Transfer Pricing dalam Perpajakan
-
Upload
rhima-pratiwi -
Category
Documents
-
view
283 -
download
10
description
Transcript of Transfer Pricing dalam Perpajakan
PELUANG TRANSFER PRICING BAGI USAHA GROUP
DALAM PENGHITUNGAN PAJAK DI INDONESIA
disusun untuk memenuhi UTS mata kuliah Perpajakan
dosen pengajar Bapak Wicaksono, MM.
Oleh :
Rima Sari Pratiwi
NIM : 2012200720
Kelas : JP B
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012
0
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah perpajakan internasional salah satunya adalah transfer pricing, yaitu
kegiatan mentransfer laba dari perusahaan dalam negeri ke perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar dan
membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang sewajarnya. Transfer pricing
merupakan isu sentral saat ini yang dialami oleh seluruh dunia yang terhubung dalam
jaringan perdagangan internasional. Banyak perusahaan sering melakukan transfer
pricing guna memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan pajak, karena pajak
dianggap sebagai beban yang mengurangi keuntungan.
Transfer pricing dulunya merupakan salah satu cara pengusaha dalam
mengoperasikan usahanya umtuk mengukur kinerja setiap departemen dalam satu
perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen dari
suatu perusahaan untuk melihat kinerja keseluruhan perusahaan tersebut, Suandy
(2006). Makna arti tersebut berubah dimana pergeseran laba yang mengakibatkan
kerugian di dunia perpajakan. Pergeseran ini digunakan oleh Wajib Pajak sebagai salah
satu cara tax planning untuk menghemat pajak dengan menggunakan kelemahan
peraturan di suatu negara. Biasanya tax planning ini dilakukan oleh perusahaan
multinasional yang bergerak atau yang mempunyai anak perusahaan di berbagai negara.
Transfer pricing menjadi masalah besar bagi aparat pajak suatu negara jika ada yang
merasa dirugikan dan inilah yang menjadi permasalahan transfer pricing di dunia
perpajakan.
Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya
menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari
sisi pemerintah, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya
potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung
menggeser kewajiban perpajaknnya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang
tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low
tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya
meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya meminimalisasi
1
pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional,
perusahaan berskala global (multinational corporation), transfer pricing dipercaya
menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam
memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas.
Caranya bermacam-macam, mulai dari mengatur penjualan, membebankan
harga pokok, membebankan biaya umum kantor sampai ke biaya bunga modal. Timbul
kerugian negara akibat kurang disetornya perhitungan pajak penghasilan badan atas laba
yang telah ditransfer ke luar negeri tersebut.
Salah satu ciri praktik transfer pricing yang biasa dikenal dalam literatur
perpajakan adalah memperkecil harga jual per-unit barang dan memperbesar harga beli
bahan baku. Praktik ini cenderung menyatakan kerugian usaha pada laporan SPT-nya,
walaupun Organization For Economic Co-operation And Development (OECD) telah
mengatur dan membuat petunjuk pelaksanaan mengenai transfer pricing yang
dituangkan dalam OECD transfer pricing guidelines for multinational enterprises and
tax administrations (OECD Guidelines), namun konflik atau perselisihan antara Wajib
Pajak dengan pihak administrasi pajak suatu negara dengan negara lain masih saja
terjadi.
Menurut hasil riset dari Her Majesty Revenue Center (HMRC), Inggris
dan Internal Revenues Service (IRS), USA, beberapa indikator dari manipulasi transfer
pricing adalah sebagai berikut.
a. SPT Tahunan PPh Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-turut.
b. Peredaran usaha tinggi tapi laba yang diperoleh kecil
c. Transaksi hubungan istimewa atau transaksi antar afiliasi yang cukup besar
d. Tingkat kemampu-labaan buruk dibandingkan dengan perusahaan sejenis
e. Rugi yang tidak dapat dijelaskan
f. Memiliki perusahaan afiliasi di Negara Tax haven
Di negara-negara sekaliber Amerika Serikat pun praktek transfer pricing tetap
merupakan dilema, karena meskipun dikategorikan praktek yang tidak etis, namun pada
kenyataannya hampir semua perusahaan besar di Amerika melakukan hal tersebut.
