Trauma Jaringan Lunak Rongga Mulut

36
BAB I PENDAHULUAN Step 1 1. Mesio Versi 2. Bruxism 3. Linea Alba 4. Abrasi 5. Odema 6. Ulser Jawaban 1. Mesio Versi adalah indikasi penyimpangan dari posisi normal (malposisi) per individual dimana posisi gigi geligi lebih ke mesial dari posisi normal. 2. Bruxism adalah suatu kondisi dimana menggrinding gigi atau menggiling gigi dengan menggeser gigi bolak-balik satu sama lain, menggertakkan (berkontak rapat antara gigi atas dan bawah). Bruxism ini merupakan kebiasan buruk dari individu yang terjadi tanpa sengaja atau tidak disadari. Bisa terjadi pada siang hari tapi umumnya muncul pada malam hari disaat sedang tidur. 3. Linea Alba adalah suatu perubahan yang sering terjadi pada mukosa bukal yang berhubungan dengan 1

description

Trauma Jaringan Lunak Rongga Mulut

Transcript of Trauma Jaringan Lunak Rongga Mulut

BAB I

PENDAHULUAN

Step 1

1. Mesio Versi

2. Bruxism

3. Linea Alba

4. Abrasi 

5. Odema

6. Ulser

Jawaban

1. Mesio Versi adalah indikasi penyimpangan dari posisi normal (malposisi)

per individual dimana posisi gigi geligi lebih ke mesial dari posisi normal.

2. Bruxism adalah suatu kondisi dimana menggrinding gigi atau menggiling

gigi dengan menggeser gigi bolak-balik satu sama lain, menggertakkan

(berkontak rapat  antara gigi atas dan bawah). Bruxism ini merupakan

kebiasan buruk dari individu yang terjadi tanpa sengaja atau tidak disadari.

Bisa terjadi pada siang hari tapi umumnya muncul pada malam hari disaat

sedang tidur.

3. Linea Alba adalah suatu perubahan yang sering terjadi pada mukosa bukal

yang berhubungan dengan adanya penekanan, iritasi friksional akibat

gesekan, atau trauma pada bagian muka gigi karena kebiasaan menghisap

(sucking trauma). Sesuai dengan namanya, perubahan yang terjadi terdiri

atas garis putih yang (biasanya) bilateral. Linea alba terletak pada mukosa

bukal setinggi dengan bidang oklusi gigi yang di dekatnya. Garis yang

terbentuk lebih terlihat jelas pada mukosa bukal yang berbatasan dengan

gigi posterior.

4. Abrasi adalah hilangnya jaringan gigi ataupun tambalan yang bersifat

patologis karena pemakaian, oleh faktor diluar kontak gigi. Ausnya

jaringan gigi ini akibat proses mekanik, misalnya karena pemakaian pasta

1

gigi yan abrasif atau sikat gigi yang keras. Abrasi gigi biasanya mengenai

bagian serviks gigi sebelah bukal, gigi anterior maupun posterior.

5. Odema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terkumpulnya cairan

berlebihan yang terperangkap pada jaringan tubuh. Cairan yang berlebihan

ini disebabkan oleh meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan

ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan penimbunan

cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat

longgar dan rongga-rongga badan). Oedema dapat bersifat setempat (lokal)

dan umum (general).

6. Ulser adalah salah satu lesi jaringan lunak yang paling sering ditemukan di

praktek kedokteran gigi. Ulser merupakan suatu luka terbuka dari kulit

atau jaringan mukosa yang memperlihatkan disintegrasi dan nekrosis

jaringan yang sedikit demi sedikit.

Step 2 (Rumusan Masalah)

1. Bagaimana etiologi iritasi dan trauma pada jaringan lunak rongga mulut?

2. Bagaimana respon tubuh terhadap trauma dan iritasi pada jaringan lunak

rongga mulut?

3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam lesi pada trauma jaringan lunak

rongga mulut?

Step 3 Jawaban Rumusan Masalah

STEP 3

1. Ada banyak penyebab dari iritasi dan trauma jaringan lunak rongga mulut,

yang meliputi:

Individu yang memiliki kebiasaan buruk seperti menggigit-gigit

mukosa pipi secara tidak sengaja atau tidak sadar.

2

Iritasi mekanik dari bulu sikat gigi, dimana bulu sikat tersebut

memiliki bulu yang kasar dan tidak halus.

Gesekan dari makanan ataupun benda yang masuk ke dalam mulut.

