TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

69
TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE POLITIK MINANGKABAU MODERN (Studi Kasus pada Nagari Jawi- Jawi Kabupaten Solok) 1 Tengku Rika Valentina, Andri Rusta 2 , Nicky Nia Gustriani 3 Abstrak Adanya kegamangan dari para elite nagari dan pemuka adat ketika menjadikan nagari sebagai sebuah basis demokrasi lokal, mereka dihadapkan kepada dua pilihan yaitu tetap mempertahankan model demokrasi tradisional nagari atau mengganti dan merubahnya menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi barat dalam pemerintahan nagari. Disisi lain negara ternyata tidak sepenuhnya menerapkan desentralisasi dan devolusi, dimana desentralisasi yang diberikan terhadap pemerintahan terendah harus juga diikuti dengan devolusi supaya bisa membentuk sebuah negara demokrasi baru. Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan lokal. Kata kunci: demokratisasi,demokrasi lokal, elite nagari. Bab 1. Pendahuluan Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-prosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi. Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah berhasil menggeser pemahaman subtantifis 1 Penelitian ini dibiayai oleh Dana DIPA Unand tahun 2009 2 Staf pengajar jurusan Ilmu Politik, FISIP. Unand 3 Mahasiswa (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fisip. Unand 1

Transcript of TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Page 1: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE POLITIK MINANGKABAU MODERN

(Studi Kasus pada Nagari Jawi- Jawi Kabupaten Solok)1

Tengku Rika Valentina, Andri Rusta2, Nicky Nia Gustriani3

Abstrak

Adanya kegamangan dari para elite nagari dan pemuka adat ketika menjadikan nagari sebagai sebuah basis demokrasi lokal, mereka dihadapkan kepada dua pilihan yaitu tetap mempertahankan model demokrasi tradisional nagari atau mengganti dan merubahnya menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi barat dalam pemerintahan nagari. Disisi lain negara ternyata tidak sepenuhnya menerapkan desentralisasi dan devolusi, dimana desentralisasi yang diberikan terhadap pemerintahan terendah harus juga diikuti dengan devolusi supaya bisa membentuk sebuah negara demokrasi baru. Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan lokal.

Kata kunci: demokratisasi,demokrasi lokal, elite nagari.

Bab 1. Pendahuluan

Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-

prosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi.

Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah

berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Upaya ke arah ”demokrasi

akar rumput ini” mengandaikan institusi- institusi atau pranata sosial ditingkat

lokal4. Melihat bahwa demokrasi merupakan bagian penting dari political

1 Penelitian ini dibiayai oleh Dana DIPA Unand tahun 2009 2 Staf pengajar jurusan Ilmu Politik, FISIP. Unand 3 Mahasiswa (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fisip. Unand 4 Pranata sosial yang dimaksudkan disini adalah penjelasan alam UU No 22 tahun 1999 jo UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 200 ayat (2) menyatakan bahwa “Desa dapat dibentuk dan dihapus atau digabung dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarat, undang-undang tersebut memberi peluang kearah diwujudkannya pemerintahan terendah yang lebih otonom, demokratis dan dinamis sesuai dengan asal usulnya”. Pemerintah Sumatera Barat dalam menyikapi realisasi dari UU No 22 tahun 1999 Jo UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah pada pasal 200 ayat (2) tersebut adalah dengan membentuk kembali nagari sebagai unit pemerintahan terendah melaui Perda No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, dimana pemerintahan daerah memberi peluang pada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan bentuk-bentuk pemerintahan nagari, berdasarkan asal usul kondisi sosial budaya masyarakat setempat berdasarkan “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru” ( adat bersendikan agama, agama bersendikan Al’quran, agama mengatur adat memakai alam dunia bisa dijadikan sebagai guru atau pedoman hidup), maksudnya

1

Page 2: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

institusion, maka institusionalisasi demokrasi kedalam lembaga yang otonom

yang menjamin kelangsungan proses demokratisasi menjadi suatu hal yang

penting. Institusi lokal sebagai sebagai basis masyarakat mayoritas, apa bila tidak

bisa di transformasikan menjadi kekuatan demokrasi maka sangat mungkin akan

sulit membangun demokrasi yang sesungguhnya. Dari sini akan terlihat erat

kaitan antara demokrasi dengan institusi lokal, dengan pembaharuan relasi

masyarakat dengan negara, sekaligus dengan demokrasi yang substansial.

Nagari menjadi kajian yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan

dalam kaitannya dengan proses demokrasi. Menuju kearah tingkatan

demokratisasi di tingkat grasroot. Nagari dalam tradisi Minangkabau merupakan

identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan yang

makrokosmik yang lebih luas. Di dalam nagari sebenarnya terkandung sistem

yang memenuhi persyaratan embrional dari dari sebuah sistem negara. Nagari

adalah ’negara’ dala artian miniatur dan merupakan ’republik kecil’ yang sifatnya

self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Sebagai sebuah

lembaga, nagari bukan saja dipahami sebagai kualitas teritorial, tetapi juga

mencakup kualitas geneologis, ia adalah lembaga pemerintah dan sekaligus

merupakan lembaga kesatuan sosial utama yang dominan. Sebagai kesatuan

masyarakat yang otonom nagari merupakan republik mini dengan terotorial yang

jelas bagi anggotamya, punya pemerintahan sendiri, adat sendiri, yang mengatur

tatanan kehidupan angotanya.

Disamping nagari pada taraf pemerintahan mempunyai unsur utama

legislatif (Badan Perwakilan Nagari ), eksekutif (Pemerintahan Nagari) dan

yudikatif (Kerapatan Adat Nagari), ia juga merupakan kesatuan holistik bagi

peranan tatanan sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja primodial

konsaguinal sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial

pemerintahan yang efektif.

Kejatuhan Orba telah mengantarkan sebuah ”republik kecil (nagari)

”memasuki masa transisi menuju sebuah konsep demokrasi. Sebelum sampai

dengan pemberian wewenang yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk mengelola potensi daerahnya, diyakini akan dapat memberi manfaat yang lebih besar dibanding pada masa sebelumnya, dengan melalui dukungan kebijakan desentralisasi yang memberikan keleluasaan pada daerah untuk menjadi daerah otonom yang lebih mandiri.

2

Page 3: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

lokus permasalahan, ada sebuah pertimbangan disini ketika proposal kecil ini

dibuat, adalah semangat untuk mengkaji kembali transisi demokrasi pada tingkat

lokal di Sumatera Barat, yang sebelumnya telah dihadapkan pada kondisi

anomalie yang membingungkan. setelah reorganisasi pemerintahan desa kedalam

pemerintahan nagari melalui Perda No 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok

Pemerintahan Nagari, elite- elite Minangkabau kembali perhatian pada adat dan

institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan lokal, tetapi hanya sebatas

pada semangat wawasan yang populis, nostalgia, dan berorenatasi pada masa

kejayaan pemerintahan nagari sebelum kemerdekaan. sayangnya, semangat

nostalgia pemerintahan lokal di Sumatera Barat itu sendiri sangat bertolak

belakang dengan identitas Minangkabau. elite Minangkabau agak ambigu dalam

memahami makna dari sebuah demokrasi lokal, sementara daerah lain di

Indonesia menunjukan perhatian yang kuat dalam identitas kedaerahan mereka,

identitas minangkabau terasa ambivalen.

Bab 2. Perumusan Masalah.

Dengan demikian penelitian ini ingin membuktikan tantangan di atas

seraya melibatkan diri dalam arena perdebatan dan kajian demokratisasi Indonesia

kontenporer untuk menjawab proses transisi demokrasi pada tingkatan lokal di

Sumatera Barat, yang diselenggarakan oleh elite Minangkabau modern. Paling

tidak ada beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan yaitu:

1. Bagaimana proses transisi demokrasi lokal yang terjadi dalam Nagari ?

2. Lembaga- lembaga lokal apa saja yang terkait dalam proses transisi

tersebut?

Bab 3. Tinjauan Pustaka.

Tujuan pustaka ini akan diarahkan pada dua hal yaitu: me-review sejumlah

perspektif (pendekatan) yang menjelaskan transisi dan perspektif alternatif yang

berbeda tentang konsep demokrasi: pada bagian pertama saya akan membongkar

perspektif yang tidak memadai untuk menjelaskan proses transisi demokrasi di

Indonesia. pada bagian kedua, saya akan menampilkan perspektif yang berbeda

yang lebih memadai untuk menjelaskan perubahan transisi demokrasi lokal.

3.1.Demokrasi Dan Demokratisasi

3

Page 4: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Fokus utama dalam proposal singkat ini adalah menjelaskan transisi yang

dialami oleh pemerintahan lokal di Sumatera Barat ( nagari ) dalam memaknai

sebuah konsep demokrasi, jadi kerangka konseptual ini lebih diarahkan pada

konsep demokratisasi yaitu proses perubahan pemerintahan lokal tentang

reorganisasi pemerintahan terendah dari nagari menjadi desa melalui UU No 5

tahun 1979 yang kemudian dirubah kembali menjadi nagari dengan semangat UU

No 22/1999 jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Perda No 9 tahun 2001

tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari (dari rezim yang non demokratis

pada masa orba ke masa transisi yang lebih demokratis). Kajian pada

demokratisasi akan diberi bobot lebih besar, yaitu bermaksud ingin menjelaskan

seraya mengeksplorasi faktor- faktor penyebab transisi demokrasi di indonesia

sehingga nantinya akan membantu saya untuk menganalisis transisi demokrasi

lokal dan transisi elite Minangkabau di Sumatera Barat.

3.1.1. Demokrasi Minimalis Vs Demokrasi Maksimalis

Konsep demokrasi pada umumnya diterjemahkan secara mendasar sebagai

pemerintahan ( kratos) oleh rakyat (demos). Tetapi definisi sederhana itu dalam

perkembangannya mengalami kemerosotan makna ( pejoratif ). Setelah nazi dan

fasisme menglamai kehancuran pasca peran dunia II, setiap rezim yang berkuasa –

termasuk totaliter sekalipun dibelahan dunia selalu mengklaim dirinya demokratis

dan bertindak atas nama rakyat. Klaim itu diwujudkan lewat munculnya banyak

label demokrasi, seperti demokrasi kerakyatan, demokrasi ploretariat, demokrasi

borjuis, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan

sebagainya.

Untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis atau non

demokratis , para ilmuan pada umumnya akan menjabarkan elemen- elemn kritis

yang terkandung dalam frasa ”pemerintahan oleh rakyat”, selain dengan melihat

perwujudan elemen- elemen demokrasi pada level empirik, jika dikaji lebih dalam

frasa ” pemerintahan oleh rakyat ” itu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis :

”siapa rakyat yang memerintah itu?” ”bagaimana rakyat memerintah?” seberapa

besar rakyat ( dalam ) rakyat terlibat memerintah? . sejumlah pertanyaan ini

menyebabkan demokrasi tidak bermakna tunggal tetapi merupakan entitas

4

Page 5: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

dimanis yang memperoleh pemaknaan (interprestasi) berbeda- beda dari para

filsuf dan ilmuan politik

Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan

dimaknai dengan dua pendekatan yang berbeda. Yang pertama kali muncul adalah

pendekatan klasik- normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide- ide dan

model- model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis

pemikiran klasik – dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan sampai pada

pemikiran sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber

wewenang dan tujuan ( kerangka preskripsi secara normatif untuk sistem politik).

