Trauma Tht Kasus Dr Satria

download Trauma Tht Kasus Dr Satria

of 44

Transcript of Trauma Tht Kasus Dr Satria

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    1/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 1

    Referat Trauma THT

    Pembimbing:

    dr. Satria Nugraha W Sp.THT-KL M.Kes

    Oleh :

    Kustian Pramudita 030.08.140

    Andreas Ronald 030.09.016

    Rangga Satrio Prawiro 030.09.191

    KEPANITERAAN KLINIK THT

    PERIODE 30 september 2 November 2013

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

    RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    2/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 2

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya kami dapat

    . menyelesaikan referat Trauma THT. Penulisan referat ini bertujuan memenuhi salah satu

    tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit telinga hidung tenggorokan kepala leher di RSUD

    BEKASI.

    Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Satria Nugraha, Sp.THTKL M.Kes

    sebagai pembimbing yang mengarahkan penulisan referat ini menjadi lebih baik.

    Kami menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran yang

    membangun dan penulisan ilmiah yang berikutnya meningkatkan pemahaman tentang

    trauma THT.

    Kami berharap referat ini dapat meningkatkan pemahaman tenaga medis dan

    mahasiswa kedokteran untuk lebih baik dalam aplikasi teori terhadap tatalaksana pasien

    trauma THT.

    Bekasi, 12 Oktober 2013

    Penulis

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    3/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 3

    LEMBAR PENGESAHAN

    Nama:

    1. Kustian Pramudita (03008140)

    2. Andreas Ronald (03009016)

    3. Rangga Satrio Prawiro (03009191)

    Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

    Bagian : Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT

    Hari/Tanggal diajukan : Rabu, 16 Oktober 2013

    Judul Referat : Trauma THT

    Bekasi, 16 Oktober 2013

    Pembimbing Bagian Ilmu Penyakit THTKL

    RSUD BEKASI

    Dr. Satria Nugraha, Sp. THTKL, M.Kes

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    4/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 4

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar . 2

    Lembar Pengesahan . 3

    Daftar Isi .. 4

    BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 5

    BAB IITINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 6

    2.1 Struktur Anatomi Telinga ........................................................................... 6

    2.2 Struktur Anatomi Hidung ........................................................................... 6

    2.3 Struktur Anatomi Tenggorokan ................................................................. 13

    2.4 Trauma Telinga ........................................................................................... 17

    2.5 Trauma Hidung ........................................................................................... 25

    2.6 Trauma Tenggorokan ................................................................................. 36

    BAB III PENUTUP

    3.1 Kesimpulan....... 43

    BAB IV DAFTAR PUSTAKA....44

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    5/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 5

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian orang

    merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap sangat

    menganggu. Suara yang tidak dikehendaki itu dapat dikatakan sebagai bising. Bising yang

    kita dengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh. Pemaparan

    bising berlebihan menyebabkan kerusakan telinga dalam dan tuli sensorineural. Trauma

    telinga dalam tergantung atas intensitas bising, lamanya bising, frekuensi bising dan

    kerentanan telinga terhadap bising. Secara umum bising ialah bunyi yang tidak diinginkan.

    Secara audiologik bising ialah campuran nada murni dengan berbagai frekuensi

    Berdasarkan survey Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4

    negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya

    yakni Sri Lanka (8,8%), Myammar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi

    tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial ditengah masyarakat. Berdasarkan survei kesehatan indera tahun 1993-1996 yang dilaksanakan

    di Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung, dan tenggorokan (THT)

    sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8% clan ketulian 0,4%.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    6/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    1 Struktur Anatomi Telinga

    Telinga bagian luar, meliputi :

    Daun telinga (auriculla / pina)berfungsi untuk menampung gelombang bunyi,untuk estetika. Daun telinga terdiri dari helix (bagian lengkung atas), lobulus (biasa

    dijadikan tempat aksesoris wanita), konka (cekungan dekat liang telinga), tragus

    (tonjolan tulang rawan antara wajah dan liang telinga).

    Liang telinga (Meatus Acusticus Externus)berfungsi menyalurkan danmemfokuskan gelombang bunyi. Liang telinga orang dewasa normal panjangnya rata-

    rata sekitar 2,5 cm. Dalam liang telinga terdapat rambut-rambut telinga berfungsi

    menyaring partikel-partikel yang besar, terdapat juga kelenjar serumen yang

    menghasilkan serumen berfungsi melekatkan kotoran atau kaki serangga kecil yang

    masuk sehingga tidak langsung merusak membran timpani.

    Gendang telinga (membran timpani)berfungsi menangkap gelombang bunyi untukdihantarkan ke tulang-tulang pendengaran.

    Telinga bagian tengah, meliputi :

    Tulang-tulang pendengaran (Os.Acusticus), terdiri dari Os Maleus, Incus danStapez. berfungsi melanjutkan hantaran gelombang bunyi.

    Cairan perilymph dan endolymph berfungsi mengubah energi mekanik darigetaran tulang-tulang pendengaran menjadi energi listrik.

