TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

19
227 Abstrak: Tuah sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuangan Negara. Artikel ini berupaya untuk membangun konsep pri- badi beruntung bagi pengelola keuangan negara dengan menggunakan budaya Melayu. Penelitian ini menggunakan desain penelitian spritiualis untuk membangun pribadi pengelola keuangan negara yang bertuah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pribadi bertuah berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu takwa (memiliki tujuan akhir kemba- li kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang). Selain itu, penulis juga menawarkan etika profetik sebagai solusi dalam membangun etika pengelola keuangan negara yang selama ini dibangun hanya berdasar pada aspek material. Abstract: Luck as the Ethical Foundation for State Financial Ma- nager. This research seeks to build a personal concept of fortune for state financial managers using Malay culture. This research uses a spiritualist research design to build a person of a successful state financial manager. The results show that the person with luck is oriented towards the highest human consciousness, namely piety (having the ultimate goal of returning to God with a holy and calm soul). In addition, the authors also offer pro- phetic ethics as a solution to build state financial manager ethics which has been built based only on material aspects. “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, se- lain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mema- haminya” (QS. Al-An’am: 32). Kutipan ayat Al-Qur.’an di atas mer- upakan suatu bentuk refleksi bagi ke- hidupan manusia yang tidak lain dan tidak bukan ibarat senda gurauan belaka. Ma- nusia lebih banyak terpana dengan hingar bingar kehidupan duniawi sehingga lupa bahwa tempat kembali sesungguhnya nanti adalah kampung akhirat. Kampung akhirat adalah sebaik-baik tempat bagi orang beri- man dan bertakwa. Kampung akhirat dise- butkan sebagai kehidupan yang sebenarnya dan kekal, sedangkan dunia hanya tempat bersenda gurau dan kesenangan sementa- ra yang menipu. Hanya orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebe- runtungan dengan membawa bekal yang cukup untuk kembali ke kampung akhirat dengan jiwa yang suci dan tenang. Hal ini yang memicu peneliti untuk dapat menjadi hamba yang beruntung dengan suatu ikh- tiar membentuk diri etis dan religius melalui Volume 11 Nomor 2 Halaman 227-245 Malang, Agustus 2020 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Briando, B., Embi, M. A., Triyuwono, Iwan., & Irianto, G. (2020). Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 227-245. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.14 TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA KEUANGAN NEGARA 1 Bobby Briando, 1 Muhamad Ali Embi, 2 Iwan Triyuwono, 2 Gugus Irianto 1 Universiti Utara Malaysia, Sintok, 06010 Bukit Kayu Hitam, Malaysia 2 Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145 Tanggal Masuk: 03 Desember 2019 Tanggal Revisi: 27 Agustus 2020 Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020 Surel: [email protected] Kata kunci: akuntan, etika, profetik, takwa Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2020, 11(2), 227-245

Transcript of TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Page 1: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

227

Abstrak: Tuah sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuang an Negara. Artikel ini berupaya untuk membangun konsep pri­badi beruntung bagi pengelola keuangan negara dengan menggunakan budaya Melayu. Penelitian ini menggunakan desain penelitian spritiualis untuk membangun pribadi pengelola keuangan negara yang bertuah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pribadi bertuah berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu takwa (memiliki tujuan akhir kemba­li kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang). Selain itu, penulis juga menawarkan etika profetik sebagai solusi dalam membangun etika pengelola keuangan negara yang selama ini dibangun hanya berdasar pada aspek material. Abstract: Luck as the Ethical Foundation for State Financial Ma­nager. This research seeks to build a personal concept of fortune for state financial managers using Malay culture. This research uses a spiritualist research design to build a person of a successful state financial manager. The results show that the person with luck is oriented towards the highest human consciousness, namely piety (having the ultimate goal of returning to God with a holy and calm soul). In addition, the authors also offer pro-phetic ethics as a solution to build state financial manager ethics which has been built based only on material aspects.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, se­lain dari main­main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang­orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mema­haminya” (QS. Al­An’am: 32).

Kutipan ayat Al­Qur.’an di atas mer­upakan suatu bentuk refleksi bagi ke­hidupan manusia yang tidak lain dan tidak bukan ibarat senda gurauan belaka. Ma­nusia le bih banyak terpana dengan hingar bingar kehidupan duniawi sehingga lupa bahwa tempat kembali sesungguhnya nanti

adalah kampung akhirat. Kampung akhirat adalah sebaik­baik tempat bagi orang beri­man dan bertakwa. Kampung akhirat dise­butkan sebagai kehidupan yang sebenarnya dan kekal, sedangkan dunia hanya tempat bersenda gurau dan kesenangan sementa­ra yang menipu. Hanya orang­orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebe­runtungan dengan membawa bekal yang cukup untuk kembali ke kampung akhirat dengan jiwa yang suci dan tenang. Hal ini yang memicu peneliti untuk dapat menjadi hamba yang beruntung dengan suatu ikh­tiar membentuk diri etis dan religius melalui

Volume 11Nomor 2Halaman 227-245Malang, Agustus 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Briando, B., Embi, M. A., Triyuwono, Iwan., & Irianto, G. (2020). Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 227­245. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.14

TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA KEUANGAN NEGARA1Bobby Briando, 1Muhamad Ali Embi, 2Iwan Triyuwono, 2Gugus Irianto1Universiti Utara Malaysia, Sintok, 06010 Bukit Kayu Hitam, Malaysia2Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145

Tanggal Masuk: 03 Desember 2019Tanggal Revisi: 27 Agustus 2020Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020

Surel: [email protected]

Kata kunci:

akuntan,etika,profetik,takwa

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(2), 227-245

Page 2: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

228 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

suatu konsep yang telah peneliti hadirkan pada artikel sebelumnya berupa prinsip SA­FAATMU (Briando & Purnomo, 2019) dan program MARWAHKU (Briando et al., 2017). Penulisan artikel ini merupakan bagian dari trilogi pembahasan terkait etika profetik bagi pengelola keuangan Negara. Hasan (2017) serta Williams (2017) menyatakan bahwa kajian terkait etika profesi pada umumnya hanya membahas aspek material, tetapi ti­dak banyak pembahasan terkait aspek spi­ritualitas apalagi yang dapat menumbuh­kan suatu penyadaran. Hal inilah kemudian yang menjadi pemantik penulis dalam mem­bangun konsep etika profetik.

Etika profesi akuntan khusus­nya bidang sektor publik akhir­akhir ini mendapat perhatian yang luas serta menjadi isu krusial saat skandal penggelapan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak Gayus Tambunan terkuak dan menghen­tak publik. Banyak kalangan beragumentasi bahwa kasus tersebut terjadi karena gagal­nya penerapan etika profesi akuntan khu­susnya dalam praktik akuntan pemerintah. Selama ini kajian terkait etika profesi hanya dikenal untuk profesi akuntan publik (Ka­mayanti, 2011). Padahal, sejatinya etika pro­fesi akuntan juga mengikat profesi lain yang erat kaitannya di bidang keahlian akuntan­si, termasuk pengelola keuangan negara (akuntan internal pemerintah) (Johansson & Siverbo, 2014). Hal inilah yang mengakibat­kan kajian di bidang etika profesi akuntan sektor publik khususnya pengelola keuang­an negara menjadi “miskin literasi”, sehing­ga tidak banyak ditemukan literatur ilmiah yang mengangkat isu ini (Khairi, 2013).

Pengelolaan keuangan negara ha­rus didukung pula oleh sistem dan me­kanisme yang baik agar dalam praktiknya sejalan dengan kode etik yang telah diba­ngun. Bagaimanpun baiknya sistem dan mekanisme yang telah dibangun tidak akan menjamin bahwa semuanya itu dapat ter­laksana dengan baik jika unsur manusia nya tidak baik (Adhikari & Gårseth­Nesbakk, 2016). Sistem yang baik akan ambruk jika manusianya tidak memiliki moralitas yang tinggi. Oleh karena itu, faktor moralitas ma­nusia secara individu dan kolektif memegang peranan yang sangat penting dan urgent. Ma­nusia memiliki unsur metafisik, yang terdiri dari nafsu, akal, hati, dan ruh. Unsur nafsu (dan terkadang akal) selalu menarik manu­sia kepada kehinaan, sehingga bila manusia banyak dikendalikan oleh nafsunya, maka

hanya kerusakan yang bisa diciptakannya (Kavas et al., 2020) sebagaimana yang terjadi pada kasus Gayus. Akan tetapi, bila manu­sia itu banyak dikendalikan oleh unsur hati dan ruhnya yang suci, maka perilaku yang etis dan religius akan selalu tampak pada kehidupan sehari­hari dan kedamaian akan selalu tercipta dalam dirinya. Inilah seja­tinya “bekal” yang harus dimiliki oleh sese­orang dalam menjalani profesinya termasuk pengelola keuangan negara (Schaffer, 2015).

Secara individual sejatinya seorang eksekutif atau aparatur pengelola keuang­an negara dapat selalu mengasah “ruh” dan bashirah­nya agar senantiasa suci dan terjaga. Unsur­unsur tersebut dapat men­jadi “benang” penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Jika unsur­unsur terse­but telah “terkontaminasi” (dengan perbuat­an maksiat dan dosa misalnya), maka un­sur­unsur tersebut secara otomatis tidak akan bisa menjalankan “kontak” dengan Tu­han, apalagi untuk memperoleh “kesadar­an ketuhanan” dan “kesadaran kenabian”. Manusia pada hakikatnya memiliki potensi untuk memperoleh “kesadaran­kesadaran” tersebut, karena sesungguhnya anasir­ana­sir kasat mata atau metafisik manusia meng­gambarkan cerminan dari realitas absolut, yaitu Tuhan. Atau, manusia itu melam­bangkan salah satu dari pengejawantahan realitas tersebut (Kaiser & Krickel, 2017). Meskipun belum banyak peneliti yang meng­ungkap atau mengkaji realitas ini secara il­miah, terdapat beberapa peneliti yang telah mengungkapkannya, seperti Salampessy et al. (2018) dan Triyuwono (2015). Aktivitas ilmiah acapkali dipisahkan dengan sisi spi­ritualitas, sehingga hasil penelitian tersebut bersifat sekuler. Sejatinya, penelitian yang baik adalah penelitian yang dapat menum­buhkan suatu penyadaran (consciousness) dan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki sesungguhnya berasal dari Sang Pemilik Ilmu (Briando et al., 2017; Tri­yuwono, 2016).

Senay (2017) memafhumi hal termak­sud sebagai konsep deep ecology. Konsepsi ini adalah konsepsi yang berkarakter tran­sendental. Setidaknya hal ini senada pula dengan Bigliardi (2014) yang memandang realitas sebagai suatu wujud yang saling terkait dan menyatu. Dalam tradisi Islam re­alitas bersifat hierarkis (Breyer et al., 2017; Freeman, 2015; Triyuwono, 2015), yaitu ter­diri dari realitas absolut (Tuhan), asma’ si-fatiyyah, realitas spiritual, realitas psikis,

Page 3: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 229

dan realitas materi, berturut­turut dari ting­kat yang tertinggi sampai terendah. Antara realitas tersebut tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya, tetapi interconnected (Saniotis, 2012). Inilah yang disebut dengan unity atau tauhid, sebagai ajaran dasar Is­lam. Realitas hanya satu, yakni Tuhan. Ti­dak ada keterpisahan antara satu dengan yang lainnya. Konsep inilah yang peneliti ba­ngun dalam membentuk etika profesi penge­lola keuangan negara dan membedakannya dengan penelitian lain sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Afou (2017), Zainuldin et al. (2018), dan Zubairu et al. (2019) yang memotret etika profesi akuntan dalam per­spektif Islam semata tanpa melibatkan re­alitas spiritual sebagai konsep deep ecology dalam kajiannya.

