ttk 4

32
Page 25 of 26 BAGIAN 1 1. Bagaimanakah tinjauan epidemiologis kejadian retensi urin akut pada BPH ? 2. Bagaimanakah perjalanan alamiah (natural history) retensi urin akut pada BPH ? 3. Bagaimanakah etiopatogenesis retensi urin akut pada BPH ? 4. Apa sajakah yang termasuk dalam predictor retensi urin akut pada BPH ? a. Baseline variables terdiri atas… b. Dynamic variables terdiri atas… 5. Bagaimanakah pathogenesis pengaruh obstruksi urin terhadap tractus urinarius ? a. Terhadap tractus urinarius media (vesica urinaria) b. Terhadap tractus urinarius atas (ureter dan ren) 6. Bagaimanakah patofisiologi gejala obstruksi urin ? a. Pada tahap kompensata b. Pada tahap dekompensata BAGIAN 2 1. Bagaimanakah insidensi dan epidemiologi BPH ? 2. Apakah etiologi BPH ? 3. Bagaimanakah pathogenesis BPH ? 4. Bagaimanakah patofisiologi BPH ? 5. Bagaimanakah gambaran klinis BPH ? a. Gejala b. Tanda c. Temuan laboratorium d. Temuan pencitraan e. Sistoskopi f. Pemeriksaan penunjang lain 6. Apa diferensial diagnosis BPH ?

Transcript of ttk 4

Page 1: ttk 4

Page 25 of 26

BAGIAN 1

1. Bagaimanakah tinjauan epidemiologis kejadian retensi urin akut pada BPH ?

2. Bagaimanakah perjalanan alamiah (natural history) retensi urin akut pada BPH ?

3. Bagaimanakah etiopatogenesis retensi urin akut pada BPH ?

4. Apa sajakah yang termasuk dalam predictor retensi urin akut pada BPH ?

a. Baseline variables terdiri atas…

b. Dynamic variables terdiri atas…

5. Bagaimanakah pathogenesis pengaruh obstruksi urin terhadap tractus urinarius ?

a. Terhadap tractus urinarius media (vesica urinaria)

b. Terhadap tractus urinarius atas (ureter dan ren)

6. Bagaimanakah patofisiologi gejala obstruksi urin ?

a. Pada tahap kompensata

b. Pada tahap dekompensata

BAGIAN 2

1. Bagaimanakah insidensi dan epidemiologi BPH ?

2. Apakah etiologi BPH ?

3. Bagaimanakah pathogenesis BPH ?

4. Bagaimanakah patofisiologi BPH ?

5. Bagaimanakah gambaran klinis BPH ?

a. Gejala

b. Tanda

c. Temuan laboratorium

d. Temuan pencitraan

e. Sistoskopi

f. Pemeriksaan penunjang lain

6. Apa diferensial diagnosis BPH ?

7. Bagaimana alur penegakan diagnosis BPH ?

8. Bagaimanakah cara menilai keparahan gejala dan respon terhadap terapi pada

BPH ?

9. Bagaimanakah alur tatalaksana BPH ?

a. Apa indikasi monitoring ?

b. Apa indikasi medikamentosa ?

c. Apa indikasi terapi bedah ?

Page 2: ttk 4

Page 25 of 26

BAGIAN 3

1. Apakah kekurangan pemeriksaan colok dubur ?

2. Apakah ukuran prostat berkolerasi dengan keparahan gejala pada BPH ?

3. Apakah kombinasi terapi medikamentosa (yaitu antagonis alfa-1-adrenergik

ditambah inhibitor 5-alfa-reduktase) mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding

monoterapi ?

4. Apakan agen antimuskarinik berperan dalam pengobatan LUTS terkaut BPH ?

5. Bagaimanakah temuan kajian pustaka mengenai efikasi saw palmetto untuk BPH

simtomatik ?

Page 3: ttk 4

Page 25 of 26

BAGIAN 1

1. Bagaimanakah tinjauan epidemiologis kejadian retensi urin akut pada BPH ?

Retensi urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urine

yang terkumpul didalam buli-buli hingga kapastias maksimal buli-buli terlampaui.

(Purnomo,2003).

