Tugas Akhir Tsf

download Tugas Akhir Tsf

of 23

Transcript of Tugas Akhir Tsf

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM BIOANALISIS TUGAS TEKHNOLOGI SEDIAAN FARMASI RANITIDIN HCL 150 mg

Disusun Oleh :

Harisa Nidha K. Resti Mahlifati A. Hanif Hafiidh S Pramita Purbandari

G1F009011 G1F009012 G1F009013 G1F009014

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO

2012

BAB I MONOGRAFI DAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Monografi Ranitidin

Ranitidin tablet mengandung ranitidin hidroklorida dengan jumlah setara tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah label dari ranitidine. Tempat penyimpanannya pada wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya (USP, 2007).

B. Perundang-undangan Ranitidin Di Indonesia sendiri, perubahan golongan obat tercantum dalam Permenkes No.925 Tahun 1993 dan Permenkes No. 1176 Tahun 1999. Permenkes No.925 Tahun 1993 tentang Perubahan Golongan OWA No.1, memuat perubahan golongan obat terhadap daftar OWA No. 1, beberapa obat yang semula OWA atau Obat Keras berubah menjadi Obat Bebas Terbatas atau Obat Bebas, disertai keterangan batasannya, contoh Hexetidine semula OWA menjadi Obat Bebas Terbatas dengan pembatasan sebagai obat luar untuk mulut dan tenggorokan (kadar < 1%). Perubahan OWA atau Obat Keras menjadi Obat Bebas atau Obat Bebas Terbatas diharapkan agar obat tersebut lebih mudah diakses pasien dan dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah tapi tentunya dengan beberapa pertimbangan, khususnya dari segi keamanan penggunaan obat tersebut. Obat Keras atau OWA bisa berubah menjadi Obat Bebas atau Obat Bebas Terbatas setelah data keamanan obat tersebut sudah benar-benar lengkap. Sebaliknya, OTC dapat juga berubah menjadi obat ethical jika OTC tersebut memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. Peraturan tentang OWA di Indonesia terdiri dari: 1. Kepmenkes No.347 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek (OWA) No.1, berisi daftar obat yang dapat diserahkan tanpa resep oleh apoteker di apotek, mencakup oral kontrasepsi, obat saluran cerna (antasida, anti-spasmodik, anti-spasmodik analgetik, anti mual, laksan), obat

mulut dan tenggorokan, obat saluran napas (obat asma, sekretolitik/mukolitik), obat sistem neuromuscular (analgetik antipiretik, antihistamin), antiparasit (obat cacing), obat kulit topikal (antibiotik topikal, kortikosteroid topikal, antiseptik lokal, antifungi lokal, anestesi lokal, enzim antiradang topikal, pemucat kulit. 2. Permenkes No.919 Tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit, penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, dan obat memiliki rasio kemanfaatan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. 3. Permenkes No.924 Tahun 1993 tentang OWA No.2, peraturan ini memuat tambahan daftar OWA yang dapat diserahkan apoteker. 4. Permenkes No.925 Tahun 1993 tentang perubahan golongan OWA No.1, memuat perubahan golongan obat terhadap daftar OWA No. 1, beberapa obat yang semula OWA berubah menjadi obat bebas terbatas atau obat bebas, selain itu juga ada keterangan pembatasannya. 5. Kepmenkes No. 1176 Tahun 1999 tentang OWA No.3 Sedangkan ranitidine sendiri termasuk ke dalam obat golongan OWA No. 3. Berikut ini adalah lampirannya.

Lampiran 1 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1176/Menkes/SK/X/1999 Tanggal : 7 Oktober 1999 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 3

DAFTAR OBAT KERAS YANG DAPAT DISERAHKAN TANPA RESEP DOKTER OLEH APOTEKER DI APOTIK (DAFTAR OBAT WAJIB APOTIK NO. 3)

BAB II ANALISIS FARMAKOLOGI

A. Mekanisme Ranitidin Ranitidin termasuk senyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan reversible dengan H2 di sel parietal, menyebabkan berkurangnya produksi sitolitik siklik AMP dan sekresi histamine yang menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetikolin dan gastrin yang menstimulasi sekresi asam. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari simetidine. Ranitidin digunakan untuk profilaksis. Reseptor H2 terdapat dilambung, pembulu darah (menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik positif). Antagonis reseptor H2 menghambat secara sempurna sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh histamine maupun gastrin, tetapi menghambat secara parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh asetilkolin. Hal tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme sintesis asam lambung di sel parietal. Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi oleh makanan, insulin, kafein, dan nocturnal. Antagonis reseptor H2 mengurangi volume cairan lambung dan konsentrasi H+. seluruh senyawa yang termasuk antagonis reseptor H2 efektif menyembuhkan tukak lambung maupun tukak duodenum. Secara umum kekambuhan setelah diterapi umumnya berhenti 60-100% (Katzung, 1997).

