Transisi Politik Menjju Demokrasi.doc

51
TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI 1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara- negara Demokrasi Baru Menurut Samuel P Hutington, dalam dua hingga tiga terakhir ini kita melihat terjadinya revolusi politik luar biasa dimana terdapat transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi dan telah terjadi di lebih dari 40 negara. Proses transisi menuju demokrasi ini sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif mendorong transisi. Dan dalam kasus lainnya, transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Perspektif lainnya yang juga penting dicatat ialah perbedaan antara rezim otoritarian yang satu dengan yang lain. Beberapa hasil studi menunjukkan rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain. Pembedaan- pembedaan dapat ditarik antara tansisi dengan konsolidasi; antara kaum garis keras dengan kaum garis lunak atau para

Transcript of Transisi Politik Menjju Demokrasi.doc

Transisi Politik Menjju Demokrasi

TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-negara Demokrasi Baru

Menurut Samuel P Hutington, dalam dua hingga tiga terakhir ini kita melihat terjadinya revolusi politik luar biasa dimana terdapat transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi dan telah terjadi di lebih dari 40 negara. Proses transisi menuju demokrasi ini sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif mendorong transisi. Dan dalam kasus lainnya, transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Perspektif lainnya yang juga penting dicatat ialah perbedaan antara rezim otoritarian yang satu dengan yang lain. Beberapa hasil studi menunjukkan rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain. Pembedaan-pembedaan dapat ditarik antara tansisi dengan konsolidasi; antara kaum garis keras dengan kaum garis lunak atau para akomodasionis dalam kualisi ototirarian; dan antara kaum maksimalis, moderat, dan oportunis dalam kondisi yang mendukung liberalisasi.

Sehubungan dengan pertanyaan Lowenthal bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain, dari berbagai kasus muncul beberapa hal yang layak dikemukakan secara khsusu dalam bagian ini. Kasus-kasus memperlihatkan bahwa walaupun faktor-faktor internasional secara langsung atau tidak langsung mungkin mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasus tetap berasal dari dalam negeri. Mereka juga memperllihatkan pentingnya lembaga-lembaga, prosedur-prosedur dan forum-forum yang membantu melegitimasi para penguasa diskursus politik dalam masa transisi politik. Kasus-kasus tersebut menggambarkan arti penting dari kepemimpinan dan pertimbangan politis, dan pentingnya pran individu-individu dalam proses-proses historis yang komplek Mereka secara berulang-ulang menunjukkan pentignya ketetapan waktu. Kerumitan proses-proses interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang menunjukkan berbagai cara bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi dan paradoks yang dihasilkannya.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana berbagai cara transisi transisi dan pemerintahan otoritarian dikondisi dan dibentuk oleh keadaan-keadaan historis yang mungkin unik untuk setiap negara, namun mengambil pola-pola yang bisa diramalkan tentang bagaimana cara rezim sebelumnya runtuh, oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai rezim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya, oleh inisiatif dan ketepatan waktu gerakan-gerakan eksperimental kearah liberalisasi, oleh tingkat keamanan dan keyakinan diri kelompok- kelompok elit rezim dan oleh keyakinan dan kompetensi dari mereka yang memperjuangkan terbukanya proses politik, oleh ada atau tidak adanya sumber daya finansial, oleh pengaruh dari pihak-pihak luar, dan oleh mode internasional yang memberikan legitimasi pada bentuk-bentuk transisi tertentu.

2. Reposisi Hubungan Sipil Militer

Hutington berpendapat, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil militer mereka tidak begitu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan sipil militer sebagaimana yang ada di negara industrial yang dmokratis, yang disebutnya dengan istilah kontrol sipilobyektif (objective civilian control). Istilah ini mengandung hal-hal sebagai berikut: (1) profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebujakan luar negeri dan militer; (3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer ; dan akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.Hubungan sipil militer dalam rezim otoritarian berbeda dalam derajat yang bervariasi. Dalam rezim militer tidak ada kontrol sipil, dan pemimpin serta organisasi militer sering melakukan fungsi yang luas dan bervariasi yang jauh dari misi militer yang normal. Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang memecah belah dan bekrja untuk menjaga cengkeraman kekuasaan diktator. Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu berantakan, tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai; pejabat militer harus merupakan anggota partai; komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel dengan rangkaian komando militer; dan loyalitas tertingginya lebih diurtamakan kepada partai dari pada kepada negara. Karena itu negara-negara demokrasi baru menghadapi tatangan yang serius untuk mereformasi hubungan sipil-militer mereka secara drastis. Tantangan ini tentu saja hanya salah satu dari sekian banyak tantangan lainnya. Negara-negara tersebut juga herus membangun kekuasaan diwilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak kearah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengguran, mengujrangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korusp, serta mengurangi ketegangan dan konfil antaretnis dan kelompok agama. Kondisi di Indonesia saat ni menunjukkan bahwa dominasi besar dan hegemonik dari militer pada masa Orde Baru merupakan faktor struktural yang sangat sulit dinetralisir oleh kekuatan sipil. Apalagi jika rezim sipil, seperti Presiden Megawati Soekarnoputri, tidak mempunyai konsep yang tajam dan konsistensi kuat untuk menetralisir militer. Kemampuan militer untuk melakukan pemulihan (recovery) jelas akan menancam transisi di Indonesia. 3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaiakan Hubungan dengan Rezim Sebelumnya.Tidak ada jaminan bahwa pengadilan merupakan sarana terbaik menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, ataupun bahwa mereka merupakan sarana tepat untuk seluruh keadaan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kesaksian yang cukup bahwa pengadilan-pengadilan semacam itu berjalan sesat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan atau tujuan-tujuan politik. Karenanya seseorang harus mengasumsikan kepentingan pendapat bahwa segala tuntutan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para diktator sebelumnya harus dilakukan dibawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada penghormatan terhadap aturan-aturan hukum. Ada beberapa unsur dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang mencerminkan cara-cara pemerintah modern dalam mencoba mengadakan rekonsiliasi dengan masa lampau.

