Tugas CR DSS

29
TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak- anak. Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaaan dengan  peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap daerah. Pada umumnya di Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan Desember sampai dengan April-Mei tiap tahun. DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS ) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian cukup tinggi. Penatalaksanaan DD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif, dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS. Timbulnya DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan pemeriksaan h ematokrit dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS, penatalaksanaannya diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi “leakage” plasma.

Transcript of Tugas CR DSS

Page 1: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 1/29

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis

serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk

Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan

serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat

menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.

Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah kesehatan di

Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang

terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaaan dengan

 peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap

daerah. Pada umumnya di Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan

Desember sampai dengan April-Mei tiap tahun.

DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok

(dengue shock syndrome = DSS ) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan

angka kematian cukup tinggi.

Penatalaksanaan DD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif,

dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS. Timbulnya

DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan pemeriksaan hematokritdan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS, penatalaksanaannya

diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi

“leakage” plasma.

Page 2: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 2/29

Epidemiologi

Di Indonesia demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya

 pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. DiJakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut

dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa

dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau,

Sulawesi Utara dan Bali (1873). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di

Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun1994 DBD telah

menyebar ke seluruh (27) propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis

di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di

 pedesaan.

Walupun angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia cenderung meningkat, suatu

hal yang menggembirakan ialah angka kematian (case fatality rate = CFR) secara

drastis menurun dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 3% pada tahun 1984. Sejak

tahun 1991 CFR terlihat stabil di bawah 3%. Pada umumnya letusan atau wabah

di daerah yang sebelumnya belum terjangkit DBD, CFR-nya tinggi, sedangkan di

daerah/kota endemis CFR-nya mempunyai kecenderungan rendah. Pada tahun

Page 3: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 3/29

1998 kasus DBD dilaporkan meningkat di atas 14 propinsi, sedangkan 12 propinsi

melaporkan penurunan kasus.

Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas dan mortalitas DBD

yang dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan disebabkan oleh berbagai

faktor, antara lain status umur penduduk, kerpadatan vektor, tingkat penyebaran

virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis.

Secara keseluruhan terdapat tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita,

tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak-anak laki-laki.

Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan

 jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-

95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang di

golongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD

terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih

dari 15 tahun sejak tahun1984 meningkat.

Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu Jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan

September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari.

Vektor DBD

Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara

 positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor

DBD telah diselidiki dan  Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai

vektor terpenting.

 Nyamuk  Aedes aegypti  pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian

menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. Nyamuk  Aedes aegypti

hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang

tidak langsung berhubungan dengan tanah. Nyamuk ini tersebar diseluruh pelosok

Page 4: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 4/29

tanah air kecuali wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas

 permukaan laut.

Perkembangan hidup nyamuk  Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukanwaktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap

darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Umur nyamuk  

 Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1 ½

 bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di sekelilingnya. Kemampuan

terbangnya sejauh 2 km, walupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek

 berkisar antara 40-100 m dari tempat perkembang-biakannya. Tempat istirahat

yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah,

seperti gordyn, kelambu dan baju/pakian di kamar yang gelap dan lembab.

Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana banyak

terdapat genangan air bersih yang dapat menjjadi tempat perkembang-biakannya.

Virus Dengue

Di Indonesia virus dengue (DEN) tipe 1, 2, 3 dan 4 telah berhasil diisolasi daridarah penderita. Di Jakarta, daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita

DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus dengue tipe 3.

Survai virologis penderita DBD telah dilakukan di beberapa rumah sakit di

Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus

dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat.

Selama 17 tahun, serotipe yang mendominasi ialah Dengue serotipe 2 atau 3.

Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama

kali mungkin memberi gejala seperti DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang

 biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila

seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan.

Page 5: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 5/29

Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga

menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi)

yang tinggi.

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal

sebagai berikut :

1.  Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat

dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya

 plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat

 berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun

masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa

renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya

anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung

inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya

dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi

tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan

histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yangmeningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DBD.

2.  Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami

metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan

dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat

trombositopenia hebat dan perdarahan.

Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif

(histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler

dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi

intravaskular.

3.  Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir

terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi

ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam

 pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin

Page 6: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 6/29

degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem

kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding

 pembuluh darah.

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari

ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya

reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:

1.  Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag

dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.

2.   Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik

 pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus

dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.