B. Farmakokinetika Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar pada ginjal.Pada ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin 25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15 %. Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30 % yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal (Ganiswarna, 1995). C. Farmakodinamik Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga pada pemberian ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik atau gastrin. Ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun (Ganiswarna, 1995). D. Efek samping 1. Sakit kepala 2. Susunan saraf pusat, jarang terjadi: malaise, pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi. 3. Kardiovaskular, jarang dilaporkan: aritmia seperti takikardia, bradikardia, atrioventricular block, premature ventricular beats. 4. Gastrointestinal, konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut. Jarang dilaporkan: pankreatitis. 5. Muskuloskeletal, jarang dilaporkan: artralgia dan mialgia. 6. Hematologik, leukopenia, granulositopenia, pansitopenia, trombositopenia (pada beberapa penderita). Kasus jarang terjadi seperti agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik pernah dilaporkan. 7. Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh: bronkospasme, demam, eosinofilia), anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit peningkatan kadar dalam kreatinin serum (Anonim, 2011).

E. Dosis Ranitidin oral1.

150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali sehari sesudah makan malam atau sebelum tidur, selama 4 8 minggu.

2.

Tukak lambung aktif 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) selama 2 minggu.

3.

Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak 12 jari dan tukak lambung Dewasa : 150 mg, malam hari sebelum tidur.

4.

Keadaan hipersekresi patologis (Zollinger - Ellison, mastositosis sistemik) Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari dengan lama pengobatan ditentukan oleh dokter berdasarkan gejala klinik yang ada. Dosis dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita. Dosis hingga 6 g sehari dapat diberikan pada penyakit yang berat.

5. 6. 7. 8.

Refluks gastroesofagitis Dewasa: 150 mg, 2 kali sehari. Esofagitis erosif Dewasa: 150 mg, 4 kali sehari. Pemeliharaan dan penyembuhan esofagitis erosif Dewasa: 150 mg, 2 kali sehari. Dosis pada penderita gangguan fungsi ginjal Bila bersihan kreatinin < 50 mL / menit: 150 mg / 24 jam. Bila perlu dosis dapat ditingkatkan secara hati-hati setiap 12 jam atau kurang tergantung kondisi penderita.

9.

Hemodialisis menurunkan kadar Ranitidin yang terdistribusi (Anonim, 2011).

BAB III FARMASETIKA

A. Preformulasi 1. Zat Aktif : a. Ranitidin Hidroklorida Ranitidin tablet mengandung ranitidin hidroklorida dengan jumlah setara tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah label dari Ranitidin (USP, 2007).

2. Zat tambahan : a. Magnesium stearat Magnesium stearat mengandung tidak kurang dari 6,5 % dan tidak lebih dari 8,5 % magnesium oksida dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Magnesium stearat mempunyai pemerian yaitu serbuk halus, berwarna putih, licin dan mudah melekat pada kulit, bau lemah khas, praktis tidak larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan dalam eter P (Anonim, 1979). b. Microcristaline selulosa atau Avicel 1). Rumus empiris dan berat molekul (C6H10O5)n 36 000 2). Fungsi Adsorben, suspending agent, pengisi kapsul dan tablet, disntegran pada tablet 3). Aplikasi pada formulasi dan teknologi farmasetik Microcrystalline cellulose secara luas digunakan sebagai pengisi pada tablet oral dan kapsulbaik dengan granulasi basah ataupun komprsi langsung. Selain itu, microcriytalline cellulose juga digunakan sebagai lubrikan dan disintegran yang sangat berguna saat pembuatan tablet. 4). Pemerian Microcrystalline cellulose dimurnikan, depolimerasi selulosa sebagian dengan deskripsi; putih, tak berbau, tak berasa, bubuk kristal dengan partikel berpori. Secara komersial tersedia dengan ukuran, tingkat kelembapan berbeda untuk aplikasi yang berbeda

