Travel Journal - Makassar

24
Halo semua! Akhirnya kesampaian juga buat bikin jurnal liburan selama di Sulawesi Selatan kemarin. Awalnya, perjalanan ini direncanain di Seleksi Nasional YES 2013 secara gak sengaja di ruang panitia sampai akhirnya bener-bener beli tiket dan berangkat. Oke, mari kita mulai! Hari Pertama : Jum’at 27 Desember 2013 Sekitar jam 03.40 WIB saya sudah bangun dengan semangatnya padahal baru beberapa jam lalu sampai di kosan setelah berlibur selama 5 hari di Jogjakarta bersama keluarga. Begitu bangun, saya langsung mengambil handphone dan menelpon rekan seperjalanan, Widya dan Dyo, yang ternyata belum bangun dan itupun mereka tidur lagi habis saya telepon. Lalu sekitar jam 04.30 WIB saya dan Widya, pergi dengan menggunakan taksi yang udah dipesen dari sebelumnya. Waktu itu jalanan masih super sepi dan gak berapa lama kita sampai di rumah Dyo di bilangan Fatmawati. Setelah itu, kita bertiga langsung menuju bandara di terminal 2F. Padatnya CGK dan Kerennya UPG Dari Jakarta, kita menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA642 yang seharusnya berangkat jam 07.15 WIB tapi karena kondisi Bandar Udara Soekarno-Hatta (CGK) yang super padat, kita baru take-off dari sana sekitar jam 08.00 WIB. Perjalanan udara ke Makassar kita tempuh dalam waktu 2 jam 30 menit yang kita isi dengan mengobrol, membaca buku, ataupun tidur. Sekitar jam 11.30 WITA, kita sampai di Bandar Udara Sultan Hasanuddin (UPG). Begitu turun dari pesawat, kita terkagum- kagum oleh bangunan bandara yang benar-benar terlihat megah dan juga nyaman. Begitu sampai diluar bandara, kami disambut oleh 2 warga lokal yang tampil kompak dengan menggunakan baju berwarna hijau yakni Fitt dan Sam. Dengan diantar Ayahnya Sam, kita pergi menuju Bumi Tamalanrea Permai atau yang biasa disingkat BTP oleh warga sekitar untuk solat Jum’at terlebih dahulu.

description

Stories about my journey to Makassar in 2014. I visited Tanjung Bira and also Toraja. Read the full version : ekanputra.blogspot.com

Transcript of Travel Journal - Makassar

Halo semua! Akhirnya kesampaian juga buat bikin jurnal liburan selama di Sulawesi Selatan kemarin. Awalnya, perjalanan ini direncanain di Seleksi Nasional YES 2013 secara gak sengaja di ruang panitia sampai akhirnya bener-bener beli tiket dan berangkat. Oke, mari kita mulai!

Hari Pertama : Jumat 27 Desember 2013Sekitar jam 03.40 WIB saya sudah bangun dengan semangatnya padahal baru beberapa jam lalu sampai di kosan setelah berlibur selama 5 hari di Jogjakarta bersama keluarga. Begitu bangun, saya langsung mengambil handphone dan menelpon rekan seperjalanan, Widya dan Dyo, yang ternyata belum bangun dan itupun mereka tidur lagi habis saya telepon. Lalu sekitar jam 04.30 WIB saya dan Widya, pergi dengan menggunakan taksi yang udah dipesen dari sebelumnya. Waktu itu jalanan masih super sepi dan gak berapa lama kita sampai di rumah Dyo di bilangan Fatmawati. Setelah itu, kita bertiga langsung menuju bandara di terminal 2F.

Padatnya CGK dan Kerennya UPGDari Jakarta, kita menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA642 yang seharusnya berangkat jam 07.15 WIB tapi karena kondisi Bandar Udara Soekarno-Hatta (CGK) yang super padat, kita baru take-off dari sana sekitar jam 08.00 WIB. Perjalanan udara ke Makassar kita tempuh dalam waktu 2 jam 30 menit yang kita isi dengan mengobrol, membaca buku, ataupun tidur. Sekitar jam 11.30 WITA, kita sampai di Bandar Udara Sultan Hasanuddin (UPG). Begitu turun dari pesawat, kita terkagum-kagum oleh bangunan bandara yang benar-benar terlihat megah dan juga nyaman. Begitu sampai diluar bandara, kami disambut oleh 2 warga lokal yang tampil kompak dengan menggunakan baju berwarna hijau yakni Fitt dan Sam. Dengan diantar Ayahnya Sam, kita pergi menuju Bumi Tamalanrea Permai atau yang biasa disingkat BTP oleh warga sekitar untuk solat Jumat terlebih dahulu.

Sekitar jam 13.00 WITA, kita menuju Mie Titi yang ada di dalam perumahan BTP. Buat yang belum pernah mencoba, Mie Titi adalah sejenis mie kering yang disajikan dengan kuah kental dan irisan ayam, udang, jamur, hati dan cumi, sekilas mirip ifumie tapi mie nya lebih tipis. Oh ya selagi kita menunggu pesanan datang, Fitt menjelaskan asal usul Mie Titi yang terlalu panjang kalau diceritain disini (sebenernya ini alasan aja sih haha). Setelah makan mie Titi, kita menuju rumah Sam yang juga terdapat di bilangan BTP. Disana, kita ngobrolin agenda liburan selama beberapa hari ke depan. Pada awalnya, kita akan berangkat ke Toraja besok paginya (tanggal 28), namun karena kita ingin melihat perayaan Lovely December di tanggal 28 itu akhirnya kita langsung pergi menuju Toraja dengan bus Bintang Prima jam 21.00 WITA.

Berangkats!Setelah sempat salah nomor bus dan duduk di kursi yang ketumpahan minyak angina yang ngebuat orang yang duduk diatasnya kepanasan, akhirnya kita pindah ke Bus. Bus yang membawa kita dari Makassar ke Toraja ini bernama Bintang Prima. Dengan harga Rp. 185.000 (untuk high season), kita akan sampai di Toraja keesokan paginya sekitar pukul 06.30 WITA. Oya, bus Bintang Prima ini bagus banget. Di dalam bis ini terdapat TV yang memutarkan lagu-lagu selama awal perjalanan, juga kursinya terdapat penopang kaki sehingga ngebuat yang duduk sangat nyaman. Selain itu, ada juga guling dan selimut untuk menemani perjalanan kita ke Toraja.

