Trace Ability

102
ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU ACHMAD RIZAL C34063302 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

description

traceability system

Transcript of Trace Ability

Page 1: Trace Ability

ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI

UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY

PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU

ACHMAD RIZAL

C34063302

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: Trace Ability

RINGKASAN

ACHMAD RIZAL. C34063302. Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk

Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk

Tuna Loin Beku. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG

RIYANTO.

Dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan saat

ini, memungkinkan dilakukannya transportasi bahan pangan dalam jumlah yang

sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan penyebaran penyakit

karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Penolakan negara-

negara importir terkait tingginya kadar histamin pada tuna, merupakan contoh

kasus besar dalam perdagangan perikanan dunia saat ini. Konsep traceability telah

disarankan sebagai salah satu sistem manajemen risiko dalam menjamin mutu dan

keamanan pangan global dengan fokus utama dalam memudahkan pelacakan

produk. Akan tetapi, dalam implementasinya belum terdapat metodologi spesifik

yang dapat diacu oleh seluruh organisasi pangan, sehingga kajian mengenai sistem

informasi untuk mendukung penerapan dokumentasi dalam program traceability

pada industri perikanan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tujuan dari

penelitian ini adalah membuat kerangka sistem informasi berbasis data elektronik

untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability pada suatu

industri pengolahan selama tahapan pendistribusian ikan tuna loin beku.

Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan utama. Langkah

pertama adalah mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan

distribusi penanganan tuna. Langkah kedua berupa analisis praktek implementasi

sistem traceability dan asesmen traceability pada jaringan distribusi penanganan

tuna. Adapun langkah ketiga yaitu analisis dan desain sistem informasi

traceability perusahaan (PT X) yang meliputi identifikasi kebutuhan sistem,

pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk

pertukaran informasi antar aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan

terakhir adalah disain basis data.

Aktor-aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna antara lain kapal

penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer dimana dari masing-masing aktor

yang terlibat, penting untuk diterapkannya sistem rekaman sebagai alat

pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi. Hasil analisis dan

desain sistem informasi traceability menunjukkan bahwa dari masing-masing

aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku, memiliki hubungan yang

saling terkait dalam penyediaan informasi traceability. Sebuah model untuk

implementasi sistem traceability secara internal juga dikembangkan untuk unit

pengolah ikan, sedangkan dalam pemodelan pertukaran informasi terlihat bahwa

tidak semua informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya

dalam rantai distribusi. Sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi

internal aktor. Terakhir desain basis data yang dilakukan baru mencakup desain

basis data untuk produk akhir yang terdiri dari 6 entitas utama yang saling

berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah kapal penangkapan tuna,

supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan pelanggan.

Page 3: Trace Ability

ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI

UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY

PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU

ACHMAD RIZAL

C34063302

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 4: Trace Ability

30

Judul : Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan

Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk

Tuna Loin Beku

Nama : Achmad Rizal

NRP : C34063302

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc)

NIP. 19610128 198601 2 001

Pembimbing II,

(Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si)

NIP. 19690631 199802 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil)

NIP. 195805111985031002

Tanggal Lulus:……………………

Page 5: Trace Ability

30

PERYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis dan

Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program

Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku” adalah karya

saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Achmad Rizal

C34063302

Page 6: Trace Ability

30

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Ibu Ir. Wini Trilaksani S.Pi, M.Si dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si.

selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan masukan

dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan

pengarahannya untuk perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi

Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Bapak Firman Ardiansyah yang sangat membantu penulis dalam

pengumpulan ide, penyusunan dan perbaikan untuk penyempurnaan

penulisan skripsi ini.

5. Bapak Hendra Sugandhi sebagai direktur utama PT X atas izin penelitian

yang diberikan serta Bapak Nur Hadipitoyo sebagai Manajer Umum PT X

atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya.

6. Mama, Papa, Kak Agus, Hendra dan seluruh keluarga untuk dukungan yang

diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada

penulis tanpa batas.

7. Teman–teman THP 43 (Lovely Generation-LG 43), kakak dan adik kelas atas

semangat kebersamaannya.

8. Pajar and the genk (Bapak dan Ibu Kos (pak Sondhy dan Bu Yana), Boby,

Wahyu, Puguh,Anjar, Ozzy, Alvin, Qori, Kiki, Samsul, Faruk, Irvan) yang

selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. My ”i26r” member (Aisha Putri Hapsari), terima kasih untuk semua spirit dan

dorongan yang tiada hentinya kepada penulis selama berada di THP.

Page 7: Trace Ability

31

10. Teman-teman satu bimbingan: Wahyu, Ibnu, Ozi, Patmawati especially

teman-teman seperjuangan di Muara Baru: Anggi dan Minal atas

kebersamaan, dukungan dan semangat yang diberikan.

