TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/449/1/Nurul...

93
TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh: NURUL HIDAYAH 211 11 005 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI‟AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA 2015

Transcript of TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/449/1/Nurul...

TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM

PANDANGAN HUKUM ISLAM

(Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

NURUL HIDAYAH

211 11 005

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI‟AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

2015

ii

iii

iv

v

vi

MOTTO

“PERTAHANKAN SESUATU YANG HARUS KAMU PERJUANGKAN

SAMPAI KAMU BENAR-BENAR MENDAPATKANNYA”

“JANGAN PERNAH BERHENTI BERMIMPI, KARENA MIMPI MEMBERI ASA

DAN HARAPAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN”

“BELAJAR MENGALAH SAMPAI SEORANGPUN TIDAK BISA

MENGALAHKANMU, BELAJAR MERENDAH SAMPAI TIDAK

SEORANGPUN BISA MERENDAHKANMU”

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan buat :

1. Kedua orang tua saya ayahanda Turmuji dan ibunda Samiyem ynag tidak

pernah henti-hentinya memberikan motifasi kepada saya untuk tetap selalu

menimba ilmu dan do‟anya yang tidak putus-putus mereka panjatkan guna

kesuksesan anaknya.

2. Kedua Kakakku Nurul Inayah dan Nurul Fauziah yang selalu memberikan

semangat dan dorongan moral dan spriritual, dan adikku tercinta Ida

Fauziah yang selalu ada buat saya dalam keadaan apapun.

3. Sahabat-sahabatku Siti nuraini, Irinna Ika Wulandari, Rosalina Ardhiarini

dan kak oelya busromun yang sudah menemani selama 4 tahun ini dan

berjuang bersama dalam keadaan suka dan duka, dan terima kasih bersama

kalian kita bisa mengukir kenangan indah dan kesuksesan bersama

4. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberkan dorongan dan

motivasi

vii

5. Bapak Drs. Badwan M.Ag dan Bapak Yusuf Khumaini S.HI.,M.H yang

telah memberikan bimbingan skripsi yang sabar dan teliti yang senantiasa

saya hormati.

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulliah penulis panjatkan kepada Allah SWT

yang telah memberikan beribu-ribu nikmat, berupa nikmat Iman, Islam

Ihksan. Serta yang memberiakn rahmat dan karunia- Nya, sehingga karya

tulis ini bisa diselesaikan dengan baik.

Shalawat berserta salam tak lupa kita lantunkan kepada junjungan

kita yaitu nabi agung nabi akhirul zaman Nabi Muhhammad SAW, yang

memberikan syafa‟atnya diyaumil khiamah kelak dan emoga saja kita

semua mendapatkan syafa‟at dari Beliau.amin.

Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

banyak dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak, terutama kepada:

1. Rektor IAIN Salatiga bapak Dr. Rahmat Hariyadi M.Pd.

2. Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Ibu Dra. Siti Zumrotun M.Ag

3. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga Bapak

Syukron Ma‟mum S.HI,.M.Si.

4. Bapak Dra. Badwan M.Ag dan Yusuf Khumaini S.H.I,.M.H yang telah

membimbing peneliti dalam penyelesaikan karya tulis ini dengan baik,

penuh kesabaran serta tulus.

5. Masyarakat desa Klalingan kecamatan Klego Kabupaten Boyolali dan

pengantin yang telah bersedeia untuk meluangkan waktunya ntuk

memberikan informasi terkait dengan judul yang penulis teliti.

6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhiyyah

ix

Meskipun kegiatan peneliti ini sudah dilakukan secara maksimal,

namun penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan

kritik yang membangun saya harapkan untuk memperbaiki study

selanjutnya.

Ahkirnya semioga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada

umunya dan masyarakakat desa Klalingan khususnya.

Salatiga, 10 September 2015

x

ABSTRAK Nurul Hidayah. 211 11 005. TRADISI PINGIT PENGANTIN DI TINJAU

PANDANGAN HUKUM ISLAM (Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten

Boyolali). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Intitut

Agama Islam Negeri. Dosen Pembimbing. Drs. Badwan M.Ag

Kata Kunci : Hukum Islam Dalam Memandang Tradisi Pingitan.

Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Apa yang di maksud dengan

tradisi pingitan tersebut serta tujuannya?(2) Bagaimana pandangan masyarakat

tentang tradisi pingitan tersebut? (3) Bagaimana pandangan hukum Islam tentang

tradisi pingitan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan metodelogi penelitian kualitatif. Metedo pengumpulan datanya

penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti

juga menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis untuk memperoleh

data yang akurat (benar dan jelas).

Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan di desa Klalingan

Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali ini adalah tradisi “Pingit pengantin ” tidak

wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan

persiapan diri bagi calaon pengantin dalam menghadapi hari pernikahan.

Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwasanya suatu tradisi

bisa sebagai hujjah yang wajib dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh

kebanyakan orang, tetapi untuk sebagian besar masyarakat desa Klalingan masih

dan akan melestarikan tradisi pingitan tersebut karena tradsi pingitan tersebut

adalah tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan kepercayan

masyarakat Klalingan terhadap musibah yang didapat apabila tidak melakukan

tradisi pingitan tersebut menjadi salah satu alasan yang kuat bagi masyarakat desa

Klalingan untuk tidak meninggalkan tradisi pingitan tersebut.

Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk Urf shahih yakni urf

yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟. Atau

kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan

dengan nash (ayat Al-Qur‟an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan

mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR BERLOGO ii

LEMBAR PERSETUJUAN iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi

KATA PENGANTAR viii

ABSTRAK x

DAFTAR ISI xi

BAB: 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Fokus Malasah 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Kegunaan Penelitian 7

E. Penegasan Istilah 8

F. Metode Penelitian 9

G. Sistematika Penulisan 13

H. Telaah Pustaka 14

BAB: II KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan 16

2. Prinsip-Prinsip Pernikahan Dalam Islam 17

3. Hukum Melakukan Pernikahan 18

4. Rukun Dan Syarat Pernikahan 19

5. Hikmah Pernikahan 24

B. Adat Istiadat (Al „Urf)

1. Definisi Al-„Urf 25

xii

2. Macam-Macam Al-„Urf 28

3. Syarat-Syarat Al-„Urf 20

4. Legalitas Al-„Urf 32

C. Pingitan

1. Pengertian Pingitan 33

2. Asal Usul Tradisi Pingitan 34

D. Hukum Islam

1. Definisi Hukum Islam 36

2. Tujuan Hukum Islam 37

BAB : III HASIL PENELITIAN

A. Diskripsi Lokasi Penelitian

1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan 39

2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan 43

3. Kondisi fisik Desa Klego 43

4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat. 47

BAB: IV ANALISIS

A. Kegiatan Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali

1. Proses Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali. 51

2. Pelaku Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali 51

3. Landasan Masyarakat Des. Klalingan Melakukan Pingitan. 54

B. Pendapat Masyarakat Des. Klalingan Tentang Tradisi Pingit Pengantin. 55

C. Pendapat Ulama‟ Des. Klalingan Boyolali Tentang Tradisi Pingitan

Pengantin. 61

xiii

D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti Boyolali. 66

E. Analisis

1. Faktor Yang Mendorong Yang Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin 67

2. Faktor Penghambat Desa Klalingan Melakukan Tradisi Pingitan. 69

3. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin 70

BAB: V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tradisi Pingitan 73

2. Pendapat Ulama Desa Klalingan Tentang Pingitan 74

3. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Pingitan 74

B. Saran 75

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pandangan Islam Pernikahan itu merupakan Sunnah Allah

dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah

dalam penciptaan alam ini, pada dasarnya Allah menciptakan makhluk ini

dlam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat

Az-Zariyat ayat 49

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat akan kebesaran Allah”

Sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah

ditertapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Pada

dasarnya agama Islam itu ada dengan peraturan-peraturan yang di bawa

dengan tujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tenteram

(sakinah) baik di dunia dan di ahkhirat, karena Islam mengatur dengan

landasan syari‟at Islam.

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama

Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

2

menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan

ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya

merupakan ibadah ( Zainudin, 2006 : 7).

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik

perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,

pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai

kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan (Departemen

Agama Republik Indonesia . 1999, Hal. 5).

Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk

memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama islam bagi

pria dan wanita. Pernikahan bagi masyarakat jawa sendiri diyakini sebagai

sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup

sekali dalam seumur hidup (Sholikhin, 2010 : 180).

Hukum Islam senantiasa menjadi hukum yang berlaku dalam

masyarakat muslim, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang

berbahagia dan sejahtera sesuai dengan syari‟at Islam. Pada dasarnya

agama Islam ada dengan peraturan yang apabila melanggarnya ataupun

mematuhi peraturan tersebut hukuman dan imbalannya langsung dari sang

Khalik kelak di Ahkirat maupun didunia berupa azab. Semua itu telah

dituliskan pada Al-qur‟an dan Hadits.

Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu

Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf yang

3

diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam

(Syarifuddin,2007 : 2).

Kebiasan dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan

masyarakat disamping berhubungan dengan orang lain, masyarakat juga

berhubungan dengan namanya budaya.

Hubungan ini tidak dapat dipisahkan karena budaya itu sendiri

tumbuh dan berkembang didalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.

Tiap masyarakat pasti punya tradisi atau budaya sendiri-sendiri

(http://pernikahanadat..com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html).

Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara

bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial.

Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan

atau hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya

merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara

berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat

merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari

nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak

kehilangan jejak. Upacara perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan

suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali.

Tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat

istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari

berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang

berbeda dengan keunikan masing-masing. (http://bangkusekolah-id.

4

t.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat-masyarakat-dalam-

pernikahan.htm)

Tradisi yang ada dimasyarakat yang menurut mereka berasal dari

turun-temurun dari para orangtua mereka dan disampaikan secara lisan

berupa cerita dan bukan secara tulisan yang terkodifikasi. Maka tiap tradisi

sering dan terus bermodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman atau

sesuai dengan selera dari masyarakat yang ada, contoh budaya peringatan

kematian tiga hari dan tujuh hari pada perkembangannya sekarang sering

gabung dengan istilah tiga sekaligus tujuh hari.

Budaya pernikahan ada akad dan walimahan, maka sebelum nikah

ada acara pingitan atau siraman, sesudah akad ada acara lempar pantun

atau cacap-cacapan (budaya Palembang), diwalimahan ada orgen

tunggalan. Sedangkan tradisi yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal

perkawinan melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara

perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, hal ini diperinci

sebagai berikut :

1. Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim

utusan (wakil) untuk melamar (meminang); Tahapan setelah

nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.

2. Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap

disertai cincin kawin.

