Triangle Fam Therapy

download Triangle Fam Therapy

of 29

Transcript of Triangle Fam Therapy

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN LANJUT JIWA

ANALISIS FAMILY THERAPY: TRIANGLE BERDASARKAN TEORI PEPLAU

OLEH: SURAYING EKA MISHBAHATUL M.HAS ENY MASRUROH HINDYAH IKE S SRI AGUSTIANA RETNAYU PRADANIE NITA LIS WIDIANA CHRISTINA YULIASTUTI PUJI HASTUTI TRI SUSILOWATI 131 041 003 131 041 006 131 041 025 131 041 026 131 041 028 131 041 030 131 041 034 131 041 044 131 041 045 131 041 047

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Menurut Yahoda Kesehatan Jiwa adalah keadaan yang dinamis yang

mengandung pengertian positif, yang dapat dilihat dari adanya kenormalan tingkah laku, keutuhan kepribadian, pengenalan yang benar dari realitas dan bukan hanya merupakan keadaan tanpa adanya penyakit, gangguan jiwa dan kelainan jiwa. Walaupun gejala yang utama terdapat pada kejiwaannya akan tetapi pada proses terjadinya gangguan jiwa penyebabnya dapat berasal dari somatogenik, sosiogenik maupun psikogenik. Sedangkan dari pendekatan konsep stress adaptasi Stuart (2005) terdiri dari faktor predisposisi, presipitasi, sumber koping dan mekanisme koping. Salah satu bentuk gagguan jiwa dapat berupa gangguan konsep diri. Dimana gangguan konsep diri ini termasuk persepsi individu akan sifat kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan (Stuart dan Sundeen dalam Keliat, 1992). Biasanya yang menyebabkan harga diri rendah adalah kurangnya umpan positif, perasaan di tolak oleh orang terdekat, sejumlah kegagalan dan ketidakberdayaan, ego yang belum berkembang dan menghakimi super ego. (Keliat, 1998). Saat ini beberapa terapi mulai dari terapi individu, keluarga dan lingkungan telah dikembangkan untuk mengatasi masalah gagguan jiwa. Salah satu bentuk terapi yang digunakan adalah Triangles Family therapy yang diarahkan untuk menangani masalah harga diri rendah. Dalam Triangles Family therapy setiap hubungan antara terapis, klien dan keluarga dalam psikoterapi merupakan bagian dari triangle relationship (hubungan segitiga). Hal ini karena setiap klien merupakan bagian dari multi generasi yang disebut keluarga. Setiap terapi berpengaruh bagi keluarga dan dipengaruhi oleh keluarga. Hal ini sesuai dengan konsep triangle therapy bahwa jika dua orang anggota keluarga terjadi konflik, maka dibutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan dan mendukung penyelesaian masalah mereka. Secara alamiah, proses dalam kehidupan manusia dipengaruhi oleh tiga sisi jaringan hubungan

1

tersebut. Ketiga jaringan tersebut membentuk hubungan yang disebut emotional triangle. Pada klien dengan harga diri rendah kronis, pola interaksi dengan keluarga tidak berjalan dengan baik. Sehingga dengan dilakukannya triangle therapy ini dapat membantu klien dalam mengekspresikan perasaannya dan klien dapat diterima dalam keluarganya dan mendapat support dari keluarga dalam penyelesaian masalah klien. Inti dari terapi ini adalah bukan saja menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari masalah yang dihadapi. Untuk lebih memahami hubungan model konsep dan pelaksanaan triangles family therapy , maka kelompok akan membahas tentang aplikasi triangles family theraphy menurut teori Hildegard E.Peplau.

1.2.Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan umum Mampu melaksanakan triangles family theraphy menggunakan teori Peplau 1.2.2. Tujuan Khusus 1. Memahami konsep teori triangles family theraphy 2. Memahami konsep model Peplau 3. Mampu menghubungan konsep konsep teori Peplau 4. Melaksanakan role play dari triangles family theraphy triangles family theraphy dengan

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Terapi Individu 2.1.1 Definisi Terapi individu adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Terapi individu adalah suatu bentuk terapi di mana klien diperlakukan satusatu dengan terapis. Bentuk yang paling populer, terapi individu dapat mencakup pengobatan banyak gaya yang berbeda termasuk psikoanalisis dan terapi kognitifperilaku. 2.1.2 Format terapi individu/interaksi 1. Fase orientasi a. Mengucapkan salam terapeutik b. Melakukan evaluasi kemampuan yang sudah dikuasai c. Validasi kemampuan yang sudah dikuasai d. Melakukan kontrak (topik, waktu & tempat) 2. Fase kerja a. Mempersiapkan klien, lingkungan, alat/media b. Melakukan tindakan sesuai dengan tujuan atau memodifikasi tindakan yang sesuai kondisi klien c. Memberikan reinforcement secara tepat 3. Fase terminasi a. Mengevaluasi respon klien terhadap tindakan b. Mengulang hal yang telah disepakati dan didiskusikan c. Merencanakan tindak lanjut d. Membuat kontrak yang akan datang

3

Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan terapi individu : 1. Berhadapan, mempertahankan kontak mata, sedikit membungkuk kearah klien, sikap terbuka, rileks, jarak terapeutik, mengontrol perilaku non verbal 2. 3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti.

