ttk 4
-
Upload
sidik-kaca-paiisan -
Category
Documents
-
view
157 -
download
0
Transcript of ttk 4
Page 25 of 26
BAGIAN 1
1. Bagaimanakah tinjauan epidemiologis kejadian retensi urin akut pada BPH ?
2. Bagaimanakah perjalanan alamiah (natural history) retensi urin akut pada BPH ?
3. Bagaimanakah etiopatogenesis retensi urin akut pada BPH ?
4. Apa sajakah yang termasuk dalam predictor retensi urin akut pada BPH ?
a. Baseline variables terdiri atas…
b. Dynamic variables terdiri atas…
5. Bagaimanakah pathogenesis pengaruh obstruksi urin terhadap tractus urinarius ?
a. Terhadap tractus urinarius media (vesica urinaria)
b. Terhadap tractus urinarius atas (ureter dan ren)
6. Bagaimanakah patofisiologi gejala obstruksi urin ?
a. Pada tahap kompensata
b. Pada tahap dekompensata
BAGIAN 2
1. Bagaimanakah insidensi dan epidemiologi BPH ?
2. Apakah etiologi BPH ?
3. Bagaimanakah pathogenesis BPH ?
4. Bagaimanakah patofisiologi BPH ?
5. Bagaimanakah gambaran klinis BPH ?
a. Gejala
b. Tanda
c. Temuan laboratorium
d. Temuan pencitraan
e. Sistoskopi
f. Pemeriksaan penunjang lain
6. Apa diferensial diagnosis BPH ?
7. Bagaimana alur penegakan diagnosis BPH ?
8. Bagaimanakah cara menilai keparahan gejala dan respon terhadap terapi pada
BPH ?
9. Bagaimanakah alur tatalaksana BPH ?
a. Apa indikasi monitoring ?
b. Apa indikasi medikamentosa ?
c. Apa indikasi terapi bedah ?
Page 25 of 26
BAGIAN 3
1. Apakah kekurangan pemeriksaan colok dubur ?
2. Apakah ukuran prostat berkolerasi dengan keparahan gejala pada BPH ?
3. Apakah kombinasi terapi medikamentosa (yaitu antagonis alfa-1-adrenergik
ditambah inhibitor 5-alfa-reduktase) mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding
monoterapi ?
4. Apakan agen antimuskarinik berperan dalam pengobatan LUTS terkaut BPH ?
5. Bagaimanakah temuan kajian pustaka mengenai efikasi saw palmetto untuk BPH
simtomatik ?
Page 25 of 26
BAGIAN 1
1. Bagaimanakah tinjauan epidemiologis kejadian retensi urin akut pada BPH ?
Retensi urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urine
yang terkumpul didalam buli-buli hingga kapastias maksimal buli-buli terlampaui.
(Purnomo,2003).
Benign Prostat Hyperplasia merupakan penyakit yang ser ing diderita pada
pria. Di klinik 50% dijumpai pender ita BPH berusia 60-69 tahun, yang
menimbulkan gejala-gejala bladder outlet obstruct ion. Dari pengamatan di klinik
Urologi ser ta Instalasi Gawat Darurat RSUP. Adam Malik dan RSUD Medan,
penderita yang terbanyak menggunakan kateter menetap adalah pender ita yang
datang dengan keluhan retensi urin akibat prostat hiperplasi. Kateter isasi
merupakan per tolongan bagi penderita saat itu, tetapi akan menjadi penyulit bila
pemakaian lama. (Furqan, 2009)
2. Bagaimanakah perjalanan alamiah (natural history) retensi urin akut pada BPH ?
Dengan diketahuinya mekanisme membukanya vesical neck dan
memancarkan urin pada saat buang air kecil (BAK), BPH menyebabkan peningkatan
resistensi outflow urin. Konsekuensinya, tekanan intravesicel yang lebih tinggi
diperlukan untuk bisa BAK, menyebabkan hipertropi vesica urinaria (VU) dan
musculus trigonum. Hal ini menyebabkan terbentuknya divertikel pada VU yaitu
pembentukan kantung keluar dari mukosa VU di antara otot-otot detrussor.