5). Stabilitas dan kondisi penyimpanan Microcrystalline cellulose tabil meskipun higrospik. Tempatkan ditempat yang tertutup dengan baik, sejuk dan kering. 6). Inkompatibilitas Microcrystalline cellulose inkompatibel dengan agen oksidasi kuat (Anonim, 1986). c. Pregelatinized starch atau Starch 1500 Starch 1500 merupakan partially pregelatin starch (Kibbe, 2006) Pregelatin starch adalah hasil modifikasi amilum dengan cara hidrolisis dan penghancuran sebagian butiran amilum. Sifatnya lebih baik dibandingkan amilum murni (Sulaiman, 2007). Starch 1500, berdasarkan atas proses perbuatannya, masih tetap membawa sifat hancur dari amilum jagung. Sifat ini membuatnya dapat digunakan sebagai bahan penghancur baik penghancur dalam atau penghancuran luar dari formulasi tablet (Bandelin, 1989). Penggunaan dalam konsentrasi 2 10 % mempunyai aktifitas yang sama seperti superdisintegrant (Anonim, 2007) 1). Mekanisme kerja disintegrasi oleh starch a) Dengan membentuk pathways dalam matriks tablet sehingga air dapat masuk melalui pori (kapiler) sehingga menghancurkan tablet b) Starch mengembang ketika terekspos oleh air c) Saat pengempaan, terjadi distorsi pada bentuk starch; ketika terekspos oleh air, terjadi rekoveri bentuk starch (Lachman, et all, 1994). 2). Pemakaian 3-15 %, merupakan disintegran yang paling umum digunakan. Pemakaiannya disesuaikan dengan jenis starch, tekanan pengempaan, dan kandungan air massa cetak 3). Kelarutan Praktis tidak larut dalam etanol dingin (95%) dan dalam air dingin 4). pH 5,5-6,5 pada 25C (2% w/v aqueous dispersion of corn starch) 5). Stabilitas dan Penyimpanan Penyimpanan di tempat yang sejuk, kering, dan dalam wadah kedap udara.

6). Keamanan Starch merupakan senyawa makanan yang dapat dimakan yang dikenal secara luas keamanannya. 7). Perhatian khusus Simpan dalam tempat yang bersih, kering, dan ruang berventilasi baik. Sebelum digunakan, harus dikeringkan pada suhu 80-90 C untuk menghilangkan air yang terabsorpsi. d. Fumed Silica atau Aerosil 1. Nama lain koloidal silika, Cab-O-Sil, silika, koloidal silikon dioksida 2. Rumus empiris SiO2 3. Berat molekul 60,08 4. Pemerian Aerosil adalah merupakan uap silika submikroskopik dengan nm. Berwarna putih terang, tidak berbau, tidak berasa. 5. Inkompatibilitas Dengan dietil stil bestrol 6. Penggunaan Absorben anticakeking agent, penstabil emulsi ( emulgator ), disintegran tablet, peningkat viskositas. (Anonim, 1986) glidan. Suspending agent, ukuran partikel sekitar 15

B. Pendekatan Formulasi 1. Zat aktif yang dipilih adalah Ranitidin hidroklorida 2. Eksipien yang dibutuhkan : a. Avicel -Fungsi -Alasan : sebagai pengisi : bersifat paling kompresibilitas dibandingkan semua pengisi untuk

formula cetak langsung dan mempunyai potensial pengenceran yang tingggi. b. Starch 1500 -Fungsi : sebagai pengikat dan penghancur

-Alasan c. Fumed silica -Fungsi -Alasan

: mempunyai sifat alir yang baik

: sebagai glidan : karena mempunyai sifat bebas mengalir, anticaking dan anticlogging

d. Magnesium stearat -Fungsi -Alasan C. Formulasi Per 1 tablet Ranitidin HCL 150 mg mengandung: Ingredients Ranitidine HCl USP [Orchev Pharma] Microcrystalline Cellulose NF [Avicel PH-102, FMC] Pregelatinized Starch NF [Starch 1500, Colorcon] Fumed silica NF [Aerosil 200, Degussa AG] Magnesium Stearate NF [Peter Greven Total 310 100 0,78 0,25 1,55 0,50 62 20 78,28 25,25 Mg 167,39 Percent (w/w) 54 : sebagai lubrikan : karena mempunyai sifat yang hidrofob (Raymond, 2006).