Berkelahi, saat individu mendapatkan benturan yang hebat dan gigi

yang memiliki permukaan yang tajam seperti adanya restorasi,

karies klas IV maupun V yang kontak dengan mukosa dan

menyebabkan mukosa terluka.

Makanan yang memiliki tekstur keras dan tajam. Serta minuman

yang terlalu panas.

Stress.

Gigi yang terletak di luar lengkung rahang yang normal sehingga

jaringan lunak selalu tergesek dan tergigit pada saat mengunyah.

Kekurangan nutrisi, seperti vitamin B12.

Penggunaan gigi tiruan.

Paparan radiasi.

2. –

3. –

3

Step 4 (Mapping)

Step 5 (Learning Objective)

-

4

TRAUMA

FISIK ELEKTRIK

KIMIA RADIASITERMAL

PENYAKIT TRAUMA

JARINGAN LUNAK RONGGA

MULUT

PATOGENESIS

GEJALA KLINIS

BAB II

PEMBAHASAN

TRAUMA PADA JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT

Etiologi

1. Trauma Fisik atau Mekanik

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak di

rongga mulut, salah satunya adalah trauma fisik atau mekanik. Dimana pada

trauma fisik ataupun mekanik terbagi dalam beberapa sebab-sebab lainnya,

yaitu:

Trauma gigitan

Banyak orang menderita luka di dalam mulutnya. Hal tersebut biasanya

dilakukan secara tidak disengaja seperti tergigit pada saat makan pada

bibir ataupun jaringan lunak yang ada di dalam rongga mulut. Luka gigit

pada bibir atau lidah tersebut akibat susunan gigi yang tidak teratur. Sering

kali, hal ini dapat menjadi sebuah kebiasaan yang tidak disadari atau dapat

terjadi selama tidur. Luka jaringan lunak rongga mulut juga bisa

disebabkan karena tertusuk alat ortodonsi atau tepi plat gigi tiruan yang

dipasang secara tidak tepat sehingga dapat menimbulkan ulser.

Trauma sikat gigi

Sikat gigi ternyata adalah salah satu sebab dari trauma jaringan lunak

rongga mulut. Cara penggunaan dari sikat gigi yang berlebihan dan cara

menyikat gigi yang salah dapat merusak gigi serta melukai jaringan lunak

yang ada di dalam rongga mulut.

Trauma makanan

Banyak jenis makanan yang kita makan dapat menggores ataupun melukai

jaringan lunak dalam rongga mulut dan menyebabkan terjadinya ulser.

Contohnya adalah keripik singkong yang mempunyai tekstur yang keras

dan tajam sehingga saat dimakan dapat melukai jaringan lunak rongga

mulut, selain itu kue kering yang keras, apel dan setelah mengunya

5

permen keras juga dapat melukai jaringan lunak rongga mulut sehingga

menimbulkan ulser.

2. Trauma Termal (Panas)

Trauma termal atau luka bakar pada rongga mulut sebagian besar

disebabkan oleh makanan atau minuman yang panas. Penggunaan microwave

meningkatkan angka kejadian luka bakar panas karena dapat membuat

makanan yang dingin di bagian luarnya tetapi sangat panas di bagian

dalamnya. Pada awal terjadinya trauma termal akan terasa nyeri yang

selanjutnya muncul area yang tidak nyeri, hangus, dan kekuningan yang

disertai dengan sedikit atau bahkan tidak berdarah. Selanjutnya, area tersebut

akan mengalami nekrosis, karena banyak sel yang mati akibat panas, dan

mulai mengelupas bahkan bisa mengeluarkan darah. Luka yang melibatkan

makanan yang panas biasanya timbul pada palatum atau mukosa lidah bagian

posterior berupa area eritema dan ulserasi yang dapat menyisakan epithelium

yang nekrosis pada daerah perifer. Selain itu, injuri thermal juga dapat terjadi

secara iatrogenik, yaitu overheat instrument yang mengenai mukosa. Efek

lebih parah terjadi pada mukosa yang dianestesi, karena pasien tidak dapat

merasakan sakit pada mukosa yang  berkontak dengan instrumen tersebut.

Lesi luka bakar

3. Trauma kimiawi

6

Trauma kimiawi di dalam rongga mulut biasanya akibat bahan-bahan

kedokteran gigi yang digunakan dalam praktek, misalnya aspirin, hidrogen

peroksida, silver nitrat, fenol, larutan anestesi, dan bahan perawatan saluran

akar. Trauma kimiawi dapat disebabkan karena pemakaian obat-obatan yang

bersifat kaustik, seperti obat kumur yang tinggi kandungan alcohol, hydrogen

peroksida, atau fenol, dan penggunaan obat aspirin baik tablet maupun topikal

pada mukosa sebagai obat sakit gigi.