Hari Kedua : Sabtu, 28 Desember 2013Setelah menghabiskan sekitar 9 jam perjalanan di bus, akhirnya kita turun di Rantepao, Toraja Utara. Karena secara gak sengaja kita melewatkan hotel tempat kita akan menginap, kita harus berjalan kurang lebih 1 km. Udara sejuk Rantepao menyambut kedatangan kita untuk berkelana di Toraja pada hari itu. Pada pagi hari, belum banyak toko yang buka sehingga kita memutuskan untuk langsung menuju Hotel. Tak berapa lama, kami tiba di Hotel Pison. Hotel ini terletak di Jalan Pongtiku GII no. 8. Harga per kamar per malam untuk 2 orang dengan fasilitas shower air hangat adalah Rp. 200.000 dengan tambahan Rp. 50.000 untuk ekstra bed. Harga tersebut tentunya belum termasuk makan pagi, namun kita dapat memesan makan pagi di restoran yang terdapat di depan hotel. Untuk penikmat kopi, saya sarankan kalian buat mencoba kopi disini karena rasanya enak, terlebih lagi untuk membuka pagi. Setibanya disana, kita ditawari untuk berkeliling Toraja dengan menggunakan mobil selama 8 jam. Dengan merogoh kocek sebesar Rp. 350.000 akhirnya kita sepakat untuk berkeliling Toraja dengan mobil tersebut. Berhubung masih terlalu dini untuk melakukan check-in, akhirnya kita hanya makan pagi dan menitipkan sebagian barang di hotel.

Desa Wisata Kete KesuPukul 09.00 WITA akhirnya kita berangkat bersama seorang supir bernama mas Ance. Pertama kali, kita menuju Kete Kesu. Kete Kesu merupakan sebuah desa wisata yang terdapat di bagian tenggara Rantepao. Berhubung sedang ada festival Lovely December, semua pengunjung yang masuk kesana tidak dipungut biaya alias gratis. Pertama kali masuk Kete Kesu, kita akan disambut dengan hamparan lumbung padi hijau yang membentang. Di belakangnya, terdapat rumah adat Toraja yang juga dikenal dengan nama Tongkonan yang diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun. Tak jauh dari sana, terdapat jalan setapak menuju kuburan batu. Jalan menuju sana cukup menanjak, namun setelah sampai diatas tidak ada satupun dari kita yang masuk ke dalam. Setelah puas berfoto-foto dan berkeliling, akhirnya kami pergi ke tujuan berikutnya yakni Londa.

Persembahan di Gua Batu LondaPerjalanan menuju Londa kita tempuh sekitar 20 hingga 30 menit. Untuk masuk kesana, setiap orang akan dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000. Londa merupakan gua batu tempat menaruh peti jenazah. Untuk dapat masuk ke dalam, kita memerlukan penerangan karena di dalam gua sangat gelap. Namun tak perlu khawatir, disana tersedia beberapa tour guide yang telah stand by mengantar kita ke dalam dengan menggunakan lampu minyak. Harga sewa satu tour guide beserta lampu minyaknya adalah Rp. 30.000 dan ditambah tips untuk guide nya sukarela (mereka tidak menentukan berapa besarnya tips yang harus diberikan). Di dalam gua, kita akan melihat peti-peti ditaruh dimana-mana. Jangan heran jika di dekat peti-peti tersebut banyak rokok ataupun baju yang berserakan. Rokok ataupun baju tersebut memang sengaja ditempatkan di dekat peti sebagai persembahan. Biasanya persembahan merupakan barang yang disukai oleh mayat yang berada dalam peti tersebut selama masa hidupnya. Selain itu, diluar dapat kita lihat beberapa peti yang ditempatkan di atas gua dan patung kayu yang menyerupai orang yang telah meninggal dipajang di pintu masuk gua. Konon, semakin tinggi letak petinya maka semakin terhormat kedudukan orang tersebut, serta hanya orang-orang dengan kedudukan tertentu saja yang akan dibuatkan patung kayu setelah meninggal.

PaPiong vs YamPiongBeres dari Londa, kita memutuskan untuk mencari makan di sekitar Rantepao. Setelah berkeliling hampir selama 40 menit untuk mencari makan, akhirnya kita singgah di rumah makan bermana Gasebo. Rumah makan ini menjual berbagai jenis makanan, mulai dari masakan Toraja, masakan Indonesia, dan juga berbagai jenis Chinese Food. Makanan menarik yang kita temukan di restoran ini adalah PaPiong. PaPiong sendiri adalah makanan khas dari Toraja yang terbuat dari daging babi atau ayam yang diberi bumbu-bumbu dan dimasak didalam bamboo selama 2 hingga 3 jam. Tentu saja karena gak ada yang makan babi jadi kita pesen PaPiong ayam (yang kemudian diberinama YamPiong kalo kata Widya). Karena menunggu PaPiong membutuhkan waktu yang gak sebentar, akhirnya kita memutuskan untuk memesan menu lain untuk makan siang dengan tetap memesan PaPiong untuk dibawa pulang. Selesai bersantap kemudian kita pindah ke Karassi dimana ada terdapat peninggalan bebatuan yang konon dari zaman Megalitikum.

Menghitung Anak Tangga di Gunung SingkiSetelah dari Karassi, kami beranjak menuju gunung Singki dimana kita bisa melihat seluruh Toraja dari atas. Untuk sampai di puncak gunung Singki, kita harus menaiki 315 anak tangga yang lumayan menantang. Pada awalnya semua orang semangat menghitung jumlah anak tangga, tapi akhirnya satu persatu berguguran dan kayaknya gak ada yang ngitung berapa jumlah anak tangganya sampe selesai. Di tengah perjalanan, kita sudah dapat melihat pemandangan Toraja yang sangat indah. Ketika sampai di puncak, kita akan melihat pembangunan semacam menara yang diatasnya terdapat Salib besar sekali. Namun sayang ketika kita kesana, pembangunan belum selesai dengan sempurna. Berhubung hari semakin gelap dan hujan mulai turun rintik-rintik akhirnya kita turun ke bawah dan memutuskan untuk membeli oleh-oleh. Sekitar pukul 17.20 WITA akhirnya kita kembali ke hotel setelah sebelumnya mengambil PaPiong pesanan terlebih dahulu. Hari itu kita tutup dengan makan malam bersama PaPiong dan pada akhirnya tidak ada satu orangpun yang melihat puncak perayaan Lovely December.

