Tug as Logbook 3

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi, manusia semakin terekspos dengan keberagaman kehidupan social. Terpaan hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya tidak terbatas hanya pada mereka yang memiliki latar belakangbudaya yang sam, melainkan juga mereka yang berasal dari lingkup budaya berbeda. Globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknoligi informasi menuntut manusia selaku makhluk social untuk mampu berinteraksi dengan pemikiran yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Kemajuan internet maupun peralatan teknologi yang kian canggih menjadikan batas antara negara atau budaya satu dengan yang lainnya tidak jelas (dunia tanpa batas). Hal ini kiranya tidak dijadikan sebagai hambatan ataupun ancaman dalam proses interaksi antar personal. Globalisasi justru merupakan tantangan dimana manusia harus bisa mengembangkan dirinya melalui adaptasi sosial yang bervariasi tanpa harus kehilangan teoriti budaya dan identitas masing-masing. Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, dan salah satunya adalah agama. Keanekaragaman agama yang merupakan bagian dari karakter negara multikulturalis / pluralis ini pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang sama. Tujuan tersebut antara lain adalah untuk hidup damai dan rukun dengan mencapai toleransi yang positif. Namun demikian, menemukan persamaan antar agama ternyata lebih sulit daripada mendeteksi perbedaannya. Hal ini semakin nyata ketika memasuki era globalisasi yang merobohkan isolasi-isolasi dari tantangan- tantangan dunia luar. Kalaupun dahulu mungkin kehidupan

description

agama

Transcript of Tug as Logbook 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi, manusia semakin terekspos dengan keberagaman kehidupan

social. Terpaan hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya tidak terbatas hanya pada

mereka yang memiliki latar belakangbudaya yang sam, melainkan juga mereka yang berasal

dari lingkup budaya berbeda. Globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknoligi

informasi menuntut manusia selaku makhluk social untuk mampu berinteraksi dengan

pemikiran yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Kemajuan internet maupun peralatan

teknologi yang kian canggih menjadikan batas antara negara atau budaya satu dengan yang

lainnya tidak jelas (dunia tanpa batas). Hal ini kiranya tidak dijadikan sebagai hambatan

ataupun ancaman dalam proses interaksi antar personal. Globalisasi justru merupakan

tantangan dimana manusia harus bisa mengembangkan dirinya melalui adaptasi sosial yang

bervariasi tanpa harus kehilangan teoriti budaya dan identitas masing-masing.

Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, dan salah satunya

adalah agama. Keanekaragaman agama yang merupakan bagian dari karakter negara

multikulturalis / pluralis ini pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang sama. Tujuan tersebut

antara lain adalah untuk hidup damai dan rukun dengan mencapai toleransi yang positif.

Namun demikian, menemukan persamaan antar agama ternyata lebih sulit daripada

mendeteksi perbedaannya. Hal ini semakin nyata ketika memasuki era globalisasi yang

merobohkan isolasi-isolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Kalaupun dahulu mungkin

kehidupan beragama relative lebih tentram karena terisolasi, tidaklah demikian dengan zaman

globalisasi ini. Semakin mudahnya interaksi antar manusia di era globalisasi memunculkan

tantangan tersendiri bagi umat beragama untuk menghadapi insan-insan beragama lain.

Agama merupakan suatu anugerah dari Tuhan, diperuntukkan bagi kebaikan dan

kesejahteraan umat manusia. Pluralitas kehidupan keberagamaan adalah sebuah kenyataan

yang harus disadari untuk saling melengkapi dan memperkaya pengalaman kehidupan,

membangun kasih sayang, persaudaraan, dan penghargaan sesame (bukan justru sebagai

musibah atau malapetaka).

Semua agama tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul

dengan agama lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna

kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu.

Mengembangkan pluralisme agama melalui dialog adalah mengusahakan bagaimana seharusnya

setiap agama mengatasi kebenaran mutlaknya, saat berjumpa dengan agama- agama lain serta

mencari titik temu sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah (problem

maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial (problem solver) dan sejauh

mana agama memberi ruang secara partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama.