Berdasarkan berita keuangan internasional yang dimuat dalam bloomberg.com
mengenai praktek transfer pricing yang dilakukan oleh “Google Inc” dengan
menempatkan pendapatan perusahaan di negara-negara tax heaven, cukup membuat
2
terkejut para praktisi keuangan. Karena bahkan perusahaan sebesar dan sekaliber
Google pun melakukan praktek tersebut. Meskipun dikatakan bahwa praktek tersebut
sah secara hukum, namun tidak secara etika bisnis.
Di Indonesia pun Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sangat menyadari
praktik penghindaran pajak melalui manipulasi Transfer Pricing (TP). Disebut
menghindari pajak (tax avoidance), karena penghindaran tersebut masih dilakukan
dalam koridor peraturan pajak yang berlaku. Praktik ini terutama dilakukan oleh
perusahaan multinational. Tujuan utama dari manipulasi transfer pricing tentu saja
adalah pergeseran penghasilan kena pajak.
Praktek transfer pricing di Indonesia belakangan mendapat perhatian serius
dari kantor pajak, antara lain dengan diterbitkannya fasilitas pelaporan adanya
hubungan istimewa antar perusahaan dalam form SPT PPh Badan, di mana berdasarkan
UU No 17 tahun 2000 pasal 18 UU PPh hal tersebut diatur dalam hubungan khusus
antar perusahaan di mana “Dirjen Pajak memiliki kewenangan mengatur kembali
besaran penghasilan dan pengurangan serta menentukan besarnya utang dalam rangka
penyertaan modal untuk menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lain sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman bidang usaha lain yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa”. Selain itu
aturan pajak mengenai transfer pricing juga terus disempurnakan untuk meminimalkan
praktek ini, terakhir Direktur Jendral Pajak mengeluarkan peraturan No
PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Ini jelas menandakan bahwa Indonesia pun tidak menginginkan terjadinya
Transfer Pricing, walaupun dalam praktek di lapangan banyak sekali perusahaan-
perusahaan besar melakukan hal tersebut. Lemahnya tata cara pemungutan dan
pengawasan perpajakan di lapangan, menimbulkan terjadinya anggapan sah praktek
transfer pricing bagi para stakeholder maupun bagian keuangan di perusahaan-
perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup
serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang mengatur transfer pricing dalam perpajakan adalah
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 Tentang Tatacara
Pemeriksaan Pajak
5. Peraturan DirJen Pajak No. PER - 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga
Transfer (Advance Pricing Agreement)
6. Peraturan Dirjen Pajak NO. PER - 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan
Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
7. Keputusan DirJen Pajak No. KEP - 01/PJ.7/1993 Tentang Pedoman
Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa
8. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan
Kasus-kasus Transfer Pricing (Seri TP-1)
4
2.2 Pengertian Transfer Pricing
Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang
diutarakan beberapa ahli antara lain adalah :
a. Menurut Tsurumi dalam Gunadi (1997), dalam suatu grup perusahaan, transfer
pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen
(management control) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.
b. Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar dalam
Akuntansi Biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu sub
unit (segmen, departemen, divisi dan sebagainya) untuk produk atau jasa yang
dipasok ke sub unit lain dalam organisasi yang sama.
c. Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu
harga internal yang dibebankan oleh satu unit (seperti divisi, perusahaan anak,
atau departemen) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan
yang sama.
d. Menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven dalam Management
Accounting, harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang
ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
e. Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau
balas jasa atas suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar
perusahaan dalam satu grup.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada
prinsipnya transfer pricing adalah harga transfer dari barang/jasa atau aktiva tak
berwujud (intangible property) yang ditransfer antar perusahaan afiliasi dalam satu
grup perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan. Semula transfer pricing
digunakan untuk kepentingan penilaian tingkat kemampu-labaan masing-masing
divisi atau masing-masing perusahaan afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi.
Tetapi sejalan dengan makin besarnya perusahaan multinasional, perbedaan tarif
pajak antar negara dan perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer
pricing digunakan sebagai alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu
negara ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah, atau dari perusahaan yang
berada dalam posisi laba ke perusahaan afiliasi yang masih mengalami kerugian.