Hierarki atas realitas tersebut sejati­nya diciptakan Tuhan agar manusia dapat me ngenal lebih dekat Tuhannya (Kaiser & Krickel, 2017). Oleh karena itu, Tuhan men­ciptakan realitas­realitas lain yang lebih rendah di bawah diri­Nya. Hal ini mengin­dikasikan bahwa bukan suatu hal abnormal atau mustahil jika ilmu pengetahuan dalam kultur Islam diwujudkan dalam rangka un­tuk dapat lebih mengenal Tuhan sebagai realitas absolut. Hal ini sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Raja Ali Haji da­lam salah satu pasal ‘Gurindam Dua Belas’ yang berbunyi: “Barangsiapa mengenal Al-lah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah me-ngenal akan Tuhan yang Bahari” (Nurliana, 2019). Dalam hal ini penting untuk meli­hat konsep etika profesi akuntan pemerin­tah khususnya pe ngelola keuangan negara yang menumbuhkan penyadaran ketuhanan (God Consciousness) dan kenabian (prophet-ic Cons ciousness). Adapun kebaruan da­lam penelitian ini yaitu potret etika profesi akuntan pemerintah, dalam hal ini pengelo­la keuangan negara, dibangun dengan me­libatkan realitas spiritual. Hasil penelitian memberikan kontribusi pemahamanan bah­wa dengan berspiritual pun sesungguhnya bisa dilakukan dalam penelitian, sehingga konsep etika yang dibangun dapat menum­buhkan kesadaran Ketuhanan dan kecinta­an kepada Nabi sebagai manifestasi takwa. Inilah kemudian yang disebut sebagai pri­badi bertuah atau beruntung. Di samping itu, kajian ini juga menambah khasanah keilmuan terkait etika profesi akuntan pe­merintah. Oleh karena hal tersebut, peneliti mencoba untuk membangun pribadi berun­

tung atau bertuah menggunakan prosedur spiritual. Hal tersebut peneliti lakukan un­tuk dapat lebih mengenal Tuhan dan agar tercipta suatu hubungan yang kuat dengan Tuhan, sehingga pada akhirnya memuncul­kan suatu penyadaran bahwa Tuhan adalah realitas absolut yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk etika dalam mengelola keuangan negara.

METODEPenelitian ini menggunakan desain

spiritualis. Desain ini menurut Triyuwono (2015) sebetulnya menekankan pada ke­utuhan sebuah konsep, yaitu keutuhan aspek kemanusiaan, budaya, spiritualitas, dan ketuhanan. Oleh karena itu, sifat­sifat manusia, budaya lokal, dan keimanan pada Tuhan dalam penelitian ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Se­cara khusus, penelitian ini mengambil bu­daya lokal Melayu. Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian ber asal dari data non­empiris, sebagian yang lain dari data budaya lokal Melayu, dan data inspira­si dari peneliti. Peneliti melakukan prosedur spiritual untuk membentuk pri badi bertu­ah. Dalam prosedur spiritual tersebut pe­neliti melakukan zikir, doa, tafakur, dan ikhtiar. Prosedur spiritual sesungguhnya merupakan suatu cara atau jalan agar pe­neliti dapat terhubung dengan Tuhan. Di­mulai dengan melafazkan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang disertai dengan persaksian iman dalam dua kalimat syahadat peneliti memulai aktivitas ini, se­hingga muncul suatu penyadaran dalam diri peneliti yaitu penyadaran ketuhanan dan penyadaran kenabian.

Untuk dapat menuju ke tahapan pe­nyadaran tersebut, tentu saja, basis epis­temologi yang digunakan tidak bisa hanya pendekatan mainstream sebagaimana ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Epis­temologi utama paradigma ini adalah tauhid, Nabi, dan Ilmu. Berkenaan dengan paradig­ma ini terdapat beberapa pandangan. Perta­ma, keutamaan atau perlunya pengetahuan (Triyuwono, 2015). Kedua, keutamaan atau perlunya mencari pengetahuan atau menun­tut ilmu (Sahin, 2018). Ketiga, keutamaan orang berpengetahuan (Briando & Purno­mo, 2019). Keempat, pandangan mengenai prophet atau nabi (Zubairu et al., 2019). Ke­lima, pandangan mengenai Tuhan sebagai realitas absolut (Abdullah, 2015).

Page 4: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

230 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

Ilmu dalam pandangan paradigma ini tidak hanya ilmu yang tampak secara fisik atau lahiriah, akan tetapi juga ilmu yang dapat dipamahami dan dipelajari dalam bentuk rohani atau batiniah. Untuk dapat memahami ilmu dalam bentuk batiniah, Carrington (2014) dan Triyuwono (2016) mengusulkan penggunaan hati nurani. Penggunaan hati nurani yang intuitif dapat mengakomodasi pengetahuan baik secara material maupun spiritual. Intuisi adalah energi spiritual (yang di dalamnya juga me­liputi energi psikis) yang bisa difungsikan untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Mengetahui.

Petunjuk bisa diperoleh karena intui­si (energi spiritual) terkoneksi dengan Sang Pemilik Ilmu. Intuisi menurut Atkins et al. (2015) disebut juga sebagai God spot, mata hati, mata batin, atau hati nurani yang pada dasarnya ada dalam diri setiap manusia dan merupakan bawaan manusia sejak manu­sia itu lahir. Manusia lahir sejatinya telah memiliki naluri (instinct). Namun dalam per­jalanannya “tabir” intuisi tersebut dapat saja tertutup oleh sesuatu yang menghalanginya misalnya karena dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Lebih lanjut Brown (2018) menyatakan bahwa intuisi memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan yaitu menyangkut kehidupan material serta spi­ritual. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ilmu modern yang lebih mengede­pankan rasionalitas dan objektivitas. Ilmu yang dilandasi intuisi dapat menghidupkan hati dari “kematian” jiwa (Triyuwono, 2016).

Dalam membangun etika profetik, peneliti mencoba mengangkat spirit yang dilandasi oleh penyadaran kenabian. Maka, spirit profetik sesuai dengan semangat itu. Pemikiran ini juga bukan serta merta mun­cul dari prosedur olah pikir, tetapi melalui prosedur spiritual atau olah batin yang pe­neliti lakukan secara berkesinambungan. Triyuwono (2015) menyatakan bahwa olah batin (spiritual exercise) berupa zikir (medi­tasi, kontemplasi, tahannuts, atau apa pun namanya) merupakan cara yang cukup efek­tif digunakan agar tercipta suatu koneksi antara seorang hamba dengan Sang Pen­ciptanya. Lebih lanjut, peneliti mencoba untuk mengembangkan spirit profetik dari pemikiran Briando & Purnomo (2019). Spi­rit tersebut antara lain spirit kemanusiaan, spirit keilmuan, spirit kehambaan, serta spirit kesemestaan. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa etika pro­

fetik merupakan manifestasi iman, sehingga dalam konteks tersebut secara filosofis etika profetik memiliki prinsip sebagai berikut: fi­losofi humanis, filosofi emansipatoris, filoso­fi transcendental, serta filosofi teleologikal. Inilah kemudian yang menjadi alat analisis data. Spirit dan filosofis profetik merupakan logika teoritis yang diperoleh secara spiritual melalui prosedur spiritual (zikir, doa, tafak­ur dan ikhtiar)

Spirit dan prinsip filosofis tersebut kemudian dibingkai dalam satu kesatuan, yaitu spirit kemanusiaan dalam filosofi hu­manis, spirit keilmuan dalam filosofi eman­sipatoris, spirit kehambaan dalam filosofi transcendental, dan spirit kesemestaan da­lam filosofi teleologikal. Dari hasil olah ba­tin yang peneliti lakukan melalui prosedur spi ritual, maka didapati prinsip yang akan membentuk pribadi bertuah, yaitu SAFAAT­MU, yang merupakan akronim dari: shiddiq, akhlaqul karimah, fathonah, ‘adl, amanah, ta-bligh, muthmainnah, dan uswatun hasanah. Prinsip­prinsip tersebut merupakan prinsip yang terbentuk dari sifat­sifat mulia yang ada dalam diri Rasulullah Muhammad SAW. Walaupun kita sebagai hamba tidak memili­ki kemuliaan sebagaimana mulianya Rasu­lullah, setidak­tidaknya kita dapat mencon­toh sikap yang ada dalam diri beliau, karena sesungguhnya dengan mengikuti dan me­neladani apa yang telah dicontohkan oleh beliau, maka kelak di akhirat, kita dapat menuai syafaat darinya dan menjadi ham­ba yang beruntung untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Masyarakat Melayu begitu memerha­tikan harga diri atau marwah dalam seti­ap sendi kehidupan yang dijalaninya. Bagi orang Melayu marwah ibarat “tonggak” yang selalu ingin ditegakkan dan dicapai dalam kehidupan. Marwah menjadi suatu yang sakral dalam tradisi Melayu. Ibarat aliran darah di dalam tubuh, marwah ada­lah nadinya. Untuk itu, kemudian peneli­ti berdasarkan sebuah proses perenungan panjang serta melakukan prosedur spiritu­al yang berkesinambungan mencoba untuk mentransformasikan konsep marwah terse­but dalam membangun infrastruktur etika profetik. Dari sinilah kemudian lahir suatu formulasi atau logika spiritual, yaitu MAR­WAHKU. MARWAHKU sebagai manifestasi dari metafora marwah yang peneliti konsep­kan sejatinya adalah sebuah program atau cara untuk merekonstruksi infrastruktur etika yang dikembangkan oleh OECD. Da­

Page 5: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 231

lam melakukan rekonstruksi tersebut, pe­neliti mencoba menghadirkan “sang lain” agar infrastruktur yang terbangun lebih ber­sifat holistik, meliputi aspek material dan non­material.

MARWAHKU merupakan akronim dari moral management, amanah leadership, rule of law, workable code of conducts, account-ability mechanisms, high performance, kick-back un-ethical behavior, and under co-or-dinating ethics bodies supervision. Seluruh program dalam formulasi ini tidak terungkap dari prinsip atau values yang terkandung dalam konsep SAFAATMU yang telah peneli­ti terangkan sebelumnya. Inilah kemudian yang akan membedakan formulasi infras­truktur etika ini dengan infrastruktur yang dibangun oleh OECD. Formulasi MARWAH­KU lebih bersifat holistic dan tidak terbatas pada tataran material, tetapi juga spiritual. Program MARWAHKU yang telah dirancang bangun sebagai suatu infrastruktur etika yang dalam hal ini peneliti sebut sebagai etika profetik bertujuan untuk mencapai tahapan pribadi atau diri yang bertuah, yaitu pribadi atau diri yang beruntung. Tuah me rupakan cita­cita utama orang Melayu. Orang yang bertuah dianggap telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Sesung­guhnya hamba yang dapat kembali kepada Sang Khalik dengan jiwa yang suci dan ten­ang adalah seorang hamba yang beruntung. Melalui proses tersebut peneliti memperoleh inspirasi berupa masjid (melalui pandangan imajiner). Artinya, alat yang digunakan un­tuk menganalisis data dalam mencapai pri­badi bertuah adalah dengan menggunakan metafora masjid. Melalui logika metafora masjid data dianalisis sedemikian rupa se­hingga pada akhirnya dapat dirumuskan konsep TUAH (Tujuan Akhir adalah Allah).

