Translate Jurnal
-
Upload
halbar-august-kanda -
Category
Documents
-
view
236 -
download
0
description
Transcript of Translate Jurnal
BAB IPENDAHULUAN
Penyakit mata akibat tiroid didiagnosis sekitar 2.9 pada pria dan 16 pada
wanita per 100.000 populasi pertahun. penyakit ini tergolong langkah yang dapat
menyerang pasien yang sudah didiagnosis dengan penyakit graves hypertyroidism
(90%). Namun, sekitar 5% pasien dengan penyakit mata akibat tyroid adalah
eutiroid (tiroid normal), dan sekitar 3% lainnya adalah pasien dengan penyakit
tiroiditis Hashimoto. Penelitian terbaru yang bertujuan untuk menjelaskan
patofisiologi penyakit mata akibat tiroid fokus kepada komponen autoimun anti-
tyroglobulin dan efeknya pada fibroblas intraorbital. Exoftalmus merupakan
gejala khas dari penyakit mata akibat tiroid yang terjadi akibat peningkatan
jaringan diposa dan pembesaran otot pada daerah intraorbita. Hal ini
menyebabkan terbatasnya ruang gerak mata akibat rongga orbital menyempit yang
menyebabkan keadaan patologi pada penyakit mata akibat tiroid.
Gangguan fungsional pada penyakit mata akibat tiroid dapat berupa
gangguan ringan (mata kering, tarikan palpebra, dll) sampai gangguan berat
(ulserasi kornea, neuropati optic, dll). Peninjauan ini akan membantu praktisi
layanan primer dalam mengatagorikan berbagai manisfestasi klinis penyakit mata
akibat tiroid kedalam penyakit ringan, sedang, dan berat. Gejala penyakit lain
mungkin menyerupai penyakit mata akibat tiroid sehingga review artikel ini
menyediakan diferensial diagnosis yang komprehensive untuk penyakit mata
akibat tiroid dan membantu dokter pelayanan primer dalam mendiagnosis
penyakit amta akibat tiroid. Dokter pelayanan primer harus waspada dengan efek
kosmetik pada penyakit mata akibat tiroid (seperti proptosis) karena dapat
mempengaruhi kesehatan mental pasien.
Terapi terhadap penyakit mata akibat tiroid bergantung pada keparahan
penyakit. Keparahan penyakit mata akibat tiroid tidak berhubungan dengan kadar
hormon tiroid atau thyroid stimulating hormone (TSH). Namun, tingkat keparahan
penyakit mata akibat tiroid bergantung pada kadar reseptor antibodi thyrotropin.
Tingkat penyakit yang ringan hanya memerlukan observasi dan atau lubrikasi
dengan air mata, sedangkan tingkat penyakit yang parah memerlukan terapi
immunosupresan segera dan indikasi dilakukan intervensi bedah. Review artikel
ini akan memberikan informasi kepada dokter pelayanan primer untuk mengetahui
beberapa pertimbangan untuk merawat pasien dengan penyakit mata akibat tiroid.
Patofisiologi
Mekanisme dasar patogenesis penyakit mata akibat tiroid adalah ekspansi
jaringan lunak pada tulang pembentuk rongga orbita. Ekspansi jaringan lemak dan
otot orbita akan menggeser bola mata kearah luar dan menghalangi aliran keluar
vena dari mata. Hal ini menyebabkan terjadinya kompartemen sindrom pada mata
dengan pembengkakan mata yang memberikan dampak berupa kemosis, injeksi,
dan ophthalmoplegia. Inflamasi dan kongesti mata yang parah memerlukan
intervensi segera untuk menghindari neuropati optic kompresif atau proptosis
dengan dekompensasi kornea. Gejala penyakit mata akibat tiroid ditandai dengan
fase akut dengan kerusakan yang stabil pada 3 sampai 6 bulan pertama. Fase ini
berlanjut sampai ke fase mendatar pada 1 sampai 3 tahun berikutnya. Akhirnya
pasien dengan panyakit mata akibat tiroid sampai pada fase akhir dengan
peningkatan tanda dan gejala yang muncul tanpa adanya kemungkinan untuk
kembali normal.