Lesi biasanya terletak pada forniks atau lipatan mukobukal dan gingiva.

Area yang terluka berbentuk ireguler, berwarna putih, dilapisi

pseudomembran, dan sangat sakit. Area yang terlibat sangat mungkin meluas.

Jika kontak dengan agen kimia terjadi cukup singkat, maka lesi yang terbentuk

berupa kerut-kerut berwarna putih tanpa nekrosis jaringan. Kontak dalam

waktu lama (biasanya dengan aspirin, sodium hipoklorid, dan fenol) dapat

menyebabkan kerusakan yang lebih berat dan pengelupasan jaringan yang

nekrosis. Mukosa non-keratinisasi yang tidak cekat lebih sering mengalami

luka bakar dibandingkan mukosa cekat (Greenberg dan Glick, 2003).

Aspirin

Acetylsalicylic acid (aspirin) merupakan agen yang biasa

menyebabkan trauma kimiawi dalam rongga mulut. Jaringan rongga mulut

rusak ketika aspirin diisap pada area lipatan mukobukal dalam jangka

waktu yang cukup lama untuk melegakan nyeri gigi.

  Silver Nitrat

Silver nitrat biasa digunakan oleh dokter gigi sebagai agen

kauterisasi untuk merawat kasus stomatitis aptosa. Bahan ini mampu

meredakan gejala secara instan dengan membakar akhiran saraf pada

ulkus. Namun, silver nitrat sering merusak jaringan di sekitarnya dan

menghambat penyembuhan atau bahkan dapat menyebabkan nekrosis di

lokasi aplikasinya (jarang terjadi). Oleh sebab itu, penggunaan silver nitrat

sebaiknya dikurangi.

Sodium Hipoklorid

7

Sodium hipoklorid atau bahan pemutihan gigi, sering digunakan

untuk irigasi saluran akar dan dapat menyebabkan ulkus yang cukup parah

akibat kontak dengan jaringan lunak di dalam rongga mulut.

   Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida sering digunakan sebagai bahan irigasi

intraoral untuk pencegahan penyakit periodontal. Pada konsentrasi ≥3%,

hidrogen peroksida dapat menyebabkan jaringan nekrosis.

   Pasta Gigi dan Obat Kumur

Beberapa kasus ulserasi dan luka jaringan di dalam mulut telah dilaporkan

disebabkan karena salah penggunaan obat kumur dan pasta gigi komersial.

Reaksi hipersensitivitas, ulserasi, dan pengelupasan epitel yang tidak biasa

terjadi pernah dilaporkan terjadi pada penggunaan pasta gigi yang

mengandung kayu manis (cinnamons). Bahan yang menyebabkan reaksi

hipersensitivitas diduga adalah kandungan aldehid. Reaksi ini tampak mirip

dengan reaksi yang disebabkan oleh bahan kimia lain seperti aspirin dan

hidrogen peroksida. Selain itu, ditemukan pula kasus luka bakar di bibir,

mulut, dan lidah pada pasien yang menggunakan obat kumur yang

mengandung alkohol dan klorheksidin (Greenberg dan Glick, 2003).

  Smoker’s Melanosis

Individu yang merokok mungkin akan timbul area hiperpigmentasi

melanin pada mukosanya tergantung pada jumlah batang rokok sehari-hari.

Smoker’s melanosis paling sering ditemukan di area gingiva anterior pada

maksila maupun mandibula. Pigmentasi bervariasi dari warna coklat terang

hingga gelap dan tampak difus. Perawatan yang dilakukan adalah biopsi,

terutama pada area palatum. Smoker’s melanosis akan menghilang sedikit

demi sedikit selama 3 tahun setelah berhenti merokok (Neville dkk., 2009).

Rokok dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada melanin di mukosa

rongga mulut. Jika dikonsumsi secara terus-menerus, maka derajat

pigmentasinya pun semakin meningkat. Pigmentasi bervariasi dari warna

8

coklat terang hingga gelap dan tampak difus. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya trauma kimia dan bisa menyebabkan munculnya lesi.