Benign Prostat Hyperplasia merupakan penyakit yang ser ing diderita pada

pria. Di klinik 50% dijumpai pender ita BPH berusia 60-69 tahun, yang

menimbulkan gejala-gejala bladder outlet obstruct ion. Dari pengamatan di klinik

Urologi ser ta Instalasi Gawat Darurat RSUP. Adam Malik dan RSUD Medan,

penderita yang terbanyak menggunakan kateter menetap adalah pender ita yang

datang dengan keluhan retensi urin akibat prostat hiperplasi. Kateter isasi

merupakan per tolongan bagi penderita saat itu, tetapi akan menjadi penyulit bila

pemakaian lama. (Furqan, 2009)

2. Bagaimanakah perjalanan alamiah (natural history) retensi urin akut pada BPH ?

Dengan diketahuinya mekanisme membukanya vesical neck dan

memancarkan urin pada saat buang air kecil (BAK), BPH menyebabkan peningkatan

resistensi outflow urin. Konsekuensinya, tekanan intravesicel yang lebih tinggi

diperlukan untuk bisa BAK, menyebabkan hipertropi vesica urinaria (VU) dan

musculus trigonum. Hal ini menyebabkan terbentuknya divertikel pada VU yaitu

pembentukan kantung keluar dari mukosa VU di antara otot-otot detrussor.

Hipertropi trigonum menyebabkan stres intravesicel ureter, sehingga menghasilkan

obstruksi fungsional dan menyebabkan hydroureteronephrosis pada kasus yang

telah lanjut. Stagnasi urin dapat menyebabkan infeksi; onset dari sistitis akan

mencetuskan gangguan-gangguan obstruksi. Pembesaran prostat periuretra dan

subtrigonal paling sering menyebabkan obstruksi yang signifikan (AUA.2003).

3. Bagaimanakah etiopatogenesis retensi urin akut pada BPH ?

4. Apa sajakah yang termasuk dalam predictor retensi urin akut pada BPH ?

a. Baseline variables terdiri atas :

1) usia

2) Keparahan LUT (Lower Urinary Tract)

3) Rendahnya tingkat aliran puncak kemih

Page 4: ttk 4

Page 25 of 26

4) Peningkatan volume post-void residual urine (PVR)

5) Pembesaran prostat

6) Peningkatan kadar serum PSA (Prostate- Spesific Antigen) (Muruganandham

et al, 2007)

b. Dynamic variables terdiri atas :

1) Memburuknya IPSS (International Prostate Symptom Score) yang melebihi 4

poin

2) Peningkatan PVR (post void residual urine)

3) Tidak ada respon terhadap alpha blocker

4) Pengobatan dapat mengganggu apabila skornya melebihi 3 poin

(Muruganandham et al, 2007)

Variabel-variabel dinamis secara aktif dapat dimonitoring selama periode

pengobatan karena untuk memprediksi terjadinya AUR (Acute Urinary Retention)

dan menilai kebutuhan untuk operasi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

(Muruganandham et al, 2007).

5. Bagaimanakah pathogenesis pengaruh obstruksi urin terhadap tractus urinarius ?

a. Terhadap tractus urinarius media (vesica urinaria)

Jika terjadi obstruksi urine, efek terhadap vesika urinaria akan meningkatkan

tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan dengan paksa, buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus

ini bisa menimbulkan perubahan anatomic buli-buli berupa hipertrofi otot

detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.

Perubahan struktur pada buli-buli tersebut (Purnomo, 2003).

b. Terhadap tractus urinarius atas (ureter dan ren)

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak

terkecuali pada kedua bagian ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks

vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya akan menjadi gagal ginjal (Purnomo,

2003).

6. Bagaimanakah patofisiologi gejala obstruksi urin ?

Page 5: ttk 4

Page 25 of 26

a. Pada tahap kompensata

Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus

destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak

banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata

(Sunaryo, 1999).

b. Pada tahap dekompensata

Kelanjutan dari tahap kompensata, lama -kelamaan kemampuan kompensasi

menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta

lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga

tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat

Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra

abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan

haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya

melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut

sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut

menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah

inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat

dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli

tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi

adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi

urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal

(Sunaryo, 1999)

BAGIAN 2

1. Bagaimanakah insidensi dan epidemiologi BPH ?

2. Apakah etiologi BPH ?

3. Bagaimanakah pathogenesis BPH ?

Pertumbuhan dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh laki-laki hormone

testosterone dan lebih aktif dihidrotestosteron metabolit(DHT). Enzim5α-reduktase

bertanggung jawab untuk konversi testosterone menjadi DHT. Ini memiliki dua

isoform : tipe2 5α-reduktase mendominasi diprostat, sedangkan kedua tipe 1 dan

tipe 2 5α-reduktase yang umum pada jaringan extraprostatic.BPH membutuhkan

DHT stimulasi reseptor androgen, hasil ini dalam transkripsi dan terjemahan dari

Page 6: ttk 4

Page 25 of 26

faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Hal ini pada

gilirannya mempromosikan hyperplasia stroma dan epitel karakteristik BPH. Faktor

lain yang mendasari hiperplastik proses termasuk pengurangan kematian sel

terprogram (apoptosis) dan peradangan, yang mungkin terlibat oleh berbagai

potensi mekanisme.Faktor pertumbuhan transformasi β (TGFβ) adalah salah satu

faktor terlibat dalam proses ini. Ketidak seimbangan antara molekul merangsang

proliferasi dan menginduksi apoptosis hasil mereka yang progresif pembesaran

hiperplastik zona transisi prostat. Ada juga komponen genetic untuk BPH; gen telah

belum diidentifikasi secara tepat, tetapi mungkin autosomal

dominan.Pasien dengan bentuk keluarga umumnya memiliki prostat lebih besar dan

menjalani operasi pada usia lebih dini.(Kirby, 2010)