5
Beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai indikasi awal adanya
rekayasa transfer pricing pada perusahaan di Indonesia adalah:
a. dalam laporan audit dapat diketahui bahwa sebagian besar transaksi baik
pembelian maupun penjualan dilakukan dari dan ke perusahaan-perusahaan
lain yang mempunyai hubungan istimewa (related parties).
b. Dalam laporan audit juga dapat diketahui bahwa struktur modal, umumnya
perusahaan di Indonesia lebih banyak mengandalkan pinjaman (baik yang
berasal dari sindikasi perbankan maupun perusahaan induknya) daripada modal
sendiri. Hal ini dikenal dengan thin capitalization (debt-equity ratio).
c. Terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa baik jasa teknik maupun jasa
manajemen dari perusahaan di Indonesia kepada perusahaan-perusahaan lain
yang termasuk perusahaan related parties, walaupun perusahaan di Indonesia
tersebut mengalami kerugian selama bertahun-tahun.
d. Apabila perusahaan di Indonesia tersebut dalam operasi normal perusahaan
menghasilkan laba maka akan terjadi pembayaran dividen dalam jumlah besar
kepada para pemegang sahamnya.
e. Perusahaan tetap dapat beroperasi normal walaupun selama bertahun-tahun
menderita kerugian, karena memang perusahaan di Indonesia di setting sebagai
pusat biaya atau pusat penampungan kerugian. Hal ini dapat terlihat dari
persentase Harga Pokok Penjualan yang tinggi terhadap Penjualan dan kecilnya
Gross Profit.
f. Memanfaatkan celah pada peraturan tentang P3B yang dikenal dengan istilah
treaty shopping. Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu
P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada
persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya
merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty
shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara
mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak.
g. Terdapat transaksi-transaksi yang melibatkan negara-negara tax haven
countries.
h. Apabila salah satu perusahaan dalam satu grup menderita kerugian terus
menerus tetapi secara keseluruhan perusahaan tersebut memperoleh laba maka
6
patut dicurigai adanya praktek transfer pricing. Sebab perusahaan yang
independen tidak mau perusahaannya menderita rugi berkepanjangan.
Perlu disadari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang demikian
cepat, yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan
metode usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya
dalam bidang keuangan dan perbankan), maka bentuk dan
variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun demikian dengan pengaturan
lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa diharap dapat meminimalkan atau mengurangi praktek
penghindaran/ penyelundupan pajak dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
2.3 Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Transfer Pricing
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa umumnya transfer pricing
melibatkan transaksi-transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari
satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan
keseluruhan jumlah pajak terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa tersebut. Pihak-pihak yang tergolong hubungan
istimewa adalah sebagaimana dijelaskan berikut :
Menurut UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 18 ayat (4)
dan UU PPN Pasal 2 ayat (2), dijelaskan bahwa, Hubungan istimewa dianggap ada
apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
7
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa
dapat terjadi :
1. antara pihak-pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia;
2. antara pihak yang bertempat tinggal, didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia dengan pihak yang bertempat tinggal/kedudukan di luar Indonesia.
Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara
Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan
di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih
rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-
riil (substance over form rule).
Dalam Standar akuntansi (PSAK No. 7) sendiri, juga diatur mengenai
transaksi dengan pihak yang berelasi (hubungan istimewa). Transaksi Pihak
berelasi adalah suatu pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas
pelapor dengan pihak-pihak berelasi terlepas apakah ada harga yang dibebankan.
Yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berelasi menurut sudut pandang
akuntansi adalah : orang atau entitas yang terkait dengan entitas yang menyiapkan
laporan keuangannya (dalam Pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”).
a. Orang atau anggota keluarga dekatnya mempunyai relasi dengan entitas
pelapor jika orang tersebut :
i. Memiliki pengendalian/ pengendali bersama atas entitas pelapor.