a. Perlindungan besar terhadap populasi penduduk yang dinamakan sebagai kekuasaan hukum termasuk instrumen-intrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan yang adil, disamping perlindungan terhadap hak pihak-pihak yang paling lemah misal anak-anak.

b. Masyarakat baru memerlukan tatanan sosial baru, misal pihak sekutu yang menang perang di Jepang melakukan pembersihan propaganda-propaganda.c. Penghinaan dapat dengan mudah menimbulkan serangan balasan dan upaya elit ekonomi atau militer sebelumnya untuk memperoleh kembali kekuasaan mereka

d. Pemihakan dari setiap warga masyarakat apakah mendukung otoritas atau melakukan perlawanan terhadapnya.

4. Demiliterisasi tidak hanya berkaitan dengan MiliterDemiliterisasi bukan merupakan masalah yang hanya terkait militer. Tradisi politik dari negara-negara yang pernah diteliti antara lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengulangan kejadian oleh para politisi sipil yang menolak menerima ketidakpastian dari proses demokrasi dan kemudian meminta bantuan kepada pihak militer untuk memberikan alternatif-alternatif penyelesaian, dengan cara menyamarkan dirinya dibalik penyuaraan harapan tentang pentingnya pengutamaan kepentingan nasional. Kenyataan yang ada di berbagai kasus menunjukkan bahwa pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil. Namun imaji tentang peranan pihak militer dan bagaimana memanipulasi terhadap hal itu oleh kelompok sipil datap ditransformasikan, merupakan salah satu kunci dari permasalah-permasalah pada masa transisi politik, dan merupakan suatu hal yang akan tetap bertahan dengan baik dalam fase konsolidasi demokrasi. Harold Crouch pengamat militer Australia menyatakan bahwa kondiri baru yang megarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI mengubah doktrin fundamentalnya. Termasuk Dwifungsi yang selama ini dijadikan landasan melegitimasi kekuasaan politiknya. Diantaranya kalangan dekat Jenderal Wiranto saat itu terdapat kelompok perwira profesional reformis, yang mengambil kesempatan medesakkan ide-ide mereka sendiri tentang bagaimana militer seharusnya direformasi. Kelompok reformis tersebut berpendapat bahwa TNI tidak memiliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Berdasarkan hal itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai Paradigma baru sebagai pedoman bagi aktivitas-aktivitas politik TNI. Langkah dari paradigma baru tersebut meliputi: (1) reduction in military representation in the legislatures; (2) elimination of Kekaryaan (seconment of military officers to civilian positions); (3) political Neutrality; (4) separation of police from the military; dan (5) defence orientation.

HAK AZASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK 1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika SelatanTanggal 18 Agustus 1977, Steven Biko pendiri Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam di Afrika, di tahan dan kemudian meninggal tanggal 12 September 1977. Pembunuhan terhadapnya menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa adalah kejahatan terhadapan kemanusiaan. Duapuluh tahun kemudian, lima orang kelompok polisi yang membunuh Biko mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Potensi melakukan pembebasan dari hukuman merupakan salah satu alternatif paling ideal bagi suatu penyelesaian damai dengan kelompok kulit putih. Dan Konstitusi Transisi Afrika Selatan 1993 telah secara eksplisit mengakui adanya amnesti yang dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan rekonstruksi.Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko, menghendaki agar pembunuh suaminya dihukum, bahkan ia mengajukan permohonan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dengan tuntutan kewenangan komisi memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional, Walaupun simpati namun Mahkaman Konstitusi menolak tuntutan tersebut, meskipun akhirnya tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak memberikan amnesti dengan alasan: (1) para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada Komisi; dan (2) pembunuh Biko tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

Menurut Bronkshorst, masyarakat umum menuntut memberikan hukuman bagi pelanggaran HAM berat. Itulah sebabnya banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum pidana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa hukum Internasional sudah mengandung beberapa peraturan tentang upaya penuntutan yang harus ditaati. 2. Perspektif Hukum InternationalDalam berbagai transisi, fungsi khusus dari penghukuman dan amnesti harus dibandingkan; dan prioritas relatif diantara kedua hal tersebut tidak dapat disusun secara teoritis. Dengan demikian negara-negara domestik tidak seharusnya selalu mengabaikan amnesti dan mendahulukan penghukuman sebagai upaya pembalasan dendam. .