HASIL DAN PEMBAHASANMempelajari etika, menurut hemat pe­

neliti, merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan memahami etika, se­seorang dapat menentukan salah dan benar atau buruk dan baik dalam mengevaluasi perilakunya. Khan & Naguib (2019) dan Ka­liszewska (2020) berargumentasi bahwa etika seharusnya diorientasikan kepada pencipta­an akhlak yang menyadari derajat manusia sebagai hamba Allah (Abdullah) dan seka­ligus utusan Allah (Khalifatullah). Dengan adanya kesadaran tersebut seseorang akan senantiasa melakukan segala aktivitasnya

dengan sungguh­sungguh dan penuh tang­gung jawab, bukan hanya kepada sesama manusia tetapi kepada Tuhan, diri pribadi, serta semesta alam. Pada akhirnya, pema­haman ini akan bermuara pada bangkitnya kesadaran akan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba pada kuasa Ilahi.

Pembentukan watak yang menyadari manusia sebagai hamba Allah dan seka­ligus utusan Allah merupakan bagian dari kajian Meta ethics. Hal ini sebagaimana yang di sampaikan So lomons (1983) bahwa meta e thics mempunyai perhatian terhadap pengujian logika wacana etika (the logics of ethical discourse), dengan pertanyaan­per­tanyaan seperti “bagaimanakan kita bisa mengetahui bahwa suatu tindakan adalah lebih baik dari tindakan lain?”, “dapatkan kita secara jelas mengetahui bahwa tindak­an tersebut adalah baik dan benar?”, dan “argumentasi apa yang mendukung klaim tersebut?”. Kajian etika pada tingkat ini sa­ngat penting mengingat dalam aktivitas ke­seharian, lebih­lebih dalam masyarakat yang sangat majemuk, seringkali ditemukan bahwa apa yang dianggap benar dan baik oleh suatu kelompok ternyata merupakan hal yang salah dan buruk bagi kelompok ma syarakat lain.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengertian tentang konsep baik dan benar bisa berbeda antara satu dengan lainnya dan bersifat kontradiktif. Argumentasi ini menunjukkan bahwa ada sifat relativitas yang terkandung dalam nilai­nilai etika. Keadaan ini dalam pemikiran West (2018) semakin jelas bila dilihat dari, pertama, sifat etika itu sendiri yang selalu berubah sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya, dan kedua, sifat manusia sendiri yang mempu­nyai kebebasan memilih nilai­nilai etika yang telah tersedia. Masalah­masalah yang prob­lematis dan dilematis seperti ini merupakan dae rah kajian meta ethics. Meta ethics men­coba memberikan penjelasan terhadap etika alternatif, niai­nilai etika, dan memberikan teknik­teknik analisis etika (Narayan, 2016).

Hal ini pula yang membedakan kajian dalam ranah meta ethics dengan substantive ethics. Husein (2018) dan Lehman (2014) be­rargumentasi bahwa substantive ethics me­rupakan tingkat pertama dalam kajian etika yang mendiskusikan secara langsung per­tanyaan­pertanyaan praktis tentang pe rilaku manusia, misalnya pertanyaan tentang tin­dakan jenis apa yang dapat dikatakan baik dan benar yang seharusnya dilakukan oleh

Page 6: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

232 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

seseorang, atau tindakan apa yang secara etis tidak baik dan tidak benar yang seha­rusnya tidak perlu dilakukan. Sementara itu, kajian meta­ethics diarahkan pada ka­jian tentang apa sebetulnya yang dimaksud baik dan benar itu.

Birokrasi pemerintah sebagai pelaksa­na administrasi negara memiliki kewenang­an yang tinggi dalam aktivitas pengelolaan keuangan negara, inventarisasi barang mi­lik negara, serta penentuan kebijakan. Ke­wenangan yang demikian besar memerlukan suatu alat kendali dalam mencegah penya­lahgunaan kekuasaan dan petunjuk kon kret agar tercipta kualitas pemerintahan yang baik (good government governance). Salah satu kendali utama yang sekarang menjadi fokus dalam birokrasi adalah pembentuk­an pribadi etis dan integritas pada jajaran aparatur sipil negara. Tanpa adanya standar pembentuk pribadi etis tersebut yang bia­sa tertuang dalam kode etik, maka untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, pe­rilaku korupsi, dan sejenisnya akan menjadi hal yang rumit untuk dilakukan (D’onza et al., 2017; Doig, 2014).

Etika memiliki permasalahan yang kompleks karena menyangkut nilai­nilai yang diyakini oleh seseorang dalam menja­lani kehidupan serta aturan­aturan menge­nai segala tindak tanduk seseorang dalam berperilaku. Beberapa peneliti memperta­jam definisi etika dalam sejumlah konteks. Pertama, Nilai­nilai yang menjadi acuan bagi individu atau kelompok dalam mena­ta perangainya (Gray & Milne, 2018). Misal, jika membahas etika orang Melayu dan etika agama, maka etika dalam konteks ini bukan sebagai suatu ilmu pengetahuan melaink­an sebagai sistem moral atau nilai. Kedua, kumpulan peraturan atau nilai mo ral yang acapkali dikonotasikan sebagai kode etik (Spalding & Lawrie, 2019). Hal ini tercermin pada kode etik aparatur sipil negara mau­pun jurnalis. Ketiga, ilmu tentang hakikat benar atau salah dan baik atau buruk yang selalu dikaitkan dengan asas­asas dan ke­sepakatan universal (Howieson, 2018). Etika yang dimaksud dalam definisi ini menjadi bahan kajian serta refleksi bagi suatu pene­litian sistematis, atau sering disebut sebagai filsafat moral.

Etika menjadi salah satu pedoman pen­ting dalam birokrasi. Etika akan memberi­kan suatu kontrol atau petunjuk arah layak­nya “kompas” agar proses dalam organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, tera­

rah dan memuaskan berbagai elemen terkait. Setidaknya terdapat dua alasan utama yang dapat dikaitkan dengan hal ini. Pertama, problematika dan isu dalam birokrasi memi­liki kompleksitas yang tinggi, sehingga inter­aksi antar sesama dapat mengalami konflik yang disebabkan oleh nilai yang dibangun dalam tim, nilai individu dan faktor budaya, atau organisasi itu sendiri (Russell, 2019). Kedua, dinamika perkembangan pemba­ngunan menuntut lingkungan birokrasi un­tuk dapat bekerja secara cepat, tepat, dan dinamis. Birokrasi secara fleksibel dituntut untuk melakukan adjustment (penyesuaian) yang berdampak pada discretionary po wer (kebijaksanaan) yang besar (Doig, 2014). Oleh karena itu, etika diharapkan dapat di­jadikan pedoman atau petunjuk arah dalam pengambilan kebijakan tertentu.

Membicarakan etika dan pelayanan publik adalah bagaimana keduanya dapat saling terkait satu sama lain. Hal ini dilaku­kan dengan cara apa buah pikiran dalam pe­layanan publik seperti gerakan anti korupsi, efisiensi, dan efektifitas dalam pengangga­ran serta pencapaian kinerja yang optimal memerankan etika dalam tataran praktis, dan bagaimana ide fundamental etika dalam mengonstruksi hal­hal baik dan menghapus yang tidak baik dapat menggambarkan pe­layanan publik tersebut (D’onza et al., 2017; Russell, 2019).

Sementara itu, membincang masalah etika dalam mengelola keuangan negara bagaikan membicarakan sesuatu yang ber­sifat abstrak. Hal ini dikarenakan dalam se­tiap diri pri badi aparatur memiliki asumsi yang berbeda dalam memaknai pengelolaan keuang an negara itu sendiri. Sebagian pen­gelola keuangan masih memiliki anggapan bahwa uang yang dialokasikan dalam setiap mata anggaran yang disusun merupakan se­suatu yang bersifat materi saja, tanpa mera­sa bahwa uang tersebut sejatinya adalah amanah yang harus dikelola dengan sebaik mungkin dan dapat dipertanggungjawab­kan di dunia atau akhirat (Ahn & Jacobs, 2018; Mbelwa et al., 2019). Pada titik inilah sejatinya pengelola keuangan negara telah kehilangan spirit dalam memaknai kerja itu sendiri sebagai bentuk ritual ibadah seorang hamba kepada Penciptanya.

Pernah suatu ketika peneliti menanya­kan pelaksanaan kegiatan kepada salah se­orang oknum pejabat pengelola keuangan. Peneliti mendapat jawaban yang membuat terhentak. Beliau dengan nada yang kece­

Page 7: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 233

wa mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak mendapat “keuntungan” sama sekali dari dana sisa anggaran. Malah dengan te­gas beliau mengatakan “tekor” dalam pelak­sanaan kegiatan tersebut. Hal ini tentu saja membuat peneliti bertanya, apakah yang bersangkutan merasa dana yang dikeluar­kan layaknya dana pribadi seorang peda­gang yang mengatakan bahwa dagangannya pada hari ini menderita kerugian alias tekor dikarenakan target penjualan tidak tercapai.

Fenomena tersebut tentu saja menja­di sesuatu hal yang tidak patut dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan. Pengelola keuangan negara seharusnya memiliki ke­wajiban dalam mempertanggungjawabkan dana yang sudah diamanahkan, alih­alih merasa dana tersebut ibarat uang pribadi yang dapat dipakai dengan sesuka hati, bah­kan lebih miris lagi malah dijadikan target dalam mendapatkan “keuntungan” pri badi. Di samping itu, efek dari diwajibkannya penyerapan anggaran yang tinggi membu­ka ruang bagi pengelola keuangan untuk dapat melakukan aksi­aksi kreatif agar dana yang sudah dialokasikan dapat dihabiskan dengan maksimal di akhir tahun anggaran nantinya (Ahn & Jacobs, 2018; Mbelwa et al., 2019). Maka, tidak mengherankan jika di lemari bendahara atau laci para pengelola keuangan lazim ditemukan lembar­lembar nota kosong yang sudah bercap basah atau­pun cap­cap toko atau rumah makan pihak terkait yang “aspal” (asli tapi palsu). Jika pengelola keuangan masih melakukan hal­hal sebagaimana yang telah peneliti jabar­kan, maka sesungguhnya dalam diri mereka masih belum terbentuk pribadi bertuah atau beruntung.

Selayang pandang potret akuntansi sektor publik di Indonesia. Tan Malaka per­nah berujar: “Yang mengatakan benda ada­lah sesuatu yang mendahului fikiran, itulah para pengikut materialisme”. Hal ini ternya­ta kurang lebih merasuki pula alam pikiran mayoritas para pengelola keuangan negara. Etika pengelola keuangan negara yang sarat dengan materialisme dan hedonisme serta selalu bersandar dan berpadu padan dengan spirit induknya, yaitu kapitalisme, bisa saja dipengaruhi oleh praktik akuntansi modern yang notabene sarat manifestasi dari nilai­nilai kapitalistik yang melekat di dalamnya. Kapitalisme itu sendiri banyak mendayagu­nakan konsep etika ultilitarianisme (Sitorus, 2015; Sitorus et al., 2017). Etika ini selalu bersandar pada imbas sebuah aktivitas yang

diukur dengan utilitas (utility). Utilitas yang dimaknai oleh etika ini adalah utilitas dalam bentuk materi. Adapun materi di sini adalah uang. Dengan ukuran ini tindak tanduk etis (atau tidak etis) seseorang hanya dipandang dari seberapa banyak orang tersebut meng­hasilkan uang (Triyuwono, 2015).

