Transparansi Tata Kelola Pertambangan

2
KOLOM 48 Edisi Agustus 2014/Th. IX I ndustri ekstraktif, khususnya migas, mineral dan batu bara masih menjadi sumber penerimaan negara andalan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terakhir di tahun 2013 mencatat, penerimaan dari sektor migas, mineral dan batu bara yang dipero- leh dari pembayaran pajak dan pendapatan non-pajak da- ri sektor hulu/ekstraktif mencapai 23% dari total APBN-P 2013, atau sebesar Rp 398,4 triliun, dari total Rp 1.726 triliun APBN-P 2013. Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ter- hadap produk domestik bruto menurut harga berlaku ha- nya tercatat sebesar 10,43% dari total PDB nasional de- ngan migas di tahun 2013 (BPS, 2014) Angka ini sesung- guhnya masih menjadi tanda tanya, karena bisnis ekstrak- tif yang menyokong pendapatan utama orang-orang ter- kaya di negeri ini teryata hanya memberikan kontribusi se- kitar sepersepuluh dari total PDB nasional. Di sisi lain, hasil koordinasi dan supervisi Komisi Pem- berantasan Korupsi (KPK) tahun 2014 ini mencatat terda- pat potensi kerugian penerimaan negara bernilai triliunan rupiah, akibat kebocoran dalam penerimaan negara. Salah satu yang disorot publik adalah aspek transpa- ransi dan akuntabilitas. Problem transparansi terutama di- tengarai oleh tidak sinkronnya (atau tidak adanya) data dan informasi yang memadai antar-instansi terkait, infor- masi yang asimetris, tidak terbukanya sebuah proses atau mekanisme, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pada hampir semua rantai proses dari industri per- tambangan. Problem itu terjadi sejak proses lelang, pe- nandatanganan kontrak, hingga pasca tambangnya. Penulis dalam hal ini membatasi pembahasan me- ngenai transparansi tata kelola pertambangan, khusus pa- da tiga aspek utama, sebagaimana diuraikan pada bagian tulisan berikut ini. 1. Transparansi Perizinan Tambang Mekanisme pemberian kontrak/perizinan, baik me- lalui lelang maupun pemberian izin sudah semestinya ber- jalan secara terbuka dan transparan. Bukan hanya persoa- lan proses yang, kompetitif dan jujur, namun juga me- nyangkut hak-hak masyarakat yang harus diperhatikan. Terutama jika area/wilayah yang dijadikan konsesi per- tambangan tersebut berada di permukiman warga, hak tanah ulayat, atau menyangkut kepentingan masyarakat tempatan yang lebih luas. Hal esensi lainnya dalam transparansi kontrak/per- izinan adalah hak warga atas informasi yang terdapat di dalam kontrak/perizinan tersebut. Bukan hanya informasi mengenai area/batas-batas wilayah perizinan yang tertera di dalam kontrak yang penting bagi warga. Identifikasi ke- pemilikan serta segala hak dan kewajiban yang tertera di dalam kontrak membantu warga untuk terlibat dalam me- mantau kegiatan pertambangan agar berjalan sesuai prak- tik pertambangan yang baik. Transparansi diperlukan salah satunya agar tidak ter- jadi tumpang tindih kontrak, pemalsuan kontrak, ataupun pemberian kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kita bisa berkaca dari proses sertifikasi ”clean and clear” oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, sejak 2011. Dari total 10.922 total IUP yang tercatat di Dirjen Minerba, hanya 6,042 yang telah dinyatakan CnC. Artinya, hampir 50% dari total IUP tersebut bermasalah. Penelusuran oleh Indonesia di Publish What You Pay beberapa daerah tambang, dalam hal IUP ini menemukan beberapa persoalan mendasar, yakni : (1) Pemahaman/ kapasitas pemda dalam memberikan izin tidak didasari oleh rencana kebijakan yang memadai. Belum ada peren- canaan dan kajian strategis baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai dasar pemberian izin pertamba- ngan; (2) Masih terdapat perbedaan data antara peme- rintah pusat dan daerah, karena adanya izin-izin yang tidak dilaporkan atau data yang tidak valid; (3) Dalam proses pemberian izin, kuat diduga terjadi suap, pengelabuhan informasi wilayah izin, dokumen izin yang tidak valid (copy-paste), prosedur yang tidak sesuai, serta cenderung tidak memperhatikan asas-asas competitive and fairness secara ekonomi; (4) Data dan informasi perizinan sulit di- akses oleh publik, meskipun sudah terdapat peraturan mengenai keterbukaan informasi publik (KIP). Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebera- pa hal berikut : Perlu dibuat prosedur standar dalam proses pemberi- an izin, dengan prasyarat dasar kebijakan yang kuat dan strategis, prosedur jelas dan terbuka, serta mem- perhatikan hak-hak dan partisipasi masyarakat Perlu segera dibuat pusat data dan informasi perizinan tambang, yang memungkinkan akses dan penelusu- ran oleh publik, dengan informasi yang memadai teru- tama mengenai kepemilikan, status perizinan, area operasi serta komitmen menyangkut hak dan kewaji- ban pertambangan kepada publik Mekanisme lelang dan pemberian izin harus lebih ter- buka dan transparan, serta adanya kontrol dan partisi- pasi publik, yang mencegah terjadinya suap, konflik kepentingan, ekonomi biaya tinggi serta korupsi. 2. Transparansi Tata Ruang dan Penggunaan Lahan Transparansi dalam tata ruang dan penggunaan la- han merupakan persoalan mendasar yang sering menim- bulkan persoalan tumpang tindih izin, kerancuan dalam identifikasi dan monitoring kegiatan pertambangam, serta TRANSPARANSI TATA KELOLA PERTAMBANGAN Maryati Abdullah *)