2.1.3 Macam-macam Terapi Individu 1. Terapi Kognitif (Cognitive Therapy) Merupakan suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan sehingga pasien dapat menjadi lebih baik dan dapat kembali produktif. Tujuan terapi ini adalah mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). 2. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)/ Token Economy Merupakan terapi yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku yang tidak diinginkan menjadi perilaku yang diinginkan. Token ekonomi adalah bentuk dari reinforsement positif yang digunakan baik secara individu maupun kelompok pasien di ruang psikiatri (Stuart & Laraia, 2006). Token economy, yaitu sebuah teknik berdasarkan prinsip-prinsip pengkondisian operan, didesain bagi pasien gangguan jiwa agar menghasilkan perilaku yang diinginkan. Tujuan terapi ini untuk menghasilkan perubahanperubahan positif dalam berbagai perilaku meliputi kesehatan pribadi, interaksi sosial, kehadiran dan formasi dalam pekerjaan, dan tugas rumah tangga. Contoh pada peningkatan perilaku merawat diri: mandi, berpakaian/berhias, makan dan toileting. 3. Terapi Perilaku-Kognitif (Cognitive Behaviour Therapy/CBT) Merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda-dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008). Sedangkan menurut Epigee (2009) CBT merupakan terapi yang didasari dari gabungan beberapa intervensi yang dirancang untuk merubah cara berpikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang mengganggu. CBT pada klien PTSD

4

bertujuan untuk memutuskan hubungan negatif yang tercipta antara pikiran dan perilaku (Parsons, 2009). Memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif (Oemarjoedi, 2003). 4. Terapi Relaksasi Progresif Progressive muscle relaxation merupakan tehnik relaksasi dengan cara menegangkan dan merilekskan otot-otot. Kontraksi dilakukan selama 5 detik kemudian rileks selama 15 detik, saat inspirasi otot dikontraksikan, ketika ekspirasi secara perlahan otot direlaksasikan. Tujuan terapi ini untuk mengurangi kecemasan klien, mengurangi insomnia, serta meningkatkan kontrol diri (misalnya pada perilaku kekerasan). 5. Social Skill Training (SST) Merupakan hal penting untuk meningkatkan kemampuan seseorang berinteraksi dalam suatu lingkungan. Adanya kemampuan berinteraksi menjadi kunci untuk memperkaya pengalaman hidup, memiliki pertemanan, berpartisipasi dalam suatu kegiatan dan bekerjasama dalam suatu kelompok. 6. Terapi Penghentian Pikiran (Tought Stopping) Merupakan keterampilan memberikan instruksi kepada diri sendiri untuk menghentikan alur pikiran negatif melalui penghadiran rangsangan atau stimulus yang mengagetkan. Terapi ini membantu klien mengatasi kecemasan yang mengganggu, mengatasi pikiran negative atau maladaptive yang sering muncul dan mengatasi pikiran obsesif dan fobia. 7. Terapi Latihan Asertif (Assertive Training) Assertiveness Training yaitu terapi untuk melatih kemampuan seseorang unruk mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa disertai adanya perasaan cemas. Bertujuan untuk meningkatkan penilaian terhadap diri dan orang lain, meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan, meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan hidup, dan mengekspresikan sesuatu secara verbal dan nonverbal, mengekspresikan kemampuan interversonal.

5

2.2 Konsep Social Skill Training 2.2.1 Definisi Social skill training (pelatihan ketrampilan sosial) merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu penderita kesulitan bergaul. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi lainnya. Ketrampilan sosial berasal dari kata trampil dan sosial. Kata ketrampilan berasal dari 'trampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak trampil menjadi trampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan ketrampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal (Ramdhani, 2008). 2.2.2 Tujuan

Tujuan dari terapi adalah: 1) menurunkan kecemasan, meningkatkan kontrol diri pada klien dengan fobia sosial, meningkatkan kemampuan klien dalam aktifitas bersama, bekerja dan meningkatkan kemampuan sosial klien skizofrenia. 2) meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi meliputi

keterampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju, menolak permintaan orang lain, tukar menukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran pada orang lain, pemecahan masalah yang dihadapi, bekerjasama dengan orang lain, dan beberapa tingkah laku lain yang tidak dimiliki klien (Michelson, 1985). 2.2.3 Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul Pelatihan ketrampilan sosial diberikan kepada individu yang mengalami kelemahan dalam beberapa ketrampilan sosial. Ketrampilan sosial yang sering

6

dikeluhkan individu antara lain tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, tidak memiliki ketrampilan sosial, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu Michelson, dkk. (1985) mengemukakan bahwa pelatihan ketrampilan sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial individu. Pelatihan ini dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan setting in-vivo (Bulkeley dan Cramer, 1990). Beberapa teknik yang digunakan dalam pelatihan ketrampilan sosial adalah: 1) Modelling, yang dilakukan dengan cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku yang spesifik, yang diharapkan dapat dipelajari oleh pelatih. Model ini dapat langsung disajikan oleh terapis, pemeran atau aktor/aktris, model melalui video, ataupun gabungan dari model yang sesungguhnya dan model video. Untuk memenuhi tujuan ini disusun

langkah-langkah yang akan diperagakan oleh model, baik langsung maupun melalui kaset video. Ketrampilan yang diajarkan dapat berupa ketrampilan tunggal maupun ketrampilan kombinasi. Ketrampilan tunggal hanya memuat satu jenis ketrampilan dasar saja, misalnya ketrampilan memulai melakukan pembicaraan, mengakhiri pembicaraan dan

pembicaraan,

seterusnya. Ketrampilan

kombinasi memuat pelatihan mengenai aplikasi

ketrampilan dasar untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan nyata. 2) Bermain Peran, dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau melalui video. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan diskusi mengenai aktivitas yang dimodelkan. Latihan verbalisasi sangat diperlukan di sini melalui diskusi mengenai kejadian-kejadian yang sering membuat peserta berada dalam kesulitan. Bagi pelatih, latihan ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan situasi/model, dan menanyakan pada klien mengenai apa yang akan dilakukannya apabila berada dalam situasi seperti itu. Setelah diskusi selesai, latihan bermain peran dapat dilakukan. 3) Umpan Balik terhadap Kinerja yang Tepat, yang dilakukan dengan cara memberi pengukuh terhadap peserta yang menunjukkan kinerja yang tepat,