Pendekatan klasik normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak

rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.5

Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif

memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan

unsur- unsur nonpolitik (sosial, ekonomi dan budaya). Kebebasan sebagai esensi

dalam demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara,

memilih, berkumpul, berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosial ekonomi (yakni

bebas dari berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan

dan sebagaimnya) para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon

Struat Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa

ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan

demokrasi. dengan kata lain suatu negara yahng diwarnai dengan ketimpangan

sosial ekonomi tidak bisa dikatakan demokratis meski kebebasan politiknya

terjamin. 6

Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen

konstitusi dan gagasan rule of law untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak

dan kewajiban rakyat (warga negara) serta untuk membatasi penggunaan

kekuasaan sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi

pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik

ketika studi demokratisasi berkembang sejak hakir dekade 1970-an. Pendekatan 5 Lihat Giovanni Sartori, the theory of democracy revisited ( Chatam , New York : Chatam House , 1987) bandingkan dengan carol Gould , Rethinking Democracy ( Cambridge, New York: Cambridge university press 1988); Robert A. Dahl, democracy and its critics ( New haven : yale University Press, 1989) dan Robert A. Dahl, on democracy ( New haven : yale university press, 1998) 6 Georg Soronsen, democracy and democratization ( Boulder, Co : Westview press, 1993), hal 7-8

5

Page 6: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

ini hanya digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide – ide, wacana dan

model - model demokrasi.

Studi demokrasi mutakhir yang menjamur dalam satu-dua dekade terakhir

justru menerapkan pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif –

maksimalis. Pendekatan empirik minimalis yang menjadi basis pemikiran studi

demokrasi lokal di Sumatera Barat yang saya uraikan lebih mengacu pada

konstruksi teorinya Robert A. Dahl. Dahl menawarkan sebuah konsep demokrasi

minimalis yang disebut sebagai ”poliarkhi”7. Di dalam poliarkhi ada sebuah

derajat kontestasi publik yang tinggi (liberalisasi) maupun partisipasi

(Inklusivitas). Untuk menjamin bekerja mekanisme poliarkhi, Dahl menyatakan

bahwa rakyat harus diberi kesempatan untuk: (1) merumuskan pilihan (perferensi)

atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perferensinya itu pada sesama

warga negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif; (3)

mengusahakan agar kepentingannya itu pertimbangannya secara setara dalam

proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi

berdasarkan isu atau asalnya8 . tiga kesempatan itu dapat dicapai kata Dahl bila

ditopang dengan delapan jaminan kelembagaan: (1) kekebasan membentuk dan

bergabung dalam organisasi; (2) kebebasan dalam menyampaikan pendapat; (3)

hak memilih dalam pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik;

(5) hak para pemimpin untuk bersaing dan memperoleh dukungan dan suara

rakyat; (6) tersedianya sumber- sumber informasi alternatif; (7) terselenggaranya

pemilihan umum yang bebas dan jujur; (8) adanya lembaga- lembaga yang

menjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum, dan pada

cara- cara penyampaian perferensi yang lain9.

Sementara Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset

menyederhanakan delapan kriteria Dahlian menjadi tiga kriteria untuk menndai

sebuah sistem politik tersbeut lebih demokratis, yaitu: (1) kompetisi yang

sungguh- sungguh dan meluas di antara individu- individu dan kelompok-

kelompok organisasi unutk merebut jabatan yang mempunyai kekuasaan efektif

pada jangka waktu teratur dan tidak menggunakan daya paksa; (2) partisipasi

7 Robert A. Dahl. Polyarchy: participation and Opposition. ( New Haven: Yale University Press. 1971) hal 2. 8 Ibid. hal 29 Ibid.hal 2-3

6

Page 7: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan

pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum, yang diselenggarakan secara

teratur dan adil sehingga tidak ada satupun kelompok sosial (warga negara biasa)

tanpa kecuali; (3) tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kekebasan berbicara,

kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi,

yang cukup untuk menjamin integritas, kompetisi dan partisipasi politik.10

Dengan melihat dua pendekatan yang berbeda di atas, saya cenderung

untuk memilih pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif- maksimalis.

Tetapi saya tidak akan membuang ide dan model demokrasi yang terangkum

dalam pendekatan normatif. Bagi saya ide dan model demokrasi sangat relevan

dibicarakan sebagai kerangka preskripsi untuk menjelaskan demokrasi lokal di

Sumatera Barat di masa depan. Namun pendekatan empirik – minimalis akan

diberi bobot yang lebih besar dalam proposal singkat ini, karena saya hendak

mengkaji proses (empirik) transisi menuju demokrasi pada politik lokal di

Sumatera Barat yang baru saja merevisi perda tentang pemerintahan lokalnya (

nagari ) menjadi perda Propinsi Sumatera Barat No 2 tahun 2007 tentang

pemerintahan nagari dengan memberdayakan sekaligus tiga pilar proses

demokrasi lokal yaitu Badan Perwakilan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari

(KAN).

Jika ditempatkan pada perspektif komparatif, delapan kriteria Dahl, dan

tiga kriteria Diamond dkk, akan saya gunakan untuk memetakan derajat proses

perjalanan demokrasi lokal di Sumatera Barat mulai dari dari 1903 ketika nagari

dijadikan pertama kali sebagai pemerintahan terendah oleh belanda dengan

mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903) yang memberikan

peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri,

Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakat-

masyarakat daerah - sampai pada tahun 2007.

Derajat pemetaan tentang transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di

Sumatera Barat tersebut saya bagi kedalam beberapa varian berdasarkan bentuk

pola pemerintahannya dan lembaga- lembaga adat yang ada dalam nagari tersebut.

10 Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Democracy in Asia. (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1989), hal xvi atau Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990). Hal 6-7.

7

Page 8: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Demokrasi disini saya tempatkan sebagai variabel kontinu bukan dikotomis

dengan nondemokrasi yang dipilah menjadi tiga yakni demokrasi (penuh), semi

demokrasi dan nondemokrasi. Saya membuat sebuah asumsi awal apabila Suatu

sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan

oleh Diamond dkk. Derajat dibawahnya adalah semidemokrasi atau disebut

sebagai demokrasi yang terbatas (restricted democracy), yang ditandai oleh: (1)

tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan politik tetapi kekuasaan efektif

pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan ada harapan dari perferensi

publik; (2) kekebasan sipil dan politik sangat terbatas dimana oreantasi dan

kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan itu.

Sementara derajat yang paling rendah adalah nondemokrasi yakni rezim yang

tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan berpartisipasi secara bebas.11

Kemudian proses pemilahan dari varian demokrasi tersebut saya bagi lagi

berdasarkan pada periodesasi perjalanan pemerintahan lokal yang ada di Sumatera

Barat mulai dari 1903-2007 sehingga nantinya bisa membingkai proses transisi

demokrasi dan melacak komunitas elite minangkabau modern di Sumatera Barat.

Derajat dari demokrasi tersebut saya bagi jadi Dua yaitu mengambarkan proses

terbentuknya komunitas elite politik minangkabau dan proses terbentuknya

transisi demokrasi dalam komunitas elite politik minangkabau seperti yang

digambarkan dalam tabel dibawah ini;

Kerangka konseptualnya Dahl ingin saya pakai untuk melihat proses

transisi tersebut, walaupun gelombang demokrasi tersebut baru muncul sekitar

1970-an hingga dekade 1990-an, tetapi saya yakin dari hasil temuan dilapangan

nantinya ternyata gelombang demokrasi itu sudah ada pada pemerintahan lokal di

Sumatera Barat setelah nagari dijadikan sebagai lembaga formal pada tahun 1903

oleh pemerintahan Pelanda. Dan sengaja saya memulainya pada masa penjajahan

belanda karena proses Decentralisatiwed (staatsblaads No. 329/1903) yang

memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan lokal yang mempunyai

keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “Raad” atau

dewan masyarakat-masyarakat daerah/nagari pertama kali dibentuk12. Dari proses

11 Ibid.hal 612 Roni Ekha Putera dan Tengku Rika Valentina. Modul sistem pemerintahan dan DinamikaPembangunan Nagari Nagari. Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas Padang tahun 2006

8

Page 9: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

transisi tersebut nantinya dapat membantu saya membingkai proses tumbuhnya

komunitas baru elite Minangkabau modern yang ada dalam pemerintahan lokal di

Sumatera Barat

3.1.2. Menjelaskan Transisi Menuju Demokrasi Dengan Menggunakan Pendekatan Kotingensi Elite.

Dalam detour pada konsep demokratisasi yang didalamnya akan

mencakup transisi, liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. demokratisasi

adalah jalan atau proses perubahan dari rezim nondemokratis menjadi rezim

demokratis. Menurut samuel Huntington, demokrasi pada tingkatan sederhana

mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim

demokrartis (3) konsolidasi rezim demokratis13. Dalam membingkai kerangka

konseptual ini saya lebih mengikuti konsep teoritis demokratisasinya Dahl, yaitu

demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang

tidak memberikan kesempatan partisipasi dan liberalisasi menuju poliarkhi yang

memberikan derajat kesempatan partisipasi dan liberalisasi lebih tinggi

Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan rumit

tetapi saling berkaitan, dari liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi.

liberalisasi adalah proses pengefektifkan hak- hak politik yang melindungi

individu- individu dan kelompok sosial dati tindakan sewenang- wenang dan tidak

sah dari negara atau pihak ketiga. Liberalisasi seperti dalam konseptualisasi Dahl

(1971) mencakup konstelasi publik dan partisipasi dalam prosedur kelembagaan

semacam pemilihan umum serta terbukanya kesempatan publik unutk

mengekspresikan kebebasan politinya (kebebasan berbicara, berkumpul dan

berorganisasi ) akan tetapi liberalisasi tidak sama dengan demokratisasi, meski ia

muncul dalam proses transisi, liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instlasi

demokrasi yang penuh (fully democracy). Tanpa jaminan bagi kekebasan individu

dan kelompok yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin diturunkan

derajatnya menjadi sekedar formalisme dalam sistem semi demokrasi/demokrasi

terbatas (restricted democracy). Disisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap

rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga dibawah demokrasi

13 Samuel Huntington (1991) .Op.Cit. hal. 44

9

Page 10: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan bahkan dibatalkan demi kepentingan

mereka yang duduk di pemerintahan 14

Tahapan dari liberalisasi adalah transisi, transisi disini didefinisikan

sebagai titik awal atau interval (selang waktu) proses perjalanan pemerintahan

lokal di Sumatera Barat ( nagari ) diantara berbagai periode kekuasaan

pemerintahan mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde

Baru Dan masuk pada rezim yang lebih demokratis yaitu pada masa reformasi.

Dalam artian lain transisi yang saya lihat disini adalah pengesahan (instalasi)

lembaga- lembaga politik pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat dan aturan

politik baru di bawah payung demokrasi. Tetapi seperti halnya liberalisasi, transisi

tidak mesti berakhir dengan sebuah instalasi kerangka demokrasi seperti konsep

Dahl yang saya pakai, sebaliknya bisa saja nanti dari hasil temuan dilapangan,

bisa saja tercipta rezim otoritarian baru dalam menjelaskan dinamika

pemerintahan lokal (nagari ) yang ada di Sumatera Barat, atau bisa saja sifat dari

demokrasi tersebut lebih ke semi demokrasi.

Walaupun Gelombang demokratisasi sejak akhir dekade 1970-an hingga

1990-an dan merupakan objek yang paling menarik bagi para ilmuan politik, akan

tetapi saya perlu melontarkan beberapa kritik awal bahwa sebahagian besar studi

demokratisasi seperti dalam karyanya Huntington, Juan Linz, Seymour Martin

Lipset, O’Donnel dan sebagainya sangat diilhami oleh ’semangat’ Eropa Selatan

dan Amerika Latin dan tidak semuanya cocok dijadikan sebagai rujukan bagi studi

demokrasi di wilayah pemerintahan lokal di Indonesia. Sejumlah kajian

demokratisasi umumnya masih terombang- ambing antara kajian ideografis

(melalui metode deskriptif- historis yang mendalam mengenai kejadian dan aktor)

dan renungan abstrak dan normatif tentang prinsip- prinsip demokrasi yang

didukung oleh sedikit bukti yang sistematis. Kajian ideografis ini memang

memberikan sumbangan yang berharga karena akan menjelaskan apa yang disebut

oleh Dahl ’profil negeri’ dengan meliputi beberapa unsur pluralisme subkultur,

tatanana sosial dan ekonomi. Akan tetapi kelemahan yang mendasar dari kajian

ideografis ini adalah ketidakmampuan menarik suatu generalisasi (nomotetik)

yang punya kekuatan eksplanasi dan prediksi secara memadai dan komparatif.