Hari Ketiga : Minggu, 29 Desember 2013Balada Bus Air-SuspensionSetelah sempat membeli tiket pada hari sebelumnya, pada pukul 09.00 WITA kami sudah bersiap di pool bus Bintang Prima dengan terlebih dahulu sarapan di Hotel. Bus baru berangkat pukul 09.30 WITA dengan kondisi yang masih setengah terisi karena sebagian penumpang lainnya naik dari Makale, sekitar 30 menit dari Rantepao. Harga bus pagi ini yakni Rp. 140.000, terpaut Rp. 45.000 lebih murah daripada bus malam. Bagi yang ingin melihat pemandangan alam, pada awal perjalanan kita akan disuguhkan dengan keindahan pegunungan dan bukit-bukit yang menjulang. Rasanya senang sekali melihat pemandangan hijau nan asri yang jarang sekali dapat ditemui di tengah kota. Perjalanan dari Toraja menuju Makassar ditempuh dalam waktu sekitar 9 jam. Sepanjang perjalanan kami pun menemui banyak bus serupa yang akan menuju Makassar. Uniknya, hampir semua bus dari perusahaan otobus yang berbeda memiliki tulisan Air Suspension ataupun Suspensi Udara hampir di semua armada bus yang kami temukan. Namun hingga perjalanan berakhir dan sampai di Makassar, kita masih belum tahu kenapa semua perusahaan otobus mencantumkan tulisan tersebut.

Nikmatnya Bersantap di Restoran Ulu JukuBeberapa saat sebelum sampai di Makassar, saya diberitahu Widya bahwa akan ada kerabat ayahnya yang ingin bertemu dan mengajak makan malam bersama. Kami pun bertemu di depan salah satu mall di Makassar (kalau tidak salah Makassar Town Square). Tak berapa lama, om Andi (kerabat ayahnya Widya) sampai dengan menggunakan mobil Avanza hitam. Kami pun dibawa menuju restoran Ulu Juku. Restoran ini menjual berbagai macam menu khas Makassar seperti Pallu Basa, Pallu Mara, dan lainnya. Konsep restoran ini sangat menarik karena tiap lantai memiliki tipe ruang makan yang berbeda. Misalnya saja di lantai 3 terdapat beberapa ruang makan privat yang memiliki karaoke yang dilengkapi dengan sound system. Meja yang digunakan pun dihias ibarat meja-meja di resepsi pernikahan sehingga membuat suasana makan malam kami sungguh menarik. Sambil menunggu hidangan yang kami pesan datang, tentu saja kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkaraoke. Meskipun pada mulanya semua malu-malu untuk bernyanyi (kecuali satu orang yang malah semangat banget) semua orang akhirnya melantunkan lagu. Lagu yang dinyanyikan pun cukup beragam, dari mulai Earth Wind and Fire, Westlife, Michael Buble, hingga Desy Ratnasari. Setelah kurang lebih 30 menit melantunkan berbagai macam lagu tersebut, makanan yang kami pesan datang. Dengan tetap diiringi lantunan music, kami pun bersantap sembari berbincang mengenai banyak hal. Setelah selesai bersantap dan melanjtkan karaoke untuk beberapa saat, sekitar pukul 9 malam akhirnya kami berpisah, Widya dan Fitt diantar om Andi menuju rumah Fitt dan sisanya (Saya, Dyo, dan Sam) dijemput oleh adiknya Sam dan kita menuju rumah Sam di BTP. Hari ini pun ditutup dengan perut yang super kenyang dan hati yang gembira.

Hari Keempat : Senin, 30 Desember 2013Pete-pete, Gosip, dan KitchenetteHari ini, kita berencana untuk berkeliling di Makassar dan mencoba sebanyak mungkin kuliner yang ada disana. Sekitar pukul 10.00 WITA saya, Dyo, dan Sam berangkat dari BTP menuju lapangan Karebosi dengan menggunakan pete-pete atau angkutan kota yang ditempuh dalam waktu 45 menit. Perjalanan 45 menit terasa lumayan menarik karena di dalam pete-pete ada sekumpulan ibu-ibu yang membicarakan politik, poligami, hingga agama. Nampaknya mereka terlalu asik bercerita sehingga mau tak mau penumpang lain pun ikut mendengar ceritanya. Ada satu ibu yang nampaknya dari awal perjalanan terus berkoar seperti tidak pernah kehilangan topic. Perjalanan itupun kami nikmati sembari mendengar sekumpulan ibu-ibu tadi bergosip di dalam pete-pete. Setelah melewati jalan Veteran, akhirnya kita turun di depan Kitchenette yang notabene adalah sebuah warung tenda pinggir jalan. Dari sana, kami harus berjalan sekitar 10 menit untuk menuju di meeting point yang telah ditentukan yakni Lapangan Karebosi. Beberapa saat setelah kita sampai disana, Widya dan FItt datang berdua dengan menggunakan mobil. Siang itu kita langsung memutuskan untuk mencari coto Makassar untuk makan siang. Namun sayang sekali Fitt tidak ikut karena dia harus mengerjakan tugas kuliahnya di Eat at Out.

Penuhnya Rumah Makan Coto NusantaraPada akhirnya, kita berempat menuju destinasi pertama kita, Coto Makassar di bilangan jalan Nusantara. Sesampainya disana, sudah banyak pengunjung yang sedang menikmati coto berhubung kami datang tepat saat jam makan siang, Untungnya, begitu kami datang ada meja kosong di pojokan yang dapat langsung kita isi. Tak lama kemudian, kami memesan 4 mangkuk Coto Makassar. Disini, kita bisa memilih isi dari Coto sesuai dengan selera kita, daging, bagian dalam sapi, ataupun campur. Semangkuk Coto dibanderol seharga Rp. 18.000. Biasanya, Coto ini dimakan bersama dengan ketupat/buras yang telah tersedia di meja. Harga satu buah buras/ketupat yakni Rp. 1.000. Jika ingin coto terasa segar, maka kita bisa menambahkan jeruk nipis. Selesai menyantap Coto Makassar, kamipun beranjak menuju tujuan kami berikutnya yaki Fort Rotterdam.

Tangan Jahil di Fort RotterdamFort Rotterdam merupakan benteng peninggalan kerajaan Gowa-Tallo. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan tua serta museum La Galigo yang menampilkan benda-benda bersejarah yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari atas, bentuk benteng ini menyerupai kura-kura. Sebelum masuk ke Fort Rotterdam, terlebih dulu kami berfoto-foto di tulisan Fort Rotterdam yang terpampang besar di depan pintu masuknya. Untuk dapat masuk ke Fort Rotterdam, kita tidak perlu membeli tiket sama sekali alias gratis. Kita hanya perlu menulis nama di buku tamu di pintu masuk. Namun, untuk dapat masuk ke museum La Galigo, pengunjung akan dikenakan biaya sebesar Rp. 5.000 per orang. Pertama kali, kita berkeliling Fort Rotterdam dari sisi depan hingga sisi belakang. Disini, kami beberapa kali (sok-sokan) membuat video amatir liputan Fort Rotterdam yang ternyata setelah ditonton ulang lumayan memalukan. Setelah puas berkeliling di bagian luar, kami akhirnya memutuskan untuk melihat koleksi di museum La Galigo. Sebagai orang yang jarang ke museum, saya lumayan takjub dengan koleksi museum yang menurut saya bagus dan juga tertata rapi di dalam lemari kaca. Ruangannya pun di set tidak terlalu terang dan yang penting sejuk karena hampir di berbagai sudut museum dipasang AC portable. Sejuknya berada di dalam museum berbanding terbalik dengan udara Makassar yang pada siang itu sedang cukup terik. Secara keseluruhan, saya sangat suka tempat ini. Namun, sayang sekali masih banyak tangan-tangan jahil yang tega merusak tempat bersejarah ini dengan menulis nama mereka ataupun curhatan seperti gambar berikut:

Bersantai Sejenak di PopsaSetelah puas berkeliling di Fort Rotterdam, kami akhirnya memutuskan untuk mencari es ataupun minuman dingin berhubung suasana siang itu yang sangat terik. Beruntungnya kami, tak jauh dari Fort Rotterdam terdapat sejenis foodcourt yang bernama Kampung Popsa atau yang lebih sering disebut Popsa saja oleh warga sekitar. Di pintu masuk, kami sudah disambut dengan beberapa gerai makanan yang biasa kami jumpai di Ibukota seperti Quickly, Baskin Robin, Ya Kun Kaya Toast, dlsb. Seusai menaruh tas di meja luar yang langsung menghadap laut (sepertinya), satu persatu akhirnya membeli minuman ataupun es. Saya dan Sam akhirnya memutuskan membeli Quickly, Dyo membeli frozen yogurt, dan Widya membeli es krim Baskin Robin. Berhubung matahari sedang terik, belum sempat Widya duduk di kursi, es krim yang dibelinya sudah meleleh. Lalu siang itu kami lanjutkan dengan obrolan yang penuh canda tawa.

Di sela-sela obrolan, kami sempat melihat ada segerombolan pengemis yang usianya masih tergolong belia sedang berkeliling dengan membawa kaleng sambil meminta uang kepada pengunjung yang sedang makan di Popsa. Memang ini bukan hal yang aneh karena toh di Ibukota pun banyak sekali pengemis seperti mereka. Namun yang menjadi perhatian saya kala itu adalah cara mereka mengemis. Pada awalnya mereka meminta baik-baik, namun ketika pengunjung yang sedang makan disana tidak memberi uang ataupun tidak menghiraukan mereka, mereka akan merengek, berteriak, dan tak jarang pula memaksa. Ketika itu, ada pengunjung yang langsung meninggalkan tempat mereka makan karena merasa tidak nyaman dengan paksaan para pengemis itu. Akhirnya, ada karyawan Popsa yang mengusir mereka. Nampaknya, ini bukan kali pertama para pengemis tersebut datang dan berlaku demikian. Selesai dari Popsa, kami akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Fitt yang masih berkutat dengan tugasnya di Eat at Out, Lapangan Karebosi. Disana, dia tampak sedang mermenung seorang diri mengerjakan tugasnya diatas sofa. Namun berkat dukungan moral dari kami yang baru saja datang, akhirnya dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik (iya kan Fitt? ;) )

Segarnya Pisang Ijo BravoSeusai menjemput Fitt, akhirnya kita kembali lengkap berlima (yeay!). Tidak mau menyia-nyiakan waktu, akhirnya kita menuju Bravo yang kalau tidak salah terletak di Jalan Andalas. Toko ini (menurut Fitt) sangat terkenal dengan Es Pisang Ijo-nya, bahkan menurutnya toko ini sudah diliput beberapa kali oleh Koran maupun televisi. Benar saja, ketika saya mencoba mencarinya lewat Google, banyak sekali liputan yang membahas kelezatan Es Pisang Ijo di toko ini. Begitu sampai disana, kami langsung memesan 4 Es Pisang Ijo dan 1 Es Pallu Butung. Perbedaanya Es Pallu Butung tidak dilapisi dengan adonan berwarna hijau yang terdapat pada Es Pisang Ijo. Oh ya sebenarnya toko ini juga menjual berbagai makanan bukan hanya Es Pisang Ijo ataupun Es Pallu Butung yang juga patut dicoba. Setelah menunggu sekitar 10 menit, pesanan kami datang. Berbeda dengan Pisang Ijo yang pernah saya makan sebelumnya, pisang yang digunakan disini tidak terlalu keras maupun tidak terlalu lembut, juga kuahnya yang tidak terlampau manis, semuanya pas. Seporsi Es Pisang Ijo dibanderol dengan harga Rp. 17.000 (kalau tidak salah).

Dari Jalan Andalas, kami bertolak menuju tempat yang sepertinya kurang afdol jika tidak dikunjungi selama di Makassar. Yak apa lagi kalau bukan Pantai Losari! Rasanya tak lengkap jika kita tak berfoto di depan tulisan Pantai Losari yang terkenal itu. Namun, karena terhalang oleh perakitan panggung (yang kemungkinan besar untuk perayaan tahun baru) dan cuaca yang kurang mendukung akhirnya kami mengurungkan niat kami untuk berfoto disana. Namun kami tak patah semangat, berhubung sudah kepalang tanggung sampai disana, kamipun mengunjungi masjid terapung yang bernama Masjid Amirul Mukminin. Ternyata selain kami terdapat pula banyak orang yang menghabiskan sore di masjid tersebut sembari menunggu Adzan Magrib berkumandang. Pemandangan dari teras belakang masjid memang sungguh indah. Sebenarnya kita dapat menyaksikan sunset dari sana, namun sayang sekali awan mendung menutupinya. Akhirnya, sore itu kami habiskan dengan mengambil beberapa gambar pemandangan dari teras belakang masjid hingga adzan berkumandang.

Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib hari sudah beranjak gelap dan lampu-lampu di pinggiran pantai mulai dinyalakan. Di seberang masjid terdapat kilauan iluminasi cahaya yang berasal dari gedung-gedung disana. Tak mau melewatkan kesempatan untuk mengabadikan momen tersebut, kami kami pun menyempatkan untuk mengambil beberapa foto di sekitar masjid. Setelah semua orang selesai sholat dan berkumpul lagi, kami bergegas menuju mobil guna menuju destinasi berikutnya yakni makan malam berhubung rasa lapar sudah mulai melanda. Seafood akhirnya menjadi pilihan yang tepat untuk mengisi perut di kala itu mengingat Makassar cukup terkenal dengan hidayang lautnya yang enak dan segar. Tak berapa jauh dari pantai Losari terdapat warung makan seafood yang bernama Lae Lae. Konon menurut Fitt restoran ini menyajikan salahsatu menu seafood yang nikmat dengan harga terjangkau. Sebagai warga lokal yang tentunya sudah memakan asam garam kehidupan di Makassar, tentu saja kami percaya dengan rekomendasinya.