Sehingga keunikan tersebut tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; bukan untuk

diperbandingkan dan bukan berarti juga mencampuradukkan. Sehingga tercipta keterbukaan,

perdamaian, dan toleransi yang positif.

Dalam toleransi yang positif, kita menerima prinsip saling menghormati dan memahami

perbedaan antara agama-agama yang ada di dalam negara. Namun bukan berarti semua agama

dianggap sama karena masyarakat Indonesia dan individu-individu menolak kompromi teologis

atau aqidah.

Dalam rangka mencapai kerukunan dan kedamaian hidup antar umat beragama yang dikenal

dengan sebutan interfaith dialog. Interfaith dialog merupakan salah satu cara untuk mengurangi

kesalahpahaman yang kerap terjadi menyangkut keyakinan agama. Interfaith dialog menekankan

usaha komunikasi antara umat beragama karena dipercaya komunikasi yang baik akan

menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai dan menghormati serta toleransi antara yang

satu dengan yang lainnya.

Dialog adalah satu pilihan yang logis dan etis, adanya dialog memungkinkan terjadinya saling

melengkapi antara pendapat yang berbeda. Dialog berasal dari bahasa Yunani “dialogos”.

Artinya bicara antara dua pihak atau dwicara. Lawannya adalah monolog yang berarti bicara

sendiri. Arti sesungguhnya adalah percakapan antara dua orang atau lebih dalam mana diadakan

pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Dialog yang semacam itu membutuhkan

suatu sikap yang terbuka, bersifat hormat-menghormati, sikap yang melepaskan segala prasangka

mengenai agama lain, sikap mencari yang baik dari agama lain. sikap itu dapay dinamakan sikap

dialogis.

Tidak bisa dipungkiri, akibat faktor-faktor sejarah dan moral yang begitu komplek antara agama-

agama, budaya, bangsa, dan peradaban dan kemampuan untuk menerima perbedaan dan

kemauan untuk mencari titik temu adalah suatu yang sulit.

B. Definisi Operasional Judul

1 . Pengertian Interfaith Dialog (variabel independen)

Secara etimologis, dialog berasal dari bahasa yunani διά (dia, jalan batu / cara) dan λόγος (logos,

kata), sehingga dapat diartikan sebagai ‘cara manusia dalam mengunakan kata’ sehingga dialog

dapat diartikan sebagai percakapan timbal balik antara dua orang atau lebih.

Secara umum, dialog diartikan sebagai komunikasi yang mendalam, memiliki tingkat dan

kualitas yang tinggi sekaligus mencakup kemampuan untuk mendengarkan serta saling berbagi

pandangan.

Interfaith adalah jarak di sela-sela dua kepercayaan atau lebih. Di tengah dua agama.

Interfaith dialog adalah suatu interaksi antar umat beragama yang kooperatif dan positif antar

individu atau kelompok yang berbeda agama, dan kepercayaan dengan tujuan untuk membangun

dasar kesepahaman dalam setiap kepercayaan, nilai, dan komitmen terhadap dunia yang dapat

membangun hubungan yang harmonis antar agama.

2 . Pengertian kekerasan (variabel dependen)

Kekerasan (bahasa Inggris: Violence pengucapan bahasa Inggris: [/vaɪ(ə)ləns/] berasal dari

(bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa)

adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah

ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada

tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan

oleh perorangan atau sekelompok orang, umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila

diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan

keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam

rumusan kekerasan ini

Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa

karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan,

Politik tanpa prinsip.

C. Kerangka Berpikir

sssInInIn

A.

B.

D. Rumusan Masalah dan Hipotesis

Rumusan Masalah : Bagaimana menerapkan dialog Budha – Katholik di Los Angeles untuk

memecahkan masalah kekerasan dalam kehidupan beragama di Indonesia ?