Anesthetic Necrosis

Kasus yang jarang terjadi, nekrosis fokal jaringan dapat timbul

pada lokasi injeksi anestesi lokal. Predileksi terjadinya lesi pada palatum

durum, yang jaringan mukosanya berikatan cekat dengan tulang di

bawahnya. Biasanya lesi ini timbul sebagai lesi ulser yang bertepi reguler

yang timbul beberapa hari setelah injeksi. Ulser terjadi akibat nekrosis

iskemia yang kemungkinan disebabkan karena trauma langsung dari

larutan anestesi, vasokonstriksi epinefrin, atau keduanya. Penyembuhan

ulser memerlukan waktu beberapa minggu dan terkadang dapat menjadi

kronis. Stimulus lokal, misalnya usapan sitologi, cukup untuk merangsang

penyembuhan ulser (Neville dkk., 2009).

Trauma Radiasi

Ulser intraoral juga biasanya muncul selama proses terapi radiasi

untuk kanker di area kepala dan leher. Keganasan (paling sering karsinoma

sel skuamosa) memerlukan dosis radiasi yang besar (60-70 Gy). Ulser

selalu muncul pada daerah yang tersorot sinar radiasi secara langsung.

Untuk keganasan seperti lymphoma dengan dosis radiasi lebih rendah (40-

50 Gy) bersifat tumorisidal, ulser yang muncul serupa namun tidak

separah terapi dengan dosis radiasi 60-70 Gy dan durasinya lebih pendek.

Ulser akibat radiasi akan bertahan selama proses terapi radiasi. Apabila

daerah ulserasi dijaga kebersihannya, spontan healing akan muncul tanpa

scar. Sama seperti terapi radiasi, ulser juga akan muncul selama proses

kemoterapi, dengan etiologi utama efek samping dari terapi yang

mereduksi regenerasi sel basal, sehingga mengakibatkan atrofi mukosa dan

ulserasi. Pada kemoterapi, mukosa yang terkena adalah mukosa

nonkeratinisasi, seperti mukosa bukal, ventrolateral lidah, palatum mole,

dan dasar mulut. Lesi awal berwarna keputihan dengan sedikit deskuamasi

pada keratin, yang kemudian menimbulkan atrofi pada mukosa dengan

9

gambaran edematous dan eritematous. Selanjutnya ulkus akan ditutupi

oleh membran fibrinopurulen. Ulkus terasa nyeri dengan sensasi rasa

terbakar, serta tidak nyaman Manifestasi oral akibat terapi

radiasi adalah oral mucositis yang timbul pada minggu kedua setelah

terapi, dan akan sembuh perlahan 2-3 minggu setelah terapi dihentikan.

RESPON TUBUH PADA TRAUMA JARINGAN LUNAK RONGGA

MULUT

Inflamasi merupakan suatu reaksi setempat dari jaringan hidup ata

sel terhadap suatu rangsang atau injury (cidera atau jejas). Proses ini

diawali dengan kerusakan jaringan yang menyebabkan patogen melewati

pertahanan tubuh untuk menginfeksi sel-sel tubuh. Jaringan yang terinfeksi

tersebut akan melepaskan histamin dan prostaglandin. Sel yang

melepaskan histamin adalah mastosit yang berkembang dari basofil.

Histamin yang dilepaskan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan

peningkatan kecepatan aliran darah sehingga permeabilitas pembuluh

darah meningkat menyebabkan neutrofil, monosit dan eusinifil berpindah

dari pembuluh darah ke jaringan yang terinfeksi. Akibatnya, daerah yang

terinfeksi akan berwarna kemerahan, panas, bengkak, dan terasa nyeri.

Secara mikroskopis, pembulluh darah mengalami konstriksi

sementara yang mungkin disebabkan oleh reflek neurogenik setempat yang

bisa berkembang tetapi hanya bertahan beberapa menit dan dengan cepat

diikuti oleh dilatasi arteriol. Dilatasi arteriol yang berkepanjangan

menyebabkan kenaikan aliran darah setempat (hiperemia) dan dilatasi

kapiler. Kenaikan permeabilitas kapiler disebabkan oleh dua faktor utama

yaitu :

a. Dilatasi arteriol menaikkan tekanan hidrostatik kapiler,

menyebabkan aliran air lebih besar larut ke dalam cairan intestisial.

b. Permeabilitas endotelial venular dan kapiler ditingkatkan,

sehingga memungkinkan molekul lebih besar khususnya albumin

memasuki jaringan intestisial.