Di pintu masuk kita akan langsung menemui tempat penyimpanan (coolbox) yang berisi ikan, cumi, udang, dan lain macam sebagainya. Pengunjung dapat memilih secara langsung jenis, besar, dan bumbu yang akan digunakan pada hidangan yang mereka pilih. Setelah memilih dan mempertimbangkan saran dari juru masak, akhirnya kami memutuskan untuk memesan ikan katamba bakar, ikan lamuru bakar rica-rica, cumi bakar beserta sayur kangkung dan tauge sebagai pelengkap nasi. Tak butuh waktu lama, hidangan yang kami pesan pun datang. Disini setiap pengunjung akan diberikan 2 macam sambal yang segar dan juga pedas. Tak berapa lama, suasana pun beranjak hening karena semua orang makan dengan lahapnya. Menu kami yang pertama yakni ikan katamba bakar. Ikan dibakar tanpa bumbu yang berlebihan sehingga rasa segar dari ikan masih terasa ketika akan dimakan. Lalu untuk ikan lamuru bakar rica-rica sebenarnya sama dengan ikan katamba yang di bakar dengan bumbu minimalis namun yang membedakannya yakni penyajian bumbu rica-rica yang terdiri dari potongan tomat segar, cabai, dan bawang merah yang membuat rasanya benar-benar segar! Cumi-cumi bakar pun tak kalah lezatnya. Berhubung cumi tersebut dibakar bersama tintanya, noda-noda hitam akan tertinggal di mulut ataupun gigi. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit bagi kami untuk merubah semua makanan tersebut menjadi piring-piring kosong. Pukul 20.30 akhirnya kami memutuskan untuk pulang karena keesokan harinya kami akan berangkat ke Tanjung Bira. Oya, semua menu yang kami pesan di Lae-Lae yang terdiri dari ikan lamuru bakar rica-rica, ikan katamba bakar, cumi bakar, tumis kangkung, cah tauge, 6 nasi, 4 es the manis, dan 1 air putih kami bayar seharga Rp. 225.000 untuk makan berlima.

Hari Kelima : Selasa, 31 Desember 2013Perut yang sudah kenyang dan badan yang cukup lelah usai berkeliling seharian di Makassar sukses mengantar kami untuk tidur cepat malam kemarin selepas mengemas barang untuk perjalanan hari ini menuju Tanjung Bira. Sekitar pukul 7 pagi nampaknya semua orang sudah terbangun dan tengah mempersiapkan diri. Kemarin, kami sudah membuat janji untuk bertemu di terminal Malengkeri Makassar pukul 9 agar dapat menaiki bus yang akan membawa kita menuju Tanjung Bira. Namun karena letak terminal yang cukup jauh dan juga ketidaktahuan kami akan armada bus mana yang dapat mengantarkan kita ke tempat tujuan, akhirnya kami memilih travel. Sekitar pukul 7.30 pagi dengan sigapnya Widya memesan 4 kursi travel Makassar Bulukumba. Menurut beberapa blog yang saya baca sebenarnya terdapat beberapa pilihan armada yang dapat membawa kita dari Makassar ke Tanjung Bira, sebagai berikut:1. Bus Malengkeri SelayarDi terminal Malengkeri, terdapat beberapa perusahaan otobus yang melayani rute Makassar (Malengkeri) menuju Selayar. Menurut beberapa info, bus tersebut berangkat pukul 09.00 WITA dari terminal. Bagi yang akan menuju Tanjung Bira, kita dapat turun di Pelabuhan terletak beberapa ratus meter saja dari pintu gerbang menuju Tanjung Bira. Bus tersebut biasanya berangkat tepat waktu karena harus mengejar kapal yang akan menghantarkannya menuju Selayar. Kita perlu membayar Rp. 70.000 untuk dapat sampai di Tanjung Bira dengan menggunakan moda transportasi ini. 2. Mobil Berplat KuningSelain bus, di terminal Malengkeri pula terdapat mobil-mobil berplat kuning yang melayani rute Makassar (Malengkeri) menuju Tanjung Bira. Berbeda dengan bus yang berangkat tepat waktu, biasanya mobil ini menunggu penumpang terisi penuh sebelum mobil ini berangkat. Biasanya satu mobil dapat diisi 6 hingga 10 orang, tergantung jenis dan kapasitas kendaraan yang digunakan. Secara pribadi, saya tidak tahu tariff pasti untuk moda transportasi ini namun dari beberapa blog yang saya baca biasanya berkisar Rp. 60.000 Rp. 90.000.3. TravelDi Makassar, terdapat beberapa perusahaan yang menawarkan jasa Shuttle menuju kota-kota terdekat seperti Pare-Pare, Pinrang, dan Bulukumba. Untuk dapat menuju Tanjung Bira, kita dapat menaiki shuttle tujuan Bulukumba dengan tariff sekitar Rp. 85.000. Dari Bulukumba, kita masih harus melanjutkan perjalanan sekitar 30 km dengan menggunakan pete-pete menuju Tanjung Bira dengan tariff sekitar Rp. 8.000 hingga Rp. 10.000. Bagi yang ingin menggunakan travel, lebih baik pergi sedini mungkin (sekitar pukul 7/8 pagi) mengingat pete-pete menuju dari Bulukumba yang menuju Tanjung Bira hanya tersedia hingga pukul 2 atau 3 sore. 4. Sewa MobilBagi yang berpergian dengan banyak anggota, sewa mobil mungkin dapat menjadi pilihan yang tepat mengingat fleksibilitas penggunaan kendaraan. Terlebih lagi jika kita mendapat mobil sewa dengan harga yang menarik, biaya per orangnya justru akan lebih murah dibanding ketiga pilihan transportasi diatas. Harga sewa mobil sangat bergantung pada jenis, kapasitas, serta penyedia layanan.