Hipertropi trigonum menyebabkan stres intravesicel ureter, sehingga menghasilkan
obstruksi fungsional dan menyebabkan hydroureteronephrosis pada kasus yang
telah lanjut. Stagnasi urin dapat menyebabkan infeksi; onset dari sistitis akan
mencetuskan gangguan-gangguan obstruksi. Pembesaran prostat periuretra dan
subtrigonal paling sering menyebabkan obstruksi yang signifikan (AUA.2003).
3. Bagaimanakah etiopatogenesis retensi urin akut pada BPH ?
4. Apa sajakah yang termasuk dalam predictor retensi urin akut pada BPH ?
a. Baseline variables terdiri atas :
1) usia
2) Keparahan LUT (Lower Urinary Tract)
3) Rendahnya tingkat aliran puncak kemih
Page 25 of 26
4) Peningkatan volume post-void residual urine (PVR)
5) Pembesaran prostat
6) Peningkatan kadar serum PSA (Prostate- Spesific Antigen) (Muruganandham
et al, 2007)
b. Dynamic variables terdiri atas :
1) Memburuknya IPSS (International Prostate Symptom Score) yang melebihi 4
poin
2) Peningkatan PVR (post void residual urine)
3) Tidak ada respon terhadap alpha blocker
4) Pengobatan dapat mengganggu apabila skornya melebihi 3 poin
(Muruganandham et al, 2007)
Variabel-variabel dinamis secara aktif dapat dimonitoring selama periode
pengobatan karena untuk memprediksi terjadinya AUR (Acute Urinary Retention)
dan menilai kebutuhan untuk operasi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
(Muruganandham et al, 2007).
5. Bagaimanakah pathogenesis pengaruh obstruksi urin terhadap tractus urinarius ?
a. Terhadap tractus urinarius media (vesica urinaria)
Jika terjadi obstruksi urine, efek terhadap vesika urinaria akan meningkatkan
tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan dengan paksa, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini bisa menimbulkan perubahan anatomic buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut (Purnomo, 2003).
b. Terhadap tractus urinarius atas (ureter dan ren)
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua bagian ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya akan menjadi gagal ginjal (Purnomo,
2003).
6. Bagaimanakah patofisiologi gejala obstruksi urin ?
Page 25 of 26
a. Pada tahap kompensata
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak
banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata
(Sunaryo, 1999).
b. Pada tahap dekompensata
Kelanjutan dari tahap kompensata, lama -kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta
lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga
tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat
Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra
abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan
haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah
inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat
dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli
tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi
adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal
(Sunaryo, 1999)
BAGIAN 2
1. Bagaimanakah insidensi dan epidemiologi BPH ?
2. Apakah etiologi BPH ?
3. Bagaimanakah pathogenesis BPH ?
Pertumbuhan dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh laki-laki hormone
testosterone dan lebih aktif dihidrotestosteron metabolit(DHT). Enzim5α-reduktase
bertanggung jawab untuk konversi testosterone menjadi DHT. Ini memiliki dua
isoform : tipe2 5α-reduktase mendominasi diprostat, sedangkan kedua tipe 1 dan
tipe 2 5α-reduktase yang umum pada jaringan extraprostatic.BPH membutuhkan
DHT stimulasi reseptor androgen, hasil ini dalam transkripsi dan terjemahan dari
Page 25 of 26
faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Hal ini pada
gilirannya mempromosikan hyperplasia stroma dan epitel karakteristik BPH. Faktor
lain yang mendasari hiperplastik proses termasuk pengurangan kematian sel
terprogram (apoptosis) dan peradangan, yang mungkin terlibat oleh berbagai
potensi mekanisme.Faktor pertumbuhan transformasi β (TGFβ) adalah salah satu
faktor terlibat dalam proses ini. Ketidak seimbangan antara molekul merangsang
proliferasi dan menginduksi apoptosis hasil mereka yang progresif pembesaran
hiperplastik zona transisi prostat. Ada juga komponen genetic untuk BPH; gen telah
belum diidentifikasi secara tepat, tetapi mungkin autosomal
dominan.Pasien dengan bentuk keluarga umumnya memiliki prostat lebih besar dan
menjalani operasi pada usia lebih dini.(Kirby, 2010)
Meskipun BPH sering dianggap sebagai hasil dari kelenjar proliferasi, pada
kenyataannya sampai dengan 60% dari jaringan hiperplastik terdiri dari sel otot
polos dan jaringan ikat. Kontraksi ini halus sel otot berada dibawah control sistem
saraf simpatik. Ketika norepinefrin (noradrenalin) dilepaskan dari inti padat vesikel
yang terkandung dalam terminal saraf simpatik, berdifusi menyeberangi celah
sinaptik untuk mengikat berbagai α1-adrenoseptor terletak pada membrane sel otot
polos prostat. Resultan masuknya kalsium meningkatkan tonus otot prostat halus.