Beberapa penelitian terbaru menfokuskan dasar penyakit mata akibat tiroid
pada fibroblast orbital. Tidak seperti fibroblast pada bagian tubuh yang lain yang
berasal dari lapisan mesoderm, fibrobast orbital berasal dari lapisan eksoderm dan
neural crest cell. Dasar molekular penyebab penyakit mata akibat tiroid adalah
peningkatan regulasi reseptor thyrotropin pada fibroblast orbita dan peningkatan
antibodi reseptor antithyrotropin. Secara idiopatik, sel-T berkembang secara
autoimun melawan reseptor thyrotropin. Antigen Presenting Cells (APC)
mengambil peran dan mendegradasi reseptor thyrotropin dan mempresentasikan
beberapa peptida. Hal ini berhubungan dengan Major Histocompatibility Complex
2 (MHC-2) antigen, untuk membantu sel-T dalam proses melawan reseptor
thyrotropin tersebut. Interaksi antara sel T helper yang aktif dengan sel B yang
autoreaktif melalui jembatan CD154-CD40 dan sekresi interleukin 2 dan
interferon gamma. Sitokin-sitokin tersebut menyebabkan differenisasi sel B
menjadi sel plasma yang menyekresikan antibodi reseptor antithyrotropin.
Antibodi tersebut menstimulasi reseptor thyrotropin pada sel epitel folikular tiroid
dan meningkatkan produksi hormon tiroid.
Antibodi reseptor antithyrotropin juga mengenali reseptor thyrotropin pada
fibroblast orbita dan terjadi sekresi T helper tipe I, interferon gamma, dan Tumor
Necrosis Factor (TNF) pada konjungtiva yang merupakan cikal bakal perubahan
karakteristik jaringan pada penyakit mata akibat tiroid. Makrofag pada orbita
menyekresika interleukin I. Sitokin tersebut akan menstimulasi fibroblast orbita
untuk menproduksi prostaglandin E2 dalam level yang tinggi dan hyaluronan
hidrofilik yang akan diakumulasikan pada serabut otot intraokular dan pada
jaringan adiposa orbita menyebabkan pembesaran volume jaringan tersebut.
Grave hyperthyroidism merupakan penyebab utama pasien yang menderita
penyakit mata akibat tiroid. Namun, beberapa pasien dengan gejala klinis penyakit
mata akibat tiroid tidak menunjukan keabnormalitasan tiroid pada pemeriksaan.
Pasien tersebut mungkin mengalami perubahan kadar tiroid menjadi hiper atau
hipo tiroid atau tetap dalam kadar tiroid yang normal. Pasien yang dicurigai
memiliki tanda dan gejala penyakit mata akibat tiroid tanpa ada penjelasan tentang
penyakit mereka harus menjalani pemeriksaan sirkulasi antibodi tiroid. Beberapa
test berguna untuk menyingkirkan penyakit mata akibat tiroid dengan kadar tiroid
yang normal seperti : pemeriksaan antibodi reseptor TSH, thyroid-binding
inhibitory immu- noglobulins, thyroid-stimulating immunoglobulins, and
antimicrosomal antibody. Sebuah penelitian menunjukan TSH-binding inhibitory
immunoglobulins dapat memprediksi keparahan dan prognosis penyakit dan juga
berguna sebagai dasar pemilihan terapi jangka panjang pada penyakit ini.
Manisfestasi klinis
Gejala awal dari penyakit mata akibat tiroid sering menunjukan gejala mata
kering yang tidak spesifik seperti pandangan kabur, sensasi seperti ada benda
asing, fotofobia, dan berair. Penelitian retrospektif menemukan 3,9% pasien
dengan gejala mata kering menderita penyakit mata akibat tiroid yang tidak
terdiagnosis. Pasien-pasien pada penelitian tersebut dievaluasi apakah menderita
penyakit tiroid berdasarkan kemosis konjungtiva, injeksi episklera (terutama pada
daerah muskulus rectus) dan peningkatan fisura palpebra.
Gejala penyakit mata akibat tiroid yang paling sering dilaporkan berupa
penarikan dari kelopak mata yang ditemukan pada 90% pasien. Diagnosis tarikan
kelopak mata berdasarkan jarak margin kelopak mata dengan refleks cahaya
kornea (MRD1). MRD1 diukur dari refleks cahaya kornea ke margin kelopak
mata atas. Fisura palpebra adalah jarak antara margin kelopak mata atas dan
bawah. Rata-rata MRD1 sekitar 4.5mm dan penarikan kelopak mata didefinisikan
jika MRD1 > 7mm atau fisura palpebra > 11mm yang dikatakan dikepustakaan
penyakit mata akibat tiroid. Posisi normal kelopak mata atas adalah 1.5mm
dibawah sudut posterior kornea dan posisi normal kelopak mata atas adalah sejajar
dengan kornea.
Fig. 1. The measurement of MRD1 is made by having the patient look at alight source and measuring the distance from the corneal light reflex to the upper eyelid with a standard ruler.