5

3. Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si

gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari

sebelum pernikahan.

4. Pingitan ; Calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7

hari atau 40 hari sebelum perkawinan.

5. Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk

menghias rumah dengan janur.

6. Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang

dilanjutkan dengan selamatan.

7. Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan

penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.

8. Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan

wanita

9. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin

wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat

pengantin pria ((Hilman. 2003 : 3).

Fokus bahasan penulis yaitu tradisi “pingit pengantin”. Tradisi ini

biasanya juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Klego. Dalam

menggelar pernikahan biasanya para calon pengantin tidak boleh bertemu

sampai hari acara ijab qobul tersebut, karena dalam kepercayaan

masyarakat Jawa masa-masa menjelang pernikahan adalah masa-masa

yang riskan, untuk itu calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu

agar tidak ada bahaya ataupun masalah yang bisa membatalkan perkawinan

6

tersebut, oleh karena itu orang tua “memingit” calon pengantin. Pingit

pengantin ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin untuk

memasuki dunia baru yang dinamakan rumah tangga.

Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk

memasuki dunia baru yaitu dunia rumah tangga yang baru. Pengertian

lainnya pingitan adalah calon pengantin wanita tidak boleh bertemu

dengan calon pengantin pria sampai akad nikah ditentukan, dan untuk jarak

waktunya biasanya beragam, ada yang melaksanakan selama 2 bulan, 1

bulan dan 5 hari, yang pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga

hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak

boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin

putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa.

Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil

cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya

(http://infopengantin.com/2010/03/rangkaian-upacara-adat-pengantin-

jawa.html)

Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tradisi pingitan yang mana

pingitan termasuk dalam salah satu upacara adat dan merupakan tradisi

yang tidak bisa ditinggalkan dan dipercayai yang dijalani secara turun-

temurun. Karena kepercayaan yang telah mendarah daging pada

masyarakat yang apabila salah satu prosesi upacara perkawinan tersebut

tidak dilaksanakan maka akan ada musibah yang menimpa keluarga

7

mempelai maupun pengantin, untuk itu penulis bermaksud mengkaji tradisi

pingitan pengantin tersebut dengan pandangan hukum Islam. Sehingga

judul yang ditentukan oleh penulis adalah TRADISI PINGIT

PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (DESA

KLALINGAN, KECAMATAN KLEGO, KABUPATEN BOYOLALI)

B. Fokus Penelitian

Sebagai pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang

masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai

rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan tradisi pingitan tersebut?

2. Bagaimana pandangan masyarakat klego tentang tradisi pingitan

tersebut?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui makna dari “Pingitan” dan tujuan pingitan pengatin itu

dilakukan.

2. Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat jawa khususnya

masyarakat Klego terhadap tradisi pingitan pengantin?

3. Mengetahui pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan

tersebut?.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitihan ini antara lain :

8

1. Pembaca bisa memahami dan mengetahui tentang tradisi adat yang ada

di pulau Jawa khususnya tradisi pingitan pengantin.

2. Pembaca dapat mengetahui argument masyarakat kususnya di Desa

Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali tentang

keyakinannya dalam melakukan tradisi pingitan pengantin.

3. Pembaca dapat mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam

terhadap tradisi pingitan pengantin.

E. Penegasan Istilah

Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda

dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah di dalam

judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah :

1. Tradisi

Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah ada, kebiasaan

yang diturunkan dari nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat

(Fajri dan Senja:826). Sedangkan yang dimaksuid penulis adalah

kebiasaan pingitan pengantin yang yang diturunkan dari nenek moyang

masyarakat klego dan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat jawa

pada umumnya.

2. Pingitan

Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa keluar sama

sekali.

Memingit ; mengurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di

pingit (Fajri dan Senja:655).

9

Sedangkan yang dimaksud oleh penulis adalah mengurung

pengantin putri di dalam rumah dan tidak diperbolehkan bertemu

dengan pengantin pria sampai akad nikah yang ditentukan, dengan

ditentukan waktu pingitannya.

3. Hukum Islam

Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu

Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf

yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam

(Syarifuddin,2007 : 2).

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendapat historis.

Karena dalam pendekatan historis ini penulis bisa mengetahui asal

mula kepercayaan masyarakat tentang tradisi pingit pengantin dan apa

itu tradisi pingit menurut masyarakat Klego.

Karena semua itu bisa diketahui dengan penulis harus terjun

langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang

dibahas (Mukhtar, 2007:29), sehingga data yang diperoleh bisa

bervariasi, akurat dan lengkap.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitihan Kualitatif

yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

menggunaka prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya

(Meleong, 2008 :6).

10

2. Kehadiran Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti hadir dalam lokasi guna

memperoleh data. Selain itu penulis juga harus membaur dengan

obyek penelitian dan juga berperan dan berpartisipi dalam seluruh

rangkain kegiatan pingit pengantin, dengan tujuan penulis

mendapatkan data yang akurat. Kehadiran penulis sebagai peneliti

diketahui statusnya sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Desa Klalingan Kecamatan Klego

Kabupaten Boyolali. Karena sebagian masyarakat tersebut menganut

tradisi adat jawa pingitan pengantin, dan untuk itu penulis harus terjun

pada lokasi tersebut. Guna mendapatkan data yang relevan dan akurat.

4. Sumber Data

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari proses penelitian,

penulis menggunakan obyek penelitian berupa informan. Sedangkan

untuk mendapatkan informan tersebut penulis harus terjun di Desa

Klailingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali, baik itu masyarakat

biasa maupun ulama‟ setempat. Selain informan yang penting adalah

pengantin wanita yang menjalani pingitan tersebut.

5. Prosedur Pengumpulan Data

a. Observasi

Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan

dan pencatatan secara langsung dengan sistematika terhadap

11

fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Oleh

karena itu peneliti harus terjun langsung di Desa Klalingan

Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali agar bisa mengamati

fenomena-fenomena dan rangakain kegiatan pingitan yang

dilakukan oleh pengantin wanita dan observasi dalam lingkungan

masyarakat tersebut.

b. Wawancara

Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis

data dengan teknik komunikasi secara langsung

(Winarno,1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan

catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan.

Sasaran yang akan diwawancara adalah masyarakat Klego dan

pengantin wanita yang menjalani pingitan di daerah tersebut.

c. Dokumentasi

Mencari data mengenai beberapa hal, baik berupa catatan dan

data dari pemuka adat ataupun rangakaian kegiatan pingitan yang

dikomentasikan oleh pemuka adat ataupun masyarakat setempat.

Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam

memperoleh data.

d. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu peneliti yang mencari data dari bahan-

bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku-buku,

surat kabar, makalah dan sebagainya.

12

6. Analisis Data

Menganalisa data artinya, menguraikan data, menjelaskan data,

sehingga dari data-data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian

yang kemudian dipahami sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.

Dalam penelitian ini penulis menentukan bentuk analisa terhadap

data-data tersebut, antara lain dengan metode:

a. Deskriptif

Adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya

tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, dan

pandangan sikap yang tampak (Winarno, 1985:139).

Mendeskripsikan data yang didapat penulis tentang situasi di

desa Klalingan, kegiatan masyarakat desa Klalingan terutama pada

kegiatan “pingit pengantin”

b. Kualitatif

Adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia

pada kawasan sendiri berhubungan dengan orang-orang tersebut

dalam bahasa(Meleong, 2003:3).

Penulis menggunakan metode ini untuk memperoleh data

dengan cara membaur dalam masyarakat dan melakukan

pengamatan langsung pada masyarakat Klalingan.

13

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penlitian ini terdiri dari lima bab yang saling

berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, penegasan istilah, metedo penelitian dan sistematika

penulisan

BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang

pengertian pingitan pengantin, konsep kegiatan dalam masa

pingitan pengantin, pengertian tradisi dan kaedah fiqh yang

menjadi landasan hukum.

BAB III : Bab in desa berisi tentang gambaran umum desa Klalingan,

Kecamatanm Klego Kabupaten Boyolali terdiri dari letak

Geografis, keadaan masyarakat, jumlah penduduk serta struktur

organisasi.

BAB IV : Dalam bab ini berisi analisa mengenai faktor apa saja yang

membuat masyarakat Klego melakukan tradisi Pingitan pada

calon pengantin wanita dan pandangan Hukum Islam tentang

tradisi pingitan pengantin. Menguraikan hasil observasi yang

berisi tentang mitos yang berkembang pada tradisi pingitan

tersebut dan penyajian data tentang gambaran umum masyarakat

Klego terhadap tradisi pingitan. Bab ini diketengahkan untuk

mengetahui nilai-nilai Islam dalam pingitan pengantin.

14

BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis

H. Telaah Pustaka

Penelitian tentang tradisi pingitan pengantin dalam pandangan

hukum Islam telah dilakukan oleh Ninik Nirma Zunita mahasiswi

Universitas Islam Negeri( UIN) Malang dalam Skripsinya yang berjudul

Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Pingitan (Studi Kasus Desa

Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan). Penelitian tersebut

menjelaskan tentang bagaimana tradisi pingitan dilaksanakan oleh

masyarakat setempat, tata cara pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan

tujuan masyarakat melaksanakan tradisi pingitan

Dalam skripsi Zunita dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi

“pingit pengantin” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk

menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calon pengantin menuju

hari pernikahannya. Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwa suatu tradisi bisa

sebagai hujjah yang dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan

orang. Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk u‟rf shahih yakni u‟rf yang

baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denagn syara‟.

Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak

bertentangan dengan nash (ayat Al-qur‟an atau Hadits), tidak

menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat

kepada mereka (Zunita,2011).

15

Dari kajian sebelumnya hanya fokus pada bagaimana tradisi

Pingitan tersebut dilaksankan oleh masyarakat setempat, tata cara

pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan

tradisi Pingitan, oleh karena itu penulis bermaksud untuk mengkaji lebih

dalam lagi tentang tradisi Pingitan yang ada pada masyarakat Desa

Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali dan lebih fokus pada

hukum Islam. Sehingga kita semua bisa mengetahui bagaimana hukum

Pingitan dalam Islam apakah mubah (dibolehkan) atau justru diharamkan.

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan za‟aj. Kedua kata ini yang

terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat

dalam Al-quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha banyak

terdapat dalam Al-quran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti

bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti

mengadakanperjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari

perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang

sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini (Muhtar, 1974 :11).

Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di

antaranya adalah :

“Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan

dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan :

“ Nikah menurut istilah syara‟ ialah yang mengandung ketentuan

hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-

kata yang semakna dengannya”(Ghazaly :8).

17

Pengertian lain nikah adalah: Mengumpulkan. Menurut syara‟ artinya :

akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang

telah tertentu) untuk berkumpul (Idris dan Ahmadi, 1994 : 198).