7

apabila peserta berhasil melakukan peran yang dilatihkan secara in-vivo, maupun apabila peserta mengemukakan target perilaku yang ingin dilakukan. 2.2.4 Pelaksanaan Terapi Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat secara individual maupun kelompok. Untuk pelaksanaan pelatihan dalam kelompok tentu saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Besarnya kelompok hendaknya tidak lebih dari 12 orang (Kelly, 1982; Michelson, dkk. 1985 dalam Ramdhani, 2008). Kelompok yang terlalu besar akan membawa akibat negatif, karena masing-masing anggota kelompok akan memiliki kesempatan berlatih yang sedikit. Homogenitas kelompok perlu juga dipertimbangkan. Peserta-peserta yang relatif homogen lebih baik daripada yang heterogen. Artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebosanan yang mungkin terjadi bagi anggota kelompok yang kemampuannya lebih tinggi, dan menjaga timbulnya rasa rendah diri bagi peserta yang kemampuannya lebih rendah. Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial ini, dapat dilakukan dalam format terapi, artinya dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan, atau dalam format workshop, yaitu dilakukan dalam waktu satu atau dua hari penuh. Penentuan format ini sangat berkaitan dengan peserta pelatihan. Untuk peserta yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem klinis lainnya, sebaiknya menggunakan format terapi. Pertemuan 2 jam perhari dan dilakukan selama 10-12 kali pertemuan merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya untuk peserta yang hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah pengalaman, format workshop 1-2 hari cukup bermanfaat. Terdapat beberapa tahapan dalam mengajarkan ketrampilan sosial pada seseorang yaitu: 1. Mendiskusikan pentingnya ketrampilan sosial untuk mencapai pemahaman tentang ketrampilan sosial yang akan diajarkan. 2. Memilih ketrampilan sosial yang akan diajarkan, lebih baik focus pada ketrampilan sosial tertentu untuk waktu tertentu. 3. Mengajarkan ketrampilan sosial yang dipilih dalam periode tertentu 4. Mempraktikkan ketrampilan melalui tahapan yang terstruktur.

8

Adapun sesi pelatihan sbb: Sesi 1: Bersosialisasi. Sesi 2: Menjalin persahabatan Sesi 3: Bekerja sama Sesi 4: Menghadapi situasi sulit Dalam pertemuan pertama perlu dijelaskan mengenai hal-hal yang terkait dalam pelatihan ketrampilan sosial, yaitu kesulitan bergaul, dasar-dasar pikiran mengenai penggunaan pelatihan ketrampilan sosial untuk membantu individu yang sulit bergaul, dan tujuan pelatihan ketrampilan sosial. Masing-masing peserta sangat dituntut untuk aktif mencoba, berlatih, dan memberi masukan kepada peserta yang lain, maka suasana pelatihan diciptakan sedemikian rupa sehingga hubungan peserta dan pelatih dapat akrab. Untuk itu perkenalan antara pelatih dan peserta, maupun antarpeserta mutlak diiakukan di awal pelatihan. Perkenalan didahului oleh pelatih dilanjutkan oleh peserta satu persatu. Membangun harapan peserta merupakan bagian penting dalam peiatihan yang dilakukan di awal pelatihan. Sebelum memberi kesempatan kepada peserta untuk mengemukakan harapan-harapannya, pelatih hendaklah memulai dengan mengemukakan harapan-harapannya. Harapan-harapan yang mungkin dapat dicapai peserta ini dapat diungkap dengan cara mengajak peserta mengisi lembar isian target perilaku yang hendak dicapai atau dengan mengisi Skala Tingkah Laku Sosial (STLS), Skala Kecemasan (SK), maupun Skala Konsep Diri (SKD). Ketiga skala ini sudah digunakan dalam beberapa penelitian dan terbukti memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang baik (Ramdhani, 2008). Tahap slanjutnya adalah mengajarkan ketrampilan sosial itu sendiri. Pelatihan ini terdiri dari 13 contoh-contoh perilaku yang sering dilakukan dalam kehidupan seharihari. Perilaku-perilaku itu adalah 1) cara bertanya untuk tujuan konfirmasi, 2) cara memberi dan menerima pujian, 3) cara mengeluh dan menghadapi keluhan, 4) cara menolak, 5) cara meminta pertolongan, 6) cara menyatakan perasaan tidak pasti, 7) cara menyarankan perubahan perilaku, 8) cara menuntut hak, 9) cara terlibat dalam percakapan dengan menyenangkan, 10) cara berempati, 11) cara berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda status, 12)

9

cara berinteraksi dengan teman-teman yang berlainan jenis kelamin, dan 13) cara berinteraksi dan bergabung ke dalam kelompok. Dalam pelatihan ketrampilan sosial ini, masing-masing ketrampilan di modelkan oleh model yang pasif, agresif, dan asertif. Dengan demikian, peserta pelatihan dapat membedakan antara ketiganya, memainkan perannya sehingga mereka dapat merasakan emosi-emosi yang menyertai setiap perilaku. Pelatihan ketrampilan sosial yang disusun ini sudah diteliti reliabilitasnya oleh Ramdhani (1993).