description

Kolom Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah Di Majalah Tambang, Edisi Agustus 2014, Hal 48-49

Transcript of Transparansi Tata Kelola Pertambangan

Page 1: Transparansi Tata Kelola Pertambangan

KOLOM

48 Edisi Agustus 2014/Th. IX

Industri ekstraktif, khususnya migas, mineral dan batu

bara masih menjadi sumber penerimaan negara

andalan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) terakhir di tahun 2013 mencatat, penerimaan

dari sektor migas, mineral dan batu bara yang dipero-

leh dari pembayaran pajak dan pendapatan non-pajak da-

ri sektor hulu/ekstraktif mencapai 23% dari total APBN-P

2013, atau sebesar Rp 398,4 triliun, dari total Rp 1.726 triliun

APBN-P 2013.

Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ter-

hadap produk domestik bruto menurut harga berlaku ha-

nya tercatat sebesar 10,43% dari total PDB nasional de-

ngan migas di tahun 2013 (BPS, 2014) Angka ini sesung-

guhnya masih menjadi tanda tanya, karena bisnis ekstrak-

tif yang menyokong pendapatan utama orang-orang ter-

kaya di negeri ini teryata hanya memberikan kontribusi se-

kitar sepersepuluh dari total PDB nasional.

Di sisi lain, hasil koordinasi dan supervisi Komisi Pem-

berantasan Korupsi (KPK) tahun 2014 ini mencatat terda-

pat potensi kerugian penerimaan negara bernilai triliunan

rupiah, akibat kebocoran dalam penerimaan negara.

Salah satu yang disorot publik adalah aspek transpa-

ransi dan akuntabilitas. Problem transparansi terutama di-

tengarai oleh tidak sinkronnya (atau tidak adanya) data

dan informasi yang memadai antar-instansi terkait, infor-

masi yang asimetris, tidak terbukanya sebuah proses atau

mekanisme, serta lemahnya pengawasan dan penegakan

hukum pada hampir semua rantai proses dari industri per-

tambangan. Problem itu terjadi sejak proses lelang, pe-

nandatanganan kontrak, hingga pasca tambangnya.

Penulis dalam hal ini membatasi pembahasan me-

ngenai transparansi tata kelola pertambangan, khusus pa-

da tiga aspek utama, sebagaimana diuraikan pada bagian

tulisan berikut ini.

1. Transparansi Perizinan Tambang

Mekanisme pemberian kontrak/perizinan, baik me-

lalui lelang maupun pemberian izin sudah semestinya ber-

jalan secara terbuka dan transparan. Bukan hanya persoa-

lan proses yang, kompetitif dan jujur, namun juga me-

nyangkut hak-hak masyarakat yang harus diperhatikan.

Terutama jika area/wilayah yang dijadikan konsesi per-

tambangan tersebut berada di permukiman warga, hak

tanah ulayat, atau menyangkut kepentingan masyarakat

tempatan yang lebih luas.

Hal esensi lainnya dalam transparansi kontrak/per-

izinan adalah hak warga atas informasi yang terdapat di

dalam kontrak/perizinan tersebut. Bukan hanya informasi

mengenai area/batas-batas wilayah perizinan yang tertera

di dalam kontrak yang penting bagi warga. Identifikasi ke-

pemilikan serta segala hak dan kewajiban yang tertera di

dalam kontrak membantu warga untuk terlibat dalam me-

mantau kegiatan pertambangan agar berjalan sesuai prak-

tik pertambangan yang baik.