Akuntansi sektor publik sebagai bagian dari produk akuntansi modern dalam gaung reformasi keuangan negara tidak terlepas dari spirit pembaruan yang dibawanya. An­ggapan tentang superioritas sektor private sebagai satu­satunya spirit pembaruan yang dianggap mampu dalam mengubah wa­jah sektor publik di negara ini, yang se ring dianggap lamban dan berbelit­belit te lah memberi ruang yang luas bagi new pu blic management (NPM) untuk dapat masuk ke dalam “tubuh” organisasi sektor publik (Ka­mayanti, 2011). Spirit yang dibawa oleh NPM sendiri pada inti nya adalah mengurangi atau bahkan menca but perbedaan antara sektor privat dengan sektor publik dan mengges­er akuntabilitas yang awalnya hanya fokus terhadap proses menuju akuntabilitas yang fokus pada hasil akhir. Tidak mengherankan kemudian jika praktik pengelolaan keuang­an negara selalu berfokus pada pencapaian penyerapan anggaran yang maksimal, se­bagaimana terlihat dari urgensitas laporan realisasi anggaran (Tresnawati & Setiawan, 2013).

Semangat sektor privat yang dibawa oleh NPM selalu berkelindan dengan spirit kapitalisme yang berujung pada pengham­baan terhadap materi dan fokus pada hasil akhir. Kamayanti (2011) melakukan map-ping terhadap semangat NPM dengan fokus pada pengendalian output dan kesederha­naan dalam pengalokasian sumber daya. Lebih lanjut Tresnawati & Setiawan (2013) menyebutkan pula bahwa doktrin yang diba­wa oleh NPM lebih menekankan pentingnya informasi keuangan seperti Laporan Reali­sasi Anggaran, Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Di samping semangat sektor privat yang diusung oleh NPM, Ikatan Akuntan In­donesia (IAI) juga memutuskan untuk meng­adopsi secara paripurna International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) sebagai Standar Akuntansi Pemerintahan yang no­tabene mengacu pada International Finan-cial Accounting Standard (IFRS) tanpa pro­ses filtrasi memadai (Tresnawati & Setiawan, 2013). Filosofi IFRS ini dalam pandang an kritis Mulawarman (2020) adalah alat im­

Page 8: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

234 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

perialisme yang sepak terjangnya selalu memihak pada investor dibandingkan stake-holders lain (Tuhan, manusia, dan alam). Semangat memperkaya investor tersebut dalam bentuk akumulasi kekayaan merupa­kan semangat yang diwarisi oleh jiwa ka­pitalistis. Jika dikritisi secara fundamental, sifat akuntansi modern sendiri, termasuk di dalamnya akuntansi sektor publik pada dasarnya memiliki jiwa kapitalis dan men­dukung kapitalisme.

Negara­negara yang sedang berkem­bang termasuk Indonesia disorot akibat bi­rokrasi yang lamban serta ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam menjalani roda pemerintahan. Negara­negara tersebut di­dorong menuju pada proses yang bercirikan industrialisasi dan modernisasi terhadap pertumbuhan dan kemajuan pembangun­an sosialnya. Pada saat itulah liberalisme mendapatkan momentumnya melalui In-ternational Monetary Fund (IMF) dan World Bank dengan cara memberikan bantuan moneter dalam bentuk utang (debt trap) ke­pada negara­negara tersebut dengan dalih mempercepat proses pembangunan. Setelah negara terjerat utang, IMF dan World Bank memainkan perannya untuk memaksa nega­ra­negara tersebut agar membuat kebijakan (policy) yang mendukung kepentingannya serta melakukan restrukturisasi pemerin­tahan, termasuk salah satunya pengetatan anggaran pendapatan belanja negara atau daerah (Kamayanti, 2011).

Tatkala sebuah negara telah terje bak utang (debt trap), maka negara tersebut akan mudah untuk “disetir” sesuai dengan kehen­dak pengemudinya atau sang pemberi utang. Inilah fenomena yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Negara­negara yang telah mem­berikan pinjaman dalam bentuk utang, den­gan mudahnya mengatur negara kita sesuai dengan apa yang dikehendakinya (Kamayan­ti, 2011; Tresnawati & Setiawan, 2013). Hal ini akan berdampak pada sulitnya nega­ra membuat regulasi atau kebijakan (poli-cy) yang berpihak pada kepen tingan rakyat banyak. Pada titik inilah se sungguhnya se­buah negara telah kehilang an kedaulatan­nya meskipun masih berada dalam “alam” kemerdekaan (Mulawarman, 2020).

Beberapa fenomena yang tampak terse­but sesungguhnya semakin menunjukkan bahwa yang membentuk etika pengelola keuangan negara “bermahzab” materialisme dan berorientasi pada hasil akhir dalam me­ngelola uang negara bersumber dari semang­

at akuntansi sektor publik itu sendiri yang diadopsi secara paripurna dari IPSAS yang merupakan turunan dari IFRS dengan se­mangat kapitalisme yang melekat di dalam­nya (Kamayanti, 2011). Pada konteks inilah etika profetik mencoba untuk memberikan alternatif lain sebagai langkah emansipato­ris melalui spirit yang diangkat dari nilai­nilai ketauhidan dan kenabian serta berpi­jak pada kearifan lokal (local wisdom). Etika profetik mencoba untuk mengangkat “sang lain” sebagai pembebas dari keterbelenggu­an etika mainstream yang sarat dengan jiwa kapitalistis sehingga diri pribadi dapat men­jadi pribadi yang bertuah atau beruntun ter­masuk pengelola keuangan negara.

Mainstream model pengembang­an etika organisasi. Fenomena atas ke­beradaan etika dalam suatu organisasi, khu­susnya birokrasi pemerintahan merupakan hal yang menarik untuk didiskusikan. Etika merupakan pedoman penting dalam birokra­si. Persoalan etika acapkali diduga sebagai masalah perseorangan dan multidimensio­nal, sempadan dalam situasi ini misalnya menyangkut beberapa aspek, seperti ma­salah kepercayaan dan keyakinan ataupun latar belakang diri personal tersebut. Maiga (2019) menyatakan bahwa etika sebenarnya meliputi suatu urutan pelaksanaan yang ru­mit dalam menentukan apa yang sebaiknya dilakukan seseorang terhadap kondisi atau situasi tertentu, yang urutan pelaksanaan­nya meliputi keselarasan pertimbangan ba­gian dalam (inner) dan luar (outer) meliputi kombinasi yang khas dan unik dari proses pembelajaran maupun pengalaman tiap­ti­ap individu. Birokrasi senantiasa ditun­tut membuat kebijakan dengan kekuatan yang dimilikinya sehingga mengakibatkan penyesuaian regulasi. Hal inilah yang kemu­dian menjadikan etika penting untuk di­aplikasikan (D’onza et al., 2017).

Birokrasi mempunyai regulasi terkait tingkah laku yang wajib diaplikasikan se­bagai kode etik atau pedoman bagi setiap aparaturnya. Dalam pengaplikasian etika, kode etik melambangkan kumpulan aturan dasar etika yang terkenal di sebagian besar organisasi (Akhtyamova et al., 2015; For­ster & Fenwick , 2015). Kode etik selayak­nya di susun dengan melihat aspek­aspek kepen tingan pihak eksternal maupun in­ternal. Kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tertuang dalam PP Nomor 42 Tahun 2004 menerangkan tentang pedoman sikap, perbuatan, tingkah laku yang seharusnya

Page 9: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 235

dilakukan oleh PNS dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta interaksi sosial se­hari­hari. Kode etik tersebut meliputi as­pek­aspek etika dalam bernegara dan hal­hal fundamental lainnya.

Kebutuhan akan aplikasi etika dalam organisasi pada dasarnya terletak pada ska­la makro dan skala mikro. Briando & Purno­mo (2019) dan Triyuwono (2016) menyebut­kan bahwa dalam skala makro, hakikat organisasi tidak bisa lepas dari sistem nilai etika (misalnya sistem politik, ekonomi, so­sial, budaya, dan agama). Selanjutnya dalam skala mikro, adanya kemampuan manusia sebagai individu yang memiliki kapasitas untuk menciptakan dan membangun reali­tas, yaitu realitas dengan jaringan sistem nilai yang mampu mengikat setiap aktivi­tas kehidupan individu­individu yang ada dalam masyarakat secara majemuk. Dika­takan pula bahwa ketika sebuah realitas telah terbentuk, tetapi tanpa didasari oleh nilai­nilai etika (values ethic). Maka, realitas yang dibentuk tersebut akan menjaring ke­hidupan individu­individu masuk ke dalam jaringan­jaringan masyarakat tanpa memili­ki nilai etika. Akibatnya, tatanan kehidupan sosial menjadi hancur dan rusak sehingga masyarakat yang bersangkutan pada haki­katnya sudah dianggap tiada atau telah “mati”.

Kemajemukan yang terdapat dalam kedua skala tersebut memang sulit dihindari, karena kemajemukan itu sendiri merupakan fenomena yang bersifat natural atau “ala­miah”. Hal ini memberikan indikasi bahwa kemajemukan itu merupakan sesuatu yang lumrah ada. Namun, di samping kemajemu­kan tersebut, harus ada sebuah nilai (value) yang dapat diterima oleh semua pihak dan bersifat universal. Kesepakatan dasar (basic agreement) dimaksud tidak lain adalah nilai­nilai universal yang secara mantap disetujui dan diakui bersama oleh berbagai kalangan tanpa ada sekat dimensi ruang dan waktu. Contoh dari nilai tersebut adalah kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kedua nilai tersebut sejatinya lumrah berada pada indi­vidu dan tidak seorang pun resisten dengan nilai­nilai tersebut.

Schwartz (2002) merefleksikan ba­rometer universal dalam merumuskan kode etik meliputi beberapa aspek seperti ke­percayaan, saling menghormati, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan hak ke­warganegraan. Nilai­nilai universal tersebut dapat diterima secara umum oleh berbagai

kalangan dikarenakan sesuai dengan prin­sip kebenaran dan keadilan. Namun fakta­nya, pencarian nilai kebenaran dan keadilan tersebut tidak gampang diimplementasikan karena perbedaan sudut pandang (world view) antara satu individu dengan yang lain­nya. Oleh karena itu, sudut pandang terha­dap nilai tersebut akhirnya menjadi beragam; dalam arti bahwa memang ada perbedaan persepsi dalam segi “bentuk”, tetapi hakikat kebenaran dan keadilan itu sendiri adalah sama (Triyuwono, 2015).

Berdasarkan investigasi dari peneliti­annya, Schwartz (2002) menguraikan bah­wa masih terdapat perbedaan persepsi atau pandangan baik secara normatif maupun empiris atas keberadaan kode etik. Dika­takan pula bahwa keberadaan kode etik pada organisasi belum berdampak signifikan ter­hadap tingkah laku etis dan belum bisa men­jadi penuntun bagi pekerja atau organisasi untuk bersikap etis dalam kesehariannya sebagaimana harapan oleh stakeholders­nya (Zhou et al., 2018). Pada kondisi semacam ini kode etik hanyalah sekadar simbolisme etis organisasi. Hal ini pula yang peneliti ra­sakan selama menjabat sebagai pengelola keuangan di tempat peneliti bekerja. Kode etik yang telah diramu oleh pembuat kebi­jakan seolah hanya menjadi pajangan atau simbol untuk memeriahkan sudut­sudut ru­angan kantor.