14 Robbert Dahl (1971) Op. cit

10

Page 11: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Dengan kritik di atas proposal singkat ini hendak melakukan kajian

mutakhir untuk menjembatani gap antara kajian ideografis, nomotetik dan

spekulasi yang abstrak. Proposal singkat ini barangkali berada di tengah- tengah

antara kajian ideografis (deskripsi mendalam) dan nomotetik (teoritis), disini saya

lebih memfokuskan prosedur- prosedur lembaga politik pemerintahan lokal

(Pemerintahan nagari, BPN dan KAN) dan aktor- aktor politik yang nantinya akan

menciptakan sebuah komunitas elite minangkabau, dengan menawarkan

generalisasi berlevel menengah sehingga bisa menghasilkan sebuah penelitian

transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat menjadi lebih

komparatif .

Selain kritik diatas, jauh yang dapat saya lihat terdapat perspektif utama

yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi pada politik lokal di

Indonesia yaitu terletak pendekatan kontigensi elite.

Pendekatan kontigensi yang sepenuhnya berpusat pada strategi dan

pilihan- pilihan kontigen akor atau elite politik. Pendekatan ini sebenarnya

diprakasai oleh para pengkaji demokratisasi yang sebelumnya menggunakan

pendekatan negara. Seperti guillermo O’ Donnel , Phillippe Schmitter, Alferd

Stepan, Adam Przeworski dan sebagainya. Sebegitu jauh mereka meninggalkan

Negara dan variabel- variabel sosiokultural, dan memusatkan perhatian pada

kinerja atau prosedur pada lembaga- lembaga politik serta pada tindakan (staretgi

atau taktik) para aktor (elite) politik dalam proses menuju transisi demokrasi.

Masih banyak karya lain yang terfokus pada peran aktor ( elite) politik dalam

proses transisi menuju demokrasi, karya huntington (1991) misalnya mengulas

bhwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite

”pembaharu liberal ” dalam pemerintah untuk mengakali pola- pola yang mapan.

Dalam konteks indonesia, Harold Crouch adalah analisis yang

menggunakan pendekatan kontigensi untuk mengkaji prospek demokrasi. dengan

menolak- lemen- elemen sosio – ekonomi, struktur kelas, budaya, tekanan

eksternal dan kekuatan oposisi, crouch menempatkan variabel konflik elite yang

tampaknya merupakan pendorong kuat bagi proses transisi demiokrasi di

indonesia. Menurut Crouch selama elite tetap terbagi dan persaingan mereka

melibatkan mobilisasi dukungan nonelite, ada kemungkinan sistem akan menjadi

11

Page 12: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

lebih terbuka dan liberal. Fenomena ini akan semakin terlihat dengan jelas bahwa

konflik elite membawa efek liberalisasi terbatas, seperti dalam bentuk

keterbukaan politik semakin dinamis. semakin lama situasi ini berlangsung

reformasi akan semakin menjadi melembaga dan elite akan semakin terbiasa

dengan kompetisi politik.15

Proposal singkat ini menempatkan ”tindakan elite ” sebagai variabel

terdepan yang sangat menentukan transisi, sebab transisi menuju demokrasi tidak

hanya berkaitan dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang

mengawali”.

Dalam perspektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang

berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok elite. Teori pertama

kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah orang- orang yang

terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam memecahkan

persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini lahir bukan karena mereka

menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki kapasitas

personal yang lebih potensial unutk menempatkan posisi itu16. Dalam pendekatan

teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang- orang yang

terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi

wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.17

Untuk melihat proses terbentuknya komunitas elite baru Minangkabau

dalam masa transisi demokrasi, dua pendekatan teoritis diatas saya bagi menjadi

dua periodesasi masa transisi demokrasi lokal, untuk teorisasi elite yang pertama

saya pakai untuk menganalisa komunitas elite politik minangkabau di mulai dari

sebelum indonesia merdeka, karena sifat dari pembentukan elitenya lebih

didasarkan pada pemilihan yang alami dimana jabatan tersebut diserahkan

langsung sesuai dengan kapasitas yang dia miliki. Sedangkan teorisasi elite yang

kedua saya pakai untuk menganalisa terbentuknya komunitas baru elite politik

setelah indonesia merdeka, dimana sirkulasi elitenya sudah didasarkan pada

kompetisi. 15 Harold Crouch , “ Democratic prospect in Indonesia”, dalam David Bourchier dan Jhon Legge, (eds), democracy in Indonesia 1950s ( Clayton : Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1994, hal 115-126.16 Prof. Sunyoto Usman. Elite dan Masyarakat ( bahan kuliah Sosiologi politik S2 ilmu politik ) hal 1-217 Ibid hal 2

12

Page 13: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Saya mencoba membuat pemetaan dari dua pandangan teoritik diatas

dimana proses terbentuknya elite tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tiga model

distribusi dari kekuasan tersebut18 yaitu model elite yang memerintah, model

pluralis dan model populis. Model pertama melukiskan kekuasaan yahng dimiliki

oleh sekelompok kecil orang (elite), model pluralis mengambarkan kekuasaan

yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat, dan model populis melukiskan

kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara secara kolektif.

Kemudian saya mencoba membingkai relasi antara demokrasi lokal di

Sumatera Barat dengan tumbuhnya komunitas elite baru tersebut dengan memakai

model Model voluntaris yang menempatkan rational choice sebagai instrumen

untuk mendekati kekuasaan serta merujuk pemikiran Robert Dahl dalam melihat

kekuasaan. Dimana, Dahl membingkai kekuasaan sebagai sebuah kapasitas untuk

mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang diinginkannya Model

voluntaris juga dipengaruhi dengan dengan analogi Newtonian yang

menempatkan kekuasaan sebagai stimulus dari sebuah tindakan. Menurut Dahl19

supaya pemerintah bisa tanggap terhadap rakyat atau supaya pemerintah bisa

berperilaku demokratis, maka rakyat harus diberikan kesempatan untuk: 1)

merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri. 2)memberitahukan

preferensi tersebut kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui

tindakan individual atau kolektif. 3) mengusakan agar kepentingan itu di

pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah,

artinya tidak diskriminasi berdasarkan isi dan asal usulnya.

Ada keyakinan saya untuk melihat cara pandang desentralisasi dan

demokrasi lokal untuk memaknai dan membingkai sebuah komunitas baru elite

politik minangkabau, karena desentralisasi dan transisi demokrasi lokal yang saya

kemukakan di sini mempunyai misi: (1) nagari dapat dipahami dengan kerangka

pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing community). Konsep ini

menggambarkan bahwa nagari adalah sebuah republik kecil, sebuah formasi

pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Nagari adalah suatu

kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai

18 Ramlan Surbakti. Memahami ilmu politik. Garamedia Widiasarana Indonesia,Jakarta. 1992. hal 74-7519 Robert Dahl. Polyarchy: participation and opposition. New Haven: yale .1973 dalam Dr. Mohtar Mas’oed. Negara capital dan demokrasi.Pustaka pelajar. Yogyakarta. 2003. hal 19

13

Page 14: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan, ekonomi,

sosbudaya. Artinya nagari mempunyai otonomi (kemandirian) dalam membangun

organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan

lokal,  mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya

lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan

sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama

hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan

aturan (hukum) adat.  Mengikuti hukum nasional, self-governing community

berarti sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan

kewenangan sesuai dengan asal-usulnya. (2) ketika nagari sudah masuk ke dalam

formasi besar negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk

memaknai ulang keberadaan nagari (1903-2007). Nagari sekarang berbeda dengan

nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing community

bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari sekarang tidak

sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkhis (dari

pemerintah nasional, Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten) telah melakukan

desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya pada nagari20. Dengan

kalimat lain, otonomi nagari sekarang adalah “pemberian” negara. Karena itu,

untuk membangkitkan (revitalisasi) semangat “republik kecil”, konsep

subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity

bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan

yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan

penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas

yang paling rendah. Lokalisasi keputusan dan kewenangan pada pemerintahan

terendah ini membutuhkan jaminan legal dan fasilitasi dari struktur pemerintahan

yang lebih tinggi. Kalau subsidiarity berjalan, maka nagari – dalam beberapa hal

-- tidak perlu lagi “mohon petunjuk” atau “menunggu Perda” dari Kabupaten. (3)

demokrasi ala Minangkabau bisa dipahami secara lebih tepat dengan

menggunakan demokrasi komunitarian (komunitas) atau dalam nama lain ketika

saya akan menganalisa proses transisi demokrasi dimulai dari tahun 1903-200.

20 Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada pemerintah nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001.

14

Page 15: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Demokrasi komunitarian tidak sekadar berbicara tentang aturan main dan

prosedur pengelolaan kekuasaan (misalnya aturan tentang Trias Politica),

masyarakat sipil (civil society) dan pluralisme (terbuka, toleran, inklusif,

nondiskriminatif, dll).

Bab 4. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari proposal singkat ini sebenarnya ingin

mengkonseptualisasikan proses transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di

Sumatera Barat yang dilakukan oleh elite baru politik minangkabau, dan

mencoba menawarkan cara pandang yang lebih komprehensif tentang fenomena

sosial-politik masyarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena dalam banyak

literatur dan pemikiran para ahli tentang Minangkabau, saya berasumsi bahwa

dinamika transisi demokrasi di nagari dipengaruhi oleh demokrasi dari Barat.

Keberadaan demokrasi barat inilah yang menyebabkan berbagai fenomena yang

berkembang dalam elite Minangkabau. Maka penelitian ini secara khusus

diharapkan dapat menemukan model tentang bagaimana cara membaca proses

transisi demokrasi pada tingkat lokal pada nagari.

Bab 5. Metode Penelitian

Penelitian tentang transisi Demokratisasi lokal pada nagari di Sumatera

Barat merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis dan

sumber data berupa data primer (melalui wawancara mendalam dengan aparatur

di pemerintahan nagari (Wali nagari, Badan Musyawarah Nagari, kerapatan Adat

nagari), tokoh-tokoh informal dalam nagari ( Ninik mamak, alim ulama, dan

Bundo kanduang ) dan Biro Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat,

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Pemerintah Kabupaten

Solok (bagian Pemerintahan Nagari) Selain itu untuk membantu menjelaskan

masalah yang diteliti, penelitian ini juga mengunakan sumber tertulis (data

sekunder) seperti sumber dari arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi, majalah

ilmiah, dan seterusnya.

Sedangkan unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

individu, dimana lebih difokuskan pada tokoh masyarakat (elite) yang duduk di

pemerintahan nagari dan elite yang berada diluar pemerintahan nagari serta

15

Page 16: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Stakeholder yang ada dalam pemerintahan. Untuk pengambilan informan dalam

penelitian ini digunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Oleh

karena penelitian ini ingin menemukenali proses transisi demokrasi lokal pada

nagari di Sumatera Barat, maka penggunaan teknik ini dianggap sesuai dengan

tujuan penelitian. Informan penelitian dipilih secara sengaja (purposive)

berdasarkan kedudukan mereka dalam nagari. Dengan demikian jumlah informan

pada akhirnya sangat ditentukan oleh kondisi lapangan. Untuk tokoh masyarakat

nagari yang nantinya akan memberikan penjelasan tambahan tentang pelaksanaan

demokrasi lokal pada pemerintahan nagari di Sumatera Barat maka proses

penarikan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball dan berakhir

hingga pada titik jenuh tertentu dengan ditemukannya suatu pola yang berulang

atas jawaban dari pertanyaan yang diajukan ke informan tersebut.

Adapun lokasi penelitiannya adalah dengan kriteria yaitu: Nagari yang

terbentuk secara alami atau nagari yang sudah ada dulunya sejak zaman

penjajahan belanda dan kembali direorganisasikan melalui perda Propinsi

Sumatera Barat No 9/2000 jo No 2/2007 tentang pemerintahan nagari dan

karakteristik masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat sebagai

identitas sosio kultur dalam kehidupannya, yaitu Nagari Jawi- Jawi.

