Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

23
TRAKEOSTOMI PADA LARINGITIS AKUT AKIBAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Meilina Wardhani , Sofjan Effendi Departemen THT, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Obstruksi jalan napas atas akibat laryngitis akut merupakan salah satu komplikasi pada lupus eritematosus sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat bervariasi mulai dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik dengan obstruksi jalan napas. Trakeostomi merupakan salah satu prosedur perawatan intensif yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Pada makalah ini akan dilaporkan satu kasus laringitis akut yang diakibatkan LES yang diterapi dengan trakeostomi. Kata Kunci : Laringitis akut, Lupus Eritematosus Sistemik, Trakeostomi. Abstract Upper airway obstruction due to acute laryngitis is one of systemic lupus erythematosus (SLE) complication. Laryngeal involvement in SLE can range from mild ulcerations, vocal cord paralysis, and edema to necrotizing vasculitis with airway obstruction. Tracheostomy is one of the most common intensive care unit procedures to be performed. In this papper will be described a case of acute laryngitis due to SLE that was treated by tracheostomy Keywords: Acute Laryngitis, Systemic Lupus Erythematosus, Tracheostomy 1

Transcript of Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Page 1: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

TRAKEOSTOMI PADA LARINGITIS AKUT AKIBAT

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Meilina Wardhani, Sofjan Effendi

Departemen THT, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/

Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Obstruksi jalan napas atas akibat laryngitis akut merupakan salah satu komplikasi

pada lupus eritematosus sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat

bervariasi mulai dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik

dengan obstruksi jalan napas. Trakeostomi merupakan salah satu prosedur

perawatan intensif yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Pada

makalah ini akan dilaporkan satu kasus laringitis akut yang diakibatkan LES yang

diterapi dengan trakeostomi.

Kata Kunci : Laringitis akut, Lupus Eritematosus Sistemik, Trakeostomi.

Abstract

Upper airway obstruction due to acute laryngitis is one of systemic lupus

erythematosus (SLE) complication. Laryngeal involvement in SLE can range from

mild ulcerations, vocal cord paralysis, and edema to necrotizing vasculitis with

airway obstruction. Tracheostomy is one of the most common intensive care unit

procedures to be performed. In this papper will be described a case of acute

laryngitis due to SLE that was treated by tracheostomy

Keywords: Acute Laryngitis, Systemic Lupus Erythematosus, Tracheostomy

1

Page 2: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Pendahuluan

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang

penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada

perempuan, terutama pada dekade kedua dan ketiga. Lupus Eritematosus Sistemik

ditandai dengan adanya inflamasi akut dan kronis pada berbagai jaringan tubuh dan

secara klinis sangat heterogen. Penyakit autoimun adalah penyakit yang timbul bila

jaringan tubuh diserang oleh sistem imun tubuh itu sendiri. Sistem imun merupakan

sistem pertahanan terhadap agen infeksius seperti bakteri dan mikroba. Salah satu

cara sistem imun mencegah infeksi adalah dengan memproduksi antibodi yang

mengikat mikroba.1,2

Pasien yang menderita lupus menghasilkan antibodi abnormal dalam darah

yang jaringan targetnya adalah agen infeksius dan jaringan tubuh mereka sendiri.

Antibodi dan sel-sel yang terlibat dalam proses inflamasi menimbulkan efek jaringan

di seluruh tubuh. Lupus menimbulkan efek pada berbagai jaringan tubuh diakibatkan

reaksi antibodi terhadap jaringan.1,2 LES merupakan penyakit multisistem dan pasien

datang dengan berbagai gejala klinis.3,4

Autoantibodi menyerang berbagai jaringan, dan sering terdapat manifestasi

pada kepala dan leher. Lebih dari 40% pasien memiliki lesi mukosa aerodigestif,

termasuk komplikasi laring. Lesi bervariasi, mulai dari ptechie, ulserasi dan lesi

eritem nonulserasi. Infeksi laring pada pasien immunocompromise seringkali

diakibatkan oleh virus (herpes simpleks, herpes zoster, cytomegalovirus, papilloma),

toxoplasma, bakteri, dan jamur.5

Gambaran klinis LES sangat beragam dan melibatkan berbagai jaringan,

termasuk di antaranya adalah laring. Komplikasi laring jarang terjadi pada Lupus

Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat bervariasi mulai

dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik dengan

obstruksi jalan napas. Pasien LES sangat mudah terkena komplikasi pasca intubasi.