Beberapa α1-adrenoceptor subtype dikenal. Para α1A-subtipe adalah dominan
reseptor dalam prostat, sedangkan α1B-subtipe tampaknya terutama 10 terlibat
dalam vasokonstriksi perifer, dan α1D-adrenoseptor. (Kirby, 2010)
BPH jelas terkait dengan penuaan. Ini prevalensi meningkat dari 8% dalam dekade
keempat untuk lebih dari 70% pada dekade ketujuh. Ada bukti bahwa BPH adalah
mungkin dimulai sebelum usia 30 tahun genetic dan faktor lingkungan tampaknya
terlibat dalam pathogenesis BPH. Peran androgen dalam proses yang tidak
sepenuhnya diklarifikasi. BPH berasal dari transisi zona prostat, daerah yang sama
yang lebih besar sensitivitas hormon. Oleh karena itu,
penurunan androgen relative dibandingkan dengan estrogen tampaknya menjadi
faktor memulai untuk BPH.( Stas, 2003)
Pertumbuhan dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh laki-laki hormone
testosterone dan lebih aktif dihidrotestosteron metabolit(DHT). Enzim5α-reduktase
bertanggung jawab untuk konversi testosterone menjadi DHT. Ini memiliki dua
isoform : tipe2 5α-reduktase mendominasi diprostat, sedangkan kedua tipe 1 dan
Page 25 of 26
tipe 2 5α-reduktase yang umum pada jaringan extraprostatic.BPH membutuhkan
DHT stimulasi reseptor androgen, hasil ini dalam transkripsi dan terjemahan dari
faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Hal ini pada
gilirannya mempromosikan hyperplasia stroma dan epitel karakteristik BPH. Faktor
lain yang mendasari hiperplastik proses termasuk pengurangan kematian sel
terprogram (apoptosis) dan peradangan, yang mungkin terlibat oleh berbagai
potensi mekanisme.Faktor pertumbuhan transformasi β (TGFβ) adalah salah satu
faktor terlibat dalam proses ini. Ketidak seimbangan antara molekul merangsang
proliferasi dan menginduksi apoptosis hasil mereka yang progresif pembesaran
hiperplastik zona transisi prostat. Ada juga komponen genetic untuk BPH; gen telah
belum diidentifikasi secara tepat, tetapi mungkin autosomal
dominan.Pasien dengan bentuk keluarga umumnya memiliki prostat lebih besar dan
menjalani operasi pada usia lebih dini.(Kirby, 2010)
Meskipun BPH sering dianggap sebagai hasil dari kelenjar proliferasi, pada
kenyataannya sampai dengan 60% dari jaringan hiperplastik terdiri dari sel otot
polos dan jaringan ikat. Kontraksi ini halus sel otot berada dibawah control sistem
saraf simpatik. Ketika norepinefrin (noradrenalin) dilepaskan dari inti padat vesikel
yang terkandung dalam terminal saraf simpatik, berdifusi menyeberangi celah
sinaptik untuk mengikat berbagai α1-adrenoseptor terletak pada membrane sel otot
polos prostat. Resultan masuknya kalsium meningkatkan tonus otot prostat halus.