Eksofthalmus didefinisikan sebagai proptosis bilateral. Proptosis pada
penyakit mata akibat tiroid tidak selalu bilateral dan harus dipresentasikan dengan
hasil dari pengukuran eksofthalmometer ≥ 20mm. Keadaan asimetris pada
penyakit mata akibat tiroid merupakan hal yang lumrah dan perbedaan lebih dari 2
mm antara kedua mata dapat dikatakan abnormal. Foto lama dapat dijadikan
sebagai pembanding dan sebagai dasar untuk melihat progresivitas penyakit.
Perbedaan radikal dapat diketahui melalui pengukuran tonjolan bola mata, yaitu
13.9mm pada pria asia, 16.5 pada pria kulit putih, dan 18.5 pada pria afroamerika.
Secara umum, wanita dewasa dari berbagai ras mempunyai presentasi pengukuran
eksofthalmometer yang lebih rendah dari pria dewasa. Populasi pediatri
menunjukan peningkatan presentasi pengukuran eksofthalmometer berdasarkan
umur, dan populasi geriatri menunjukkan regresi linear antara tonjolan bola mata
dengan peningkatan umur.
Pasien dengan penyakit mata akibat tiroid seharusnya dilakukan
pemeriksaan terhadap penyakit permukaan okuli. Pewarnaan flourosen dapat
menunjukkan erosi epitel yang merupakan tanda dari hilangnya epitel kornea. Hal
ini berhubungan dengan tereksposenya kornea karena tarikan kelopak mata yang
parah atau lagofthalmus (ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata secara
sempurna) akibat proptosis. Tukak kornea merupakan hasil dari ekspos yang
parah. Temuan utama pasien dengana penyakit mata akibat tiroid adalah adanya
gejala neuropati optik akibat tekanan yang dipresentasikan dengan kehilangan
tajam penglihatan, pupil aferen yang cacat (pada test cahaya berayun), atau
berkurangnya penglihatan terhadap warna. Pada kasus yang asimetris, pasien
mengeluhkan perbedaan persepsi warna merah dikedua matanya. Pemeriksaan
lapangan pandang pasien dengan uji konfrontasi, uji Goldman, atau uji Humprey
juga direkomendasikan untuk pasien.
Keterlibatan otot ekstraokular ditemukan pada 40% pasien dengan
penyakit mata akibat tiroid dan penyebab utama morbiditas. Strabismus retriksif
merupakan gejala khas dan penglihatan ganda (diplopia) merupakan gejala lain
dari penyakit mata akibat tiroid. Muskulus rectus yang paling berperan dalam
penyakit mata akibat tiroid adalah muskulus rectus inferior diikuti medial,
superior, dan lateralis. Uji Gaze dilakukan untuk mengetahui memiliki strabismus
restriktif atau tidak. Inflamasi episklera dan konjungtiva dengan injeksi melewati
insersi muskulus rektus merupakan tanda khas dari penyakit amta akibat tiroid.
Kemosis dan edema karunkular sejalan dengan edema kelopak yang fluktuatif
atau eritema dapat ditemukan.
Temuan radiologi dari penyakit mata akibat tiroid bervariasi dan termasuk
didalamnya pembesaran fusiform baik unilateral maupun bilateral dari satu atau
lebih otot yang terlibat. Pada pasien penyakit mata akibat tiroid dengan gejala
asimetris harus dilakukan pemeriksaan CT Scan orbita untuk mengetahui ada
tidaknya keterlibatan dari otot ekstraokular dengan kemungkinan apex crowding.
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk mengetahui apakah ada penekanan saraf
optik di apex orbita.
Fig. 2. CT scans through the orbits in a patient with Graves ophthalmopathy showing bilateral medial rectus enlargement and unilateral lateral rectus muscle enlargement (asterisks) with a normal lateral rectus muscle in the right orbit. The left orbit demonstrates orbital apex crowding, causing optic neuropathy.
Diferential Diagnosis
Penyakit mata akibat tiroid memiliki diferensial diagnosis yang luas.