Firman Allah :

“Maka nikahilah wanita-wanita yang kami senangai. “(QS. An-Nisa‟: 3)

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya

dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut :

Pasal 2 : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau mutsaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3 : Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari : Perkawinan merupakn salah

satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada

manusia, hewan maupuyn tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara

yang dipilih Allah sebagai jaln bagi manusia untuk beranak-pinak,

berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing

pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam memwujudkan

tujuan perkawinan (Ghazaly :11).

2. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Islam

Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu

diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia

melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan (Tihami, 2009 :12).

18

a. Pilihan jodoh yang tepat.

b. Pernikahan didahului dengan pinangan.

c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan

perempuan.

d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

e. Ada persaksian dalam akad nikah.

f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.

g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami.

h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.

i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami.

j. Ada kewajiban bergaul denganm baik dalam kehidupan rumah tangga

Prinsip-prinsip perkawinan ini sangat penting, karena apabila tidak

terpenuhi prinsip-prinsip tersebut berakibat batal atau tidak sah ( fasid)

nikahnya.

3. Hukum Melakukan Perkawinan

Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan pelakunya. Kalau

pelakunya sudah memerlukan dan mampu yang akan menambah takwa,

yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram,

maka hukumnya wajib. Kalau pelakunya tidak mampu dalam

melaksanakan pernikahan, maksudnya bagi orang yang tahu dirinya tidak

mampu melaksanakan hidup rumah tangga, melaksanakan kewajibannya

lahir batin seperti memberikan nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan

19

kewajiban batin seperti mencampuri isteri, maka hukum nikah menjadi

haram. Nikah disunnahkan bagi orang yang mampu tetapi masih sanggup

mengendalikan diri dari peerbuatan haram. Dalam hal ini lebih baik

daripada membujang. Sedangkan hukum asal dari nikah adalh mubah.

Nikah hukumnya sunnah bagi orang yang memerlukannya. Syarat nikah

berasal dari Al-Qur‟an dan hadits serta( ijma‟ umat) kesepakatan umat

dengan niat yang kuat (Idris dan Ahmadi .1994 : 199).

Firman Allah :

“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hambanmu yanglelaki

dan hamba-hambamu yang perempuan.” (QS. An-Nuur : 32)

4. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan.

a. Rukun Pernikahan.

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas.

1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan

perkawinan.

2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau

wakilnya yang akan menikahkannya.

3) Adanya dua orang saksi.

4) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali

atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon

pengantin laki-laki.

20

Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat :

Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam,

yaitu :

1) Wali dari pihak perempuan.

2) Mahar (maskawin)

3) Calon pengantin laki-laki.

4) Sighat akad nikah.

Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,

yaitu:

1) Calon pengantin laki-laki.

2) Calon pengantin perempuan.

3) Wali dari pihak perempuan

4) Dua orang saksi.

5) Sighat akad nikah (Ghazaly,2006 : 48)

Memang ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para

ulama seputar rukun nikah, namun rukun nikah yang dipakai di negara

Indonesia pada umumnya adalah rukun nikah yang disimpulkan dalam

madzhab Syafi‟i

b. Syarat Sahnya Pernikahan

Dasar bagi sahnya perkawinan adalah sudah dipenuhinya

syarat-syarat perkawinan tersebut, sehingganya menghasilkan suatu

perkawinan yang sah dan menimbulkan segala hak dan kewajiban

sebagai suami istri.

21

Pada garis besarnya syarat-syaratsahnya perkawinan itu ada

dua :

1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki

yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan

merupakan orang yang haram dinikahi.

2) Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan

syarat-syaratnya sebagai berikut:

a) Syarat-syarat kedua mempelai.

(1) Syarat- syarat pengantin pria.

Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus

dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para

ulama, yaitu :

(a) Calon suami beragama Islam.

(b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.

(c) Orangnya diketahui dan tertentu.

(d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin

dengan calon istri.

(e) Calon mempelai laki-laki mengetahui atau

mengenal calon istri serta tahu betul calon istrinya

halal baginya.

(f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan

perkawinan itu.

22

(g) Tidak sedang melakukan ihram.

(h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan

calon istri.

(i) Tidak sedang mempunyai istri empat (Ghazali, 2006

: 50)

(2) Syarat-syarat calon pengantin perempuan :

(a) Beragama Islam atau ahli Kitab (wanita muslimah

dengan laki-laki muslim)

(b) Terang bahwa ia wanita, bukan khunsta (banci)

(c) Wanita itu tentu orangnya.

(d) Halal bagi calon suami.

(e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak

masih dalam masa „iddah.

(f) Tidak dipaksa/ikhtiyar.

(g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah

(Ghazaly, 2006 : 55)

b) Syarat-syarat Ijab Kabul.

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul

dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau

perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya

dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab

dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,

23

sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau

wakilnya.(Ghazaly, 2006 : 57)

c) Syarat-syarat wali.

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai

perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.

Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan

adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah.(Ghazaly,

2006 : 59)

d) Syarat-syarat saksi.

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang

laki-laki, muslim,baligh, berakal, melihat dan mendengan serta

mengerti (paham) akan maksud akad nikah.

Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu

adalah sebagai berikut :

(1) Berakal, bukan orang gila.

(2) Baliq, bukan anak-anak.

(3) Merdeka, bukan budak.

(4) Islam.

(5) Kedua orang saksi itu mendengar (Gazaly,2006 :64).

Hikmah adanya saksi adalah untuk kemaslahatan kedua

belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang

mengingkari, hal itu dapat dielakan oleh adanya dua orang

saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat,

24

maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap

adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Di samping

itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir

adalah dari perkawianan suami istri tersebut. Ternyata disini

dua saksi dapat memberikan kesaksiannya.

5. Hikmah Pernikahan

Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Allah SAW karena nikah

mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan

umat manusia. Adapun hikmah pernikahan sebagai berikut :

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan

keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilaman jalan

keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang

terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk.

Dengan demikian perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi

tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan

akan tenang menikmati hal yang halal.

b. Perkawinan adalah jalan untuk memperbanyak keturunan,

melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh

Islam sangat dianjurkan.

c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah

tangga dengan anak-anak yang akan menimbulksn rasa cinta,

sayang, dan sikap ramah yang merupakn sifat-sifat baik yang

menyempurnakan akhlak manusia.

25

d. Menyadari tanggung jawab beristeri dang menanggung anak-anak

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawakan seseorang.

e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur

rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai

dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam

menanggani tugas-tugasnya.

f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara

keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang

memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang (Sabiq:1980

:80)

B. Adat Istiadat (Al-„Urf)

Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek

moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi telah

ada dan menjadi kebiasaan yang dilani oleh masyarakat saat ini dalam

Hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.

1. Definisi Al-„Urf

Al-„Urf secara bahasa berarti suatu yang telah dikenal dan

dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Al-„Urf (adat istiadat) yaitu

sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau

perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan

diterima oleh akal mereka (Khalil, 2009 : 167).

26

'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan

merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun

perbuatan (Khallaf. 2005 : 104)

Definisi Al-„Urf menurut para ulama yaitu :

1) Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa Al-„Urf merupakan:

Sesuatu yang telah menjadi mantap/kuat di dalam jiwa dari segi akal

dan dapat diterima oleh fikiran sehat/baik

(http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi. diakses pada 22 juni

2008, 4).

2) Menurut Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya yang berjudul Ilmu

Ushul al-Fiqih yaitu : Al-'Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh

orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa

perkataan, perbuatan ataupun sesuatu yang lazimnya untuk

ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-âdah. Sehingga dalam

bahasa ahli syara' disana dijelaskan bahwa antara al-'urf dan al-âdah

tidak terdapat perbedaan (Idem. 1978/1398 : 89).

3) Menurut Al-Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mudjib dalam bukunya

yang berjudul kaidah-kaidah fiqih, al-„urf adalah : sesuatu (perbuatan

maupun perkataan) yang jiwa merasa tenang ketika mengerjakannya,

karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabi‟at. Al-„Urf

juga merupakan hujjah bahkan lebih cepat untuk dipahami (Mudjib.

1999 : 44).

27

Para Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam

membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan

hukum syara‟ urf didefinisikan dengan :

“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau

perbuatan”

Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar

fiqh Islam di Universitas „Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf

merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf .

Adapun adat menurut ulama ushul fiqh adalah :

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan

rasional”

Sedangkan pengertian lain Al-„Adah adalah sesuatu (perbuatan

maupun perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena

dapat dierima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-

menerus (Mudjib. 1999 : 44).

Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan

cara berulang-ulang menurut hukum akal, dinamakan adat. Definis ini juga

menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang

menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam

tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makan tertentu, atau permasalhan

28

yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil

pemikiran yang baik dan yang buruk.

2. Macam-macam 'Urf

Dari beberapa persyaratan di atas kita bisa membagi 'urf (adat

kebiasaan) kepada dua bagian yaitu:

1) 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat

diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti

kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat

yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena

berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam (Zahrah.

2005 :418).

2) „Urf yang shahih (baik/benar) Ialah 'urf yang saling diketahui orang,

tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak

membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena tidak

bertentangan dengan syara', 'urf ini juga dipandang sebagai salah satu

sumber pokok hukum Islam. Seperti mengadakan pertunangan sebelum

melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan

dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara (Khallaf. 2005

:105).

'Urf yang shahih dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1) 'Urf 'Aam (kebiasaan yang bersifat umum) Yaitu „Urf yang telah

disepakati masyarakat di seluruh negeri. 'Ulama mazhab Hanafi

menetapkan bahwa 'urf amm dapat mengalahkan qiyas, yang

29

kemudian dinamakan istishna 'urf. 'Urf ini dapat mentakhshis nas

yang am yang bersifat zhanny, bukan yang qath'i (Firdaus. 2004 : 97-

98). 'Urf seperti ini dibenarkan berdasarkan ijma'. Bahkan tergolong

macam ijma' yanng paling kuat karena di dukung, baik oleh kalangan

mujtahid maupun diluar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan

sahabat maupun orang yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa 'urf ialah yang diterapkan diseluruh negeri tanpa

memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah lalu.

2) 'Urf khas (kebiasaan yang bersifat khusus) Yaitu 'urf yang dikenal

berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu,

seperti; „urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan

lain-lain. 'Urf ini tidak boleh berlawanan dengan nash, tetapi boleh

berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan

yang qath'i, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi

jelas dan terangnya. Hukum yanng ditetapkan qiyas zhanny akan

selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Karena itu para

ulama berpendapat bahwa ulama mutaakhirin boleh mengeluarkan

pendapat yang berbeda dari mazhab Mutaqaddimin. Karena dalam

menerapkan dalil qiyas mereka sangat terpengaruh oleh 'urf-'urf yang

berkembang dalam masyarakatnya pada waktu itu.