Meskipun BPH sering dianggap sebagai hasil dari kelenjar proliferasi, pada

kenyataannya sampai dengan 60% dari jaringan hiperplastik terdiri dari sel otot

polos dan jaringan ikat. Kontraksi ini halus sel otot berada dibawah control sistem

saraf simpatik. Ketika norepinefrin (noradrenalin) dilepaskan dari inti padat vesikel

yang terkandung dalam terminal saraf simpatik, berdifusi menyeberangi celah

sinaptik untuk mengikat berbagai α1-adrenoseptor terletak pada membrane sel otot

polos prostat. Resultan masuknya kalsium meningkatkan tonus otot prostat halus.

Beberapa α1-adrenoceptor subtype dikenal. Para α1A-subtipe adalah dominan

reseptor dalam prostat, sedangkan α1B-subtipe tampaknya terutama 10 terlibat

dalam vasokonstriksi perifer, dan α1D-adrenoseptor. (Kirby, 2010)

BPH jelas terkait dengan penuaan. Ini prevalensi meningkat dari 8% dalam dekade

keempat untuk lebih dari 70% pada dekade ketujuh. Ada bukti bahwa BPH adalah

mungkin dimulai sebelum usia 30 tahun genetic dan faktor lingkungan tampaknya

terlibat dalam pathogenesis BPH. Peran androgen dalam proses yang tidak

sepenuhnya diklarifikasi. BPH berasal dari transisi zona prostat, daerah yang sama

yang lebih besar sensitivitas hormon. Oleh karena itu,

penurunan androgen relative dibandingkan dengan estrogen tampaknya menjadi

faktor memulai untuk BPH.( Stas, 2003)

Pertumbuhan dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh laki-laki hormone

testosterone dan lebih aktif dihidrotestosteron metabolit(DHT). Enzim5α-reduktase

bertanggung jawab untuk konversi testosterone menjadi DHT. Ini memiliki dua

isoform : tipe2 5α-reduktase mendominasi diprostat, sedangkan kedua tipe 1 dan

Page 7: ttk 4

Page 25 of 26

tipe 2 5α-reduktase yang umum pada jaringan extraprostatic.BPH membutuhkan

DHT stimulasi reseptor androgen, hasil ini dalam transkripsi dan terjemahan dari

faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Hal ini pada

gilirannya mempromosikan hyperplasia stroma dan epitel karakteristik BPH. Faktor

lain yang mendasari hiperplastik proses termasuk pengurangan kematian sel

terprogram (apoptosis) dan peradangan, yang mungkin terlibat oleh berbagai

potensi mekanisme.Faktor pertumbuhan transformasi β (TGFβ) adalah salah satu

faktor terlibat dalam proses ini. Ketidak seimbangan antara molekul merangsang

proliferasi dan menginduksi apoptosis hasil mereka yang progresif pembesaran

hiperplastik zona transisi prostat. Ada juga komponen genetic untuk BPH; gen telah

belum diidentifikasi secara tepat, tetapi mungkin autosomal

dominan.Pasien dengan bentuk keluarga umumnya memiliki prostat lebih besar dan

menjalani operasi pada usia lebih dini.(Kirby, 2010)

Meskipun BPH sering dianggap sebagai hasil dari kelenjar proliferasi, pada

kenyataannya sampai dengan 60% dari jaringan hiperplastik terdiri dari sel otot

polos dan jaringan ikat. Kontraksi ini halus sel otot berada dibawah control sistem

saraf simpatik. Ketika norepinefrin (noradrenalin) dilepaskan dari inti padat vesikel

yang terkandung dalam terminal saraf simpatik, berdifusi menyeberangi celah

sinaptik untuk mengikat berbagai α1-adrenoseptor terletak pada membrane sel otot

polos prostat. Resultan masuknya kalsium meningkatkan tonus otot prostat halus.

