Trauma Brain Injuri

22
Trauma Brain Injuri Yoseph Renaldy Ndapa 10-2011-121 D3 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected] I. Latar Belakang Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat. 1 Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. 1 Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang

description

trauma brain

Transcript of Trauma Brain Injuri

Page 1: Trauma Brain Injuri

Trauma Brain Injuri

Yoseph Renaldy Ndapa

10-2011-121

D3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]

I. Latar Belakang

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala

atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan

karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di

jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.1

Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah

diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80%

dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk

cedera kepala berat.1

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai

pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang

adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya

cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan

penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi

masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.1

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan

operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih

baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.2

Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,

Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.1,2

Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan,

sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.3

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan

kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus

Page 2: Trauma Brain Injuri

dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di

Rumah Sakit.2

Page 3: Trauma Brain Injuri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak

langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,

yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik .3

2. ANATOMI KEPALA

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:2

Skin atau kulit

Connective tissue atau jaringan penyambung

Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan tengkorak

Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.

Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang

biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi

perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak

atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk

mengeluarkannya.

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu

frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi

oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak

akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat

lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan

serebelum.3

c. Meninges

Page 4: Trauma Brain Injuri

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :3

1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan

meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada

permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai

perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi

dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. 4

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada

fosa temporalis (fosa media).4

2) Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara

pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater

oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh

liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 4

3) Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang

dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini

membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh piamater.

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari

beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak

tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.4

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi

motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.

Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

Page 5: Trauma Brain Injuri

kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan .2-4

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20

ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus

sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang

terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid

sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.4

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii

anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).3

g. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini

beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak

mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut

keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.4

3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA

a. Tekanan intracranial

Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat

mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi

dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK

lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk

prognosisnya.4

b. Hukum Monroe-Kellie

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang

yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya

yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V

csf + V bl. 4

c. Tekanan Perfusi otak

Page 6: Trauma Brain Injuri

Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan

tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi

penderita.5

d. Aliran darah otak (ADO)

ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100

gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan

mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.5

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera

sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat

disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi

gerakan kepala .5

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang

diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah

yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara

tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat

dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).5

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai

tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,

iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.5

5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi

yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.6

a. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan

benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

b. Beratnya cedera

Page 7: Trauma Brain Injuri

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Glasgow Coma Scale7

Respon membuka mata (E)

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3

Buka mata bila dirangsang nyeri 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

c. Morfologi cedera

Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.

1. Fraktur cranium

Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan

dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan

dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara

lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea,

otorrhea) dan paresis nervus fasialis.6

Page 8: Trauma Brain Injuri

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala

dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera.

Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga

mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura

ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura

kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali

pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400

kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura

tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.5-7

2. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering

terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma

intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun

menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.6

a. Hematoma Epidural

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan

kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga

tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi

dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera

kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Gejala yang sering tampak yakni penurunan kesadaran, bisa sampai koma, bingung,

penglihatan kabur, susah bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar cairan darah dari hidung atau

telinga, nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pusing, berkeringat, pucat,

dan pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan

epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada

permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula

kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam,

pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan

reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul

berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak

akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur

b. Hematom Subdural8

Page 9: Trauma Brain Injuri

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid.

SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala

berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.

Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura

tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta

biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya

60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis

agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.

1) SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit ) dekat tabula

interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti

bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan

adanya hematom subdural.7

2) SDH Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang

disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada

CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,

berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut

adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,

bahkan akhirnya menjadi hipodens.7

c. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu

berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan

temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan

antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat

zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa

hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.

Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula

pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus

frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya

(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas

perdarahan.

e. Cedera difus

Page 10: Trauma Brain Injuri

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan

deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan

adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang

bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali

tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan

disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio

yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.7

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya

kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini

merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk

beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan

depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup

berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita

mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau

serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama

beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih

sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan

gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat

cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua

keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala.

Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian

namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL8

Faktur maxilaris

Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:

Mobilitas palatum

Mobilitas hidung yang menyertai palatum

Epistaksis

Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut le fort

Page 11: Trauma Brain Injuri

Lefort 1

Fraktur nelintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus

dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi.

Lefort II

Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya

maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tngah wajah

tremasuk hidung

Lefort III

Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus. Seluruh komplek

zigomatikus menjadi mobile dan tergeser

Fraktur mandibula

Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada

nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot

yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah

dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial.

Fraktur gigi

Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula, dimana

gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan.

Fraktur os nasal

Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan,

epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni,

proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty.

Fraktur orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia, hemomaksila

dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis.

Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam

patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia.

Fraktur os zygoma

Page 12: Trauma Brain Injuri

Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi

terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan

foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG 9

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk

pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi

meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari

inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai

indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi

syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat–obatan

analgesia/anti muntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan

dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena

penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).

4) Adanya lateralisasi.

5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan

tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan

otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah

injuri.

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Page 13: Trauma Brain Injuri

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder

menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen

tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan

tekanan intracranial

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran

7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini

mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga

dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat

keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei

primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang

kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat

survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak

semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:

a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. Intoksikasi alkohol atau obat

f. Fraktura tengkorak

g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

h. Cedera penyerta yang jelas

i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal

Page 14: Trauma Brain Injuri

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang

optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,

hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa

kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi

klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai

berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih

b. dari 20 cc di daerah infratentorial

c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

d. tanda fokal neurologis semakin berat

e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

8. PROGNOSA

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif,

terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya

mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi

kedepannya bagi penderita.

Page 15: Trauma Brain Injuri

BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total.

Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang

merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai

prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan

mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma

maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab

kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.

Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung

kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang

terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan

pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa

menyebabkan kebingungan dan koma.

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami

kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur

penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

Page 16: Trauma Brain Injuri

DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System Structure and

Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.h.58-99.

2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta :

Perdossi ; 2006.h.132-45

3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta ; Badan

Penerbit FKUI ; 2013.h.78-95

4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta : EGC ; 2012.h.56-

89

5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004. H.88-90

6. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA ; McGrawHill :

2005. H.110-45

7. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.h.99-

145

8. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse Myelitis. Semin

Neurol 2008.h.28:105-120.

9. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC ;

2013.h.126-78.

10. Japardi iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU

Press;2004.h.85-97