasan dasar ini meliputi, antara lain: kebebasan politik, kebebasan berpikir,
kebebasan dari tindakan sewenang-sewenang, kebebasan personal, dan kebebasan untuk
memiliki kekayaan.
Kedua, prinsip perbedaan, bahwa perbedaan yang ada diantara manusia, dalam bidang
ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, dengan perlakuan yang berbeda pula,
sehingga dapat menguntungkan setiap orangnya, khususnya orang-orang yang secara kodrati
tidak beruntung, dan sesuai dengan kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua
orang.
Singkat kata bagi Rawls, setiap orang harus diperlakukan secara setara, kecuali jika
dengan kesetaraan perlakuan itu, dapat timbul ketidakadilan yang lebih besar. Dalam kondisi
seperti itu, perbedaan dalam perlakuan diperlukan dalam rangka menghadirkan keadilan
sosial. Untuk itu, perbedaan perlu diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan solidaritas
sosial dan kerja sama yang saling menguntungkan. Di sinilah, institusi negara memainkan
peran penting.
Dalam konteks kedenderungan perekonomian yang semakin bergerak ke jalan tengah
serta teori keadilan seperti itu, prinsip keadilan sosial yang terkandung dalam sila ke 5
Pancasila, dengan prinsip negara kesejahteraan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945
(terutama pasal 23, 27, 31, 33, dan 34) memiliki resonansi yang kuat. Sejak awal, para pendiri
bangsa ingin menempatkan sistem keadilan dan ekonomi dalam titik ideal keseimbangan
antara peran negara (sosial) dan peran individu (swasta), hak dan kewajiban, serta antara
pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut alam pemikiran pancasila, semangat kekeluargaan yang bersifat tolong
menolong merupakan jalan keluar atas kelemahan sistem ekonomi liberal-kapitalisme dan
etatisme. Dalam semangat kekeluargaan, hak dan partisipasi warga itu diletakkan dalam
kerangka kewajiban untuk memujudkan kebaikan kolektif. Sebaliknya, seperti dikatakan oleh
Bung Hatta, dalam konsepsi negara kekeluargaan ala Indonesia, tidak dibenarkan adanya
negara kekuasaan atau negara penindas.
Dalam implementasinya, usaha mewujudkan perekonomian dalam kerangka
keseimbangan antara peran individu (pasar) dan sosial (negara) itu tidaklah bergerak dalam
23
suatu ruang vakum. Dengan mewarisi keadaan ekonomi-politik Indonesia pasca colonial yang
ditandai oleh aneka dualism dan kesenjangan, luasnya kemiskinan serta kemajemukan
masyarakat, semangat kekeluargaan lebih ditonjolkan. Dalam situasi perdagangan pasar yang
tidak sempurna, kompetisi harus diletakkan dalam semagat kooperasi (cita-cita tolong
menolong), yang mengarah pada koopetisi, dan menunaikan kewajiban lebih didahulukan
ketimbang menuntuk hak. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan.
Dengan menolak paham individualism-liberalisme yang melahirkan kolonialisme di
Indonesia, para pendiri bangsa, baik yang bercorak islamis, nasionalis maupun sosialis, sama-
sama mengidealiasikan sosialisme sebagai basis pemenuhan keadilan sosial. Paham
sosialisme ala Indonesia ini, menurut Mohammad Hatta, merupakan perpaduan dari unsure
tradisi tolong-menolong (gotong-royong) masyarakat asli Indonesia, dengan unsure
sosialisme-religius, serta unsure sosdem dari Eropa. Dengan memadukan unsur-unsur
tersebut, sosialisme Indonesia bersendikan nilai-nilai sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi
dan keTuhanan. Nilai-nilai ini terkandung dalam sila-sila Pancasila.
D. Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila
Dalam menguraikan sila keadilan sosial (prinsip kesejahteraan) Soekarno menyatakan;
“ Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” Dengan
mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap” tidak akan ada
kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.”
Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang berbasis
individualism-kapitaslisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan
politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonialisme; sementara,
kolonialisme itu sendiri merupakan perpanjangan dari individualism-kapitalisme. Alih-alih
memercayakannya pada individualism-kapitalisme, Soekarno meyatakan bahwa sila keadilan
sosial adalah “ protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”
Titik tumpu pencapaiaannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan
semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia
menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa
individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang
mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam sistem
24
sosialisme ini diandaikan bahwa seluruh penghasilan diatur menurut keperluan dan maslahat
masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan Sjahrir
menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan rakyat banyak yang miskin.
Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan
kebahagiaan” (Sjahrir, 1982:127)
Dalam rangka merealisasikan keadilan itu para pendiri bangsa kerap mengemukakan
bahwa, “Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan
keadilan.” Cita-cita menghadirkan keadilan bernegara dan negara yang berkeadilan
mensyaratkan adanya emansipasi dan partisipasi di bidang politik yang berkeadilan dengan
emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Inilah yang disebut dengan prinsip “sosio-
demokrasi.” Menurut Soekarno, “Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan
sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi adalah
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.” ( Soekarno, 1932)
Dengan demikian, negara Indonesia tidak dikehendaki sebagai “negara liberal,”
melainkan sebagai “ negara kesejahteraan “ (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri
bangsa, negara kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis
yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya
secara minimal), bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak
ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh
jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politiknya
bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak miliki pribadi itu memiliki
fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.
Berasal dari kata ‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti: “lurus”, “seimbang”,
keadilan berate memperlakukan setiap orang dengan prinsip kesetaraan (principle of equal
liberty), tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan
dan status sosial. Adanya aneka kesenjangan yang nyata dalam kehidupan kebangsaan-
sebagai warisan dari ketidakadilan pemerintahan pra-Indonesia-hendak dikembalikan ke titik
berkeseimbangan yang berjalan lurus, dengan mengembangkan perlakuan yang berbeda (the
principle of difference)-sesuai dengan perbedaan kondisi kehidupan setiap orang (kelompok)
dalam masyarakat serta dengan cara menyelaraskan antara pemenuhan hak individual dengan
penuaian kewajiban sosial.
Komitmen keadilan menurutalam pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran Negara
dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya ada dalam kerangka: 1. Perwujudan relasi yang
adil di semua tingkat sistem (kemasyarakatan), 2. Pengembangan struktur yang menyediakan
kesetaraan kesempatan, 3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan dan 4.
25
Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Yang
dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang
bersifat ekonomis, tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam kerangka pembebasan
manusia dari usaha pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan martabat kemanusiaan,
pemupukan solidaritas kebangsaan dan penguatan daulat rakyat.
Berdasarkan rumusan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Brawijaya
(2009), keadilan sekurang-kurangnya terwujud dalam tiga bentuk :
1. Keadilan dalam hubungan ekonomi antarmanusia secara orang-seorang dengan senantiasa
memberikan kepada sesamanya apa yang semestinya diterima sebagai haknya. Inilah yang
melahirkan keadilan tukar-menukar.
2. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara manusia dengan masyarakatnya, dengan
senantiasa memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran dan
kesejahteraan bersama. Inilah yang melahirkan keadilan sosial.
3. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara masyarakat dengan warganya, dengan
senantiasa membagi segala kenikmatan dan beban secara merata sesuai dengan sifat dan
kapasitasnya masing-masing. Inilah yang melahirkan”keadilan distributif”.
Terhadap ketiga bentuk keadilan tersebut, barangkali perlu ditambahkan satu lagi,
yakni keadilan dalam hubungan-hubungan produksi antara pemilki modal dan buruh. Nilai
tambah tidak boleh hanya dieksploitasi oleh pemilik modal saja, melainkan juga perlu dibagi
kepada buruh. Hal ini bisa ditempuh melalui pengalokasian sebagian saham bagi kaum buruh
dan/ atau kepatutan standar penggajian dan jaminan sosial karyawan. Inilah yang melahirkan
“keadilan produktif” yang dikenal dengan keadilan dalam hubungan industrial.
Untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pelbagai hubungan ekonomi tersebut
diletakkan dalam kerangka etis, imperative moral Pancasila. Sri-Edi Swarsono (2009:6)
menjelaskan bahwa sistem ekonomi Pancasila dapat digambarkan sebagai sisitem ekonomi
yang berwawasan sila-sila Pancasila yaitu :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, bukan
materialism);
2) Kemanusiaan (kehidupan berekonomi yang humanistic, adil dan beradab), tidak
mengenal pemerasan dan penghisapan;
3) Persatuan (berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, kebersamaan dan berasas
kekeluargaan, gotong-royonng, bekerjasama, tidak saling mematikan);
4) Kerakyatan (berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat
hidup orang banyak, ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian nasional);
26
5) Keadilan sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran
orang-seorang, berkeadilan, berkemakmuran).
Dengan formulasi yang lain, Mubyarto (1994:44-45) menyebutkan ciri-ciri sistem
ekonomi Pancasila sebagai berikut :
1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral
2. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan
kemerataan sosial-ekonomi.
3. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi-nasional yang kuat dan
tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.
4. Kooperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional
5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme
kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan
sekaligus menjaga prinsip efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Emil Salim meringkas pengertian sistem Ekonomi Pancasila ke dalam empat ciri
pokok. Pertama, adanya demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
dan di bawah pimpinan atau kepemilikan anggota. Kedua, cirri kerakyatan, yaitu
memerhatikan penderitaan rakyat. Ketiga, kemanusiaan yang berarti tidak memberi toleransi
pada eksploitasi manusia. Dan, keempat, religius, yaitu menerima nilai-nilai agama dalam
hidupnya.
Dengan landasan konsepsonal tersebut, sistem ekonomi Pancasila berada pada tiga
level sekaligus: ontologism, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologism, keberadaan
sistem Ekonomi Pancasila berangkat dari Pancasila sebagai landasan idelanya dan UUD-45
sebagai landasan konstitusionalnya. Secara epistemologis, sistem ekonomi Pancasila
berangkat dari konsepsi paradigmatic yang menempatkan keadilan ekonomi dalam kerangka
keseimbangan antara dimensi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, antara
hak dan kewajiban, antara dimensi jasmani dan rohani, serta antara pemenuhan hak sipil dan
politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara aksiologis, sistem ekonomi Pancasila
berangkat dari fakta empiris kesenjangan sosial dan ketidaksempurnaan pasar, yang ingin
mengatasinya dengan cita-cita tolong-menolong secara kekeluargaan (koperasi).
Kata “kooperasi’, pertama-tama harus dipahami sebagai “kata kerja”(proses), yakni
semangat tolong menolong: semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakan
keuntungan bersama, solidaritas sosial yang berorientasi “berat sama dipikul, ringan sama
27
dijinjing.: Dalam arti ini Mohammada Hatta dan juga Sjahrir, menyebutkan badan usaha milik
negara dan bahkan perusahaan swasta pun harus berjiwa kooperasi.
Dalam pengertian “kata kerja”, sifat kooperasi harus mewarnai segenap komponen
sistem ekonomi yang setidaknya meliputi factor: 1. Kepemilikan sumber daya, 2. Pelaku
ekonomi, 3. Mekanisme penyelenggaraan kegiatan ekonomi dan 4. Tujuan yang ingin dicapai.