Beberapa α1-adrenoceptor subtype dikenal. Para α1A-subtipe adalah dominan

reseptor dalam prostat, sedangkan α1B-subtipe tampaknya terutama 10 terlibat

dalam vasokonstriksi perifer, dan α1D-adrenoseptor. (Kirby, 2010)

BPH jelas terkait dengan penuaan. Ini prevalensi meningkat dari 8% dalam dekade

keempat untuk lebih dari 70% pada dekade ketujuh. Ada bukti bahwa BPH adalah

mungkin dimulai sebelum usia 30 tahun genetic dan faktor lingkungan tampaknya

terlibat dalam pathogenesis BPH. Peran androgen dalam proses yang tidak

sepenuhnya diklarifikasi. BPH berasal dari transisi zona prostat, daerah yang sama

yang lebih besar sensitivitas hormon. Oleh karena itu,

penurunan androgen relative dibandingkan dengan estrogen tampaknya menjadi

faktor memulai untuk BPH.( Stas, 2003)

4. Bagaimanakah patofisiologi BPH ?

Page 8: ttk 4

Page 25 of 26

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini meningkatkan tekanan intravesikal.

Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna

melawan tahanan tersebut, kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan

perubahan anatomic buli-buli berupa hipertrofi otot destrusor, trabekulasi,

terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-

buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah

bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala

prostatismus (purnomo, 2009).

Tekanan intavesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak

terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat

menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ureter atau terjadu refluks vesiko-

ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat mengakibatkan gagal ginjal

(purnomo, 2009).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya

disebabkan oleh adanya masaa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi

juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat,

dan oto polos pada leher buli-buli. Otot polo situ dipersarafi oleh serabut simpatis

yang berasal dari nervus pudendus (Purnomo, 2009).

Pada BPH terjadi peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau

pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH,

rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan

tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa

prostat yang menyebabkan obstruksi komponen static sedangkan tonus oto polos

yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo,

2009).

5. Bagaimanakah gambaran klinis BPH ?

a. Gejala

Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary

tractsymptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun

iritasi (storagesymptoms) yang meliputi:

Page 9: ttk 4

Page 25 of 26

1) frekuensi miksi meningkat,

2) urgensi,

3) nokturia,

4) pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi),

5) merasa tidak puas sehabis miksi,

6) retensi urine.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya

gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate

Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan

prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai

dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan

yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35.

Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri

tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor

yang diperoleh adalah sebagai berikut.

1) Skor 0-7: bergejala ringan

2) Skor 8-19: bergejala sedang

3) Skor 20-35: bergejala berat.

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu

pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga

terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (Purnomo,2000.).

b. Tanda

1. pembesaran prostat,

2. konsistensi prostat,

3. nodulpada prostat yang merupakan salah satu tanda dari keganasan

prostat. (AUA, 2003).

c. Temuan laboratorium

1. Urinalisis. Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya

leukosituria dan hematuria. Pada pasien BPH yang sudah mengalami

retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak

Page 10: ttk 4

Page 25 of 26

banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun

eritostiruria akibat pemasangan kateter.

2. Pemeriksaan fungsi ginjal. Obstruksi infravesika akibat BPH

menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian

atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-

30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko

terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan

dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam

kali lebih banyak9. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi

didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum

normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin

serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai

petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada

saluran kemih bagian atas (Rossete, 2001).

Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen).PSA disintesis oleh sel

epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific18.

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;

dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat

lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)

lebih mudah terjadinya retensi urine akut (Roehrbom, 2000). Pertumbuhan

volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.

Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA

makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat

rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7

mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun,

dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3mL/tahun. (dawnson, 1996). Kadar

PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,

setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi

urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai

yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA

Page 11: ttk 4

Page 25 of 26

meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan

menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.

3. Temuan pencitraan

Ultrasonografi dapat dilakukan secara trans-abdominal atau trans-rektal (TRUS).

Cara ini dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya

dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak ada bahaya radiasi dan juga relatif

murah. Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi

dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan

patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan USG trans-rektal dapat

diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar

prostat dapat pula dilakukan dengan USG supra pubik. Payaran CT atau MRI

jarang dilakukan. (Rahardjo,1997; Sjamsuhidajat,1997).

Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pielografi intra vena

dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran

kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah

miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek

isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran

prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram

tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti

mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau

penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd

(Rahardjo,1997; Sjamsuhidajat,1997).