10

Kemudian terjadi perlambatan aliran darah kapiler dan

hemokonsentrasi intravaskuler diikuti hilangnya aliran darah normal.

Secara normal, sel-sel darah mengalir ditengah kapiler dengan plasma

yang relatif bebas sel menyentuh endotel. Sedangkan sel yang abnnormal

akan mengalami penepian leukosit yaitu ke tepi endotel. Pengumpulan sel-

sel merah ke tengah akan membentuk rouleaux. Terjadi perlekatan leukosit

pada sel endotel kapiler,diikuti dengan perpindahan aktif oleh gesekan

amuboid ke dalam jaringan perivaskuler melalui celah-celah diantara sel

endotel. Setelah berada di luar, leukosit berpindah dengan cara kemotaksis,

dimana sel tersebut ditarik menuju substansi kimia yang konsentrasinya

lebih tinggi. Pergerakan aktif ini menyebabkan akumulasi sejumlah

leukosit. Akumulasi ini mudah dilihat dan dikenal secara mikroskopik

untuk diagnosa histopatologi radang akut.Fagositosis merupakan fungsi

utama leukosit yaitu penelanan, pencernaan dan pembuangan benda-benda

asing khususnya bakteri dan sel-sel yang rusak. Setelah terjadinya

perubahan permeabilitas pembuluh darah dan akumulasi leukosit,

dilanjutkan dengan proses fagositosis. Proses ini memicu sekresi fagosit

dengan memicu endogen pirogen yang melepas prostagladin dan

merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu. Hal tersebut

mengakibatkan adanya demam pada inflamasi. Pembengkakan lokal

terjadi karena tekanan osmotik koloid sehingga terjadi peningkatan

tekanan darah kapiler.

Perbaikan jaringan dilakukan untuk mengganti sel yang hilang atau

sel yang mati dengan sel yang hidup. Sel-sel baru ini dapat berasal dari

parenkim atau stroma jaringan ikat terjejas. Karena kemampuan regenerasi

manusia yang terbatas sehingga hanya pada beberapa jenis sel yang

mampu melakukan regenerasi dan hanya pada keadaan tertentu saja.

Pemulihan sel yang mati biasanya melibatkan poliferasi jaringan ikat

disertai pembentukan jaringan parut.

Pembentukan fibroblas dapat meningkatkan sintesis kolagen.

Sintesis kolagen yang meningkat mengakibatkan adanya penimbunan

11

kolagen meningkat dan terjadi keloid. Keloid ini tidak bisa hilang dengan

sendirinya, sehingga perlu dilakukan pengambilan cairan dalam keloid

tersebut. Berbeda dengan jaringan parut, jaringan ini berasal dari

pembengkakan permeabilitas pembuluh darah yang kemudian terbentuk

fibrin yang menutup luka dan terjadi kalsifikasi sehingga menjadi jaringan

parut dan bisa hilang.

LESI TRAUMA JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT

1. Luka Bakar Akibat Aspirin (Aspirin Burn)

Aspirin burn ini disebabkan oleh trauma kimia, dimana berbagai

bahan kimia atau obat terutama aspirin yang diletakkan di sulkus untuk

mencoba meredakan sakit gigi. Aspirin burn ini diakibatkan oleh

pengelupasan mukosa karena koagulasi protein dalam sel epitel

superficial. Adapaun gambaran klinis dari aspirin burn ini adalah lesi putih

dengan lapisan mukosa yang terlokalisir, biasanya di sulkus bukal dan di

dekat mukosa bukal atau seringkali di sepanjang gigi yang mengalami

karies.

Gambar 1. Lesi yang disebabkan oleh Aspirin Burn

2. LEUKOPLAKIA

12

Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di

mukosa rongga mulut. Leukoplakia adalah sebuah kondisi dimana

munculnya penebalan, berwarna putih di gusi, di pipi bagian dalam, dan

terkadang di lidah. Bentuk bercak putih yang tebal ini tidak bisa dibuang

dengan guratan.

Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui

tembakau atau faktor mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang

tidak baik, alkohol dan infeksi Candida Y3 terkena iritan terus-

menerus (penggemar pizza panas) dan Human Papiloma Virus sero tipe

16.

ETIOLOGI

Etiologi dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui

dengan pasti, tetapi predisposisi terdiri dari berbagai faktor yaitu faktor

lokal, faktor sistemik dan malnutrisi vitamin. Faktor lokal yang

diduga sebagai predisposisi terjadinya leukoplakia diantaranya adalah

trauma yang menyebabkan iritasi kronis misal trauma akibat gigitan

tepi atau akar gigi yang tajam, iritasi dari gigi yang malposisi,

kebiasaan jelek menggigit-gigit jaringan mulut, pipi, maupun lidah.