Page 7: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 7/29

3.  Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus

yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS

ialah jumlah sel yang terinfeksi.

4.  Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated

intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya

mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.

Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan

aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding

 pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan

gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh

 badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin

terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar  – kelenjar getah

 bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darahdibawah kulit.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan

DF dengan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena

 pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein

yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat mengurangnya volum

 plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan

renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan

demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat,

volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan

ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan

 perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,

Page 8: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 8/29

 bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan

kematian.

Perdarahan pada DBD umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguanfungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda

dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan

meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial.

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis

dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati

yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi.

DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DBD tanpa renjatan. Pada

awal DBD pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma,

tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan

memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.

Page 9: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 9/29

MANIFESTASI KLINIS dan DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis

Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan manifestasi

demam yang tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, sampai

dengue syok sindrom. Infeksi oleh satu serotipe dapat memberikan imunitas

untuk serotipe yang sama, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Manifestasi

klinis tergantung dari usia, status imun dari penderita, strain virus.

Undifferentiated fever : bayi, anak, maupun orang dewasa yang terinfeksi

virus dengue untuk pertama kali akan menjadi demam yang tidak spesifik

dengan demam yang disebabkan virus. Makulopapular akan tampak selama

demam atau sampai demam turun.

Demam Dengue : Terjadi pada anak yang lebih tua dan orang

dewasa. Umumnya demam bifasik dengan disertai nyeri kepala, mialgia,

artralgia, rash, dan leukopeni. Pada orang dewasa disertai dengan nyeri otot dan

sendi yang sangat hebat, dan terkadang disertai perdarahan.

Page 10: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 10/29

Demam Berdarah Dengue : Demam berdarah dengue biasanya terjadi pada

anak dibawah usia 15 tahun., dan pada orang dewasa. DHF ditandai dengan

demam mendadak dan gejala yang tidak spesifik. Disertai perdarahan dan dapat

 berkembang menjadi dengue syok sindrom. Patofisiologi demam berdarah

dengue berupa perdarahan abnormal dan kebocoran plasma dengan ditandai

hemokonsentrasi dan trombositopeni. DHF biasanya terjadi pada anak dengan

infeksi dengue sekunder, tetapi bisa juga sebagai infeksi dengue primer

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO

tahun 1997).

Kriteria Klinis

a.  Demam Dengue

Masa inkubasi rata-rata 4-6 hari dalam 3-14 hari, gejala yang tidak khas seperti

nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise. Dapat disertai nyeri retro orbital,

mialgia, nyeri sendi

Demam : 39˚C-40˚C, demam biphasik dan menetap selama 5-7 hari

Rash : ruam terdapat pada wajah,leher, dada selama demam hari kedua dan

ketiga. Dan mulai mencolok pada hari ketiga keempat berupa maculopapular.

Pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul ptekie dapat dijumpai area kulit

normal berupa bercak keputihan, kadang-kadang disertai rasa gatal.

Perdarahan kulit pada demam dengue terbanyak adalah uni torniquet positif

dengan atau tanpa ptekie. Perdarahan seperti epistaksis, perdarahan saluran

cerna jarang terjadi.Kriteria Laboratoris pada DD:

- Nilai WBC normal, leukopeni dapat dijumpai selama demam

- Jumlah trombosit normal (100.000-150.000)

- Peningkatan hematokrit ringan (≈10%) bisa ditemukan sebagai akibat dari

dehidrasi karena demam yang tinggi, muntah, dan asupan makan yang kurang

- Harus dipertimbangkan pemakaian analgetik, antipiretik, anti emetik, dan

antibiotik dapat mengganggu fungsi hati dan pembekuan darah

Page 11: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 11/29

b. Demam berdarah dengue dan dengue syok sindrom

Kasus DHF ditandai dengan demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, sirkulasi

terganggu sampai syok. Disertai dengan trombositopeni dan peningkatan

hematokrit (hemokonsentrasi). Yang membedakan DHF dengan DF maupun

infeksi virus lainnya yaitu adanya kebocoran plasma pada pleura dan

 peritoneum. Temuan klinis pada DHF ditandai dengan demam mendadak tinggi

diikuti dengan muka kemerahan, dan gejala lain yang hampir sama dengan

demam dengue seperti anoreksia, muntah, nyerikepala, dan nyeri otot maupun

sendi. Nyeri epigastrium maupun nyeri perut kanan atas. Demam tinggi dan

hampir berlangsung selama 2-7 hari sebelum menjadi normal. Demam bisa

mencapai 40°C dan kejang bisa terjadi. Demam biphasik dapat diamati.