    Telinga bagian dalam, terdiri dari membran semisirkularis dan cochlea

    (labirin berupa rumah siput) yang di dalamnya terdapat saraf-saraf pendengaran (nerves

    acusticus) yang terdiri dari :

    Nerves cochlearisuntuk pendengaran. Nerves vestibularis untuk keseimbangan tubuh.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    7/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 7

    2. Struktur Anatomi hidung

    2.1 Anatomi hidung luar

    Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

    menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar

    dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan;

    di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling

    bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti

    piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1.pangkal hidung (bridge),

    2.batang hidung (dorsum nasi), 3.puncak hidung (hip), 4.ala nasi, 5.kolumela, dan

    6.lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang

    rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi

    untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

    1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus frontalis os maksila, dan 3.prosesus nasalis os

    frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan

    yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis

    superior, 2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

    kartilago ala mayor, dan 3.tepi anterior kartilago septum.5

    2.2 Anatomi hidung dalam

    Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di

    sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

    nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

    konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

    dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

    meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.6,7,8

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    8/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 8

    Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

    Septum nasi

    Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior

    dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

    (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior

    oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.6,7

    Kavum nasi

    Kavum nasi terdiri dari:

    Dasar hidungDasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus

    horizontal os palatum.6

    Atap hidungAtap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

    prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian

    besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen

    n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju

    bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.6

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    9/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 9

    Dinding LateralDinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,

    os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,

    konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.6

    KonkaFosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara

    konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media

    dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus

    superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.

    Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os

    etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

    maksila bagian superior dan palatum.6

    Meatus superiorMeatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara

    septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid

    posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang

    besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid

    terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. 6

    Meatus mediaMerupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

    dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus

    frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang

    letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit

    yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan

    sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan

    hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan

    yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas

    infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu

    sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    10/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 10

    bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara

    di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.

    Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium

    tersendiri di depan infundibulum.6,7

    Meatus InferiorMeatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara

    duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas

    posterior nostril.6,7

    NaresNares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

    nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares

    posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam

    oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh

    lamina pterigoideus.6

    Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas

    sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus

    paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan

    dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks

    prosesus zygomatikus os maksilla.6,7,8

    Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara

    yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian

    lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan

    zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium

    yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel

    epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.9

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    11/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 11

    Kompleks ostiomeatal (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

    berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

    gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

    papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

    infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.5,10

    Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret

    yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

    infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret

    akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan

    sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke

    infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka.9

    Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal.

    2.3 Perdarahan hidung

    Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior

    dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian

    bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di

    antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

    sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

    posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang

    cabang a.fasialis.5

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    12/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 12

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

    a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut

    pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

    cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung)

    terutama pada anak.5

    Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

    dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika

    yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki

    katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi

    hingga ke intracranial.5

    2.4 Persarafan hidung

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

    n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

    n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan

    sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum

    selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau

    otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari

    n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-

    serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di

    belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.5

    Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah

    bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

    olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.5,7

    3. Struktur Anatomi Tenggorokan

    3.1 Anatomi Faring

    Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya kelihatan seperti corong

    dengan ukuran bagian atasnya lebih besar dan bagian bawah yang lebih sempit. Faring

    merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskulerini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    13/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 13

    servikalis ke-6. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa 14 cm dan bagian ini

    merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput

    lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

    Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan

    Laringofaring (Hipofaring).

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    14/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 14

    Gambar 3. Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    15/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 15

    Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari nasofaring ini

    antara lain :

    - batas atas : Basis Kranii

    -batas bawah : Palatum mole

    - batas depan : rongga hidung

    - batas belakang : vertebra servikal

    Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa

    struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus

    faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur

    embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan

    kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus

    Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis

    interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.3,4

    Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan

    laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : 3,4

    - batas atas : palatum mole

    - batas bawah : tepi atas epiglottis

    - batas depan : rongga mulut

    - batas belakang : vertebra servikalis

    Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil

    palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen

    sekum. Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Dengan batas-

    batas dari laringofaring antara lain, yaitu : 3,4 -

    - batas atas : epiglotis

    - batas bawah : kartilago krikodea

    - batas depan : laring

    - batas belakang : vertebra servikalis

    Laringofaring disebut juga hipofaring dan terletak di bawah setelah orofaring. Dengan

    batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : 3,4

    - batas atas : epiglotis

    - batas depan : laring

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    16/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 16

    - batas bawah : esofagus

    - batas belakang : vertebra servikalis

    Struktur-struktur yang terdapat di laringofaring :3,4

    Valekula : Dibentuk oleh dua buah cekung yang dibentuk oleh ligamentumglossoepiglotika medial

    dan lateral (kantong pil).