Untuk menghindari ketidakterterapan kode etik, Schwartz (2002) menyatakan bah­wa dalam merumuskan kode etik perlu mem­perhatikan aspek­aspek fundamental yang berkaitan dengan waktu, keyakinan agama, budaya, serta situasi dan kondisi yang ada. Upaya menggunakan keyakinan agama da­lam membangun etika dan kode etik bukan­lah sesuatu yang utopis. Hal tersebut per­nah dilakukan oleh Kawas et. al (2020) yang melakukan internalisasi nilai­nilai dalam ajaran Islam dalam mengembangkan etika bisnis. Dalam konteks yang berbeda, Bor­deman & Westermann (2019) dan McPhail & Cordery (2019) menyatakan kode etik secara prinsip sebaiknya dibuat agar dapat men­dukung dan mendorong eksistensi organisa­si dan karyawan serta membe rikan inspirasi bagi mereka agar senantiasa dapat bekerja secara profesional dan berpe rilaku etis da­lam menjalankan aktivitasnya.

Terlepas dari masih terdapatnya per­bedaan persepsi atas keberadaan kode etik, eksistensi penerapan kode etik sejatinya tetap dibutuhkan. Alegori adab yang disiste­

Page 10: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

236 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

matisasi dalam kode etik harus diapresiasi sebagai ikhtiar positif dalam membentuk pe­rilaku karyawan dan organisasi agar dapat bekerja dengan lebih baik dan bermartabat sehingga menumbuhkan suatu penyadar­an bahwa bekerja merupakan suatu ben­tuk ikhtiar dan ibadah yang akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya kepada atasan tetapi juga kepada Sang Pemberi Rezeki Tuhan Semesta Alam (Kaliszewska, 2020; McPhail & Cordery, 2019).

Pada saat yang sama mesti juga dipa­hami bahwa keberadaan kode etik belumlah cukup membentuk tingkah laku pekerja dan organisasi menjadi lebih etis. Merujuk fak­ta yang ada bahwa masih terdapat perilaku yang tidak etis dalam pengelolaan keuangan negara seperti yang telah diuraikan sebe­lumnya. Sehingga harapan dalam memben­tuk pribadi bertuah masih jauh dari yang dicita­citakan. Hal tersebut harus ditindak­lanjuti dengan mengkreasikan suatu sistem etika baru secara lebih komprehensif dan fundamental melalui etika profetik.

Dilema etis: terjebak antara hati nu­rani dan perintah pimpinan. White & Lam (2000) mengemukakan bahwa kode etik yang telah dibuat atau diciptakan oleh or­ganisasi tidak berpengaruh secara signifikan dalam menekan terjadinya dilema etis. Se­lain itu, diungkapkan juga bahwa organisasi kurang menerapkan program­program yang mengarah pada pembentukan etika bagi stafnya. Pada sisi lainnya, Zhou et al. (2018)

berargumentasi bahwa organisasi yang me­nerapkan kode etik secara tertulis memili­ki kecenderungan melakukan pelanggaran kode etik lebih tinggi daripada yang lain­nya. Pelanggaran tersebut tetap terjadi kare­na tidak optimalnya sebaran informasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman atas implementasi kode etik dan sikap acuh tak acuh dari karyawan terhadap keberadaan kode etik.

Jika kita melihat Gambar 1, terlihat fak­tor means, motivation, dan opportunity. Fak­tor­faktor tersebut memberikan pe ngaruh langsung pada perilaku tidak etis dalam institusi. Hal ini berdasar pada pendapat bahwa orang­perorangan cenderung lebih tertarik berhadapan dengan dilema etis da­lam beberapa situasi. Pertama, organisasi tidak merumuskan serta mengaplikasikan “means” dalam menghalau perilaku tidak etis. Kedua, individu memiliki “motivasi” pribadi atau personal “motivation” yang di­peroleh dari perilaku tidak etis. Ketiga, situa­si kerja membuka ruang “opportunity” dalam membentuk perilaku dan praktik tidak etis.

Faktor pertama adalah means, regulasi yang mengatur tata cara dan kebijakan da­lam suatu organisasi/institusi yang secara khusus mengacu pada etika. Kode etik yang telah dikreasikan oleh organisasi/institu­si, dan menilik diskusi sebelumnya, terma­suk dalam pengertian ini. Faktor berikutnya adalah motivation. Orang­perorangan dalam suatu organisasi/institusi acapkali berpijak

Organizational Climate

Individual Needs Job Positions

Means

OpportunityMotivation

Gambar 1. Komponen­Komponen Munculnya Dilema EtisSumber: White & Lam (2000)

Page 11: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 237

dari beragam motivasi diri yang mewarnai sistem nilai yang dianutnya. Ketika sistem nilai yang muncul dalam organisasi/insti­tusi tidak dapat mendorong individu untuk bersikap etis, maka motivasi individual da­lam meraih kebutuhan pribadi tidak dapat dihindarkan yang pada akhirnya menyebab­kan perilaku curang. Oleh karena itu, aspek pemenuhan kebutuhan pribadi dalam ber­bagai perspektifnya harus menjadi perha­tian. Sementara itu, faktor terakhir adalah opportunity. Perilaku tidak etis seringkali muncul karena posisi atau kedudukan yang dimiliki oleh seseorang di tempat ia beker­ja. Seberapa tinggi kesempatan (opportunity) yang dimiliki oleh seseorang dengan meman­faatkan posisi kerja juga erat kaitannya de­ngan keberadaan means dan terjaganya mo-tivation.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi seringkali pengelola keuangan menghadapi dilema etis yang disebabkan oleh tekanan yang dilakukan pimpinan. Pimpinan yang kerap menyalahgunakan opportunity da­lam memberikan instruksi kepada bawah­an untuk mengerjakan sesuatu yang tidak etis, contoh: membuat perjalanan dinas fik­tif, laporan pertanggungjawaban fiktif, dan laporan keuangan fiktif yang mengakibatkan timbulnya konflik batin dalam diri pengelola keuangan.

Studi yang dilakukan oleh Briando & Purnomo (2019) juga menyebutkan bahwa kesempatan (opportunity) merupakan fak­tor pendorong seseorang untuk melakukan fraud. Ketika tekanan terjadi tetapi tidak memiliki kesempatan, maka peluang terjadi­nya fraud relatif kecil. Sebaliknya, ketika se­seorang memiliki kesempatan walaupun tan­pa tekanan, maka peluang terjadinya fraud semakin besar. Walaupun dalam kajian lain mengindikasikan bahwa tekanan juga mem­berikan kontribusi besar terhadap terjadin­ya fraud. Tekanan bisa berbentuk organisa­sional di tempat kerja, tekanan keuangan serta tekanan di luar aspek tersebut. Lebih lanjut tekanan dapat berasal dari internal diri sendiri, contoh: karena bad habbit, style, dan tekanan eksternal yang disebabkan or­ganisasi. Tekanan yang disebabkan oleh or­ganisasi (tekanan oleh atasan salah satunya) memiliki kontribusi yang tinggi terhadap ter­jadinya korupsi (Zhou et al., 2018).

Ketika bercermin pada khazanah ke­arifan lokal, kita akan menemukan bahwa kondisi nir­etika semacam di atas sejati nya sungguhlah bertentangan. Dalam ajaran

Melayu misalkan, selalu ditekankan bahwa rezeki sudah digariskan dan diatur oleh Tu­han Semesta Alam, jadi tidak perlu mencari lebih dari apa yang didapat. Sesuai dengan ungkapan Melayu “secupak tak akan menja­di segantang”, artinya apa yang sudah diten­tukan itulah rezeki kita, janganlah mengejar berlebih­lebihan (Jamian et al., 2017; Ming, 2012). Jika pengelola keuangan mengamal­kan khasanah tersebut tentu saja harapan dan cita­cita dalam membentuk pribadi ber­tuah atau beruntung bukan sesuatu yang utopis.

Budaya Melayu sebagai jalan mem­bangun etika. Melayu adalah salah satu suku bangsa dari sejumlah suku bangsa di Indonesia. Orang Melayu sesuai dengan alam, lingkungan, dan kemampuan (cipta, rasa, dan karsa) telah mewariskan kebu­dayaan yang merupakan salah satu pun­cak dari kebudayaaan nasional Indonesia (Abdullah, 2017). Salah satu hasil budaya manusia adalah filsafat. Oleh karena itu fil­safat adalah kebudayaan yang berbentuk kebudayaan non­material. Dari berbagai pengertian filsafat, terdapat pengertian yaitu pandangan hidup dan hasil pikiran manusia yang kritis, analitis, mendalam, sistematis, serta me rupakan refleksi lebih lanjut dari ilmu pengetahuan termasuk etika di dalam­nya (Solissa, 2020).

Mengkaji alam pikiran manusia be­rarti mengkaji cara­cara manusia itu me­nentukan kebenaran, menentukan adanya sesuatu (ontologi) mengapa dan bagaimana adanya itu (epistimologi) dan untuk apa se­suatu itu (aksiologi). Untuk mengkaji alam pikiran orang Melayu, perlu bertolak dari sudut pandang hidupnya. Dengan mengka­ji pandangan hidup itu kiranya tergambar ciri­ciri alam pikiran mereka (Anatassia et al., 2015; Aslan, 2017). Bagi orang Melayu, Islam adalah ajaran yang menjadi panut­an. Hal ini memberikan pengertian bahwa norma­norma sosial serta seluruh aktivitas orang Melayu wajib merujuk pada nilai­nilai Islam, seperti ungkapan:

“Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullahAdat ialah syarak semataAdat semata Qur’an dan SunnahAdat sebenar adat ialah kitabullah dan sunnah nabiSyarak mengata, adat memakaiYa kata syarak, benar kata adatAdat tumbuh dari syarak, syarak

Page 12: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

238 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

tumbuh dari kitabullahBerdiri adat karena syarak.”

Artinya, adat kebiasaan yang dilaku­kan oleh orang Melayu selalu bersandarkan pada hukum Islam yang terdapat dalam ki­tab suci yang diwahyukan Allah SWT. Berse­batinya Melayu masuk agama Islam akan disebut sebagai orang yang masuk Melayu. Sebaliknya, orang Melayu pindah ke agama lain, dikatakan orang tersebut telah keluar dari suku bangsa Melayu (Abdullah, 2017; Ming, 2012).

Dalam budaya Melayu Islam menjadi “tulang punggung” dalam mengembangkan nilai­nilai kehidupan (way of life), sehingga dalam jati diri orang Melayu terwujud life-style yang Islami. Menyatunya budaya dan nilai Islam inilah yang pada akhirnya mem­buat orang Melayu memiliki akal budi yang tinggi, perangai yang terpuji, lembut dalam bertutur, bijak dalam bertindak, serta ha­lus dalam bahasa. Norma serta aturan da­lam agama menjadi tolok ukur pertama dan utama dalam menentukan etika kehidupan (Briando & Embi, 2019; Nasilah et al., 2015)

Dalam tradisi Melayu seorang yang be­runtung itu disebut sebagai orang atau pri­badi bertuah. Menjadi bertuah adalah suatu harapan dan cita­cita tertinggi bagi orang Melayu sebagaimana ungkapan Melayu beri­kut ini:

“Apa tanda orang bertuahSempurna hidup dengan matinyaSempurna akal dengan budinyaSempurna adat dengan syaraknyaSempurna ilmu dengan amalnyaApa tanda orang yang takwaHidup bergantung pada Yang EsaMati berpegang pada yang satuDada dipahat dengan imanLidah diisi dengan petuah.”