Uji torniquet positif (≥10 spots/square inch), ptekie dapat ditemukan pada

ekstremitas, aksila, dan wajah pada fase awal demam. Epistaksis dan perdarahan

gusi kurang lazim. Pedarahan gastrointestinal perlu diobservasi bisa saja terjadi

akibat ulkus peptikum, hematuri jarang terjadi. Hepar biasanya teraba pada awal

demam, sekitar 2-4cm di bawah arcus costae dextra. Ukuran hepar tidak

dikorelasikan dengan beratnya penyakit, tetapi hepatomegali sering terjadi pada

kasus syok. Splenomegali dapat diamati pada bayi di bawah 12 bulan dengan

 pemeriksaan radiologi. Efusi pleura dapat dihubungkan dengan beratnya

 penyakit, USG dapat mendeteksi efusi pleura dan asites.

Fase kritis pada DHF dimulai pada fase febris ke afebris. Bukti adanya

kebocoran plasma dengan adanya efusi atau asites, walaupun pada fase awal

atau DHF ringan, plasma leakage sulit dideteksi. Peningkatan hematokrit 10% to15% dapat menjadi bukti adanya plasma leakage. Bahkan pada kasus syok

sebelum terapi cairan, efusi pleura dan asites tidak terdeteksi. Kebocoran plasma

akan terdeteksi sebagai perkembangan penyakit atau sesudah terapi cairan.

Pada akhir fase demam dalam waktu singkat setelah suhu turun atau antara 3-7

hari demam, terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa kuli menjadi

dingin, lembab, dan nadi lemah dan cepat. Walaupun beberapa pasien tampak

Page 12: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 12/29

letargi, biasanya menjadi gelisah dan syok. Nyeri abdomen akut terjadi sebelum

fase syok.

Syok ditandai dengan nadi cepat lemah, dengan tekanan nadi ≤20mmHg

dengan peningkatan tekanan diastolik (100/90 mmHg), atau hipotensi. Tanda

dari gangguan perfusi capillary refill time >3 detik, kulit dingin dan lembab,

gelisah.Tanpa penatalaksanaan yang tepat pasien dapat meninggal dalam 12-24.

Masa penyembuhan DHF

Diuresis dan kembalinya nafsu makan merupakan tanda penyembuhan dan

merupakan indikasi untuk menghentikan terapi cairan.

Kriteria Laboratoris

- Jumlah WBC bisa normal

- Jumlah trombosit dapat normal pada awal demam. Jumlah trombosit yang

menurun di bawah 100 000 terjadi di akhir demam sebelum fase syok atau

demam yang berkurang.

- Hematokrit normal pada fase awal demam. Hematokrit meningkat sekitar

20% menandakan adanya kebocoran plasma misal 35% menjadi ≥42% 

Manifestasi Klinis untuk DHF/DSS

- Demam : mendadak, tinggi, dan terus menerus antara 2-7 hari

- Manifestasi perdarahan uji torniquet positif, ptekie, purpura, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis/melena

- Hepatomegali

- Syok, manifestasi berupa takikardi, nadi lemah, tekanan darah ≤20mmHgdengan diikuti kulit dingin lembab dan gelisah

Temuan laboratoris

- Thrombocytopenia ≤100 000

- Haemokonsentrasi; peningkatan hematokrt ≥20%.

Page 13: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 13/29

Kriteria klinis untuk diagnosa klinis DHF yaitu trombositopeni dan peningkatan

hematokrit. Hepatomegali merupakan kriteria klinis tambahan sebelum adanya

kebocoran plasma.

DIAGNOSIS 

Menetapkan diagnosis DHF saat ini masih menggunakan rumusan dari WHO

(1975), yaitu : 2 atau lebih kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat

 bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu

diantaranya ialah panas). Ternyata dengan menggunakan kriteria WHO di atas

maka ketetapan diagnose berkisar 70-90%.

Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam mendadak 2-7 hari

disertai 2 atau lebih tanda:

sakit kepala, Nyeri retro-

orbital, Mialgia, Atralgia.

  Leukopenia

  Trombositopenia, tidak

ditemukan bukti kebocoran

 plasma.

DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif.