3. Syarat-Syarat Al-„Urf

30

Mereka yang mengatakan al-„urf adalah hujjah, memberikan syarat-

syarat tertentu dalam menggunakan al-„urf sebagai sumber hukum

diantaranya sebagai berikut :

1) Tidak bertentangan dengan Alquran atau sunnah. Jika seperti kebiasaan

orag minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar(ada penipuan)

dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan.

2) Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam setiap muamalah

mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam

tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal ini tidak dapat

dijadikan sumber hukum.

3) Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat

tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagian mahar dan

menunda sebagiannya, namun kedua calon suami isteri sepakat untuk

membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka

yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua

belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang

sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.

4) Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu

berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggal orang sebelum

permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang

baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009 : 170)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

31

1) Adat harus berbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan

orang banyak dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus

menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan

diterima oleh akal pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut

merupakan adat kolektif dan lebih khusus hanya sekadar adat biasa

karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif.

2) Adat berbeda dengan ijma‟. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan

yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status

sosial, sedangkan ijma‟ harus lahir dari kesepakatan para ulama

mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. Dikarenakan adat

istiadat berbeda ijma‟ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang

yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar

kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang

hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma‟ menjadi

hujjah kepda semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada

zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.

3) Adat terbagi menjadi dua kategori : ucapan dan perbuatan. Adat berupa

ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki-

laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan

dan inilah nahasa yang digunakan Al-qur‟an,

32

“Allah mensyari‟atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : Bagian

seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

(QS. An-Nisa‟ (4) :11).

Sedangkan adat yang berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang

sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup

dengan cara mu‟athah (menerima dan memberi) tanpa ada ucapan, juga

kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya

sampai waktu yang disepakati (Khalil, 2009 : 168).

d. Legalitas Al-„Urf

Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan

dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada

dalil-dalil sebagai berikut.

1. Firman Allah SAW :

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

makruf.(QS. Al-A‟raf : 199)

Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika

tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.

2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka

ia juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang

dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah

dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran

hukum.

33

3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab

dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan

kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda

kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah

membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti

mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta

warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.

4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan

memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk

meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka

karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang

kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus

mengakui adat kebiasaan mereka (Khalil. 2009 : 169) sebagaimana

firman Allah SAW :

“Dan Dia sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu

kesempitan”.(QS. Al-Hajj (22) :78)

Dan firman Allah SAW :

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu”.(QS. Al-Baqoroh (2) : 185)

C. Pingitan.

1. Pengertian Pingitan

Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa sama sekali.

34

Memingit ; menurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di

pingit (Fajri dan Senja : 655).

Sengkeran atau Pingitan adalah proses mempersiapkan diri

mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga.

Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak

kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar

bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu

dengan daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang

berbeda.

Menurut ethicalweddings.com pingitan pengantin adalah calon

pengantin putri tidak diperbolehkan keluar rumah atau bertemu calon

pengantin putra sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu sebelum

acara akad nikah. Kedua mempelai harus tidak saling bertemu dulu.

2. Asal Usul Tradisi Pingitan.

Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat

kepada lingkungan rumah. Semua kebebasan dan pendidikan yang

dinikmati anak-anak gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan

menjelang pernikahan. Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang

hidup di daerah tropis sangat cepat, sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulai

dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia

pingitan.

Pingitan adalah dunia wanita, dimana gadis-gadis kecil mulai

belajar bekerja. Bidang pekerjaannya adalah membantu ibu mereka

35

mengasuh dan mengurus adik-adik mereka yang masih kecil, belajar

memasak dan menjahit, serta kecakapan-kecakapan lain yang perlu

dimiliki ibu rumah tangga. Rumah tangga adalah tiang masyarakat,dan

masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap wanita harus menjadi

ibu yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga.

Tradisi pingitan ini sudah ada pada zaman keraton atau zaman

kerajaan Yogyajakarta. Pada zaman keraton Yogyakarta yang dipimpin

Sri Sultan Hamengkubuwono 1, tradisi pingit pengantin sudah ada sejak

zaman nenek moyang mereka dan tradisi ini merupakan tradisi Jawa

asli yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Pada zaman dahulu

para pendatang dari Yogyakarta dan Solo datang ke Desa Maduran

Kec.Maduran Kab. Lamongan dan membawa tradisi dan bahasa Jawa

halus (krama inggil).

Mereka tinggal berdampingan bersama masyarakat Desa Maduran

dan kemudian mereka menikah dengan masyarakat Desa Maduran

tersebut. Dan disaat pernikahan tersebut semua adat dari Yogyakarta

dan Solo diterapakan di acara pernikahan, sehingga berbagai adat Jawa

itu ada di Desa Maduran dan merupakan tradisi turun temurun yang

wajib dilestarikan sampai sekarang. Maka dari itu Tradisi pingitan lebih

terkenal di Ds. Maduran Kab. Lamongan, karena tradisi ini sebagian

masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sampai sekarang. Tetapi

bukan berarti masyarakat Solo dan Yogyakarta tidak melakukan tradisi

pingitan pengantin, sebagian masyarakat Solo dan Yogyakarta sampai

36

daerah Klaten dan Boyolali masih menggunakan tradisi pingitan

tersebut.(Sumber :http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04)

D. Hukum Islam

1. Definisi Hukum Islam

Secara etimologis, hukum adalah sebuah kumpulkan aturan,

baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang

mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai anggota

atau subyeknya. Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan

dengan Islam, maka “Hukum Islam” adalah sejumlah aturan yang

bersumber pada wakyu Allah dan Sunnah Rasul-baik yang langsung

maupun yang tidak langsung-yang mengantur tingkah laku manusia

yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam. Di

samping itu, hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk

mengatur, baik secara politis maupun sosial.

Secara terminologis, M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan

bahwa hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk

menerapkan syari‟ah atas kebutuhan masyarakat. Sementara itu, An-

Naim menyebutkan bahwa hukum islam mencakup persoalan

keyakinan, ibadah(ritual), etika, dan hukum (Dahlan, 2009 : 92).

Menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam De Legibus

menyatakan hukum adalah akal tertinggi ( the highest reason) yang

ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang

boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ukuran dan unsur yang

37

digunakan dalam perspektif ini adalah aspek perbuatan yang boleh

diperbuat manusia dan aspek perbuatan yang harus doihindari.

Perbuatan manusia, antara yang boleh dilakukan, tidak boleh

dilakukan, merugikan atau tidak merugikan, bertentangan dengan

norma yang ditetapkan oleh negara atau tidak merupakan beberapa

unsur yang menentukan rumusan mengenai hukum. Adapun hukum

Islam biasanya disebut dengan beberapa istilah atau nama yang

masing-masing menggambarkan sisi atau karakteristik tertentu hukum

tersebut (Mustofa dan wahid, 2008 : 1).

Uraian tersebut menunjukan bahwa hukum Islam mencakup

berbagai persoalan hidup manusia, baik yang menyangkut urusan

dunia maupun urusan akhirat.

2. Tujuan Hukum Islam.

Scholten menyebutkan : Tiada hukum tanpa formula, yang

dituntut adalah ucapan hukum berupa penilaian kata mengenai apa

hukum itu, penilaian mana bersandar pada formula-formula umu yang

tersusun dalam kata-kata. Kalau dipelajari dengan seksama ketetapan

Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan

kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahuio tujuan

hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum

Islam kebahagian hidup manusia di dunia dan diahkirat kelak, dengan

jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau

menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan

38

kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah

kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual,

dan sosial.(Mustofa dan Wahid. 2008 : 6)

Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini

saja, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu

Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum

Islam , yakni :

1) Memelihara agama.

2) Memelihara jiwa.

3) Memelihara akal.

4) Memelihara keturan.

5) Memelihara harta.

39

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan

a. Sejarah Desa Klalingan.

Pada zaman dahulu di Indonesia dijajah negara Belanda. Tentara-

tentara Belanda menyerbu di berbagai kota di Indonesia. Melihat hal

tersebut akhirnya Nyi Ageng Serang mengajak rakyatnya bertekad

mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda tersebut dengan

mengguakan senjata sederhana yaitu sebuah bambu runcing. Kemudian

terjadilah sebuah pertempuran yang sangat sengit antara tentara Belanda

dengan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Nyi Ageng Serang karena

terlalu lelah akhirnya Nyi ageng Serang beristirahat disebuah tempat. Nyi

Ageng Serang berkata tepat ini kelak akan dinamakan “Klaliangan” yang

berasal dari kata “kaling- kalingan”, yang artinya Belanda tidak akan

pernah melihat karena kaling-kalingan (ketutupan)

Sumber lain menyatakan bahwa zaman dahulu saat masa penjajahan

Belanda Indonesia banyak juga didatangi oleh negara-negara lain dengan

tujuan melakukan perdagangan dan penyiksaan dengan warga negara

Indonesia. Masyarakat kemudian mencari tempat yang aman dari penjajah,

yang kemudian menemukan sebuah Desa yang nampak tertutup bundaran

bening yang disebut dengan kolang kaling. Kemudian sejak saat itu desa

40

tersebut disebut dengan sebutan Klalingan.. (Sumber: Cerita warga Desa

Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

b. Visi dan Misi Desa Klalingan. Adapun visi dan misi dari Desa

Klalingan yaitu sebagai berikut:

1) Visi Desa Klalingan

Terwujudnya masyarakat Desa Klaliangan yang tertib, sehat dan

kondusif dalam tata kehidupan yang demokratis, cerdas, mandiri, kreatif

dan produktif dilandasi oleh akhlak mulia dalam rangka mencapai/menuju

terwujudnya Boyolali Tersenyum (Tertib, Rapi, Sehat, Nyaman untuk

Masyarakat), mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan lahir

batin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2) Misi Desa Klalingan

a) Untuk menumbuh kembangkan keinginan masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari sesuai dengan situasi

dan kondisi Sumber Daya Alam (SDA) Desa Klalingan.

b) Menjadikan Desa Klalingan sebagai Desa (Sentra Pertanian).