    Epiglotis: Terletak di bawah epiglottis. Pada bayi berbentuk omega & padaperkembangan menjadi

    lebar sampai dewasa. Epiglotis berfungsi proteksi glotis ketika menelan

    minuman/bolus

    makanan

    Pada tiap sisi laringofaring berjalan N.laring superior di bawah dasar sinus piriformis.3,4

    Gambar 4. Strukttur laringofaring (hipofaring)

    Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti

    penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding anterior ruang retrofaring(retropharyngeal space) adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia

    faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia

    prevetebralis.3,4

    Ruang ini mulai dari dasar tenN gkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari

    fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di

    sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.3,4

    Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut dengan

    dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya ada kornu

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    17/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 17

    mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh M.Konstriktor faring superior, batas

    luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan

    bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama

    besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)

    adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih

    sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna,

    Nervus vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid

    sheat). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

    4. TRAUMA TELINGA

    4.1 BAROTRAUMA

    4.1.1Definisi

    Aerotitis atau barotrauma merupakan suatu gangguan telinga yang terjadi akibat

    perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu tubuh bergerak ke atau

    dari lingkungan tekanan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan tuba gagal untuk

    membuka.1,2

    Apabila perubahan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal

    aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadinya tekanan negatif di

    rongga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-

    kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah dan

    rongga mastoid tercampur darah.5

    4.1.2 Etiologi

    Aerotitis paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini tertutama karena

    rumitnya fungsi tuba eustachius. Tuba eustachius secara normal selalu tertutup namun

    dapat terbuka pada gerakan menelan, mengunyah, menguap, dan dengan manuver Valsava.

    Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga dalam telinga tengah dan

    dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Peningkatan tekanan ini menyebabkan pembuluh

    darah kecil pada mukosa telinga akan berdilatasi dan pecah dan menyebkan

    hemotimpanum dan kadang dapat menyebabkan ruptur membran timpani. Aerotitis terjadi

    akibat perbedaan tekanan barometrik, baik saat menyelam atau saat terbang.2,3

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    18/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 18

    4.1.3 Patofisiologi

    Pilek, rinitis alergika serta berbagai reaksi individual, semuanya merupakan

    predisposisi terhadap disfungsi tuba eustachius. Aerotitis dengan ruptur timpani dapat

    terjadi setelah menyelam atau melakukan perjalanan dengan pesawat terbang.1

    Saluran telinga luar, teling tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai

    kompartmen tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh membran timpani

    dan membran tingkap bundar dan tinggkap oval.1,2

    Gambar 5. Perjalanan Penyakit Aerotitis3

    Telinga tengah merupakan suatu rongga tulang dengan hanya satu penghubung ke

    dunia luar, yaitu melalui tuba eustachius. Tuba ini biasanya selalu tertutup dan hanya akan

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    19/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 19

    membuka pada waktu menelan, menguap, dan valsava manuver. Valsava manuver

    dilakukan dengan menutup mulut dan hidung, lalu meniup dengan kuat. Dengan demikian

    tekanan di dalam pharynx akan meningkat sehingga muara dapat terbuka. Ujung tuba di

    bagian telinga tengah akan selalu terbuka, karena terdiri dari massa yang keras/ tulang.

    Sebaliknya ujung tuba di bagian pharynx akan selalu tertutup karena terdiri dari jaringan

    lunak, yaitu mukosa pharynx yang sewaktu-waktu akan terbuka disaat menelan. Perbedaaan

    anatomi antara kedua ujung tuba ini mengakibatkan udara lebih mudah mengalir keluar

    daripada masuk ke dalam cavum timpani. Hal inilah yang menyebabkan kejadian aerotitis

    lebih banyak alami pada saat menurun dari pada saat naik tergantung pada besarnya

    perbedaan tekanan, maka dapat terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membran

    timpani) atau sampai pecahnya membran timpani. 1,2,3,4

    Aerotitis descent dan ascent dapat terjadi pada penyelaman. Ketidakseimbangan

    tekanan terjadi apabila penyelam tidak mampu menyamakan tekanan udara di dalam

    rongga tubuh pada waktu tekanan air bertambah atau berkurang. Aerotitis pada penyelam

    dibagi menjadi 3 jenis, yaitu aerotitis pada telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam,

    tergantung dari bagian telinga yang terkena. Aerotitis ini bisa terjadi secara bersamaan dan

    juga dapat berdiri sendiri.1,2,5,6,7

    Aerotitis telinga luar berhubungan dengan dunia luar, maka pada waktu

    menyelam, air akan masuk ke dalam meatus akustikus eksternus. Bila meatus akustikus

    eksternus tertutup, maka terdapat udara yang terjebak. Pada waktu tekanan bertambah,

    menegcilnya udara tidak mungkin dikompensasi dengan kolapsnya rongga (kanalis akustikus

    eksternus), hal ini berakibat terjadinya decongesti, perdarahan dan tertariknya membran

    timpani ke lateral. Peristiwa ini akan terjadi bila terdapat perbaedaan tekanan air dan

    tekanan udara dalam rongga kanalis akustikus eksternus sebesar >150 mmHg atau lebih,

    yaitu sedalam 1,5 2 meter.5

    Aerotitis telinga tengah akibat adanya penyempitan, inflamasi atau udema pada

    mukosa tuba mempengaruhi kepatenannya dan merupakan penyulit untuk

    meneyeimbangkan telinga tengah terhadap tekanan ambient yang terjadi pada saat ascent

    maupun descent, baik penyelaman maupun penerbangan. Terjadinya barotrauma

    tergantung pada kecepatan penurunan natau kecepatan penurunan atau kecepatan

    peningkatan tekanan ambien yang jauh berbeda dengan kecepatan peningkatan tekanantelinga tengah.

    5

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    20/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 20

    Aerotitis telinga dalam biasanya adalah komplikasi dari barotrauma telinga tengah

    pada waktu menyelam, disebabkan karena melakukan manuver valsava yang dipakasakan.