Konjungtivitis alergika menyebabkan injeksi dan mata berair yang juga dapat
dipresentasikan pada penyakit amta akibat tiroid. Dry eye sindrome (DES) juga
dapat mempresentasikan gejala penyakit mata akibat tiroid. Penelitian retrospektif
pada 539 responden dengan DES dikonfirmasi 3.9% menderita penyakit mata
akibat tiroid. Myasthenia gravis dapat menyerupai penyakit mata akibat tiroid
dengan mempengaruhi otot ekstraokular yang menyebabkan timbulnya diplopia
dan memiliki hubungan dengan penyakit mata akibat tiroid meningkat 5% pada
pasien. Ptosis merupakan gejala lain yang dimiliki oleh myasthenia gravis dan
penyakit mata akibat tiroid. Tidak seperti penyakit mata akibat tiroid, myasthinia
gravis mempunyai gejala khas berupa terdapatnya kelemahan pada kelopak mata
yang mengalami tarikan seiring dengan perjalanan penyakitnya. Gejala khas
penyakit mata akibat tiroid yaitu memburuk saat pagi. Progresivitas yang kronik
dari ofthalmoplegia eksternal dapat menyebabkan keterbatasan gerakan yang
simetris pada otot ekstraokular dan menyebabkan ptosis tanpa diikuti gejala
penyakit mata akibat tiroid seperti proptosis.
Tumor orbital menyebabkan proptosis unilateral (jarang bilateral) dengan
mengesampingkan pencitraan. Fistula kavernosa karotid dapat menyebabkan
kemosis, injeksi konjungtiva dan episklera, dan pulsasif proptosis. Hal tersebut
membedakan dengan penyakit mata akibat tiroid yang biasanya disertai dengan
nyeri dan pasien terkadang mendengar suara “bruit”. Bruit dan gambaran
pembesaran vena ofthalmika superior pada CT scan maupun MRI adalah tanda
lain dari fistula kavernosa karotid. Inflamasi orbita non-spesifik dapat ditandai
dengan nyeri yang tiba-tiba, edema periorbita, proptosis, dan mata merah,
sedangkan gejala pada penyakit mata akibat tiroid adalah sub akut. Inflamasi
orbitopati lainnya seperti Wegener’s Granulomatosis atau Sarcoidosis harus
mempertimbangkan seluruh foto klinis pasien.
Penatalaksaan
Ada hubungan yang kuat antara merokok dengan akitivitas penyakit mata
akibat tiroid, dan merokok merupakan faktor risiko yang dapat diubah yang
mempengaruhi progesivitas penyakit, kecuali penyakit tiroid yang tidak
terkontrol. Pasien yang merokok lebih memiliki proges terhadap terapi radioaktif
iodine dibandingkan pasien yang tidak merokok. Prednison dan radiasi orbital
kurang efektif untuk mengurangi ofthalmopati pada pasien yang merokok. Semua
pasien penyakit mata akibat tiroid yang merokok harus dimotivasi untuk berhenti
merokok dan diberikan farmakoterapi, serta terapi motivasi.
Penyakit mata akibat tiroid baisanya sembuh sendiri. 3-6 bulan pertama
merupakan fase akut yang diikuti fase plateu dan kemudian fase burnout yang
memungkinkan untuk kembali seperti normal. Pasien yang menderita penyakit
Graves harus dirujuk ke ahli endokrin untuk memulai terapi antitiroid
(carbimazole atau propilthiouracil). Terapi yang adekuat biasanya memerlukan
ablasi radioaktif iodine atau terapi pembedahan untuk mengangkat kelenjar tiroid.
Penelitian terbaru mendemostrasikan bahwa pasien dengan penyakit graves yang
telah diterapi dengan antitiroid dalam jangka waktu singkat sebelum dilakukan
tiroidektomi merupakan indikasi intervensi bedah pada penyakit mata akibat
tiroid. Total tiroidektomi merupakan tren pembedahan pada penyakit mata akibat
tiroid untuk mencegah berulangnya penyakit graves.
Pasien dengan penyakit mata akibat tiroid ringan memberikan gejala
penarikan kelopak mata, gejala DES, dan porptosis minimal (tanpa lagofthalmus
dan tidak mempengaruhi saraf optik), hiperemis konjungtiva ringan, atau diplopia.
Pasien dengan derajat ringan harus diobservasi dan diikuti perkembangannya
untuk mengetahui progresivitas penyakit. Seringkali pasien dengan penyakit
permukaan okuli akan mengeluhkan gejala DES seperti sensasi adanya benda
asing dimata, mata berair, pandangan kabur, dan fotofobia. Terapi dengan
menggunakan airmata buatan 4 kali sehari dan lubrikasi salep saat tidur adalah
terapi yang tepat untuk kasus tersebut. Penggunaan kacamata anti UV juga
diperlukan. Pasien juga harus dirujuk ke dokter spesialis mata untuk mendapatkan
terapi lanjut untuk mengurangi gejala DES. Pasien dengan proptosis ringan harus
dimotivasi untuk mengurangi konsumsi garam dan meninggikan kepala saat tidur
untuk mengurangi kongesti orbita. Semua pasien yang menderita penyakit mata
akibat tiroid harus dimotivasi untuk berhenti merokok.