2.3 Konsep Teori Dorothea E. Orem Teori keperawatan self care deficit sebagai grand teori keperawatan terdiri dari tiga teori terkait yaitu teori self care, self care deficit, dan system keperawatan. Teori ini mempunyai beberapa elemen konsep yaitu self care, agency/agen, dan keperawatan. Dalam teorinya orem menetapkan empat konsep yang pada akhirnya bersama theory keperawatan yang lain membentuk metaparadigma keperawatan, yaitu: human being, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan. 1. Teori Self Care Teori ini memandang bahwa seorang individu akan selalu menginginkan adanya keterlibatan dirinya terhadap perawatan diri, dan bahwa individu tersebut juga mempunyai keinginan untuk dapat merawat dirinya secara mandiri. Kebutuhan seorang individu untuk terlibat dan merawat dirinya sendiri inilah yang disebut sebagai self care therapeutic demand atau disebut juga self care requisites (Parker, 2001). Self care merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan kemampuan individu untuk menentukan tindakan yang diambil sebagai respon dari adanya kebutuhan. Self care requisite terdapat tiga macam yaitu: universal self care requisite, developmental self care requisite, dan health deviation self care requisite (Ladner, 2002). Universal self-care requisites adalah kebutuhan dasar setiap manusia yaitu kebutuhan akan: udara, makanan, air, eliminasi, keseimbangan aktivitas dan istirahat, keseimbangan untuk menyendiri dan berinteraksi social, bebas dari ancaman, dan pengembangan pribadi dalam kelompok sesuai dengan kemapuan

10

masing-masing individu (Alligood, 2006). Developmental self-care requisites terbagi atas tiga bagian yaitu: penurunan kondisi yang memerlukan suatu pengembangan, keterlibatan dalam pengembangan diri, perlindungan terhadap kondisi yang mengancam pengembangan diri (Alligood, 2006). Health deviation of self-care requisites adalah kebutuhan akan self-care yang muncul karena seseorang dalam keadaan sakit atau terluka, mempunyai bentuk patologis yang spesifik termasuk ketidakmampuan dan berada pada diagnose dan

penatalaksanaan medis tertentu (Alligood, 2006). Kebutuhan self-care yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu disebut dengan therapeutic self-care demand. Untuk memenuhi therapeutic selfcare demand digunakan 2 metode yaitu: mengatur factor yang diidentifikasi mengalami kekurangan yang akan mengganggu fungsi seorang manusia (air,

udara, makanan), dan memenuhi elemen aktifitas (maintenance, promosi, preventif, dan provision). Seorang individu mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perawatan diri sendiri, kekuatan tersebut dinamakan self care agency. Self care agency dapat berubah setiap waktu dipengaruhi oleh kondisi kesehatan seorang individu. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara self care agency dengan therapeutic self-care demand, maka terjadilah self care deficit (Parker, 2001). Seseorang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan self-care disebut sebagai agen. Seorang manusia dewasa yang dapat memenuhi therapeutic self-care demand bagi dirinya maupun orang lain yang tergantung padanya disebut dengan dependent-care agent.

11

2. Teori Self Care Deficit Self Care Defisit merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara terus menerus. Self care defisit dapat diterapkan pada anak yang belum dewasa, atau kebutuhan yang melebihi kemampuan serta adanya perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan dalam peningkatan self care, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi support, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau mendidik pada orang lain. 3. Teori Sistem Keperawatan Kemampuan yang berkembang dari seseorang yang mempunyai

pendidikan perawat untuk membantu pemenuhan therapeutic self-care demand dan melatih kemampuan self-care dari seseorang yang mempunyai penurunan kemampuan self-care. Komponen dari self-care dan self-care defisit tergabung dalam teori sistem keperawatan. Teori sistem keperawatan inilah yang menghubungkan antara tindakan dan peran perawat dengan tindakan dan peran pasien (Hartweg, 1995). Sistem keperawatan adalah serangkaian tindakan keperawatan yang berkoordinasi dengan pasien untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan akan therapeutic self-care serta menjaga kemampuan pasien untuk melaksanakan self-care (Alligood, 2006). Teori sistem keperawatan ingin menyatakan bahwa keperawatan adalah suatu tindakan manusia; sistem keperawatan adalah sistem tindakan yang direncanakan dan dihasilkan oleh perawat. Sistem keperawatan tersebut dihasilkan melalui pengalaman mereka merawat orang dengan penurunan kesehatan atau ketidakmampuan berhubungan dengan kesehatan dalam merawat diri sendiri, atau orang yang mengalami ketergantungan (Alligood, 2006). Peran profesional yang dilaksanakan perawat sebelum dan sesudah menegakkan diagnosa dan melaksanakan tindakan keperawatan yang terdiri dari

12

penilaian praktik tentang kondisi klien disebut sebagai nursing design. Nursing design dimaksudkan untuk memandu perawat mencapai tujuan tertentu melalui tindakan keperawatan (Alligood, 2006).Wholly Compensatory SystemMemenuhi therapeutic self-care pasien Membantu pasien yang mengalami ketidakmampuan self-care Mendukung dan melindungi pasien

Tindakan perawat

Partly Compensatory SystemMelaksanakan pengukuran kemampuan self-care pasien Membantu pasien yang mengalami keterbatasan self-care Mendampingi pasien memenuhi selfcare sesuai kebutuhan

Tindakan perawatMelaksanakan pengukuran beberapa kemampuan self-care Mengatur kemampuan self-care Menerima bantuan dan perawatan dari perawat

Tindakan pasien

Supportive Educative SystemMemenuhi self-care

Tindakan pasien Tindakan perawatMengatur latihan dan pengembangan kemampuan self-care

13

Teori Sistem Keperawatan merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri. Dalam pandangan sistem ini, Orem memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan diantaranya: 1. Sistem Bantuan Secara Penuh (Wholly Copensatory System ). Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidamampuan pasien dalam memenuhi tindakan perawatan secara mandiri yang memerlukan bantuan dalam pergerakan, pngontrolan, dan ambulansi serta adanya manipulasi gerakan. Contoh: pemberian bantuan pada pasien koma. 2. Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensatory System). Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri sendiri secara sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara minimal. Contoh: perawatan pada pasien post operasi abdomen di mana pasien tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perawatan luka. 3. Sistem Supportif dan Edukatif. Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agara pasien mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan

pembelajaran. Contoh: pemberian sistem ini dapat dilakukan pada pasien yang memelukan informasi pada pengaturan kelahiran.

