Transfer Pricing Adaro

23
Kasus Transfer Pricing Adaro Tetap Panas Selasa, 19 Februari 2008 - DannyDarussalam.com Tax Center Dihentikan Kejagung, Pansus Gabungan Menanti Kejaksaan Agung (Kejagung) boleh menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT Adaro Indonesia, tapi Komisi VII DPR tak surut langkah. Diam-diam pansus gabungan dengan komisi XI DPR telah disiapkan untuk mengungkap kasus ini. SEPERTI diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari FPAN, Alvin Lie, ia akan menggalang kekuatan di DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pansus Batubara. Selanjutnya, kata Alvin, BPK harus melakukan audit lanjutan. Apabila ditemukan kerugian negara, langsung ditindak lanjuti Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang bisa memeriksa semua pengusaha yang diduga terlibat dalam proses tersebut. "Kami akan menggalang kekuatan di DPR untuk mengusulkan pembentukan pansus gabungan dengan Komisi XI, seiring dengan penghentian penyelidikan oleh Kejagung terhadap kasus transfer pricing yang melibatkan banyak pengusaha," tegas Alvin kepada Probisnis di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin. Ia menjelaskan, pansus gabungan dengan Komisi XI ini untuk membantu proses penyelesaian kasus ini dalam hal pajak. Sedangkan, Komisi VII yang akan menyelediki proses penjualan tersebut. Dikatakannya, kejaksaan diminta untuk tidak main-main dengan dengan kasus ini. Kuat dugaan, bahwa perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah standar. Selain itu, dia juga meminta agar internal Departemen ESDM diperiksa seiring dengan kasus tersebut. "Kemungkinan terjadinya main mata antara aparat hukum, pengusaha dan pemerintah guna mengindari dari jerat hukum itu sangat besar, sehingga dibutuhkan pemeriksaan dan penyelidikan kembali terhadap kasus tersebut," ungkap Alvin. Seperti diberitakan sebelumnya, kasus ini mencuat akibat pertarungan konglomerat Sukanto Tanoto dengan Edwin Soeradjaya Cs. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro Indonesia menjual

Transcript of Transfer Pricing Adaro

Page 1: Transfer Pricing Adaro

Kasus Transfer Pricing Adaro Tetap Panas Selasa, 19 Februari 2008 - DannyDarussalam.com Tax CenterDihentikan Kejagung, Pansus Gabungan Menanti Kejaksaan Agung (Kejagung) boleh menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT Adaro Indonesia, tapi Komisi VII DPR tak surut langkah. Diam-diam pansus gabungan dengan komisi XI DPR telah disiapkan untuk mengungkap kasus ini.

SEPERTI diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari FPAN, Alvin Lie, ia akan menggalang kekuatan di DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pansus Batubara.

Selanjutnya, kata Alvin, BPK harus melakukan audit lanjutan. Apabila ditemukan kerugian negara, langsung ditindak lanjuti Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang bisa memeriksa semua pengusaha yang diduga terlibat dalam proses tersebut.

"Kami akan menggalang kekuatan di DPR untuk mengusulkan pembentukan pansus gabungan dengan Komisi XI, seiring dengan penghentian penyelidikan oleh Kejagung terhadap kasus transfer pricing yang melibatkan banyak pengusaha," tegas Alvin kepada Probisnis di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.

Ia menjelaskan, pansus gabungan dengan Komisi XI ini untuk membantu proses penyelesaian kasus ini dalam hal pajak. Sedangkan, Komisi VII yang akan menyelediki proses penjualan tersebut.

Dikatakannya, kejaksaan diminta untuk tidak main-main dengan dengan kasus ini. Kuat dugaan, bahwa perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah standar. Selain itu, dia juga meminta agar internal Departemen ESDM diperiksa seiring dengan kasus tersebut.

"Kemungkinan terjadinya main mata antara aparat hukum, pengusaha dan pemerintah guna mengindari dari jerat hukum itu sangat besar, sehingga dibutuhkan pemeriksaan dan penyelidikan kembali terhadap kasus tersebut," ungkap Alvin.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus ini mencuat akibat pertarungan konglomerat Sukanto Tanoto dengan Edwin Soeradjaya Cs. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro Indonesia menjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura Coaltrade Services International Pte, Ltd pada 2005 dan 2006.

Oleh Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang harusnya dibayarkan ke kas negara.

Dalam dokumen laporan keuangan Coaltrade pada 2002-2005, terlihat laba Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Laporan keuangan, tersebut menimbulkan kecurigaan, bagaimana mungkin Adaro yang memiliki tambang kalah dengan trader.

Ditambah lagi soal informasi terkait permohonan Mezzanine Facility PT Adaro Maret 2007 serta Bond Issuance Prospectus Adaro tahun 2005.

Kejagung sendiri telah menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) PT Adaro Indonesia ini. "Penyelidikan Adaro sudah selesai. Karena tidak ada masalah kila hentikan," kata Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto di Jakarta, Senin (11/2) lalu.

Page 2: Transfer Pricing Adaro

Kasus transfer pricing Adaro muncul seiring meroketnya harga jual batubara di pasar internasional. Sejumlah perusahaan pertambangan nasional diduga menjual batu bara lebih murah melalui perusahaan terafiliasi di Singapura untuk dijual kembali ke pasar internasional.