MeMmbangun Kerukunan Hidup Beragama

Instrumen

Variabel Independen

Interfaith Dialog (Dialog antar agama)

Masalah

Variabel Dependen

Kekerasan agama di Indonesia

Indikator:

1. Tindakan sewenang-wenang terhadap

penganut agama tertentu

2. Penindasan terhadap kaum minoritas

3. Tidak adanya pemahaman akan

nilai/ajaran moral dasar dari setiap

agama

Indikator:

1. Interaksi umat beragama yang

positif

2. Membangun hubungan

harmonis antar agama

3. Pemahaman nilai-nilai dalam

setiap agama

Hipotesis

- Ha : Bila Interfaith Dialog dilaksanakan dengan baik, maka dapat mengatasi kekerasan

agama di Indonesia

- H0 : Meskipun interfaith dialog dilaksanakan sebaik-baiknya, tidak dapat menyelesaikan

masalah kekerasan agama di Indonesia

BAB II

REFLEKSI DAN ANALISIS KONDISI

A. Refleksi Kondisi

1. Berdasar Literatur

a. Berkait variabel independen (interfaith dialog) 1) Indikator I (Interaksi umat bergama yang positif)

-Kondisi kehidupan bergamaLiteratur PokokDialog antara Buddha dan Katholik di Los Angeles dimulai pada tahun 1989 di

mana dialog antar agama ini adalah dialog yang pertama kali dilakukan untuk

meningkatkan kesabaran antar umat beragama dan mengenal agama Buddha dan

Katholik secara lebih baik lagi.

Literatur PengembanganBanyak terjadi dialog dan interaksi antara umat Buddha dengan pemeluk agama

lainnya. Mereka saling menghargai. Pada suatu pertemuan yang dilaksanakan di

Assisi, Italia dimana Sri Paus mengundang semua pemimpin-pemimpin agama di

dunia. Pemimpin-pemimpin agama yang lain juga menunjukkan penghargaan

yang tertinggi terhadap Buddhisme.

2) Indikator 2 ( Membangun hubungan harmonis antar agama)-Kondisi kehidupan beragama

Literatur Pokok

Apa yang menyatukan kita lebih besar daripada apa yang memisahkan kita.

Dengan prinsip ini, dialog antar agama dapat berjalan dengan baik dan dapat

mempersatukan seluruh perbedaan antar penganut agama.

Literatur PengembanganMenghindarkan diri dari sikap stereotip dan menghakimi agama lain untuk

menjaga hubungan yang baik antar umat beragama.

3) Indikator 3 ( Pemahaman nilai setiap agama)

-Kondisi kehidupan beragama

Literatur Pokok

Di dalam literatur disebutkan terkadang kaum Buddhis yang memiliki kedudukan

tinggi di dalam suatu komunitas Buddhis justru melupakan prinsip interfaith

dialogue tersebut sehingga mereka salah dalam menggambarkan posisi Buddhis

dengan membuatnya lebih sesuai dengan kepercayaan lain dibandingkan dengan

yang sebenarnya terjadi. Ini terjadi karena mereka sibuk mencari persamaan yang

ada dengan agama lain dan kurang jujur dalam mengakui adanya perbedaan yang

ada. Sehingga interfaith dialogue tersebut tidak terlaksanakan dengan baik.

Literatur Pengembangan

Tata cara agama memang berbeda namun tujuannya adalah sama yaitu

mengajarkan nilai moral baik bagi penganutnya.Setiap penganut agama harus

mengintrospeksi nilai-nilai yang diajarkan masing-masing agama dan

merenungkannya agar tercapai pemahaman sesungguhnya.

4)Prinsip-prinsip interfaith dialog :

1. Dialog agama tidak langsung terjadi begitu saja melainkan melalui pengalaman-

pengalaman terdahulu

2. Dasar dari dialog agama dilakukan adalah untuk pertumbuhan akan kesatuan

dalam tingkat yang sama

3. Apa yang menyatukan kita lebih besar daripada apa yang memisahkan kita

b. Berkait dengan variabel dependen (Kekerasan dalam agama)

1) Indikator 1 ( Tindakan sewenang-wenang terhadap penganut agama tertentu)

-Kondisi kehidupan bergama

Literatur Pokok

Pengeboman gereja semakin marak terjadi dan menjadi topik utama di halaman

depan surat kabar. Hal ini sangat memprihatinkan dan menjadi fokus utama para

pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih. Ketidakadilan sosial semakin

meluas yang akhirnya berujung pada kekerasan.