Faktor lokal yang lain adalah kemikal atau termal, misalnya pada

penggunaan bahan-bahan yang kaustik mungkin diikuti oleh terjadinya

leukoplakia dan perubahan keganasan.

Kemungkinan lain adalah adanya penyakit sistemik, misalnya

sipilis. Pada penderita dengan penyakit sipilis pada umumnya ditemukan

adanya “syphilis glositis”. Candidiasis yang kronik dapat menyebabkan

terjadinya leukoplakia.

Selain faktor-faktor predisposisi yang dikemukakan, ada beberapa

faktor yang menjadi penyebab terjadinya leukoplakia antara lain

tembakau, alkohol dan bakteri. Dalam proses terjadinya iritasi pada

jaringan mukosa mulut oleh tembakau tidak hanya disebabkan oleh asap

rokok dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga

13

disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau yang ikut

terkunyah.

Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor

yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol

dapat menimbulkan iritasi pada mukosa. Leukoplakia juga dapat terjadi

karena adanya infeksi bakteri, penyakit periodontal yang disertai higiene

mulut yang jelek.

GAMBARAN KLINIS

Penderita leukoplakia tidak mengeluhkan rasa nyeri, tetapi lesi

pada mulut tersebut sensitif terhadap rangsangan sentuh, makanan panas

dan makanan yang pedas.

Dari pemeriksaan klinis, ternyata oral leukoplakia mempunyai

bermacam-macam bentuk. Secara klinis lesi ini sukar dibedakan dan

dikenal pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang

serupa serta tanda-tanda yang hampir sama. Lesi ini sering ditemukan pada

daerah alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah

dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular alveolar

ridge.

Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir,

barbatas jelas, dan permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi

akan terasa keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol.

Kadang-kadang lesi ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau

kekuningan. Pada perokok berat, warna jaringan yang terkena berwarna

putih kecoklatan. Ketiga gambaran tersebut di atas lebih dikenal dengan

esbutan “speckled leukoplakia”.

Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu homogenous

leukoplakia, erosif leukoplakia, speckled atau verocuos leukoplakia.

Homogenous leukoplakia merupakan bercak putih yang kadang-kadang

berwarna kebiruan, permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada

tahap ini, tidak dijumpai adanya indurasi.

Gambar 2: homogenous leukoplakia

14

Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan

pada umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan

lesi mulai terasa kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosive.

Speckled atau verocuos leukoplakia merupakan stadium

leukoplakia dimana permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna

putih, tetapi tidak mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan

permukaan menjadi kasar dan berlekuk-lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap

berubah menjadi ganas. Karena biasanya dalam waktu yang relatif singkat

akan berubah menjadi tumor ganas seperti squamus sel karsinoma,

terutama bila lesi ini terdapat di lidah dan dasar mulut.

GGambar : leukoplakia pada lidah.

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS

Pemeriksaan histopatologis, akan tampak adanya perubahan

keratinisasi sel epitelium, terutama pada bagian superfisial.Secara

mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu

hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis, diskeratosis atau displasia,

carcinoma in situ.

Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu

peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum,

dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya

15

sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan

menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta

memudahkan terjadinya iritasi.

Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat

timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan

normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut.

Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat

penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai

parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin,

parakeratin, dan hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu

dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih

teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana

lapisan granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan

hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus

yang parah.

Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal

dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat

menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan

penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya

penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada

tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu

penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedang

penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis

kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan

hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak

tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis

suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas

antara displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat

menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma

in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia

16

epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi

sel-sel secara individu; adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan

spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma;

hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya

pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia

dan “giant nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma;

serta adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma

in situ.

Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan

granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat.

Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam

pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya,

antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang

jelas.