Sebanyak dua dari empat pasien LES yang dirawat intensif di ICU mengalami

obstruksi saluran napas atas 3-48 jam setelah ekstubasi.5

Trakeostomi merupakan salah satu prosedur perawatan intensif yang

dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas.5 Pada makalah ini akan

2

Page 3: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

dilaporkan satu kasus laringitis akut yang diakibatkan LES yang diterapi dengan

trakeostomi.

Anatomi dan fisiologi

Kerangka laring dibentuk oleh rangkaian kartilago dan tulang yang

memanjang dari dasar tengkorak sampai mandibula. Laring dan pita suara berperan

sebagai saluran pernapasan, katup yang secara fisiologis berperan melindungi jalan

napas saat proses menelan dan alat yang menghasilkan suara. Terdiri dari 9 tulang

rawan, dua sendi synovial, otot ekstrinsik dan intrinsik, ligamen dan membran.

Pergerakan laring adalah akibat gerakan otot intrinsik dan ekstrinsik.6,7

Bagian superior laring terdiri dari epiglottis. Pita suara membentuk tepi atas

aditus laringeus. Pada bagian superior dan lateral pita suara terdapat pita suara

palsu. Aritenoid adalah lipatan yang menempel pada posterior pita suara dan pita

suara palsu. Pembukaan dan penutupan glottis disebabkan pergerakan otot yang

menggerakkan aritenoid.6,7

Mukosa saluran napas atas sebagian besar terdiri dari epitel respiratori

dengan kelenjar mukus. Pada tepi pita suara mukosa beradaptasi menjadi epitel

skuamosa tanpa kelenjar mukus. Lamina propria berfungsi sebagai shock absorber

sehingga epitel dapat bergetar bebas.7,8

Persarafan laring perifer berasal dari cabang superior dan rekuren N. X

(Vagus) yang keluar dari batang otak bagian bawah melalui foramen jugulare.

Cabang nervus laringeus membawa output sensoris dari otot dan selaput membran

laring dan dibawah pita suara dan input motorik dari system saraf pusat ke berbagai

otot intrinsik laring. Sirkuit mekanoreseptor sensoris membentuk sistem monitoring

laring intrinsik. Fungsi utamanya adalah untuk regulasi pernapasan dan reflek

vegetatif dan pergerakan pita suara untuk menghasilkan suara.7

Kekerapan

Lupus Eritematosus Sistemik hampir 10 kali lebih banyak pada wanita

dibandingkan dengan pria.4,5,9,10 Prevalensi LES secara pasti sulit didapat karena

definisi dan metode statistik yang digunakan serta etnisitas sangat bervariasi.

3

Page 4: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Secara keseluruhan, prevalensi LES diperkirakan 1:1000 penduduk. Sebuah studi di

Birmingham, Inggris mendapatkan prevalensi 27,7/100.000 populasi umum, namun

hampir 9x lebih tinggi terdapat pada wanita di Afrika-Karibia.6 Sedangkan data dari

survei kesehatan nasional di Amerika Serikat mendapatkan prevalensi LES sebesar

241/100.000 populasi.11 Keterlibatan laring merupakan manifestasi yang sangat

jarang pada LES. Gejala bervariasi mulai dari suara serak sampai gagal nafas.5

Angka kejadian keterlibatan laring hingga menyebabkan obstruksi jalan napas atas

pada LES bervariasi, berkisar pada angka 0,3-30%.1

Patofisiologi LES

Patogenesis LES terdiri atas beberapa fase seperti terlihat pada tabel 1.