Beberapa α1-adrenoceptor subtype dikenal. Para α1A-subtipe adalah dominan
reseptor dalam prostat, sedangkan α1B-subtipe tampaknya terutama 10 terlibat
dalam vasokonstriksi perifer, dan α1D-adrenoseptor. (Kirby, 2010)
BPH jelas terkait dengan penuaan. Ini prevalensi meningkat dari 8% dalam dekade
keempat untuk lebih dari 70% pada dekade ketujuh. Ada bukti bahwa BPH adalah
mungkin dimulai sebelum usia 30 tahun genetic dan faktor lingkungan tampaknya
terlibat dalam pathogenesis BPH. Peran androgen dalam proses yang tidak
sepenuhnya diklarifikasi. BPH berasal dari transisi zona prostat, daerah yang sama
yang lebih besar sensitivitas hormon. Oleh karena itu,
penurunan androgen relative dibandingkan dengan estrogen tampaknya menjadi
faktor memulai untuk BPH.( Stas, 2003)
4. Bagaimanakah patofisiologi BPH ?
Page 25 of 26
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini meningkatkan tekanan intravesikal.
Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan tersebut, kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomic buli-buli berupa hipertrofi otot destrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus (purnomo, 2009).
Tekanan intavesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ureter atau terjadu refluks vesiko-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat mengakibatkan gagal ginjal
(purnomo, 2009).
Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya masaa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat,
dan oto polos pada leher buli-buli. Otot polo situ dipersarafi oleh serabut simpatis
yang berasal dari nervus pudendus (Purnomo, 2009).
Pada BPH terjadi peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau
pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan
tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa
prostat yang menyebabkan obstruksi komponen static sedangkan tonus oto polos
yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo,
2009).
5. Bagaimanakah gambaran klinis BPH ?
a. Gejala
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary
tractsymptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun
iritasi (storagesymptoms) yang meliputi:
Page 25 of 26
1) frekuensi miksi meningkat,
2) urgensi,
3) nokturia,
4) pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi),
5) merasa tidak puas sehabis miksi,
6) retensi urine.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan
prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai
dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan
yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35.
Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri
tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor
yang diperoleh adalah sebagai berikut.
1) Skor 0-7: bergejala ringan
2) Skor 8-19: bergejala sedang
3) Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu
pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga
terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (Purnomo,2000.).
b. Tanda
1. pembesaran prostat,
2. konsistensi prostat,
3. nodulpada prostat yang merupakan salah satu tanda dari keganasan
prostat. (AUA, 2003).
c. Temuan laboratorium
1. Urinalisis. Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Pada pasien BPH yang sudah mengalami
retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak
Page 25 of 26
banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal. Obstruksi infravesika akibat BPH
menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian
atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-
30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam
kali lebih banyak9. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi
didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum
normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin
serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas (Rossete, 2001).
Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen).PSA disintesis oleh sel
epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific18.
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat
lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
lebih mudah terjadinya retensi urine akut (Roehrbom, 2000). Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA
makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat
rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7
mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun,
dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3mL/tahun. (dawnson, 1996). Kadar
PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi
urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai
yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA
Page 25 of 26
meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan
menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.
3. Temuan pencitraan
Ultrasonografi dapat dilakukan secara trans-abdominal atau trans-rektal (TRUS).
Cara ini dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya
dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak ada bahaya radiasi dan juga relatif
murah. Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi
dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan
patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan USG trans-rektal dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan USG supra pubik. Payaran CT atau MRI
jarang dilakukan. (Rahardjo,1997; Sjamsuhidajat,1997).
Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pielografi intra vena
dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah
miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek
isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran
prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram
tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti
mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau
penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd
(Rahardjo,1997; Sjamsuhidajat,1997).
4. Sistoskopi
Sistoskopi khususnya pada infeksi saluran kemih yang berulang perlu dilakukan
untuk mengetahui kepastian penyebabnya (misalnya infeksi tuberkulosis) atau
untuk mencari faktor predisposisi, seperti adanya batu, hipertrofi prostat,
divertikel dan sebagainya. Bila dijumpai adanya tanda-tanda klinis infeksi saluran
kemih, tetapi pada pemeriksaan laboratorium tidak dijumpai adanya bakteri, maka
dengan adanya lekosit dalam urine masih perlu dipikirkan adanya infeksi. Infeksi-
infeksi seperti tuberkulosis, jamur, virus, bakteri aerob, parasit ataupun infeksi
protozoa yang kesemuanya memerlukan suatu pemeriksaan khusus
(Weinerth,1992; Raharjo,1997).