4. Sistoskopi

Sistoskopi khususnya pada infeksi saluran kemih yang berulang perlu dilakukan

untuk mengetahui kepastian penyebabnya (misalnya infeksi tuberkulosis) atau

untuk mencari faktor predisposisi, seperti adanya batu, hipertrofi prostat,

divertikel dan sebagainya. Bila dijumpai adanya tanda-tanda klinis infeksi saluran

kemih, tetapi pada pemeriksaan laboratorium tidak dijumpai adanya bakteri, maka

dengan adanya lekosit dalam urine masih perlu dipikirkan adanya infeksi. Infeksi-

infeksi seperti tuberkulosis, jamur, virus, bakteri aerob, parasit ataupun infeksi

protozoa yang kesemuanya memerlukan suatu pemeriksaan khusus

(Weinerth,1992; Raharjo,1997).

5. Pemeriksaan penunjang lain

1.Pemeriksaan colok dubur

Page 12: ttk 4

Page 25 of 26

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,

mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada

perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah

asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat

obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi

spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar

dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan

ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.

2.Pemeriksaan laboratorium

a.Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar ureum

kreatinin.

b.Bila perlu Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk dasar penentuan biopsi.

3.Pemeriksaan radiologi :

a.Foto polos abdomen

b.BNO-IVP

c.Systocopy

d.Cystografi

4.USG

6. Apa diferensial diagnosis BPH ?

Diferensial diagnosis BPH (R Sjamsuhidajat. 2004)

a. Kelemahan detrusor kandung kemih

1) kelainan medula spinalis

2) neuropatia diabetes mellitus

3) pasca bedah radikal di pelvis

4) farmakologik

b. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

1) kelainan neurologik

2) neuropati perifer

3) diabetes mellitus

4) alkoholisme

5) farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

c. Obstruksi fungsional :

Page 13: ttk 4

Page 25 of 26

1) dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi

detrusor dengan relaksasi sfingter

2) ketidakstabilan detrusor

d. Kekakuan leher kandung kemih :

1) fibrosis

e. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

1) hiperplasia prostat jinak atau ganas

2) kelainan yang menyumbatkan uretra

3) uretralitiasis

4) uretritis akut atau kronik

5) striktur uretra

f. Prostatitis akut atau kronis

7. Bagaimana alur penegakan diagnosis BPH ?

I. PEMERIKSAAN AWAL

1) Harus diperiksa oleh setiap dokter/tenaga kesehatan (bersifat mandatory)

meliput (AUA.2003) :

i. Anamnesis/wawancara tentang riwayat penyakit untuk menyingkirkan

penyebab lain dari gangguan miksi, atau untuk mengungkap kemungkinan

adanya penyakit lain yang mempengaruhi hasil terapi yang akan diberikan.

ii. Pemeriksaan fisik termasuk disini adalah colok dubur dan pemeriksaan

neurologis

iii. Urinalisis untuk mencari kemungkinan adanya hematuria dan leukosituria

2) Diperiksa jika fasilitas tersedia (bersifat Recommended), meliputi

(AUA.2003):

i. PSA guna menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat stadium

awal. Pemeriksaan ini terutama ditawarkan kepada pasien yang

mempunyai usia harapan hidup lebih dari 10 tahun atau usianya belum

mencapai 70 tahun.

ii. Test faal ginjal (kreatinin serum) untuk menilai kemungkinan adanya

penyulit BPH pada saluran kemih bagian atas. Peningkatan harga kreatinin

dalam serum merupakan indikasi untuk melakukan evaluasi terhadap

sistem urinaria bagian atas

Page 14: ttk 4

Page 25 of 26

iii. IPSS dan QoL untuk menentukan derajat keluhan miksi dan kualitas hidup,

kecuali jika pasien yang sebelumnya sudah memakai kateterisasi karena

retensi urine.

iv. Catatan harian miksi

Dari pemeriksaan awal tersebut didapatkan pasien dengan kategori (AUA.2003):

A. Pasien yang hanya mengeluh LUTS dan dalam hal ini dapat dikelompokkan

dalam:

A.a. pasien dengan tingkat gangguan ringan (IPSS ¡Ü 7)

A.b. pasien dengan tingkat gangguan sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35)

B. Pasien-pasien yang pada saat pemeriksaan awal diketemukan adanya:

(a) kecurigaan adanya keganasan prostat pada colok dubur,

(b) PSA abnormal

(c) hematuria

(d) nyeri pada suprasimfisis

(e) kelainan neurologis,

(f) buli-buli teraba penuh

(g) faal ginjal abnormal

(h) riwayat adanya infeksi saluran kemih berulang, pernah operasi urologi,

pernah menderita tumor saluran kemih, atau pernah menderita batu

saluran kemih. Pada pasien-pasien ini diperlukan pemeriksaan –

pemeriksaan tam-bahan yang bersifat spesialistik sehingga harus dirujuk

ke spesialis urologi untuk mencari kemungkinan adanya penyakit akibat

komplikasi BPH atau lain. Penyakit-penyakit tersebut adalah:

i. Komplikasi yang terjadi akibat BPH diantaranya adalah: retensi urine,

hematuria, batu buli-buli, dan insufisiensi ginjal

ii. Penyakit lain yang memberikan keluhan mirip BPH atau yang

bersamaan dengan BPH adalah: karsinoma prostat, karsinoma buli-buli,

buli-buli neurogenik, atau striktura uretra.

II. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Pasien-pasien yang termasuk kategori Aa, tidak memerlukan pemeriksaan

tambahan dan tidak mendapatkan terapi apapun (watchful waiting), sedangkan

Page 15: ttk 4

Page 25 of 26

pada pasien-pasien yang termasuk golongan Ab, jika diperlukan informasi yang

lebih lanjut dan lebih objektif tentang keluhan yang dinyatakan pasien, mungkin

perlu mendapatkan pemeriksaan tambahan yang bersifat optional. Pemeriksaan-

pemeriksaan tersebut di antaranya adalah:

i. Ultrasonografi (USG) transabdominal atau transrektal. Dari USG ini dapat

diketahui ukuran maupun morfologi kelenjar prostat, batu pada buli-buli, atau

divertikel buli-buli. Besarnya prostat perlu diketahui jika dipilih terapi inhibitor

5-á reduktase.

ii. Pancaran urine dengan uroflometer

iii. Volume residual urine sehabis miksi diukur secara tidak langsung dengan

memakai ultrasonografi transabdominal.

Dari hasil pemeriksaan tersebut selanjutnya didiskusikan dengan pasien

kemungkinan terapi yang dipilihnya. Mungkin pasien tetap memilih tanpa obat,

dengan obat, atau terapi intervensi.Jika terapi intervensi sebagai pilhannya,

selanjutnya pasien dirujuk ke spesialis urologi. Namun jika pasien memilih terapi

medikamentosa, obat yang dipilih sebagai lini pertama adalah penghambat alfa

adrenergik alfa, dan pilihan kedua adalah inhibitor 5-alfa reduktase (AUA.2003).

8. Bagaimanakah cara menilai keparahan gejala dan respon terhadap terapi pada

BPH ?

9. Bagaimanakah alur tatalaksana BPH ?

a. Apa indikasi monitoring ?

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi

perkem-bangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan

tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu

keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines

masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor

sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),

pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran

prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful

waiting. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan

Page 16: ttk 4

Page 25 of 26

hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat

memperburuk keluhannya, misalnya (Purnomo, 2003):

a. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan

malam

b. kurang konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada

buli-buli (kopi atau cokelat),

c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung

fenilpropanolamin

d. kurangi makanan pedas dan asin

e. jangan menahan kencing terlalu lama

f. Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya serangan LUTS

atau retensi urine akut

g. Batasi minum yang menyebabkan diuresis, terutama pada malam hari

h. Diperbanyak melakukan aktivitas fisik.

Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama terapi

atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi

medikamentosa.

b. Apa indikasi medikamentosa ?

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistensi

otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika

dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan

(2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara

menurunkan kadar hormone testosteron/dihidotestosteron (DHT) melalui

penghambat 5a-reduktase (Purnomo, 2003). Terapi ini diindikasikan pada

Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa

disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra

indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari

Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker (Rahardja,

2002) :

1) Fito Terapi

a) Hypoxis rosperi (rumput)

Page 17: ttk 4

Page 25 of 26

b) Serenoa repens (palem)

c) Curcubita pepo (waluh )

2) Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :

a) Inhibitor 5 alfa reduktase

b) Anti androgen

c) Analog LHRH

3) Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-

prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin

Obat Penghambat adrenergik a

Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di

dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan

alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica

banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan

prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha

adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin),

sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi.

Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari.

Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada

vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor (Purnomo, 2003).

Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,

menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi

penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi

ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan

dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat (Purnomo, 2003).

Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase

Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari.

Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron

sehingga prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih

lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada

prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan

libido dan ginekomastia (Sjamsuhidajat, 2004).

Fitoterapi

Page 18: ttk 4

Page 25 of 26

Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi

yang digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw

Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin

diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam

konteks “watchfull waiting strategy”. Saw Palmetto menunjukkan perbaikan

klinis dalam hal: frekuensi nokturia berkurang, aliran kencing bertambah lancar,

volume residu di kandung kencing berkurang, dan gejala kurang enak dalam

mekanisme urinaria berkurang. Mekanisme kerja obat diduga kuat adalah

menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor

androgen bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat

aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase (Rahardja, 2002).

c. Indikasi terapi bedah

Terapi bedah : Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung

beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu (Rahardjo, 1999):

1) Retensio urin berulang

2) Hematuria

3) Tanda penurunan fungsi ginjal

4) Infeksi saluran kencing berulang

5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.