Desa yang mampu mewujudkan pertanian yang modern dengan

mengembangkan penggunaan pupuk organik yang ramah

lingkungan.

c) Menjadikan masyarakat Desa Klalingan berbudi pekerti luhur,

tangguh, sehat jasmani dan rokhaninya, cerdas, patriotik,

berdisiplin, kreatif, produktif, berjiwa Iman dan bertaqwa serta

41

demokratis demi terciptanya sumber daya manusia yang

berkualitas.

d) Meningkatkan upaya pemerataan pembangunan disegala bidang

pada semua lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran.

e) Mewujudkan Aparat Pemerintahan Desa yang berfungsi sebagai

pelayan masyarakat yang profesional, berdaya guna, dan berhasil

guna, sehingga terwujud Pemerintahan Desa yang bersih dan

beribawa.

f) Meningkatkan inisiatif perencanaan pembangunan, pemberdayaan

masyarakat dan peran wanita serta generasi muda juga

menegakkan supremasi hukum bagi masyarakat.

g) Meningkatkan persatuan dan kersatuan serta toleransi beragama

demi terwujudnya kedamaian, ketentraman, keamanan,

kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. (Sumber: Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego,

Kabupaten Boyolali).

42

c. Peta Desa Klego.

Gambar 5. Peta Desa Klego

d. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa Klalingan.

Adapun susunan organisasi dan tata kerja aparat pemerintahan Desa Klalingan

yaitu sebagai berikut:

Gambar 3.1. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa

Klalingan

Kepala Dusun : Waryanti

Rukun Tetangga(Rt) 22

: Tasrun

Rukun Tetangga(Rt) 23

: Suhar

Rukun Tetangga (Rt) 24 : Jamhari

Sekertaris Dusun :

Darmawan

43

2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan

Desa Klego memiliki batas wilayah sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : Desa Gondang Legi

2) Sebelah Selatan : Desa Kedokan

3) Sebelah Timur : Desa Karanganyar

4) Sebelah Barat : Desa klumpang

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,

Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

3. Kondisi fisik Desa Klego

a. Topografi. Kondisi Topografi Desa Klego yang dibagi menjadi tiga Rukun

tetangga (RT). Adapun pembagian wilayahnya dibagi sebagai berikut :

1) Bagian Selatan Rt (Rukun Tetangga) 22.

2) Bagian Tengah Rt (Rukun Tetangga) 23.

3) Bagian Utara Rt (Rukun Tetangga) 24.

Secara keseluruhan wilayah Desa Klalinagn tergolong (dataran rendah

atau dataran tinggi) dengan kemiringan 2-15% dan ketinggian kurang lebih 300

meter di atas permukaan laut.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

b. Klimatologi. Berdasarkan kondisi iklimnya, Desa Klalinagan dapat

digolongkan sebagai wilayah dengan karakteristik lembab dengan curah hujan

2.000 mm/tahun dan jumlah bulan kering 6 bulan. (Sumber: Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klaliangan, Kecamatan Klego,

Kabupaten Boyolali).

44

c. Hidrologi. Kondisi Hidrologi Desa Klalingan digolongkan kekurangan

sumber mata air. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan untuk kebutuhan

sehari-hari saat musim kemarau, serta kondisi persawahan adalah sawah tadah

hujan. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa

Klaliangan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

d. Jenis tanah. Desa Klalingan memiliki jenis tanah yang pada umumnya

termasuk jenis Aluvial, yang jenis tanah ini cukup sesuai untuk kegiatan

pertanian namun masih labil. Sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa

Klalingan yang cepat rusak. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Desa Kalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

e. Kondisi lingkungan. Desa Klalingan memiliki karakteristik lingkungan

berupa dataran rendah dengan lingkungan basah dan kering. Karakter

lingkungan wilayah ini mempengaruhi jenis usaha pertanian tanaman pangan,

dengan pengembangan pada lingkungan sebagai berikut:

1) Tanah basah yaitu upaya pengembangan usaha pertanian yang betul-betul

modern dengan mengembangkan penggunaan pupuk organik, sehingga

Desa Klalingan mampu memberikan konstribusi terhadap negara dalam

swadaya beras secara nasional.

2) Tanah kering yaitu sangat cocok untuk pengembangan pertaian tanaman

pangan lahan kering khususnya palawija.

Permasalahan lingkungan hidup yang cukup mencolok yaitu dengan

keberadaan peternakan ayam potong dan pengembangan ikan air tawar jenis

lele, yang lokasinya sebagian besar sangat dekat dengan pemukiman penduduk.

45

Meskipun selama ini masalah pengaruh polusi dan lalat masih terkendali,

namun yang perlu perhatian khusus dalam pengendaliannya sehingga benar-

benar tidak akan menggangu masyarakat dan lingkungan sehingga semua

bisatertangani dengan baik.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

f. Kependudukan. Kependudukan Desa Klalingan dapat dibedakan

berdasarkan usia. Kependudukan desa Klalingan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 3.1 Kependudukan Desa Klalingan

No Usia/tahun Jumlah

1 0 – 5 90

2 6 – 16 60

3 17 – 25 70

4 26 – 55 85

5 56 ke atas 55

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa

Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kependudukan

yang paling tinggi adalah kelompok usia 0 sampai 5 tahun yaitu mencapai 90

orang, sedangkan yang paling rendah yaitu usia 56 tahun ke atas yang hanya

terdapat 55 jiwa.

46

g. Penduduk Menurut Mata Pencaharian. Desa Klalingan dapat dibedakan

berdasarkan mata pencaharian. Penduduk menurut mata pencaharian desa

Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani Pemilik Tanah 15

2 Petani Penggarap Tanah 25

3 Buruh Tani 30

4 Nelayan 3

5 Pengrajin/Industri Kecil 3

6 Buruh Industri 15

7 Buruh Bangunan 50

8 Pedagang 30

9 Pengangkutan 15

10 Pegawai Negeri Sipil 26

11 TNI 9

12 Pensiunan (TNI/PNS) 10

47

13 Peternak Sapi 50

14 Peternak Kambing 30

15 Peternak Ayam 49

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,

Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

Berdasarkan tabel di atas, maka mata pencaharian desa Klalingan paling

banyak yaitu peternak ayam yang mencapai 2011, sedangkan mata pencaharian

yang terkecil yaitu jenis nelayan yang hanya berjumlah 3 orang.

h. Penduduk menurut pendidikanya. Desa Klalingan dapat dibedakan

berdasarkan pendidikanya. Penduduk menurut pendidiknya desa Klalingan

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.3 Penduduk Menurut Pendidikan

NO

Tingkat Pendidikan

Jumlah

1 SD 100

2 SMP 85

3 SMA (Sederajat) 70

4 Perguruan Tinggi 10

5 Tidak Sekolah 95

48

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pindidikan yang

paling tinggi adalah pendidikan SD yang mencapai 100 orang, dan

pendidikan yang terendah adalah perguruan tinggi dengan jumlah 10 orang,

sedangkan yang tidak mengenal pendidikan lumayan tinggi dengan angka 95

orang, hal ini dapat disimpulkan bahwa di desa Klalingan dalam hal

pendidikan bisa dikatakan tidak begitu maju, dan banyak masyarakat yang

mengabaikan nilai pendidikan.

4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat.

Kegiatan keagamaan di desa Klalingan tidak begitu padat, hanya

kegiatan belajar mengajar anak-anak yang biasa di sebut dengan TPA

(Taman Pendidikan Anak) yang dilakukan di masjid desa Klalingan

dengan waktu pembelajaran selama dua (2) jam dan jumlah pengajar yang

tidak menentu, kadang ada empat pengajar kadang juga hanya satu

pengajar yang hadir. Kegiatan keagamaan lainnya belum begitu aktif

seperti kegiatan yasinan remaja yang dilaksanakan setiap malam minggu

dan waktunya setelah sholat isya‟ itu juga belum bisa dikatakan maju,

dilihatan dari minat remaja yang mengikutinya yang hanya dihadiri kurang

lebih sepuluh sampai lima belas remaja saja, terkadang jumlah presentase

yang hadir semakin lama semakin berkurang, untuk kegiatan pengajian

atau kegiatan kegamaan yang lainnya bisa dikatakan jarang diadakan.

Melihat dari kondisi keagamaan di desa Klalingan bisa disimpulkan

bahwa masyarakat desa Klalingan minim dalam pengetahuan agama yang

49

membuat tidak ada perbedaan pendapat antara hukum Islam dan hukum

adat yang merekla yakini, contohnya tradisi pingitan pengantin, dibuktikan

dalam kehidupan bermasyarakat penduduk Desa Klalingan tidak

menggambarkan adanya konflik yang berarti dimasyarakat. Mereka hidup

rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap

gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa misalnya kerja

bakti, kematian dan hajatan pernikahan. Selain itu di desa Klalingan ini

juga ada tradisi Punggahan (tradisi tahlilan di makam desa sebelum bulan

puasa) dan Pudunan (tradisi tahlilan di makam desa sesudah bulan puasa),

dan tradisi mapak tanggal yang dilakukan pada tanggal 1 Muhharam,

dalam kegiatan ini warga berbondong-bondong untuk berkumpul ditempat

yang sudah ditentukan dengan membawa makanan dan warga begadang

sampai pagi ditempat tersebut setelah menyelesaikan do‟a-do‟a yang di

pimpin oleh sesepuh desa. Tradisi ini tetap mereka jalankan walaupun

zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat Desa Klalingan sangat

menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka.

Keadaan sosial masyarakat Desa Klalingan yang kental dengan

tradisi Jawa atau adat ini tidak memperngaruhi kadar keIslaman warga,

karena mereka tidak membedakan antara syari‟at dan adat. Dengan begitu

keadaan masyarakat Desa Klalingan ini tidak pernah terjadi kerusuhan,

karena masyarakat Desa Klalingan sangat menjaga kerukunan dan

kesejahteraan dalam bermasyarakat.

50

Di wilayah Desa Klalingan terdiri dari 32 Kepala Keluarga (KK),

dan semuanya beragama Islam. Dibuktikan dengan adanya sarana ibadah

dan sarana pendidikan Islam.

Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam

No Keterangan Jumlah

1. Jumlah Masjid 2

2. Jumlah Mushola 1

3. Jumlah Majelis Ta‟lim 2

Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam tersebut

terlihat bahwa masyarakat Desa Klalingan banyak yang kurang

pengetahuan tentang agama Islam. Melihat kondisi tersebut masyarakat

Desa Klalingan hanya sedikit memahami tentang keislaman, bisa dikatakan

65% masyarakat Desa Klalingan berstatus Islam KTP saja, walupun

ulama‟ Desa Klalingan telah menyampaikan ceramah, namun beliau

kebanyakan menyampaikan tentang ketauhidan ataupun tentang

peningkatan keimanan dan ketaqwaan secara umum. Adapun materi yang

berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos dan ketauhidan jarang

disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos

itu terus berlaku, karena kepercayaan masyarakat Desa Klalingan terhadap

tradisi nenek moyang sangat melekat.