D. Perhitungan Total berat 1 tablet Ranitidin HCL 150 mg adalah 310 mg 1. Persentase zat tiap tabletnya 1. Ranitidin HCL 2. Avicel 3. Starch 1500 4. Aerosil 5. Magnesium Stearat 54 % 25,25 % 20 % 0,50 % 0,25 %

2. Perhitungan Formula tiap tablet 1. Ranitidin HCL 2. Avicel 3. Starch 1500 4. Aerosil 5. Magnesium Stearat 54 % x 310 mg 25,25 % x 310 mg 20 % x 310 mg 0,50 % x 310 mg 0,25 % x 310 mg = 167,39 mg = 78,28 mg = 62 mg = 1,55 mg = 0,78 mg

E. Penimbangan Dalam 1 tablet Ranitidin HCL 150 mg,bahan bahan yang ditimbang sebanyak: 1. Ranitidin HCL 2. Avicel 3. Starch 1500 4. Aerosil 5. Magnesium Stearat = 167,39 mg = 78,28 mg = 62 mg = 1,55 mg = 0,78 mg

Maka jika yang diminta pembuatan 1000 tablet,jumlah bahan bahan yang ditimbang adalah: 1. Ranitidin HCL 2. Avicel 3. Starch 1500 4. Aerosil 5. Magnesium Stearat 167,39 mg x 1000 78,28 mg x 1000 62 mg x 1000 1,55 mg x 1000 0,78 mg x 1000 = 167.390 mg = 78.280 mg = 62.000 mg = 1.550 mg = 780 mg

F. Cara Pembuatan Salah satu metode pembuatan tablet yaitu kempa langsung. Metode ini digunakan untuk bahan-bahan yang memiliki sifat mudah mengalir atau sifat kohesifitasnya tinggi sehingga memungkinkan untuk langsung dicetak didalam mesin tablet tanpa memerlukan ganulasi basah/kering (Ansel, dkk, 1999). Cara kempa langsung ini sangat disukai karena banyak keuntungan, yaitu secara ekonomis merupakan penghematan besar karena hanya menggunakan sedikit alat, energi, dan waktu (Shangraw, 1989). Kempa langsung didefinisikan sebagai proses pembuatan tablet dengan langsung mengempa campuran serbuk (zat aktif dan eksipien), dan tidak ada proses sebelumnya kecuali

penimbangan dan pencampuran bahan. Metode pembuatan tablet secara kempa langsung merupakan metode yang sangat disenangi. Hal ini karena kempa langsung memberi beberapa keuntungan diantaranya: tahapan produksinya sangat singkat, peralatan yang dibutuhkan tidak banyak, membutuhkan tenaga yang sedikit dan karena prosesnya singkat maka stabilitasnya tetap terjaga (Sulaiman, 2007). Pembuatan tablet Ranitidin HCL dimulai dari: 1. Timbang semua bahan sesuai dengan jumalh tablet yang diinginkan 2. Campur semua bahan kecuali magnesium stearat dalam Turbula T2A blender dan blender selama 10 menit 3. Kemudian tambahkan magnesium stearat dan blender lagi selama 2 menit 4. Kemudian kempa tablet pada (SMI) Piccola (Riva) 10-station, tekan tablet menggunakan standard concave 9 mm tooling pada 30 RPM. 5. Kemudian lakukan evaluasi tablet meliputi kekerasan, kerapuhan, keseragaman bobot, waktu hancur, disolusi dan disintegran time

G. Evaluasi Tablet 1. Keseragaman Bobot Tablet Tablet tidak bersalut harus memenuhi memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan sebagai berikut: timbang 20 tablet, hitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masingmasing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari harga yang ditetapkan kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet, dapat digunakan 10 tablet, tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan kolom B (Anonim, 1995). Berat tablet 310 mg dan RSD 0,60% (Colorcon, 2006). Tabel 1. Persyaratan Penyimpangan Bobot Tablet (Anonim, 1995)

2. Kekerasan Tablet Kekerasan merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan tablet selama pembungkusan dan pengangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan, semakin besar tekanan yang diberikan saat pentabletan maka akan meningkatkan kekerasan tablet. Kekerasan tablet yang baik mempunyai kekerasan antara 4 - 8kg (Parrott, 1971). Kekerasan tablet Ranitidin diatas 11,5 kp (Colorcon, 2006).