14

BAB 3 ANALISIS SOCIAL SKILL TRAINING BERDASARKAN TEORI SELF CARE (DOROTHEA E. OREM)

Model yang dikemukanan oleh Orem mempunyai pandangan bahwa asuhan keperawatan berfokus pada respons individu terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial. Dalam model ini manusia dipandang sebagai makhluk biopsikososialkultural yang utuh sehingga gangguan tingkah laku akan berakibat kepada seseorang secara menyeluruh. Teori yang disampaikan oleh Orem memandang bahwa seorang individu akan selalu menginginkan adanya keterlibatan dirinya terhadap perawatan diri, dan bahwa individu tersebut juga mempunyai keinginan untuk dapat merawat dirinya secara mandiri. Kebutuhan seorang individu untuk terlibat dan merawat dirinya sendiri inilah yang disebut sebagai self care therapeutic demand atau disebut juga self care requisites (Parker, 2001). Self care merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan kemampuan individu untuk menentukan tindakan yang diambil sebagai respon dari adanya kebutuhan. Secara umum, teori Orem tidak hanya memandang manusia ssecara menyeluruh, namun juga memanfaatkan ilmu keperawatan untuk mengembalikan dan menjaga kesehatan klien secara optimal. Teori self care deficit, ketika diaplikasikan dalam praktik asuhan keperawatan dapat mengidentifikasi self care requisites (kebutuhan akan self care) dalam berbagai aspek. Hal ini tentu sangat bermanfaat untuk menentukan tindakan perawatan yang tepat secara

komprehensif. Aplikasi model ini dalam manajemen perawatan klien akan dapat mentukan seberapa bagus kinerja perawat (melakukan tindakan, mendampingi, mengajarkan, memberi dukungan dan menyediakan lingkungan yang kondusif). Sedangkan teori system perawatan (wholly compensatory, partially compensatory or supportive-educative) dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan klien yang mengalami self care deficit. Self care eficit terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya sendiri secara optimal sehingga memerlukan bantuan perawat. Dalam konsep keperawatn jiwa, sesorang yang mangalami gangguan jiwa dapat

15

dikategorikan mengalami self care deficit karena secara tidak langsung klien mungin mengalami gangguan dalam pemenuhan perawatan diri mulai dari kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis termasuk interaksi sosial. Salah satu jenis gangguan interaksi sosial adalah kesulitan bergaul. Tingkat kesulitan bergaul ini sangat bervariasi, mulai dari kesulitan bergaul situasional, di mana penderita mengalami kesulitan untuk bergaul di situasi-situasi tertentu saja, sampai ke tingkat kesulitan bergaul yang disebabkan oleh gangguan mental kronik. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam membantu penderita kesulitan bergaul ini juga berbeda-beda. Salah satu teknik yang semakin populer penggunaannya adalah pelatihan ketrampilan sosial. Prinsip-prinsip dalam pelatihan ketrampilan sosial ini, individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu atau memiliki suatu ketrampilan tapi dalarn porsi yang kurang (mengalami self care deficit). Dalam teknik 'belajar untuk orang dewasa' harus dibedakan dengan anak-anak. Orang dewasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengalaman sehingga mereka ingin terlibat dalam proses belajar itu. Keterlibatan yang aktif di dalam pengaiaman belajar dapat menjadi modal terjadinva transfer belajar yang optimal dan bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Dengan demikian dalam pelatihan, tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnva berada di tangan peserta bukan pada pelatih. Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan psikomotor. Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan adalah bahwa sesungguhnya proses belajar itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pela-tihan dan berlangsung dalam diri peserta, karena itu peserta tidak diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Budilarasati, 1992 dalam Ramdhani, 2008). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Orem yaitu Self care, bahwa tujuan intervensi keperawatan adalah untuk memandirikan klien agar mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dalam teori system perawatan Orem dikenal ada 3 macam dukungan keperawatan yang dapat diberikan pada klien yaitu: 1) wholly compensatory system (klien sama sekali tidak aktif dalam pemenuhan kebutuhannya), 2)

16

partially compensatory system (perawat dan klien bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan klien), 3) supportive-educative system (perawat menyediakan informasi dan berperan sebagai educator bagi klien dan keluarga). Penerapan ketiga dukungan tersebut sangat tergantung dengan fluktuasi perubahan kondisi klien. Hal ini mempunyai kesamaan dengan pelakasanaan social skill therapy, dimana pelaksanaannya dilakukan dalam 4 tahapan yang disesuaikan dengan kondisi klien. Pada tahap awal, perawat mempunyai peran yang sangat aktif untuk mengajarkan cara berinteraksi pada klien yang mengalami gangguan interaksi sosial. Secara perlahan sesuai dengan tujuan yang telah ditetaokan sebelumnya dalam setiap sesi pelatihan, klien dituntut untuk semakin berperan aktif dalam melakukan kegiatan interaksi sosial dengan orang di sekitarnya.