Transparansi diperlukan salah satunya agar tidak ter-

jadi tumpang tindih kontrak, pemalsuan kontrak, ataupun

pemberian kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Kita bisa berkaca dari proses sertifikasi ”clean and clear”

oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, sejak 2011. Dari

total 10.922 total IUP yang tercatat di Dirjen Minerba, hanya

6,042 yang telah dinyatakan CnC. Artinya, hampir 50% dari

total IUP tersebut bermasalah.

Penelusuran oleh Indonesia diPublish What You Pay

beberapa daerah tambang, dalam hal IUP ini menemukan

beberapa persoalan mendasar, yakni : (1) Pemahaman/

kapasitas pemda dalam memberikan izin tidak didasari

oleh rencana kebijakan yang memadai. Belum ada peren-

canaan dan kajian strategis baik secara ekonomi, sosial

dan lingkungan sebagai dasar pemberian izin pertamba-

ngan;

(2) Masih terdapat perbedaan data antara peme-

rintah pusat dan daerah, karena adanya izin-izin yang tidak

dilaporkan atau data yang tidak valid; (3) Dalam proses

pemberian izin, kuat diduga terjadi suap, pengelabuhan

informasi wilayah izin, dokumen izin yang tidak valid

(copy-paste), prosedur yang tidak sesuai, serta cenderung

tidak memperhatikan asas-asas competitive and fairness

secara ekonomi; (4) Data dan informasi perizinan sulit di-

akses oleh publik, meskipun sudah terdapat peraturan

mengenai keterbukaan informasi publik (KIP).

Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebera-

pa hal berikut :

� Perlu dibuat prosedur standar dalam proses pemberi-

an izin, dengan prasyarat dasar kebijakan yang kuat

dan strategis, prosedur jelas dan terbuka, serta mem-

perhatikan hak-hak dan partisipasi masyarakat

� Perlu segera dibuat pusat data dan informasi perizinan

tambang, yang memungkinkan akses dan penelusu-

ran oleh publik, dengan informasi yang memadai teru-

tama mengenai kepemilikan, status perizinan, area

operasi serta komitmen menyangkut hak dan kewaji-

ban pertambangan kepada publik

� Mekanisme lelang dan pemberian izin harus lebih ter-

buka dan transparan, serta adanya kontrol dan partisi-

pasi publik, yang mencegah terjadinya suap, konflik

kepentingan, ekonomi biaya tinggi serta korupsi.

2. Transparansi Tata Ruang dan Penggunaan Lahan

Transparansi dalam tata ruang dan penggunaan la-

han merupakan persoalan mendasar yang sering menim-

bulkan persoalan tumpang tindih izin, kerancuan dalam

identifikasi dan monitoring kegiatan pertambangam, serta

TRANSPARANSITATA KELOLAPERTAMBANGANMaryati Abdullah *)

Page 2: Transparansi Tata Kelola Pertambangan

KOLOM

49Edisi Agustus 2014/Th. IX

menimbulkan kesulitan dalam identifikasi kewajiban pa-

jak, yang berakibat pada tidak optimalnya penerimaan ne-

gara. Persoalan tersebut juga merupakan salah satu hasil

identifikasi KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Pertam-

bangan yang diluncurkan pada Februari 2014 ini.

Inisiatif Open Government Partnership (OGP) di

tingkat pemerintah yang dipimpin oleh Unit Kerja Presi-

den untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan

(UKP4) juga telah memulai upaya penyatuan peta tata

ruang dalam bentuk satu peta. Salah satu tujuannya ada-

lah untuk menertibkan peta izin sektor pertambangan se-

cara terpadu.

Penelitian Swandiri Institute bersama Publish What

You Pay Indonesia di salah satu wilayah pantauan KPK di

Kalimantan Barat menemukan, akibat dari tidak dipatuhi-

nya ketentuan tata ruang, di tahun 2012 terdapat tumpang

tindih antara industri pertambangan dengan hak pengu-

sahaan hutan (HPH) seluas 367.224 ha, tambang dengan

HTI (hutan tanaman industri) seluas 442.080 ha, serta tam-

bang dan perkebunan sawit sebesar 1.792.593 ha.