51

BAB IV

ANALISIS

B. Kegiatan Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali

1. Proses Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.

Saat-saat menjelang perkawinan, di desa Klalingan melakukan

“pingitan” atau “sengkeran” bagi calon mempelai putri selama sepuluh

hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tujuh hari saja.

Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh

bertemu dengan calon mempelai putra.

Biasanya dalam prosesi pingitan seluruh tubuh pengantin putri

dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya

agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga

membuat pangling orang yang menyaksikannya, akan tetapi di desa

Klalingan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman,

seperti halnya prosesi perawatan dan puasa yang biasanya dilakukan tujuh

hari sebelum akad dilakukan itu tidak berlaku lagi, namun untuk perawatan

misalnya meminum jamu-jamuan dan puasa dilakukan satu hari sebelum

hari akad dilaksanakan.

2. Pelaku Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.

Saat menjelang pernikah keluarga dari kedua belah mempelai pasti

sangat repot, karena banyak yang harus dipersiapkan antaranya seperti;

undangan, jamuan makanan tamu, dekorasi, tempat resepsi, gaun pengantin

dan lain-lain. Seperti hanya yang dilakukan oleh Roimah 20 tahun warga

Desa Klalingan Rt 24, Rw 05 yang akan meningkah dengan Sumanto

52

Warga Desa Klalingan Rt 22, Rw 05, mereka juga melangsungkan tradisi

pingitan seperti hanya yang dikatakannya dalam wawancara sebagai

berikut :

Calon mempelai wanita

Roimah :“ Saya tidak keberatan untuk melakukan tradisi pingitan,

toh itu hanya 3 (tiga) hari saja, besok setelah itu kan juga akan ketemu

selamanya kok (dengan sedikit senyum malu), kata orang tua saya itu juga

manfaat biar saya dengan mas mantu tidak sering beranten tidak baik mau

meningkah kok malah beramtem terus, selama 3(tiga ) hari ini saya

berpuasa untuk ngeresiki jiwo(bersihin jiwa) itupun juga manut(nurut)

orang tua, dan saya tidak melakukan luluran atau perawatan atau yang

lainnya, hanya diam saja dirumah aja itu udah cukup”

Calon mempelai pria.

Sumanto : “saya manut (nurut) orang tua aja, tradisi pingitan juga

tidak merugikan atau meropotkan, yang penting nurut orang tua aja

karena orang tau yang lebih tahu mana yang baik untuk anaknya.

Melihat dari hasil wawancara kedua calon pengantin kelihatan

bahwa keduanya tidak keberatan dalam melaksanakan tradisi pingit

pengantin dan mereka tidak begitu mengetahui makna dari tradisi tersebut.

Mereka melakukan tradisi itu atas dasar perintah orang tua. Dan yang

mereka tahu dari tradisi ini adalah warisan leluhur yang turun temurun

pada anak cucunya, bahkan mereka tidak tahu bagaimana Islam

53

memandang tradisi ini, yang mereka tahu kalau tradisi ini adalah kegiatan

adat yang harus dilakukan menurut perintah orang tuanya.

Sebelum hari akad nikah dilaksanakan. Kegiatan tradisi pingitan

pengantin yang dilakukan oleh Roimah tidak neko-neko (aneh-aneh) hanya

berias diri dan berkumpul dengan sanak keluarga yang datang untung

menghadiri pernikahannya. Hanya saja calon pengantin tidak boleh untuk

bertemu dulu dengan calon pengantin pria.

Dua (2) hari sebelum hari akad nikah dilaksankan warga Desa

Klalingan sudah berdatangan dirumah calon pengantin untuk membantu

mempersiapkan pernikahan, khusus ibu-ibu diberi amanah atau dipasrahi

untuk memasak didapur biasanya membuat jenang, jadah, wajik dan

sebagainya. Dan untuk bapak-bapak 1 (satu) hari sebelum hari akad nikah

dilaksanakan sambatan (bantu-bantu) usung –usung (mengakat barangdari

tempat satu untuk dipindahkan ketempat lain) ambil peralatan seperti

meja,kursi, gelas, piring, nampan, teko dan lain-lain.

Setelah prosesi pemotretan pengantin ini masa pingitan yang

dilakukan oleh kedua mempelai yaitu Roimah dan Sumanto sudah selesai,

karena sudah melakukan Ijab Qobul. Kemudian kedua mempelai

melanjutkan acara dengan sebutan krumpul, yaitu bertemunya dua

mempelai pengantin dalam rangkaian adat yang harus dilakukakan seperti

ngidah endok (pengijakan telor oleh pengantin pria yang dilakukan pada

waktu prosesi pernikahan, dengan maksud mempelai pria siap memberikan

keturunan), sungkeman (kedua mempelai meminta restu pada kedua orang

54

tua), balang janur ( lempar-lemparan janur yang sudah dikiat kecil yang

dilakukan oleh kedua mempelai dengan tujuan memperkenalkan diri dalam

satu ikatan suami istri )dan lain-lain.

3. Landasan Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten

Boyolali Melakukan Pingitan.

Kepercayaan atas tradisi yang diwarisklan nenek moyang desa

Klalingan sangat melekat pada jiwa masyarakat desa Klalingan, khususnya

pada tradisi pingitan pengantin. Tradisi ini masih dilestarikan oleh

masyarakat desa Klalingan, walaupun ritual dalam pelaksanaannya tidak

sepadat yang dulu lagi. Tradisi pingitan di desa Klalingan untuk sekarang

hanya dilakukan tujuh hari sebelum akad nikah dilaksanakan, dan prosesi

pingitan seperti perawatan tubuh dan puasa hanya dilakukan sehari

sebelum hari akad nikah dilaksanakan tentunya dengan panduan dukun

nikah (orang yang dipercayai dalam mengatur ritual nikah).

Landasan yang membuat masyarakat desa Klalingan tetap untuk

melaksanakn tradisi pingitan tersebut karena mereka sangat menghargai

budaya leluhur, dan mereka mempunyai keyakinan apabila mereka tidak

melakukan tradisi pingitan maka akan mendapatkan musibah, misalnya

batalnya pernikahan atau musibah lainnya yang lebih buruk.

masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu dilakukan

untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara bahaya

yang mungkin mengancamnya di luar sana. Pilihan masyarakat yang lebih

melestarikan budaya dengan melaksanakan tradisi pingitan karena mereka

55

yakin kalau dalam suatu pernikahan dari kedua belah pihak melaksanakan

prosesi tradisi pernikahan khususnya tradisi pingitan yang umumnya ada

pada adat jawa, maka pernikahan akan berjalan dengan sakral dan

mendapatkan restu dari leluhur. Mereka juga meyakini bahwa tradisi ini

banyak manfaatnya.

C. Pendapat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten

Boyolali Tentang Tradisi Pingit Pengantin.

Tabel 3.5 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Klalingan, Klego,

Boyolali

NO

Nama

L/P

Umur

RT/RW

Hasil Wawancara

1. Darmawan L 45 24/05 Pingitan itu Tradisi calon

pengantin yang tidak boleh

bertemu sebelum ijab

qobul,

Tradisi turun temurun yang

harus dilakukan.

2. Supriyanto L 50 24/05 Pingitan adalah tidak

diberbolehkan calon

pengantin ketemu sampai

hari ijab qobulnya. Tradisi

turun temurun dari nenek

moyang, tidak dipaksakan

56

untuk melaksanakan atau

tidak melaksanakan tradisi

pingitan tersebut.

3. Lasimin L 40 24/05 Tradisi calon Pengantin

yang tidak boleh ketemu

sebelum kumprol (acara

resepsi), boleh dilakukan.

4. Jamilatun P 40 24/05 Calon pengantin wanita dan

pria tidak diperboleh

ketemu seebelum hari H

resepsi, tradisi dari nenek

moyang yang lebih baik

dilakukan.

5. Samiyem P 50 24/05 Pingit Pengantin adalah

pengantin wanita dan pria

tidak boleh ketemu 3 hari

sebelum hari ijab qobul,

tradisi ini dari nenek

moyang, kalau disini

tergantung kepercayaan

orang tuanya harus

melakukan pingitan atau

tidak. Kalau menurut ibu

57

Samiyem sendiri tradisi

pingitan harus dilakukan.

6. Satinem P 50 23/05 Menurut ibu Satinem Pingit

pengantin tradisi yang

dilakukan calon pengantin

untuk tidak bertemu tiga (3)

hari sebelu hari pernikahan,

menurut ibu Satinem tradisi

ini tidak harus dilakukan

menurut selera sendiri-

sendiri atau kenyakinan

keluarga, mempelai yakini

gimana. Tetapi ada baiknya

kalau pingitan tradisi

pingitan penmgantin ini

laksnakan.

7. Sri Suhar P 45 23/05 Menurut Sri Suhar tradisi

pingitan pengantin tradisi

berdiam dirumah dan tidak

saling ketemu antara kedua

mempelai sampai batas

waktu yang ditentukan

yaitu hari pernikahan.

58

Beliau beranggapan bahwa

tradisi ini masuk dalm

rangkaian pernikahan jadi

lebih baik dilakukan, yang

diturunkan dari leluhur.

8. Wagiman L 57 22/05 Menurut Wagiman tradisi

pingit pengantin adalah

tradisi yang berasal dari

nenek moyang, yaitu antara

kedua mempelai tidak boleh

ketemu 3 hari sebelum hari

akad nikah dilaksankan,

tidak ada keharusan untuk

melakukan tradisi ini akan

tetapi lebih baik dilakukan

untuk melestarikan tradisi

adat kampung.

Dari hasil observasi dan wawancara pada sebagaian warga Desa Klalingan

yang penulis lakukan. Bisa dilihat masyarakat tidak begitu mengharuskan untuk

melaksanakan tradisi pingitan pengantin tersebut, akan tetapi sebagian besar dari

masyarakat tersebut menganjurkan untuk melakukan tradisi pingitan pengantin

tersebut dengan alasan untuk melestarikan budaya leluhur dan melengkapi prosesi

59

pernikahan agar lebih sakral. Karena diakui pingitan ini banyak manfaatnya bagi

kedua calon pengantin antanya sebagai berikut :

Ini beberapa alasan kenapa tradisi itu dilakukan :

1. Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari

pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.

2. Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di persiapkan

bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah mental.

3. Menghindari godaan syetan pastinya, banyak di luar sana yang menganggap

hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam agama islam sudah

jelas itu di haramkan.

4. Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit banyak dan sangat

menyita waktu dan pertengkaran di masa ini kita calon pasangan dituntut

untuk menyatukan dua pemikiran dari pribadi yang berbeda.

5. Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu banyak

perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak menemukan titik

temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Dalam kenyataan bermasyarakat di Desa Klalingan juga ada yang tidak

melaksanakan pernikahan tanpa ada pingitan, namun itu hanya sebagian kecil

saja. Namun sebagian besar masyarakat Desa Klalinagan lebih memilih

menggunakan pingitan pingantin dalam rangkaian prosesi pernikahan dari mereka

mempertimbangkan manfaat dan madhorot dalam melakukan atau tidak

melakukan pingitan pengantin mereka mempercayai lebih baik melaksanakan

tradisi pingitan pengantin. Seperti dalam kasus pernikahan pasangan Wulan dari

60

warga Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali Rt 05 RW 24

sebagai calon pengantin wanita dan handoko warga desa Blumbang, Kecamatan

Klego, Kabupaten Boyolali sebagai calon pengantin laki-laki, pernikahan mereka

yang kurang 10 hari dari hari akad nikah dilaksankan ahkirnya batal untuk

dilakukan karena adanya cecok atau perbedaan pendapat pada keduanya, hal itu

membuat warga sekitar berpendapat pernikahan yang batal tersebut akibat tidak

dilakukan pingitan pada calon pengantin sehingga mereka sering beda pendapat

serta kemauan yang berbeda dan berahkir pada putusnya acara pernikahan.

Untuk jangka waktu pingitan masyarakat Desa Klalingan bervariasi ada

yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, sebagaimana yang dikatakan bapak Waryanti salah

satu tokoh masyarakat Desa Klalingan sebagai berikut :

“Masyarakat Desa Klalingan dalam melaksanakan tradisi pingitan

pengantin dalam jangka waktu pingitannya berbeda-beda, tergantung dengan

keyakinan sendiri-sendiri, ada yang mealakuan 10 hari ,7 hari bahkan lebih

sedikit yaitu 3 hari dan untuk mengisi hari-hari pingitan ada yang melakukan

luluran dan menghias diri bagi calon pengantin wanita, namun juga ada yang

tidak melakukan apa-apa hanya berdiam diri dirumah saja, dan biasanya selain

kegiatan tersebut calon pengantin juga harus berpuasa dengan tujuan ngeresiki

awak(bersihin jiwa)”

Jadi menurut bapak Waryanti jangka waktu atau jarak pingitan dengan hari

akad nikah resepsi tidak di tentukan, itu semua tergantung selera dan keyakinan

keluarga calon pengantin saja

D. Pendapat Ulama‟ Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali

Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.

61

Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Klalingan

No Nama RT/RW Tanggapan

1. Jamhari 24/05 Tradisi pingitan pengantin adalah

tradisi yang biasanya dilakukan

oleh calon pengantin, dalam

tradisi kedua pengantin tidak

diperbolehan untuk ketemu

sampai hari Ijab qobul, jangka

waktu pingitan di Desa Klalingan

ini umumnya 3 hari saja. Kegiatan

selama 3 hari ini calon pengantin

hanya mengisi dengan berpuasa

saja. Hukum dalam Islam menurut

beliau boleh, karena tidak

bertentangan dengan syari‟at

Islam.

Menurut beliau wanita dalam

pingitan menunjukkan kemulian

dan kesucian dan pingitan

termasuk tradisi yang bagus

karena banyak manfaatnya. Hanya

saja mayoritas desa Klalingan

62

tidak melihat dari segi agamanya

mereka melakukan tradisi tersebut

semata-mata karena warisan

leluhur yang mereka percayai dan

mereka percaya akan

mendapatkan musibah apabila

tradisi pingit pengantin tidak

dilaksanakan, Musibah yang

dimaksud seperti batalnya

pernikahan. Pemikiran seperti itu

yang dibetulkan , karena pendapat

seperti itu cenderung bisa

menyebabkan seseorang menjadi

syirik.

2. Tasrun 22/05 Tradisi pingitan adalah masa –

masa mempersiapkan diri untuk

menghadapi pernikan, jadi

dimasa-masa tersebut calon

pengantin tidak diperbolehan

untuk bertemu, dengan tujuan

agar tidak ada perbedaan pendapat

antara kedua mempelai yang

63

mengakibatkan percecokan yang

berujung dengan hal-hal yang

tidak baik, misalnya sampai

pembatalan pernikahan, untuk itu

dilaksanakan tradisi pingitan

tersebut. Jangka waktunya kalau

untuk kebiasaan masyarakat Desa

Klalingan 3 hari dan diisi dengan

berpuasa saja. Tradisi ini sudah

ada sejak dulu dari leluhur, karena

tradisi ini sudah membudaya

dalam masyarakat Desa

Klalingan, maka masih

dilestarikan, untuk hukum dalam

Islamnya menurut bapak Tasrun

boleh-boleh saja karena dalam

Islam tidak ada larangannya dan

tidak melanggar syari‟at Islam.

Karena mereka mempercayai atau

mempunyai keyakinan akan

datangnya musibah dari suatu

budaya yang mengandung mitos,

padahal sesungguhnya musibah

64

itu datang dari Allah SAW.

3. Parjo 23/05 Tradisi pingitan itu adalah tradisi

yang pada umumnya dilakukan

oleh calon pengantin, yang

dimaksud dengan pingit adalah

berdiam diri didalam rumah, jadi

calon pengantin harus berdiam

diri didalam rumah dan tidak

boleh bertemu, jangka waktunya

beragam ada 7,10 dan 3 hari.

Sedangkan masyarakat Desa

Klalingan pada umumnya

menggunakan 3 hari saja,

kemudia 3 hari itu di isi dengan

berpuasa. Tujuan pingitan ini

untuk membuat kangen antara

kedua calon pengantin dan

berpuasanya untuk membersihkan

diri agar lebih tenang sehingga

lebih siap dalam menjalankan

resepsi pernikahan dan prosesi

Ijab qobul.

65

Tradisi ini sudah ada sejak dulu

dari leluhur, dalam Islam menurut

bapak Parjo boleh-boleh saja

karena tidak melanggar syari‟at

Islam, bahkan pada rasullulah

para wanita juga dipingit, yaitu

berdiam diri didalam rumah dan

tidak boleh keluara tanpa ada

kaum laki-laki yang

mendampinginya, dan dianjurkan

untuk berpakain yang menutup,

agar terhindar dari mara bahaya.

Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada ulama‟

di Desa Klalingan, mereka berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin dalam

pandangan Islam boleh, bahkan dianjurkan, karena tradisi pingitan pengantin ini

banyak manfaatnya untuk kedua mempelai. Selain itu dalam syari‟at agama tidak

ada hadits atau dalil yang melarangnya. Pendapat ulama ini tidak membuat

masyarakat Desa Klalingan untuk tidak melakukan tradisi ini, karena itu

tergantung selera dan kepercayaan sendiri-sendiri.

Para ulama‟ Desa Klalingan berpendapat sebenarnya masyarakat menjalani

tradisi itu masih berpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh sesepuh mereka.

Seperti yang disampaikan bapak Turmuji Rt 24 ,Rw 05, bahwa masyarakat hanya

66

mengikuti apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka tanpa melihat dari sisi

hukum Islamnya, karena menurutnya adat yang sudah ada harus dilakukan, kalau

tidak dilakukan takutnya kuwalat (durhaka) dengan leluhur. Masyarakat jawa

khususnya masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu

dilakukan untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara

bahaya yang mungkin mengancamnya di luar sana. Para ulama‟ menyebut hal itu

sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang

belum tentu benar.

E. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti di Desa

Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.

Seperti apa yang Allah jelaskan dalam Al-Qur‟an pada surat Al-Ahzab (33)

“ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu

berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu

dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-

Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari

kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya ”.

Hukum pingitan dalam Islam adalah boleh (mubah), karena wanita

dalam pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian. Terdapat dalam

sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan.

Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan

67

bidadari surga dalam pingitan. Pingitan sendiri sangat dianjurkan islam dan

itu sudah ada dalam Al-Qur‟an.

Sedangkan Mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam

kondisi pingit, orang yang dipingit tidak boleh keluar rumah, dengan

alasannya karena mereka memiliki „darah manis‟ (atau darah manisan kata

orang Banjar). Katanya orang yang mau menikah itu rentan terhadap

marabahaya. Menurut kepercayaan jawa kuno banyak sarap, sawan, dan

sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan

berbagai halangan sehingga pada sebagian masyarakat, ketika calon

pengantin dipingit, juga dianjurkan minum “ jamu sawanan ” agar

terhindar dari berbagai halangan, kecemasan, dan aneka penyakit.

Kepercayaan seperti itulah yang harus diluruskan, karena musibah itu bisa

datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak mengenal usia, bisa pada

anak kecil, orang dewasa ataupun orang lansia, dan dalam Islam tidak

diperbolehkan, karena kepercayaan seperti itu masuk dalam katagori syirik.

Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung

dengan kepercayaan adat saja, yang pasti dalam Islam pingitan

diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari mara bahaya seperti

menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol

diri, bukan musibah yang disebut oleh orang jawa dengan sebutan sarap,

sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), mengenai kewatiran

masyarakat yang takut tertimpa musibah termasuk thiyarah yaitu meramal

bernasib sial karena melanggar sesuatu.

68

Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi

pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan

apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah

kepada Allah SAW, sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah

atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (

penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan.

Analisis

a. Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Klalingan, Kecamatan Klego

Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin.

a. Mayoritas masyarakat desa Klego mempercayai tradisi pingitan

pengantin selain membuat prosesi pernikahan menjadi sakral, tradisi

pingitan pengantin banyak manfaatnya antara lain sebagai berikut :

1) Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di

hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.

2) Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di

persiapkan bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting

adalah mental.

3) Menghindari godaan syetan pastinya,banyak diluar sana yang

menganggap hubungan badan antara tunangan itu wajar

padahal dalam agama islam sudah jelas itu di haramkan.

4) Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit

banyak dan sangat menyita waktu dan pertengkaran di masa ini

69

kita calon pasangan di tuntut untuk menyelarasakan dua

pemikiran dari pribadi yang berbeda.

5) Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena

terlalu banyak perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan

tersebut tidak menemukan titik temu yang membuat kedua

belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah.

b. Keyakinan yang sangat melekat tentang tradisi pingitan yang mereka

yakini membuat mayoritas desa Klego tetap menjalnkan tradisi

pingitan tersebut, seperti halnya kasus yang terjadi di desa Klego yang

mengakibatkan batalnya nikah yang mereka yakini gara-gara kedua

mempelai tidak melaksanakan pingitan, hal ini bisa dilihat bahwa

kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan kepercayaan

yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Sebenarnya

yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang

terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme

dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah

Jawa.

c. Mayoritas masyarakat Jawa pada umumnya dan warga desa Klego

pada khususnya melestarikan budaya pingitan pengantin hanya

bersumber dari keyakinan nenek moyang yang diwariskan secara

turun-temurun tanpa mereka mengkaji atau mencari hukum dalam

Islam, apakah bertentangan atau tidak? yang mereka lakukan hanya

melestarikan budaya dari nenek moyang saja.