17

BAB 4 APLIKASI TERAPI

4.1

Gambaran Kasus Tn. S (32 tahun), dibawa ke RS Jiwa oleh keluarganya karena sudah sebulan

hanya berdiam diri di kamar. Tn. S hanya duduk diam di dalam kamar, termenung, dan tidak beraktifitas. Berdasarkan informasi dari ibu Tn. S, perilaku Tn. S ini muncul sejak beliau gagal terpilih kembali sebagai kepala desa di daerahnya. Padahal Tn. S sudah menghabiskan puluhan juta rupiah, termasuk menjual rumah dan sawahnya. Ibu Tn. S mengungkapkan bahwa Tn. S merasa bersalah pada keluarga dan malu pada orang-orang yang mengenalnya karena beliau gagal terpilih kembali. Menurut Ibu Tn. S, sejak gagal Tn. S juga tidak keluar rumah dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (seperti kerja bakti, tahlilan, rapat RT, dan lain-lain) di lingkungan rumahnya. Bahkan Tn. S pernah mengatakan pada ibunya bahwa lebih baik mati bunuh diri daripada harus menanggung malu. Saat pengkajian, penampilan Tn. S rapi dan bersih. Tn. S tampak diam, melihat ke depan dengan pandangan kosong, kadang menunduk dan sesekali melirik perawat. Jika ditanya Tn. S hanya menjawab dengan jawaban singkat dan kadang dengan gelengan/anggukan kepala, kontak mata (-). Selama di RS, Tn. S tampak tidak suka dengan keramaian. Tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain (baik pasien lain, maupun perawat). Bila diajak untuk TAK, terapi musik, dan olah raga Tn. S mau, tapi dipaksa dan tidak bertahan lama minta balik ke kamar atau duduk di bangku depan kamar.

4.2 No 1

Analisa Data Data Subjektif : Tn. S pernah mengatakan pada ibunya bahwa lebih baik mati bunuh diri daripada harus menanggung malu Objektif : Subjektif : Menarik Diri Menurut Ibu Tn. S, sejak gagal Tn. S Masalah Keperawatan Resiko mencederai diri sendiri

2

18

3

juga tidak pernah keluar rumah dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (seperti kerja bakti, tahlilan, rapat RT, dan lain-lain) di lingkungan rumahnya. Objektif : Tn. S tidak suka dengan keramaian. Tn. S tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain. Tn. S hanya menjawab dengan jawaban singkat & kadang dengan gelengan/ anggukan kepala, jika ditanya. Saat diajak ngoborl, Tn. S selalu melihat ke depan dengan pandangan kosong, kadang menunduk, dan sesekali melirik perawat. Kontak mata (-). Subyektif : Harga Diri Rendah Ibu Tn. S mengungkapkan bahwa Tn. S merasa bersalah pada keluarga dan malu pada orang-orang yang mengenalnya karena beliau gagal terpilih kembali. Obyektif : Bila diajak untuk TAK, terapi musik, dan olah raga Tn. S mau, tapi dipaksa dan tidak bertahan lama minta balik ke kamar atau duduk di bangku depan kamar. Kontak mata (-).

Pohon Masalah : Akibat Resiko Mencederai Diri Sendiri Isolasi Sosial : Menarik Diri Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Koping Individu tidak Efektif

Masalah Utama

Penyebab

19

4.3 1. 2. 3.

Diagnosa Resiko mencederai diri sendiri berhubungan dengan menarik diri. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah. Gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif

4.4 1)

Panduan Pelaksanaan Social Skill Training untuk Pasien Menarik Diri Terapi : Social Skill Training Sesi 1: Bersosialisasi (bahasa tubuh, salam, perkenalkan diri, menjawab pertanyaan, dan bertanya untuk klarifikasi).

2)

Tujuan : a. Menurunkan kecemasan klien dengan fobia sosial. b. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial bagi klien menarik diri.

3)

Durasi : 30 menit

4)

Teknik : Modelling

5)

Persiapan Alat : a. Lembar target perilaku b. Alat tulis c. Skenario modeling oleh perawat Persiapan Lingkungan : Upayakan suasana tenang dan minimal dari gangguan.

6)

Tahapan Pelaksanaan : Fase Orientasi a. Ucapkan salam terapiutik. b. Evaluasi kemampuan klien dalam bersosialisasi dengan orang lain. c. Kaji harapan klien tentang perilaku sosialisasinya setelah intervensi, catat di lembar target perilaku. d. Kontrak topik, waktu, dan tempat.

20

Fase Kerja a. Persiapkan klien, alat, dan media. b. Berikan contoh pada klien cara bersosialisasi yang tepat dengan orang lain (perawat/pasien lain), termasuk bahasa tubuh, cara memberi salam, cara memperkenalkan diri, cara menjawab pertanyaan, dan cara melakukan klarifikasi. c. Berikan kesempatan kepada klien untuk mencoba cara bersosialisasi yang tepat dengan orang lain. d. Berikan reinforcement positif atas usaha yang telah dilakukan klien. Fase Terminasi a. Diskusikan dengan klien tentang cara bersosialiasi yang sudah dipelajari. b. Evaluasi respons klien, catat di lembar target perilaku. c. Rencanakan tindak lanjut atau rencana mengulang latihan. d. Kontrak untuk pertemuan mendatang. e. Salam penutup. 7) Hal-hal yang harus diperhatikan selama sesi latihan : a. Berhadapan, mempertahankan kontak mata, sedikit membungkuk ke arah klien, sikap terbuka, rileks, jarak terapeutik, mengontrol perilaku non verbal . b. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik. c. Menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien.