Untuk menjaga keabsahan data maka dilakukan teknik triangulasi data

agar validitas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh tercapai. Sedangkan

untuk data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatf

deskriptif yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari

pelaporan “on the spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan

jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di sini akan dicoba

mendiskripsikan bagaimana proses transisi demokrasi lokal pada pemerintahan

nagari di Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap

nagari melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan

(emik) yang sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi.

Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat

dari informan (emik) dan interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan

tersebut.

16

Page 17: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Bab 6. Hasil dan Pembahasan

Proses Transisi Demokrasi Lokal

A. Proses Transisi pertama: Demokratisasi Lokal Sebagai Proses Pembentukan Identitas politik di tingkat ”nagari”

Gelombang transisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi telah

membawa perubahan dan kemajuan yang berarti, tetapi juga menyajikan banyak

problem dan tantangan konsolidasi serta menampilkan pergulatan antara warisan

masa lampau yang masih mengakar dengan ide-ide alternatif untuk pembaharuan.

Reformasi sistem pemerintahan yang dilakukan melalui proses desentralisasi

Indonesia menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, proses pergeseran itu

cenderung dilihat sebagai persoalan ekonomi dan politik semata ketika identifikasi

persoalan dan pemecahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensi-

dimensi sosial budaya21. Kedua, reformasi sistem pemerintahan masih menjadi

konsep top-down yang proses pembagian otoritas politiknya masih didasarkan

pada konsepsi politik dan kemauan politik pemerintah pusat22. Namun demikian,

transisi demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan telah mendorong

tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari

pemerintahan birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party

government) merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin

terbuka. Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan

harus diorganisir melalui arena masyarakat politik, yakni “kompetisi” secara

terbuka di antara aktor politik dan “partisipasi politik” masyarakat sebagai

basisnya. Pemerintahan partai yang dibangun dari kompetisi dalam arena

masyarakat politik, secara teoritis akan membuat linkage antara masyarakat

dengan sistem politik.

21 Perubahan ekonomi dan politik tidak hanya direduksi dengan cara yang begitu sederhana sehingga mengabaikan dimensi sosial dan dimensi budaya dalam proses penciptaan suatu tatanan yang lebih baik dalam Soedjatmoko. 1983. Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Dan Irwan Abdullah, 2003. Masalah Kebudayaan dalam Pembangunan. Dalam Humaniora, Vol.XV.22 Dalam hal ini Otoritas lokal belum menjadi praktik aktual yang berlangsung secara dialogis dalam hubungan pusat –daerah

17

Page 18: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Menurut Dormeier- Freire dan Maurer23 desentralisasi bisa

diinterprestasikan dengan tiga cara yaitu: (1) sebagai delegasi tugas- tugas tertentu

sementara pusat masih menguasai tanggung jawab keseluruhan, yang bisa

dibandingkan dengan UU 1974; (2) dekonsentrasi, yang mengacu pada pergeseran

desicion making dalam negara terdesentralisasi, yang tercermin dalam Undang-

undang 1957; (3) devolusi yang menyangkut transfer kekuasaan secara aktual

ketingkat- tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan ini di implementasikan

pada tahun 200124. Hal ini kemudian dipertegas dengan wawancara peneliti

dengan salah seorang informan di lokus penelitian

”...Ketika UU No 5/1974 merumuskan supremasi pusat atas daerah- daerah, meskipun UU ini mendefenisikan propinsi dan kabupaten sebagai tingkat yang otonom serta memunculkan representasi bottom-up, dalam prakteknya pemerintah daerah tetap melaksanakan pembangunan secara top-down, para administrator daerah kenyataannya adalah agen- agen pusat. Dengan lahirnya UU No22/1999 jo 32/2004 tenang pemerintahan daerah ditambah lagi dengan menghidupkan kembali pemerintahan terendah yang berciri khas lokal seperti nagari, mempunyai arti khusus bagi sumatera barat dimana devolusi kekuasaan yang substansial telah membawa pemerintah kembali dekat dengan rakyat untuk menyodorkan transparansi yang lebih besar...”25 (daftar wawancara terlampir)

Berdasarkan hasil analisis peneliti UU No 22 tahun 1999 jo 32 tahun

2004 telah menghidupkan kembali proses transisi demokrasi, desentralisasi dan

devolusi yang dulu terhenti di akhir tahun 1950-an, karena otonomi baru

diletakan pada tingkat kabupaten dan kota, kekuasaan propinsi seakan- akan telah

dilucuti. Ketika dipandang dari perspektif ini transisi demokrasi lokal,

desentralisasi dan devolusi menjadi sebuah strategi devide-et-impera dari pusat,

yang ditujukan kepada kabupaten dan kota dengan tujuan memungkinkan kembali

terjadi fragmentasi admnistratif sekaligus tetap mempertahankan kontrol fiskal di

pusat.

Dalam konteks demokrasi lokal bahwa makin besar otonomi suatu

pemerintah daerah, baik dalam arti kewenangan membuat keputusan maupun 23 Alexandre Frere Dormeire dan Jean- Luc Maurer. 2002. ’Le Dilemme de la decentraloization en Indonesie’, Archipel. dalam politik lokal di Indonesia. 2007. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal 16. 24 Untuk kasus Sumatera Barat sendiri adalah mengembalikan struktur pemerintahan terendah dari desa menjadi nagari25 Wawancara dengan Bupati Solok pada tanggal 19 Mai 2009

18

Page 19: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

kewenangan keuangan, akan makin besar pula derajat proses politik yang khas

lokal (local politics) Terkait dengan proposisi tersebut, maka peneliti mengambil

sebuah generalisasi bahwa: Pertama, makin besar otonomi lokal, makin besar

proses transisi demokrasi dan politik lokal yang khas daerah. Kedua, makin intesif

peran elit masyarakat, makin berkembang dinamika sosial politik di daerah yang

bersangkutan. Ketiga, makin dinamis proses demokratisasi maka makin dinamis

pula perkembangan politik lokal di daerah.

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2004

tentang pemerintah daerah merupakan peluang yang luas untuk melakukan proses

transisi demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, pembuatan dan penegakan berbagai

peraturan untuk mencapai perubahan sosial dalam masyarakat akan melibatkan

berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan birokrasi, elit politik dan ekonomi,

kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat. baik melalui perumusan dan

pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur wilayah otonominya. Sepintas

lalu peran pemerintah pusat tinggal seperti negara penjaga malam26, daerah

mempunyai otonomi dalam hubungannnya dengan pekerjaan umum, pendidikan

dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri,

perdagangan, invertasi, masalah- masalah lingkungan, tenaga kerja, koperasi dan

tanah27. Tetapi upaya untuk memahami sifat dari sebuah transisi demokrasi salah

satunya menurut analisa penulis yaitu mencermati pengaturan fiskal, ketika UU

No 22/1999 jo UU. 32/2004 memfasilitasi sebuah devolusi kekuasan, UU No

25/1999 jo UU No 33/2004 tentang perimbangan antara keuangan pusat dan

daerah, masih mempunyai sifat sentralistis. Ini mengisyaratkan pemerintah pusat

masih tetap mempertahankan cengkramannya pada sumber- sumber utama

pendapatan daerah. Jadi apa yang sebenarnya terjadi untuk sebuah demokratisasi

lokal di indonesia adalah sebuah desentralisasi kekuasaan administratif yang

disubsidi secra besar- besaran oleh pemerintah pusat28.

26 Sisa tanggung jawab yang hanya segelintir termasuk pertahanan dan keamanan nasional, kebijakan luar negeri, masalah- masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi –makro, sumber- sumber alam, kehakiman dan agama27 Henk Schute Nordholt dan Gerry Van Klinken. 2007. Politik lokal di Indonesia. Op. Cit. Hal 18. 28 Kriteria distribusi sumber- sumber dana unutk pemerintah kabupaten dan kota sangat kompleks semuanya tergantung pada besarnya populasi, tingkat kemiskinan, kondisi geografis dan indeks- indeks harga.

19

Page 20: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Transisi demokrasi lokal dalam wujud desentralisasi ”nagari” merupakan

kebijakan negara yang dibutuhkan untuk mendukung otonomi nagari. ketika

nagari berada dalam formasi negara. Prinsip dasar transisi demokrasi adalah

pengakuan negara terhadap eksistensi nagari (sebagai kesatuan masyarakat

hukum atau sebagai local self-government), yang kemudian diikuti dengan

pembagian kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada

nagari . Untuk membuat desentralisasi nagari bekerja, mau tidak mau, harus

dimulai dari upaya membuat struktur pemerintahan secara nonhirarkhis.

”... Indonesia sejak dulu mewarisi struktur pemerintahan tersusun secara hirarkhis ketika kesatuan hukum masyarakat lokal diintegrasikan ke dalam formasi negara. Formasi negara sudah tersusun secara hirarkhis (pusat, provinsi, kabupaten dan desa pada waktu memakai UU No 5/1979) sehingga menghilangkan struktur self-governing community. Hirarkhi itu adalah realitas. Dalam memformulasikan otonomi nagari, kita tidak bisa berangkat dari titik nol, melainkan memperhatikan level (jika bukan diterima sebagai hirarkhi) pemerintahan yang sudah ada: pusat, provinsi, kabupaten dan nagari. Provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi sentrum pembicaraan tentang basis otonomi daerah/nagari tentu tidak bisa saling meniadakan dan juga tidak bisa memandang sebelah mata terhadap nagari, yang konon mempunyai “otonomi asli” dan self-governing community jauh lebih tua ketimbang provinsi dan kabupaten. Apalagi nagari merupakan basis kehidupan yang paling dekat dengan masyarakat...”29

B. Proses Transisi kedua : menciptakan ”Negara demokratis baru” Cara Pandang Awal Membangun Kehidupan Bernagari

Negara demokratis baru adalah sebuah negara yang ideal, terbuka dimana ada

sebuah desentralisasi dan sebuah devolusi.30 Elemen dasar dari negara demokrasi

baru menurut Giddens adalah Devolusi, pembaharuan ruang publik --- transparasi,

29 Wawancara dengan kepala Biro pemerintahan Nagari pada Tanggal 5 Mai 2009. 30 Anthony Giddens. The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in the USA by Blakwell Publisher Ltd. : 350 Main Street Malden, MA 02148. USA. (terj: Jalan ketiga Pembaharuab demokrasi social. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999. hal 89.

20

Page 21: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

efisiensi administrasi, mekanisme demokrasi langsung, pemerintah sebagai

pengelola resiko

Giddens31 menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan

suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari

makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya. Kehadiran masyarakat dalam

wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan

rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah

sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan

bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab

itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik

masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas

pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan

stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program

pembangunan.

Penulis memakai skema yang dibuat oleh giddens untuk menjelaskan

bagaimana bentuk negara demokrasi baru yang dikonsepsikan, dapat menjelaskan

sebuah kerangka berpikir dalam mempelajari sebuah demokratisasi lokal pada

tingkat nagari di Sumatera Barat.

Gambar 1

Nation –State And Violence Berdasarkan Konsepsi Giddens32

31 Anthony Gidden. 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.32 Ibid hal xiv

21

Page 22: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Gerakan kebebasanberbicara

Gerakan ekologiKebudayaan kounter

Gerakan buruh. Gerkan perdamaian

Dalam konsepsi ini giddens menjelaskan bahwa negara mempunyai

sebuah kepentingan yang otonom dari para kapitalis dalam menjalankan

pengawasan atau surveillance. Yang digaris bawahi dalam pemikiran Giddens ini

bahwa di dunia ini muncul aneka gerakan dan gerakan tersebut mempunyai usul

yang berbeda. Konsep ini diterapkan untuk menerangkan perbedaan masyarakat

dan kepentingan yang mendasarinya. Giddens tidak percaya bahwa perubahan

kearah masyarakat yang lebih adil dapat dicapai dengan meningkatkan peranan

negara33. Sehingga untuk menciptakan sebuah bentuk negara yang lebih

demokratis harus diterapkan sepenuhnya sebuah konsep desentralisasi dan

devolusi34.