Berkaiatn dengan perspektif hukum internasional ini Miriam Budiardjo dalam praktek pebededaan pendapat mengenai pelaksanaan HAM secara samar-samar terus berlangsung. Sikap ini tercermin dalam sikap para pengamat serta aktivis yang outword looking dan mereka yang inward looking. Di arena iternasional, India, dan Cina cenderung menganut sikap inward looking Di Indonesia sebagian masyarakat bersikap outword looking. Mereka berpendapat bahwa semua ketentuan konvensi, hukum internasional, dan international costumary bersifat mengikat dan harus dilaksanakan, jadi sikap ini lebih cenderun g ke arah The west KEADILAN TRANSISIONALA. Pengantar

1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Barua. Menghukum Masa lalu atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap EksisPada akhir abad baru masyarakat seluruh dunia sedang berupaya memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Semenjak akhir Perang Dunia II, serangkaian negara telah tumbuh dan melepaslan diri dari pembunuh. Jerman Barat setelah mengalami kebrutalan dan ujian diri berkepanjangan, muncul dengan sebuah model demokrasi. Rusia memulai dengan suatu langkah menyedihkan membawa komunisme ke pengadilan, namun mendukung langkah W. Stalin. Afrika Selatan membuat langkah mulia melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi dan Keadilan

Menurut pengamatan Bronkhost, mantan petinggi amnesty international, dalam konteks keadilan masa transisi ini terdapat kata menarik didiskusikan. Pertama, adalah kebenaran, diambil dari nama komisi yang didirikan di Chile yang serupa dengan nama komisi yang pernah didirikan diberbagai negara yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kedua kata rekonsiliasi, semua masyarakat yang menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampau, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan. Ketiga, adalah keadilan, Menurut Bronkhost meskipun demikian, peran keadilan dalam proses tansisi, dan prioritas yang diberika berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lain.

2. Empat Permasalahan Utama:Politik Memoria. Empat Permasalahan Utama

Ruti G Teitel, seorang Guru Besar Perbandingan Hukum pada New York Law School di Amerika Serikat, menyatakan bahwa muncul gerakan politik besar-besaran dari pemerintahan nonliberal, muncul permasalahan utama: bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu. Permasalah ini terkait hal-hal lain yang membahas permasalahan dari kaitan antara perlakukan dari masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya ?

2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif ?

3) Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggujawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prispeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal ?

4) Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi ?b. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan HAM Berat Putusan Pengadilan NurembergPrinsip-prinsip Nuremberg mengenai Pengadilan Militer Internasional Ad Hoc tahun 1945-1946 terhadap para mantan penjabat perang Nazi Jerman menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diadili dalam pengadilan Internasional.

Pengadilan Nuremberg memiliki kewenangan mengadili dan menghukum orang-orang yang turut berkonspirasi melakukan kejahatan teradap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut, tercakup pula pengertian kejahatan dalam bentuk konspirasi untuk berperang agresi.

Disamping ketiga macam tindak pidana tersebut, di dalam statuta Roma diatur adanya jenis kejahatan genosida, yakni sejumlah tindakan yang bertujuan melakukan penghancuran seluruh atau sebagian kelompok masyarakat tertentu. Hal ini yang membedakan genosida dengan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Tindakan dibawah dikategorikan genosida, apabila bertujuan menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama. Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah:1) Membunuh anggota kelompok

2) Menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok;

3) Dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhjnya atau sebagian;

4) Memaksa tindakan-tindakan yang

Berdasarkan Pasal 25 (3) butir b statuta, siapapun yang memerintahkan, memohon, ataupun membujuk orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai genosida, juga dinyatakan bersalah atas genosida. Pengadilan di Nuremberg memeriksa terdakwa sebanyak 22 orang terdiri dari tokoh Nazi Jerman, dan putusannya meliputi empat hal: (a) dibebaskan, (b) 10 tahun penjara, (c) 15 20 tahun penjara, (4) penjara seumur hidup, dan (5) hukuman mati dengan cara digantung.c. Politik Memori

Menurut Teitel, masalah keadilan transisional muncul didalam konteks yang khusus dari transisi suatu pergeseran dalam tata pemerintahan. Dalam bukunya, Teitel berupaya menggeser perdebatan dari terminologi revolusi yang seringkali disebarkan oleh kalangan teoritisi ke analisis tentang peranan hukum dalam masa perubahan politik.

Misalnya, menurut Teitel, dalam formulasi Samuel Hutington mendefinisikan bahwa demokratisasi abad keduapuluh terjadi ketika most powerfull collective decission makers are selected through fair, honest, and periodic elections. Bagi kelompok lain, transisi berakhir ketika seluruh kelompok yang penting secara politik telah menerima aturan-aturan hukum. Diantara dua aliran ini adalah kelompok-kelompok lainnya yang mencakup sesuatu pandangan demokrasi yang teleology. Meskipun demikian, pendekatan teleologis telah ditolak karena memasukkan sesuatu bias terhadap demokrasi-demokrasi yang bercorak Barat. 3. Beberapa Wacana tentang Transitology dan Consolidology.

a. Kemungkinan Kontradiksi antara Kedua Subdisiplin

Sehubungan dengan subdisiplin Transitology dan Consolidology, Schmitter melihat kemungkinan terjadinya kontradiksi diantara tahapan-tahapan dari proses perubahan rezim dan ilmu-ilmu semu yang mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Terdapat kondisi memungkinkan yang hampir kondusif menakhodai ketidakpastian dari transisi yang dapat berubah ke arah kondisi-kondisi yang mengikat dan membuat konsolidasi menjadi semakin sulit. Perubahan dalam substansi politik cenderung mengurangi signifikansi aktor-aktor yang sebelumnya memainkan peranan sentral dan memperkuat peranan dari yang lain-lain yang dengan kehati-hatian atau ketidakmampuan bersifat marjinal untuk kematian autokrasi atau tahapan-tahapan sebelumnya dari transisi.