70

b. Faktor Penghambat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego

Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan.

a. Anggapan sebagian masyarakat tentang budaya pinggitan adalah

budaya kuno, budaya orang tua zaman dahulu, yang sudah tidak

patut dipraktikan pada kehidupan jaman sekarang (modern).

b. Anggapan sebagian remaja yang tidak ingin repot dengan segala

ritual pernikahan termasuk tradisi pingitan.

c. Pendapat ulama desa Klalingan yang menilai tradisi pingitan yang

dilaksanakan di desa Klalingan dan keyakinan masyarakat tentang

tradisi pingitan yang cenderung masuk dalam pemikiran yang

berbau mistik ( hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal

manusia) yang tidak dibolehkan oleh tokoh agama masyarakat

Klalingan.

Faktor-faktor penghambat di atas tetap tidak menjadi pengaruh

besar dalam perubahan keyakinan masyarakat dalam pelaksanaan tradisi

pingitan, karena di desa Klalingan masih banyak dukun manten yang

dianut untuk pelaksanaan pernikahan.

c. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin

Telah dijelaskan pada pemaparan sebelumnya bahwa adat adalah

suatu aturan sosial yang sudah ada sejak zaman nenek moyang atau sesuatu

yang dikerjakan dan diucapkan secara berulang-ulang sehingga dianggap

baik dan diterima oleh akal sehat.

71

Kajian adat dalam Islam yaitu, urf Dalam hal ini para ahli Ushul

Fiqh mendefinisikan bahwa adat dan urf itu sama. Hanya saja, ada sedikit

perbedaan diantaranya yaitu u‟rf sebagai tindakan atau ucapan yang

dikenal dan dianggap baik serta diterima oleh akal sehat. Setelah melihat

uraian tersebut bisa dikatakan, sederhananya bahwa adat adalah bahasa

Indonesianya u‟rf . Adat atau u‟rf yang telah diterima dan ditetapkan oleh

masyarakat secara umum bisa dikatakan sebagai suatu hukum yang wajib

di lakukan dan dalam Islampun tidak bertentangan serta diharapkan dengan

adanya ini, akan mendukung pembentukan hukum yang baru.

Tradisi pingit pengantin jika dilihat dari kacamata u‟rf, tradisi ini

masuk dalam kategori u‟rf shahih (baik/benar) yaitu 'urf yang saling

diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang

haram dan tidak membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena

tidak bertentangan dengan syara', 'urf . Tradisi pingit pengantin bisa

dikatakan u‟rf shahih karena dalam tradisi pingitan digunakan untuk

menjaga calon pengantin dan untuk persiapan diri bagi calon pengantin

menuju hari pernikahannya. Dan selama itu tidak membawa mudharat

kepada mereka. Tradsi pingit pengantin dilihat dari tujuannya ini masuk

dalam kategori u‟rf shahih karena tidak menyalahi syari‟at Islam. Seperti

yang terdapat pada Surat Al-Ahzab ayat 33 dijelaskan bahwa wanita dalam

pingitan menunjukan kemulian dan kesucian. Dalam pingitan calon

pengantin juga dianjurkan untuk berpuasa dengan tujuan mendekatkan diri

72

kepada Allah SAW, dengan begitu kedua mempelai berharap dalam

do‟anya agar dilancarkan pernikahannya.

Kepercayaan masyarakat Klalingan tentang musibah yang

didapatnya karena tidak melakukan tradisi pingitan dan mendapatkan

sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) tersebut

masuk dalam katagori 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak

baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy

(syara‟). Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau

suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena

berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi

pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan

apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah

kepada Allah SAW , sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah

atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (

penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan dan masuk

dalam katagori u‟rf yang fasid, karena bertentangan dengan syara‟, sebab

tujuan puasanya untuk menghindari musibah seperti sarap, sawan dan

sambekala, yang jelas kepercayaan tersebut tidak ada dalam Islam.

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tradisi pingitan adalah Pingitan adalah proses mempersiapkan diri

mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga.

Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak

kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar

bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu dengan

daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang berbeda. Tradisi

pingitan ini bertujuan ; Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang

menggebu saat di hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih

romantic, memberikan waktu untuk merenung, menghindari godaan

syetan, menghindari percekcokan, dan menghindari kegagalan dalam

rencana pernikahan.

2. Pendapat ulama‟ dan masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego

Kabupaten Boyolali tentang Tradisi Pingitan Pengantin.

Para ulama‟ desa Klalingan berpendapat bahwa tradisi pingitan

pengantin dalam pernikahan itu boleh dilakukan bahkan menurut mereka

wanita dalam pingitan menunjukkan kemulian dan kesucian dan pingitan

termasuk tradisi yang bagus karena banyak manfaatnya. Islam tidak ada

larangannya dan tidak melanggar syari‟at Islam kalau tradisi pingitan ini

dilakukan dengan tujuan memuliakan wanita.

74

Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali

percaya bahwa apabila tradisi pingitan pengantin itu tidak dilakukan maka

akan dapat musibah yang mereka sebut dengan sebutan sarap, sawan dan

sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), dan bisa cenderung ada banyak

masalah diantara kedua belah pihak seperti hal nya perbedaan pendapat

yang menyebabkan batalnya pernikahan.

3. Pandangan Hukum Islam tentang tradisi Pingitan Pengantin di Desa

Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.

Menurut hukum islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan

menjaga wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu

kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, sedangkan pemikiran

masyarakat mengenai musibah yang disebut oleh orang jawa dengan

sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan),

dalam hukum Islam tidak diperbolehkan, karena termasuk thiyarah yaitu

meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu dan keyakinan seperti itu

melenceng dari hukum syar‟i, karena sesungguhnya musibah itu datangnya

dari Allah SAW saja.

Saran

1. Menurut penulis, sebaiknya masyarakat harus bisa menerapkan tujuan

Islam dalam budaya Jawa khususnya dalam tradisi pingitan pengantin

agar mereka tidak salah dalam menilai dan meyakini tradisi tersebut dan

tetap melakukan tradisi tersebut sesuai dengan ajaran syari‟at Islam.

75

2. Bagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat hendaknya lebih giat

lagi dalam memberikan pengetahuan agama terhadap masyarakat yang

masih mempercayai adanya mitos-mitos warisan leluhur, sehingga bisa

menjalankan tradisi warisan leluhur dan tidak terjerumus dalam mistik

yang cenderung sampai tahapan syirik.

3. Para generasi muda yang saat ini bisa mengakses pengetahuan dengan

mudah terbukti dengan banyakanya kualitas pendidikan pada tiap

wilayah, dan banyaknya teknologi canggih yang bisa memberi wawasan

pada aplikasinya yang khususnya pada aplikasi google, sebaiknya

kemudahan itu dimanfaatkan untuk mencari informasi dan meluruskan

pemahaman masyarakat awam tentang budaya khususnya agar

masyarakat tidak salah pengertian dalam pelaksanakan dan tujuan budaya

Jawa khususnya pada tradisi Pingitan penganti.

Budaya di pulau Jawa ini sangat beragam, khususnya pada tradisi

pernikahan di pulau Jawa khususnya pulau Jawa Tengah banyak prosesi

pernikahan yang harus dijalani calon pengantin, seperti halnya tradisi

pingitan pengantin, kepercayaan yang melekat pada masyarakat Jawa pada

umumnya cenderung kearah mistik yang tentunya dalam Islam keyakinan

seperti itu tidak dibolehkan, untuk itu sebaiknya keyakinan yang yang

condong pada harus diluruskan dengan memperbanyak pengetahuan Islam,

agar kita tidak salah kaprah dalam menilai budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia.1990, Undang-Undang Perkawinan Di

Indonesia, Surabaya: Arkola.

Ali, Zainudin. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika

Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta : Bina Aksara.

Dahlan, Moh.2009. Epistemologi Hukum Islam. Pustaka Pelajar Offset :

Yogyakarta.

Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Difa

Publiser.

Hilman, Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan

Upacara Adatnya, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti

Idem. 1978/1398. Ilmu Ushul al-Fiqih. (Cet, 12: tt: Al-Nash wa Tauzik,)

Idris, Abdul fatah dan Ahmadi, Abu. 1994. Fiqh Islam Lengkap. PT Rineka Cipta:

Jakarta.

Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah

Khalil, Hasan rasyad.2009. TARIKH TASYRI‟ (Sejarah Legislasi Hukum

Islam).Sinar Grafika Offset : Jakarta

Khallaf, Abdul Wahab.2005. Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.

M. Amirin, tantang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Rajawali Pers.

Meleong, laxy J.,2003. Metode penelitian kualitatif, Bandung : remaja rosdakarya.

Mudjib, Abdul (1999) Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (Cet, 3; Jakarta: Kalam Mulia

Mukhtar, Erna Widodo, 2007. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,

Yogyakarta: Avyrous

Mustofa dan Wahid, Abdul. 2008. Hukum Islam Kontemporer. Sinar Grafika :

Malang

Sholikhin Muhammad, 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta :

NARASI

Sabiq, Sayyid.1978. Fikih Sunnah 3. Bandung : PT Alma‟arif.

Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Fikih

Nikah Lengkap. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad.

Winarno, Surachmad.1990. Pengantar Peneliti Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi

VII, Bandung: CV Tarsito

__________________.1985. Peneliti Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Bandung :

Tarsito Bandung

http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04

http://irchamstechno1993.blogspot.com/2012/07/pingitan-pengantin-di-desa-

maduran.html

http://pernikahanadat.blogspot.com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html

http://infopengantin.blogspot.com/2010/03/rangkaian-upacara-adatpengantin-

jawa.html

http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi.(diakses pada 22 juni 2008),4

Pengantin saat melakukan pemotretan setelah akad nikah berlangsung

Para warga atau tetangga yang datang untuk membatu memasak guna

mempersiapkan hajat besar pengantin (resepsi)

Calon Pengantin wanita dalam masa pingitan yang berhias diri dan betrdiam diri

dirumah

Rombongan pengantin pria yang datang untuk memberikan seserahan berupa satu

set perabotan rumah.

Acara ngidak endok (tigan) yang dilakukan oleh pengantin pria

Acara wijihan yang dilakukan oleh kedua mempelai

Acara cium tangan setelah prosesi wijikan dan sungkeman dilakukan