    Bila terjadi perubahan dalam kavum timpani akibat barotrauma maka membran timpani

    akan mengalami edema dan akan menekan stapes yang terletak pada foramen ovale dan

    membran pada foramen profunda, yang mengakibatkan peningkatan tekanan ditelinga

    dalam yang akan merangsang labirin vestibuler sehingga terjadi deviasi langkah pada

    pemeriksaan Stepping Test. Dapat disimpulkan, gangguan pada telinga tengah dapat

    berpengaruh pada labirin vestibular dan menampakkan ketidak seimbangan laten pada

    tonus otot melalui reflek vestibulospinal.5

    Seperti yang dijelaskan diatas, tekanan yang meningkat perlu di atasi untuk

    menyeimbangkan tekanan, sedangkan tekanan yang menurun biasanya dapat

    diseimbangkan secara pasif. Dengan menurunnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga

    tengah akan mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba eustachius. dengan

    meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah dan dalam tuba eustachius

    menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan penciutan tuba eustachius. jika

    perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan sekitar menjadi terlalu

    besar (sekitar 90 100 mmHg), maka bagian kartilaginosa diri tuba eustachius untuk

    memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-struktur dalam telinga tengah dan

    jaringan di dekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya perbedaan. Terjadinya

    rangkaian kerusakan yang dapat diperkirakan denagan berlanjutnya keadaan vakum relatif

    dalam rongga telinga tengah. Mula- mula membran timpani tertarik kedalam. Retraksi akan

    menyebabkan membran dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga tampak

    gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gendang telinga tengah juga mukosa telinga

    tengah akan berdilatasi daan pecah, menimbulkan hemotimponim kadang-kadang tekanan

    dapat menyebabkan ruptur membran timpani.5

    4.1.4 Manifestasi Klinis

    Keluhan pasien dapat berupa kurang pendengaran, rasa nyeri dalam telinga,

    auofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo.

    Gejala klinis barotrauma telinga:

    1.

    Gejala descent barotrauma:- Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    21/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 21

    - Kadang ada bercak darah di hidung dan nasofaring- Rasa tersumbat dalam telinga / tuli konduktif

    2. Gejala ascent barotrauma :-

    Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga- Vertigo- Tinnitus / tuli ringan- Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi

    Berdasarkan manifestasi klinisnya, kerusakan membran timpani akibat aerotitis

    dapat diklasifikasikan sebagai berikut:5

    Grade 0 : bergejala tanpa tanda kelainanGrade 1 : injeksi membran timpani

    Grade 2 : injeksi, perdarahan ringan pada membran timpani

    Grade 3 : perdarahan berat membran timpani

    Grade 4 : peradangan telinga tengah (membran timpani menonjol dan agak kebiruan

    Grade 5 : perdarahan meatus eksternus + ruptur membrane timpani.

    Gambar 7. Aerotitis pada telinga.

    4.1.5 Diagnosis

    Anamnesis yang teliti sanagat membantu penegakan diagnosis. Jika dari anamnesis

    ada riwayat nyeri telinga atau pusing, yang terjadi setelah penerbangan atau penyelaman,

    adanya barotrauma harus dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan

    telinga, dan juga tes pendengaran dan keseimbangan.7

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    22/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 22

    Diagnosa dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga nampak sedikit menonjol

    keluar atau mengalami retraksi. Pada kondisi yang berat bias terdapat darah dibelakang

    gendang telinga, kadang-kadang gendang telinga mengalami perforasi. Dapat disertai

    gangguan pendengaran konduktif ringan.7

    Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorineural

    adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tidak jarang

    menyebabkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam merupakan masalah yang

    serius dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah kehilangan pendengaran

    yang menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan barotrauma

    harus menjalani uji pendengaran dengan rangkaian penala untuk memastikan bahwa

    pendengaran bersifat konduktif dan bukannya sensoneural. 1,5,7,8

    4.1.6 Tatalaksana

    Untuk mengurangi rasa nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, pertama

    yang perlu dilakukan adalah berusaha membuka tuba eustachius dan mengurangi tekanan

    dengan mengunyah permen karet atau menguap, atau menghirup udara, kemudian

    menghembuskan secara perlahan lahan sambil menutup lubang hidung dengan tangan dan

    menutup mulut.

    Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membran nasalis

    dapat mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan menginflasi tuba

    eustachius dengan preparat politzer, khususnya dilakukan pada anak- anak berusia 3-4

    tahun. Kemudian diberikan dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya selama 1-2

    minggu atau sampai gejala hilang, antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi perforasi

    didalam air yang kotor. Preparat politzer terdiri dari tindakan menelan air dengan bibit

    tertutup sementara ditiupkan udara kedalam salah satu nares dengan kantong politzer atau

    apparatus senturi, nares yang ditutup. Kemudian anak dikejutkan dengan meletusnya balon

    ditelinganya, bila tuba eustachius berhasil inflasi, sejumlah cairan akan terevakuasi dari

    telinga tengah dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada cairan.