Dalam konteks Indonesia misalnya bahwa peristiwa berhentinya Soeharto sebagai Presiden 21 Mei 1998 yang memulai proses transisi politik dari rezim otoriter ke rezim yang lebih demokratis telah membawa hikmah terselubung. Hikmah yang dimaksudkan adalah menguatnya peranan aktor-aktor non negara, yang terepresentasikan dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat. b. Sebelas Refleksi Schmitter tentang Consolidology.

Sebelas refleksi yang dikemukakan oleh Schmitter sebagai berikut:

1) Refleksi Pertama

Demokrasi bukan hal yang tidak dapat dihindarkan, dia dapat dicabut atau diubah. Demokrasi tidak dibutuhkan memenuhi kebutuhan fungsional kepitalisme, ia juga tidak merespon beberapa keharusan etis revolusi sosial. Karena itu konsolidasinya menghendaki upaya yang berkelanjutan dan luar biasa. Hanya setelah suatu periode panjang dari pembiasaan diri, para politisi dan warga negara dapat memandang ke depan, ke arah rutinitas pengabdian dari demokrasi yang stabil. Dan bahkan selalu ada prospek untuk dekonsolidasi yang kemudian karena intuisi yang bersangkutan gagal beradaptasi untuk mengubah parameter-paremeter eksternalnya. 1) Refleksi Kedua Transisi pemerintahan otokratis dapat membawa hasil berbeda-beda. Menurut pandangan Schmitter setidak-tidaknya ada empat kemungkinan, meskipun probabilitas mereka bermacam-macam tergantung kasusnya. Pertama, kemunduran kembali ke otokrasi. Didasarkan semata pengalaman historis dari tiga gelombang demokrastisasi sebelumnya. Kedua, pembentukan rezim cangkok yang tidak memuaskan kriteria prosedural yang minimal bagus sebagai demokrasi politik, namun ia juga tidak kembali ke kondisi status quo ante. Rezim ini mungkin tidak memberikan suatu solusi yang kokoh dan abadi bagi problem generis dari pemerintahan. Ketiga, demokrasi yang tidak terkonsolidasikan, rezim-rezim yang tergolong ini menyalahkan demokrasi tanpa menikmati konsekuensi-konsekuensi dan keuntungan-keuntungan yang ditawarkannnya. Keempat, hasil yang paling mungkin adalah hasil yang dikehendaki, yalni demokrasi yang terkonsolidasikan, dimana terdapat aturan-aturan yang diterima secara saling menguntungkan dan institusi-institusi yang dinilai berdasarkan permainan yang adil dan adanya toleransi dan kompetisi.

3) Refleksi Ketiga, Tidak ada demokrasi yang tunggal, yang ada hanyalah demokrasi-demokrasi. Berbagai aturan yang berbeda dan bentuk-bentuk organisasional dapat menjamin tanggung jawab dari pemerintah kepada warganegaranya, sebagaimana untuk memuaskan kriteria dari persetujuan yang tidak pasti diantara para politisi dan mendapatkan persetujuan akhir dari masyarakat.4) Refleksi Keempat Jika berbagai keragaman dalam aturan-aturan dan institusi-institusi dimungkinkan, apakah yang menentukan pemilihan dari tipe demokrasi dimana para aktor akan berupaya untuk berkonsolidasi ?.Kolega dan kolaborator Schmitter, Terry Lynn Karl, telah mengembangkan suatu hipotesa bahwa tipe demokrasi akan tergantung secara signifikan pada moden transisi dan otokrasi.

5) Refleksi Kelima Setiap tipe demokrasi memiliki jalannya masing-masing yang berbeda untuk mengkonsolidasikan dirinya sendiri-khususnya iramanya dan urut-urutannya sendiri, tidak ada satu langkah pun kearah konsolidasi merupakan suatu jaminan yang diperlukan untuk masa depan stabilitas atau kelangsungan hidup dari demokrasi. Segala tipe demokrasi, memiliki kelangsungan hidup mereka sendiri. Dalam tingkatan terakhir, keberhasilan konsolidasi demokrasi tergantung pada pembelahan dari struktur sosial, biaya dan tingkatan dari perubahan ekonomi dan proses-proses budaya dari sosialisasi politik dan evaluasi politik6) Refleksi KeenamDemokrasi adalah satu-satunya bentuk sah dari dominasi politik. Hanya ia yang dapat menawarkan suatu dasar konsensual yang stabil untuk menguji otoritas publik. Pada masa lampau, selalu terdapat rezim-rezim negara alternatif yang tampak dilahirkan sebelum waktunya (prematur) dan yang bahkan dirasakan sebagai sesuatu yang lebih diinginkan oleh kelas-kelas atau kelompok-kelompok sosial.