Dekat dengan Tuhan merupakan suatu “tuah” atau keberuntungan yang tidak ter­nilai harganya, karena dekat dengan Tuhan akan membuka jalan bagi seorang hamba untuk meniti jalan yang lurus agar kem­bali kepada Sang Pencipta dengan kalbu yang suci dan penuh kemenangan sehingga mendapat ketenangan hidup di dunia dan akhirat. Inilah makna “tuah” sesungguh­nya. Tuah dapat dicapai dengan takwa, ya­itu kedudukan seorang hamba yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta.

Tuah merupakan suatu sikap mental yang dapat menghantarkan seorang indi­vidu kepada ketundukan terhadap Pencip­tanya. Sikap mental ini bertalian dengan kepribadian (personality) seseorang yang terwujud dari sistem hubungan atau inter­nalisasi konsepsi ajaran Tauhid ke dalam “diri” (self)­nya. Hal ini sejalan dengan argu­mentasi Griffel (2015) dan MacHlis (2014), khususnya mengenai konsep trilogi ajaran Ilahi (Islam. Iman, dan Ihsan) dan konsep takwa, tawakal, dan ikhlas sebagai wujud ikatan agama. Hal ini mengindikasikan bah­wa konsepsi Islam, iman, dan ihsan meng­gambarkan fase kedewasaan dan kematang­an kepribadian menuju ketakwaan, yaitu berurutan dari tingkat tertinggi sampai te­rendah. Jadi, takwa dalam takrif “semangat Ketuhanan” mengasung pengertian bahwa takwa bukan hanya menuntut hamba mem­punyai ilmu tinggi tentang Sunatullah, teta­pi juga menataati segala perintah Allah SWT.

Triyuwono (2016) berargumentasi bah­wa takwa adalah capaian spiritual seorang hamba di mana ia merasakan ketundukan kepada Sang Pencipta, atau Ia seutuhnya merasa bahwa ruhnya digerakkan oleh Tu­han Yang Maha Berkehendak. Dalam per­spektif Melayu, takwa bermakna bahwa hi­dup bergantung pada Tuhan Yang Maha Esa, mati berpegang pada agama Allah, dada dipenuhi dengan pancaran iman, serta lidah selalu diisi dengan zikir, doa, dan meng­ingat kepada­Nya. Lisan selalu dipenuhi dengan petuah dan teladan (Jamian et al., 2017; Thamrin, 2015). Muaranya, manusia tahu mana yang baik dan buruk atas kehen­dak­Nya, yang salah dan benar atas petun­juk Nabiyullah. Inilah pribadi bertuah yang kelak siap secara lahir dan batin untuk ber­temu dengan Sang Pencipta. Inilah sejatinya hakikat “tuah” yang harus dimiliki oleh pe­ngelola keuangan negara.

Tujuan akhir adalah Allah (Tuah). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa eti­ka profetik adalah etika yang dibangun atas persaksian iman, yang kemudian memun­culkan penyadaran ketuhanan, kenabian dan keilmuan. Kemudian melalui konsep dasar pandangan hidup dan alam pikiran orang Melayu yang mengakui bahwa realitas absolut adalah Allah, maka dapat dipahami bahwa tujuan hidup manusia adalah kem­bali kepada Sang Pencipta. Kembali pada Sang Pencipta adalah tujuan yang absolut dan konkret bagi seorang hamba. Salah satu

Page 13: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 239

cara agar dapat bertemu dengan Tuhan ke­lak di akhirat adalah dengan memperoleh syafaat dari baginda nabi dengan cara mene­ladani sifat­sifat mulia beliau. Peneliti kemu­dian mencoba untuk menghadirkan suatu metafora atas temuan penelitian dengan di­awali prosedur spiritual yaitu: zikir, doa, dan tafakur.

Peneliti kemudian memanjatkan doa kepada Sang Pemilik Ilmu. Doa tersebut ber­bunyi:

“Wahai Allah yang memiliki kera­jaan, Engkau beri kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendak i dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau ke­hendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan­Mu lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakua­sa atas segala sesuatu, Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau keluarkan yang hid­up dari yang mati dan Engkau kel­uarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hi sab”

Di waktu akhir peneliti melakukan prosedur tersebut, tiba­tiba saja dalam benak peneliti dihadirkan suatu gambaran yang secara jelas tervisualisasikan dalam bentuk bangunan masjid. Pada titik inilah intuisi seorang peneliti mulai dikedepan kan. Masjid merupakan rumah ibadah umat Is­lam, tempat aktivitas ibadah sebagian besar dilakukan. Masjid itu sendiri merupakan simbol riil ukhuwah Islamiyah karena me­rupakan manifestasi dari kegiatan ibadah seperti sholat berjamaah, tadabur Al­Qur’an, zakat, infak, dan sedekah.

Metafora masjid tampak seperti pada Gambar 2. Masjid secara umum memiliki bagian utama dalam infrastrukturnya. Ba­gian tersebut antara lain terdiri dari lantai masjid, dinding masjid, menara masjid serta atap atau kubah masjid. Jika memperhati­kan bangunan masjid pada umumnya, kita akan sering melihat suatu simbol di bagian ujung atap atau kubah masjid tersebut. Simbol tersebut tidak lain dan tidak bu­kan adalah Allah. Simbol tersebutlah yang menjadi tujuan akhir manusia dalam per­jalanannya menuju “kampung” akhirat se­bagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surah An­Najm ayat 42 yang berbunyi: “dan sesungguhnya hanya kepada Allah lah tu­

Gambar 2. Metafora Masjid

PRINSIP FILOSOFIS PROFETIK

TUAH SPIRIT PROFETIK

SAFAATMU MARWAHKU

KONSEPSI HIDUP MELAYU

Page 14: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

240 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

juan akhir”, yaitu kembali kepada Tuhan untuk bertemu dengan­Nya dalam keadaan jiwa yang suci dan tenang. Keberadaannya mutlak, karena Dia adalah Yang Mahamut­lak di mana semua makhluk akan kembali termasuk para aparatur pengelola keuangan negara.

Semua bagian infrastruktur etika pro­fetik yang terdapat dalam metafora mas­jid tersebut menuju pada titik pusat yaitu Tuhan Semesta Alam, Allah SWT. Sebelum sampai pada titik tersebut setiap bagian dari masjid harus dibangun dengan pondasi yang kuat yang terdiri dari beberapa infra­strukstur.

Infrastruktur 1: pondasi masjid. Ba­gian awal yang harus dibangun tentu saja pondasi atau lantai masjid. Konsepsi hidup Melayu yang terdiri dari hubungan manu­sia dengan Tuhan, sesama manusia, alam, dan diri pribadi peneliti metaforakan sebagai pondasi atau lantai masjid. Hal ini dimak­sudkan agar etika profetik memiliki suatu penyadaran bahwa sejatinya manusia ada­lah hamba yang diciptakan oleh Tuhan un­tuk mengemban amanah sebagai seorang Khalifah yang memiliki tanggung jawab ti­dak hanya kepada diri pribadi, tetapi kepada Tuhan, sesama manusia, dan semesta alam.

Infrastruktur 2: menara masjid. Ba­gian berikutnya yang harus dibangun adalah menara masjid. Menara masjid merupakan bangunan yang senantiasa mendampingi bangunan utamanya, yaitu masjid. Menara masjid pada zaman nabi memiliki peran yang sentral yaitu sebagai pengingat wak­tu sholat karena di menara itulah muadzin mengumandangkan adzan. Di samping itu, Cholil (2017) dan Nasser (2015) berargu­mentasi bahwa menara masjid berfungsi se­bagai pengontrol keadaan umat di sekeliling masjid. Dari menara masjid tersebut dapat diketahui rumah mana yang dapurnya ti­dak pernah mengepul sehingga perlu untuk disantuni. Sebuah menara tidak dapat ber­diri tegak jika tidak ada pondasi yang kuat menopangnya. Untuk itulah kemudian pe­neliti memetaforakan prinsip filosofis dan spirit profetik sebagai pondasi yang akan menopang menara masjid tersebut. Menara tersebut tidak akan mudah goyah jika diter­pa oleh angin dan badai yang kuat. Namun, sesungguhnya tegak dan kokohnya menara selalu ada sesuatu di atasnya yang lebih tinggi dan tidak terlampaui. Dialah Sang Pemilik Segalanya, Allah SWT.

Infrastruktur 3: dinding masjid. Ba­gian berikutnya adalah dinding masjid. Dinding merupakan bagian utama sebuah masjid. Sama seperti lantai dan menara masjid, dinding masjid yang kuat dan kokoh juga harus memiliki pondasi utama. Dalam hal ini pondasi yang akan menopang din­ding tersebut adalah program MARWAHKU dan prinsip SAFAATMU. Dengan program dan prinsip tersebut, etika profetik dapat di­aplikasikan secara fisik dalam praktiknya, ibarat “fisik” sebuah dinding yang seutuh nya terdapat dalam infrastruktur masjid. Jika masjid telah memiliki “fisik” berupa dind­ing, kita akan dengan mudah mendekorasi­nya, memberikannya warna yang indah ser­ta merawatnya. Dengan analogi yang sama, program dan prinsip yang telah memiliki “wujud” tersebut akan mudah untuk diprak­tikkan, diaplikasikan, serta dipedomani.

Infrastruktur 4: kubah masjid. Bagian berikutnya adalah kubah. Secara umum ku­bah berbentuk seperti kerucut yang permu­kaannya melengkung keluar atau seperti separuh bola. Kubah biasanya diposisikan pada bagian atas masjid dan berfungsi se­bagai atap. Kubah merupakan bagian masjid yang dapat menghadirkan ruang positif. Ru­ang positif kubah menjadikan orang merasa leluasa dan khusyuk berada di dalamnya. Selain memunculkan nuansa megah, ben­tuk kubah juga dapat membuat seseorang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Ma­habesar. Pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan sikap takwa dalam diri sese­orang. Takwa tersebut yang akan menjadi­kan sese orang menjadi bertuah atau be­runtung. Tuah peneliti metaforakan sebagai kubah masjid.

Infrastruktur 5: simbol Allah. Terakhir,sampailah pada ujung atau titik pusat in­frastruktur masjid yaitu simbol Allah. Sim­bol tersebut keberadaannya mutlak karena melambangkan Yang Mahakuasa, Tuhan Se­mesta Alam. Semua makhluk akan kembali kepada­Nya. Ketika seseorang telah sampai pada titik pusat ini, maka kedamaian, keba­hagiaan, dan keselamatan akan menyertai setiap langkahnya. Arti sampai disini bu­kan bermakna meninggal secara fisik, teta­pi kesadaran manusia telah mencapai pada puncak kesadaran tertinggi yaitu kesadaran spiritual, kesadaran ketuhanan di mana di dalam konteks ini seseorang pasrah, patuh dan tunduk secara penuh (all out) pada ke­hendak Tuhan. Tidak ada lagi capaian yang lebih tinggi dari pada penyerahan total ini.

