Tradisi Weh-wehan di Kaliwungu

download Tradisi Weh-wehan di Kaliwungu

of 3

Transcript of Tradisi Weh-wehan di Kaliwungu

Tradisi Weh-wehan di KaliwunguOleh. Dwi Setyaningsih Kota Kaliwungu yang terletak di ujung paling timur Kabupaten Kendal, berbatasan dengan Kotamadya Semarang merupakan kota perdagangan yang aktif dan bergairah. Kota yang seakan tak pernah mati ini terkenal dengan julukan Kota Santri. Hal itu dikarenakan banyaknya Pondok Pesantren Putra Putri di kota ini. Para santrinya banyak yang berasal dari luar kota semisal Batang, Pekalongan, Tegal, dan Brebes. Sebagai kota yang agamis, aneka tradisi yang berhubungan dengan perayaan hari besar agama mendapatkan tempat yang khusus di masyarakat. Semisal Dugderan yang menandai datangnya bulan Ramadhan, diikuti dengan Pesta Syawalan sebagai puncak hari raya Idul Fitri yang dilaksanakan selama satu minggu mulai tanggal 5-10 Syawal. Tradisi Syawalan ini berupa ziarah kubur ke makam Sunan Katong dan Kyai Guru serta Kyai-kyai yang berpengaruh di Kaliwungu sebagai sesepuh dan penyebar agama Islam di Kaliwungu. Selain itu, ada makam Pangeran Djuminah yang merupakan keturunan dari Raja Kerajaan Mataram yang juga selalu ramai oleh peziarah. Selain tradisi Dugderan dan Pesta Syawalan, ada lagi yang tidak kalah meriah, yaitu tradisi "Ketuwinan". Tradisi yang mungkin hanya ada di kota ini saja. Menurut Abdul Basid dalam blognya Wong Kaliwungu Asli, ketuwin secara morfologi berasal dari kata dasar tuwi nuweni ketuwin. Tuwi berarti tilik, nuweni (niliki : mengunjungi), ketuwin (saling mengunjungi ). Tradisi ini dikenal juga dengan nama weh-wehan. Dalam bahasa Indonesia kata weh-wehan berarti saling memberi. Karena saat ketuwin mereka tidak hanya saling bersilaturahmi tetapi juga saling memberi. Tradisi ini dilaksanakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, biasanya dibarengi dengan Festival Maulid Nabi di Masjid Al Muttaqin Kaliwungu. Dalam festival tersebut digelar aneka lomba semisal Kaligrafi, Pentas Seni, dan diramaikan dengan Karnaval atau Pawai ta'aruf yang diikuti oleh MDA, Pondok Pesantren, dan Organisasi

Masyarakat yang ada di sekitar Masjid. Drumband adalah atraksi yang paling dinanti oleh penonton karnaval. Drumband ini bukan hanya dimainkan oleh remaja saja tetapi lebih didominasi oleh anak-anak sekolah madrasah. Mereka mampu memukau para penonton dengan menyajikan permainan drumband lagu-lagu islami maupun lagu yang sedang menjadi tren sekarang ini. Kembali pada weh-wehan, yang paling berminat dan ambil bagian paling besar adalah anak-anak. Dilaksanakan tanggal 11 Robiul Awal sehabis Asyar atau Maghrib, anak-anak pun bersiap dengan pakaian rapi busana muslim. Mereka berkeliling membawa jajanan yang sudah dipersiapkan oleh ibunya untuk ditukarkan kepada para tetangga. Jajanan yang adapun khas, semisal sumpil dengan sambal selapa parut, capcay bakso, putu ayu, klepon, ketan salak, ketan abang ijo, es dawet, es pandan wangi, dan masih banyak lagi. Yang kesemuanya biasanya adalah favorit anak-anak. Jajanan yang sudah termasuk langka dan sulit dijumpai di hari biasa. Karena setiap rumah membuat setidaknya tiga jenis jajanan khas, hal ini berakibat menumpuknya jajanan yang tidak habis keesokan harinya. Untuk menghindari hal ini, ada sebagian masyarakat yang mengalihkan ke bentuk makanan ringan snack untuk malam pengajian tanggal 12 Robiul Awal. Tapi ini berlaku bagi masyarakat pinggiran yang biasanya adalah pendatang. Sementara untuk orang Kaliwungu asli mereka tetap mengadakan weh-wehan dengan jajanan khasnya karena dalam jajanan tersebut ada filosofi yang sudah melekat dalam diri mereka. Sumpil yang berbentuk segitiga, ketika diposisikan berdiri salah satu sudutnya akan menghadap ke atas sementara dua sudut lainnya menyamping. Hal ini menggambarkan hubungan vertikal dengan Allah (hablun minalLaah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablun minannaas). Jadi dalam beribadah tidak boleh melupakan untuk berbagi dengan sesamanya yaitu dengan jalan menjalin silaturahmi dan bersedekah. Silaturahmi dan sedekah ini diwujudkan dengan saling mengunjungi sambil membawa jajanan.

Menariknya, dalam menyambut weh-wehan ini antusiasme warga seakan tidak terpengaruh krisis ekonomi. Tidak peduli meski harga bahan pokok melambung, mereka tetap antusias menyiapkan aneka jajanan tradisional yang akan mereka bagikan kepada para tetangga. Meski ada yang menggangap tradisi ini sebagai sesuatu yang mubazir, karena melimpahnya makanan pada hari itu, tapi bagi sebagian besar masyarakat Kaliwungu tradisi ini tetap melekat dan dianggap sebagai hari raya setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka tetap menyambutnya dengan meriah, seolah enggan kehilangan moment untuk berbagi di hari yang mulia ini, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap rumah menyambut dengan gembira. Rumah-rumah pun dihiasi aneka lampu hias dan lampion. Sungguh meriah. Kiranya tradisi weh-wehan ini mendapat perhatian dari pemerintah setempat karena dengan adanya Festival dan Karnaval juga dapat memberikan kontribusi kepada kas Pemerintah Daerah yaitu dengan pemasukan uang parkir dan retribusi pedagang kaki lima. Apabila dikelola dengan baik, kegiatan yang merupakan rutinitas tahunan ini bisa dijadikan sebagai wisata ruhani, selain Dugderan dan Pesta Syawalan, yang menarik bagi masyarakat Kendal dan sekitarnya. Dwi Setyaningsih, S.Pd; guru di SMP 2 Kaliwungu.