    Untuk barotrauma telinga dalam, penanganannya dengan perawatan dirumah

    sakit dan istirahat dengan elevasi kepala 30- 400. Kerusakan telinga dalam merupakan

    masalah yang serius dan memungkinkan adanya tindakan pembedahan untuk mencegahhilangnya pendengaran yang menetap. Suatu insisi dibuat didalam gendang telinga untuk

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    23/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 23

    menyamakan tekanan dan untuk mengeluarkan cairan (miringotomi dan bila perlu

    memasang pipa ventilasi). Walaupun demikian pembedahan biasanya jarang dilakukan.

    4.1.7 Pencegahan

    Usaha preventif terhadap barotruma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah

    permen karet atau melakukan perasat valsava, terutama sewaktu pesawat terbang mulai

    turun untuk mendarat. Khusus pada bayi disarankan agar menunda penerbangan bila

    disertai pilek. Bila memungkinkan maka bayi sesaat sebelum mendarat harus tetap disusui

    atau harus tetap menghisap air botol, agar tuba eustachius tetap terbuka.1

    Nasal dekongestan atau anti histamin bisa digunakan sebelum terpapar perubahan

    tekanan yang besar. Usahakan untuk menghindari perubahan tekanan yang besar selama

    mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas atau serangan alergi.1,5

    4.1.8 Komplikasi

    Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari aerotitis, antara lain tuli konduksi, ruptur atau

    perforasi membrane timpani, dan infeksi telinga akut.2

    4.2 Trauma Telinga Luar

    4.2.1 Laserasi

    Sering mengorek2 telinga dengan jari atau suatu jepit rambut atau klip kertaslaserasi dinding kanalis perdarahan sementara, pasien cemas segera hubungi dokter

    Tidak memerlukan pengobatan tapi hentikan perdarahan Kalau ada laserasi hebat pada aurikula eksplorasi dulu apakah ada kerusakan tulang

    rawan atau tidak. Tulang rawan perlu diperiksa sebelum reparasi plastik pada kulit.

    Kalau ada luka infeksi pada perikondrium beri antibiotik profilaktik

    4.2.2 Frosbite

    Frosbite pada aurikulatimbul cepat pada suhu rendah+angin dingin yangkuat. Terjadi perubahan yang perlahan-lahantidak terasa nyeri sampai

    telinga (tergantung pada dalamnya cedera dan lamanya paparan). Cedera

    dianggap sebagai kerusakan selular dan gangguan mikrovaskular. Yang

    mengarah pada iskemia lokal.

    Terapi:

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    24/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 24

    Pemanasan cepat dengan air hangat bersuhu anatar 100-108 derajat sampaiterlihat tanda-tanda pencairan.

    Beri analgesik Kalau ada infeksi beri antibiotik

    4.2.3 Hematoma

    Sering ditemukan pada pegulat atau petinju. Kalau tidak diobati terbentuknya telinga bunga kol Terapi: insisi dan drainase kumpulan darah dalam kondisi sterilpemasangan

    balut tekan pada konka

    Terapi paling baik dilakukan segera setelah cedera, sebelum terjadi organisasihematoma

    *Para pegulat diingatkan untuk memakai pelindung kepala pada saat berlatih4.3 Trauma Telinga Tengah

    Perforasi membran timpani : karena adanya tekanan mendadak (trauma ledakan) atauadanya benda asing dalam liang telinga

    Gejala : vertigo, sekret berdarah, gangguan pendengaran, paresis N 7

    Perawatan : Perforasi bersih tanpa komplikasi : melindungi telinga dari air dan pemberian

    antibiotik sistemik

    Perforasi terkontaminasi : tetes telinga antibiotik. Jangan menutup perforasisampai infeksi teratasi.

    4.4 Trauma Telinga Dalam

    Pada cedera yang mengakibatkan trauma mekanis terhadap tulang temporal,maka dapat terjadi fraktur pada tulang tersebut, yang biasanya disertai dengan

    gangguan lainnya berupa gangguan kesadaran, hematoma subdural atau

    epidural.

    Fraktur temporal : Fraktur longitudinal : berawal dari foramen magnum dan berjalan ke

    luar menuju ke liang telinga. Telinga biasanya berdarah dan terjadi

    gangguan pendengaran yang konduktif.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    25/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 25

    Fraktur tranversal : sering menyebabkan cedera labirin dan saraffasialis karena garis frakturnya melintasi labirin.

    TatalaksanaUmumnya, pasien dengan paralisis fasialis dapat dikelola secara konservatif dengan

    kortikosteroid sistemik selama 10-4 hari dan simptomatik kecuali bila ada

    kontraindikasi. Gangguan saraf ini dapat kita periksa dengan pemeriksaan saraf hilger.

    Untuk penanganan darurat dapat dilakukan pemeriksaan liang telinga dengan otoskop

    untuk melihat ada atau tidaknya laserasi, perforasi, atau hemotimpani. Tindakan

    operatif tidak harus dilakukan karena dapat sembuh dengan sendirinya walaupun ada

    pasien yang membutuhkan tindakan operatif apabila tidak sembuh dengan sendirinya.

    Pada pasien dengan kecurigaan adanya kebocoral LCS, pasien dapat di tatalaksana

    dengan elevasi kepala, tirah baring, dengan elevasi kepala, obat pelunak feses,

    pencegah bersin dan ketegangan otot lain. Antibiotic profilaksis masih kontroversi

    meskipun pada pasien yang mengalami kebocoran LCS lebih dari 7 hari masih

    dihubungkan dengan insiden dari meningitis. Perbaikan dengan operasi

    direkomendasi apabila kebocoran LCS tidak berhenti hingga 7-10 hari. Dan pada

    beberapa pasien dapat mengalami vertigo yang dapat di tatalaksana dengan

    tatalaksana BPPV termaasuk rehabilitasi standard dan maneuver reposisi.