6) Ada batu saluran kemih.

7) Gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO

8) Divertikulum buli-buli yang cukup besar karena BPO

Tabel Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Watchfull

waiting Penghambat adrenergik -a

Penghambat reduktase -a

Fitoterapi

Hormonal

Prostatektomi terbuka

Endourologi

1. TUR P

2. TUIP

3. TULP

Elektrovaporisasi

TUMT

TUBD

Stent uretra

TUNA

(Purnomo, 2003)

BAGIAN 3

Page 19: ttk 4

Page 25 of 26

1. Apakah kekurangan pemeriksaan colok dubur ?

Kekurangan pemeriksaan colok dubur (purnomo, 2009)

a. Rectal touche hanya bisa dilakukan pada penderita dengan kelainan dan

keluhan di daerah rectum, anus dan pemeriksaan prostate pada laki-laki.

b. Dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pasien

c. Pemeriksa akan mengalami kesulitan mendeteksi penyakit yang dialami pasien

apabila tidak paham benar struktur anatomi

d. Sensitivitas dan spesivisitas pemeriksaan ini rendah

2. Apakah ukuran prostat berkolerasi dengan keparahan gejala pada BPH ?

BPH dibagi menjadi 34 berdasarkan gangguan klinisnya :

1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa

urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.

2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah

berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih

menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40

gram.

3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa

urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.

4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit

keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

3. Apakah kombinasi terapi medikamentosa (yaitu antagonis alfa-1-adrenergik

ditambah inhibitor 5-alfa-reduktase) mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding

monoterapi ?

4. Apakan agen antimuskarinik berperan dalam pengobatan LUTS terkaut BPH ?

golongan antimuskarinik. Cara kerja obat ini adalah dengan mengurangi kontraksi

kandung kemih yang merupakan faktor lain yang menyebabkan timbulnya gejala

LUTS. Golongan obat ini sebelumnya telah digunakan untuk terapi Overactive

Bladder pada wanita.

Obat-obatan yang termasuk golongan ini anatara lain adalah: Tolterodine, dengan

merk dagang Detrusitol®, Solifenacin, dengan merk dagang Vesicare®, lalu ada

Propiverine, dengan merk dagang Mictonorm® dan Fesoterodine, dengan merk

dagang Toviaz®.

Page 20: ttk 4

Page 25 of 26

Golongan Antimuskarinik ini diberikan pada pria LUTS yang mempunyai

gejalastorage yang dominan (frekuensi berkemih yang meningkat dari biasa, sulit

menahan keinginan berkemih, dan sering terbangun dimalam hari untuk berkemih)

dan diberikan secara hati-hati dengan evaluasi ketat, mengingat secara teori

golongan obat ini dapat memperberat gejala LUTS. Efek samping yang ditimbulkan

berupa gejala tidak bisa berkemih (retensio urine).

5. Bagaimanakah temuan kajian pustaka mengenai efikasi saw palmetto untuk BPH

simtomatik ?

Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan masalah kesehatan umum yang

mempengaruhi 8% dari semua laki-laki pada usia 40%, 60 laki-laki berusia 70 tahun,

dan 90% dari mereka lebih dari 80 tahun. Bukti terbaru menunjukkan bahwa

penggunaan saw palmetto mengarah untuk perbaikan dalam fungsi kemih untuk

mereka yang menderita BPH.Selain itu, mekanisme yang tepat tindakan saw

palmetto dilaki-laki dengan BPH masih belum jelas. (Gong, 2004)

Meskipun upaya komunitas medis untuk meringankan gejala BPH, banyak pasien

tidak puas dengan hasil terapi konvensional. Ada semakin banyak bukti dari uji klinis

bahwa agen phytotherapeutic dapat menyebabkan gejala subyektif dan obyektif

peningkatan luar efek plasebo. Diantara mereka, melihat palmetto adalah yang

paling umum ramuan digunakan untuk pengobatan.(Gong,2004)

Berbagai mekanisme untuk tindakan saw palmetto telah diusulkan. Namun,

yang paling umum diterima bahwa saw palmetto bertindak sebagai inhibitor

5alphareduktase, enzim bertanggung jawab atas konversi testosterone (T) untuk

lebih kuat dalam bentuk prostat, dihidrotestosteron(DHT).Sejumlah penelitian in

vitro telah dilakukan dengan menggunakan Permixon dengan jaringan manusia

seperti fibroblast kulit, budaya utama dari sel BPH, dan model lain yang telah

menunjukkan penurunan kadar DHT, dianggap karena penghambatan 5-

alphareduktase tipe 1 dan 2 aktivitas. Beberapa penelitian kecil menunjukkan

aktivitas in vivo dari saw palmetto pada subyek manusia.Dalam satu penelitian, 25

pasien yang dipilih untuk prostatectomy terbuka untuk pengobatan BPH adalah acak

baik tidak ada pengobatan atau perawatan 3 bulan dengan Permixon. (Gong, 2004)