Konsepsi pemikiran giddens tentang nation-state and violence ini

kemudian penulis kembangkan dalam bentuk kerangka berpikir baru yaitu:

Gambar 2

Nation-State And Violence “Nagari”

Demokratisasi lokalNagari

Gerakan ekologiBudaya minangkabau

LKAAM

Gerakanmasyarakat minang . Gerakan perdamaian

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No 5/1979 yang

telah menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa

secara nasional, dalam kenyataannya telah menyebabkan kesulitan dan 33 Ibid hal xviii34 Ibid. Hal 89.

22

Page 23: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

permasalahan dalam sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Sumatera

Barat. Ketika UU No 22/1999 masih dalam bentuk draf dan sesuai dengan

momentuk reformasi masyarakat sumatera barat melakukan sebuah gerakan

menuntut pemerintah pusat untuk menghapus pemerintahan terendah dalam

bentuk desa dan menggantikannya dengan nagari. Deskripsi dari nation- state

violence ” nagari” dijelaskan dalam pointer dibawah ini: (1) gerakan ekologi

pertama yang dilakukan masyarakat minang adalah dengan menguji pandangan

elite dan tokoh masyarakat dengan melakukan jajak pendapat secara serentak

mengenai kemungkinan pengembalian pemerintahan desa kepada pemerintaha

nagari; (2) pada tanggal 15 desember 1998 di bentuklah tim elite yang terdiri dari

tokoh masyarakat, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, untuk melakukan

pengkajian dengan mengambil beberapa nagari lama yang dijadikan sampel

pengembalian pemerintaha desa ke nagari (3) jajak pendapat dilakukan pada

bulan desember 1998- februari 1999 dengan hasil pengembalian pemerintahan

desa ke nagari oleh seluruh masyarakat, dan ditolak oleh para kepala desa. (3)

salah satu bentuk gerakan ekologi yang lain adalah dibentuk sebuah musyawarah

kerja Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan membuat

sebuah rekomendasi agar sistem pemerintahan desa dirubah menjadi nagari serta

menghidupkan kembali konsep desentralisasi serta devolusi kepada nagari sebagai

unit pemerintahan terendah.

Devolusi dan kekuasaan dalam bagian sebuah negara demokrasi baru di

sumatera barat disahkan pada tanggal 16 Desember 2000, yang diiringi juga

dengan desentralisasi kewenangan dalam bentuk pemerintaha kabupaten

menyerahkan sebahagian kewenangan dan tugasnya kepada pemerintahan nagari35

dan menghidupkan kembali eksistensi KAN sebagai lembaga yudikatifnya nagari.

C. Proses transisi ketiga: Pergeseran Perubahan Pemerintahan Desa Ke Nagari Termasuk lembaga nagari dan komunitas elite nagari

C.1 . Republik Nagari (wali nagari, BMN dan KAN ) dengan dua sistem keselarasan36

35 Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001.

36 Sistem keselarasan merupakan sebuah sistem pemerintahan adat yang ada di minangkabau

23

Page 24: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Historiografi, etnografi, dan adat minangkabau selalu menekankan bahwa

nagari adalah kesatuan sosial utama yang dominan yang menjadi ciri khas

masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat

yang otonom, dan merupakan sebuah republik mini dengan teritorial yang jelas

bagi anggota- anggotanya. Mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai adat

sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya37.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa nagari di Minangkabau

merupakan persekutuan hukum yang berdasarkan teritorial maupun geneologis.

Suatu nagari mempunyai batas wilayah kekuasan tertentu dan harus terdiri dari

minimal 4 suku dasar berdasarkan geneologis ( koto, piliang, bodi dan chaniago).

Sebagai suatu persekutuan hukum, nagari merupakan sebuah persekutuan yang

terlengkap susunan pemerintahannya, sehingga Charul Anwar38 mengumpamakan

sebagai suatu kesatuan kenegaraan , sebuah negara kecil. Dalam sistem

pemerintahan nagari inilah, seperti yang dikemukan oleh Soejono Soekanto dan

Taneko39 disebut adanya dua sistem yaitu bodi Chaniago dan Koto Piliang.

Secara tradisional pemimpin dalam masyarakat minangkabau adalah

penghulu. Penghulu biasanya berhak dan memiliki hak istimewa dan khusus

(privilige) untuk menjadi pemimpin sebuah nagari. Penghulu dalam memimpin

nagari berada dalam kelembagaan kolektif yang biasa dikenal dengan kerapatan

Adat. Atau kerapatan Adat Nagari. Mereka secara kolektif kelembagaan

memimpin nagari Minangkabau bersama dengan alim ulama dan cerdik pandai

yang tergabung dalam tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Untuk

menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial politik nagari yang berlaku

secara adat berdasarkan (1) lareh koto piliang, (2) lareh Bodi Caniago.

Dari kedua sistem diatas aspek yang sama pengertiannya adalah bahwa

penghulu sama dengan kepala atau pemimpin adat. Penghulu dapat dikatakan juga

sebagai pemimpin masyarakat Minangkabau. Seorang penghulu memiliki

persyaratan yang substansial yaitu: ” lubuk akal, lautan budi, tahu diadat dan

37 Prof. Imran Manan, MA, Phd. Tulisan ini di sarikan dari Minangkabau pra- kolonial dalam Nagari Dalam Perspektif Sejarah. Lentera 21. hal 338 Chairul Anwar . (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 2439 Soerjono Soekanto dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Hal 25.

24

Page 25: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

pusako, tahu menimbang sama berat, tahu mengagak, mengagihkan” ( sumber

akal dan budi, mengerti adat istiadat dan bersikap adil.40 Penghulu dengan

demikian dianggap sebagai pelindung dan pemimpin rakyat dalam arti

sebenarnya.

Pengakuan secara yuridis terhadap nagari sebagai kesatuan masyarakat

hukum adat di Minangkabau, terutama sejak berlakunya UU No 5 tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa, adalah dikeluarkanya peraturan pemerintah daerah

Propinsi (Perda Dati 1) Sumatera Barat No 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah tingkat 1 Sumatera Barat

yang lebih dikenal dengan Perda 13.

Menunjuk kepada persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya kesatuan

masyarakat hukum adat, maka sebagai suatu persekutuan, nagari agaknya sangat

memenuhi syarat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat yang otonom.

Peryataan ini dapat juga dilihat dari esensi yang terkandung dalam UU nagari

seperti yang dikutip oleh A.A. Navis41 dan M. Nasroen42

Secara historis, republik nagari dilakukan oleh sebuah dewan yang

disebut sebagai Rajo Tigo Selo (raja tiga sila) dengan batas kekuasaan yang

dijelaskan sesuai dengan panggilan mereka;

1. Rajo Alam Nan Dipatuan, berkedudukan di pagaruyung yang

merupakan penguasa tertinggi.

2. Rajo Adat, berkedudukan di Buo bertugas di bidang adat.

3. Rajo Ibadat, berkedudukan di supur kudus, bertugas dibidang

agama.

Ketiga penguasa ini dibantu oleh suatu dewan pemerintahan yang

disebut sebagai Basa Ampek balai dengan pimpinan Bandaharo dengan batas-

batas kewenangannya:

1. Bandaharo, berkedududkan di Sungai Tarab, memegang

urusan adat

2. Pandito(Tuan Kadi), berkedudukan di padang ganting,

memegang urusan agama.

40 Ibid . hal 26. 41 M.Nasroen. 1971. Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 13642 A.A. Navis .1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Graviti Perss. Hal 194.

25

Page 26: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

3. Mengkudum, berkedudukan di Sumanik memegang urusan

keamanan.

4. Indomo, berkedudukan di Saruaso yang memegang urusan

perekonomian

Bandaro dibantu oleh Manti ( pencatat atau sekretaris ), panglimo di bantu oleh

dubalang dan kadi di bantu oleh imam bilal, chatib. Tiap putusan yang diambil

baik ditingkat kampung , kaum suku maupun nagari dilakukan secara

musyawarah. Musyawarah ditingkat nagari disebut sebagai kerapatan nagari, yang

merupakan lembaga kekuasaan tertinggi dalam nagari. Pengambilan keputusan

tersebut berdasarkan alur dan patut, alur adalah kosepsi adat yang telah diakui

secara umum, sedangkan patut adalah penerapan melalui ruang dan waktu.

Sistem pemerintahan nagari seperti yang dideskripsikan di atas

eksistensinya telah berubah, oleh sistem pemerintahan nasional terutama sejak

berlakuknya UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang

menghapuskan pemerintahan nagari sebagai tingkat pemerintahan terendah

dibawah kecamatan.

C.2. Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari

Tabel 2Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari Yang Tertuang Dalam

Peraturan Perundang-Undangan Sejak 1903 - 2007 Tentang Pemerintahan Nagari43

No Tahun Bentuk intervensi negara.

1 Tahun 1903 mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903) yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakat-masyarakat daerah.

2 Tahun 1905 Decentralisatiebesliwet (staatsblaad no. 137/1905) dalam hal ini pemerintah daerah tidak punya kewenangan, dewan daerah hanya berhak membentuk peraturan setempat yang meyangkut hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial, pengawasan pemerintahan setempat dilaksanakan sepenuhnya oleh Gubernur-General Hindia Belanda di Batavia.

3 Tahun 1922 UU baru Wet op de Bestuurshervormin (Staatsblaads no. 216/1922) dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemente dan groepmeneenchap

4 Tahun 1931, Inlandsche Gemeente Ordonientie Buitengewesten/IGOB

43 Roni Ekha Putera. 2006. Modul Matakuliah Sistem Pemerintahan Desa dan Nagari. Padang: Fisip Universitas Andalas.

26

Page 27: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

(staatsblaads no. 356/1941), undang-undang ini tidak sempat diselenggarakan karena terjadinya perang Dunia II

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari pelaksanaan IGOB:

Pemerintah Nagari dijalankan oleh kepala Nagari Anggota dewan perwakilan anak Nagari terdiri

dari fungsionaris adat yang diakui oleh penjajah (Kerapatan Adat Nagari)

Kewenangan dimiliki oleh Kerapatan Adat Nagari dalam pemerintahan adat

Keputusan diambil dengan suara bulat/mufakat Landasan hukum adalah hukum adat yang tidak

tertulis5 Osamu Seire

No. 27 tahun 1942

yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah. Misalnya Jawa dibagi dalam Syuu (yang dikepalai oleh Syuu Tyookan), Syuu dibagi menjadi Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken dibagi menjadi Si (yang dikepalai oleh Sintyoo), sedangkan daerah khusus disebut Tokubetusi (yang dikepalai oleh Tokobetusi Sityoo). Pada masa ini pemerintahan provinsi dibuang dan penyebutan daerah otonom pada masa Jepang ini merupakan sesuatu yang menyesatkan.

6 Tahun 1946 maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 dan 21 tentang perubahan dalam susunan kelembagaan Nagari (Wali Nagari, DPN, DHN). Isi dari maklumat Residen;

Pemerintahan Nagari dijalankan oleh wali Nagari bersama DHN (dewan Harian Nagari)

Keanggotaan BPN dipilih langsung oleh rakyat disebut DPN (Dewan Perwakilan Nagari)

Dalam hal kewenangan, yang berkaitan dengan pemerintahan diurus oleh DPN dan urusan adat yang diurus KAN

Keputusan diambil dengan suatu terbanyak Landasan hukum adalah hukum negara

7 Tahun 1950 Perda Propinsi Sumatera Tengah No. 5/G.P/1950. Dalam perda ini pemerintahan Nagari diganti menjadi pemerintahan wilayah.Hal yang menarik dari perda ini adalah dilakukannya sosialisasi perda, dimana Nagari yang berdekatan bergabung menjadi satu Nagari yang otonom (wilayah). Yang dipimpin oleh kepala wilayah yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. Dengan konsekuensi DPN dan DHN dihapuskan dan wali Nagari dari masing-masing Nagari bergabung menjadi tepatan wilayah yang dipimpin oleh wali tepatan.

Kendalanya adalah pembentukan wilayah berotonomi kurang didukung dengan faktor sosialisasi politik dan sosialisasi budaya dan tidak mempertimbangkan Nagari sebagai satu kesatuan wilayah pemerintahan dan komunitas suatu masyarakat.