Dalam hal kepemilikan sumber daya, sifat kooperasi itu tercermin pada pasal 33 (2): “
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara’; dan pasal 33 (3):” Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Dalam hal pelaku ekonomi, sifat kooperasi tercermin pada pembagian peran di antara
para pelaku ekonomi. Baik Badan Usaha Milik Negara,badan usaha kooperasi, maupun badan
usaha swasta diberi tempat sendiri-sendiri. Lebih dari itu, seluruh bentuk badan usaha itu
harus mengembangkan sifat “kooperasi” (“tolong-menolong”). Pembagian peran di antara
para pelaku ekonomi ini kira-kira bisa digambarkan sebagai berikut.
1. Negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak
2. Produksi, pengangkutan dan distribui bahan penting diselenggarakan oleh negara atau
sekurang-kurangnya dikuasai negara
3. Pemerintah daerah dianjurkan bergerak dalam ketiga lapangan produksi,
pengangkutan dan distribusi
4. Kooperasi dianjurkan bergerak di segala lapangan, terutama sector distribusi
5. Swasta diberi tempat yang layak dalam sector produksi dan pengakutan (PSEK
Universitas Brawijaya, 2008:21)
Dalam hal mekanisme penyelenggaraan ekonomi, sifat kooperasi tampak pada peran
negara kekeluargaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, dalam menyediakan
kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan dan rekayasa sosial (social engineering).
Dalam perekonomian yang bersifat kooperasi, hak milik perseorangan tetap diakui, namun
dalam penggunaannya, dibatasi oleh kepentingan bersama. Dengan demikian, hak milik
perseorangan memiliki fungsi sosial. Selain itu, sifat kooperasi itu juga harus tercermin baik
pada tingkat ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Pada tingkat ekonomi makro, sifat
kooperasi ditunjukkan melalui pemberdayaan peran serta rakyat dalam politik anggaran.
Inilah pesan yang terkandung dalam pasal 23 (1). Penjelasan UUD 1945 mengenai pasal ini
menyebutkan “bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda Kedaulatan Rakyat.”
Pada tingkat ekonomi mikro, sifat kooperasi ditunjukkan oleh keterbukaan kesempatan
28
berusaha dan bekerja, ketersediaan akses permodalan, informasi dan public goods bagi
segenap pelaku ekonomi dan juga pemberdayaan buruh dalam proses produksi dan pemilikan
dengan semangat kekeluargaan.
Dalam hal tujuan yang ingin dicapai, perekonomian yang bersifat kooperasi hendak
mewujudkan perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,
bahagia lahir dan batin. Kebahagiaan yang tidak hanya berdimensi lahiriah melainkan juga
batiniah, kebahagiaan juga tidak hanya dinikmati oleh segundukan kecil elite masyarakat,
melainkan juga bisa dirasakan oleh rakyat secara keseluruhan dengan relative sama rata dan
sama rasa.
Oleh para penggagasnya, kooperasi diyakini bisa mendidik semangat percaya pada diri
sendiri, memperkuat kemauan bertindak dengan dasar “self-help”. Dengan kooperasi, rakyat
seluruhnya dapat ikut serta membangun, berangsur-angsur maju dari yang kecil melalui yang
sedang, sampai akhirnya ke lapangan perekonomian yang besar. Tenaga-tenaga ekonomi yang
lemah lambat laun disusun menjadi kuat. Peran negara dibutuhkan, oleh karena untuk
mencapai hal itu diperlukan didikan, latihan dan pimpinan dari Pemerintah, dengan
menunjukkan bidang-bidang ekonomi mana yang harus digarap berangsur-angsur. Kooperasi
dapat pula menyelenggarakan pembentukan capital nasional dalam jangka waktu yang lebih
cepat, dengan jalan menyimpan sedikit demi sedikit tetapi teratur.
Sebab itu, kooperasi dianggap suatu sarana yang efektif untuk membangun kembali
ekonomi rakyat yang tertinggal. Kooperasi merasionalkan perekonomian karena
menyingkatkan jalan antara produksi dan konsumsi. Dengan adanya kooperasi produksi dan
kooperasi konsumtif yang teratur dan bekerja baik, perusahaan perantaraan yang sebenarnya
tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan memahalkan harga, dapat disingkirkan.