  Trombositopenia(<100.000/μl), bukti ada

kebocoran plaasma.

DBD II Gejala di atas ditambah

 perdarahan spontan.

  Trombositopenia

(<100.000/μl), bukti ada

kebocoran plaasma.

DBD III Gejala di atas ditambah

kegagalan sirkulasi (kulit

dingin, nadi cepat dan lemah,

tekanan nadi menurun (20

mmHg) / hipotensi (sistolik

80 mmHg) dan lembab serta

gelisah).

  Trombositopenia

(<100.000/μl), bukti ada

kebocoran plaasma.

DBD IV Syok berat disertai dengan

tekanan darah dan nadi tidak

terukur dapat disertai

 penurunan kesadaran,

sianosis dan asidosis.

  Trombositopenia

(<100.000/μl), bukti ada

kebocoran plaasma.

Page 14: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 14/29

*DBD derajat III dan IV juga disebut sindroma syok dengue (SSD)

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)

Menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan DBD derajat 3 dan 4 dengan tanda-

tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.

Patofisiologi

Patofisiologi yang terutama pada DSS ialah terjadinya peninggian permeabilitas

dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan

 plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke

dalam ruang interstitial sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,

hipoproteinemia, efusi cairan ke rongga serosa.

Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang

sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan

hipovolemia ini bila tidak diatasi dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis

metabolic, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.

Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous

 pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan.

Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:

1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda

syok disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.

2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan

nadi menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya

tekanan sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol.

3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock)  yaitu tekanan darah tidak

terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis.

4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases)   yaitu tekanan darah tidak

terukur lagi disertai sianosis dan asidosis.

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik

klinik pada penderita DSS menurut Wong:

Page 15: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 15/29

1.  Clouding of sensorium

2.  Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah

menurun.

3.   Nyeri perut.

4.  Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,

hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.

5.  Trombositopenia berat.

6.  Adanya efusi pleura pada toraks foto.

7.  Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Tatalaksana

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi

suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan

hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan

yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus

tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk

mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.

Tatalaksana DBD dibagi atas 3 fase berdasarkan perjalanan penyakitnya:

1. Fase Demam terapi simptomatik dan suportif.

1.  Parasetamol 10 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam (aspirin dan ibuprofen

dikontraindikasikan). Kompres hangat diberikan apabila pasien masih

tetap panas.

2.  Terapi suportif yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, jus buah

atau susu dan lain-lain.3.  Apabila pasien memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi dan muntah hebat,

 berikan cairan sesuai kebutuhan dan apabila perlu berikan cairan

intravena.

Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien DBD akan

memasuki fase kritis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan

intravena, sedangkan kasus berat akan jatuh ke dalam fase syok.

Page 16: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 16/29

2. Fase Kritis (berlangsung 24-48 jam), sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5

 perjalanan penyakit. Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan

minum oleh karena anoreksia atau dan muntah.

A.  Tatalaksana umum

 Rawat di bangsal khusus atau sudut tersendiri sehingga pasien mudah

diawasi. Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar

khusus.

 Berikan oksigen pada kasus dengan syok.

 Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat.

B.  Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti:

  Bayi.

  DBD derajat III dan IV.

  Obesitas.

  Perdarahan masif.

  Penurunan kesadaran.

  Mempunyai penyulit lain, seperti Thalasemia dll.

C.  Tatalaksana cairan

Indikasi pemberian cairan intravena:

  Trombositopenia, peningkatan Ht 10-20%, pasien tidak dapat makan

dan minum melalui oral.

  Syok.

Jenis cairan pilihan:

  Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya: ringer laktat dan ringer

asetat terutama pada fase syok)

  Koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok

 berkepanjangan)

Jumlah Cairan:

  Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan

ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang.

  Pasien dengan berat badan (BB) lebih dari 40kg, total cairan intravena

setara dengan 2 kali rumatan.

Page 17: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 17/29

  Pada pasien obesitas,perhitungkan cairan intravena berdasar atas BB

ideal.

Tetesan:

  Pada kasus non syok

BB < 15 kg 6-7 ml/kgBB/jam

BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam

BB > 40 kg 3-4 ml/kgBB/jam

  Pada kasus DBD derajat III mulai dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam.

  Pada kasus DBD derajat IV, untuk resusitasi diberikan cairan RL 10

ml/kgBB dengan tetesan lepas secepat mungkin (10-15 menit) kalau

 perlu dengan tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat

diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kgBB/jam.