11. Mas Yayan, Mbak Nana, Mbak Uppy, Mbak Khom, Pak Eko, Mas Danuri,

Mas Wisman, Pipit dan seluruh karyawan PT X atas perhatian, canda tawa,

bantuan dan kerjasamanya.

12. IMulai Team - IndoTrace (Agus ‟Alay‟, Hendra ‟Jeki‟, Wiwik dan Anes) atas

kebersamaannya dan motivasi yang sangat membantu penyelesaian skripsi

ini.

13. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat

penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat

dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang

memerlukan.

Bogor, Mei 2011

Penulis

Page 8: Trace Ability

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ampenan pada tanggal 07 Maret

1988 dari ayah bernama Jamaludin dan ibu bernama

Nurhayati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK

Yappi Raudhatul Jannah (tahun 1993-1994) dan SD Negeri 9

Ampenan (tahun 1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Mataram

(tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 5

Mataram (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian

Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007

penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan

diantaranya paduan suara FPIK (Endeavour) suara Tenor periode 2007-2008,

sebagai Ketua Fisheries Processing Club (FPC) dua periode 2007-2008 dan

periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan

seperti staff Penanggung Jawab Keluarga MPKMB 2007, Ketua Bina Desa

Fisheries Processing Club (FPC) 2008 dan Ketua SANITASI 2009. Penulis juga

selalu mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000:2005 on Fish

and Fisheries Industries, pelatihan keamanan pangan dan lain sebagainya. Penulis

juga memiliki keahlian menyelam jenjang One Star Scuba Diver bersertifikasi

internasional.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis

dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program

Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku”.

Page 9: Trace Ability

33

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi

1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Tujuan .................................................................................................. 5

2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6

2.1 Tuna .................................................................................................. 6

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) .................... 6

2.1.2 Tuna loin ................................................................................... 8

2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan ............................................. 11

2.2 Traceability ........................................................................................... 13

2.3 Sistem Informasi ................................................................................... 18

3 METODE PENELITIAN............................................................................ 20

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 20

3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................... 20

3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi

jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan

dengan PT X .......................................................................... 20

3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem

traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang

berkaitan dengan PT X ............................................................. 21

3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability ...... 21

3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability .... 22

3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi

untuk mendukung penerapan traceability pada rantai

distribusi tuna loin beku ........................................................... 23

3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ...................................... 24

3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal ................. 25

3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability ..................... 27

3.2.3.4 Desain basis data ......................................................... 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 30

4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna .................................................................. 30

4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability ............................. 31

4.2.1 Analisis prosedur perekaman .................................................... 31

Page 10: Trace Ability

34

4.2.2 Analisis manajemen perekaman ............................................... 36

4.2.3 Analisis sistem pengkodean ...................................................... 38

4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai

Distribusi Tuna ..................................................................................... 41

4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ................................................... 41

4.3.2 Traceability internal ................................................................. 45

4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai

distribusi tuna ........................................................................... 52

4.3.4 Desain basis data ...................................................................... 59

4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem

informasi Traceability .............................................................. 63

5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 65

5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 65

5.2 Saran .................................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66

GLOSSARY ......................................................................................................... 71

LAMPIRAN ......................................................................................................... 74

viii

Page 11: Trace Ability

35

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging ............................. 8

2 Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar

Nasional Indonesia (SNI 01-4104.1-2006) ................................................... 11

3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit ..... 32

4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan ....... 33

5 Entitas utama yang terdapat dalam basis data ............................................... 60

Page 12: Trace Ability

36

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Ikan tuna (Thunnus sp) ............................................................................... 7

2 Skema traceability decision tree ................................................................ 17

3 Model dasar sistem informasi .................................................................... 19

4 Skema traceability decision tree ................................................................ 23

5 Tahapan perancangan sistem informasi ..................................................... 24

6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya ........................................ 25

7 Model umum IDEFO ................................................................................. 26

8 Penguraian model IDEFO (pengembangan sistem traceability internal

tuna)............................................................................................................ 27

9 Tipe interaksi pada sequence diagram ....................................................... 28

10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian ....................... 28

11 Tahapan perancangan basis data ................................................................ 29

12 Rantai distribusi ikan tuna .......................................................................... 30

13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir ..................... 39

14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton .............. 40

15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna

beku ............................................................................................................ 42

16 Teknik IDEFO untuk pengembangan traceability internal pada Unit

Pengolahan Ikan (UPI) ............................................................................... 47