Page 15: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 241

Titik pusat masjid: Tuhan sebagai tujuan akhir. Semua infrastruktur yang membangun masjid menuju pada satu titik yaitu Allah. Allah yang keberadaannya mut­lak, karena Dia adalah Yang Mahamutlak, di mana semua makhluk akan kembali. Titik pusat ini berkaitan pula dengan bait tera­khir Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji yang berbunyi:

“Ingat dirinya akan matiInilah asal berbuat baktiAkhirat itu terlalu nyataKepada hati yang tidak buta”

Ketika bait tersebut dilantunkan, seke­tika itu pula seorang hamba akan tersadar bahwa tempat kembali sejatinya adalah kam­pung akhirat, tempat seorang hamba dapat berjumpa dengan penciptanya. Jika seorang hamba termasuk pengelola keuangan ingat akan kematian, maka pada titik inilah asal ia berbuat bakti. Ketika kesadaran telah sam­pai pada titik asal, mereka akan menyadari jikalau akhirat itu terlalu nyata bagi hamba yang tidak buta. Buta di sini bukan dalam pengertian buta secara fisik, tetapi kesadar­an manusia telah sampai pada kesadaran spiritual, yaitu kesadaran ketuhanan di mana dalam kondisi ini seseorang tunduk, patuh, dan pasrah secara total pada kehen­dak Tuhan Yang Mahakuasa. Pada posisi ini seseorang menjadi manusia yang bertakwa. Manusia bertakwa inilah sejatinya manusia yang bertuah.

Takwa adalah kedudukan manusia yang paling mulia di hadapan Tuhan. Tak­wa adalah kondisi atau capaian spiritual manusia di mana ia merasakan ketunduk­an kepada Tuhan Yang Mahakuasa, atau ia merasakan melalui ruhnya yang terdalam bahwa penglihatannya, pikirannya, perkata­annya, dan tindakannya digerakkan oleh Tuhan Yang Maha Berkehendak. Tentu saja capaian antara orang yang satu dengan yang lain berbeda­beda. Akan tetapi, paling tidak setiap diri manusia umumnya dan pengelo­la keuangan khususnya dapat mengetahui sendiri posisi capaian ketakwaannya. Pri­badi bertuah adalah ketundukan total, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan secara total. Ia tidak memiliki ego lagi, yang ada hanya Tuhan. Ini adalah capaian paling tinggi dari pribadi bertuah. Tidak ada lagi capaian spi­ritual yang lebih tinggi dari penyerahan to­

tal ini. Semuanya dilakukan untuk kembali kepada Ilahi, inilah dasar hidup yang asali, inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun.

SIMPULANSalah satu bentuk ikhtiar yang dilaku­

kan adalah fokus pada upaya yang siste­matis untuk menanamkan etika pada pe­ngelola keuangan negara. Meskipun sangat banyak dan variatif nilai­nilai etika yang per­lu ditanamkan, secara khusus dalam kon­teks ini dikemukakan empat nilai atau spirit yaitu: kemanusiaan, keilmuan, kehambaan, dan kesemestaan. Prinsip filosofis: human­is, emansipatoris, transcendental, serta te­leologikal dibangun secara bersama dengan spirit tersebut. Spirit dan prinsip filosofis yang dikemukakan tersebut membuat pe­neliti terpacu untuk membangun alternatif etika sebagai antitesis dari etika mainstream yang telah lama menjadi kiblat dalam me­rancang kode etik. Inilah kemudian yang menjadi temuan utama dalam kajian ini. Dalam hal ini peneliti mencoba mengambil jalan lain (take another way). Jika selama ini etika mainstream lahir dari rahim utilitari­anisme, peneliti mencoba untuk menelurkan etika dari Sang Pemilik Rahim Sejati, yaitu Tuhan Semesta Alam dan Sang Hamba Pa­ripurna, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Maka dari itu, secara filosofis etika ini memi­liki implikasi semangat yang juga berbeda dari semangat etika mainstream. Semangat atau spirit yang melandasi etika ini adalah spirit ketuhanan dan spirit kenabian.

Etika profetik yang termanifestasi da­lam program MARWAHKU serta termotivasi oleh syafaat Rasulullah dalam bentuk SA­FAATMU, merupakan suatu solusi bentuk hijrah dari etika mainstream yang selama ini membawa semangat materialisme dan hedonisme. Etika profetik menjadi jawaban dan solusi atas keterpisahan etika main-stream dari Tuhan, sehingga mengakibat­kan perilaku yang mengamalkan juga lepas dari Tuhan dan beranggapan bahwa Tuhan me rupakan bagian luar dari etika itu sendi­ri. Etika profetik yang membentuk pribadi bertuah menjadikan Tuhan sebagai bagian mutlak dan absolut dari etika yang diben­tuk agar menjadi pribadi beruntung, sehing­ga orang yang mengamalkan etika tersebut menjadi semakin dekat dan mengenal Tu­hannya. Inilah hakikat bertuah atau berun­tung, yaitu seorang yang kenal dan dekat

Page 16: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

242 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

dengan Tuhan dapat kembali kepada­Nya dengan keadaan jiwa yang suci dan tenang. Inilah salah satu bentuk kontribusi dalam menambah khasanah keilmuan terkait eti­ka profesi akuntan pemerintah dalam hal ini pengelola keuangan negara dalam perspek­tif yang berbeda. Etika pengelola keuangan yang selama ini dibangun hanya berdasar pada aspek material penulis potret dari as­pek spiritual, sehingga konsep etika yang di­hasilkan lebih komprehensif.

“Tidak ada manusia yang sempurna karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah semata.” Ini merupa­kan statement yang selalu peneliti yakini. Begitupun dengan penelitian ini. Sesung­guhnya ilmu yang peneliti miliki sangat terbatas, maka tidak mengherankan pula jika penelitian ini tidak terlepas dari keti­daksempurnaan. Masih terdapat kelemah­an ataupun keterbatasan dalam hal lainnya seperti bagaimana bentuk implementasi dari pelaksanaan etika ini dalam praktiknya. Hal ini yang harus menjadi perhatian peneliti berikutnya. Kita sebagai hamba­Nya berke­wajiban untuk terus menggali dan mem­pelajari apa yang telah Allah turunkan ke dunia ini, berupa ayat­ayat kauliyah dan kauniyah yang terhampar luas di semesta alam. Inilah yang kemudian menjadi agenda lanjutan. Kemampuan manusia ibarat seti­tik debu di padang pasir atau setetes air di lautan samudra, yang tentunya tidak akan pernah menyamai ilmu yang Tuhan miliki. Kita sebagai manusia hanya mampu untuk terus berikhtiar dan berdoa agar senantiasa diberi petunjuk, rahmat, dan hidayah da­lam mengarungi kehidupan yang fana dan tidak abadi ini. Etika profetik semakin me­nyadarkan manusia tentang hakikat hidup di dunia sebagai khalifah di muka bumi dan menyadarkan manusia bahwa dunia bukan satu­satunya tujuan akhir. Ada tujuan akhir yang hakiki menunggu di depan, yaitu ke­matian dan alam akhirat, serta ada bonus yang menanti orang bertuah (beruntung) yaitu mendapat syafaat Rasulullah serta bertemu kelak dengan Tuhan Semesta Alam, Allah SWT. Inilah yang menjadi ukuran mut­lak dari etika profetik yaitu kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang. Inna lillaahi wa inna laihi Raaji’uun.

DAFTAR RUJUKANAbdullah, I. (2017). Glokalisasi Identitas Me­

layu:Potensi dan Tantang Budaya da­

lam Reproduksi Kemelayuan. Man-haj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 6(2), 1­7. https://doi.org/10.1161/mhj.v5i2.742

Abdullah, M. A. (2014). Religion, Science and Culture: An Integrated, Intercon­nected Paradigm of Science. Al-Ja-mi’Ah, 52(1), 175­203. https://doi.org/10.14421/ajis.2014.521.175­203

Adhikari, P., & Gårseth­Nesbakk, L. (2016). Implementing Public Sector Accruals in OECD Member States: Major Issues and Challenges. Accounting Forum, 40(2), 125­142. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2016.02.001

Afou, R. B. A. E. (2017). Knowledge of IslamicAccounting among Professionals: Evi­dence from the Tunisian Context. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 8(3), 304­325. https://doi.org/10.1108/JIABR­03­2015­0008

Ahn, P. D., & Jacobs, K. (2018). Beyond the Accounting Profession: A Professio­nalisation Project in the South Ko­rean Pu blic Sector Accounting Field. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(1), 101­132. https://doi.org/10.1108/AAAJ­11­2016­2795

Akhtyamova, N., Panasyuk, M., & Azitov, R. (2015). The Distinctive Features of Teaching of Islamic Economics: Philo­sophy, Principles and Practice. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 191, 2334­2338. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.707

Anatassia, D. F., Milla, M. N., & Hafiz, S. E. (2015). Nilai­Nilai Kebajikan: Kebaikan Hati, Loyalitas, dan Kesalehan dalam Konteks Budaya Melayu. Jurnal Psi-kologi Ulayat, 2(1), 335­347. https://doi.org/10.24854/jpu12015­30

Aslan. (2017). Nilai­Nilai Kearifan Lokal da­lam Budaya Pantang Larang Suku Me­layu Sambas. Jurnal Ilmiah Ilmu Ush-uluddin, 16(1), 11­20. https://doi.org/10.18592/jiu.v16i1.1438

Atkins, J., Atkins, B. C., Thomson, I., & Maroun,W. (2015). “Good” News from Nowhere: Imagining Utopian Sustainable Ac­counting. Accounting, Auditing and Ac-countability Journal, 28(5), 651­670. https://doi.org/10.1108/AAAJ­09­2013­1485

Bigliardi, S. (2014). The Contemporary Debateon the Harmony between Islam and Science: Emergence and Challenges of

Page 17: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 243

a New Generation. Social Epistemology, 28(2), 167­186. https://doi.org/10.1080/02691728.2013.782583

Bordeman, A., & Westermann, K. D. (2019). The Professional Ethics Exam and Acts Discreditable: An Introductory Assign­ment. Issues in Accounting Education, 34(4), 39­53. https://doi.org/10.2308/iace­52545

Breyer, C., Heinonen, S., & Ruotsalainen, J. (2017). New Consciousness: A Societal and Energetic Vision for Rebalancing Humankind within the Limits of Pla net Earth. Technological Forecasting and Social Change, 114, 7­15. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2016.06.029

Briando, B., & Embi, M. A. (2019). Pandang anHidup dan Alam Pikiran Orang Melayu. Oetoesan-Hindia: Telaah Pemikiran Ke-bangsaan, 1(2), 69­78. https://doi.org/10.34199/oh.1.2.2019.003

Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). EtikaProfetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multipara-digma. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2019.08.10020

Briando, B., Triyuwono, I., & Irianto, G. (2017). Gurindam Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 8(1), 1–17. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7036

Brown, A. (2018). A Metaphorical Analysisof the Love Song of J. Alfred Prufrock by T. S. Eliot. Accounting Forum, 42(1), 153­165. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.01.006

Carrington, A. M. (2014). Expanding the De­bate: A Comparative Exploration of Physical and Spiritual Ways of Know­ing, Methods and Measures. Qualita-tive Research Journal, 14(2), 179­196. https://doi.org/10.1108/QRJ­08­2013­0049