Literatur Pengembangan

Kekerasan terhadap penganut agama semakin marak. Begitu banyak kekerasan

yang terjadi seperti perusakan tempat ibadah. Salah satu yang terjadi adalah

perusakan pura Hindu di Sragen. Pembakaran tempat tinggal penduduk juga

terjadi antara Kaum Sunni dan Syiah yang disebabkan perbedaan aliran dalam

Islam.

2) Indikator 2 ( Penindasan terhadap kaum Minoritas)

-Kondisi kehidupan beragama

Literatur Pokok

Lingkungan sosial yang semakin plural menuntut lebih dari sekedar toleransi saja,

melainkan harus mewujudkan suatu harmonisasi yang benar-benar sejati seiring

dengan semakin meningkatnya penindasan terhadap kaum minoritas di dunia,

yang bahkan terjadi di negara kita sendiri. Ketidakadilan sosial semakin meluas

yang akhirnya berujung pada kekerasan.

Literatur Pengembangan

Rogers, seorang ketua Christian Solidarity Worldwide Asia Timur mengatakan

“Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, telah “dijadikan sebagai

model “pluralisme agama dan demokrasi, khususnya di dunia Muslim, jelasnya.

Namun, “pluralisme itu semakin terancam oleh ekstremisme radikal dan

intoleransi agama.”

3) Indikator 3 (Tidak adanya pemahaman nilai/ ajaran moral dari setiap agama)

Baik dalam literatur pokok maupun literatur pengembangan menunjukan bahwa

pengertian banyak orang yang menganggap jika ia melakukan dialog antar

agama berarti sama saja dengan mengorbankan kepercayaannya sendiri. Sama

halnya dengan anggapan bahwa mengucapkan selamat pada saat perayaan hari

raya agama lain sama saja dengan mengorbankan kepercayaannya.

4) Rumusan Masalah Pokok

Persepsi yang salah mengenai dialog agama menyebabkan sulit tercapainya toleransi

positif agama yang pada akhirnya memicu kekerasan mengatas namakan agama.

2. Berdasar Hasil Peninjauan Lapangan

Diagram batang hasil penilitian terhadap 10 responden pada lembaga keagamaan:

a. Kristen

b. Katolik

c. Islam

d. Budha

e. Hindu

3. Berdasar Nilai/ajaran agama

Teks ayat dari masing-masing 5 agama:

a. Berkait Variabel Independen ( Interfaith Dialog)

1) Kristen

Galatia 5 (22-23)

“Tetapi buah Roh ialah : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,

kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal

itu.”

2) Katolik

Roma 12 : 10

“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului

dalam member hormat”

3) Islam

Ayat :QS Al Baqarah (2) ayat 256

“Serulah (manusia) kepadajalanTuhanmudenganhikmahdanpengajaran yang

baik,danbedebatlahdenganmerekadengancara yang baik.

SesungguhnyaTuhanmu, Dialah yang lebihmengetahuisiapa yang sesatdarijalan-

NyadanDialah yang lebihmengetahuisiapa yang mendapatpetunjuk.”

4) Budha

Kitab Suci Dhammapada Bab I ( Yamaka Vagga ) ayat 2

“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran

adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran baik,

maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah

meninggalkan bendanya.”

5) Hindu

b. Berkait Variabel Dependen (Kekerasan)

1) Kristen

Lukas 10 :27“ Jawab orang itu : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan

dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu

sendiri”.

2) Katolik

1 Petrus 3:9“dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan

caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah

kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat”

3) Islam

Ayat : QS Al Mumtahanah (60) ayat 9

“Sesungguhnya Allah hanyamelarangkamumenjadikanmerekasebagaikawanmu

orang-orang yang memerangikamudalamurusan agama

danmengusirkamudarikampunghalamanmudanmembantu (orang lain)

untukmengusirmu. Barangsiapamenjadikanmerekasebagaikawan, merekaitulah

orang zalim”

4) Budha

Kitab Suci Dhammapada Bab X ( Danda Vagga ) ayat 3

“Barangsiapa mencari kebahagiaan dari dirinya sendiri dengan jalan

menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah

mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan.”