17 Teknik IDEFO untuk pengembangan dan penerapan sistem

traceability pada UPI ................................................................................ 51

18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability ............................... 52

19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi

tuna ............................................................................................................. 55

20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi

tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta .................... 58

21 Entity relationship diagram dari basis data traceability ............................ 62

22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability ................... 63

23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi .................................. 64

51

Page 13: Trace Ability

37

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan

pancing ulur ................................................................................................ 74

2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data

verifikasi) ................................................................................................... 75

3 Record of harvest vessel ............................................................................. 77

4 Record of raw material receiving .............................................................. 78

5 Record of daily temperature....................................................................... 79

6 Chilling temperature report ....................................................................... 80

7 Report of inspection product after trimming before freezing .................... 81

8 Freezing monitoring report ........................................................................ 82

9 Daily report of packing and labelling ........................................................ 83

10 Cold storage temperature report ............................................................... 84

11 Report of stuffing ........................................................................................ 85

12 Hasil asesmen sistem traceability .............................................................. 86

Page 14: Trace Ability

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia (new

global food safety), saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan

teknis dalam perdagangan bebas (technical barrier to trade -TBT) (Wallace et al.

2011). Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and

phytosanytary (SPS), telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan,

keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi

pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan

dunia (global food trading) juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya

hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya (Caswell

2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011). Perubahan ini

memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke

bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena

mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease).

Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya

keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan

masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini.

Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data,

bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus

diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang

batas 10 mg/100 gram daging atau 100 ppm (EC 2007). Food and Drugs

Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13

kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna

selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA

2009). Selanjutnya Emborg et al. (2005) menyampaikan bahwa histamin saat ini

merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 % semua kasus

keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini.

Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan

mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak (spoiled) atau terkontaminasi

bakteri. Umumnya kadar histamin telah melebihi ≥50 mg/100 g (Lehane dan

Page 15: Trace Ability

2

Olley 2000). Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin

bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC

(Keer et al. 2002). Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae,

umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan

Olley (2000) menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 g/kg

pada ikan herring sampai 15 g/kg pada tuna.

Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi

histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. (2009) tentang

kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis

bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum

25 oC dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20

oC, sedangkan

Lehane dan Olley (2000) menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat

menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10 oC adalah family

Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp.

dan Raoultella spp.

Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak (highly

perishable), ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang

cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik

(Keer et al. 2002). Kajian Guizaini et al. (2005) pada yellowfin tuna

menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0 oC selama 17 hari,

memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA (5 mg/100 g)

dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8 oC selama 4 hari dan 40

oC

selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara

baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di

atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses

produksi hilir (perdagangan retail) atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi.

Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang

disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian

informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang

ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut

traceability system (Raspor 2005). Kajian McMeekin (2006) menunjukkan bahwa

perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk

Page 16: Trace Ability

3

pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga

memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly

(2010) juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai

alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali

suatu produk yang diidentifikasi tidak aman.

Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa

timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni

Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa (EC No. 178,

artikel 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi

tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan

penarikan produk berbahaya (recall procedures) yang terdapat di pasaran.

ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di

dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal

harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk

tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward)

dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga

menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan

melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan

kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan

distribusi. Namun, Folinas et al. (2006) menyampaikan bahwa dalam

implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang

dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas

memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah

efisien untuk produk mereka.

Folinas et al. (2006) selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis,

efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan

mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk.

Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode

pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media

dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian

Senneset et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem

Page 17: Trace Ability

4

traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih

efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas.

Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003)

memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti

distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa

kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau

organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan

informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan

informasi, Larsen (2003) menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan

standar traceability, misalnya yang tercantum dalam tracefish

(http://www.tracefish.org). Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem

elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi (chain

traceability) yang ada. Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyampaikan bahwa

standar tracefish menggunakan basis bahasa XML (extensible markup language),

untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem

traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau

organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua

standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil

budidaya (farmed fish distribution chain) dan ikan hasil tangkapan (captured fish

distribution chain). Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang

dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia

menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran (traceability) bagi para pelaku

usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 Bab II pasal 3 huruf

C (KKP 2010). Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan

sistem traceability.

Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi

untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri

perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan

dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang

dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna

Indonesia di dunia.

Page 18: Trace Ability

5

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis dalam pembuatan

kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan

dokumentasi program traceability internal perusahaan pengolahan pada rantai

distribusi ikan tuna loin beku (tuna supply chain).