Penyakit dengan derajat menengah memberikan gejala lebih hiperemis dan
permukaan mata yang lebih kering, yang mencetuskan penyakit inflamasi
permukaan okuli. Pasien dengan keluhan tersebut lebih cocok dengan siklosporin
ED dan lubrikasi mata yang agresif dengan airmata buatan tanoa pengawet. Terapi
kacamata lembab memberikan benefit pada gejala DES yang parah. Eyelid taping
saat malam juga diperlukan pada pasien yang menderita lagofthalmus. Kacamata
prisma juga dibutuhkan pasien yang mengeluhkan pandangan ganda akibat
retraksi otot pada penyakit mata akibat tiroid. Suplemen selenium memberikan
efek positif pada inflamasi yang disebabkan penyakit mata akibat tiroid derajat
ringan dan menengah. Terapi steroid dosis menengah juga memberikan efek
positif pada pasien dengan derajat menengah.
Penyakit mata akibat tiroid yang parah termasuk didalamnya pasien dengan
gangguan saraf optik atau dengan kemungkinan tukak kornea harus dirujuk
langsung ke dokter spesialis mata. Lesi pada saraf optik dengan gejala klinis
penurunan tajam penglihatan dan defek pupil afferen disertai dengan atau
tanpanya gangguan penglihatan warna memerlukan terapi steroid dosis tinggi.
Pemberian steroid memberikan dampak positif pada pasien dengan keluhan
tersebut, tetapi harus difollow up lebih lanjut untuk menilai apakah perlu
dilakukan dekompresi bedah atau tidak. 20% pasien dengan penyakit mata akibat
tiroid menjalani pembedahan. Dekompresi bedah dengan membuat rongga di
dinding orbita atau didasar rongga orbita bertujuan untuk melebarkan rongga
orbita. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengurangi kompresi saraf optik,
jadi klinisi harus memberikan perhatian lebih terhadap gejala visual pasien dengan
penyakit mata akibat tiroid untuk mendeteksi gangguan pada saraf optik. Saat
keadaan eutiroid tercapai, pasien sudah stabil 6-9 bulan, terapi dekompresi elektif
(untuk kemosis), pembedahan otot mata (untuk pasien dengan diplopia), dan
pembedahan kelopak mata mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit
mata akibat tiroid. Radioterapi orbita diberikan pada pasien yang tidak dapat
menolerir atau yang tidak respon terhadap terapi kortikosteroid dosis tinggi.
Fig. 3 moiture goggle and eye taping for TED symptom treatment.
Ganguan refraksi pada penyakit mata akibat tiroid dapat diterapi dengan
steroid-sparing immunomodulators. Beberapa laporan kasus dan penelitian kecil
melaporkan efek positif terhadap gejala klinis dengan terapi Rituximab. Penelitian
menunjukkan hasil yang signifikan pada dua pasien yang diterapi dengan
Rituximab dosis rendah (100mg), tidak ada perbaikan visus pada satu jam
pascaterapi dan terdapat perbaikan terhadap inflamasi dan proptosis setelah 1
minggu pascaterapi. Penelitian lainnya menyebutkan adanya perbaikan dari gejala
klinis setelah terapi Rutuximab dan tetap menunjukkan perbaikan setelah satu
tahun terapi. Penulis tidak menjelaskan hubungan antara terapi rituximab dengan
variabel yang menyebabkan gejala penyakit mata akibat tiroid.
Summary
Terapi penyakit mata akibat tiroid memerlukan pendekatan klinis beberapa
disiplin ilmu. Dokter pelayanan primer dan endokrinologist harus
mengidentifikasi faktor risiko dan menawarkan edukasi yang sesuai sejalan
dengan melakukan terapi penyebab gangguan tiroid yang mendasari. Intervensi
bedah dianggap memberikan benefit pada pasien dengan penyakit Graves yaitu
dengan tindakan tiroidektomi. Pasien dengan gejala okuli harus dirujuk
ofthalmologist atau subspesialis okuloplastik yang dapat menangani penyakit
mata akibat tiroid. Secara umum, derajat keparahan tanda dan gejala menentukan
terapi yang akan diberikan, misalnya pasien dengan derajat keparahan penyakit
yang ringan hanya memerlukan lubrikasi pada mata. Derajat keparahan yang lebih
tinggi memerlukan immunosupresan sistemik bahkan diperlukan tindakan
dekompresi dengan pembedahan.