3. DENTURE STOMATITIS

Denture stomatitis atau denture sore mouth sering terjadi pada

pasien yang menggunakan gigi tiruan dalam jangka waktu lama. Lesi ini

biasanya ditemukan pada palatum. Gambaran klinis berupa mukosa yang

tertutup plat gigi tiruan edema berwarna merah dengan titik-titik putih

yang merupakan akumulasi Candida albicans atau sisa makanan. Beberapa

kasus tidak menimbulkan gejala pada pasien, namun ada beberapa yang

mengeluhkan sensasi rasa terbakar dan nyeri. Penyebab yang biasa terjadi

karena iritasi gigi tiruan, sisa-sisa makanan yang menumpuk di bawah

permukaan plat gigi tiruan dan infeksi Candida albicans. Perawatan yang

perlu dilakukan adalah memperbaiki gigi tiruan dan menjaga kebersihan

mulut dengan baik.

17

Gambar ; Denture Stomatitis (Pocket Atlas of Oral Disease , 2nd revised

and enlarged edition)

4. TOOTHBRUSH INJURY

Trauma dari sikat gigi disebabkan iritasi mekanis dari bulu sikat

gigi pada margin gingival dan gingival cekat. Lokasi lesi ini dapat

ditemukan pada seluruh permukaan gingival, namun yang paling sering

terjadi pada gingival rahang atas di antara gigi kaninus dan premolar

(karena pada lokasi ini biasanya menggunakan tekanan maksimal selama

menyikat gigi). Penampakan klinis lesi berupa erosi tunggal dengan area

eritematous, berwarna putih atau merah, dan beberapa menyebabkan rasa

sakit. Lesi ini tidak memerlukan perawatan, namun mengurangi factor

local dengan memperbaiki cara menyikat gigi.

5. ULKUS KEMOTERAPEUTIK

Termasuk jesnis lesi ulseratif. Pasien yang menerima obat=obatan

imunosupresan untuk berbagai penyakit serius, termasuk transplantasi

organ, kondisi autoimun, atau neoplasma, dapat mengalami ulserasi oral

dan stomatitis. Efek samping dari obat kemoterapeutik dapat langsung atau

tidak langsung berbahasya untuk mukosa mulut. Antimetabolit seperti

methotrexate bisa menghambat pembelahan sel-sel yang cepat, termasuk

18

epitel mulut, sedangkan alkaloid seperti cyclophosphamide mengakibatkan

leukopenia dan pembentukan ulkus sekunder.

Ulkus kemoterapeutik , suatu tanda awal dari keracunan obat,

timbul selama minggu kedua dari terapi dan biasanya menetap selama 2

minggu. Ulkus-ulkus ini dapat terjadi pada setiap daerah mukosa mulut.

Terjadi paling sering pada bibir, mukosa pipi, lidah, dasar mulut dan

palatum. Pada awalnya daerah tersebut memerah dan rasa terbakar. Epitel

permukaan hilang dan terbentuknya ulkus yang biasanya besar, dalam,

nekrotik, dan sakit. Tepi-tepi ulkus tidak teratur dan seringkali tidak ada

tepi radang merah yang khas, karena kurangnya respon radang oleh pasien.

Jika sakitnya menjadi parah dan nutrisi serta cairan tidak cukup maka

dosis obat harus dikurangi.

Kultur sangat dianjurkan untuk semua lesi karena

kecenderungannya untuk terinfeksi organisme gram negatid dan jamur,

karena kemiripannya. Maka ulkus-ulkus tersebut dapat menyerupai

kekambuhan dari virus herpes simplek laten. Anestesi topikal dipai untuk

mengurangi gejala , sedangkan tindakan kebersihan mulut, termasuk

bahan-bahan antimikrobial seperti klorheksidin penting untuk mencegah

sekunder, nekrosis jaringan lunak dan nekrosis tulang. Konsultasi dan

komunikasi terbuka antara dokter umum dan dokter gigi dapat membantu

mengurangi komplikasi dan meningkatkan kenyamanan mulut.

6. LESI TRAUMATIK

Lesi traumatic dapat disebabkan oleh berbagai iritasi fisik dan

kimia, seperti trauma gesek, panas maupun penggunaan cairan kaustik

yang berlebihan.Trauma geseksering tampak pada gusi cekat, hal itu

disebabkan karena penyikatan gigi yang berlebihan. Lama kelamaan

mukosa menjadi menebal dengan suatu permukaan putih yang menjadi

kasar. Sakit umumnya tidakada dan pemeriksaan histopatologis

menggambarkan hyperkeratosis.

19

Trauma hebat dapat mengakibatkan lesi putih karena hilangnya

lapisan-lapisan superficial dari epitel mukosa.Di bawah putihnya ada

permukaan yang kasar, merah atau berdarah.Secara khas lesi-lesi traumatic

akut tampak sebagai bercak-bercak putih dengan tepi-tepi difuse.Mukosa

yang dapat digerakkan lebih rawan terhadap trauma daripada mukosa

cekat.