Perjalanan Darat LainnyaSayang sekali Sam tidak bisa ikut ke Tanjung Bira karena pada malam harinya ia harus menghadiri acara keluarga yang akan diadakan di rumahnya sehingga perjalanan ke Tanjung Bira hanya menyisakan Saya, Widya, Dyo, dan Fitt. Dengan diiringi rintik hujan yang cukup deras, sekitar pukul 9 pagi kami sudah sampai di BMA Travel di bilangan Veteran yang akan mengantarkan kita menuju Bulukumba. Dengan membayar Rp. 85.000, kita akan diantar menuju pool travel di Bulukumba. Perjalanan menuju Bulukumba umumnya dapat ditempuh dalam waktu 5 jam, namun karena cuaca yang kurang mendukung dan beberapa ruas jalan terkena banjir akhirnya pukul 2 siang kami pun belum sampai di Bulukumba padahal kami harus mengejar pete-pete yang konon hanya beroperasi hingga jam 3. Dari kedelapan penumpang yang menaiki travel, hanya kami berempat saja yang akan turun di Bulukumba sedangkan keempat penumpang lain turun di Bantaeng, beberapa kilo meter sebelum Bulukumba. Di tengah perjalanan saya memang sempat bertanya kepada pak supir tentang angkutan atau rute yang bisa kita tempuh dari Bulukumba hingga Tanjung Bira dan memang benar, menurutnya pete-pete hanye beroperasi maksimal hingga pukul 3. Melihat jam yang hampir menunjukkan pukul 2.30 sore namun belum juga sampai di Bulukumba akhirnya Bapak supir menawarkan untuk mengantarkan kita ke Tanjung Bira dengan sedikit tambahan biaya untuk bensin dan charge ke perusahaan travelnya sekitar Rp. 150.000 (untuk 4 orang). Tanpa pikir panjang, akhirnya kita mengiyakan tawaran pak supir namun dengan sedikit perubahan rencana yakni kami akan turun di desa pembuatan kapal Phinisi terlebih dahulu.

Pembuatan Kapal Phinisi yang Serba ManualSetelah sekitar 30 menit berlalu, akhirnya kami sampai di desa pembuatan kapal Phinisi dan berpisah dengan bapak supir yang telah mengantar kami kemari. Tak lama perlu waktu lama bagi kami untuk melihat proses pembuatan kapal Phinisi karena begitu masuk desa tersebut, di kanan jalan akan terlihat para pengrajin kapal sedang sibuk mengerjakan pembuatan kapal. Hampir semua proses pengerjaannya dibuat secara manual tanpa bantuan mesin. Oleh karenanya untuk membuat satu kapal bisa memakan waktu yang lama hingga bertahun-tahun. Konon, banyak negara luar yang memesan kapal Phinisi dari sini, salahsatunya adalah Jepang. Kayu yang digunakan sebagai bahan utama untuk membuat kapal ini pun didatangkan khusus dari Kalimantan (kalau tidak salah ingat). Sebenarnya banyak sekali pengrajin kapal disini, namun berhubung kami dikejar waktu untuk sampai Tanjung Bira sebelum matahari terbenam, akhirnya kami memutuskan untuk kembali dan menunggu angkutan ke Tanjung Bira.

Jarak dari desa pembuatan kapal Phinisi ke Tanjung Bira adalah 18 km yang dapat ditempuh dengan pete-pete. Namun berhubung hari sudah sore dan pete-pete sudah tidak beroperasi akhirnya kami (lebih tepatnya saya sendiri sih) mulai panik. Dari situ, mulai mikirlah beberapa cara buat mencapai Tanjung Bira tanpa pete-pete. Pertama, jalan kaki sampe ke Tanjung Bira tapi capek banget meeeennnnn 18 km gitu, yang ada juga sampe sana tepar dan gabisa nikmatin pantainya. Kedua, hitchhiking ke mobil yang akan menuju Bira. Sebenarnya Fitt sudah melalukan cara yang kedua ini sih dari tadi dengan melambai-lambaikan tissue ke mobil yang lewat dengan malu-malu. Namun sayang dari beberapa mobil yang lewat, tidak ada satupun yang singgah. Dengan muka yang super cemas, saya mondar mandir di tempat sampai tiba-tiba ada yang menegur saya dan bertanya kemana saya dan ketiga teman saya akan pergi karena kami sudah cukup lama berdiri disana dengan membawa tas-tas besar dan pakaian yang cukup mencolok ala turis. Setelah saya menjawab bahwa kami akan ke Bira akhirnya dia menawarkan untuk mengantarkan kami menuju ke Bira bersama keempat orang ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedari tadi menunggu bersama kami disana dengan biaya Rp. 10.000 per orang. Secara spontan, muka saya yang super cemas berubah kegirangan dan tanpa berpikir dua kali akhirnya kami mengiyakan tawarannya. Dengan menggunakan mobil Carry yang sepanjang perjalanan memutar lagu hits di era 90an, kami diantar dari dekat desa pembuatan kapal Phinisi hingga di depan penginapan kami di Tanjung Bira yakni Riswan GuestHouse tepat pukul 4 sore.

Hamparan Pasir Putih Tanjung BiraSampai disana, kami sempatkan untuk sejenak beristirahat dan menaruh barang sebelum menuju pantai. Tak mau membuang-buang waktu, akhirnya kami berbegas ke pantai yang hanya berjarak kurang lebih 300 meter dari penginapan. Dari kejauhan kita sudah bisa melihat birunya laut dan hamparan pasir putih yang membentang. Namun sayang sekali karena cuaca yang berawan membuat kita tidak dapat menyaksikan matahari terbenam di pantai pada saat itu. Berhubung hari sudah beranjak gelap dan angin pun berhembus dengan kencang, kami memutuskan untuk tidak berenang di pantai pada saat itu. Sebagai gantinya, kami mengambil foto sebanyak-banyaknya dan berjalan di pinggir pantai sembari menikmati senja. Setelah beberapa saat melangkah, kami sampai di bawah restoran yang sangat terkenal di Tanjung Bira yakni DPerahu. Sesuai dengan namanya, restoran ini dibuat di dalam sebuah perahu Phinisi besar yang sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat merasakan sensasi menaiki kapal Phinisi sembari menikmati hidangan yang disajikan. Di restoran ini terdapat akses langsung menuju sisi pantai yang terbilang lebih sepi dibanding sisi pantai yang kami datangi pertama kali. Karena penasaran dengan sisi pantai tersebut, akhirnya kami mendatangi restoran ini untuk mengunjungi sisi pantai tersebut.

Sampai di DPerahu, kami harus turun dengan menggunakan tangga kayu untuk dapat mencapai sisi pantai tersebut. Disana tak nampak ada seorang pun yang sedang berenang ataupun melakukan aktifitas apapun. Meskipun lebih sepi, sisi pantai ini pun lebih kecil karena tertutup oleh bebatuan besar yang membuatnya terkesan ekslusif. Tak berapa lama, matahari sudah menghilang dan berganti gelapnya malam. Kamipun mengakhiri berjalan-jalan di sisi pantai dan kembali menuju DPerahu. Kebetulan sekali malam itu terdapat promo buffet malam tahun baru di DPerahu. Kami yang memang belum punya rencana apa-apa untuk menghabiskan malam tahun baru akhirnya sepakat untuk makan malam dan manghabiskan malam di restoran tersebut. Dengan membayar Rp. 75.000, kita sudah dapat menikmati berbagai hidangan seperti nasi, sate ayam, sate ikan, sayur sop, ayam kecap, udang goreng tepung, dan lainnya. Dari mulai pukul 7 malam kita sudah mulai duduk dan membicarakan banyak hal, dari mulai hal-hal serius hingga hal-hal yang gak penting. Pada pukul 10.00 malam, beberapa orang sudah mulai menyalakan kembang api, petasan, dan obor. Meski terbilang terlalu dini untuk merayakan tahun baru, hal tersebut justru membuat semarak pantai Tanjung Bira di kala itu. Selepas berbincang dan bersenda gurau, pada pukul 11.30 malam akhirnya kami berjalan kembali ke penginapan dengan rute yang sama.