Patogenesis LES bersifat multifaktorial yang melibatkan faktor lingkungan, genetik

dan hormonal. Hilangnya toleransi imun , banyaknya antigen, meningkatnya sel T-

helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th 1 dan Th 2

menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibodi.3,4 Autoantibodi

ada yang digunakan sebagai petanda penyakit dan ada pula yang berperan pada

patogenesis dan kerusakan jaringan. Autoantibodi yang berkaitan dengan

patogenesis dan kerusakan jaringan ini umumnya berkaitan pula dengan manifestasi

klinis.3,9

Individu-individu yang pada akhirnya berkembang menjadi LES sebelumnya

melalui serangkaian proses yang berlangsung secara bertahap. Terdapat periode

panjang dari kecenderungan terhadap autoimunitas, kemudian dalam proporsi yang

lebih kecil disusul pembentukan autoantibodi, yang biasanya mendahului timbulnya

gejala-gejala klinis dalam hitungan bulan sampai tahun. Proporsi individu dengan

autoantibodi berkembang ke masa prodromal dengan gejala-gejala nonspesifik yang

belum memenuhi kriteria untuk klasifikasi LES, dan kemudian sebagian di antaranya

akan berkembang dalam bentuh utuh LES dengan berbagai gejala, autoantibodi dan

abnormalitas laboratorium yang menjadikan diagnosis menjadi jelas. Akhirnya,

individu-individu dengan LES biasanya akan mengalami periode serangan dan

remisi (biasanya tidak komplit) secara intermiten selama bertahun-tahun, serta

menghasilkan berbagai macam kerusakan organ dan komorbiditas yang

berhubungan dengan inflamasi kronik.9,10

4

Page 5: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Tabel 1. Fase-fase lupus eritematosus sistemik

Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5

Predisposisi Autoimunitas Prodromal LES klinis LES dlm terapi,

inflamasi kronik,

kerusakan organ

- Kerentanan gen (+)

- Gen protektif (-)

- Gender wanita

- Stimulus lingkungan

- Autoantibodi (ANA)

- Tanpa gejala

- Autoantibodi

- Malaise

- Fatique

- Autoantibodi

- Gejala dan tanda-

tanda LES

- Autoantibodi

- Aktivitas penyakit

- Efek samping th/

- Sequele akibat

inflamasi kronik dan

kerusakan organ

Patofisiologi SLE sama seperti reaksi hipersensitivitas tipe 3 pada umumnya

dimana diawali dengan adanya faktor genetik dan lingkungan yang mendukung.

Kemudian timbul peningkatan autoantibodi patogen terhadap komponen tubuh

sendiri (autoAg). Antibodi tersebut membentuk kompleks dengan DNA yang berasal

dari degradasi jaringan normal dan mengendap di berbagai tempat, termasuk pada

laring. Kompleks imun tersebut mengaktifkan komplemen dan mengerahkan sel-sel

radang lain misalnya sel mononuclear dan selanjutnya menimbulkan reaksi

inflamasi.12

Gambaran Klinis

Gambaran klinis LES bervariasi, tergantung sistem atau organ yang terlibat.

Gejala umum berupa fatique, penurunan berat badan dan demam yang pada

umumnya tidak memerlukan pengobatan namun berpengaruh pada kualitas hidup

pasien.10,13 Gejala keterlibatan laring dapat bervariasi dari yang ringan sampai

menimbulkan obstruksi jalan napas berat. Gejala-gejala biasanya nonspesifik, sering

ditentukan oleh lokasi terjadinya obstruksi, dapat berupa batuk, sesak napas,

disfagia, hoarseness dan stridor. Pada kondisi yang berat dapat dijumpai ulkus,

paralisis pita suara dan edema mukosa hingga vaskulitis nekrotik dengan obstruksi

jalan napas.14 Pada pasien LES, inflamasi mukosa yang ditandai dengan eritem,

edem dan obstruksi jalan napas merupakan manifestasi yang paling sering

ditemukan.1

5

Page 6: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Diagnosis

Seorang pasien disimpulkan menderita LES bila terdapat > 4 kriteria dari

American College of Rheumatology (ARA), yaitu:9,13

1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulserasi di mulut atau nasofaring

5. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis

6. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gram/hari atau > positif 3, atau

cetakan seluler berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan

7. Kelainan neurologis, yaitu kejang atau psikosis

8. Kelainan hematologi: anemia hemolitik atau leukopenia atau trombositopenia

9. Kelainan imunologis: sel LE (+) atau anti ds-DNA (+)

10. Antibody antinuclear (ANA) +

Derajat sumbatan laring ditentukan berdasarkan kriteria Jackson16 yaitu :

Stadium 1 : Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor inspirasi

dan pasien masih tenang.

Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di suprasternal makin dalam, cekungan

di epigastrium, pasien gelisah dan stridor inspirasi.

Stadium 3 : Cekungan selain di suprasternal, epigastrium, infraklavikula dan

interkostal. Pasien gelisah dan dispnea, stridor terdengar saat inspirasi

maupun ekspirasi

Stadium 4 : Semua cekungan (retraksi) bertambah jelas, pasien sangat gelisah,

ketakutan dan sianosis. Bila berlangsung terus maka pasien akan

6

Page 7: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

kehabisan tenaga, paralisis pusat pernapasan akibat hiperkapnea.

Pasien lemah tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.

Diagnosis Banding

Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit autoimun yang dapat

mempengaruhi kulit, sendi, jantung, ginjal dan otak. Drug-induced lupus

erythematosus (DILE) adalah varian dari penyakit autoimun yang membaik dalam

waktu hari – bulan setelah penghentian obat yang mencetuskannya tanpa disertai

kelainan sistem imun. Lupus eritematosus yang dicetuskan obat dapat timbul setelah

beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah terpajan obat yang

mencetuskannya. Obat yang paling sering menimbulkan lupus eritematosus adalah

hydralazine, prokainamid, quinidin, isoniazid, diltiazem dan minosiklin9,12.

Perbandingan temuan antara lupus eritematosus yang di cetuskan obat

dengan lupus eritematosus sistemik dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Perbandingan antara LE yang dicetuskan obat dengan LES

Temuan LES Drug-induced LE

Gambaran

klinis

Umur kejadian 20 – 30 tahun

Kulit berwarna lebih sering

Ratio wanita terhadap laki-laki 9 :

1

Rata-rata umur 50 – 70 thn

Kulit putih lebih sering

Ratio laki-laki : perempuan =

1 : 1

Labolatorium Antihistone antibodies pada 50%

Anti Ds-DNA pada 80%

C3/C4 menurun

Kelainan kulit > 75 %

Raynaud phenomenon pada 50%

ANA pada > 95%

Antihistone antibodies > 95%

Anti Ds-DNA jarang ditemui

C3/C4 normal

Kelainan kulit pada ~ 25%

Raynaud phenomenon 25%

ANA pada > 95%

Laringitis merupakan suatu kelainan yang disebabkan adanya peradangan

akut pada laring. Laringitis dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Laringitis

7

Page 8: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

pada LES jg merupakan akibat reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas disini

mengacu pada respon imun berlebihan terhadap stimulus antigen12.

Keterlibatan laring seringkali muncul saat eksaserbasi akut penyakit sistemik.

Obstruksi jalan napas jarang terjadi. Biopsi menunjukkan adanya infiltrasi sel

mononuklear. Hasil positif pada pemeriksaan antibodi antinuklear sangat penting

untuk diagnosis dan merupakan kunci untuk terpenuhinya kriteria ARA13.

Penatalaksanaan

Terapi pilihan untuk kasus seperti ini adalah kortikosteroid dan obat-obat

simtomatik. Tindakan trakeostomi dilakukan bila didapatkan obstruksi jalan napas

atas yang gagal dengan penanganan konservatif. Antibiotik juga diberikan karena

pasien dengan LES rentan terhadap infeksi bakteri12.