7) Refleksi Ketujuh

Semua tipe demokrasi politik moderen adalah perwakilan bertanggung jawab secara tidak langsung, yakni melalui kompetisi dan kerjasama dari para wakilnya. Selanjutnya saluran saluran dari perwakilan telah berkembang, berlipat-lipat, terspesialisasi, profesional, mendunia secara internasional, dan mengalami penaikan yang secara otonom melebihi waktu. Berbagai neo-demokrasi mungkin belum mendapatkan jajaran penuh dari para perantara, namun demikian kelompok neo-demokrasi tersebut tidak dapat menghindari adanya keuntungan-keuntungan dan penderitaan-penderitaan dari berbagai perubahan besar dalam peranannya masing-masing.8) Refleksi KedelapanTransisi-transisi menuju demokrasi jarang terjadi dalam simultan dari keinginan-keinginan lain dan prosess-proses dari perubahan yang mendalam dalam struktur-struktur sosio ekonomi dan nilai-nilai budaya. 9) Refleksi Kesembilan

Semua konsolidasi tampak setuju dengan prinsip , Its preferable, if not indispensable, that national identity and territorial limits be established before introducing reforms in political (or economic) institutions. Selanjutnya, tidak ada suatu jalan demokratis untuk memutuskan apakah yang seharusnya menjadi unit politis yang efektif. Hal ini tidak dapat diselesaikan secara demokratis baik melalui cara-cara yang normal maupun luar biasa. Hak untuk menentukan nasib sendiri dari para rakyat atau para bangsa merupakan suatu frasa menarik, namun ia tidak memberikan pada kita sesuatupun tentang bagaimana penentuan herhadap hal ini dibuat.10) Refleksi KesepuluhMenurut Schmitter demokrasi-demokrasi cenderung mucul dalam gelombang-gelombang, yakni, mereka terjadi dalam suatu periode waktu yang relatif singkat dan didalam suatu wilayah geografis yang berdampingan. Peserta kasus-kasus yang pertama (Portugal dan Spanyol) tidak dapat menyadari bahwa mereka akan menjadi instrumental dalam membentuk suatu gelombang akhir yang akhirnya akan diperluas untuk mencakup hampir keseluruhan permukaan bumi. 11) Refleksi Kesebelas

Embrio ilmu pengetahuan consolidology telah memberikan pelajaran bahwa hal ini merupakan sesuatu yang mungkin berpindah dari berbagai tipe otokrasi ke berbagai tipe demokrasi. Sekumpulan refleksi yang dimaksud meliputi tujuh hal sebagai berikut:a. tanpa kekerasan atau penghilangan fisik dari para pemain utama dari otokrasi

b. tanpa banyak mobilisasi massa yang membawa kejatuhan dari ancien regime dan penentuan waktu dari transisic. tanpa mendapatkan satu tinggal yang tinggi dari pembangunan ekonomi

d. tanpa menyebabkan suatu distribusi kembali dari pendapatan yang substansial atau kekayaan

e. tanpa kehadiran sebelumnya dari para borjuis nasionalf. tanpa kewarganegaraan g. tanpa banyak demokrat

KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI 1. Internasionalisasi Permaalahan

Dalam dunia yang sempit ini, penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri. Ketika Republik Federal Czek dan Slovak memberlakukan hukum lustrasinya untuk melakukan screening dan membersihkan suatu kelompok besar dari para mantan pejabat komunis dan kolaboratornya, hal ini kemudian menjadi suatu fokus perhatian utama dari kalangan internasional. Kalangan Dewan Eropa (Council of Europe) an Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organitation) masing-masing melakukan analisa terhadapnya, sebagaimana yang dilakukan pula oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat asing. 2 Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif

Hukum intetnasional menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestik. Dalam periode perubahan politik, hukum internasional menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung dan kekal. Pengadilan-pengadilan lokal mempercayai pemahaman-pemahaman internasional ini. Potensi dari pemahaman hukum internasional ini mendapatkan kekuatannya dalam periode pasca perang. 3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda.

Permasalahan keadilan restrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda sampailah pada waktunya ketika aturan-aturan yang bersifat supranasional tentang penghormatan terhadap HAM dan aturan-aturan hukum justru lemah atau tidak ada. Hal ini setelah kemudian mengalami perubahan. Dewan Eropa (Council of Europe) kemudian mempublikasikan konvensinya, yaitu European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom pada tahun 1950.4. UU Lustrasi Cekoslovakia

Bulgaria menginvansi dan menduduki Cekoslovakia, Pemerintah baru kemudian bergerak cepat melawan warisan-warisan ketidakadilan rezim komunis. Presiden Havel memberikan amnesti kepada lebih dari 200.000 narapidana. Momentum pun tumbuh untuk menyingkap kasus lebih dari 100.000 individu yang diidentifikasikan dalam files StB sebagai para kolaborator atau informan, yang memuncak tanggal 4 Oktober 1991 dengan pemberlakuan Law on Lustration. Ukuran digariskan dari jajaran yang luas dari posisi-posisi kenegaraan yang melalui pemilihan atau pengangkatan, dan posisi-posisi kuasi kenegaraan, hingga tanggal 30 Januari 1996, bagi mereka semua yang diidentifikasikan sebagai conscious collaborators dalam berbagai records StB.5. Akibat yang Lebih Signifikan dan Empat Skenario Pascakomunis

Berdasarkan tipologi baik yang dikemukakan Hutington, Huyse, maupun Rustow beberapa adventurous analyst telah membuat beberapa skenario mengenai masa depan pascakomunisme. Keseluruhan secara mendasar dapat direduksi menjadi empat kemungkinan skenario sebagai berikut:

a. Skenario Pertama, yang disebut becoming like the West Dalam gambaran ini, negara pascakomunis, gradual bertransformasi menjadi suatu negara demokratis yang pluralis yang stabil. Terminologi stabil tidak dapat disamakan dengan statis, perubahan-perubahan terjadi tetapi dibagian demi bagian dapat diakomodasikan tanpa hambatan fundamental.