Setelah reseksi bedah, testosterone, DHT dan pertumbuhan tingkat faktor diukur

pada specimen prostat. Jaringan prostat periuretra ditemukan memiliki yang tingkat

Page 21: ttk 4

Page 25 of 26

tertinggi ketiga faktor diukur sedangkan zona subkapsular prostat memiliki tingkat

terendah. DHT dan tingkat faktor pertumbuhan menurun secara bermakna seluruh

prostat pada pria menerima tingkat Permixon dan testosterone yang tinggi,

menyarankan 5-alpha Saw Palmetto dan benign prostatic hyperplasia 333 reduktase

efek dari saw palmetto. Efek dari melihat palmetto pada androgen prostat dan

faktor pertumbuhan mirip dengan penelitian sebelumnya oleh kelompok yang sama

menggunakan finasteride, sebuah didirikan 5-alfareduktase inhibitor. Meskipun

sebuah penelitian kecil, maka tampaknya Permixon menyebabkan perubahan

penting dalam tingkat androgen prostat terutama dalam jaringan yang berdekatan

dengan uretra. (Gong, 2004)

Page 22: ttk 4

Page 25 of 26

Daftar pustaka

AUA practice guidelines committee.AUA guideline on management of benign

prostatic hyperplasia.2003.Chapter 1:Diagnosis and Treatment

Recommendations. J Urol. 170:530-47.

Brackman J. MD, et al. 1997. Efficacy and Safety at The Extract of Serenoa Repens in The

Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia: an open multi centre study.

Europian Journal of Clinial Research 1997 : p. 47-57.

Datak, Gad. 2008. Efektivitas Relaksasi. FKUI available rom URL :

http://eprints.lib.ui.ac.id/4461/5/127176-TESIS0443%20Gad%20N08e-

Efektifitas%20relaksasi-Literatur.pdf diunduh pada tanggal 23 september 2011.

Doenges, et al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (terjemah). Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Furqan. 2009. Evaluasi biakan urin pada penderita BPH setelah pemasangan kateter.

Diakses di http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf pada tanggal

22 September 2011.

Gong, Edward M and Glenn S Gerber. 2004. Saw Palmetto and Benign Prostatic

Hyperplasia. Chicago. The American Journal of Chinese Medicine, vol. 32, No.

3, 331-338.

Hardjowijoto S. 1999. Benigna Prostatic Hyperplasia. Surabay: Airlangga University

Press.

Kirby, Roger S and Peter J Gilling.2010.Benign Prostatic Hyperplasia.Health Press Sixth

Edition.

McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista OM, Andriole GL Jr, Dixon CM, Kusek JW. The

long-term effect of doxazosin, finasteride, and combination therapy on the

clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N English journal Medicine.

Dec 18 2003; 349 (25):2387-98.

Michael Esposito, Vincent Lanteri & Jeffrey Saham. 2007. Robotic prostatectomy Urology

Surgery. New Jersey: New Jersey Center For Prostat Cancer and Urology.

Muruganandham, K and Dubey, Deepak et al. 2007. Acute Urinary Retention In Benign

Prostatic Hyperplasia: Risk Factors And Current Management. Indian Journal of

Urology. Volume : 23 (4);347-353. Diakses dari :

Page 23: ttk 4

Page 25 of 26

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2721562/. Pada tanggal 24

September 2011.

Purnomo,Basuki.2000.Dasar-dasar Urologi.Jakarta:CV.SagungSeto.

Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar – Dasar Urologi. Jakarta : CV.Sagung Seto. Hal 69-80

Purnomo,Basuki.2009.Dasar-dasar Urologi.Jakarta:CV.SagungSeto

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. 2002. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, Dan Efek–

Efek Sampingnya. Jakarta : Gramedia

Rahardjo D.1999. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, Dan Penanganan. Jakarta:

Asian Medical

Raharjo D. 1997. Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik dan Manajemen. Jakarta.

Sjamsuhidajat R, de Jong W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC

Stas, Sameer N.et al.2003.Urologic Aspects of Andropause.El Savier Science Inc

Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’, CV.Infomedika, Jakarta, 2000: 200-214.

Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery, Pocket Companion’,

Edited by: Sabiston DC and Liverly HK, Wb Saunders Company, 1992 : 670-680.