Terapi ditujukan untuk pemeliharaan jalan napas dan menghilangkan

inflamasi serta edema. Bila ditemukan pada stadium yang belum lanjut dapat

diberikan medikamentosa, antara lain antibiotika adekuat dan kortikosteroid. Harus

dipikirkan untuk mengambil tindakan trakeostomi atau intubasi bila ditemukan

dispnu. Yang terpenting bila ada tanda-tanda dispnu harus selekas mungkin

dilakukan trakeostomi karena menurut Potondi17 trakeostomi tidak dapat diharapkan

berhasil dengan baik bila dilakukan pada fase dispnu setelah anoksia yang lama dan

peredaran darah yang insufisien. Menurut Tarkkanan dkk18 yang meneliti 525 kasus

laringitis subglotis selama 4 tahun (1965-1968) di Otolaryngological Hospital

University of Helsinsky, hanya 10 kasus atau 2% yang memerlukan trakeostomi,

sedangkan dari 23 kasus epiglotitis akut dalam jangka waktu yang sama ada 12

kasus atau 48% yang mengalami trakeostomi segera saat masuk rumah sakit.

Prognosis

Prognosis untuk menentukan angka harapan hidup penderita LES ditentukan

dengan SLICC/ACR Damage Index Score yang menilai skor kerusakan organ.

Semakin tinggi skor maka semakin buruk prognosis pasien. Kerusakan jaringan

yang ditunjukkan dengan SLICC/ACR Damage Index Score pada tahun pertama

8

Page 9: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

merupakan predictor mortalitas pada LES. Jumlah skor 2 pada SLICC/ACR Damage

Index Score pada 5 tahun pertama merupakan prediksi mortalitas yang tinggi.9 Pada

pasien ini didapatkan kerusakan mata, gangguan neuropsikiatri, adanya operasi

pada mata (eviscerasi), dan kelemahan/atropi otot sehingga SLICC/ACR Damage

Index pasien ini tinggi dan berarti buruknya prognosis.9

Laporan Kasus

Pasien seorang perempuan, umur 26 tahun dengan nomor rekam medis

31.48.47 registrasi 00000537 dikonsulkan dari departemen Penyakit Dalam RSMH

pada tanggal 10 Desember 2009 dengan keluhan sesak napas hebat sejak lebih

kurang 3 jam yang lalu. Keluhan sesak napas sudah dirasakan os sejak 2 hari yang

lalu. Pasien sudah dirawat di departemen Penyakit dalam sejak tanggal 28 Oktober

2009 dengan diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.

Sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sering merasa kaku

dan sakit pada sendi tangan dan kaki. Pasien kemudian berobat ke mantri dan diberi

4 macam obat. Setelah makan obat keluhan terasa berkurang. Kemudian timbul

benjolan yang berisi air (kulit seperti melepuh), os diberi 3 macam obat lagi namun

keluhan tidak berkurang dan benjolan berisi air bertambah banyak, pasien mengeluh

suara menjadi parau dan pendengaran terasa kurang, pasien juga merasa kulit

terasa perih, timbul sariawan pada mulut dan jika BAK os merasa nyeri.

Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit pasien kembali berobat karena tidak

ada perbaikan pada keluhannya, pasien disarankan berobat ke rumah sakit. Pasien

dirawat di Rumah Sakit Daerah dan selanjutnya dirujuk ke RSMH departemen Kulit

dan Kelamin. Pasien dinyatakan menderita sakit akibat alergi obat, pasien dirawat 3

minggu dan diperbolehkan pulang. Selama dirumah pasien lemah dan tidak mau

makan.

Satu minggu sebelum masuk rumah sakit badan pasien makin lemah, pasien

mengeluh mata kiri sakit dan merah. Pasien kemudian dirawat di departemen

penyakit dalam RSMH pada tanggal 28 Oktober 2009. Pasien dinyatakan menderita

ulkus kornea dan konjungtivitis akut mata kiri oleh bagian Mata RSMH. Pasien

9

Page 10: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

mengalami prolaps spontan mata kiri pada tanggal 5 november 2009. Dilakukan

eviscerasi segera pada pada mata kiri pasien dalam narkose.