Pengendalian adalah kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan
dan operasional dari suatu entitas sehingga memperoleh manfaat dari
8
aktivitas entitas tersebut. Pengendalian Bersama adalah persetujuan
kontraktual untuk berbagi pengendalian terhadap suatu aktivitas
ekonomi.
ii. Memiliki pengaruh signifikan atas entitas pelapor. Pengaruh signifikan
adalah kekuasaan untuk berpartisipasi dalam keputusan kebijakan
keuangan dan operasional dari suatu entitas, tetapi tidak mengendalikan
kebijakan tersebut. Pengaruh signifikan dapat diperoleh dari kepemilikan
saham, anggaran dasar atau perjanjian.
iii. Merupakan personil manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk
dari entitas pelapor. Personil Manajemen kunci adalah orang-orang yang
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk merencanakan,
memimpin, dan mengendalikan aktivitas entitas, secara langsung atau
tidak langsung, termasuk direktur dan komisaris (bai eksekutif maupun
bukan eksekutif) dari entitas.
b. Suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu dari hal
berikut :
i. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang
sama (artinya entitas induk, entitas anak, dan entitas berikutnya saling
berelasi dengan entitas lainnya)
ii. Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama dari entitas lain
(atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota
suatu kelompok usaha, yang mana entitas lain tersebut adalah
anggotanya)
iii. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang
sama.
iv. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang
lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
v. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan
kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas terkait dengan entitas
pelapor. Jika entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan
program tersebut, maka entitas sponsor juga berelasi dengan entitas
pelapor.
9
vi. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
didefinisi dalam huruf (a).
vii. Orang yang diidentifikasi dalam huruf (a) (i) memiliki pengaruh
signifikan atas entitas atau merupakan personil manajemen kunci entitas
(atau entitas induk dari entitas)
PSAK No. 7 tidak mengatur secara rinci mengenai praktek transfer pricing
namun dalan PSAK pihak-pihak berelasi yang melakukan transaksi diwajibkan
untuk menggunakan nilai wajar dalam transaksi dan melakukan pengungkapan
yang memadai dalam catatan laporan keuangan agar tidak menyesatkan pembaca
laporan keuangan.
2.4 Praktek Transfer Pricing menurut Peraturan Perpajakan
Berdasarkan PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (8), Penentuan Harga Transfer
(transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa. Transfer pricing yang diperbolehkan menurut
aturan perpajakan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Menggunakan Harga Wajar.
Sebagaimana dijelaskan dalam PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (6) dan
PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (4), Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau
Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi
yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba
yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan
dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari
yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan
keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya
10
tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali
(resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode
lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba
bersih transaksional (transactional net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai
modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui
indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di
antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau
memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak
b. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
PER 32/PJ/2011 Pasal 3 ayat (1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (5) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (6)
menjelaskan bahwa, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length
principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi
pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau
berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
11
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi
pembanding.
Prinsip Kewajaran dan kelaziman usaha tidak hanya dilakukan pada
transaksi yang melibatkan barang saja, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
juga wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Transaksi Jasa dengan
pihak istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sepanjang memenuhi ketentuan:
penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
Nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh
Wajib Pajak untuk keperluannya;
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
d. Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; dan
e. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP)
mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh
kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang
wajar (Fair Market Value/FMV).
12
c. Harus ada Analisa Kesebandingan yang dibuat oleh WP atau Dirjen Pajak
PER-32/PJ/2011 Pasal 1 ayat (7) dan PER-69/PJ/2010 Pasal 1 ayat (8)
dijelaskan bahwa, Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh
Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan
melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi
dimaksud.
Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk
setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan analisis
kesebandingan, cukup dengan pencatatan dan pengungkapan biasa saja.
2.5 Kewenangan Dirjen Pajak
Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak antara lain melalui
penentuan harga yang tidak wajar, dalam perundang-undangan perpajakan telah
terdapat ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberikan wewenang kepada
aparat pajak untuk melakukan koreksi terhadap transaksi yang tidak wajar dengan
pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa. Sebagaimana diatur sebagai
berikut :
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 18 ayat 3, 3a, 3b
menjelaskan bahwa :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya.
13
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan
harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu tersebut berakhir.