Cholil, M. (2017). Complexities in Dealing with Gender Inequality: Muslim Women and Mosque­Based Social Services in East Java Indonesia. Journal of Indone-sian Islam, 11(2), 459­488. https://doi.org/10.15642/JIIS.2017.11.2.459­488

D’onza, G., Brotini, F., & Zarone, V. (2017). Disclosure on Measures to Prevent Cor­ruption Risks: A Study of Italian Local Governments. International Journal of Public Administration, 40(7), 612­624. https://doi.org/10.1080/01900692.2016.1143000

Doig, A. (2014). Roadworks Ahead? AddressingFraud, Corruption and Conflict of Inter­est in English Local Government. Local Government Studies, 40(5), 670­686. https://doi.org/10.1080/03003930.2013.859140

Forster, G., & Fenwick, J. (2015). The In­fluence of Islamic Values on Man­agement Practice in Morocco. Eu-ropean Management Journal, 33(2), 143­156. https://doi.org/10.1016/j.emj.2014.04.002

Freeman, D. R. (2015). Archetypal Identifica­tion: An Alternative for Spiritual Well­Being Assessment. Journal of Re-ligion and Spirituality in Social Work, 34(2), 158­176. https://doi.org/10.1080/15426432.2014.973987

Gray, R., & Milne, M. J. (2018). Perhaps the Dodo Should Have Accounted for Hu­man Beings? Accounts of Humanity and (Its) Extinction. Accounting, Audit-ing and Accountability Journal, 31(3), 826­848. https://doi.org/10.1108/AAAJ­03­2016­2483

Griffel, F. (2015). What do We Mean by “Salafi”? Connecting Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contem­porary Intellectual History. Welt Des Islams, 55(2), 186­220. https://doi.org/10.1163/15700607­00552p02

Hasan, N. F. (2017). Konsep dan ImplementasiEtika Islam dalam Dunia Bisnis. Istith-mar: Jurnal Pengembangan Ekonomi Islam, 1(1), 67–81. https://doi.org/10.30762/itr.v1i2.945

Howieson, B. (2018). What is the ‘Good’ Forensic Accountant? A Virtue Eth­ics Perspective. Pacific Accounting Re-view, 39(2), 155­167. https://doi.org/10.1108/PAR­01­2017­0005

Husein, U. M. (2018). Islam, Communicationand Accounting. Journal of Islamic Ac-counting and Business Research, 9(2), 138­154. https://doi.org/10.1108/JI­ABR­01­2016­0008

Jamian, M. N., Yusoff, M. Y., Hanafiah, M. G.,& Yunos, Y. (2017). Keadilan Teras Ke­pimpinan Raja­Raja Melayu: Dari Era Tradisi ke Kontemporari. Jurnal Me-layu, 16(1), 62­81.

Johansson, S., & Siverbo, S. (2014). The Appropriateness of Tight Budget Con­trol in Public Sector Organizations Facing Budget Turbulence. Manage-ment Accounting Research, 25(4),

Page 18: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

244 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245

271­283. https://doi.org/10.1016/j.mar.2014.04.001

Kaiser, M. I., & Krickel, B. (2017). The Meta­physicsof Constitutive Mechanistic Phe­nomena. British Journal for the Philoso-phy of Science, 68(3), 745­779. https://doi.org/10.1093/bjps/axv058

Kaliszewska, I. (2020). “What Good Are All These Divisions in Islam?” Everyday Is­lam and Normative Discourses in Da­ghestan. Contemporary Islam, 14(2), 157­178. https://doi.org/10.1007/s11562­019­00436­9

Kamayanti, A. (2011). Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(3), 531–540. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.12.7138

Kavas, M., Jarzabkowski, P., & Nigam, A. (2020). Islamic Family Business: The Constitutive Role of Religion in Busi­ness. Journal of Business Ethics, 163(4), 689­700. https://doi.org/10.1007/s10551­019­04384­5

Khairi, M. S. (2013). Memahami SpiritualCapital dalam Organisasi Bisnis melalui Perspektif Islam. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 4(2), 286–307. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.08.7198

Khan, F. R., & Naguib, R. (2019). Epistemic Healing: A Critical Ethical Response to Epistemic Violence in Business Ethics. Journal of Business Ethics, 156(1), 89­104. https://doi.org/10.1007/s10551­017­3555­x

Lehman, G. (2014). Moral Will, Accounting andthe Phronemos. Critical Perspectives on Accounting, 25(3), 210­216. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2013.10.004

MacHlis, E. (2014). Ali Shariati and the Notionof Tawhid: Re­Exploring the Ques­tion of God’s Unity. Welt Des Is-lams, 54(2), 183­211. https://doi.org/10.1163/15700607­00542p03

Mbelwa, L. H., Adhikari, P., & Shahadat, K. (2019). Investigation of the Institutional and Decision­Usefulness Factors in the Implementation of Accrual Accounting Reforms in the Public Sector of Tanza­nia. Journal of Accounting in Emerging Economies, 9(3), 335­365. https://doi.org/10.1108/JAEE­01­2018­0005

Maiga, A. (2019). Public Accountants, SeniorAccounting Students, and Non­Ac­counting Senior Business Majors: Com­

paring their Perception of Corporate Ethics and Social Responsibility. Ac-counting and the Public Interest, 19(1), 31­56. https://doi.org/10.2308/apin­52388

McPhail, K., & Cordery, C. J. (2019). Theo­logical Perspectives on Accounting: Worldviews Don’t Change Overnight. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 32(8), 2330­2352. https://doi.org/10.1108/AAAJ­03­2018­3415

Ming, D. C. (2012). Penafsiran Kuasa Raja dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama. Jurnal Manuskrip Nusantara, 3(2), 55­74. https://doi.org/10.37014/jumantara.v3i2.413

Mulawarman, A. (2020). Accounting, Agri­culture, and War. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 11(1), 1­22. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.01

Narayan, A. K. (2016). An Ethical Perspective on Performance Measurement in the Public Sector. Pacific Accounting Re-view, 28(4), 364­372. https://doi.org/10.1108/PAR­02­2016­0024

Nasilah, S., Kargenti, A., & Marettih, E. (2015).Integrasi Diri sebagai Konsep Se­hat Mental Orang Melayu. Jurnal Psikologi, 11(1), 37–48. https://doi.org/10.24014/jp.v11i1.1393

Nasser. (2015). Reconceptualising the Mus­lim Neighbourhood: Claims for Space, Identity and Citizenship in the West. Contemporary Islam, 9, 241–246. https://doi.org/10.1007/s11562­015­0342­2

Nurliana, N. (2019). Nilai Teologi dalam Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji. El-Furqania: Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 5(2), 181–195. https://doi.org/10.1234/elfurqan%20journal.v5i02.3508

Russell, C. (2019). Friendly Governance: As­sessing Sociopolitical Factors in Alle­gations of Corruption. Public Integrity, 21(2), 195­213. https://doi.org/10.1080/10999922.2018.1446630

Sahin, A. (2018). Critical Issues in Islamic Education Studies: Rethinking Islam­ic and Western Liberal Secular Values of Education. Religions, 9(11), 335­363 https://doi.org/10.3390/rel9110335

Salampessy, Z., Triyuwono, I., Irianto, G., &Hariadi, B. (2018). Pancasila Paradigm: Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting of Pancasila. Austral-

Page 19: TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA …

Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 245

asian Accounting, Business and Finance Journal, 12(1), 102­117. https://doi.org/10.14453/aabfj.v12i1.7

Saniotis, A. (2012). Muslims and Ecology: Fostering Islamic Environmental Eth­ics. Contemporary Islam, 6(2), 155­171. https://doi.org/10.1007/s11562­011­0173­8

Schaffer, J. (2015). What Not to Multiply without Necessity. Australasian Journal of Philosophy, 93(4), 644­664. https://doi.org/10.1080/00048402.2014.992447

Schwartz, M. . (2002). A Code of Ethics for Corporate Code of Ethics. Journal of Business Ethics, 41, 27–43. https://doi.org/10.1023/A:1021393904930

Senay, B. (2017). Textual Ecologies in Islam: Improvising the Perfect Qur’an in Calli­graphy. Journal of Religious and Politic-al Practice, 3(1­2), 46­56. https://doi.org/10.1080/20566093.2017.1292169

Sitorus, J. H. E. (2015). Membawa Pancasiladalam Suatu Definisi Akuntansi. Jur-nal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175–340. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6021

Sitorus, J. H. E., Triyuwono, I., & Kamayanti, A. (2017). Homo Economicus vis a vis Homo Pancasilaus: A Fight Against Pos­itive Accounting Theory. Pertanika Jour-nal of Social Sciences and Humanities, 25(S), 311–319.

Solissa, A. B. (2020). The Reactualization of the Pancasila Values in the Light of Perennial Philosophy. Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 21(1), 49­70. https://doi.org/10.14421/esensia.v21i1.2172

Spalding, A. D., & Lawrie, G. R. (2019). A Critical Examination of the AICPA’s New “Conceptual Framework” Ethics Proto­col. Journal of Business Ethics, 155(4), 1135­1152. https://doi.org/10.1007/s10551­017­3528­0

Thamrin, H. (2015). Enkulturasi dalam Ke­budayaan Melayu. Al-Fikra: Jurnal Ilmi-ah Keislaman, 14(1), 99–151. https://doi.org/10.24014/af.v14i1.3903

Tresnawati, E. F., & Setiawan, A. R. (2013). Ada Apa dengan SAP (AADS) Akrual?

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 4(2), 198–215. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.08.7193

Triyuwono, I. (2015). Akuntansi Malangan:Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(2), 290–303. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023

Triyuwono, I. (2016). Taqwa : Deconstructing Triple Bottom Line ( TBL ) to Awake Hu­man ’ s Divine Consciousness. Pertan-ika Journal of Social Sciences and Hu-manities, 24(S), 89–104.

West, A. (2018). Multinational Tax Avoidance: Virtue Ethics and the Role of Accoun­tants. Journal of Business Ethics, 153, 1143–1156. https://doi.org/10.1007/s10551­016­3428­8

White, L. P., & Lam, L. W. (2000). A Proposes Infrastructural Model for the Es­tablishment of Organizational Eth­ics Systems. Journal of Business Ethics, 28, 35–42. https://doi.org/10.1023/A:1006221928960

Williams, P. F. (2017). Jumping on the WrongBus: Reflections on a Long, Strange Journey. Critical Perspectives on Ac-counting, 49, 76­85. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2017.10.004

Zainuldin, M. H., Lui, T. K., & Yii, K. J. (2018).Principal­Agent Relationship Issues in Islamic Banks: a View of Islamic Ethical System. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Man-agement, 11(2), 297­311. https://doi.org/10.1108/IMEFM­08­2017­0212

Zhou, F., Zhang, Z., Yang, J., Su, Y., & An, Y. (2018). Delisting Pressure, Executive Compensation, and Corporate Fraud: Evidence from China. Pacific-Basin Fi-nance Journal, 48, 17­34. https://doi.org/10.1016/j.pacfin.2018.01.003

Zubairu, U., Ismail, S., & Fatima, A. H. (2019).The Quest for Morally Competent Fu­ture Muslim Accountants. Journal of Islamic Accounting and Business Re-search, 10(2), 297­314. https://doi.org/10.1108/JIABR­11­2016­0138