3. Kerapuhan Tablet Kerapuhan tablet merupakan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik terutama goncangan dan pengikisan. Kerapuhan dinyatakan dalam persentase bobot yang hilang selama uji kerapuhan. Tablet yang baik mempunyai nilai kerapuhan tidak lebih dari 1% (Parrott, 1971). Nilai kerapuhan tablet diatas 0,06% (Colorcon, 2006).

Kerapuhan tablet dapat dihitung dengan rumus % kerapuhan= 1 x100% w w1 .. (2) w Keterangan : w : berat tablet awal w1 : berat tablet akhir

4. Waktu Hancur Tablet Waktu hancur tablet adalah waktu yang diperlukan untuk hancurnya tablet dalam waktu yang sesuai sehingga tidak ada bagian yang tertinggal diatas kasa. Waktu hancur dipengaruhi

oleh sifat fisik granul dengan kekerasan (Banker dan Anderson, 1994). Waktu yang diperlukan untuk hancurnya tablet untuk medium yang sesuai kecuali dinyatakan lain tidak lebih dari 15 menit (Anonim, 1995). Waktu hancur tablet 9,7 menit (Colorcon, 2006).

5. Disolusi Didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat kedalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel, 1989). Tablet efektif dalam melepaskan obatnya untuk diabsorbsi tergantung pada kecepatan hancurnya dan pecahnya granul. Efek dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorbsi sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut (Martin, dkk, 1993). Waktu disolusi tablet Ranitidin diatas dengan T80% diair adalah 13 menit (Colorcon, 2006).

6. Uji Penampilan Tablet diamati secara visual meliputi: warna (homogenitas), bentuk (bundar, permukaan rata/cembung), cetakan (garis patah, tanda, logo, pabrik), dan lain-lain.

7. Uji Keseragaman Ukuran Kecuali dinyatakan lain diameter tablet tidak boleh lebih dari 3x dan tidak kurang dari 11/3 tebal tablet. Uji diameter dan ketebalan tablet ini dilakukan terhadap 20 tablet. Ketebalan tablet 3,59 mm ( Colorcon, 2006).

BAB IV ANALISIS KIMIA

A. Identifikasi Zat Aktif Identifikasi Ranitidin HCl pada tablet dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT), dimana harga Rf yang diperoleh sama dengan yang diperoleh dari larutan baku Ranitidin Hidroklorida BPFI (Anonim, 1995). Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran. Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan dinamakan eluen. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Skoog DA, West DM, Holler FJ, 1996). Identifikasi Ranitidin HCl menggunakan teknik kromatografi lapis tipis, pertama-tama dibuat larutan uji, larutan baku dan larutan resolusi. Caranya membuat larutan uji adalah dengan melarutkan sejumlah tablet dengan methanol P hingga larut sempurna dan disaring, sehingga diperoleh larutan yang mengandung Ranitidin HCl 22,4 mg per ml. Untuk larutan pembanding, digunakan larutan baku yang dibuat dengan cara melarutkan sejumlah Ranitidin HCl BPFI ke dalam methanol P hingga diperoleh kadar 0,22 mg per ml. Larutan baku tersebut kemudian diencerkan menjadi empat seri pengenceran dengan kadar 110 g (enceran larutan baku A); 66 g (enceran larutan baku B); 22 g (enceran larutan baku C); dan 11 g (enceran larutan baku D) per ml. adapun larutan resolusi, dibuat dengan cara melarutkan senyawa sejenis A Ranitidin BPFI (5-[[(2-amino-etil)tiometil]-N,N-dimetil-2-furanmetanamina, garam hemifumarat) dengan methanol P hingga diperoleh kadar 1,27 mg per ml (Anonim, 1995). Fase diam yang digunakan dalam identifikasi dengan teknik KLT adalah lempeng kromatografi silika gel dengan ketebalan 0,25 mm, sementara fase gerak yang digunakan adalah campuran etil asetat P-isopropil alkohol P-amonium hidroksida-air (25:15:5:1). Larutan uji, larutan baku, enceran larutan baku A, B, C dan D ditotolkan pada silika gel masing-masing sebanyak 10 l, ditotolkan juga 10 l larutan uji yang ditambahkan dengan 10 l larutan resolusi