b. Skenario Kedua, adalah suatu sistem otoritarian. Menurut Holmes, beberapa peneliti menghasilkan suatu gradasi yang baik dari hal ini, dan dapat diargumentasikan bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara kelompok, populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi dengan asumsi adanya kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama. c. Skenario Ketiga, skenario ini secara esensial tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah. Gambaran ini membuka pola jangka panjang yang dapat dilihat: semenjak apa yang disebut sebagai revolusi merah muda telah menjadi saksi mata bagi perubahan arah kebil yang bersifat fundamental di Lithuania, Polandia, Hongaria, atau bahkan Bulgaria, mereka tidak mengangkat contoh dari skenario inid. Skenario Keempat, skenario terakhir adalah skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat diprediksi, sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan ketegori-kategori yang eksis sebelumnya. Jika kejatuhan kekuatan komunis belum mengajarkan mengehai hal itu, untuk semua model dan kesempurnaan ilmu sosial, kita tidak dapat selalu meramal kemungkinan-kemungkinan masa depan, kemudian terdapat suatu harapan kecil yang dapat dipelajari dari kesalahan-kesalahan.

KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIK1. Pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis

Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberaslisasi terdapat dua pandangan yang saling berhadapan, yakni pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakkan aturan-aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik. 2. Hukum hanyalah Suatu Produk dari Perubahan Politik

Pengistimewaan terhadap salah satu urutan pelaksanaan pembangunan didasarkan adanya bias disiplin atau generalisasi dari pengalaman-pengalaman nasional tertentu terhadap norma-norma universal. Karenanya terdapat di dalam teori politik dimana pandangan yang dominan tentang bagaimana transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan dimana perubahan politik harus dilakukan terlebih dahulu. Dalam pandangn ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara terbaik dalam konteks penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik.3. Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Publik

Antinomi pandangan kelompok realis dan idealis tentang keadilan dalam masa transisi politik, seperti penyusunan teori liberal/kritis, terbagi dalam hubungan antara hukum dan politik. Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum internasional dan politik, hukum umumnya dipahami sebagai mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebaimana kelompok realis menekankan pada kaitan yang erat antara hukum dan politik.DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM 1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan

Dalam periode transisi politik yang substansial, timbul suatu dilema tentang perhormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Dengan dasar apakah suatu rezim yang terdahulu dapat dibawa ke pengadilan? Dalam konteks pertentangan ini, apakah keadilan pidana sesuai dengan aturan hukum ? Dilema yang dihadapi oleh keadilan pidana yang menggantikan ini membawa kita ke arah permasalahan yang lebih luas tentang teori mengenai sifat dan peranan jukum dalam proses transformasi menuju ke suatu negara liberal.

Dilema transsisional ini hadir dalam keseluruhan masa sejarah plitik, hal ini tergambarkan dalam pergeseran di abad ke 18 dari bentuk negara Monarchi ke republik, namun baru tampil beberapa waktu yang lalu dalam pengadilan-pengadilan yang dilakukan pasca Perang Dunia II. Dalam periode pascaperang, hal ini menimbujlkan perdebatan antara seorang Lon Fuller dan H.L A Hart, yang masing-masing mendasarkan pendangannya pada permasalahan keadilan setelah jatuhnya rezim Nazi.

2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para

Mantan Kolaborator Nazi.

Debat antara Hart dan Fuller tentang sifat hukum berfokus pada penyelenggaraan persidangan terhadap para kolaborator Nazi dalam era Jerman pascaperang. Hart, seorang pendukung positivisme hukum, meyatakan bahwa penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagaI suatu hal yang sah. Menurut Hart, hukum tertulis yang berlaku sebelumnya walaupun tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru. Jadi dalam perspektif pandangan kelompok positivis sebagaimana didukung Hart, tuntutannya adalah agar pinsip-prinsip aturan hukum yang mengatur putusan-putusan dalam masa transisi harus tetap diproses, sebaimana dilakukan dalam masa-masa normal, dengan tetap memberlakukan sepenuhnya hukum tertulis yang bersangkutan.

Sedangkan pandangan Fuller, aturan hukum mengandung arti bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi. Karenanya, para mantan kolabor Nazi harus diadili dengan dasar hukum yang baru. Namun demikian perdebatan dimuka gagal untuk memfokuskan dalam masa transisi. Dalam periode pasca perang, dilema ini timbul berkaitan dengan kontinyuitas keberlakukan hukum dari rezim Nazi: dalam konteks apakah aturan-aturan hukum membutuhkan kelangsungan hukum ? Perspektif transnasional tentang perdebatan pascaperang akan mengklarifikasikan hal-hal apa yang disignifikasikan oleh aturan-aturan hukum. TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASIFase pra-transisi biasanya memang ditandai berakhirnya suatu peristiwa runtuhnya rejim otoriter. Pada saat keruntuhan tanda bahwa suatu fase pra-transisi telah berakhir .Mengingat proses transisi menuju demokrasi ini sangat bervariasi, seperti disebutkan dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif mendorong transisi. Seperti halnya di Indonesia Ketika Habibie naik ke tampuk kekuasaan, menggantikan Soeharto merujuk kepada teori transisi yang dikenal dalam literatur ilmu politik, negara kitamemulai sebuah fase yang disebut sebagai fase liberalisasi, atau yang dalam beberapa literatur lain disebut liberalisasi politik awal. Tanda-tanda yang bisa dilihat pada fase ini antara lain terjadi ketidaktertataan pemerintahan: terjadi instabilitas, ketidakpastian yang tiba-tiba terbangun di tengah-tengah masyarakat dan di tengah sistem, serta adanya ledakan partisipasi politik: sesuatu yang dahulu tidak diperbolehkan malah menjadi keharusan ditengah masyarakat.