Tenaga-tenaga ekonomi yang tersingkirkan karena itu, dapat dialirkan kepada bidang
produksi yang lebih produktif. Antara pabrik pupuk dan kooperasi produksi (pertanian) tidak
perlu ada organisasi lain. Kooperasi pertanian dapat langsung memesan keperluannya akan
pupuk ke pabrik pupuk. Sampainya pupuk pada kooperasi tani dapat pula diatur pada
waktunya. Karena itu, produsen memperoleh upah yang pantas bagi jerih-payahnya dan
konsumen membayar harga yang murah.
Orientasi perekonomian yang mengarah pada keadilan sosial melalui pemerataan
kesempatan dan jaminan sosial inilah yang menjadi misi dari negara kesejahteraan Indonesia.
Negara kesejahteraan Indonesia diharapkan bisa menghadirkan kebijakan ekonomi yang dapat
menjaga iklim persaingan yang fair, berinvestasi dalam public goods, serta membela yang
lemah melalui pemberian jaminan sosial.
29
Persaingan yang fair ditumbuhkan melalui pembagian peran di antara pelbagai jenis
badan usaha, serta semangat tolong-menolong (kooperasi) di semua bentuk dan rantai
perekonomian, serta kerangka hukum dan regulasi yang berkeadilan-yang mencegah
terjadinya monopoli/oligopoly orang seorang. Negara juga dituntut untuk mengembangkan
sarana dan prasarana public yang dapat diakses oleh semua, yang dapat mengembangkan
kesempatan kerja serta mencegah terjadinya asimetri informasi melalui kewajiban
mengembangkan pendidikan yang bisa diakses oleh semua. Inilah pesan pokok dari pasal 27
(2) dan pasal 31, bahwa “Tiap-tiap Warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan,”dan “Tiap-tiap Warga negara berhak mendapat pengajaran.”
Selain melalui pendidikan, negara kesejahteraan Indonesia juga berusaha mengatasi
kesenjangan sosial yang lebar dengan menerapkan apa yang disebut John Rawls sebagai
“prinsip perbedaan” (the principle of difference), yaitu bahwa setiap orang harus diperhatikan
setara (principle of equal liberty), kecuali jika dengan kesetaraan perlakuan itu justru
melahirkan ketidakadilan yang lebih besar. Perlakuan khusus perlu diberikan oleh negara
kepada golongan ekonomi lemah, yang menjadi karakteristik dari mayoritas rakyat Indonesia,
baik pada skala ekonomi makro maupun mikro. Pada tingkat ekonomi makro, perlu didorong
politik anggaran yang pro-rakyat serta politik moneter yang memberi akses modal bagi
golongan ekonomi lemah. Pada tingkat mikro, pemerintah perlu memberi perhatian khusus
bagi badan usaha kooperasi serta sector usaha kecil dan menengah.
Selain itu, perlu adanya jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesehatan dan
ketenagakerjaan, tunjangan hari tua, pengajaran, pemenuhan kebutuhan dasar minimum,
terutama bagi orang-orang yang hidup di garis kemiskinan. Inilah pesan yang terkandung dari
pasal 34: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Selain itu,
perlindungan sosial juga diusahakan melalui peran serta dan emansipasi dalam perekonomian.
Dalam pasal 36 Konstitusi RIS dan Pasal 37 UUDS 1950, dinyatakan:
1) Meninggikan kemakmuran rakyat adalah suatu hal terus menerus yang
diselenggarakan oleh penguasa, dengan kewajiban senantiasa menjamin bagi setiap
orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta
kekeluarganya.
2) Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum
dengan peraturan-peraturan Undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan
kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta
dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran negeri.