Menurut Wisnu, penghentian dilakukan setelah dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Pajak, BPKP serta Departemen ESDM. Audit antara lain untuk mengetahui siapa pembeli, berapa tonase yang diekspor serta pajak yang dibayarkan. "Kesimpulannya royalti dan semuanya sudah dibayar," tegasnya.FIK

Rakyat Merdeka, 19 Februari 2008

PENGGELAPAN PAJAK

Kasus Adaro, DPR Akan Ajukan Hak Angket

Rabu, 30 April 2008

JAKARTA (Suara Karya): Komisi VII DPR berencana mengajukan hak angket terkait kasus penggelapan pajak melalui praktik manipulasi harga (transfer pricing), dalam hal ini yang melibatkan PT Adaro Indonesia.

Anggota Komisi VII Alvin Lie mengungkapkan, dirinya bersama sejumlah anggota Komisi VII DPR dalam tahapan menggalang dukungan dari Komisi XI DPR untuk menggelar hak angket atau hak penyelidikan DPR terhadap kasus transfer pricing Adaro. "Selama ini saya sudah berulang kali bilang bahwa data-data yang saya punya bisa dipakai Kejagung untuk memulai penyelidikan lagi terhadap Adaro. Begitu pula dengan BPK. Tapi, belum ada tindak lanjutnya. Karena itu, dewan akan menggunakan hak angket, yang tidak hanya melibatkan Komisi VII DPR, tapi juga Komisi XI DPR," kata Alvin di Jakarta, Selasa (29/4). Menurut dia, langkah tersebut dipandang mendesak untuk dilakukan setelah Kejaksaan Agung memutuskan menghentikan penyelidikan terhadap kasus yang merugikan negara triliunan rupiah itu. Meski di sisi lain, DPD berencana melakukan langkah lain, yakni akan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memerintahkan aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian serius menyelidiki kasus transfer pricing ini. Alvin menegaskan, langkah yang akan diambil tersebut memerlukan proses yang amat panjang, bahkan menelan waktu hingga setengah tahun. Tapi tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk menindaklanjuti kasus transfer pricing itu. "Memang langkah ini cuma langkah politis. Bagaimana tindak lanjut hukumnya, tergantung pemerintah. Tapi, bagaimana pun kasus transfer pricing ini harus diusut tuntas agar jangan sampai terulang lagi," ujarnya. Menurut Alvin, langkah pentingnya adalah melindungi kepentingan publik, karena itu pemerintah perlu menahan rencana penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) Adaro hingga perusahaan tersebut benar-benar terbukti tidak bersalah. "Saya sendiri heran mengapa Kejagung sampai menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak ada bukti. Padahal, praktik transfer pricing ini sudah mendapat pengakuan lembaga pemeringkat internasional Moody's. Bahkan, Adaro sudah mengakui sendiri praktik transfer pricing yang dilakukannya ketika menerbitkan obligasi pada 2005," ucap Alvin. Data dari analisis Moody's menyebutkan adanya keganjilan dari kontrak penjualan dan pembelian batu bara antara Adaro dan Coaltrade. Dalam kontrak disebutkan, harga dipatok secara tetap (fixed) yang jelas amat jauh di bawah harga pasar. Besarnya penjualan batu bara selama 2005 dan 2006 juga ditetapkan hampir seperempat dari total produksi Adaro. Sementara itu, anggota DPD Marwan Batubara, ikut menyesalkan sikap Kejagung. Dia mengungkapkan niatnya untuk menyurati langsung Presiden untuk segera

Page 3: Transfer Pricing Adaro

bertindak menuntaskan kasus transfer pricing tersebut. "Kalau tidak diselesaikan, kerugian negara akan berlanjut. Jangan sampai kasus ini menjadi seperti kasus transfer pricing Indosat," katanya. Di samping itu, Marwan bersama anggota DPD lainnya juga berencana mendatangi KPK untuk meminta campur tangan lembaga itu dalam masalah ini. "Saat ini kami sedang menyiapkan bukti-buktinya. Rencananya bulan depan kami melapor ke KPK," katanya menambahkan. Kasus transfer pricing Adaro diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan di Indonesia yang besarnya 45 persen. Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura, yang ternyata juga dimiliki pemegang saham yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10 persen.Selain tentunya Coaltrade mendapat keuntungan berlipat ganda karena batu bara yang dibeli dari Adaro dipatok dengan angka 32 dolar AS per ton. Padahal, pada di akhir tahun 2007, harga batu bara telah tembus 95 dolar AS per ton. Kejagung telah menyelidiki kasus ini. Namun, karena dinilai kurang bukti, penyelidikan kemudian dihentikan pada awal 2008. (Indra)

Dirut Adaro Nyatakan "Transfer Pricing"-nya TerbukaSenin, 26 Mei 2008 18:36 WIB | Ekonomi & Bisnis | | Dibaca 2404 kaliJakarta (ANTARA News) - Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir, menyatakan bahwa kasus transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, tidak akan mengganggu proses go public perseroan, dan optimistis akan mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

"Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus trasnfer pricing kepada pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan yang paling bawah. Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun Bapepam," kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin.

Boy mengatakan kasus transfer pricing yang diduga merugikan pajak negara ini pertama kali muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008.

Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti.

Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus transfer pricing.

Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak pajak, BEI dan Bapepam. "Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak," katanya.

Dia mengemukakan, dalam proses IPO ini perseroan juga telah memberikan penjelasan secara detil kepada beberapa pihak yang menunjang dan membantu proses IPO seperti konsultan hukum, akuntan, penjamin emisi dan lainnya.

Page 4: Transfer Pricing Adaro

"Mereka telah memeriksa helai-demi helai keterangan yang kami berikan secara detl itu," ujarnya.

