TUGAS 1

7
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU PENDIDIKAN AGAMA TUGAS I NAMA : AFRYANDY ABBAS NSB : 14.1.05.2.1.004 TTL : PALU,14-12-1995 FAK. TEKNIK

description

etika rekayasa

Transcript of TUGAS 1

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU

PENDIDIKAN AGAMA

TUGAS I

NAMA : AFRYANDY ABBAS

NSB : 14.1.05.2.1.004

TTL : PALU,14-12-1995

FAK. TEKNIK

Soal.

1) Kegagalan kostruksi dari segi etika rek. ?2) Strategi penangulangan permasalahan hokum proyek konstuksi ( studi kasus sudut pandang

etika ) ?

Jawaban.1) Contoh Kasus : Bencana Lumpur Lapindo

Mengapa bencana tersebut terjadi? Seperti ditulis Rudi Rubiandini (Kompas, 19/8), ada dua penjelasan. Pertama karena adanya mud volcano yaitu keluarnya lumpur dari bawah tanah. Kedua adalah fenomena UGBO di mana fluida bawah tanah seperti air, minyak, atau gas keluar tanpa melalui lubang pengeboran. Apapun yang terjadi, menggunakan penjelasan ilmiah semata-mata akan membawa kita pada kesimpulan bahwa banjir lumpur di Sidoarjo adalah sebuah bencana alam.Memang alam adalah faktor utama dalam banjir lumpur di Sidoarjo. Tetapi alam tidaklah bekerja sendiri di sini. Ada faktor manusia yang memungkinkan alam menunjukkan kekuatannya. Aktivitas pengeboran, teknik apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran adalah keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia. Seperangkat keputusan inilah yang menjadi titik awal terjadinya bencana. Dari sudut pandang ini, tragedi lumpur panas Sidoarjo bukanlah bencana alam, tetapi bencana teknologi yang terjadi karena kegagalan pengoperasian sistem teknologi.Seperti yang dipaparkan James Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology (2002) banyak kasus kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara ekonomis tetapi juga menelan ribuan nyawa. Tidak jarang bencana teknologi terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya dianggap remeh. Kasus Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan kebocoran nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang sama karena berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.

a) Etika Rekayasa

Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari kecerobohan teknis yang berujung pada bencana lumpur Lapindo adalah tidak adanya etika rekayasa dalam penerapan teknologi di masyarakat. Dalam bukunya Engineering Ethics: Concepts and Cases (2005), Charles Harris menekankan pentingnya etika bagi ahli rekayasa karena peran mereka pada posisi pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan publik. Etika rekayasa mencakup penerapan standar-standar etika dalam pemilihan, perencanaan, penerapan, dan pengawasan teknologi untuk mencegah terjadinya kegagalan teknologi yang merugikan kepentingan publik.Kasus lumpur Lapindo menunjukkan ketiadaan etika rekayasa dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengeboran di Sidoarjo. Jika kita runut ke belakang, krisis etika rekayasa tidak hanya terjadi pada kasus Lapindo. Robohnya jembatan layang Slipi, bocornya amonia di Petrokimia Gresik, dan jebolnya jalan tol Cipularang adalah sedikit contoh dari daftar panjang malapraktek para ahli rekayasa kita. Buta etika seperti ini adalah konsekuensi dari sistem pendidikan rekayasa kita yang kering akan pemahaman nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

Institusi pendidikan seperti ITB, UI, ITS, dan lainnya menghasilkan ahli-ahli rekayasa berpikir kaku yang hanya berorientasi pada kebutuhan industri tanpa pernah peduli implikasi dari teknologi yang mereka gunakan di masyarakat. Organisasi profesi rekayasa pun cenderung hanya menjadi tempat mencari proyek dan menjadi pelayan para pemilik modal. Kepedulian pada dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari apa yang dilakukan oleh para ahli rekayasa adalah sebuah barang mewah.Besarnya kerugian sosial ekonomi dari kasus Lapindo mestinya menjadi momentum untuk berpikir ulang makna dan fungsi rekayasa/teknologi di masyarakat. Diperlukan suatu standar etika bagi para ahli rekayasa dalam membuat keputusan agar bencana teknologi dapat dihindari sejak dini.Saat ini pemerintah dan Lapindo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab memusatkan seluruh perhatian dan energi pada bagaimana menghentikan semburan lumpur panas Sidoarjo. Di saat yang bersamaan kita juga harus mencari letak kesalahan dari bencana lumpur tersebut. Dalam hal ini, kita tidak hanya mencari individu-individu yang harus bertanggungjawab, tetapi juga memahami mengapa individu-individu tersebut melakukan kesalahan.Ketiadaan etika rekayasa adalah salah satu faktor yang mesti menjadi pelajaran penting agar kasus seperti lumpur Lapindo tidak terulang kembali. Masyarakat kita sudah terlalu letih dengan berbagai bencana alam. Karena itu, para ahli rekayasa kita harus belajar banyak agar tidak menambah beban melainkan menjadi pelayan masyarakat.

2) Strategi Mengatasi Konflik

Konflik pasti tak diinginkan terjadi namun hampir tak mungkin tak terjadi. Konflik mulai berpotensi terjadi ketika orang mulai berinteraksi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Perbedaan background, skill, pendidikan, pola pikir atau cara pandang tiap orang berperan dalam memicu konflik. Konflik tidak hanya di proyek, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mengatasinya harus dimulai dengan memahami konflik itu sendiri, identifikasi, analisa, dan menentukan resolusinya. Dalam tulisan ini diusulkan cara untuk menemukan resolusi konflik.