30
Selain kedua ayat tersebut, dalam UUDS 1950 ada tambahan ayat, yaitu: (3) Penguasa
mencegah adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikulir yang merugikan
ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut, Sjahrir menekankan
agar rakyat Indonesia menjadi lebih produktif. Hal ini pada gilirannya memerlukan
penambahan produksi melalui indutrialisasi. Guna mewujudkan industrialisasi secara baik,
dia mengusulkan pelbagai usaha transformatif:
1. Pengupayaan modal yang terus bertambah
2. Disediakannya alat produksi yang lebih baik serta lebih banyak untuk rakyat
3. Diperbaikinya jalan raya agar menjadi lebih baik
4. Pembangunan gedung-gedung sekolah dan guru-guru yang lebih baik
5. Dibukanya tempat-tempat dan kesempatan untuk melatih generasi muda kita agar
memperoleh keahlian serta pengalaman dalam pelbagai kerja
6. Diperbaikinya rumah sakit dan dokter serta juru rawat, poliklinik dan obat-obatnya
7. Perlunya memperbaiki perumahan rakyat
8. Menciptakan kota dan desa bersih dan sehat (Sjahrir 1982:238)
Sjahrir mengusulkan beberapa langkah dalam memperleh sumber daya yang diperlukan untuk
usaha-usaha perbaikan tersebut, antara lain:
1. Memperbaiki sistem pajak (antara lain melalui sistem pajak progresif)
2. Penanaman modal
3. Penghematan pemakaian dan negara
4. Perbaikan pada usaha yang sudah ada dengan memanfaatkan potensi alam yang
dipunyai Indonesia
5. Transmigrasi (Sjahrir, 1982: 213-276)
Hampir senada dengan gagasan Sjahrir, Hatta selama menjalankan kabinetnya (Desember
1949-September 1950), berusaha memperbaiki kesejahteraan dan sistem jaminan sosial,
antara lain dengan cara:
1. Memperbaiki ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan
kesehatan, mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan pengamatan tenaga
kembali ke dalam msyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum,
pengawasan Pemerintah terhadap kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud demi
kemakmuran seluruh rakyat.
2. Menyempurnakan perguruan tinggi sesuai dengan keperluan masyarakat Indonesia,
membangun pusat kebudayaan nasional dan mempergiat pemberantasan buta huruf di
kalangan masyarakat (Tim Riset PSIK, 2007;309)
31
Dalam menjelaskan Pasal 33 (1,2,3), Panitia Lima menyatakan bahwa pemimpin-
pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kepercayaan
bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang
merata. Ayat-ayat yang terkandung dalam pasal ini pada gilirannya membawa kita pada
pembahasan soal apa yang dikuasai oleh negara dan soal penguasaan negara demi
kemakmuran rakyat itu sendiri. Sebagai akibat dari penguasaa negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat itu dengan sendirinya akan muncul kewajiban negara untuk : (a) segala
bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara
nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, (b) melindungi dan
menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan pelbagai
kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh
rakyat, (c) mencegah segala tindakan dari pihak mana pun yang akan menyebabkan rakyat
tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan
negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak
penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan
(beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Konsep pandangan “dikuasai negara” ini
sebenarnya sangat sejalan dengan pandangan yang pernah muncul di negara ini. Menurut
Bung Hatta, “dikuasai oleh negara” tidak berarti bahwa negara sendiri harus menjadi
penguasa, usahawan atau ordernemer. Sedangkan menurut Muhammad Yamin, “dikuasai oleh
negara” itu termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan
mempertinggi produksi dengan mengutamakan kooperasi. Sementara itu, Panitia Keuangan
dan Perekonomian bentukan BPUPK merumuskan pernyataan ‘dikuasai oleh negara” itu
dalam arti: (a) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman
keselamatan rakyat, (b) semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang
menggantungkan dasar hidupnya ke sana, semakin besar mestinya pesertaan pemerintah
dengan sendirinya perusahaan itu merupakan bangunan korporasi public-itu tidak berarti,
bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi, (c) Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara
dan (d) Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.
32