Kasus transfer pricing Adaro yang beberapa waktu lalu juga sempat diberitakan sejumlah media massa diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan yang besarnya 45 persen.

Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga dimiliki pemegang saham yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10 persen.

Selain tentunya, Coaltrade mendapatkan keuntungan berlipat ganda karena batu bara yang dibeli dari Adaro dipatok di angka 32 dolar AS per ton. Padahal, di akhir 2007, harga batu bara telah menembus 95 dolar AS per ton. (*)

”Transfer Pricing” Batu Bara Rugikan Negara Rp 5 Triliun

Jakarta – Departemen ESDM menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengenai pengusutan kasus dugaan transfer pricing (permainan harga) batu bara oleh PT Adaro Indonesia. Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan pihaknya tidak mau mencampuri kasus yang sudah masuk wilayah hukum."Kita tidak usah ribut. Kan sudah ada di kejaksaan," kata Simon Sembiring.Komisi VII DPR juga meminta pemerintah menindak tegas praktik transfer pricing tersebut. Praktik ini dilakukan dengan tujuan menghindari royalti yang mencapai 13,5 persen dan pajak dari produksi batu baranya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sony Keraf mendesak pemerintah segera mengusut keterlibatan perusahaan tambang yang melakukan praktik transfer pricing karena merugikan negara. "Kalau praktik (transfer pricing) yang dilakukan itu terbukti, negara mengalami kerugian tidak hanya dari pajak tapi juga royalti yang ditetapkan 13,5 persen dari total produksi mereka," katanya.Modus yang dilakukan adalah menjual batu bara ke perusahaan terafiliasi di luar negeri dengan harga murah. Setelah itu, perusahaan terafiliasi tersebut menjual kembali ke negara lain dengan harga pasar. Akibat transfer pricing yang terjadi pada 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan. Kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun.Melalui cara tersebut, perusahaan tambang batu bara di Indonesia menjual produk batu baranya dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar ke perusahaan terafiliasi di negara lain. Selanjutnya, perusahaan terafiliasi itu menjual batu baranya kembali sesuai harga pasar ke negara tujuan ekspor.Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Mida pada Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung M salim mengatakan pihaknya baru mau mengecek informasi seputar penyerahan kasus transfer pricing dari PT Adaro yang sebelumnya ditangani Direktorat Jenderal Pajak (Pajak). “Iya benar kita mendengar informasi itu dan saya sedang cek. Hari senin pekan depan akan kita umumkan,” kata Salim.Salim membenarkan, kasus ini diinformasikan telah diserahkan oleh Dirjen Pajak ke pihaknya. Namun, langkah penyelidikan belum bisa disebutkannya.

Sukanto vs Edwin Di bagian lain, sumber SH menyebutkan mencuatnya kasus ini ke permukaan merupakan kelanjutan pertarungan antara konglomerat Sukanto Tanoto dan Edwin Soeradjaya Cs. Dari data yang diperoleh SH ternyata PT Adaro Indonesia-Coaltrade Services International Pte. Ltd Singapura diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer pricing.

Page 5: Transfer Pricing Adaro

Melalui skema kepemilikan saham yang sangat rumit dan kompleks, ujung-ujungnya pemegang saham pengendali di PT Adaro Indonesia dan Coaltrade Services International Ltd Singapura adalah Edwin Soeradjaya dan teman-temanya seperti Sandiaga Uno, Subianto, TP Rachmat dan Garibaldi Thohir.Kedua perusahaan yang terafiliasi itu dengan cerdik melakukan rekayasa keuangan dengan memanfaatkan kelemahan regulasi di Indonesia yang masih carut-marut. Secara sederhana, model tindakan kriminal yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan perusahaan-perusahaan “boneka” di Singapura dan negara-negara, seperti Mauritius dan Virgin Island, tempat favorit bagi konglomerat Indonesia melakukan tindak pencucian uang (money laundering).Kedua perusahaan itu melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli batu bara secara tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran internasional) dengan berargumentasi pada fluktuasi harga komoditas. Jika mengacu pada data yang ada, jelas-jelas negara dirugikan dalam kejahatan ekonomi tingkat tinggi ini, tetapi untuk menghitung secara tepat, perhitungannya cukup rumit dari Direktorat Jenderal Pajak. (novan dwi putranto/rafael sebayang/sigit wibowo/ant)

 

 

 

Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada Indikasi Transfer Pricing PT Adaro

JAKARTA -- Gejolak dan tudingan adanya indikasi manipulasi harga PT Adaro dibantah keras oleh Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel), Whisnu Subroto, mengatakan, kejaksaan tidak menemukan indikasi manipulasi harga (transfer pricing) ekspor batu bara yang dilakukan PT Adaro. Karenanya, kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus tersebut. ''Ngapain kami ngobrak-abrik perusahaan orang kalau nggak ada indikasinya,'' kata Whisnu, kepada wartawan, di gedung Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Kamis (29/5).

Menurut Whisnu, Kejakgung tidak bekerja sendiri dalam menyelidiki kasus Adaro. Instansi seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, juga ikut mengaudit proses transaksi ekspor batu bara yang dilakukan PT Adaro.

Hasil penyelidikan, tambah Whisnu, menyimpulkan PT Adaro telah melunasi semua kewajiban dalam proses ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang. Whisnu menyebutkan, kewajiban tersebut, antara lain, pembayaran pajak, royalti, jumlah tonase ekspor, hingga penentuan siapa pembelinya telah dilunasi sesuai ketentuan. ''Justru, dia (Adaro) lebih tinggi jualnya,'' tambah Whisnu.

Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir menyatakan, kasus transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, sebenarnya muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani kejaksaan dan akhirnya ditutup pada awal 2008. Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya Kejakgung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti.

Page 6: Transfer Pricing Adaro

Boy juga menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detail kepada pihak pajak, BEI, dan Bapepam. ''Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak," katanya. Dugaan kasus manipulasi harga batu bara yang melibatkan PT Adaro mencuat ke permukaan setelah Departemen ESDM bersama Ditjen Pajak melaporkan dugaan tersebut ke Kejakgung akhir tahun lalu. Kedua instansi tersebut melaporkan kontrak penjualan PT Adaro kepada anak perusahaannya yang berdomisili di Singapura (Coaltrade Service International Ltd) pada 2005 dan 2006 tidak berubah. dri/one

Kasusnya masih ditangani KEJAKGUNG, mudah2an tidak terbukti....

Rgds,Dok

Jakarta- Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan investigasi ke luar negeri da-lam kasus transfer pricing (permai-nan harga) dalam proses penjualan batu bara yang melibatkan PT Adaro. Investigasi ini diharapkan dapat untuk mengusut pihak pembeli (buyer) dan mengetahui secara pasti berapa nilai transfer sesungguhnya (melalui pencatatan transaksi keuangan).

Pertemuan dan rapat koordinasi antara ESDM dan Kejagung mencetuskan bahwa dimungkinkan adanya investigasi ke luar negeri untuk pengungkapan praktik transfer pricing yang sudah sangat merugikan negara. Temuan dari luar negeri, khususnya nilai tranfer, akan memberi gambaran perbandingan dengan data-data yang telah dimiliki Kejagung saat ini yang bersumber dari ESDM dan PT Adaro sendiri. “Kita sudah melakukan investigasi kasus ini sejak awal 2007. Hanya saja untuk investigasi ke luar negeri bukan otoritas kita. Justru kejaksaanlah yang memiliki wewenang dan sedang diupayakan untuk itu,” kata Staf Ahli Departemen ESDM yang juga pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda pada Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Sudhono Iswahyudi, kepada SH, Selasa (15/1).

Mengingat dugaan kerugian negara yang sangat besar, dan kemungkinan terulangnya kasus serupa di kemudian hari, Sudhono meminta agar PT Adaro mau membuka diri membantu kejaksaan memberikan data yang sebenarnya. Ihwal data-data yang telah diberikan ESDM kepada kejaksaan, Sudhono menjelaskan bahwa data tersebut merupakan data-data volume ekspor dan pajak dari ekspor selama tahun 2006 hingga tahun 2007. “Data-data inilah nanti yang perlu dibandingkan dengan nilai transfer yang diperoleh dari pembeli di luar negeri,” katanya.

Sudhono menambahkan kasus transfer pricing yang menyeret nama PT Adaro tersebut merupakan modus baru yang terjadi dalam dunia ekspor-impor pertambangan di Indonesia. Tujuannya menghindar dari kewajiban membayar royalti maupun pajak dari pemerintah. Sementara itu, Jaksa Agung Muda Intelijen Kejagung Wisnu Subroto

Page 7: Transfer Pricing Adaro

kepada SH, secara terpisah, mengatakan belum ada rencana investigasi ke luar negeri sebagaimana disebutkan oleh Sudhono. Wisnu mengatakan pihaknya saat ini telah memiliki data pembanding dari PT Adaro, selain data dari Departemen ESDM. Dari ke dua data tersebut, sejauh ini pihaknya menurut Jamintel masih dipelajari adanya perbedaaan nilai dalam proses penjualan batu bara.

“Sejauh ini kita belum menemukan adanya kejanggalan. Data dari ESDM dan PT Adaro klop dan tidak ada perbedaaan,” kata Wisnu, ketika dihubungi (15/1).

Sebelumnya, Komisi VII DPR juga meminta pemerintah menindak tegas praktik transfer pricing tersebut. Praktik ini dilakukan dengan tujuan menghindari royalti yang mencapai 13,5 persen dan pajak dari produksi batu baranya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sony Keraf mendesak pemerintah segera mengusut keterlibatan perusahaan tambang yang melakukan praktik transfer pricing karena merugikan negara. “Kalau praktik yang dilakukan itu terbukti, negara mengalami kerugian tidak hanya dari pajak, tapi juga royalti yang ditetapkan 13,5 persen dari total produksi mereka,” katanya.

Modus yang dilakukan dalam praktik ini adalah menjual batu bara ke perusahaan terafiliasi di luar negeri dengan harga murah. Setelah itu, perusahaan terafiliasi tersebut menjual kembali ke negara lain dengan harga pasar. Akibat transfer pricing yang terjadi pada 2005-2006 lalu, ada sekitar Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan. Kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun.(rafael sebayang)

20/02/2008 - 23:50

Usut Tuntas Kasus Adaro!Oki Baren, M Husni Nanang, & Ahmad Munjin

(Istimewa)

INILAH.COM, Jakarta �" Desakan mengusut tuntas kasus dugaan praktik manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batu bara yang dilakukan PT Adaro

Page 8: Transfer Pricing Adaro

Indonesia makin kuat. Praktik itu telah menimbulkan kerugian negara. Padahal, pemerintah tengah gencar menggenjot penerimaan negara.

Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Universitas Indonesia, Dr Haula Rosdiana, mengatakan pemerintah harus melakukan penelusuran terhadap dugaan bentuk penyimpangan seperti yang dilakukan Adaro.

Kasus transfer pricing tersebut merupakan implikasi kelemahan dalam ketentuan sistem perpajakan nasional. Terbukti dari belum adanya pedoman mengenai transfer pricing atau bisa juga diindikasikan tax avoidance.

“Dalam kasus seperti ini, bukan lagi konteks tax avoidance (menghindari pajak), tapi ranahnya murni penyelundupan. Kalau praktik ini terus dibiarkan, kasihan negara yang akhirnya tidak dapat apa-apa,” ungkap perempuan pertama yang meraih gelar doktor bidang perpajakan itu, kepada INILAH.COM, Rabu (20/2), di Jakarta.

Sementara itu, Dirjen Pajak Darmin Nasution, usai rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR, Rabu (20/2), menyebutkan sebenarnya penelusuran tindak pidana mengemplang pajak di industri batu bara oleh PT Adaro sudah tuntas.

Artinya, sudah ada keputusan final untuk kasus tersebut. Modus melarikan diri dari jeratan pajak bervariasi. Mulai dari melakukan transaksi fiktif ke anak perusahaan, pinjam dari pasar internasional, bahkan melalui fund manager.

“Ada modus yang lebih complicated. Penjelasannya sangat mudah. Namun bagaimana pembuktian melalui dokumen, itu yang sangat susah,” ujarnya.

Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Marwoto Mitrohardjono, yang diwawancarai terpisah, menekankan optimalisasi penerimaan pajak dalam 2008 ini harus dilakukan melalui penegakan aturan hukum (law enforcement). Terutama bagi wajib pajak yang terbukti tersangkut kasus pidana.

“Karena menyangkut tindak pidana fiskal, kami menyarankan kasus hukumnya diproses secepat-cepatnya dan secermat-cermatnya. Dalam arti didukung dan dilengkapi data-data yang komplit agar tidak kalah di pengadilan,” tegas Marwoto.

Haula menyoroti kelemahan aturan perpajakan yang menimbulkan banyak celah sehingga harus dibenahi. Berdasarkan pasal 18 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, mencantumkan mekanisme anti tax avoidance. Hanya saja, modus operandi pengemplang pajak itu makin canggih.

“Kemudian bergulir wacana agar dibuat semacam general accepted tax avoidance. Intinya, harus ada sebuah pedoman yang mana yang bisa dikategorikan sebagai tax avoidance, dan mana yang tergolong tax efficient. Sebab praktik transfer pricing sudah berkembang sangat canggih dan makin berani,” tandasnya.

Sebelumnya, tuntutan penuntasan kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro juga disuarakan Anggota Komisi VII DPR, Alvin Lie. Menurutnya, ini bertujuan menjaga iklim investasi di sektor pertambangan.

Page 9: Transfer Pricing Adaro

Upaya pembuktian terhadap indikasi manipulasi harga itu memang sangat sukar. Permainan itu tidak akan dapat dibuktikan apabila hanya ditelisik dari mekanisme audit akuntansi biasa yang dilakukan setiap tahun oleh perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu, dalam upaya penelusurannya butuh mekanisme audit investigasi.

Praktik manipulasi harga muncul seiring melambungnya harga jual batu bara di pasar internasional. Tindak pidana itu ditengarai biasa dilakukan perusahaan pertambangan nasional melalui perusahaan terafiliasi di Singapura guna dilempar ke pasar dunia.

Kasus PT Adaro mencuat seiring laporan masyarakat ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, akhir November silam. Dari laporan itu, Adaro diduga menjual batu bara di bawah standar harga internasional dengan rata-rata US$ 26,3 per ton selama 2005-2006.

Penjualannya dilakukan Adaro dengan perusahaan afiliasinya yang bermarkas di Singapura, Coaltrade Service International Ltd. Akibat praktik manipulasi harga itu diperkirakan negara merugi sedikitnya Rp 10 triliun.

Ironisnya, hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung menyimpulkan tidak ditemukan bukti pelanggaran dalam kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro. Jaksa Agung Muda Intelijen, Whisnu Subroto, beberapa waktu lalu, mengutarakan Adaro telah melunasi semua kewajiban dalam ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang.

Kewajiban itu antara lain pembayaran pajak, royalti, kuota tonase ekspor, hingga penetapan calon pembeli, sudah mengikuti aturan baku.

Dalam penyelidikan tersebut, Kejakgung tidak bekerja sendiri. Pengusutan kasus yang dimulai awal Januari itu juga melibatkan Departemen ESDM, Ditjen Pajak, serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hak Angket 'Transfer Pricing' PT Adaro Ditolak

new s true Kirim

234229 Hak%20Angket%

Page 10: Transfer Pricing Adaro

Selasa, 17 Juni 2008 18:35

BERI KOMENTAR

CETAK BERITA INI

KIRIM KE TEMAN

Ikuti Kuis Berhadiah, King Vs Queen of Pop

Kapanlagi.com - Usul 34 Anggota DPR RI mengenai hak angket terhadap dugaan "transfer pricing" yang dilakukan PT Adaro Indonesia akhirnya kandas setelah sembilan dari 10 fraksi menolak usul tersebut.

Dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (17/6) yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono, hanya Fraksi PAN yang mendukung hak angket tersebut. Dengan demikian, usul hak angket tersebut tidak dapat dilanjutkan.