Page 18: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 18/29

 

Page 19: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 19/29

 

*Tatalaksana penderita DBD derajat I dan II dengan peningkatan hematokrit

>20%

Page 20: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 20/29

 

Page 21: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 21/29

D. Penatalaksanaan pada DSS

1.  Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-

20 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan

oksigen 2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan

tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid.

Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6

 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.

2.  Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat

tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)

atau koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid

diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan

secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap

15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit

dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan

koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan

 peningkatan tekanan nadi lebih cepat. 

3.  Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar

hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan

cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap

dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit

menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai

keadaan klinis dan  hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan

diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian

cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi,

tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin>1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit

tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.

4.  Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun

tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB.

Apabila tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan

lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP

Page 22: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 22/29

(dipertahankan 5-8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan,

sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan. 

5.  Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui

kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin.

Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin. 

Page 23: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 23/29

  DSS

Oksigenasi (berikan 02 2-4 liter/menit Penggantian volume plasma segera

(cairan kristaloid isotonis) RL/NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB secepatnya

(bolus dalam 30 menit)

Lanjutkan cairan

15-20 ml/kgBB/jam

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?

Pantau tanda vital tiap 10 menit, catat balans

cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Kesadaran membaik

 Nadi teraba kuat

Tekanan nadi > 20 mmHg

Tidak sesak nafas/sianosis

Ekstrimitas hangat

Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Kesadaran menurun

 Nadi lembut/tidak teraba

Tekanan nadi < 20 mmHg

Distres pernafasan/sianosis

Kulit dingin dan lembab

Ekstrimitas dingin

Periksa kadar gula daarah

Cairan dan tetesan disesuaikan

10 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat

Tanda vital

Tanda perdarahan

Diuresis

Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak melebihi 48 jam

Syok teratasi

Tambahkan koloid/plasma

Dekstran/FFP

10-20 (max 30) mi/kgBB

Koreksi asidosis

Evaluasi 1 jam

Syok belum teratasi

HtHt tetap tinggi naik koloid

Transfusi darah segar 10 ml/kgBB 20 ml/kg BB dapat diulang

sesuai kebutuhan

Page 24: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 24/29

Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah

resusitasi. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi

merupakan parameter penting untuk pemberian cairan selanjutnya. Akan tetapi

kemudian, semua parameter sekaligus harus diperhatikan sebelum mengatur

 jumlah cairan yang akan diberikan.

Parameter pemberian cairan yang harus diperhatikan adalah :

- Kondisi klinis : penampilan umum, pengisian kapiler, nafsu makan dan

kemampuan minum pasien.

- Tanda vital : Tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nafas.

- Hematokrit.

- jumlah urine

Indikasi transfusi darah adalah :

- Perdarahan saluran cerna berat (melena).

- Kehilangan darah bermakna, yaitu > 10% volume darah total. (Total

volume darah = 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Apabila

 packed red cell (PRC) tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah

segar.

- Pasien dengan perdarahan tersembunyi. Penurunan Ht dan tanda vital

yang tidak stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume

yang cukup banyak, berikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali atau PRC

5 ml/kgBB/kali

Indikasi transfusi trombosit adalah :

 Hanya diberikan pada perdarahan masif. Dosis: 0.2 μ/kgBB/dosis 

3. Fase penyembuhanSetelah masa kritis terlampaui maka pasien akan masuk dalam fase

maintenance/penyembuhan, pada saat ini akan ada ancaman timbul keadaan

“overload” cairan. Sehingga pemberian cairan intravena harus diberikan dalam

 jumlah minimal hanya untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi intra vaskuler,

sebab apabila jumlah cairan yang diberikan berlebihan, akan menimbulkan

kebocoran ke dalam rongga pleura, abdominal, dan paru yang akan

menyebabkan distres pernafasan yang berakibat fatal.

Page 25: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 25/29

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi

dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk ke dalam fase

 penyembuhan adalah :

- Keadaan umum membaik.

- Meningkatnya nafsu makan

- Tanda vital stabil

- Ht stabil dan menurun sampai 35-40%.

- Diuresis cukup

4. Indikasi Pulang

- 24 jam tidak pernah demam tanpa antipiretik

- secara klinis tampak perbaikan

- Nafsu makan baik

- Nilai Ht stabil

- Tiga hari sesudah syok teratasi

- Tidak ada sesak nafas atau takipnea

- Trombosit ≥ 50.000/μl. 