Pada tanggal 7 Desember 2009 pemberian kortikosteroid (metilprednisolon)

sebagai terapi SLE dihentikan karena dugaan adanya anemia defiesiensi Fe akibat

gastritis erosif dan sudah adanya perbaikan setelah pemberian kortikosteroid secara

tapering off sejak pasien masuk rumah sakit. Pasien dikonsulkan ke bagian THT

pada tanggal 9 Desember 2009 karena suara serak dan sesak napas. Pemeriksaan

laringoskopi indirek menunjukkan adanya edema pada epiglottis, plica arytenoid,

plica vocalis dan plica vestibularis. Tampak penyempitan aditus laryngeus. Pada

jawaban konsul disarankan pemberian kortikosteroid.

Pasien dikonsulkan kembali pada 10 Desember 2009 dengan keluhan sesak

napas yang semakin hebat sejak 1 hari yang lalu, pasien gelisah dan merasa seperti

tercekik.

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya sesak napas hebat, pernapasan 40

kali permenit, sianosis, pasien terlihat gelisah, merasa lebih enak duduk

dibandingkan berbaring, ada stridor inspirasi dan ekspirasi, ditemukan retraksi

suprasternal, supraklavikula, infraklavikula, epigastrium dan interkostal, akral dingin.

Hasil foto cervical soft tissue menunjukkan penebalan jaringan lunak trakea

dan penyempitan lumen trakea setinggi tulang cervical 5-6. Pasien didiagnosa

dengan obstruksi jalan napas derajat III-IV akibat laringitis akut. Segera dilakukan

tindakan trakeostomi pada pasien ini.

Pasca trakeostomi kedaan pasien membaik, pasien tenang. Pernapasan 22

kali per menit, sianosis menghilang, stridor menghilang, retraksi menghilang.

Diskusi

Kriteria ARA yang ditemukan pada pasien ini adalah ruam malar, ruam

diskoid, fotosensitifitas, ulserasi mukosa mulut dan nasofaring, kelainan neurologis

berupa kejang, ditemukan kelainan imunologis (sel LE dan ds-DNA) dan antibodi

antinuklear(ANA). Dengan didapatkannya 6 dari 11 kriteria penegakan diagnosis

SLE maka diagnosa SLE pada pasien ini dapat ditegakkan. Dengan pemeriksaan

10

Page 11: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

imunologik dimana ds-DNA memiliki nilai yang tinggi (1281) hal ini semakin

memastikan diagnosa SLE pada pasien karena spesifisitas yang tinggi dari

pemeriksaan ini terhadap SLE.9

Riwayat penggunaan obat yang pernah dilaporkan mencetuskan SLE pada

pasien tidak didapatkan, meski demikian riwayat ini hanya terbatas pada kurun

waktu 6 bulan sebelum timbulnya gejala pertama kulit melepuh. Pasien ataupun

keluarga pasien tidak dapat mengingat riwayat konsumsi obat sebelumnya.

Penghentian obat telah dilakukan jauh sebelum pasien dirujuk kerumah sakit pada

LE yang dipicu obat perbaikan akan dapat segera terjadi, akan tetapi kondisi pasien

semakin memburuk. Hal ini tidak mendukung kearah suatu LE yang dicetuskan oleh

obat-obatan.

Tidak ada suatu metode pemeriksaan pasti untuk membedakan kondisi SLE

atau LE yang di cetuskan oleh obat-obatan. Beberapa literatur ilmiah menyatakan

pemeriksaan kadar N acetyl transferase dapat memberikan petunjuk kearah

penyebab LE yang di picu obat-obatan. Beberapa penelitian mengungkapkan

ditemukannya kadar N acetyl transferase yang menurun pada pasien dengan LE

yang di picu obat-obatan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di

Indonesia.

Kriteria SLE Temuan pada pasien

Ruam malar Ruam malar

Ruam discoid Tidak ditemukan

Fotosensitivitas Tidak ditemukan

Ulserasi dimulut atau nasofaring Multiple ulserasi pada mulut

Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis Tidak ditemukan

Kelainan ginjal, yaitu proteinuria

persisten >0,5 gram/hari atau > positif 3,

atau cetakan seluler berupa eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular atau

gabungan

Proteinuria +

Silinder eritrosit (+)