21

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan Saat ini banyak sekali teknik modifikasi perilaku yang telah dikembangkan

dan diteliti pula keberhasilannya terhadap perbaikan kondisi klien dengan gangguan jiwa, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu contohnya adalah social skill training. Berdasarkan hasil penelitian, social skill training dapat meningkatkan kinerja klien dengan disfungsi sosial. Pelatihan ini dapat meningkatkan ketrampilan sosial dan harga diri klien. Sebaliknya pelatihan ini menurunkan tingkat kecemasan sosial. Pelatihan ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan psikoterapi lainnya. Pelatihan ketrampilan sosial ini dilaksanakan dalam empar tahap, yaitu modeling, role playing, performance feedback, dan transfer training. Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan ketrampilan yang tidak dimiliki oleh klien. Pelatihan ketrampilan sosial ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan diubah dari individu yang bersangkutan. Berdasarkan teori Orem, individu memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan yang diambil sebagai respons dari adanya kebutuhan. Salah satu kebutuhan manusia menurut Maslow adalah aktualisasi diri, yang diperoleh dengan bersosialisasi. Seorang individu mempunyai kekuatan untuk

melaksanakan perawatan diri sendiri, kekuatan tersebut dinamakan self care agency. Self care agency dapat berubah setiap waktu dipengaruhi oleh kondisi kesehatan seorang individu. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara self care agency dengan therapeutic self-care demand, maka terjadilah self care deficit.

22

Respon yang adaptif terhadap stress menyebabkan sehat dan respons yang mal adaptif akan menyebabkan sakit terletak pada kontinum dari potensial tingkah laku. Artinya pada model ini penyimpangan perilaku disebabkan karena adanya respons yang maladaptif. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan terapi modalitas seperti terapi individu. Pada dasarnya, prinsip proses terapi individu adalah menguatkan respon koping adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternatif pemecahan masalahnya.

5.2

Saran Social Skill Training perlu dikembangkan oleh perawat jiwa seperti dalam

bentuk pelatihan, workshop sehingga semua perawat jiwa bisa menerapkan terapi individu pada pasien gangguan jiwa.

23

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2005). Psikologi Kepribadian. Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang. Becvar, Dorothy S. Becvar, Raphael J. (1976). Family Teraphy (A systematic Intregation). Adivision of Simon & Schester, Inc. Needham Height; Massachusetts. Boeree, CG. (1997) .Personality Theories :Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. (Alih bahasa: Inyiak Ridwa Muzir). Yogyakarta : Primasophie. Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC. Koeswara, E. (1991). Teori-teori Kepribadian. Bandung : Eresco. Korchin, Sheldon J. (1976). Modern Clinical Psychology. Basic Books, Inc. Publishers: New York. Nietzel, Michael. (1998). Introduction To Clinical Psychology. Simon & Schuster / Aviacom Company. Upper Saddle River: New Jersey. Semiun, Yustinus. (2006). Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius. Stuart, Gail W.(2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. Suryabrata, Sumadi. (2005). Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC Yosep,Iyus. (2010). Keperawatan Jiwa. Jakarta : PT. Refika Aditama. Ramdhani, Neila. (2008). Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk terapi Kesulitan Bergaul. (online) http://neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2008/02/ketrampilan-sosial.pdf Santos, Nica-Ann Galang. (2010). Self Care Deficit Nursing Theory as Applied to Nursing Practice. (online)http://upoun207tfn.blogspot.com/2010_07_01_archive.html

24

Lampiran 1 SKENARIO Suatu pagi di ruang perawatan RS Jiwa Seger Waras, tampak Tn. S sedang duduk termenung sendirian. Tn. Sutris memandang ke taman dari kamarnya dengan pandangan kosong. Tidak lama kemudian datang Ny. Jiwo yang akan mengajak Tn. Sutris mengikuti olah raga. Ny. Jiwo (J) : Selamat Pagi, Mas.. Ngelamun aja rek.. (memukul bahu Tn. Sutris) Tn. Sutris (S) : (merasa terganggu) Pergi.. Pergi (mengusir J) J : Namaku Jiwo Katanya suster aku disuruh manggil Sutris Kamu Sutris ta? S : (diam) J : Heh (mengguncang bahu Tn. Sutris) S : (diam) J : Wooo Ditanya kok diam saja Ya sudah Males aku (pergi) Ners Sumringah, perawat yang bertanggung jawab atas perawatan Tn. Sutris kebetulan melihat kejadian tersebut. Ns. Sumringah mendekati Tn. Sutris. Ns.Sumringah (NS) S NS S NS : Selamat Pagi, Pak Sutris : : : : Pagi.. (sambil tetap menerawang) Pagi, Pak Sutris Pagi Sus (melihat NS) (tersenyum) Nah begitu Pak Sutris Karena tadi bapak tidak melihat saya, saya tidak yakin bapak sedang membalas salam saya Mungkin saja bapak sedang mengucapkan selamat pagi pada burung-burung di taman (menunjuk ke taman) (menggelengkan kepala) Kenapa bapak tidak ikut olah raga?... Tidak punya teman Bukankah tadi ada temannya Pak Sutris Bu Jiwo tadi Saya melihat Bu Jiwo menjemput bapak untuk ikut olah raga (menggeleng) Tidak kenal (tersenyum) Pak Sutris Semua yang ada di ruang perawatan ini adalah teman Pak Sutris (memegang bahu Tn. Sutris) Jika Pak Sutris merasa belum pernah berkenalan, maka cobalah berkenalan dengan mereka (diam, kontak mata negatif) Bu Jiwo tadi sudah berusaha untuk berkenalan dengan Pak Sutris Tapi akhirnya batal karena respon bapak kurang menyenangkan baginya Bayangkan bagaimana kecewanya bapak jika berada dalam posisi Bu Jiwo tadi (diam)

S NS S NS

: : : :

S NS

: :

S NS

: :

S

:

25

NS S NS

S

: Bagaimana jika kita belajar cara berkenalan dengan orang lain yang baru kita temui?... : (mengangguk) : Baiklah jika bapak setuju.. Saya mohon diberikan waktu 5 menit untuk mempersiapkan tempat latihan kita di taman Selajutnya saya akan kembali ke sini untuk menjemput bapak Bagaimana?... : Iya (mengangguk) Lima menit kemudian Ns. Sumringah dan Tn. Sutris sudah berada di

taman Ns.Sumringah : Baiklah Pak Sutris Sesuai dengan kesepakatan kita tadi (NS) Kita akan bersama-sama belajar cara berkenalan dengan orang lain Kira-kira 30 menitlah gitu kita latihan Bagaimana?... Bapak setuju?... S : (mengangguk) NS : Baik Sekarang saya ingin melihat dulu bagaimana cara bapak berkenalan selama ini dengan orang lain Kita coba ya pak S : Iya NS : Anggap saja saya adalah orang yang baru bapak temui Coba bapak ajak saya kenalan S : (mengangguk) Pagi Nama saya Sutris Saya mau kenalan NS : (tersenyum) Pagi Boleh sekali bapak (mengulurkan tangan) Nama saya Sumringah Senang sekali berkenalan dengan bapak Sutris (tersenyum) S : Sudah sus NS : Bagus sekali bapak Saya sangat senang Cara bapak berkenalan sudah cukup baik Akan tetapi, supaya teman yang kita ajak berkenalan lebih tertarik coba kita beri senyuman, kita berjabat tangan dengannya Bagaimana?... S : (mengangguk) NS : Saya berharap setelah saya menunjukkan cara berkenalan yang lebih tepat, bapak bisa lebih luwes lagi ya berkenalannya S : Iya NS : Nah mari kita tulis harapan kita di buku ini ya S : (mengangguk) NS : Sekarang saya contohkan cara berkenalan yang lebih tepat ya bapak Kebetulan itu ada Bu Jiwo Kita panggil ya Selamat Pagi, Ibu J : Pagi sus NS : Bu Jiwo Saya sama Pak Sutris ini sedang latihan berkenalan Bu Jiwo mau ya jadi modelnya J : Wah cocok sekali itu sus Saya memang pantes jadi model (tersenyum) NS : Nah pura-puranya saya belum kenal dengan Bu Jiwo Saya pengen kenalan gitu ya

26

J S NS

: : :

J NS

: :

J NS J NS J NS

: : : : : :

S NS J S

: : : :

J S J S J S J S J NS J NS

: : : : : : : : : : : :

S

:

Sementara bapak perhatikan kita berdua ya (semangat) iya sus oke (mengangguk-anggukan kepala) Selamat pagi,Bu (tersenyum) Boleh saya duduk di sini?... (menunjuk tempat di sebelah Bu Jiwo) Saya mau melihat teman-teman yang berolah raga Pagi Wooo ya monggo sekali bu Nama saya Sumringah.. (mengulurkan tangan) Boleh saya tau nama ibu?... Tidak enak rasanya jika duduk sebelahan tapi tidak saling kenal Iya betul Nama saya Jiwo (menjabat tangan Ners Sumringah) Bu Jiwo Senang sekali bisa berkenalan dengan ibu (tersenyum) Ho-oh Sama Saya juga senang Ikut olah raga ta?... Sepertinya begitu Saya tertarik ikut olah raga Mari kita bergabung dengan teman-teman yang lain Sudah ini Sus jadi modelnya ? Belum (menatap Tn. Sutris) Bagaimana bapak?... Apakah bapak sudah jelas dengan yang barusan saya peragakan?.. (mengangguk) Sekarang giliran Pak Sutris Bu Jiwo jadi model lagi ya Boleh sus Iya Selamat pagi Saya boleh duduk sini?... (melihat ke sebelah Bu Jiwo) Pagi Sini ta?... Ayo duduko sini gak pa pa Terima kasih Namaku Sutris (tersenyum) Kamu siapa namanya?... Jiwo (menjabat tangan Pak Sutris) Senang kenalan sama kamu Iya saya juga senang Mau ikut olah raga ya?... Lihat aja Enak ikut Rame-rame sama yang lain Nanti tak kenalkan sama teman-temanku yang lain Daripada sendirian di sini (mengangguk) nanti saja Ya wis Tak berangkat aku Sus sudah ta ini modelnya Aku mau main pinpong Iya sudah Terima kasih ya Bu Jiwo sudah meluangkan waktunya Ya sama-sama Sus (pergi) Nah tadi saya lihat cara bapak berkenalan sudah bagus Kalo bisa senyumnya agak banyakan dikit ya pak biar teman bicaranya tambah seneng (tersenyum) Bagaimana perasaan bapak ? Sekarang bapak sudah punya teman Bu Jiwo Seneng sus (kontak mata positif)

27

NS

S NS S NS

S NS S

: Baiklah kalau begitu Karena sudah 30 menit Dan bapak sudah berhasil mencoba berkenalan hari ini Saya rasa cukup ya untuk latihan hari ini Kapan enaknya kita coba lagi?... Besok?... : (mengangguk) : Baik Besok di jam yang sama ya Kita cari teman lain untuk kenalan Bapak akan saya jemput : (mengangguk) : Terima kasih bapak Keberhasilan bapak tadi kita tulis di buku ini ya Buku ini boleh bapak bawa Nanti jika tanpa saya bapak ingin berkenalan dengan teman yang lain tidak apa-apa Bapak bisa mencatatnya di sini Supaya bapak tau berapa banyak teman yang sudah bapak punyai : Iya sus terima kasih : Sampai ketemu besok ya bapak : Iya

28