8 Tahun 1954 dikeluarkannya petunjuk pelaksana sistem pemerintahan Nagari oleh MENDAGRI no. DDX/5/1/2 tanggal 17 februarai 1954

9 Tahun 1955 Keputusan Gubernur Sumatera Tengah No. 2/6/1955, tentang tata

27

Page 28: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

cara pembentukan DPRN sebagai penggaanti kerapatan Nagari menurut IGOB di jaman Penjajah.Hal yang menarik dari pelaksanaan keputusan di atas adalah adanya situasi yang tidak kondusif untuk melaksanaklan keputusan gubernur tersebut. Alasan berakibat pada; (1) pemilihan DPRN dan wali Nagari bersamaan waktunya dengan persiapan pemilu pertama bangsa kita, karena sistuasi politik sedang meninggi yang terlaksana hanya pemilihan wali Nagari saja. Alasannya; kedudukan wali Nagari menjadi rebutan diantara parpol yang ada di Nagari, sehingga menjadi terkotak-kotak. (2) kepemimpinan mereka hanya diterima sebagai hasil agitasi tidak berdasarkan kharismatik sebagaimana yang ada dalam masyarakat.

10 1958 keputusan Gubernur KDH Tk I Sumbar No. GSB/I/KN/ 1958 tentang pemilihan, penunjukan, pemberhantian dan perwakilan Nagari dalam daerah.

11 1959 Perda No. 32/1959 tentang susunan kerapatan Nagari dan cara pembentukannya. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulu-penghulu, laim ulama, cerdik pandai yang kedudukannya sangat penting dalam pemerintahan Nagari.

12 1962 Peperda No. Prt/Paperda/01/4/1962 tentang penertiban pemerintahan Nagari

13 1963 Keputusan Gubernur Sumbar No. 02/GSB-Prt/1963 tentang Nagari dan pemerintahan dalam provinsi. Susunan pemerintahan Nagari adalah kepala Nagari, badan musyawarah Nagari, musyawarah gabungan, alat-alat perlengkapan Nagari (Pamong Praja, Panitera Nagari, dan Pegawai Nagari)

14 1968 Keputusan Gubernur sumbar No. 015/GSB/1968 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari dalam daerah Provinsi Sumbar. Susunan Pemerintahan Nagari (wali Nagari, DPRN, Kerapatan Nagari, Penasehat Pemerintahan Nagari).

15 1974 Keputusan Gubernur Sumbar, No. 155/GSB/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari, No. 156/GSB/1974 tentang Kerapatan Nagari, No. 157/GSB/1974 tentang tata cara pemilihan Wali Nagari.

Dalam surat keputusan tersebut konsep Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum yang merupakan bentuk pemerintahan terendah di Sumbar tidak berubah. Dari semua peraturan/keputusan hanya satu keputusan/peraturan yang tidak menghormati hak asal-usul Nagari adalah Perda Provinsi Sumatera Tengah No. 50/GP/1950 yang menghapuskan pemerintahan Nagari dan KAN. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan pemerintahan dasar dari negara Republik Indonesia yang tertentu batas-batas wilayahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya.

16 1979 UU No. 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok pemerintahan desa.

17 1981 Perda No.7 Tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan, dan penghapusan desa dalam provinsi. Daerah Tk I Sumbar (mengacu pada instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4

28

Page 29: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Tahun 1980. dalam hal ini yang dijadikan desa berkaitan dengan besarnya jumlah Inpres bantuan pembangunan Desa yang akan diterima.

18 1983 Surat keputusan Gubernur Sumbar No.162/G.SB/1983, menyatakan bahwa terhitung 1 Agustus 1983 seluruh jorong yang merupakan bagian dari Nagari Nagari dinyatakan sebagai desa baru.

19 1983 Perda No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Sumbar (terdapat dualisme/dua sisi mata uang). Desa sebagai pemerintahan terendah secara nasional seluruh Indonesia dan Nagari tetap terjamin eksistensinya.

20 1999 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

21 2000 Tentang Pemerintahan Nagari, disini Nagari dalam pelaksanaannya lebih difokuskan Perda No. 09 Tahun 1999 yaitu bagaimana caranya memfungsikan Nagari sebagai basis Otonomi daerah (pasal III UU No. 22 Tahun 1999, pasal 16,17 Perda) yaitu dengan cara;

Penegasan penyelesaian pembentukan Nagari yang diawali dengan keputusan bupati tentang Nagari, Tata cara Pemilihan Wali Nagari, BPN, KAN, MTTS

Mengatur tata hubungan pemerintahan Nagari dengan camat, kabupaten dan provinsi.

22 2007 Revisi perda No 9/2000 menjadi perda No 2/2007 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari. Dengan mempertegas hubungan dan pola pertanggungjawaban walinagari kepada camat sebagai atasan langsug dari wali nagari.

D. Nagari jawi- jawi dalam proses transisi nya dijadikan sebagai komunitas elite dan lembaga di nagari

Secara adminitratif nagari jawi- jawi, kecamatan gunung talang terdiri atas

empat jorong, yaitu jorong bali oli, pakan jumat, pinang sinawa, tangah padang.

Sebelum ada intervensi negara terhadap pemerintahan terendah di Sumatera Barat,

nagari jawi- jawi di atur oleh dua model sisten demokrasi yang dinamakan

lambah44 yaitu:

1. Lambah jawi- jawi diatur oleh Dt. Tanbasa, bersuku caniago

dengan ”empat jinihnya”

2. lambah koto gaek bintungan , yang dipimpin oleh Dt. Bandaro,

dengan ”empat jinihnya”.

Setelah ada intervensi negara pada masa berlakunya UU No 5/1979 dua

model sistem demokrasi balai ini tidak berlaku lagi dan digantikan dengan

44 Lambah sebuah system demokrasi yang ada dalam nagari jawi- jawi

29

Page 30: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

pemerintahan desa. Ketika pemerintahan desa di hapus dan diganti dengan

pemerintahan nagari, nagari jawi- jawi termasuk dari sekian banyak nagari yang

ada di kabupaten solok yang menghidupkan kembali sistem demokrasi lambah,

dengan segala bentuk pelaksanaannya, dan ini lah yang akan mejadi sebuah ciri

khas variasi demokrasi yang akan peneliti bahas dalam bab selanjutnya .

Kalau dilihat dari kondisi geografisnya nagari jawi- jawi, sebelah utara

berbatasan dengan nagari cupak, selatan berbatasan dengan nagari koto gadang,

sebelah barat berbatasan dengan kota padang, dan sebelah timur berbatasan

dengan nagari koto gadang. Dengan luas nagari 2400 Ha, dan jumlah penduduk

2481 jiwa (1286 laki- laki, 1495 perempuan ). Nagari jawi- jawi adalah sebuah

nagari tiga serangkai dengan nagari batang barus dan koto gaek guguk, tetapi

perbedaannya disini, proses pembentukan nagari menjadi pemerintah terendah

tidak begitu banyak intervensi pemerintah daerah didalammnya, dibandingkan

dengan nagari batang barus.

Ketika terjadi model “integrasi antara adat dan desa” atau terjadi

peleburan antara desa dan adat di Sumatera Barat sejak tahun 2000 dengan

menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah

tunggal nagari45, Nagari jawi-jawi sudah mengenal pembagian kekuasaan

berdasarkan Trias Politica: eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan

musyawarah nagari ) dan yudikatif (kerapatan adat nagari maupun majelis adat

dan syarak) yang bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik

lokal, bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar

kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama, sesuai dengan adat

setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo

sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang

ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda, seperti yang tergambar dalam

bagan dibawah ini

Gambar 3

45 Sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state. Tetapi sekarang Nagari kini menggabungkan antara skema local self government dan self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan (negara, agama dan adat).

30

Page 31: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Skema Trias Politica Pada Nagari Jawi- Jawi Di Kabupaten Solok46

Masyarakat nagari

Pemerintahan nagarisebagai eksekutif

BMN(Legislatif)

(1) Aspirasi & Kebutuhan

(1) Aspirasi & Kebutuhan

(2) Konsultasi denganKAN (yudikatif)

(3) Penyepakatan

(4) Pengesahan dalambentuk peraturan nagari

D.1. Wali nagari dengan pemerintahan nagarinya (eksekutif)

Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat pemerintah Nagari menerapkan

prinsip-prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Dimana Sekretaris Nagari

bertanggung jawab kepada wali Nagari dan Kepala-kepala seksi bertanggung

jawab kepada wali melalui sekretaris Nagari, serta Kepala jorong bertanggung

jawab kepada wali Nagari

46 Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari. Gerakan "kembali ke nagari" mungkin terlalu berlebihan, yang terjadi sekarang adalah menciptakan kembali (recreating) nagari, karena struktur nagari tidak lagi seperti "republik kecil" di zaman dulu. Format nagari sekarang telah berubah mengikuti pemikiran, semangat dan perubahan baru; dan yang lebih penting nagari "diatur" oleh Propinsi dan Kabupaten. Konsekuensinya, nagari tidak sepenuhnya otonom, melainkan harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh negara. Gerakan Kembali ke nagari, bukan hanya sekedar kembali dan berimajinasi, bagaimana ‘nagari’ purba dahulu dijalankan. Tapi, kembali berarti menuju nagari dalam bentuk baru namun tak tercerabut dari nilai-nilai sejarahnya. Karena bagaimana pun sejarah dan betuk kehidupan selalu berubah. Makanya ‘nagari’ hari ini berada pada persimpangan jalan. Akankah nagari diformat ulang atau malah mendandani nagari dengan baju lamanya dahulu? Dalam locus inilah, penulis melihat ada sebuah bentuk kekuasaan negara yang diadosi oleh nagari dalam bentuk triaspolitica nagari.

31

Page 32: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Gambar 4Struktur Pemerintahan Nagari Jawi- Jawi Guguk.

Wali nagariAdy Gaffar, SE

Sekretaris nagariIsmail

Kasi pemerintahanSyafni helda

Kasi trantibasral

Kasi pembangunan danKeuangan

Rosmelita. S.Sos

Jorong balai olilasperman

Jorong pakan jumatarmitos

Jorong tangah padangalamsir

Jorong pinang sinawaJamilus. B

Sumber: data primer tahun 2009.

“... menjelaskan figur-figur yang akan menjadi wali nagari mungkin tidak dari penghulu, tidak usah bernostalgia, tokoh yang diharapkan pasti ada, tetapi saat ini belum muncul kepermukaan bisa ditentukan atau bisa saja pegawai negeri tapi harus dipilih langsung oleh masyarakat jangan ditetapkan oleh pemerintah kabupaten kalau seandainya wali nagari itu PNS...”47

Berdasarkan tugas dan fungsi dari wali nagari dengan melihat

pelaksanaannya pada nagari jawi- jawi peneliti melihat ada beberapa faktor yang

tidak bisa dihindari dan harus dipertimbangkan untuk kelancaran Pemerintahan

Nagari yaitu faktor pertama yaitu masalah adminstratif Nagari, untuk kembali

kepada Pemerintahan Nagari masalah urusan administrasi baik yang dilakukan

oleh pemerintah maupun yang akan dilalui oleh masyarakat harus ditujukan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan Nagari dengan

birokrasinya tidak mempersulit masyarakat dan tidak berbelit, untuk membenahi

masalah administarsi Pemerintahan Nagari perlu bersinergi dengan KAN dan

BMN serta pemerintah kabupaten atau propinsi. Oleh sebab itu hambatan yang

menghadang terciptanya Pemerintahan Nagari adalah banyaknya peraturan

perundang-undangan yang harus dihilangkan atau direvisi serta berusaha untuk

membersihkan sisasisa isme pemerintahan desa. Faktor kedua adalah ekonomi,

merupakan faktor yang sangat vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai

pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Tanpa faktor ekonomi ini masyarakat

atau negara tidak akan mampu mencapai tujuan. Faktor ini merupakan faktor yang

sangat penting dalam rangka menciptakan otonomi daerah, melihat sumber daya

47 Wawancara dengan Ketua KAN Nagari Jawi- jawi pada Tanggal 6 Mai 2009.

32

Page 33: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

alam pada nagari jawi- jawi sangat minim, tetapi hak ulayat nagari masih dikuasai

oleh Nagari, jangan sampai terjadi ulayat nagari dikuasai oleh negara atau oleh

sekelompok orang.