Dari sisi penerimaan negara, hitungan Publish What

You Pay Indonesia bersama Swandiri Institute mengemu-

kakan, di tahun 2012 terdapat potensi kehilangan peneri-

maan negara sebesar RP 59.542.372.770, dari seluruh ka-

bupaten di Provinsi Kalimantan Barat.

Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebe-

rapa hal berikut :

� Perlu transparansi penggunaan lahan dan hutan untuk

memastikan adanya alokasi keadilan tata ruang bagi

segenap masyarakat, serta untuk menghindari praktik

’jual beli’ konsesi tanpa pengawasan dan penegakan

hukum

� Informasi spasial sebagai informasi publik harus mu-

dah diakses oleh publik, agar masyarakat terlibat aktif

dalam memantau dan memonitor penggunaan lahan

dan hutan

� Inisiatif yang dikomandoi oleh UKP4 harus’One Map’

diteruskan oleh pemerintahan periode selanjutnya un-

tuk memberikan kepastian dan penertiban peta-peta

izin konsesi, baik di sektor pertambangan, perkebunan

maupun kehutanan.

3. Transparansi Penerimaan Negara

Di sektor hulu, industri ekstraktif pertambangan mi-

neral dan batu bara seharusnya masih mampu memberi-

kan penerimaan yang lebih besar dari kondisi sekarang.

Hal ini terbukti dari setelah dilakukannya koordinasi dan

supervisi di 12 provinsi penghasil minerba oleh KPK dan

Dirjen Minerba-ESDM, terdapat peningkatan penerimaan

negara bukan pajak (PNBP).

Beberapa titik persoalan terkait transparansi peneri-

maan negara dari sektor pertambangan yang diidentifikasi

oleh antara lain: (1)Publish What You Pay Indonesia

Transparansi informasi/data produksi; Hasil uji petik

PWYP Indonesia bersama anggotanya di Riau misalnya,

menemukan perbedaan data produksi batu bara dari sa-

lah satu perusahaan yang beroperasi di Riau, antara data

yang dimiliki Pemda Riau yang diperoleh dari perusahaan

dengan data yang dimiliki oleh Dirjen Minerba, Kemen-

terian ESDM yang diunggah di situs http://www.minerba.

esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/.

Perbedaan data produksi tentunya akan berpenga-

ruh pada seberapa banyak setoran penerimaan negara

(royalti, sewa tanah, dan sebagainya) yang seharusnya di-

*) Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia,

Anggota Komite Pengarah Open Government

Partnership (OGP) di Tingkat Internasional

menimbulkan kesulitan dalam identifikasi kewajiban pa-

jak, yang berakibat pada tidak optimalnya penerimaan ne-

gara. Persoalan tersebut juga merupakan salah satu hasil

identifikasi KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Pertam-

bangan yang diluncurkan pada Februari 2014 ini.

Inisiatif Open Government Partnership (OGP) di

tingkat pemerintah yang dipimpin oleh Unit Kerja Presi-

den untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan

(UKP4) juga telah memulai upaya penyatuan peta tata

ruang dalam bentuk satu peta. Salah satu tujuannya ada-

lah untuk menertibkan peta izin sektor pertambangan se-

cara terpadu.

Penelitian Swandiri Institute bersama Publish What

You Pay Indonesia di salah satu wilayah pantauan KPK di

Kalimantan Barat menemukan, akibat dari tidak dipatuhi-

nya ketentuan tata ruang, di tahun 2012 terdapat tumpang

tindih antara industri pertambangan dengan hak pengu-

sahaan hutan (HPH) seluas 367.224 ha, tambang dengan

HTI (hutan tanaman industri) seluas 442.080 ha, serta tam-

bang dan perkebunan sawit sebesar 1.792.593 ha.

Dari sisi penerimaan negara, hitungan Publish What

You Pay Indonesia bersama Swandiri Institute mengemu-

kakan, di tahun 2012 terdapat potensi kehilangan peneri-

maan negara sebesar RP 59.542.372.770, dari seluruh ka-

bupaten di Provinsi Kalimantan Barat.

Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebe-

rapa hal berikut :

� Perlu transparansi penggunaan lahan dan hutan untuk

memastikan adanya alokasi keadilan tata ruang bagi

segenap masyarakat, serta untuk menghindari praktik

’jual beli’ konsesi tanpa pengawasan dan penegakan

hukum

� Informasi spasial sebagai informasi publik harus mu-

dah diakses oleh publik, agar masyarakat terlibat aktif

dalam memantau dan memonitor penggunaan lahan

dan hutan

� Inisiatif yang dikomandoi oleh UKP4 harus’One Map’

diteruskan oleh pemerintahan periode selanjutnya un-

tuk memberikan kepastian dan penertiban peta-peta

izin konsesi, baik di sektor pertambangan, perkebunan

maupun kehutanan.