Tahun Baru yang Anti-MainstreamBerbeda dengan perjalanan ketika menuju DPerahu yang relatif masih sepi, perjalanan pulang menuju penginapan relatif lebih padat karena banyak orang yang sedang duduk di pinggir pantai untuk menghabiskan malam tahun baru yang tinggal menunggu hitungan menit. Beberapa dari mereka ada yang membuat api unggun kecil untuk membakar jagung, marsmallow, ataupun sosis dan sebagian lagi nampaknya sedang sibuk mempersiapkan kembang api, petasan, dan obor untuk mewarnai perayaan yang datang setahun sekali itu. Perjalanan pulang menuju penginapan pun sedikit lebih sulit akibat kurangnya penerangan yang membuat kami cukup sulit berjalan diantara orang-orang yang sedang duduk di pinggir pantai serta air laut yang sedang pasang di sisi pantai tempat kami harus naik ke akses menuju penginapan. Dengan berbekal senter yang ada di handphone masing-masing, kami menelusuri pinggir pantai dengan hati-hati. Sampai di tangga, ternyata sudah banyak orang yang berkerumun untuk menyaksikan kembang api dari atas. Berhubung kami merupakan anak-anak anti mainstream (sebenernya alesan aja sih), ketika orang-orang menuju pantai untuk melihat perayaan tahun baru, kami melawan arus dengan pulang menuju penginapan. Hari itu kami tutup dengan mengucapkan tahun baru untuk satu sama lain.

Hari Keenam : Rabu, 1 Januari 2014Niat kami untuk menyaksikan matahari terbit di pagi ini nampaknya hanya menjadi wacana berhubung semua orang kembali tidur setelaah sholat subuh. Sekitar pukul 7 semua orang sudah terbangun dari tidur lelapnya. Namun dinginnya pagi hari yang bercampur dengan keposesifan kasur dan selimut di pagi itu membuat satu persatu dari kami kembali menuju alam mimpi. Baru sekitar pukul 08.30 pagi kami benar-benar bangun dan bergegas menuju pantai setelah sebelumnya sarapan terlebih dahulu. Matahari sudah cukup terik pada saat kami menuju pantai namun tidak menghalangi niat kami untuk bermain di pantai. Sampai disana, saya cukup sedih melihat banyak sisa-sisa sampah bekas perayaan tahun baru yang tersisa disana. Botol plastik, kertas, dan bungkus-bungkus makanan terlihat bertebaran di beberapa titik. Setelah berhasil menuju sisi pantai yang lebih bersih dan sepi, akhirnya keinginan untuk bermain air di pantai yang sudah dibendung dari kemarin jadi kenyataan. Seperti di pantai-pantai lain, disini pun tersedia fasilitas bagi pengunjung yang ingin melakukan diving, snorkeling, banana boat, ataupun sedekar bermain di pantai bersama pelampung. Tentunya kita harus merogoh kocek lebih untuk dapat menikmati berbagai permainan tersebut. Selain itu, bagi yang memiliki budget lebih tak ada salahnya untuk mencoba berpetualang di pulau Selayar yang terletak tak jauh dari Tanjung Bira. Sekitar 2 jam di pantai akhirnya kami habiskan untuk berenang, berfoto, dan membuat benda dari pasir. Sekitar pukul 12 akhirnya kami kembali ke penginapan karena pukul 2 siang kami sudah harus kembali ke Makassar dengan mobil charteran yang sudah kita pesan sehari sebelumnya.

Angin Semilir Perjalanan Tanjung Bira - MakassarSetelah mandi, membereskan barang dan menyantap makan siang, akhirnya kami bertolak dari Tanjung Bira pukul 3. Lalu lintas dari dan menuju Bira pada siang hari nampak padat dan nyaris lumpuh karena banyak mobil dari luar kota yang berdatangan. Hal itu pula yang menyebabkan mobil charteran kami telat hingga satu jam. Pemilihan moda transportasi ini diambil karena beberapa alasan. Pertama, kami baru sampai ke Tanjung Bira pukul 4 sore hari kemarin; Kedua, bus menuju Makassar akan berangkat dari pelabuhan sekitar pukul 10.00 sehingga waktu kami menikmati waktu di Tanjung Bira sangat singkat jika kita menggunakan moda transportasi ini; dan Ketiga, untuk menggunakan travel kita harus menuju Bulukumba terlebih dahulu sehingga akan cukup menguras tenaga. Dengan membayar Rp. 600.000, kami tempuh perjalanan Tanjung Bira Makassar selama 5 jam. Ditemani angin semilir dari jendela yang terus-menerus dibuka karena pendingin udara rusak, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur karena perjalanan beberapa hari ini memang cukup menguras tenaga. Sekitar pukul 8 malam waktu setempat, kami tiba di terminal Malengkeri. Penerangan yang minim membuat suasana terminal di malam hari sangat sepi dan tidak terlihat banyak aktivitas. Tak berapa lama berselang, kami dijemput oleh Orangtua Fitt yang ternyata sudah sampai sedari tadi. Pada awalnya, saya dan Dyo akan bertemu Sam di terminal namun berhubung Sam masih dalam perjalanan menuju Malengkeri, akhirnya kami memutuskan untuk ikut bersama Orangtua Fitt dan bertemu dengan Sam di meeting point yang telah ditentukan.

Makan Malam di Rumah Makan Sulawesi BaruSampai di meeting point dan bertemu Sam, kami tak lantas pulang melainkan mencari makan malam terlebih dahulu. Pada awalnya kami akan mencoba sop konro yang berada di bilangan Karebosi, namun karena hampir seluruh rumah makan yang biasa menyediakan sop konro di daerah sana tutup akhirnya kami memutuskan untuk menuju Restoran Ayam Goreng Sulawesi Baru. Sesuai dengan namanya, ayam goreng menjadi menu khas dari restoran ini. Selain itu, terdapat pula berbagai menu ikan hasil tangkapan nelayan local seperti ikan bandeng, papakulu, baronang, dan lain sebagainya. Berbeda dengan ayam goreng kebanyakan, ayam goreng ini memiliki tekstur yang sangat lembut dan bumbu yang meresap hingga ke dalam. Biasanya menu tersebut ini disajikan dengan sambal tradisional yang memiliki rasa pedas dan juga manis (namun bukan sambal kecap ya) serta timun sebagai lalapan. Sembari menunggu pesanan, kita juga bisa menikmati otak-otak khas Makassar sebagai pengganjal perut. Otak-otak ini terasa sangat nikmat karena rasa ikan yang gurih masih terasa kuat di lidah. Jika kita menginginkan rasa yang berbeda, kita dapat menyantap otak-otak tersebut dengan saus kacang yang disediakan.