diatas totolan tersebut. Lempeng silika gel yang telah diberi totolan-totolan tersebut dibiarkan kering dahulu, kemudian dimasukkan ke dalam bejana (chamber) yang berisi fase gerak yang telah dijenuhkan sebelumnya. Fase gerak akan merambat sepanjang tidak kurang dari 15 cm diatas garis penotolan pada fase diam silika gel. Setelah itu, lempeng silika gel diangkat dan fase gerak dibiarkan menguap sehingga lempeng silika gel kering. Selanjutkan pada lempeng kromatografi dipaparkan uap iodium agar bercak-bercak yang dihasilkan tampak secara visual. Intensitas bercak-bercak yang timbul kemudian dibandingkan dan dihitung harga Rf bercakbercak tersebut, dimana apabila harga Rf bercak larutan uji sama dengan harga Rf bercak utama larutan baku hal tersebut berarti bahwa dalam tablet Ranitidin HCl mengandung senyawa Ranitidin HCl (Anonim, 1995). Identifikasi Ranitidin HCl juga dapat dilakukan dengan melarutkan sejumlah serbuk tablet dengan 2 ml air, disaring dan filtratnya direaksikan yang mana akan menunjukkan reaksi klorida cara A, B dan C. Reaksi klorida cara A, adalah dengan menambahkan perak nitrat LP ke dalam larutan uji, hasilnya adalah terbentuk endapan putih yang tidak larut dalam asam nitrat P, tetapi larut dalam ammonium hidroksida 6 N sedikit berlebih. Reaksi klorida cara B, yaitu pada saat pengujian alkaloida hidroklorida, ditambahkan ammonium hidroksida 6 N, disaring dan filtratnya diasamkan dengan asam nitrat P, selanjutnya adalah dilakukan prosedur seperti pada uji A. Sedangkan reaksi klorida cara C, adalah mencampurkan senyawa klorida kering dengan mangan dioksida P dalam bobot yang sama, campuran tersebut dibasahi dengan asam sulfat P dan dipanaskan perlahan-lahan, hasilnya adalah terbentuknya klor yang memberikan warna biru pada kertas kanji iodide P basah (Anonim, 1995).

B. Evaluasi Kimia 1. Penetapan Kadar Penetapan kadar Ranitidin HCl pada tablet dilakukan dengan teknik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Fase gerak yang digunakan dalam KCKT ini adalah campuran methanol P-amonium asetat 0,1 M (70:30) yang disaring dan diawaudarakan. Larutan baku yang digunakan adalah Ranitidin HCl BPFI yang dilarutkan dalam fase gerak, kemudian diencerkan secara bertahap dengan pelarut yang sama sampai kadar 0,112 mg per ml. Sedangkan larutan uji dibuat dengan menimbang seksama 10 tablet Ranitidin HCl, dilarutkan dengan 250 ml fase gerak, dikocok dan dicampur hingga tablet hancur sempurna dan disaring. Larutan kemudian

diencerkan secara bertahap dan kuantitatif dengan fase gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar yang sama dengan larutan baku (Anonim, 1995). Sistem kromatografi menggunakan kolom berisi bahan pengisi L1 (oktadesil silana yang terikat secara kimiawi pada partikel mikro silica berpori atau partikel mikro keramik, dengan diameter 5 m sampai 10 m) dengan ukuran kolom 4,6 mm x 20 cm 30 cm. Larutan uji dan larutan baku masing-masing disuntikkan ke dalam kromatograf sebanyak kurang lebih 10 l, laju aliran dalam kolom kurang lebih 2 ml per menit. Respon puncak utama pada kromatogram diukur dengan detektor 322 nm, dan kadar (dalam mg) Ranitidin HCl dalam tablet dihitung menggunakan rumus: ( Keterangan: 314,40 = bobot molekul Ranitidin. 350,86 = bobot molekul Ranitidin HCl. L D = jumlah Ranitidin dalam mg yang tertera pada etiket = kadar Ranitidin dalam mg/ml larutan uji (berdasarkan jumlah yang tertera pada etiket per tablet dan faktor pengenceran). C ru rs = kadar Ranitidin Hidroklorida BPFI dalam mg/ml larutan baku. = respon puncak larutan uji. = respon puncak larutan baku (Anonim, 1995). )( ) ( )

BAB V PENGEMASAN DAN INFORMASI OBAT

A. Kemasan Ranitidin

B. Informasi Obat Ranitidin 1. Komposisi Tiap tablet salut selaput mengandung Ranitidin Hydrochloride setara dengan 150 mg ranitidin base (Anonim, 2011). 2. Indikasi Ranitidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan duodenum akut, refluks esofagitis, keadaan hipersekresi asam lambung patologis seperti pada sindroma ZollingerEllison, hipersekresi pasca bedah (Anonim, 2011). 3. Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidin (Anonim, 2011). 4. Interaksi obat a. Pemberian Ranitidin tidak menghambat kerja dari sitokrom P450 dalam hati. b. bersama warfarin dapat meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin (Anonim, 2011). 5. Peringatan dan perhatiana.