11

Page 12: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Kelainan neurologik, yaitu kejang atau

psikosis

Tidak ditemukan kejang atau psikosis,

ditemukan gangguan depresi

Kelainan hematologik : anemia hemolitik

atau leukopenia atau limfopenia atau

trombositopenia

Anemia hemolitik

Kelainan imunologik Sel LE (+)

Anti ds-DNA 1281

Antibodi antinuclear Positif

SLE Drug induced Temuan pada pasien

Usia 20 – 30 thn Rata-rata umur 50 – 70 thn Usia 24 tahun

Kulit berwarna lebih sering Kulit putih lebih sering Kulit berwarna

Ratio wanita terhadap laki-

laki 9 : 1

Ratio laki-laki : pria = 1 : 1 Wanita

Antihistone antibodies pada

50%

Antihistone antibodies >

95%

--

C3/C4 menurun C3/C4 normal C3/C4 menurun

Anti Ds-DNA pada 80% Anti Ds-DNA jarang ditemui Anti ds-DNA 1281

Kelainan kulit > 75 % Kelainan kulit pada ~ 25% Kelainan kulit (+)

Raynaud phenomenon pada

50%

Raynaud phenomenon

25%

Tidak ditemukan

ANA pada > 95% ANA pada > 95% Positif

Dengan melihat tabel diatas, profil yang ditemukan pada pasien lebih

menunjang kearah suatu SLE dibandingkan dengan LE yang dipicu obat-obatan.

SLE banyak menyerang wanita usia 20-30thn, gambaran ini sesuai dengan profil

pasien bila dibandingkan dengan LE yang diinduksi obat, dimana dominan terjadi

pada usia 50 – 70 tahun.

Laringitis merupakan inflamasi lokal atau difus pada laring yang diakibatkan

respon jaringan terhadap rangsangan mekanik, kimia, alergi maupun infeksi.

12

Page 13: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

Gambaran yang sering ditemukan adalah eritem dan edema pada berbagai struktur

laring dan disebut laringitis.14 Gejala yang sering ditemukan adalah suara parau

yang diakibatkan edema pada pita suara. Bila terdapat edema hebat pada pita suara

maka dapat mengakibatkan hilangnya suara. Gejala lainnya adalah nyeri tenggorok,

rasa kering dan gatal di tenggorok, sensasi rasa mengganjal di tenggorok dan sulit

bernapas (jarang).

Diagnosa laringitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik pada laring.

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan kaca laring, laringoskopi rigid maupun

laryngeal stroboscopy. Pada pemeriksaan ditemukan tanda-tanda inflamasi pada

laring ataupun lesi lainnya yang berhubungan dengan laringitis8,14. Pada pasien ini

ditemukan tanda-tanda inflamasi pada laring, eritem dan edema hebat meliputi

epiglotis, aritenoid, plica vocalis maupun plica vestibularis.

Ditemukan tanda-tanda sumbatan laring pada pasien ini berupa suara parau,

sesak napas, stridor inspirasi dan ekspirasi, dan cekungan (retraksi) supraternal,

epigastrium,supraklavikula, infraklavikula dan interkostal, gelisah dan sianosis.

Pasien ini didiagnosa dengan obstruksi jalan napas derajat III-IV.

Terdapat perbedaan pendapat dimana sebagian ahli lebih memilih tindakan

intubasi dan sebagian lain lebih menganjurkan trakeostomi18,19,20,21. Keuntungan

intubasi ialah bahwa komplikasi-komplikasi trakeostomi seperti emfisema

mediastinum, pneumotoraks, perdarahan dan sebagainya dapat dihindarkan pada

tindakan intubasi. Namun intubasi harus dilakukan dalam Unit Perawatan Intensif

(ICU) dan memerlukan alat-alat khusus serta tenaga khusus untuk perawatan

penderita pasca intubasi. Pada laringitis akut dimana proses inflamasi dan edem

terjadi di semua struktur laring, bila dilakukan intubasi ada kemungkinan

menyebabkan trauma yang bisa menimbulkan spasme yang dikawatirkan

mempersempit jalan napas.