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui
pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose
company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai
hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib
Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan
Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan
khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007
pasal 2 sebagaimana telah disempurnakan dengan PMK No. 82/PMK.03/2011
dijelaskan pula bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan
dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan ditemukan indikasi terjadinya transaksi yang terkait dengan
transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa
transaksi keuangan, yang memerlukan pengujian lebih mendalam serta memerlukan
waktu yang Iebih lama, perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan dapat
diperpanjang paling banyak 5 (lima) kali 4 bulan sesuai dengan kebutuhan waktu
untuk melakukan pengujian. Apabila perpanjangan jangka waktu telah berakhir,
Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan harus diselesaikan.
14
2.6 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak terkait Transfer Pricing
Selain harus menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta
membuat analisis kesebandingan, wajib pajak yang melakukan transaksi dengan
hubungan istimewa juga wajib menyimpan dokumen dan atau informasi
tambahan-selain buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung bahwa transaksi yang
dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, sesuai PP No. 74 tahun 2011 Pasal 10 ayat
(2).
Dalam hal melakukan transaksi dengan pihak istimewa, wajib pajak juga
berhak untuk mengajukan Kesepakatan Harga Transfer sesuai PER-69/PJ/2010.
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian
antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak
negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga
Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada
Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing.
Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak
dan Direktur Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak
Negara lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian
transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara
Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal,
antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain,
tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian
hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi
atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan
15
dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut
Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan
Harga Transfer adalah:
a. pembicaraan awal (pre-lodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan
Wajib Pajak yang bertujuan antara lain untuk:
membahas perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer;
memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan
metode Penentuan harga Transfer yang diusulkannya;
membahas kemungkinan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer yang
melibatkan otoritas pajak negara lain;
membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
menyepakati rencana waktu pelaksanaan pembentukan Kesepakatan harga
Transfer; dan
membahas hal-hal lain yang relevan dengan pembentukan dan penerapan
Kesepakatan Harga Transfer.
b. Penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib
Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal;
c. Pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan
Wajib Pajak;
d. Penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
e. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.
Wajib Pajak dapat mengajukan penghentian pelaksanaan pembicaraan awal
atau menarik permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer sebelum surat
Kesepakatan Harga Transfer diterbitkan dengan menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak beserta alasan-alasannya.
Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) Tahun Pajak yang dihitung sejak Tahun Pajak saat Kesepakatan Harga
Transfer disepakati. Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun
16
Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak
dimaksud:
belum pernah dilakukan pemeriksaan;
belum pernah diajukan Keberatan atau Banding oleh Wajib Pajak; dan
tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
2.7 Metode Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing)
Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan
kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
(The Most Appropiate Method). Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat
diterapkan adalah :
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga
antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price/CUP) antara lain adalah:
barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik
dalam kondisi yang sebanding; atau
kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan
Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau
dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh
dari perbedaan kondisi yang timbul.
17
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut
setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan
risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang
dilakukan dalam kondisi wajar.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali
(Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat
kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa
yang diperjualbelikan berbeda; dan
pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang
signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus
Method) antara lain adalah:
barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
18
terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM);
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit
Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas
transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat
diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang
selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode
Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian
Laba (Residual Profit Split Method).
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya
dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat
terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian
secara terpisah; atau
terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang
bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data
pembanding yang tepat.
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin
Method/TNMM).
Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin
method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya,
terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase
19
laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya
Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih
Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi
yang khusus; atau
salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi
yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan
analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang
dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
.
20
BAB III
KESIMPULAN
Salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah
perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan
pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki
kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang
memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah.
Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke
negara lainnya. Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah
internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing
menjadi negara sumber penghasilan. Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi
penerimaan negara.