5) Hindu

B. Analisis Kondisi

1. Berdasarkan Literatur

a. Literatur Pokok

Permasalahan utama yang disampaikan dalam literature pokok adalah keyakinan

dari para penganut agama lain bahwa dengan berpartisipasi dalam suatu dialog

antar agama sama berarti mengorbankan keyakinan mereka sendiri.

Permasalahan ini akan menghambat terciptanya harmonisasi yang baik antar agama

jika masing-masing penganut agama tidak dapat mengubah persepsinya menegenai

interfaith dialog. Hal ini sangat memprihatinkan padahal Holy Father pun

mengajarkan sesuatu mengenai dasar dalan suatu dialog lintas agama yaitu tujuan dari

suatu dialog antar agama adalah untuk membangun suatu pertumbuhan kesatuan pada

tingkat yang sama.

Persepsi yang salah inilah yang menimbulkan keributan di antara penganut agama di

mana masing-masing penganut agama meributkan apa yang menjadi persamaan

mereka namun tidak pernah untuk mencoba lihat bahwa perbedaan dalam agama

adalah hal yang mutlak yang tidak dapat dipungkiri. Keributan ini pada akhirnya akan

memunculkan perasaan sakit hati antar pemeluk agama di mana terkadang seorang

pemeluk agama lain memberikan pandangan objektif terhadap suatu agama namun

pada akhirnya justru menyudutkan agama tersebut dan menganggap agamanya sendiri

yang paling baik. Perlu disadari bahwa dialog yang murni adalah dialog yang saling

mengembangkan rasa hormat satu sama lain dan menganggap bahwa setiap penganut

agama memiliki hak yang sama untuk memeluk agamanya.

Kurang kesadaran dari agama lain juga ikut berpengaruh mengapa dialog antar agama

belum dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Terkadang agama lain

non Buddhis contohnya memberikan pandangan mengenai Buddhism, namun

memberikan komentar yang justru meninggalkan rasa sakit hati bagi penganut agama

Buddha itu sendiri.

Hambatan potensial lain adalah tertulis dalam buku WCC , Guidelines on Dialogue ,

penulis menyatakan bahwa " mudah untuk membahas agama dan bahkan ideologi

seolah-olah mereka ada di beberapa wilayah tenang cukup terpisah dari divisi

tajam , konflik dan penderitaan umat manusia . " Semua umat Buddha akan setuju

dengan penulis ketika ia menunjukkan bahwa " [ r ] eligions (agama) dan ideologi

sering menyebabkan gangguan masyarakat dan penderitaan mereka yang kehidupan

masyarakat yang rusak . " Perbedaan agama sering paling berakar dan merusak

semua.

Begitu banyaknya masalah yang menimpa masyarakat kita pada akhir abad ini

diartikulasikan dalam forum politik --- lingkungan , proliferasi nuklir , terorisme

internasional , hak asasi manusia , kekerasan perkotaan , keadilan sosial , dan

sejenisnya.

Hal yang perlu kita perhatikan adalah intoleransi agama dan penganiayaan. Kedua hal

ini tidaklah menghilang tapi justru semakin meningkat dan bahkan terjadi di negara

kita sendiri. Seperti yang tertera di literatur bahwa belakangan terjadi pengeboman

gereja yang terjadi. Hal ini sangatlah menyedihkan dan inilah menjadi salah satu alas

an mengapa dialog antar agama harus terus dilakukan.

Di lingkungan sosial yang semakin plural, toleransi saja tidaklah cukup untuk

mengatasi setiap masalah yang muncul atas nama perbedaan agama. Setiap agama

harus memiliki semangat untuk menjawab tantangan ini di mana secara bersama-

sama mengembangkan hal yang lebih dari sekedar toleransi yaitu mengasihi

tetangga kita sendiri, orang lain, penganut agama lain sebagaimana mengasihi

diri kita sendiri.