    5. .TRAUMA HIDUNG

    5.1 Epistaksis

    5.1.1 Definisi

    Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau

    nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 %

    dapat berhenti sendiri(1,3)

    . Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu

    dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis

    secara efektif(3)

    .

    Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi.

    Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.(6)

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    26/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 26

    1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahanpaling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan

    dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana(3,5,6)

    .

    Gambar 8 Epistaksis anterior(6)

    2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan

    anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit

    kardiovaskular(3,5,6).

    Gambar 9. Epistaksis posterior(6)

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    27/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 27

    5.1.2 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

    Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.

    Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung

    yang terbanyak mengeluarkan darah(5)

    .Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung

    menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.

    Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol

    terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin

    merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.

    Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai

    komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan,

    yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna(6).

    Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat

    penghisap(bila ada)dan pinset bayonet, kapas, kain kassa

    (6).

    Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang

    memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi

    dalam hidung.(6)

    Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam

    hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan

    dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah

    hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan

    pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk

    menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat

    berhenti untuk sementara(3,5,7)

    . Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan

    dilakukan evaluasi(7)

    .

    Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik

    memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang

    prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa(5,6)

    :

    a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior keposterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha

    inferior harus diperiksa dengan cermat.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    28/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 28

    Gambar 10 : Rhinoskopi Anterior(7)

    b) Rinoskopi posteriorPemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis

    berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma(7)

    c) Pengukuran tekanan darahTekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi

    dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.(7)

    d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRIRontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

    (4,5)

    e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.(5)

    Gambar 11: Tampilan endoskopi epistaksis posterior(5)

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    29/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 29

    f) Skrining terhadap koagulopatiTes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah

    platelet dan waktu perdarahan.(6)

    g) Riwayat penyakitRiwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari

    epistaksis.(6)

    5.1.3 Penatalaksanaan

    Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang penting

    dicari tahu adalah(1,5,6)

    :

    1. Riwayat perdarahan sebelumnya.2. Lokasi perdarahan.3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan

    (anterior) bila pasien duduk tegak.

    4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga6. Hipertensi7. Diabetes melitus8. Penyakit hati9. Gangguan koagulasi10.Trauma hidung yang belum lama11.Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

    Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan,

    mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan

    umum pasien(6)

    . Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:(3,6,7)

    a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bilapenderita sangat lemah atau keadaaan syok.

    b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan caraduduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama

    beberapa menit (metode Trotter).(7)

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    30/44

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    31/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 31

    Gambar 14. Tampon Bellocque(7)

    a) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balondiletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. (7)

    Gambar 15. Tampon posterior dengan Kateter Foley(7)

    b) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi adayang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.

    (7)

    c) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi denganpemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.

    (7)

    5.1.4 Komplikasi

    Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat

    pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang

    berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan

    septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta

    laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang

    ditarik.

    (1,2,3)

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    32/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 32

    Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun

    mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya

    kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah(6)

    .

    5.1.5 Diagnosis Banding

    Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari

    hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian

    darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.(2,3)

    5.1.6 Pencegahan

    Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain :(3)

    a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedualubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1

    sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat

    kuku.

    b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud

    melebihi 0,50,6cm ke dalam hidung.

    d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.e. Bersin melalui mulut.f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau

    ibuprofen.

    h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi.

    Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun

    mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir.

    j. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.Pemeriksaan hidungdalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati

    septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia

    atau listrik.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    33/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 33

    k. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokaindengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat

    50% pada pembuluh tersebut.

    l. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikanmukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan

    merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan

    lokasi tegangan mukosa.

    m. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harusmenyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis

    kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan

    patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti

    gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari

    epistaksis.

    5.2FRAKTUR FACIALIS

    5.2.1 Fraktur Hidung

    Cedera tulang wajah yang paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Pelu diingat bahwa

    hidung tidak hanya disususn oleh tulang belaka, tetapi juga tulang rawan dan jaringan lunak,dan jaringan-jaringan ini juga dapat rusak pada cidera.1

    Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim :

    i. Defresi atau pergeseran tulang hidungii. Edema hidung

    iii. Epistaksisiv. Fraktur dari kartilago septum disertai pergesaran atau dapat digerakkan

    Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum nasi akibat fraktur,

    bila tidak terdeteksi dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, di mana terjadi resolusi

    kartilago septum dan deforminasi hidung pelana (saddle nose) yang berat.