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar
negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) akan
sangat merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena akan
kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh. Masalah transfer
pricing akan makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak
(tax evasion). Perusahaan multinasional akan dianggap melakukan tindakan kriminal di
bidang perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah
menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara
seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih
besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk
Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39
bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak
sangat tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral
hazard karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
21
Meskipun aturan main mengenai transfer pricing sudah cukup memadai,
namun dalam praktik masih saja ada permasalahan mendasar yang tidak dapat
dibendung antara Wajib Pajak dan fiskus, antara lain :
a. Dalam perspektif perpajakan internasional, penyesuaian harga transfer yang
dilakukan oleh pihak fiskus di suatu negara semestinya harus diikuti oleh
penyesuaian (correlative adjustments) di negara lawan transaksi tersebut. Apabila
suatu negara melakukan penyesuaian atas laba suatu perusahaan dari negara itu
dan mengenakan pajaknya, padahal atas laba tersebut, telah dikenakan pajak di
negara pihak lainnya dan laba yang disesuaikan tadi adalah laba yang memang
seharusnya diperoleh perusahaan yang disebutkan pertama dalam hal kondisi yang
dibuat oleh kedua perusahaan tersebut sama dengan kondisi yang dibuat oleh
pihak-pihak yang mempunyai kedudukan bebas, maka negara pihak lainnya wajib
melakukan penyesuaian sehubungan dengan koreksi yang dilakukan di negara
lainnya. Ayat ini dalam beberapa P3B juga mengisyaratkan adanya konsultasi
antara pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara mitra persetujuan.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam cross-border transfer pricing,
kerjasama antar kedua negara mitra persetujuan merupakan hal yang sangat
penting untuk dilakukan. Tentu saja untuk menghindari terjadinya pemajakan
ganda (double taxation).
Sayangnya, correlative adjustments ini seringkali diabaikan karena tidak
menyertakan pemberitahuan apapun kepada otoritas pajak negara lainnya.
Sehubungan dengan hal itu, ide yang dulu pernah dilontarkan oleh Dirjen Pajak
mengenai kerjasama dengan negara lain terkait dengan pemeriksaan, semestinya
merupakan hal yang cukup positif ditinjau.
b. Permasalahan lain yang mungkin muncul sebenarnya terkait erat dengan masalah
waktu. Dalam praktik yang ada selama ini, dokumen-dokumen yang cukup
ekstensif, harus disediakan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hal ini bisa
saja menyulitkan Wajib Pajak, mengingat analisis transfer pricing merupakan hal
yang bisa dikatakan baru. Dalam situasi ini, sangat dimungkinkan bagi Wajib Pajak
untuk tidak menyerahkan data ataupun menyerahkan data tapi tidak lengkap. Oleh
karenanya, fiskus kemudian mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan khusus
terkait masalah transfer pricing atau bahkan pemeriksaan bukti permulaan dengan
22
dalih atau dugaan adanya tindakan yang merugikan negara berupa harga transfer
yang tidak wajar.
Kalaupun dokumen-dokumen yang diminta tersebut ternyata dapat disediakan
oleh Wajib Pajak secara lengkap, masih ada potensi masalah lain yang mungkin
muncul. Yaitu, berupa ketidaksepakatan antara pihak fiskus dan Wajib Pajak
mengenai praktik harga transfer yang terjadi karena sifat relatif dari
analisis transfer pricing.
c. Disebutkan bahwa, Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan
dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk
mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha. Namun, Tidak ada ketentuan yang menyebutkan sanksi hukum apabila
Wajib Pajak melanggar ketentuan tersebut yang menjadikan wajib pajak terkadang
tak mau tau terhadap kewajibannya ini. Bila DJP menerapkan aturan yang tegas
dalam hal dokumentasi transaksi hubungan istimewa ini, maka beban pembuktian
bahwa transaksi hubungan istimewa dilakukan dengan harga wajar (ALP) berada
pada Wajib Pajak. Sebaliknya, bila tidak ada aturan yang tegas, maka beban
pembuktian tersebut bergeser pada DJP, untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak
tidak menggunakan harga wajar dalam bertransaksi dengan pihak hubungan
istimewa.