Berdasarkan pandangan fraksi-fraksi yang sebagian besar menolak hak angket, Agung Laksono menyatakan, usul itu tidak dapat diproses lebih lanjut melalui hak angket oleh DPR RI.

Pengusul hak angket ini, Alvin Lie sebelum persidangan telah memperkirakan bahwa usulan yang telah digalang bersama 33 anggota DPR lainnya akan kandas. "Saya perkirakan akan kandas karena pimpinan fraksi tidak memberi dukungan," katanya.

1

Daftar

Page 11: Transfer Pricing Adaro

Anggota Fraksi PAN DPR RI ini mengemukakan, usulan menggunakan hak angket disampaikan untuk mengungkap kerugian negara akibat dugaan "transfer pricing" yang dilakukan PT Adaro. Data yang diterima pengusul menyebutkan dugaan akibat "transfer pricing" yang dilakukan PT Adaro merugikan negara Rp400 miliar/tahun.

Mengenai hak angket yang hanya difokuskan kepada satu perusahaan, Alvin menyebutkan, tidak terkait dengan siapapun, termasuk dengan perusahaan yang berkepentingan terhadap kasus PT Adaro.

Alvin mengemukakan, data yang dimilikinya hanya menyangkut PT Adaro, sehingga usul hak angket ini pun baru menyangkut satu perusahaan. "Yang lain belum ada data yang kita terima," katanya.

Semula beredar informasi bahwa Fraksi PKB mendukung penggunaan hak angket "transfer pricing" PT Adaro. Namun dalam pandangan akhirnya, Juru Bicara FKB DPR Muhammad Zubair menyatakan, pihaknya menolak usul 34 anggota DPR tersebut.

"Terkait dengan dugaan `transfer pricing` yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia yang menimbulkan kerugian negara, hal ini perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua," katanya. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah perlu terus dilakukan dan ditingkatkan secara tuntas, terukur dan transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

FKB DPR berharap, ketika DPR memutuskan untuk melakukan penyelidikan kasus ini, substansi masalahnya harus diperjelas terlebih dahulu, khususnya hal-hal yang nantinya menjadi titik bagi DPR dalam melakukan penyelidikan kasus ini.

Dalam penilaian FKB, latar belakang pengusulan penggunaan hak angket ini substansi masih kabur dan belum memuat substansi yang lebih baru.

"Jika itu yang menjadi dasar. Kami takutkan nantinya kita tidak mendapatkan temuan dan jawaban yang cukup dan bisa dijadikan pijakan dan dasar dalam penyelidikan dan menuntaskan kasus ini," katanya.

Karena itu, terkait dengan usulan penggunaan hak angket terhadap `transfer pricing` PT Adaro Indonesia, FKB DPR RI menyatakan sikap menolak penggunaan hak angket DPR RI terkait dengan masalah tersebut.

"Kami melihat bahwa masalah `transfer pricing` ini lebih bersifat `corporate` (perusahaan). Karena itu tanpa menegasikan arti dan strategisnya masalah ini, kami bersikap untuk lebih mendahulukan memperjuangkan penggunaan hak angket lainnya, seperti kenaikan harga bahan pokok dan kenaikan BBM yang lebih menyentuh secara langsung kepentingan mMeskipun terjegal kasus transfer pricing, saham Adaro tetap oversubscribed

yulyanto — June 17, 2008 / 10:17 am

Page 12: Transfer Pricing Adaro

Topik: Berita, IPO, Saham

Meskipun khawatir dijegal kasus transfer pricing, namun minat pembeli pada saham PT Adaro Energy Tbk (Adaro Energy) pada awal pemesanan saham perdana dalam proses bookbuilding IPO PT Adaro Energy Tbk sejak tanggal 26 Mei 2008 sampai dengan 5 Juni 2008 telah mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 6,57 kalinya. 

Pada penawaran saham tersebut perseroan menjual 11.139 miliar lembar saham yang setara dengan 34,83% dari total saham yang dimiliki Perseroan dengan harga penawaran perdana saham Rp. 1.100 per lembar sahamnya, jika mampu terserap dengan baik artinya perusahaan akan meraih dana segar sekitar Rp. 12,3 triliun.

Dari data yang terkumpul, hampir 81,3% pembeli berasal dari investor asing sedangkan sisanya yang sebesar 18,7% berasal dari investor lokal yang didominasi oleh investor institusi.

Sementara itu pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK diharapkan akan diperoleh pada tanggal 20 Juni 2008 mendatang. Sehingga masa penawaran akan dapat dilakukan pada tanggal 24 hingga 26 Juni 2008, dan diharapkan dapat listing pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal Juli 2008 (www.mediaindonesia.com). 

asyarakat banyak," katanya. (kpl/rif)

ADARO : SOAL TRANSFER PRICING KAMI SUDAH SANGAT   TERBUKA Posted on Mei 26, 2008 by babah

Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir menyatakan, kasus “transfer pricing” yang dipersoalkan kalangan DPR, tidak akan mengganggu proses “go public” perseroan dan optimistis akan mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). “Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus `trasnfer pricing` kepada pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan yang paling bawah. Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun Bapepam,” kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin. Boy mengatakan kasus “transfer pricing” yang diduga merugikan pajak negara ini pertama kali muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008. Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti. Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus “transfer pricing”. Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak pajak, BEI dan Bapepam. “Lagi pula kasus `transfer pricing` ini merupakan domain dari Dirjen Pajak,” katanya. Dia menambahkan, dalam proses IPO ini

Page 13: Transfer Pricing Adaro

perseroan juga telah memberikan penjelasan secara detil kepada beberapa pihak yang menunjang dan membantu proses IPO seperti konsultan hukum, akuntan, penjamin emisi dan lainnya. “Mereka telah memeriksa helai-demi helai keterangan yang kami berikan secara detl itu,” tambahnya. Kasus “transfer pricing” Adaro yang beberapa waktu lalu juga sempat diberitakan sejumlah media massa diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan yang besarnya 45 persen. Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga dimiliki pemegang saham yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10 persen.