5. Pemeriksaan penunjang lain
1.Pemeriksaan colok dubur
Page 25 of 26
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah
asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat
obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi
spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar
dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
2.Pemeriksaan laboratorium
a.Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar ureum
kreatinin.
b.Bila perlu Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk dasar penentuan biopsi.
3.Pemeriksaan radiologi :
a.Foto polos abdomen
b.BNO-IVP
c.Systocopy
d.Cystografi
4.USG
6. Apa diferensial diagnosis BPH ?
Diferensial diagnosis BPH (R Sjamsuhidajat. 2004)
a. Kelemahan detrusor kandung kemih
1) kelainan medula spinalis
2) neuropatia diabetes mellitus
3) pasca bedah radikal di pelvis
4) farmakologik
b. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
1) kelainan neurologik
2) neuropati perifer
3) diabetes mellitus
4) alkoholisme
5) farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
c. Obstruksi fungsional :
Page 25 of 26
1) dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter
2) ketidakstabilan detrusor
d. Kekakuan leher kandung kemih :
1) fibrosis
e. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
1) hiperplasia prostat jinak atau ganas
2) kelainan yang menyumbatkan uretra
3) uretralitiasis
4) uretritis akut atau kronik
5) striktur uretra
f. Prostatitis akut atau kronis
7. Bagaimana alur penegakan diagnosis BPH ?
I. PEMERIKSAAN AWAL
1) Harus diperiksa oleh setiap dokter/tenaga kesehatan (bersifat mandatory)
meliput (AUA.2003) :
i. Anamnesis/wawancara tentang riwayat penyakit untuk menyingkirkan
penyebab lain dari gangguan miksi, atau untuk mengungkap kemungkinan
adanya penyakit lain yang mempengaruhi hasil terapi yang akan diberikan.
ii. Pemeriksaan fisik termasuk disini adalah colok dubur dan pemeriksaan
neurologis
iii. Urinalisis untuk mencari kemungkinan adanya hematuria dan leukosituria
2) Diperiksa jika fasilitas tersedia (bersifat Recommended), meliputi
(AUA.2003):
i. PSA guna menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat stadium
awal. Pemeriksaan ini terutama ditawarkan kepada pasien yang
mempunyai usia harapan hidup lebih dari 10 tahun atau usianya belum
mencapai 70 tahun.
ii. Test faal ginjal (kreatinin serum) untuk menilai kemungkinan adanya
penyulit BPH pada saluran kemih bagian atas. Peningkatan harga kreatinin
dalam serum merupakan indikasi untuk melakukan evaluasi terhadap
sistem urinaria bagian atas
Page 25 of 26
iii. IPSS dan QoL untuk menentukan derajat keluhan miksi dan kualitas hidup,
kecuali jika pasien yang sebelumnya sudah memakai kateterisasi karena
retensi urine.
iv. Catatan harian miksi
Dari pemeriksaan awal tersebut didapatkan pasien dengan kategori (AUA.2003):
A. Pasien yang hanya mengeluh LUTS dan dalam hal ini dapat dikelompokkan
dalam:
A.a. pasien dengan tingkat gangguan ringan (IPSS ¡Ü 7)
A.b. pasien dengan tingkat gangguan sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35)
B. Pasien-pasien yang pada saat pemeriksaan awal diketemukan adanya:
(a) kecurigaan adanya keganasan prostat pada colok dubur,
(b) PSA abnormal
(c) hematuria
(d) nyeri pada suprasimfisis
(e) kelainan neurologis,
(f) buli-buli teraba penuh
(g) faal ginjal abnormal
(h) riwayat adanya infeksi saluran kemih berulang, pernah operasi urologi,
pernah menderita tumor saluran kemih, atau pernah menderita batu
saluran kemih. Pada pasien-pasien ini diperlukan pemeriksaan –
pemeriksaan tam-bahan yang bersifat spesialistik sehingga harus dirujuk
ke spesialis urologi untuk mencari kemungkinan adanya penyakit akibat
komplikasi BPH atau lain. Penyakit-penyakit tersebut adalah:
i. Komplikasi yang terjadi akibat BPH diantaranya adalah: retensi urine,
hematuria, batu buli-buli, dan insufisiensi ginjal
ii. Penyakit lain yang memberikan keluhan mirip BPH atau yang
bersamaan dengan BPH adalah: karsinoma prostat, karsinoma buli-buli,
buli-buli neurogenik, atau striktura uretra.
II. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pasien-pasien yang termasuk kategori Aa, tidak memerlukan pemeriksaan
tambahan dan tidak mendapatkan terapi apapun (watchful waiting), sedangkan
Page 25 of 26
pada pasien-pasien yang termasuk golongan Ab, jika diperlukan informasi yang
lebih lanjut dan lebih objektif tentang keluhan yang dinyatakan pasien, mungkin
perlu mendapatkan pemeriksaan tambahan yang bersifat optional. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut di antaranya adalah:
i. Ultrasonografi (USG) transabdominal atau transrektal. Dari USG ini dapat
diketahui ukuran maupun morfologi kelenjar prostat, batu pada buli-buli, atau
divertikel buli-buli. Besarnya prostat perlu diketahui jika dipilih terapi inhibitor
5-á reduktase.
ii. Pancaran urine dengan uroflometer
iii. Volume residual urine sehabis miksi diukur secara tidak langsung dengan
memakai ultrasonografi transabdominal.
Dari hasil pemeriksaan tersebut selanjutnya didiskusikan dengan pasien
kemungkinan terapi yang dipilihnya. Mungkin pasien tetap memilih tanpa obat,
dengan obat, atau terapi intervensi.Jika terapi intervensi sebagai pilhannya,
selanjutnya pasien dirujuk ke spesialis urologi. Namun jika pasien memilih terapi
medikamentosa, obat yang dipilih sebagai lini pertama adalah penghambat alfa
adrenergik alfa, dan pilihan kedua adalah inhibitor 5-alfa reduktase (AUA.2003).
8. Bagaimanakah cara menilai keparahan gejala dan respon terhadap terapi pada
BPH ?
9. Bagaimanakah alur tatalaksana BPH ?
a. Apa indikasi monitoring ?
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkem-bangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan
tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines
masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor
sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),
pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran
prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful
waiting. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
Page 25 of 26
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (Purnomo, 2003):
a. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam
b. kurang konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
buli-buli (kopi atau cokelat),
c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin
d. kurangi makanan pedas dan asin
e. jangan menahan kencing terlalu lama
f. Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya serangan LUTS
atau retensi urine akut
g. Batasi minum yang menyebabkan diuresis, terutama pada malam hari
h. Diperbanyak melakukan aktivitas fisik.
Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama terapi
atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi
medikamentosa.
b. Apa indikasi medikamentosa ?
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika
dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan
(2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosteron/dihidotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5a-reduktase (Purnomo, 2003). Terapi ini diindikasikan pada
Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra
indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari
Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker (Rahardja,
2002) :
1) Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
Page 25 of 26
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )
2) Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH
3) Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-
prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
Obat Penghambat adrenergik a
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di
dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan
alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica
banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan
prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha
adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin),
sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi.
Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada
vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor (Purnomo, 2003).
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,
menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi
penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi
ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat (Purnomo, 2003).
Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron
sehingga prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih
lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan
libido dan ginekomastia (Sjamsuhidajat, 2004).
Fitoterapi
Page 25 of 26
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi
yang digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw
Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin
diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam
konteks “watchfull waiting strategy”. Saw Palmetto menunjukkan perbaikan
klinis dalam hal: frekuensi nokturia berkurang, aliran kencing bertambah lancar,
volume residu di kandung kencing berkurang, dan gejala kurang enak dalam
mekanisme urinaria berkurang. Mekanisme kerja obat diduga kuat adalah
menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat
aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase (Rahardja, 2002).
c. Indikasi terapi bedah
Terapi bedah : Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu (Rahardjo, 1999):
1) Retensio urin berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kencing berulang
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
6) Ada batu saluran kemih.
7) Gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO
8) Divertikulum buli-buli yang cukup besar karena BPO
Tabel Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal
Watchfull
waiting Penghambat adrenergik -a
Penghambat reduktase -a
Fitoterapi
Hormonal
Prostatektomi terbuka
Endourologi
1. TUR P
2. TUIP
3. TULP
Elektrovaporisasi
TUMT
TUBD
Stent uretra
TUNA
(Purnomo, 2003)
BAGIAN 3
Page 25 of 26
1. Apakah kekurangan pemeriksaan colok dubur ?
Kekurangan pemeriksaan colok dubur (purnomo, 2009)
a. Rectal touche hanya bisa dilakukan pada penderita dengan kelainan dan
keluhan di daerah rectum, anus dan pemeriksaan prostate pada laki-laki.
b. Dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pasien
c. Pemeriksa akan mengalami kesulitan mendeteksi penyakit yang dialami pasien
apabila tidak paham benar struktur anatomi
d. Sensitivitas dan spesivisitas pemeriksaan ini rendah
2. Apakah ukuran prostat berkolerasi dengan keparahan gejala pada BPH ?
BPH dibagi menjadi 34 berdasarkan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40
gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
3. Apakah kombinasi terapi medikamentosa (yaitu antagonis alfa-1-adrenergik
ditambah inhibitor 5-alfa-reduktase) mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding
monoterapi ?
4. Apakan agen antimuskarinik berperan dalam pengobatan LUTS terkaut BPH ?
golongan antimuskarinik. Cara kerja obat ini adalah dengan mengurangi kontraksi
kandung kemih yang merupakan faktor lain yang menyebabkan timbulnya gejala
LUTS. Golongan obat ini sebelumnya telah digunakan untuk terapi Overactive
Bladder pada wanita.
Obat-obatan yang termasuk golongan ini anatara lain adalah: Tolterodine, dengan
merk dagang Detrusitol®, Solifenacin, dengan merk dagang Vesicare®, lalu ada
Propiverine, dengan merk dagang Mictonorm® dan Fesoterodine, dengan merk
dagang Toviaz®.
Page 25 of 26
Golongan Antimuskarinik ini diberikan pada pria LUTS yang mempunyai
gejalastorage yang dominan (frekuensi berkemih yang meningkat dari biasa, sulit
menahan keinginan berkemih, dan sering terbangun dimalam hari untuk berkemih)
dan diberikan secara hati-hati dengan evaluasi ketat, mengingat secara teori
golongan obat ini dapat memperberat gejala LUTS. Efek samping yang ditimbulkan
berupa gejala tidak bisa berkemih (retensio urine).
5. Bagaimanakah temuan kajian pustaka mengenai efikasi saw palmetto untuk BPH
simtomatik ?
Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan masalah kesehatan umum yang
mempengaruhi 8% dari semua laki-laki pada usia 40%, 60 laki-laki berusia 70 tahun,
dan 90% dari mereka lebih dari 80 tahun. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan saw palmetto mengarah untuk perbaikan dalam fungsi kemih untuk
mereka yang menderita BPH.Selain itu, mekanisme yang tepat tindakan saw
palmetto dilaki-laki dengan BPH masih belum jelas. (Gong, 2004)
Meskipun upaya komunitas medis untuk meringankan gejala BPH, banyak pasien
tidak puas dengan hasil terapi konvensional. Ada semakin banyak bukti dari uji klinis
bahwa agen phytotherapeutic dapat menyebabkan gejala subyektif dan obyektif
peningkatan luar efek plasebo. Diantara mereka, melihat palmetto adalah yang
paling umum ramuan digunakan untuk pengobatan.(Gong,2004)
Berbagai mekanisme untuk tindakan saw palmetto telah diusulkan. Namun,
yang paling umum diterima bahwa saw palmetto bertindak sebagai inhibitor
5alphareduktase, enzim bertanggung jawab atas konversi testosterone (T) untuk
lebih kuat dalam bentuk prostat, dihidrotestosteron(DHT).Sejumlah penelitian in
vitro telah dilakukan dengan menggunakan Permixon dengan jaringan manusia
seperti fibroblast kulit, budaya utama dari sel BPH, dan model lain yang telah
menunjukkan penurunan kadar DHT, dianggap karena penghambatan 5-
alphareduktase tipe 1 dan 2 aktivitas. Beberapa penelitian kecil menunjukkan
aktivitas in vivo dari saw palmetto pada subyek manusia.Dalam satu penelitian, 25
pasien yang dipilih untuk prostatectomy terbuka untuk pengobatan BPH adalah acak