”...Hidup bernagari juga harus ditopang dengan institusi sosial yang mapan, yang bisa dipandang sebagai sosial kapital dalam Pemerintahan Nagari yang disebut sebagai hak-hak ulayat, tetapi sejak berlakunya UU No. 5/1979 bahkan jauh sebelum itu UU No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak ulayat masyarakat "desa" sudah dikuasai oleh negara...”48

Persepsi dari aparatur pemerintah menunjukkan bahwa Pemerintahan

Nagari harus dikembalikan dengan segala otonomi yang dimilikinya, maka

diperlukan pendekatan intensif, serius dan motologis agar “penyelamatan kembali

sosial kapital” nagari memberikan hasil maksimal. Dibayangkan akan ada proses

bertahap dan terpadu dalam merekayasa ulang ujud nagari yang legitimasinya

menyeluruh serta diakui oleh segenap anak nagari, sehingga sesuai dengan

revitalisasi nagari dalam konteks kekinian49.

D.2. BMN ( Badan Musyawarah nagari ) (Legislatif)

Sebagai level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi seperti halnya

desa di jawa, maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama

Badan Musyawarah Nagari ( BMN). Kehadiran BMN diharapkan dapat

membawa perubahan bagi kehidupan sosial politik mayarakat nagari yang selama

ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme cheks and balances serta

adanya pemandulan partisipasi masyarakat.

Keanggotaan BMN ini merupkan utusan unsur- unsur yang ada dalam

masyarakat nagari, atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan

keterwakilan wilayah dan unsur- unsur masyarakat yang di tetapkan secara

musyawarah dan mufakat. Kenaggotaan BMN berdasarkan perda No 7 tahun

2006 adalah berasal dari unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo

kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini memiliki basis pada tingkat jorong,

48 Wawancara dengan kepala Bagian Pemerintahan Nagari pada tanggal 27 Mai 2009. 49 St. Majo Basa. Zukri Saad. 2000. “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari. Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Makalah Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000

33

Page 34: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

sehingga pada pemilihan anggota BMN maka masing- masing jorong mengutus

masing- masing dua orang. kemudian utusan ini akan dimusyawarahkan untuk

menentukan siapa sebagai wakilnya dalam BMN.

Untuk nagari nagari jawi- jawi guguk, keaggotaanya tidak terbagi

berdasarkan komisi tapi digabung menjadi satu kesatuan dan merumuskan semua

permasalahan nagari secara bersama- sama, jumlah anggota BMNnya adalah 11.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari akan berkerja sama dengan

BMN, ketika dilihat dari unsur politiknya, kehadiran BMN di nagari Jawi- Jawi

lebih memberikan kesempatan pada tungku tigo sajarangan (Ninik Mamak, alim

Ulama dan Cadiak Pandai serta Bundo Kanduang dalam nagari ) terlibat dalam

pembuatan keputusan di tingkat nagari.

Masing- masing BMN dalam nagari mepunyai Dinamika yang berbeda

dalam berdemokrasi, merujuk pada perda No 7/2006 tentang pemerintahan nagari.

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki oleh BMN selain membahas

rancangan peraturan nagari, BMN juga mengusulkan pengangkatan wali nagari

dan pemberhentian wali nagari. Disinilah menurut analisa peneliti letak keunikan

dinamika berdemokrasi sistem politik koto piliang di nagari jawi- jawi masih tetap

dipakai dalam menampung segala bentuk aspirasi masyarakat nagari, dalam

prosesnya masyarakat nagari menyampaikan aspirasi memalui beberapa tingkatan

perwakilan golongan ampek jinih (penghulu, malin adat, manti adat dan

dubalang) masing- masing suku dalam nagari, kemudian penghulu-lah yang akan

bertanggung jawab menyampaikan aspirasi tersebut kepada perwakilannya dalam

BMN50di nagari,

Jika dilihat dari komposisi keanggotaan dari masing- masing BMN yang

ada di nagari harus mmenuhi persyaratan keaggotaan sesuai dengan ketentuan

seperti terlihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4Komposisi Keanggotaan BMN Berdasarkan Perda NO 7/2006

Di Kabupaten Solok

Jumlah Anggota

50 Berdasarkan Perda No 7/2006 tentang Pemerintahan Nagari Jumlah anggota BMN paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang. dengan ketentuan jumlah seluruhnya termasuk pimpinan harus ganjil dengan memperhatikan kemampuan dan keuangan nagari .

34

Page 35: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

No Keterangan Ninik mamak

Alim ulama

Cadiak pandai

Bundo kanduang

Pemuda

1 jika jumlah anggota BMN 5 orang maka sifat keaggotaannya masing- masing unsur harus diwakilkan oleh satu orang.

1 1 1 1 1

2 jumlah anggota BMNnya 7 orang, harus terdiri

2 1 2 1 1

3 Jika jumlah anggota BMNnya 9 orang harus terdiri

2 2 2 1 1

4 Jika jumlah anggota BMNnya 11 orang harus terdiri dari

3 2 3 1 2

Sumber data primer 2009.

Ternyata Intervensi negara tidak bisa dilepaskan dari segala bentuk aturan

pada pemerintahan pada tingkat lokal, sifat dan aturan dari BMN sendiri ”negara”

yang diwakilkan melalui pemerintah daerah terlalu banyak mengatur tatacara

termasuk tugas dan fungsi dari BMN sendiri, termasuk di Kabupaten Solok, salah

satu pasal dalam perda No 7/2006, pasal 76 tentang Pembentukan BMN No 6, ada

sebuah keganjilan dan ketidak sikronan dengan tugas dan fungsi dari BMN itu

sendiri

” ...untuk melaksanakan proses pencalonan dan penetapan anggota BMN periode berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa pengabdian BMN, wali nagari membentuk panitia pencalonan dengan jumlah anggota sebanyak 7 (tujuh) orang yang terdiri dari unsur BMN 4 (empat) orang dan unsur KAN 3 tiga ) orangyang dibantu oleh sekretariat panitia yang berasal dari perangkat nagari dengan jumlah paling banyak 3 (tiga) orang yang ditetapkan dengan keputusan wali nagari...”

Padahal salah satu tugas dan fungsi dari BMN itu sendiri adalah

mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian wali nagari serta pengawasa

terhadap kinerja wali nagari. Bagaimana BMN bisa bekerja secara optimal kalau

seandainya kegiatannya tetap berada dibawah pengawasan wali nagari. Inilah

salah satu bentuk intervensi negara pada pemerintahan lokal di sumatera barat,

walaupun ”negara” selalu mengikut sertakan unsur tungku tigo sajarangan, tapi

35

Page 36: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

”negara” tidak bisa sepenuhnya memberikan desentralisasi dan devolusinya pada

pemerintahan terendah.

D. 3. KAN ( Kerapatan Adat Nagari ) (yudikatif)

Kerapatan adat Nagari (KAN ) merupakan lembaga yang telah ada sejak

tumbuh dan berkembangya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak

bisa dipisahkan dari ninik mamak, karena seluruh penghulu /ninik mamak yang

ada dalam sebuah nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan

kekuasaan yudikatif melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul

para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas

kaumnya. Sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan

terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam

nagaripun dibekukan, akan tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada.

Untuk melindungi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat keluarlah

perda No.13 tahun 1983, perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.

Perda propinsi Sumatera Barat No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda

No 2/2006 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari masing- masing

kabupaten menyikapi dengan menetapkan perda kabupaten tentang pemerintahan

nagari yang beragam, akan tetapi ada persamaan dengan nagari sebelum

berlakunya UU No 5/1979 yakni tentang kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah nagari yakni (1) kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, (2)

kewenangan yang belum diatur oleh pemerintah yang lebih atas, (3) kewenangan

untuk melaksanakan tugas pembantuan.51 Untuk menyikapi kewenangan hal sal

usul ini masing- masing kabupaten melaksanakan cara yang berbeda- beda, ada

yang mengatur dominan kabupaten, ada yang memberikan kesempatan kepada

nagari – nagari dengan membentuk beberapa kelembagaan adat dengan nama

yang berbeda- beda seperti KAN, LAN ( lembaga Adat Nagari). Disamping itu

ada juga kabupaten yang berusaha memertahankan sistem yang masih ada dengan

melakukan penyesuaian dengan pola yang sedang bergulir selama reformasi

dengan tetap melakukan pembinaan dalam pelaksanaan pemerintahan.

Jika melihat perda No 13 tahun1983 seluruh harta kekayaan nagari di

kelola oleh KAN, maka ketika devolusi kekuasaan di Sumatera Barat di serahkan 51 H. Musyair Zainuddin. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkann Hak Asal- Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. Hal 22

36

Page 37: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

pada nagari melalui perda No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda No 2/2006,

pengelolaan kekayaan nagari diserahkan kepada Pemerintahan nagari. Dalam

perda Propinsi Sumatera Barat idak menyebutkan nama KAN , maka akan

berbeda dengan kabupaten Solok. Melalui perda No 4/2001 dan direvisi dengan

perda No7/2006 keberadaan KAN tetap diakui, bahkan posisi KAN dalam perda

ini tetap ada. Pemerintah daerah berasumsi bahwa jika ada hal- hal yang tidak bisa

diselesaikan oleh pemerintahan nagari, maka dapat diselesaikan dalam

musyawarah KAN.

”...pemerintahan nagari harus mau mendengarkan dan memperhatikan pendapat dari KAN, pemerintah nagari diharapkan mengakomodir sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara wali nagari dan KAN berjalan efektif...”52

Berdasarkan perda No 7 tahun 2006 tentang pemerintahan nagari

berfungsi sebagai (a) sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat nagari.

(b) sebagai lembaga pendidikan pengembangan adat nagari.(c) sebagai lembaga

peradilan adat nagari.(d) mengurus hukum adat dan istiadat dalam nagari. (e)

memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal- hal yang

menyangkut harta kekayaan masyarakat.

Peneliti melihat bahwa ada dua bentuk kegamangan yang mendera

masyarakat di yang ada pada nagari. Pertama, dalam imajinasi golongan elit

Minang, mulai dari pemerintah, akademisi dan perantau—mencoba menjadikan

institusi ‘nagari’ sebagai institusi modern. Dengan konstruksi struktur

pemerintahan nagari yang berbasis modern, seperti, urgensi lembaga legislatif,

yudikatif, dan eksekutif. Di samping itu kelompok ini berupaya melakukan

modernisasi Sumber Daya Manusia yang akan menjalankan roda pemerintahan

nagari—dengan ini, berarti Nagari diseret dalam format yang sama sekali baru.

Sementara golongan kedua. Tetap komitmen dengan bentuk ‘nagari’ purba

dahulu, dimana peran datuk sebagai kepala suku tetap dipertahankan dalam

membangun perintahan nagari. Golongan ini mencoba berimajinasi dan melalang

buana pada kehidupan ‘nagari’ masa silam. Tetapi peneliti mencoba membuat

sebuah deskripsi nomotetik yaitu menggabungkan antara konsep dasar bernagari

itu seperti apa lengkap dengan lembaga yang mewadahinya serta memasukan

52 Wawancara dengan Bupati Solok Pada tanggal 19 Mai .

37

Page 38: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

147

bagaimana cara negara mengintervensi secara tidak langsung pola kekuasaan yang

ada di nagari dalam bentuk membuat sebuah lembaga nagari yang sifatnya yuridis

serta formal sehingga akan bertemu suatu varian yang berbeda ketika melihat pada

dua analisa diatas.