3. Transparansi Penerimaan Negara

Di sektor hulu, industri ekstraktif pertambangan mi-

neral dan batu bara seharusnya masih mampu memberi-

kan penerimaan yang lebih besar dari kondisi sekarang.

Hal ini terbukti dari setelah dilakukannya koordinasi dan

supervisi di 12 provinsi penghasil minerba oleh KPK dan

Dirjen Minerba-ESDM, terdapat peningkatan penerimaan

negara bukan pajak (PNBP).

Beberapa titik persoalan terkait transparansi peneri-

maan negara dari sektor pertambangan yang diidentifikasi

oleh antara lain: (1)Publish What You Pay Indonesia

Transparansi informasi/data produksi; Hasil uji petik

PWYP Indonesia bersama anggotanya di Riau misalnya,

menemukan perbedaan data produksi batu bara dari sa-

lah satu perusahaan yang beroperasi di Riau, antara data

yang dimiliki Pemda Riau yang diperoleh dari perusahaan

dengan data yang dimiliki oleh Dirjen Minerba, Kemen-

terian ESDM yang diunggah di situs http://www.minerba.

esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/.

Perbedaan data produksi tentunya akan berpenga-

ruh pada seberapa banyak setoran penerimaan negara

(royalti, sewa tanah, dan sebagainya) yang seharusnya di-

bayarkan oleh perusahaan kepada negara; (2) Mekanime

pembayaran pajak dan non-pajak kepada negara. Meka-

nisme dan dalam pembaya-self assesment self reporting

ran royalti dan pajak di sektor minerba ditengarai menim-

bulkan celah kebocoran dari pembayaran penerimaan

negara, akibat dari selisih kurang atau lebih bayar. Hal ini

ditunjukkan di antaranya oleh temuan laporan rekonsiliasi

EITI yang dilakukan oleh rekonsiliator independen.

Indonesia telah menjadi negara pelaksana EITI (Ex-

tractive Industries Transparency Initiative) sejak empat ta-

hun lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 256 Tahun

2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Dae-

rah dari Sektor Migas dan Pertambangan.

Namun demikian, masih terdapat ketidaksesuaian

data antara laporan perusahaan dengan yang disampai-

kan oleh pemerintah. Secara umum, perbedaan utama

pada laporan pertama disebabkan oleh perbedaan satuan

dan basis pelaporan, adanya kendala dalam pembukaan

beberapa data perpajakan, hingga persoalan database

informasi penerimaan pertambangan di Ditjen Minerba-

Kementerian ESDM.

Sedangkan pada laporan kedua yang dikeluarkan

Juni 2014 ini, perbedaan data untuk sektor mineral dan

batu bara secara umum disebabkan oleh masih adanya

kesalahan pembagian antara royalti dan, adanya perbe-

daan pembagian penjualan hasil tambang (PHT) dan ro-

yalti yang ada di laporan perusahaan dan laporan peme-

rintah, adanya pembayaran Pph yang teridentifikasi seba-

gai pembayaran royalti, adanya perbedaan nomor akun

dalam sistem pembayaran di Ditjen Pajak, dan sebagai-

nya.

Laporan rekonsiliasi EITI Indonesia ini juga menca-

tat masih lemahnya partisipasi pelaku industri pertamba-

ngan dalam mentransparansikan pembayaran setoran pe-

nerimaannya kepada negara. Hal itu dibuktikan dengan

masih adanya perusahaan-perusahaan yang tidak me-

nyampaikan laporan pembayaran penerimaan negaranya

kepada EITI, yakni satu perusahaan untuk laporan tahun

fiskal 2010 dan sembilan perusahaan untuk tahun fiskal

2011.

Terhadap hal ini, penulis merekomendasikan bebe-

rapa perbaikan sebagai berikut :

� Perlu keterpaduan sumber data produksi yang dapat

terverifikasi dengan baik. Hal ini juga terkait dengan

pengawasan angka produksi, dan termasuk volume

penjualan.

� Proses verifikasi perhitungan dan pembayaran pene-

rimaan negara perlu diperkuat lagi dengan mekanisme

pengawasan yang ketat dan diikuti oleh penegakan

hukum yang tegas

� Perlu dikembangkan mekanisme pengawasan pene-

rimaan negara secara , yang memungkinkan ak-online

ses dan pengawasan oleh publik.