Solusi yang paling efektif untuk hal ini adalah melalui program kemitraan
antara Wajib Pajak dan otoritas pajak dan sosialisasi peraturan baru terkait transfer
prising dengan lebih intensif. Lebih lanjut, memang benar bahwa Wajib Pajak harus
memiliki informasi yang relevan mengenai transaksi transfer pricing, namun di sisi
lain pihak fiskus juga harus dapat melakukan pertukaran informasi (exchange of
information) untuk kasus khusus. Dengan demikian, pada saat pemeriksaan fiskus
tidak perlu banyak mengajukan pertanyaan kepada Wajib Pajak. Jadi, selain pola
hubungan kemitraan, kerjasama juga memiliki peranan yang penting. Dengan
demikian, pola hubungan di antara keduanya tidak lagi dilandasi oleh rasa saling
curiga, melainkan rasa percaya yang dapat menciptakan kerjasama yang baik.
23
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk
memperkuat penanganan risiko transfer pricing melalui SPT yang disampaikan oleh
wajib pajak, antara lain :
a. Pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan) telah menerbitkan peraturan dan
panduan tentang dokumentasi transfer pricing dan harus terus menyempurnakan
regulasi yang ada sesuai dengan perkembangan kondisi bisnis. Adanya peraturan
ini diharapkan akan membantu wajib pajak dalam menyiapkan dokumentasi
transfer pricing sebagaimana yang diharapkan oleh aparat pajak. Peraturan ini juga
akan menyeragamkan pemahaman fiskus tentang dokumentasi transfer pricing yang
harus disiapkan oleh wajib pajak sehingga perbedaan persepsi terkait transfer
pricing bisa diminimalisir.
b. Direktur Jenderal Pajak perlu segera menetapkan negara-negara mana saja yang
merupakan tax haven country sehingga formulir yang ada tidak sia-sia. Jika
penelitian penetapan tax haven country memakan waktu lama, untuk sementara
Direktur Jenderal Pajak dapat meratifikasi daftar yang telah ada, baik yang dimiliki
oleh OECD maupun Bank Dunia. Daftar tersebut, tentu saja, dapat diperbaiki
setelah penelitian mandiri oleh Direktorat Jenderal Pajak dilakukan.
c. Selain daftar, sebaiknya pemerintah mengatur kewajiban penetapan harga wajar
atas transaksi dengan tax haven country. Di sini, pemerintah dapat mengatur supaya
transaksi yang dilakukan dengan pihak di tax haven dinilai sesuai prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3) UU Pajak
Penghasilan, meskipun tidak ada hubungan istimewa. Hal ini telah dilakukan lebih
dahulu oleh Amerika Serikat dengan Stop Tax Haven Abuse Act, yang menetapkan
bahwa mitra transaksi dari wajib pajaknya yang berada di tax haven dianggap
memiliki hubungan istimewa, kecuali dapat membuktikan sebaliknya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 Tentang Tatacara Pemeriksaan Pajak
Peraturan DirJen Pajak No. PER - 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
Peraturan Dirjen Pajak NO. PER - 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Keputusan DirJen Pajak No. KEP - 01/PJ.7/1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer Pricing (Seri TP-1)
http://www.pajak.go.id/content/istilah-istilah-perpajakan-harga-transfer-transfer-pricing, diakses tanggal 4 Desember 2012
http://www.pajak.go.id/node/4049?lang=en, diakses tanggal 4 Desember 2012.
http://www.formasi.com/index.php?page=showartikel&id=11, diakses tanggal 5 Desember 2012.
http://www.ortax.org/ortax/?mod=learning&page=desc&id=397, diakses tanggal 5 Desember 2012.
http://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/17/transfer-pricing-dalam-praktek-perpajakan-internasional/, diakses tanggal 4 Desember 2012.
25
http://politik.kompasiana.com/2010/04/01/lika-liku-transfer-pricing-mengendus-penghindaran-pajak-melalui-manipulasi-transfer-pricing-107419.html, diakses tanggal 4 Desember 2012.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/05/10/transfer-pricingto-protect-the-interest-of-indonesia-for-the-benefit-of-the-indonesian-people-1-361671.html, diakses tanggal 4 Desember 2012.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2009/12/08/pencegahan-penghindaran-pajak-via-transfer-pricing-dan-spt-pph-badan/, diakses tanggal 6 Desember 2012.
26