Sumber :IQP

[Selasa, 27 May 2008]Sebanyak 34 anggota DPR mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki transfer pricing yang dilakukan PT Adaro Indonesia. Kalangan parlemen menganggap perusahaan ini menjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan asal Singapura, Coaltrade Services International Pte Ltd.Usulan itu mereka sampaikan kepada wakil ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, di ruang kerjanya, Selasa (27/5). "Hak angket ini salah satunya bertujuan untuk mengetahui berapa kerugian negara," kata Alvin Lie, dari FPAN. Tujuan lainnya adalah untuk mengungkap tingkat keseriusan instansi-instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengusut kasus ini. Selain itu, hak angket ini bertujuan menguak kelemahan produk hukum dan sistem administasi yang mengakibatkan terjadinya transfer pricing selama bertahun-tahun.  Alvin menaksir kerugian yang ditanggung negara dalam kasus ini triliunan rupiah. "Ini akibat hilangnya potensi pajak penghasilan yang mestinya dipungut negara," jelasnya. Negara tidak memperoleh Pajak Penghasilan (PPh) 30% dan royalti 13,5%. Padahal, untuk setiap AS$10 selisih harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian negara mencapai Rp400 miliar. Lebih lanjut? Begini latar belakangnya �berdasarkan keterangan inisiator hak angket. Hingga kini Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung belum menunjukkan kesungguhannya untuk mengungkap kasus ini. Koordinasi antar instansi juga bermasalah. "Kalau urusan tambang, itu wewenangnya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kalau perdagangannya menjadi urusan Departemen Perdagangan sedangkan pajak urusan Departmen Keuangan. Seharusnya ada koordinasi," tandas Alvin yang dari Komisi VII �bidang energi, pertambangan, dan lingkungan.  Di sisi lain, Adaro telah mengajukan penjualan sahamnya kepada Bapepam-LK agar masyarakat bisa membelinya melalui Bursa Efek Indonesia �dulu Bursa Efek Jakarta. Belum lama ini Adaro memasukkan prospektus penawaran saham perdana (initial public offerings -IPO) ke Bapepam-LK. "Kalau sudah terlanjur dijual kepada publik, kemudian terbukti ada praktek transfer pricing, masyarakat akan dirugikan serta kredibilitas saham-saham Indonesia akan terpukul," Alvin menjelaskan. Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade Services International Pte Ltd, sebuah perusahaan kertas (paper company) di Singapura. Perjanjian itu menyatakan bahwa Adaro menjual batubara per tahun dengan harga tertentu, di bawah harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu menjualnya dengan harga internasional. Yang dijual bukan sembarang batubara, melainkan batubara bermutu tinggi. Berdasarkan perjanjian baru yang berlaku sejak Oktober 2005, Coaltrade tiap tahun berhak membeli hingga 10 juta ton batubara dari Adaro dengan harga maksimum AS$32

Page 14: Transfer Pricing Adaro

per ton. Anehnya, harga batubara di akhir tahun 2007 telah menembus angka AS$95 per ton. Ternyata Coatrade tak sekedar menjalin kerjasama dengan Adaro. Pemegang saham Adaro adalah pemegang saham Coaltrade. Dengan begitu, pemegang kebijakan di Coaltrade dan Adaro setali tiga uang. Kondisi ini menimbulkan negosiasi kontrak tidak dilakukan secara arms length. Kontrak itu lebih menguntungkan pihak Coaltade. "Tujuannya untuk menghindari pajak di Indonesia," ujar Alvin. Singapura memang memungut pajak lebih kecil ketimbang Indonesia. Singapura hanya menarik 10% PPh Badan, sedangkan Indonesia menarik 30 %. Selain itu, Indonesia juga mengenakan royalti batubara sebesar 13,5% dari nilai yang dijual. "Melalui Coaltrade, pemegang saham Adaro melakukan transfer pricing sehingga laba dari penjualan batubara yang sedianya dinikmati Adaro, kini beralih ke Coaltrade," ungkap Alvin. Andai penjualan batubara dilakukan Adaro langsung kepada pembeli sebenarnya, nilai laba Adaro lebih kecil dari nilai semestinya. Di samping itu, pemegang saham Adaro juga berusaha membawa kabur dananya ke Singapura. Pada 2006 lalu, Coaltrade berhasil mengucurkan dividen hingga 100% dari laba atau mencapai USD35 juta.  Alvin menambahkan, jika diminta, DPR akan memberikan data-data kasus transfer pricing ini kepada Bapepam-LK selaku lembaga pengawas. Namun DPR tidak akan menuding adanya pejabat tertentu yang kemungkinan terlibat dalam kasus ini. Tetap fokusUsul penggunaan hak angket dalam kasus ini tak seangker penggunaan hak serupa dalam kasus BLBI. DPR kini juga sibuk menggelar interpelasi dalam kasus kenaikan harga barang pokok pasca pemerintah melonjakkan harga BBM. Karena itu, tidak mengherankan jika penandatangan hak angket kasus Adaro ini cuma 34 anggota Dewan. "Tapi ini dari seluruh fraksi," kata Ade Daud Nasution, dari FPBR. Ade juga satu komisi dengan Alvin. Ia berharap usulan ini bisa diterima di rapat paripurna. Jika memang diterima dan penyelidikan benar-benar dilakukan DPR, hasilnya nanti akan berupa rekomendasi-rekomendasi. Wakil Ketua DPR Sutardjo mengatakan, usulan ini akan dibawa ke rapat pleno pimpinan DPR. Selanjutnya Badan Musyawarah akan menentukan waktu yang pas untuk dibahas di rapat paripurna. "Tetap bisa fokus kok meskipun sudah ada hak angket dan interpelasi," ujarnyaKontroversi Transfer Pricing dan PajakSenin, 10 Agustus 2009 23:00 WIB