Sakit yang mengenai lapisan kulit dibagian bawah dapat

mengakibatkan suatu respon penyembuhan fibrosa atau jaringan parut.

Jaringan-jaringan parut sering kali tanpa gejala, linear, merah muda pucat

dan berbatas jelas.Riwayat yang lengkap dapat menunjukkan cedera

sebelumnya, penyakit ulseratif yang kambuhan, dan gangguan kejang.

Gambaran lesi traumatik

7. LINEA ALBA BUKALIS

Linea alba bukalis (white line) adalah kondisi yang paling sering

muncul di sepanjang mukosa bukal setinggi dataran oklusal gigi rahang

atas dan rahang bawah yang disebabkan adanya tekanan, iritasi gesekan,

dan trauma dari permukaan gigi (Neville dkk., 2009). Linea alba

berbentuk garis putih keabuan memanjang di mukosa bukal, biasanya

20

bilateral di kanan dan kiri, berawal dari sudut mulut hingga gigi posterior.

Penampakan klinis berupa warna putih keabuan disebabkan hiperkeratosis

epitel. Lesi ini tidak berbahaya dan tidak memerlukan perawatan berarti

(Neville dkk., 2009).

8. KERATOSIS TRAUMATIK

Keratosis traumatik mengacu pada daerah lokal dengan mukosa

mulut yang keputhian danmenebal, yang jelas sekali berhubungan dengan

iritan lokal yang dapat diidentifikasi. Secara histologist, lesi ini

menunjukkan adanya derajat hiperkeratosis. Keratosis traumatik

khususnya, biasa dijumpai dengan cengkeram gigi tiruan, tepi-tepi yang

21

kasar dari gigi tiruan dan gigi yang fraktur, pada bibir perokok berat, dan

pada mukosa bukal yang berhadapan dengan gigi molar.

Pada keratosis traumatik ini ditandai dengan adanya lesi putih

dengan tepi yang difuse. Dimana lesi putih merupakan daerah abnormal

pada mukosa mulut yang pada pemeriksaan klinis tampak lebih putih

daripada jaringan sekitarnya dan agak lebih tinggi dari sekitarnya, lebih

kasar. Lesi ini disebabkan karena adanya peningkatan ketebalan epidermis

yang ditutupi dengan peningkatan produksi keratin (hiperkeratosis) atau

produksi keratin yang abnormal.

9. MORSICATIO BUCCARUM

Lesi putih pada rongga mulut ini disebabkan adanya iritasi kronis

akibat mengisap-isap atau menggigit-gigit pipi. Hal tersebut akan

menyebabkan area trauma menjadi lebih tebal, luka, dan lebih pucat

daripada jaringan di sekitarnya. Lesi ini seringkali muncul pada orang

yang sedang mengalami stress tinggi atau orang yang mempunyai

kebiasaan menggigit-gigit pipi, bibir maupun lidah .

Penampakan klinis dari lesi ini sering ditemukan bilateral pada mukosa

bukal, namun ada juga yang unilateral dikombinasikan dengan adanya lesi

pada bibir, lidah, atau keduanya. Area putih menebal seperti bekas cabikan

didominasi dengan area eritematous dan permukaan yang kasar.

Pemeriksaan histopatologis hasil biopsi menyatakan adanya hiperkeratosis

yang menyebar dengan jumlah keratin yang banyak. Tidak ada perawatan

yang perlu dilakukan selama lesi dirasa tidak mengganggu pasien. Apabila

pasien memerlukan perawatan dapat dilakukan dengan membuat cetakan

akrilik yang menutupi permukaan fasial gigi untuk menghindari akses

mukosa bukal.

22

Sumber : Textbook of Oral Pathology , Sanjay Saraf , halaman 7 , 2006 ,

23

DAFTAR PUSTAKA

Langlais, Robert P. dan Crain S. Miller. 2000. Atlas Bewarna Kelainan Rongga

Mulut yang Lazim

George Laskaris, M.D., D.D.S., Ph.D. 2006.Pocket Atlas of Oral Disease , 2nd

revised and enlarged edition. Thieme . Stuttgart · New York

Saraf, Sanjay . 2006 . Textbook of Oral Pathology

Lynch, Malcolm A. 1992. “Ilmu Penyakit Mulut : Diagnosis dan Terapi”.

Jakarta : Binarupa Aksara.

24