Kesimpulan

Gambaran klinis LES sangat beragam dan melibatkan berbagai jaringan,

termasuk di antaranya adalah laring. Komplikasi laring jarang terjadi pada Lupus

Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat bervariasi mulai

13

Page 14: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik dengan

obstruksi jalan napas.

Obstruksi jalan napas atas akibat inflamasi akut merupakan bahaya yang

dapat berakibat fatal. Pada kasus ini pasien mengalami sesak napas hebat disertai

gelisah. Pasien pernah diintubasi lebih kurang satu bulan sebelumnya saat

menjalani operasi mata dalam narkose. Pemberian terapi kortikosteroid untuk LES

pada pasien ini telah dihentikan lebih kurang 3 hari sebelumnya karena sudah

menyelesaikan tappering off dan adanya gastritis erosif. Pemeriksaan fisik

menunjukkan bahwa sesak napas oleh edema difus pada laring sehingga aditus

laring menyempit. Dilakukan trakeostomi segera pada pasien ini untuk mengatasi

sumbatan jalan napas. Trakeostomi merupakan salah satu prosedur perawatan

intensif yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas.

14

Page 15: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

DAFTAR PUSTAKA

1. Karim A, Ahmed S, Siddiqui R. Severe upper airway obstruction from cricoarytenoiditis as the sole presenting manifestation of a systemic lupus erythematosus. Chest. 2002; 121:990-3

2. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia. 2005; 1-9.

3. Scarpelli DG, McCoy FW, Scott JK. Acute Lupus Erythematosus with laryngeal involvement. New England Journal of medicine. 1959; 261:691-4

4. Yuriawantini, Suryana K. Aspek imunologi SLE. Jurnal Penyakit Dalam. 2007; 8:232-9

5. Raj R, Murin S, Matthay RA dkk. Systemic Lupus Erithematosus in the intensive care unit. Crit Care Clin. 2002; 18:781-803

6. Raz E, Bursztyn M, Rosenthal T dkk. Severe recurrent Lupus Laryngitis. The American Journal of Medicine. 1992; 92: 109-10

7. Jeri A. Upper digestive tract anatomy and physiology. In: Head ang Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ, Johnson JT. Lippincot & Wilkins. Philadelphia. 2006; 4: 685-813

8. Dworkin JP. Laryngitis : types, causes and treatments. Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:419-36

9. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The definition and classification of Systemic Lupus Erythematosus. In Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007: 17-20

10.Lehman Thomas JA. Systemic lupus erythematosus in childhood and adolescence. In: Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace D J, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007: 848- 64

11.Rus V, Maury EE, Hochberg MC. The epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelpia. 2007; 35-44

12.Hahn BH. Overview of pathogenesis of systemic lupus erythematosus. In: Dubois’ Lupus Eythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007; 47-53

13.Wallace DJ. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In : Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007; 639-46

15

Page 16: Trakeostomi Pada is Akut Akibat Makassar

14.Toomey JM, Snider GG, Maenza RM. Acute epiglottitis due systemic lupus erithematosus. Farmington conn. 1977; 522-27

15.Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of Larynx. In: Ballenger’s Otolrhinolaryngology Head and neck Surgery. Snow JB,Ballenger JB (Eds). 2003; 16th ed:1090-1605

16. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan sumbatan laring. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok. Soepardi EA dkk (Eds). Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007; edisi keenam: 243-53

17.Potondi A, Ribari O. Clinical and Medical-Legal aspects of acute epiglottitis. J Laryngol and Otol. 1969; 83:141-45

18.Tarkkanan J, Kohonen A. Tracheotomy in subglottic laryngitis (pseudocrop) and acute epiglottitis. Acta Oto-laryngologica. 1972; 74:283-86

19.Benjamin B. Acute inflammatory airway obstruction in infants and children . The Medical Journal of Australia, presented by Mead Johnson for the Medical Profession in Indonesia, no. 1.

20.Striker TW, Stool S, Downess JJ. Prolonged nasotracheal intubation in infants and children. Arch Otolaryngol. 1967; 85: 210-13

21.Traff B, Tos M : Nasotracheal intubation in acute epiglottitis. Acta Oto-Laryngologica. 1969; 68:363-68

16