    Penatalaksanaan hematom septum nasi berupa insisi dan drainase hematom,

    pemasangan drain sementara, pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum

    dan memperkecil resiko pembentukan kembali hematuma, dan dimulai terapi antibiotik untuk

    mengurangi resiko infeksi.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    34/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 34

    Perbaikan fraktur biasanya dapat dilakukan dengan anastesi lokal setelah edema

    mereda. Pengolesan kokain 4% secara topikal dengan kapas, dilanjutkan dengan infiltrasi

    lidokain bisanya cukup memadai. Pada orang dewasa diberikan tidak lebih dari 5 ml kokain 4

    persen, sedangkan pada anak, agaknya kokain lebih baik tidak diberikan. Reduksi fraktur

    hidung pada anak-anak biasanya memerlukan anestesi umum.1

    5.2.2 Fraktur Mandibularis

    Merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah.Tanda dan gejala yang

    mengarahkan pada diagnosa fraktur mandibula berupa:

    Meloklusi geligi Gigi dapat digerakkan Laserasi intra oral Nyeri mengunyah Deformitas tulang

    Perbaikan menerapkan prinsip umum pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap

    maksila dengan gligi yang utuh juga Lengkungan geligi atas dikaitkan dengan lengkungan

    geligi bawah memakai batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang ini

    memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan

    lengkungan geligi atas ke lengkungan bawah.

    Antibiotik harus diberikan sejak saat fraktur hingga mukoperiosteum menyembuh dan

    fraktur stabil (penisilin merupakan obat terpilih).

    5.2.3 Fraktur Zigoma dan Dasar Orbita

    Cedera yang menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus

    zigoma atau tonjolan malar, dasar orbit dapat juga mengalami fraktur pada proses tersebut.

    Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh:

    Deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita Diplopia saat melirik keatas Hipestesia pada pipi Pendataran sisi lateral pipi Ekimosis periorbita

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    35/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 35

    Pergeseran bola mata kebawahPerbaikan fraktur-fraktur ini terkadang dapat dilakukan dengan teknik reduksi

    tertutup, namun lebih sering memerlukan teknik reduksi terbuka, khusus bila fraktur dasar

    orbita jelas mengalami pergeseran. Bila tulang yang fraktur hilang atau terlalu remuk, makasuatu pencangkokan segera dengan tulang panggul, iga atau kalvaria, dapat merupakan

    tindakan yang tepat.

    5.2.4 Fraktur Maksilaris

    Fraktur maksillaris merupakan salah satu salah satu cidera wajah palin berat

    Manifestasi klinis khas berupa:

    Perubahan letak pelatum Deforminasi dan mobilisasi hidung Epistaksis Deforminasi sepertiga tengah muka

    Digunakan klasifikasi Le Fort untuk membantu diagnosis dan penatalaksanaanya:

    Le Fort I : trauma terbatas pada alveolus kiri, kanan, atau bilateral Le Fort II : Trauma piramid os maksilaris, hidung, zigoma, terjadi

    perpisahan bagian tengah muka dengan tulang kranial

    Le Fort III : trauma mengenai tulang maksilaris, hidung, zigoma, orbita.Terjadi perpisahan seluruh tulang muka dengan basis kranii

    Pada trauma ditemukan edema, hematoma, laserasi, luka robek, epsitaksis, perdarahan

    dari mulut, telinga, deformitas, paresis nervus facialis, muka atau pipi lebih mendatar, serta

    maloklusi. Pada perabaan ditemukan nyeri, krepitasi diskontinuitas, pergeseran struktur

    tulang dan krangka tulang yang mudah digerakkan.

    Penatalaksanaan, mula-mula perhatikan kesadaran pasien secara teliti dan

    dipertahankan sampai stabil. Semua laserasi jaringan lunak dieksplorasi apakah ada fraktur

    atau kelanjutan trauma ke organ lain. Benda asing dikeluarkan dan dilakukan debridemen.

    Tulang yang fraktur direposisi dan difiksasi. 2

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    36/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 36

    6. TRAUMA TENGGOROKAN

    6.1 Trauma Laring

    Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau sayat, luka tusuk atau luka tembak.

    Balanger membagi penyebab trauma laring atas :

    1. Trauma mekanikeksternal(trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau krikotiroromi)

    interna (akibat tidakan endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa

    nasogaster).

    2. Trauma akibat luka bakarpanas (gas atau cairan yang panas)

    kimia (cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.

    3. Trauma akibat radiasi pemberian radioterapi tumor ganas leher.4. Trauma otogen pemakaian suara yang berlebihan (vokal abuse) berteriak,

    menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

    6.1.1Gejala Klinik

    Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.

    Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul mendadak

    sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara serak (disfoni) atau

    suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat trauma seperti edema,

    hematoma, laserasi, atau parese pita suara.

    Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur

    tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke

    jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan

    abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.

    Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak

    dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk, luka sayat,

    luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga dapat timbul akibat

    trauma laring.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    37/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 37

    6.1.2Patofisiologis

    Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan

    plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain

    itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema

    subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel.

    Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.

    Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan

    perikondritis.

    Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder,

    dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis.

    Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang

    timbul, dalam 3 golongan :

    1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisemasubmukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.

    2. Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries).3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

    Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer

    laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.

    6.1.3 Trauma Inhalasi

    Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung

    mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah. Daerah yang

    terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis

    pada daerah yang terkena.

    6.1.4Trauma Intubasi

    Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau

    pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma

    sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun

    menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini

    terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma

    intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan

    fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata,

    dan

    ruptur bronkial. Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    38/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 38

    masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-

    kira 0.1 % pasien.

    Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi

    yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi

    tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma ini, namun trauma

    intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi.

    Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau

    trauma intubasi (tabel 1).