(managementfile - Tax) - Transfer pricing merupakan salah satu aktivitas yang selalu dilakukan perusahaan multinasional dalam beroperasi. Hanya saja, transfer pricing ini bermasalah, karena seringkali disalahgunakan untuk menghindari pajak. Bagaimana praktik transfer pricing ini dan kaitannya dengan pajak?

Praktik transfer pricing menurut aturan OECD terdiri dari metode berikut yang disebut metode transaksi tradisional, yakni: · Comparable Uncontrolled Price method (CUP), harga transfer barang/jasa antara pihak dengan hubungan istimewa, berdasarkan harga pasar barang/jasa yang sejenis· Resale Price Method (RPM), yakni metode menentukan harga transfer dengan harga jual kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa dikurangi dengan gross margin yang sesuai· Cost Plus Method (CP method or C+), yakni harga transfer dihitung dengan sejumlah harga

Page 15: Transfer Pricing Adaro

pokok ditambah dengan gross margin

Selain ketiga itu, ada juga profit split method dan transactional net margin method, namun ketiga metode sebelumnya lebih digunakan secara umum.

Intinya, transfer pricing mengacu kepada praktik harga yang terjadi di dalam satu organisasi. Misalnya, penjualan yang terjadi antar divisi, atau barang dari induk perusahaan yang dijual kepada anak perusahaan. Sehingga, mekanisme harga yang terjadi berbeda dengan transaksi dengan pihak ketiga, karena akan menentukan alokasi laba yang terjadi dalam perusahaan.

Masalah utama dari transfer pricing adalah, kebijakan ini seringkali dimanfaatkan perusahaan multinasional untuk mengurangi laba kena pajak di suatu negara. Jadi, perusahaan multinasional mentransfer harga ke perusahaan lain afiliasinya, yang terletak di negara tax haven. Sehingga, masalah ini juga menjadi salah satu perhatian dari regulator di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, baru-baru ini muncul kasus hangat dari PT Adaro Indonesia yang terkait dengan praktik transfer pricing. Adaro dituduh menjual batubara jauh di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura, yakni Coaltrade Services International Pte, Ltd. Harga jual yang ditetapkan yakni sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29 pada tahun 2006, padahal pada akhir 2007 harga batubara menembus harga $95 per ton.

Coaltrade ini semacam perusahaan boneka, karena struktur kepemilikannya pun sama dengan Adaro. Setelah membeli dengan harga murah, kemudian Coaltrade menjual batubara tersebut dengan harga pasar, dan mendulang untung besar. Sehingga, dengan transfer pricing tersebut grup mereka untung, karena Coaltrade hanya terkena pajak penghasilan Singapura sebesar 10%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yakni 45%. Praktik-praktik seperti inilah yang diperkirakan juga marak terjadi pada perusahaan multinasional lainnya, yakni melakukan transfer pricing demi menghindari pajak, dengan memanfaatkan negara tax haven.

Menurut analisa, transaksi yang dilakukan Adaro jelas menyalahi ketentuan transfer pricing, dimana:- Antara keduanya terdapat hubungan istimewa. Menurut UU PPh Pasal 18 ayat 4, hubungan istimewa dianggap ada dalam hal: hubungan antara dua wajib pajak yang salah satunya mempunyai penyertaan pada yang lain paling rendah 25%. Dalam kasus ini, struktur kepemilikan kedua perusahaan bahkan sama.

- Terjadi ketidakwajaran dalam mekanisme harga, dimana harga yang diberikan jauh di bawah harga pasar. Sehingga, ini menyalahi prinsip yang ditetapkan OECD, yakni arm's length profit yakni kewajaran. Kewajaran disini maksudnya adalah sesuai dengan harga wajar yang terjadi seandainya transaksi dengan pihak ketiga.

Untuk menghindari masalah-masalah seperti ini di kemudian hari, masih banyak hal yang perlu dibenahi pemerintah, karena UU Transfer Pricing saja masih belum cukup, karena belum terlalu spesifik.

Pemerintah rencananya akan menerbitkan peraturan berisi daftar tax haven yang juga dapat menjelaskan perlakuan pajak yang akan diterapkan atas transaksi yang melibatkan tax haven yang ditengarai merugikan Indonesia karena dipakai untuk menghindari pajak.

Page 16: Transfer Pricing Adaro

Selain itu, perlunya aparatur-aparatur pajak yang kompeten dalam menganalisa transfer pricing yang terjadi pada perusahaan multinasional. Pemerintah rencananya akan menambah sebanyak 6.000 auditor pajak untuk mencegah transfer pricing ke negara-negara tax heaven. Sehingga, ke depannya potensi penerimaan pajak di Indonesia bisa lebih optimal.

Rinella Putri/RP/mgf