Sumber konflik di proyek adalah semua stakeholder (Project Manager, Project Team, Sponsor, Owner, Consultant, Supplier, Subcontractor, dll). Beberapa penyebab konflik yang biasa terjadi di proyek adalah:

Ketidak-cocokan tujuan Hubungan struktural organisasi Sumberdaya yang terbatas Masalah komunikasi Perbedaan individual

Dalam menyelesaikan dan mengelola konflik, Project Manager harus memahami kategori konflik. Adapun kategori konflik adalah:

1.      Konflik orientasi tujuan: berhubungan dengan hasil akhir, performa spesifikasi dan kriteria, prioritas, dan obyektif.

2.      Konflik administratif: berhubungan dengan struktur management, filosofi dan teknik, dan terutama pendefinisian tanggung jawab dan otoritas tugas, fungsi dan keputusan.

3.      Interpersonal Konflik: merupakan hasil dari perbedaan dalam etika bekerja, cara bekerja, egoisme, dan kepribadian dari tiap orang yang terlibat.

Suatu survey telah menunjukkan ranking atas jenis konflik yang terjadi di proyek, yaitu:

Thamhain 1975 Posner 1986Schedule SchedulePrioritas Cost / BudgetSumberdaya Manusia PrioritasIsu Teknis Sumberdaya ManusiaIsu prosedur Administratif Isu teknisKepribadian KepribadianBiaya Isu prosedur Administratif

Pengalaman selama mengerjakan proyek, lebih mendekati pada ranking yang disusun oleh Posner. Hanya saja aspek cost rasanya lebih tinggi dari pada Schedule. Mungkin hal ini disebabkan semakin maju teknologi atau metode pelaksanaan yang dapat mempercepat pelaksanaan proyek namun disisi yang lain, terjadi peningkatan tingkat persaingan bagi kontraktor. Bagi Owner swasta, tentu saja semakin memahami seluk beluk biaya proyek sehingga berusaha mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menekan harga proyek. Pada proyek pemerintah, terdapat beberapa sebab masalah biaya menjadi dominan. Peraturan yang ada condong memilih penawar terendah. Lalu dengan intensifnya pemeriksaan keuangan oleh BPK atau BPKP, menyebabkan pihak pemilik menjadi sangat berhati-hati terhadap masalah biaya. Hal ini tentu saja harus diteliti lebih lanjut.

Konflik tentu saja harus dikelola dengan baik sehingga mendapatkan kondisi atau level konflik yang optimal dimana akan menghasilkan performa yang maksimal. Mengatasi konflik dalam rangka pengelolaan tersebut telah dilakukan pendekatan-pendekatan berdasarkan referensi. Ada beberapa cara atau style dalam manajemen konflik menurut Blake dan Mouton, yaitu:

1. Withdrawing  / Avoiding : Menghindari sumber potensi konflik yang berdampak konflik tidak terselesaikan

2. Smoothing / Accomodating : Menekankan pada area kesepakatan ketimbang area perbedaan yang berdampak pada solusi jangka pendek

3. Compromizing : Mencari dan tawar-menawar yang membawa pada beberapa tingkat kepuasan semua pihak yang berdampak pada penyediaan penyelesaian yang definitif

4. Forcing : Memaksa satu sudut pandang dengan biaya pihak lain, menawarkan solusi win-lose. Ini menghasilkan pada perasaan tidak nyaman yang mungkin akan terjadi pada bentuk yang lain.

5. Collaborating : Menggabungkan beberapa cara pandang dan wawasan dari perspektif yang berbeda yang membawa konsensus dan komitmen. Ini menghasilkan resolusi jangka panjang

6. Confronting / Problem solving : Penanganan konflik sebagai suatu masalah yang harus diselesaikan dengan memeriksa alternatif, persyaratan yang diberikan dan mengambil sikap dan membuka pembicaraan. Ini menghasilkan resolusi yang maksimum.

Dalam menghadapi konflik, Project Manager harus mampu mendapatkan conflict resolution yang tepat. Untuk mendapatkannya, Project Manager harus melakukan:

1.o Analisa dan evaluasi teknik resolusi konfliko Memahami dinamika penanganan konflik dua pihako Memilih pendekatan resolusi konflik yang terbaik (Win-win solution)

Untuk mendapatkan resolusi konflik yang terbaik, harus dilakukan tinjauan pada beberapa aspek. Vijay K.V dan Harold Kerzner menyampaikan aspek-aspek yang harus dikaji. Aspek-aspek tersebut dapat dikelompokkan yaitu tujuan konflik, kemampuan lawan, kondisi waktu, hubungan (relationship), tingkat keyakinan kebenaran, dan hal yang dipertaruhkan. Berikut ini adalah strategi resolusi konflik yang direkomendasikan berdasarkan referensi yang ada. Strategi itu seperti yang telah disebutkan adalah: (1) Confrontation / Collaboration, (2) Compromizing, (3) Accomodation / Smoothing, (4) Forcing, dan (5) Avoiding. Untuk mendapatkan resolusi yang tepat, isilah kolom “kondisi” sesuai aspek yang dikaji. Resolusi yang didapat dijumlah. Kemungkinan akan ada beberapa alternatif resolusi. Buatlah penekanan untuk menentukan resolusi yang terbaik.

Suatu contoh pada proyek dengan Owner Swasta yang menerapkan backcharge atas keterlambatan yang dinilai secara subyektif. Lalu proyek mengalami kerugian yang besar.