    Faktor resiko yang pasti Faktor resiko yang masih

    mungkin

    Dugaan, belum terbukti

    sebagai faktor resiko

    Wanita

    Usia > 50 tahun

    Tube dengan lumen ganda

    Pengembangan balon /

    cuff berlebihan

    Penggunaan kortikosteroid

    Trakeomalacia

    Posisi yang salah dari tube

    Kondisi medis yang buruk

    Kesalahan penggunaan

    mandrain

    Batuk yang terlalu keras

    dan berlebihan

    Trakeostomi perkutan

    Perawakan pendek

    Obesitas.

    Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi

    6.1.5Trauma Tumpul

    Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh

    hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada

    dada.Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian membentur kemudi,

    handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan

    kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan

    darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.

    Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung

    pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun laring.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    39/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 39

    Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur

    trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan intraluminer yang mendadak tinggi

    pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars

    membranosa).Mekanisme lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan

    kartilago trakea yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi

    yang terjadi cenderung sesuai level dari trumanya.

    Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya

    jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat cukup keras.

    Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak mas ih sangat elastis

    dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom)

    yang terjadi pada anak-anak dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding

    pada dewasa, hal ini disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan

    jaringan submukosa dengan perikondrium.

    Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada

    trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan

    intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran

    trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak.

    Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat

    tarikan paru yang mendadak.

    Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti dikatakan

    oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang besar karena

    energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya dengan trauma tumpul.

    Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat

    merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang

    menerima energi lebih kecil. Selain itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah

    saja.

    Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi

    empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang cepat,

    peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang tertutup dan

    trauma benturan langsung.

    6.1.6 Trauma Tajam

    Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang

    paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah

    belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    40/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 40

    semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru

    dibanding trauma tusuk.Crowded urban menurut beberapa penulis memang merupakan

    penyumbang terbanyak pada trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis

    menyimpulkan bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin

    meningkat terutama karena kejahatan.

    Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea

    merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang

    mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga

    bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran

    nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu

    sendiri.

    6.1.7 Penyebab Lain

    Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan

    gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas, pernah

    dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat :

    Iatrogenik injuries(mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation),

    pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury.

    6.1.8 Patologi pada saluran nafas atas

    Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis.

    Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan

    menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa akan

    lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak (emfisema) akan

    menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas supraglotis.

    Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam setelah

    trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi setelah 6 jam pasca

    trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera yang terjadi pada saluran napas

    seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur, konsistensi kartilago laringotrakea dan

    jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat berupa kontusio laringotrakea, edema,

    hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi kartilago tiroid, krikoid serta trakea.

    6.1.9 Diagnosis

    Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya

    oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring

    meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena terjadinya asfiksia. Diagnosis luka

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    41/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 41

    terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah

    luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea.

    Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.

    Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera dilakukan

    eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja. Kebanyakan pasien

    trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya

    dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak nafas.

    Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya

    dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu mungkin terdapat

    suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan

    dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring, sehingga menyebabkan gejala sumbatan

    jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia,

    odinofagia serta emfisema yang ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.

    6.1.10 Penatalaksaan

    Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.

    Luka terbukaPenatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran

    nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah

    trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi

    aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat

    pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk

    mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus.

    Luka tertutup (closed injury)Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan

    penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu kesukaran

    dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1

    minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan

    hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.

    Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau

    konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung,

    foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan. Pada umumnya pengobatan konservatif

    dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    42/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 42

    mukosa laring yang edem, hematoma, atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan

    laring.

    Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah :

    1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.2. Emfisema subkutis yang progresif.3. Laserasi mukosa yang luas.4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.5. Paralisis bilateral pita suara.

    Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya

    ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau

    dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan

    gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat

    digunakan stent atau mold dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4

    atau 6 minggu.

    6.1.11 Komplikasi

    Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita

    suara, dan stenosis laring.

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    43/44

    Trauma Pada THT 2013

    Page 43

    BAB III

    KESIMPULAN

    Trauma dibidang THT dapat di bagi menjadi :

    1. Trauma telinga dalam dan tengah barotrauma dan trauma suara2. Trauma luarortrhotrauma dan laserasi liang telinga3. Trauma hidung epitkasis karena trauma dan fraktur fasialis4.

    Trauma tenggorokan

    trauma laring

  • 8/13/2019 Trauma Tht Kasus Dr Satria

    44/44

    Trauma Pada THT 2013

    BAB IV

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Adams G.L & Boeis L.R. BOEIS : Buku Ajar Penyakit THT. EGC. Jakarta : 1997.

    Hal.90-92.

    2. Fung k. Available at http://www.MedlinePlus.com. Ear Barotrauma. Accessed on

    May,21th 2008.

    3. Marthur N. Innear Ear, Noise-Induced Hearing Loss. Dalam: Femdes S, Talavera F.

    http://www.emedicine.comlotolaryngologyandfacialplasticsurgery/innearear.htm. Ma

    y 2, 2007.

    4. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Leher dan Kepala.

    Edisi6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2008.

    5. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-NeckSurgery.

    Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8

    6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Aerotitis. In

    advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

    7. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas

    Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000.8. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6

    9. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,

    Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9

    10. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited2012 Dec 7] Available from:http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784

    http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784