Sekitar pukul 9 malam, akhirnya kami berpisah. Sesampainya di rumah Sam, kami tentunya tidak langsung tidur karena harus membereskan barang-barang kami ke dalam tas berhubung malam ini merupakan malam terakhir kami di Makassar. Sekitar pukul 11, saya sudah selesai membereskan semua barang ke dalam tas. Namun setelah itupun, saya masih belum bisa tidur karena pikiran saya masih melayang ke awal-awal liburan yang terasa sangat cepat dan tidak terasa besok liburan sudah berakhir.

Hari Ketujuh : Kamis, 2 Januari 2014Wisata Kuliner TerakhirSetelah melewati 6 hari bertualang di Makassar, Tana Toraja, dan Tanjung Bira, sampailah saya pada penghujung liburan kali ini. Setelah makan pagi, mandi, dan sekali lagi membereskan barang-barang, saya dan Dyo diantar oleh orangtua Sam untuk bertemu Widya dan Fitt di Alfamart dekat Flyover. Sekitar pukul 11 siang, kami bertemu di tempat yang telah ditentukan. Berhubung kemarin malam kami belum berhasil untuk mencoba sop konro di bilangan Karebosi, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba peruntungan kita saat ini. Kami sampai di Karebosi tepat beberapa saat sebelum jam makan siang. Berbeda dengan kemarin malam yang sepi karena hampir semua toko tutup, siang hari ini rumah makan sop konro yang kita tuju sudah beroperasi seperti semula. Disana nampak beberapa orang sudah sampai dan sedang menimati makan siangnya masing-masing. Begitu sampai disana, kami memesan 5 Sop Konro Bakar beserta 3 es the manis dan 2 air putih. Satu porsi sop konro bakar terdiri atas konro bakar yang disajikan dengan bumbu kacang serta satu mangkuk kuah konro. Daging yang masih melekat pada tulang mudah sekali terkoyak dengan sendok dan garpu sehingga kita tidak perlu susah payah untuk menyantapnya. Selain itu, bumbu juga meresap dengan sempurna ke dalam daging yang menjadikannya santapan siang yang super lezat. Satu porsi sop konro bakar dengan nasi dan minuman dihargai sekitar Rp. 50.000. Memang tidak terlalu murah namun patut sekali dicoba jika kita berlibur ke Makassar.

Selesai makan siang, kami memutuskan untuk membeli oleh-oleh di daerah Sumba Opu. Di daerah tersebut kita dapat menemukan toko-toko yang menjual perhiasan dan juga oleh-oleh khas Makassar. Di toko oleh-oleh kita dapat menemukan berbagai macam barang mulai dari kopi, kain tenun, replica rumah adat toraja dan kapan phinisi, sirup markisa, makanan ringan, kaos, hingga otak-otak. Bagi yang memiliki waktu lebih, tak ada salahnya untuk masuk ke beberapa toko dan membandingkan barang yang akan kita beli. Jika beruntung, kita dapat menemui beberapa toko yang menjual barang yang sama dengan selisih harga Rp. 5.000 hingga Rp. 20.000. Karena cukup kalap melihat berbagai macam oleh-oleh, akhirnya saya membeli cukup banyak barang untuk keluarga dan teman. Hal ini menyebabkan kita bertiga harus memasukkan tas dari kabin ke dalam bagasi.

Menutup Perjalanan dengan yang ManisDari Somba Opu, kita beranjak menuju daerah sekitar pantai Losari guna mencari pisang epe. Meskipun perut masih cukup kenyang dengan makan siang, kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhir kami di Makassar untuk mencicipi berbagai makanan khas kota Angin Mamiri ini. Biasanya penjual pisang Epe baru buka pada sore hari, namun beruntung sekali kami dapat menemukan penjual yang sudah buka dari siang hari. Pisang Epe biasanya terbuat dari pisang kapok yang dibakar setengah matang hingga cukup lunak lalu pisang diletakkan di jepitan yang terbuat dari kayu dan dilapisi alumunium untuk kemudian ditekan sampai pipih. Proses penjepitan inilah yang membuat hidangan ini bernama pisang Epe. Setelah mencapai tingkat kematangan tertentu, pisang yang bentuknya sudah pipih ini disiram dengan saus yang terbuat dari gula merah. Selain itu, terdapat juga beberapa pilihan saus yakni durian, coklat-keju, dan lainnya. Berhubung masih cukup kenyang, kami hanya memesan 3 porsi pisang epe (original, durian, dan coklat keju) untuk dimakan berlima. Satu porsi pisang epe yang terdiri dari 3 buah pisang dihargai sekitar Rp. 8.000 hingga Rp. 10.000.

Selesai menyantap pisang epe pukul sekitar pukul 3 sore, kami masih sempatkan untuk singgah di McDonalds untuk membeli soft ice cream dan memanfaatkan 3 jam terakhir kami di Makassar. Meskipun hujan sudah mengguyur Makassar dari tadi siang, tak menghalangi niat kita untuk membeli soft ice cream. Sekitar pukul 4 akhirnya kami menuju bandara dengan terlebih dahulu menjemput Bapaknya Fitt yang baru saja selesai bekerja. Karena menggunakan akses tol, perjalanan menuju bandara ini kami tempuh dengan sangat lancer dan tanpa hambatan sehingga pukul 4.30 kami sudah berada di bandara. Dari semua cerita yang saya buat, mungkin ini bagian yang paling saya tidak suka karena ada perpisahan. Yak, perpisahan sama Fitt dan Sam yang selama 7 hari belakangan ini udah menemani kami di Makassar, Toraja, Tanjung Bira, dan sekitarnya serta perpisahan dengan liburan yang super menyenangkan ini. Sekitar pukul 5 sore kami check-in namun ternyata kami baru dapat masuk pesawat pukul 6.20. Begitu masuk ke dalam pesawat, kami masih harus duduk menunggu sekitar 2 jam sebelum pesawat benar-benar take-off yang kami habiskan dengan mengobrol. Akhirnya setelah menunggu hampir 2 jam, pesawat berangkat dan mendarat di Soekarno-Hatta International Airport pukul 9.30 malam waktu setempat.

Jadi, begitulah kisah liburan 7 hari yang super menyenangkan di Makassar. Semoga liburan-liburan berikutnya bisa semenyenangkan liburan ini! :D