Bab 7. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa demokrasi sebenarnya tidak

terbatas pada sebuah sistem politik yang ada, demokrasi seharusnya juga tidak

terbatas pada aturan- aturan formal yang terdapat dalam konstitusi. Pelaksanaan

demokrasi, keberhasilan dan sebuah kegagalan juga sangat ditentukan dari sejauh

mana nilai- nilai lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi mendapat

tempat dan diserap sebagai bahan pokok untuk menjalankan kehidupan yang

demokratis. Demokrasi seharusnya membutuhkan sebuah ”pembumian” makna

dimana setiap prilaku yang terkait dengan publik dan interaksi sosial politik

didalamnya didasari oleh nilai- nilai utama demokrasi seperti partisipasi dan

akuntabilitas.

Teori demokrasi barat sebenarnya bisa diadopsi untuk menilai bentuk

demokrasi lokal di Indonesia dengan catatan awal ada sebuah turunan variabel

dari teori tersebut yang khas dengan unsur demokrasi lokal. Aplikasi dari teori

demokrasi yang tercermin dalam pergaulan sosial politik di komunitas masyarakat

paling dasar (nagari) peneliti lebih merangkumnya pada dimensi struktural,

dimana ada perubahan posisi atau status dalam masyarakat nagari setelah kurang

lebih dua puluh tahun tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan

terendah. Walaupun status nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat

eksistensinya masih diakui, namun peran, kekuasaan, otoritas, fungsi, integrasi,

hubungan antar satu posisi dengan posisi yang lainnya, arus komunikasi dari

komponen yang ada dalam Nagari telah berubah.

Nagari adalah lembaga mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik

yang lebih luas nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai

pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing

38

Page 39: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

community). Sebagai sebuah “republik kecil”, nagari mempunyai perangkat

pemerintahan demokratis: unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nagari, secara

antropologis, merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-

budaya. Ikatan ber-nagari di Minangkabau, dulu, bukan saja primordial-

konsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural

fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Karena itu, nagari

mempunyai kaitan ke atas; ke Luhak dan ke Alam, dan kaitan ke samping antara

sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional. Sistem otonom seperti ini

adalah ciri khas masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan

mempertahankan diri dan pelestarian nilai-nilai masing-masing nagari, yang

fokusnya adalah keragaman. Ikatan Luhak dan Alam adalah ikatan totemis dan

kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya

menjadi kesatuan-kesatuan serta kekuasaan emosional spiritual. Karena itu orang

Minang secara sadar membedakan antara kesatuan-teritorial-konsanguinal dalam

bentuk republik nagari-nagari dengan kesatuan-totemis-kosmologis.

Sebahagian nagari yang ada di Sumatera Barat salah satunya nagari yang

ada di kabupaten Solok (nagari jawi- jawi) masih mempertahankan sistem

pemerintahan tradisional nagarinya berdasarkan dua sistem keselarasan dan

perda yang dikeluarkan hanya sebagai dasar hukum yang tidak baku bagi mereka,

Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan

membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat, tapi disinilah

letak sebuah varian demokrasi lokal tersebut.

Ketika masyarakat nagari dihadapkan pada dua pilihan yaitu apakah tetap

mempertahankan model demokrasi tradisional nagari yang berdasarkan kepada

sistem politik koto piliang dan bodi chaniago, atau mengganti dan merubahnya

menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan

yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi

barat dalam pemerintahan nagari. Sampai pada kesimpulan penulis berpendapat

sebuah anomali bentuk kekuasaan nagari tersebut bisa diminimalisir dengan cara,

pemuka masyarakat nagari ( ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai ) harus

membuka ruang kekuasaan kepada siapa saja yang mau dan punya kemampuan

dalam membangun nagari, terlepas apakah mereka penduduk asli atau pendatang.

39

Page 40: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Selain itu pemerintah kabupaten juga harus memperhatikan organisasi yang hidup

di nagari, harus jelas bentuk dan visi organsiasinya ( apakah seperti LSM atau

organisasi pemberdayaan lainnya yang berbasis nagari) samping itu ada sebuah

aturan yang riil tentang organisasi politik yang hidup dalam nagari ( partai

politik). Pendidikan politik juga harus diberikan kepada masyarakat nagari

sehingga tidak mudah dimobilisasi oleh organisasi yang ada dalam nagari.

B. Saran

Demokratisasi lokal, sekali lagi ada sebuah perjuangan yang keras yang

harus dilewati oleh para komunitas elite dan lembaga di nagari untuk sampai

pada tingkatan desentralisasi dan devolusi yang otonom. Tanpa ada intervensi

negara pada ranah lokal yang mencampur adukan antara sebuah pemerintahan

nagari dengan pemerintahan adat yang kadangkala berujung pada konflik antara

elite dalam nagari dan konflik dengan tema pemekaaran wilayah nagari, berbagai

kalangan mempunyai semangan demokrasi yang tinggi tetapi sebahagian besar

cenderung pesimis menatap masa depan sebuah demokrasi lokal nagari. Berbeda

dengan pandangan pesimis (jika bukan fatalis), peneliti tetap berpandangan yang

optimis. Bagaimanapun orang yang pesimis paling maksimal hanya bisa

mengecam dan menghujat dan akhirnya gagal merumuskan tindakan stratergis di

masa depan. Dulu orang- orang yang berhaluan pesimis sempat membayangkan

bahwa demokrasi lokal yang ada di nagari tidak jauh berbeda dengan berdesa

pada tahun 1979, masih tetap ada intervensi negara secara tidak langsung terhadap

pelaksanaan demokrasi lokal pada nagari. peneliti justru melihat sisi positifnya,

intervensi negara dalam hal ini mungkin adalah sebuah pembelajaran dari sebuah

kegamangan menata sebuah demokrasi yang betul- betul berada pada ranah lokal.

Ibaratnya negara ” pemerintah daerah ” berusaha menempatkan posisi mereka

ketika berhadapan dengan nagari, dan berhadapan dengan para penghulu nagari

serta masyarakat nagari. Ada sebuah mainstrem yang berbeda antara masyarakat

dan negara tentang konsep hidup bernagari. Tambo atau tiongkok/sejarah nagari

menurut peneliti bisa membantu para elite lokal nagari dan elite yang berada pada

tataran pemerintah menyatukan visi kedepan membangun nagari yang ideal itu

40

Page 41: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

seperti apa. Sisi positif yang lain Perbedaan pola demokrasi di nagari malahan

menjadi sebuah warna varian dari sebuah demokrasi di nagari.

Daftar Pustaka

A. Dahl, Robert. (1971 Polyarchy: participation and Opposition. New Haven: Yale University Press

______________ (1990). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. Boulder Colorado: Lynne Rienner

________________(1989). democracy and its critics New haven : yale University Press,)

________________ (1998). on democracy. New haven : Yale University Press.________________(2003). Negara capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka

pelajar. Abdullah, Irwan, (2003). Jurnal Humaniora, Vol.XV Masalah Kebudayaan dalam

PembangunanAndrain, Charles F. (1970). Political Life and Social Change in the Third World.

Boston: Unwin Hyman. Anthony Gidden. (2000). Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut

Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.Anwar, Chairul. (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat

Minangkabau, Jakarta: Rineka Cipta. Babbie, E. 1983. The Practice of social research. California: Wadsworth

Publishing Company. Berger, Peter L. (1976). Pyramids of sacrifice: political Ethics and social Change.

New York : Anchor Books. Bourchier ,David dan Jhon Legge, (eds). (1994). Democracy In Indonesia 1950s.

Monash University (Clayton ): Centre of Southeast Asian Studies.Data statistic tahun 2007. Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1989) Democracy

in Asia. Boulder Colorado : Lynne Rienner. Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1990). Political and

developing Countries: Comparing Experience with Democracy, Boulder, Colorado: Lynne Rienner.

Eko, Sutoro. (2006). Demokrasi dan Potret Pemilu Lokal 2004 . Yogyakarta: Percik, Pustaka Pelajar.

Eko, Sutoro. Makalah Desentralisasi dan demokrasi desa. Disampaikan Dalam Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999 yang diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra Indonesia Medan, dan Pusaka Indonesia, Deli Serdang, Sumatera Utara, 19 November 2003.

Francesco Kjellberg. (1995). "The Changing Values of Local Government" Dalam ANNALS, AAPSS, 540, July 1995. American Academy.

Fukuyama, Francis, (2004), The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam,

41

Page 42: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Giddens, Anthony The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in the USA by Blakwell Publisher Ltd : 350 Main Street Malden, MA 02148. USA. (terj: Jalan ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999.

Gould, Carol, (1988), Rethinking Democracy, Cambridge, New York: Cambridge University Press

Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformationsof The Public Sphere. Terj Yudi Santoso. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Burjois. Cetakan kedua. 2008. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Harrison, David. (1988). The Sosiology of Modernization and Development. London: Unwim Hyman.

Hasbi, Muhammad, dkk. (1990). Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat), Padang: Yayasan Genta Budaya, Sumatera Barat

Heinelt, Hubert and Wollmann, (2003). Local Politics Research In Germany: Developments and Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications.

Held, David. (2007). Models Of Democracy. Edisi ketiga. Terj. Abdul Haris. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.

Holt, Claire et al culture and politics Indonesia,. Ithaca: Cornell university Press. John, Steward and Gerry Stoker, (1989). The Future of Local Government,

London: Macmillan.Junus, Umar.1971. Kebudayaan Minangkabau (dalam Koentjaraningrat ed .

Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jembatan.Kahin, Audrey. (1999). Rebellion ti integration. Amsterdam: Amsterdam U

Press. Kato, Tsyoshi (1982) Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau

Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press.Kato, Tsyoshi . (1982). Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau

Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press. Kemal, Iskandar. (1971). Beberapa studi tentang minangkabau. Padang: Fakultas

Hukum Universitas Andalas M.Nasroen. (1971). Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan BintangManan, Imran. 1995. Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di

Minangkabau (Nagari dan Desa di Minangkabau), Padang : Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau

Moleong (2000), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya

Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya,

Naim, Mochtar (ed). 1968. Menggali Hokum Tanah Dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press.

Naim, Mochtar. (1990). “Nagari versus Desa. Sebuah Kerancuan Struktural” dalam Edi Utama (ed). Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat.. Padang : Genta Budaya

Nasroen, M. (1957). Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Pasaman.

42

Page 43: TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE ...

Navis, A.A. (1984). Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Graviti Perss

Neuman, W.L. 1997. Social research methods, qualitative and quantitative approaches. London: Allyn and Bacon.

Nugroho, Kris. (1992). “Telaah Peran Negara, Partisipasi dan Demokratisasi”. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia 6 – 8 Agustus 1992

O’G. Anderson, Benedic R. (1972). the idea of power in Javanese culture, Ithaca: Cornell university Press.

Oki, Akira (1977). Social Changein West Sumatran Village:1908-1945. disertasi Doktor, Australian national University.

Owens, Edgar dan Robert Shaw. (1983). Pembangunan Ditinjau Kembali. Terjemahan A.S. Wan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

P.E. De. Josselin De Jong. (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan Sociopolitical Structure In Indonesia. Djakarta: Bharata

Pador, Zenwen Dkk. (2002). kembali ke Nagari: Batuka Baruak Jo Cigak?. Jakarta: PT Sinar Grafika.

Perda Propinsi Sumatera barat No 13 tahun 1983Saad, Zukri. (2000). “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari.

Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Makalah Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000

Safirani, Amalinda, (2004), Local Strongman in New Regional Politic in Indonesia, thesis, unpublished

Sairin, Sjafri ARTIKEL tanggal 28 April 2008 ”Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” tulisan ini juga pernah dimuat dalam jurnal Jurnal Humaniora, Universitas Gadjah Mada (UGM), No 1 tahun 1995.

Sartori, Giovanni, (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam, New York : Chatam House

Sjahmunir AM, SH, Prof. Dr. dkk. (2006). Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press.

Sjamsudin, Nazarudin, (1989). Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.Soedjatmoko. (1983). Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Soekanto, Soerjono dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Soronsen, Georg, (1993), Democracy and Democratization, Boulder, Co:

Westview Press.Surbakti, Ramlan (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Surbakti, Ramlan Himpunan Teori—Teori Politik. Surabaya: Fisip Universitas

Airlangga. Ubed Abdilah S. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa

Identitas, Magelang: Indonesiatera.

43