Pemeriksaan Penunjang.

1.  Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar

hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya

limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.Parameter laboratorium yang dapat diperiksa:

-  Leukosit: dapat normal atau menurun.

Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total

leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah

total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

-  Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat

depresi sumsum tulang.

Page 26: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 26/29

-  Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya

 peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan

mulai hari ke-3.

-  Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau

FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan

 pembekuan darah.

-  Imunoserologi

~  Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM

IgM IgG Interpretasi

+ - Infeksi primer

+ + Infeksi sekunder

- + Riwayat terpapar/ dugaan infeksi

sekunder

- - Bukan infeksi Flavivirus, ulang

3-5 hari bila curiga.

~  Uji HI: ≥ 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus 

-  Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

-  SGOT/SGPT dapat meningkat.

-  Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.

-  Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan

keadaan pasien.

-  Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan.

-  Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi

darah untuk keamanan pasien.2.  Pemeriksaan Radiologis

-  Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama

 pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat,

efusi dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada

sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada

dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan

klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.

Page 27: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 27/29

-  USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.

Komplikasi

Ensefalopati dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan

dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.

Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat

menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat

sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh

darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang

menyeluruh. Virus dengue dpat menembus sawar darah otak, tetapi sangat jarang

dapat menginfeksi jaringan otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati

 berhubungan dengan kegagalan hati akut.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau

somnolen, dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS.

Apabila pada pasien syok terjadi ensefalopati , syok harus diatasi terlebih dahulu.

Pungsi lumbal dilakukan apabila syok sudah teratasi dan kesadaran tetap menurun

(hati-hati apabila trombosit <50.000/uL). Pada ensefalopati dengue dijumpai

 peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar

gula darah turun, alkalosis pada AGD, dan hiponatremia.

Kelainan Ginjal

GGA pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang

tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupn

 jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati denganmenggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah

teratasi dengan baik. Oleh karena apabila syok belum teratasi dengan baik,

sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada

keadaan syok beratsering kali dijumpai acute tubular nekrosis, ditandai dengan

 penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Page 28: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 28/29

Udem Paru

Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian

cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima

sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak menyebabkan udem paru oleh

karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadinya reabsorbsi

 plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan secara berlebih. Pasien

akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan

ditunjang dengan gambaran udem paru harus dibedakan dengan pendarahan paru.

Prognosis

Tergantung dari beberapa factor seperti, lama dan beratnya renjatan, waktu,

metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya recurrent shock yang terjadi

terutama dalam 6 jam pertama pemberian infuse dimulai, panas selama renjatan,

dan tanda-tanda serebral. Bila tidak disertai dengan renjatan, maka prognosanya

 baik, biasanya dalam 24-36 jam cepat menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam

 belum ada tanda-tanda perbaikan maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosa

menjadi lebih buruk.

Langkah Promotif / Preventif.

Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya

dengan melakukan tindakan 3M, yaitu:

  Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali

atau menaburkan bubuk larvasida (abate).

  Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.  Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.

Page 29: Tugas CR DSS

7/18/2019 Tugas CR DSS

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 29/29

DAFTAR PUSTAKA

1. Choundry SP, Gupta RK, Kishan J. 2004 : Dengue shock syndrome in

newborn, a case series. J Ind Pediatr;41:397-9.

2. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana

Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

3. Hadinegoro SRH, Satari HI. 2005. (eds) : Demam Berdarah Dengue, Naskah

Lengkap. Jakarta : Balai Penerbit FK UI:1-80.

4. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

5. Nusirwan Acang. 2009. Pemberian Cairan Pada Demam Berdarah Dengue.

Sub Bagian Petri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-Unand/RS Dr. M. Djamil

Padang. Available from: http://papdiplg.multiply.com/journal (diakses 8 April

2012).

6. Soedarmo SS, dkk. 2010. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan

Pediatric Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 155-180

7. SEARO,WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of

dengue and dengue haemorrhagic fever. From

http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf (diakses 4 Desember 2013).

8. Willis BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh LTT et al.

2005. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock

syndrome. N Engl J Med;353:877-89.

9. Willis BA. 2001: Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue

Bulletin. 2001; 25: 50-4.

10. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit

Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi

Indonesia. Jakarta: Depkes RI.