baik tidak ada pengobatan atau perawatan 3 bulan dengan Permixon. (Gong, 2004)
Setelah reseksi bedah, testosterone, DHT dan pertumbuhan tingkat faktor diukur
pada specimen prostat. Jaringan prostat periuretra ditemukan memiliki yang tingkat
Page 25 of 26
tertinggi ketiga faktor diukur sedangkan zona subkapsular prostat memiliki tingkat
terendah. DHT dan tingkat faktor pertumbuhan menurun secara bermakna seluruh
prostat pada pria menerima tingkat Permixon dan testosterone yang tinggi,
menyarankan 5-alpha Saw Palmetto dan benign prostatic hyperplasia 333 reduktase
efek dari saw palmetto. Efek dari melihat palmetto pada androgen prostat dan
faktor pertumbuhan mirip dengan penelitian sebelumnya oleh kelompok yang sama
menggunakan finasteride, sebuah didirikan 5-alfareduktase inhibitor. Meskipun
sebuah penelitian kecil, maka tampaknya Permixon menyebabkan perubahan
penting dalam tingkat androgen prostat terutama dalam jaringan yang berdekatan
dengan uretra. (Gong, 2004)
Page 25 of 26
Daftar pustaka
AUA practice guidelines committee.AUA guideline on management of benign
prostatic hyperplasia.2003.Chapter 1:Diagnosis and Treatment
Recommendations. J Urol. 170:530-47.
Brackman J. MD, et al. 1997. Efficacy and Safety at The Extract of Serenoa Repens in The
Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia: an open multi centre study.
Europian Journal of Clinial Research 1997 : p. 47-57.
Datak, Gad. 2008. Efektivitas Relaksasi. FKUI available rom URL :
http://eprints.lib.ui.ac.id/4461/5/127176-TESIS0443%20Gad%20N08e-
Efektifitas%20relaksasi-Literatur.pdf diunduh pada tanggal 23 september 2011.
Doenges, et al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (terjemah). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Furqan. 2009. Evaluasi biakan urin pada penderita BPH setelah pemasangan kateter.
Diakses di http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf pada tanggal
22 September 2011.
Gong, Edward M and Glenn S Gerber. 2004. Saw Palmetto and Benign Prostatic
Hyperplasia. Chicago. The American Journal of Chinese Medicine, vol. 32, No.
3, 331-338.
Hardjowijoto S. 1999. Benigna Prostatic Hyperplasia. Surabay: Airlangga University
Press.
Kirby, Roger S and Peter J Gilling.2010.Benign Prostatic Hyperplasia.Health Press Sixth
Edition.
McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista OM, Andriole GL Jr, Dixon CM, Kusek JW. The
long-term effect of doxazosin, finasteride, and combination therapy on the
clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N English journal Medicine.
Dec 18 2003; 349 (25):2387-98.
Michael Esposito, Vincent Lanteri & Jeffrey Saham. 2007. Robotic prostatectomy Urology
Surgery. New Jersey: New Jersey Center For Prostat Cancer and Urology.
Muruganandham, K and Dubey, Deepak et al. 2007. Acute Urinary Retention In Benign
Prostatic Hyperplasia: Risk Factors And Current Management. Indian Journal of
Urology. Volume : 23 (4);347-353. Diakses dari :
Page 25 of 26
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2721562/. Pada tanggal 24
September 2011.
Purnomo,Basuki.2000.Dasar-dasar Urologi.Jakarta:CV.SagungSeto.
Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar – Dasar Urologi. Jakarta : CV.Sagung Seto. Hal 69-80
Purnomo,Basuki.2009.Dasar-dasar Urologi.Jakarta:CV.SagungSeto
Rahardja K, Tan Hoan Tjay. 2002. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, Dan Efek–
Efek Sampingnya. Jakarta : Gramedia
Rahardjo D.1999. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, Dan Penanganan. Jakarta:
Asian Medical
Raharjo D. 1997. Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik dan Manajemen. Jakarta.
Sjamsuhidajat R, de Jong W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC
Stas, Sameer N.et al.2003.Urologic Aspects of Andropause.El Savier Science Inc
Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’, CV.Infomedika, Jakarta, 2000: 200-214.
Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery, Pocket Companion’,
Edited by: Sabiston DC and Liverly HK, Wb Saunders Company, 1992 : 670-680.