Liberalisasi politik awal disuatu negara dengan negara yang lain berbeda-beda jangka waktunya. Secara teoritis liberalisasi politik awal ini biasanya dikatakan berakhir ketika ditempat itu ada pemilihan umum yang relatif demokratis dan terbangun pemerintahan baru yang keabsahannya relatif tinggi. Seperti pemilu pada tanggal 7 Juni 1999, di Indonesia dan terpilihnya Gus Dur, dan pada akhir Oktober 1999, ini bisa dikatakan gejala pengakhiran periode liberalisasi politik awal. Setelah itu pasca 20 Oktober 1999, kita baru menjalani fase transisi. Dan Jika satu sistem politik berhasil menjalani fase transisi dengan baik, maka ia akan memasuki ke fase baru yang disebut konsolidasi demokrasi. Hal yang menentukan apakah masa transisiberhasil ataukah gagal, artinya fase ini mampu mengantarkan masuk kepada tahapan baru (konsolidasi demokrasi) atau tidak, ditandai berhasil atau tidaknya menata apa yang disebut sebagai perangkat keras demokrasi, yaitu: aktor, institusi, aturan, mekanisme. Tidak mudah menjalani masa transisi Transisi yang berhasil adalah memunculkan aktoryang secara politik semakin representatif mewakili kekuatan politiksebanyak mungkin secara profesional semakin kompeten dan secara moralsemakin otentik. Indonesia hanyalah salah satu contoh negara yang bertransisi dari otoreitarisme menjadi demokratis tentunya banyak negara lain menjalani rentan masa transisi secara berbeda-beda. Filipina misalnya.

Hutington berpendapat, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil militer mereka tidak begitu diperhatikan. Namun sebenarnya tidak selalu demikian sebagai contoh militer bisa jadi merupakan alat dari rezim otoritarian seperti beberapa negara melakukan hal ini misal saat orde baru di Indonesia, dan militer malah merupakan alat bagi masyarakat agar negara menjadi demokratis seperti di Thailand misalnya. Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliterisme ke demokrasi yang disebut sebagai transisi politik, maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Langkah ini disebut sebagai kekuasaan hukum didalamnya instrumen-instrumen dari majelis rakyat, misalnya Undang-Undang Dasar beserta turunan-turunannya. Seperti apa yang dikatakan Bronkhorst : membuat tatanan baru, membuat propaganda yang mengatakan bahwa salah menghinan yang dahulu kaya dan berkuasa, karena ada kemungkinan mereka kembali akan berkuasa. Setuju apa yang dikatakan karena banyak bukti bahwa beberapa penguasa di negara-negara di dunia ini kembali berkuasa setelah merea dijatuhkan oleh rakyat, meskipun yang berkuasa bisa jadi bukan dirinya melainkan turunannya, sebut saja penguasa di negara Indonesia, Filipina, Pakistan. HAK AZASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK

Jika menilik kasus pembunuhan terhadap Steven Biko, dimana pembunuhan terhadapnya menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa adalah kejahatan terhadapan kemanusiaan. Yang duapuluh tahun kemudian, lima orang kelompok polisi yang membunuh Biko mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Meskipun melakukan pembebasan dari hukuman merupakan salah satu alternatif paling ideal bagi suatu penyelesaian damai dengan kelompok kulit putih. Dan Konstitusi Transisi Afrika Selatan 1993 telah secara eksplisit mengakui adanya amnesti yang dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan rekonstruksi.

Namun Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko, menghendaki agar pembunuh suaminya dihukum, bahkan ia mengajukan permohonan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dengan tuntutan kewenangan komisi memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional, Walaupun simpati namun Mahkaman Konstitusi menolak tuntutan tersebut, meskipun akhirnya tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak memberikan amnesti dengan alasan: (1) para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada Komisi; dan (2) pembunuh Biko tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

Masyarakat umum menuntut memberikan hukuman bagi pelanggaran HAM berat. Itulah sebabnya banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum pidana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa hukum Internasional sudah mengandung beberapa peraturan tentang upaya penuntutan yang harus ditaati. Amnesti adalah salah satu cara agar terjadi rekonsiliasi meskipun memang terlihat tidak adil, namun kadang kala hal ini efektif untuk terjadinya rekonsiliasi seperti di Indonesia (Aceh), dimana Pemerintah tidak menuntut tindakan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka, meskipun kenyataanya mereka melakukan segala macam tindak pidana. Dan sama halnya dengan negara Afrika Selatan yang memasukkan aturan ini didalam Undang-Undang Dasarnya, Indonesia pun memiliki aturan ini di dalam Undang-Undang Dasarnya. KEADILAN TRANSISIONALPada akhir abad baru masyarakat dunia berupaya memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Namun tidak seluruhnya melakukan hal demikian karena ada dua kondisi yaitu menghukum masa lalu atau membiarkan kaitan dengannya tetap eksis, Semenjak akhir Perang Dunia II, serangkaian negara telah tumbuh dan melepaslan diri dari pembunuh. Jerman Barat setelah mengalami kebrutalan dan ujian diri berkepanjangan, muncul dengan sebuah model demokrasi. Rusia memulai dengan suatu langkah menyedihkan membawa komunisme ke pengadilan, namun mendukung langkah W. Stalin. Afrika Selatan membuat langkah mulia melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Menggabungkan pencarian kebenaran, rekonsiliasi dan keadilan, menurut Bronkhost, keadilan masa transisi ini terdapat kata menarik didiskusikan, karena pernah didirikan diberbagai negara yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain itu dalam hal rekonsiliasi, semua masyarakat yang menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampau, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan. Kemudian soal keadilan, Menurut Bronkhost meskipun demikian, peran keadilan dalam proses tansisi, dan prioritas yang diberika berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lain.

KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI

Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri. Seperti dilakukan Republik Federal Czek dan Slovak memberlakukan hukum lustrasinya untuk melakukan screening dan membersihkan suatu kelompok besar dari para mantan pejabat komunis dan kolaboratornya, hal ini kemudian menjadi suatu fokus perhatian utama dari kalangan internasional. Kalangan Dewan Eropa (Council of Europe) an Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organitation) masing-masing melakukan analisa terhadapnya, sebagaimana yang dilakukan pula oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat asing.

Ruti G Teitel, seorang Guru Besar Perbandingan Hukum pada New York Law School di Amerika Serikat, menyatakan bahwa muncul gerakan politik besar-besaran dari pemerintahan nonliberal, bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu. Permasalah ini terkait hal-hal lain yang membahas permasalahan dari kaitan antara perlakukan dari masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya ? Penting masyarakat memahami hal ini karena masyarakat pula yang harus melaksanakan aturan ini. Demikian pula rezim baru haru memikirkan tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif ?. Dan selalu terdapat kaitan antara pertanggujawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prispeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal ?. Selain itu difikirkan pula Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi ?

KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIKDalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi terdapat dua pandangan yang saling berhadapan, yakni pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: apakah perubahan politik dianggap penting mendahului penegakkan aturan-aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik. Aliran realis menginginkan agar terjadi perubahan politik dahulu baru kemudian aturan mengikuti, sedangkan aliran idealis sebaliknya. Kedua-dua aliran ini dalam kenyataan sering kali terjadi

Hukum hanyalah produk perubahan politik, sering kali terjadidalam transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan dimana perubahan politik harus dilakukan terlebih dahulu. Dalam pandangn ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara terbaik dalam konteks penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik.

Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Publik

Antinomi pandangan kelompok realis dan idealis tentang keadilan dalam masa transisi politik, seperti penyusunan teori liberal/kritis, terbagi dalam hubungan antara hukum dan politik. Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum internasional dan politik, hukum umumnya dipahami sebagai mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebaimana kelompok realis menekankan pada kaitan yang erat antara hukum dan politik.

DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM

1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan

Dalam periode transisi politik yang substansial, timbul suatu dilema tentang perhormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Dengan dasar apakah suatu rezim yang terdahulu dapat dibawa ke pengadilan? Dalam konteks pertentangan ini, apakah keadilan pidana sesuai dengan aturan hukum ? Dilema yang dihadapi oleh keadilan pidana yang menggantikan ini membawa kita ke arah permasalahan yang lebih luas tentang teori mengenai sifat dan peranan jukum dalam proses transformasi menuju ke suatu negara liberal.

Dilema transsisional ini hadir dalam keseluruhan masa sejarah plitik, hal ini tergambarkan dalam pergeseran di abad ke 18 dari bentuk negara Monarchi ke republik, namun baru tampil beberapa waktu yang lalu dalam pengadilan-pengadilan yang dilakukan pasca Perang Dunia II. Dalam periode pascaperang, hal ini menimbujlkan perdebatan antara seorang Lon Fuller dan H.L A Hart, yang masing-masing mendasarkan pendangannya pada permasalahan keadilan setelah jatuhnya rezim Nazi.

2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para

Mantan Kolaborator Nazi.

Debat antara Hart dan Fuller tentang sifat hukum berfokus pada penyelenggaraan persidangan terhadap para kolaborator Nazi dalam era Jerman pascaperang. Hart, seorang pendukung positivisme hukum, meyatakan bahwa penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagaI suatu hal yang sah. Menurut Hart, hukum tertulis yang berlaku sebelumnya walaupun tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru. Jadi dalam perspektif pandangan kelompok positivis sebagaimana didukung Hart, tuntutannya adalah agar pinsip-prinsip aturan hukum yang mengatur putusan-putusan dalam masa transisi harus tetap diproses, sebaimana dilakukan dalam masa-masa normal, dengan tetap memberlakukan sepenuhnya hukum tertulis yang bersangkutan.

Sedangkan pandangan Fuller, aturan hukum mengandung arti bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi. Karenanya, para mantan kolabor Nazi harus diadili dengan dasar hukum yang baru. Namun demikian perdebatan dimuka gagal untuk memfokuskan dalam masa transisi. Dalam periode pasca perang, dilema ini timbul berkaitan dengan kontinyuitas keberlakukan hukum dari rezim Nazi: dalam konteks apakah aturan-aturan hukum membutuhkan kelangsungan hukum ? Perspektif transnasional tentang perdebatan pascaperang akan mengklarifikasikan hal-hal apa yang disignifikasikan oleh aturan-aturan hukum.