Umum: pada penderita yang memberikan respon simptomatik terhadap Ranitidin, tidak menghalangi timbulnya keganasan lambung.

b.

Karena Ranitidin dieksresi terutama melalui ginjal, dosis Ranitidin harus disesuaikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.

c. d.

Hati-hati pemberian pada gangguan fungsi hati karena Ranitidin di metabolisme di hati. Hindarkan pemberian pada penderita dengan riwayat porfiria akut.

e. f. g.

Hati-hati penggunaan pada wanita menyusui. Khasiat dan keamanan penggunaan pada anak-anak belum terbukti. Waktu penyembuhan dan efek samping pada usia lanjut tidak sama dengan penderita usia dewasa.

h.

Pemberian pada wanita hamil hanya jika benar-benar sangat dibutuhkan (Anonim, 2011). 6. Penyimpanan Ranitidin injeksi disimpan di tempat sejuk dan kering suhu 425oC, terlindung dari

cahaya, harus dengan resep dokter. Ranitidine tablet disimpan di tempat kering, suhu 1530oC, terlindung dari cahaya (Anonim, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Alebiowu, G dan Itiola, O.A 2003. The Influence of Pregelatinized Starch Disintegrants on Interacting Variable that Act on Disintegrant Properties. Pharmaceutical Technology. Anonim, 1986. Handbook of Pharmaceutical Excipients, American Pharmaceutical Association and the Pharmaceutical Society of Great Britain. Washington. London. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 2007. The United States Pharmacopoeia 30 The National Formulary 25. United States Pharmacopoeia Convention, Inc. Electronic version Anonim. 2011. http://www.hexpharmjaya.com/page/ranitidine.aspx . Diakses 21 April 2012 Anonim. 2011. http://obat-penyakit.com/ranitidine-150-mg.html. Diakses 21 April 2012 Ansel HC. 1998 . Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. UI-Press. Jakarta. Banker, G.S. dan Anderson, N.R., 1994, Tablet In the Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Ed III. UI Press. Jakarta. Colorcon. 2006. http://www.colorcon.com/pharma/. Diakses 22 April.2012 Ganiswarna, Sulistia G., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta Katzung, B. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik (edisi 4). EGC. Jakarta. Kibbe, AH. 2000. Handbook of pharmaceutical Excipients. Third Edition. American Pharmaceutical Association: Washington D.C. Klingler, dkk., 2006, Pregelatinized Starches and Process for Their Production, US Patent Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Indrustri. Edisi Ketiga. Vol III. UI Press. Jakarta. Lhitazha,2010. http://filzahazny.wordpress.com/2010/05/08/microcrystalline-cellulose/. Diakses 21 April 2012 Martin, Swabrick, J., Cammarata, A., 1993, Farmasi Fisil Ed III, UI, Press

Parrot, E.L., 1971, Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, 3rd Ed, Burger Publishing Company. Minneapolis. Raymond C Rowe, Paul J Sheskey, Sian C Owen (ed.). 2006. Pharmaceutical Excipients Edisi ke lima. Pharmaceutical Press. USA. Sheth, B. B., Bandelin, F. J., Shangraw, R. F, 1989, Compresed Tablet in Pharmaceuticals Dosage Farms: Tablet, Vol. I Lachman, L., Lieberman, H. A., (Editor), Marcel Decker inc., New York Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1996. Fundamentals of Analytical Chemistry. 7th edition. Saunders College Publishing. New York. Sulaiman, T.N.S., 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet, Laboratorium Teknologi Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Uzunovic,Alija and Edina Franic.2007. Effect of Magnesium Stearate Concentration on Dissolution Properties of Ranitidine Hydrochloride Coated Tablets. Institute for Quality Control of Medicines, Titova, Sarajevo, Bosnia and Herzegovina.