Seperti yang disebutkan dalam Dhammapada yang diajarkan Buddha kepada

penganutnya yaitu “Conquer anger by love, conquer evil by good, conquer avarice by

giving, conquer the liar by the truth” yang artinya taklukkan kemarahan dengan

kasih, taklukkan kejahatan dengan kebaikan, taklukkan ketamakan dengan

memberi, taklukkan pembohong dengan kebenaran.

Dengan menanamkan ajaran ini, setiap konflik yang terjadi karena perbedaan agama

tidaklah harus diselesaikan dengan kekerasan yang berujung penderitaan bagi semua,

melainkan dengan kasih dan kesabaran seperti yang menjadi tujuan dari dialog agama

Buddha-Katolik di Los Angeles tahun 1989.

b. Literatur Pengembangan

Agama merupakan konteks penting dalam kehidupan manusia. Namun seriring

dengan kenyataan yang ada, wajah agama tercoreng karena tindakan radikalisme

agama yang menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Agama yang seharusnya

untuk menuntun kehidupan kita justru malah menjadi ketakutan terbesar bagi antar

penganut agama, khususnya kaum minoritas.

Munculnya radikalisme (agama) ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yaitu:

Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang

berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau

bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide,

lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap

keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus

berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam

radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (worldview)

tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut

sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran

program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum

radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap

emosional yang menjurus pada kekerasan.

Penjelasan tentang sumber dan faktor penyebab timbulnya kekerasan dan

radikalisme agama tersebut di atas sedikit banyak pembenarannya akan segera

tampak di permukaan tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme

di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul

dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia

misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia

Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air

terjadi konflik antaragama di Poso, di Ambon, dan lain-lain. Kesemuanya ini

memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong

terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.

Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya satu

kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, juga dapat menjadi ancaman

bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Tindakan

radikalisme itu dilakukan bertujuan sebagai membela agama tetapi justru telah

mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Orang-

orang radikal kurang begitu menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan

kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau menggunakan media

kekerasan.

Persoalan-persoalan ini harus menjadi alasan untuk terus mengembangkan dan

mendorong usaha-usaha dialog antaragama demi menciptakan Indonesia sebagai

rumah bersama yang damai, adil dan setara. Dialog antaragama harus diimbangi

dengan kerja-kerja konkrit di bidang kemanusiaan lintas agama yang menunjang

kultur kehidupan.

Menanggapi tindakan agama yang radikal ini menjadi salah satu kunci penting

mengapa dialog antar agama sangat diperlukan untuk membahas masalah ini dan

mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Perlu diingat bahwa dialog agama

adalah dialog kehidupan.

Dialog antaragama lebih mudah dijalankan jika bertolak dari kerja-kerja

kemanusiaan lintas agama tersebut. Dialog, sesungguhnya adalah baik. Terutama

untuk menghilangkan kesalahpahaman. Namun, jika dialog dibumbui dengan

praktik sinkritisme (ikut ritual agama lain), tidaklah membawa manfaat apa-apa

untuk toleransi. Kecuali hanya akan melahirkan pemahaman relativisme

berkeyakinan.

Dialog kehidupan beragama tidak pertama-tama berpangkal dari dogma, tetapi

berangkat dari praksis kehidupan bersama. Dogma adalah ranah privat masing-

masing agama. Sementara kehidupan beragama adalah ranah publik, di sana

terjadi perjumpaan dengan penganut agama lain. Dialog kehidupan beragama

tidak sama dengan diskusi tentang kesamaan dan perbedaan agama tetapi usaha

untuk mengerti, memahami dan menerima lawan dialog kita sebagai pribadi utuh

dengan segala aspek historis, psikologis, sosiologis, spiritualitas dan iman

kepercayaannya.

Dengan kata lain dialog kehidupan beragama adalah dialog antara dua penganut

agama yang saling mengekspresikan iman mereka. Untuk itu butuh iman yang

mendalam.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan Literatur

Kesimpulan : Berdasar literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya interfaith

dialog yang baik, maka kekerasan agama dapat diselesaikan