Page 19: Trace Ability

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuna

Ikan tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor produk

perikanan Indonesia. Dalam statistik perikanan Indonesia, istilah tuna digunakan

sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar

(Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, big eye, southern bluefin tuna, dan

albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlins, sailfish,

dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan

istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus

spp.), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol)

(Purnomo dan Suryawati 2007)

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.)

Klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Collete dan Nauen (1983)

adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Superclass : Gnathostomata

Class : Osteichthyes

Subclass : Actinopterygii

Infraclass : Teleostei

Superorder : Acanthopterygii

Order : Perciformes

Suborder : Scombroidei

Family : Scombridae

Subfamily : Thunnini

Genus : Thunnus (8 species)

Katsuwonus (1 species)

Euthynnus (3 species)

Auxis (2 species)

Ikan tuna termasuk famili Scombridae, tubuh ikan tuna berbentuk tegak,

memanjang dan fusiform (streamline) dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang

Page 20: Trace Ability

7

memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk

bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pektoral,

serta terletak menjorok kebelakang dari dasar sirip pektoral. Seluruh ikan

scombroids memiliki finlet dibelakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang

caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Sirip dorsal pertama dan sirip

anal pertama dapat melipat kedalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip

ventral menekan kedalam tubuh pada saat berenang dengan cepat. Ikan ini

memiliki empat lekuk/lengkung insang pada setiap sisinya dan filamen insangnya

mengeras sebagai “gill rays” (Collette dan Nauen 1983). Adapun bentuk tubuh

spesies ikan tuna disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus Sp). Sumber : http://www.dkp.go.id

Ikan tuna merupakan ikan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan

melakukan migrasi sepanjang hidupnya (Shomura et al. 1991) sehingga dapat

ditemukan di beberapa perairan, bahkan spesies tertentu dapat ditemukan hampir

di seluruh perairan dunia. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh

sistem metabolisme tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam

tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO 2010). Kemampuan

metabolisme tuna untuk mengatur jumlah panas didalam tubuhnya dilakukan

dengan Rete mirabile yang dapat memindahkan panas dari pembuluh darah

vena ke pembuluh darah arteri untuk mengurangi pendinginan permukaan tubuh

dan menjaga otot tetap hangat sehingga tuna mampu berenang lebih cepat dengan

energi yang lebih sedikit (Block & Stevens 2001).

Page 21: Trace Ability

8

Tuna terdapat di berbagai perairan, terutama yang mempunyai kadar

garam tinggi. Di Samudra Hindia penyebarannya meluas dari 30o LS ke utara dan

dari timur Australia hingga pantai Amerika. Di Samudra Atlantik meluas dari

pantai Amerika hingga benua Afrika dan di Nusantara selain di kedua lautan

tersebut terdapat di laut yang dalam diantaranya Laut Bali, Laut Flores, Laut

Sawu, dan Laut Arafuru serta Laut Banda (Simonangkir 1993).

Kajian mengenai komposisi kimia dan nilai gizi pada beberapa ikan tuna

telah banyak dilakukan. Komposisi kimia dan nilai gizi antara tuna bluefin,

yellowfin dan skipjack berdasarkan kajian Oehlenschlager dan Rehbein (2009)

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging

Komposisi Satuan Spesies Tuna

Bluefin Yellowfin skipjack

Kadar air gr 68 71 71

Protein gr 23 23 22

Total lemak gr 5 15 1

Abu gr 1,2 1,3 1,3

Energi kkal 144 168 103

Kalsium mg 8 16 29

Magnesium mg 50 50 4

Fosfor mg 254 191 222

Potasium mg 252 444 407

Sodium mg 39 37 37

Seng mg 0,6 0,52 0,82

Tembaga mg 0,09 0,06 0,09

Selenium µg 0,02 0,02 0,02

Iodin µg 36 36 36

20:5 (n-3) gr 0,283 0,037 0,071

22:6 (n-3) gr 0,890 0,181 0,185

Kolesterol mg 38 45 47 Sumber: Oehlenschlager dan Rehbein (2009)

2.1.2 Tuna loin

Tuna Loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku

tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan,

penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan

perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan,

pengepakan, pelabelan, dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional 2006).

Page 22: Trace Ability

9

Penanganan dan pengolahan ikan Tuna Loin berdasarkan ketentuan SNI 01-

4104.3-2006 meliputi:

1) Penerimaan

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,

untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-

hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C

(untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).

2) Penyiangan atau tanpa penyiangan

Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi

dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara

cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada

tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan

baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).

3) Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar).

Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir

secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk

maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan

baku tuna beku).

4) Pembuatan loin

Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat

bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat,

cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C

(untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).

5) Pengulitan dan perapihan

Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih.

Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan

tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar)

atau -18 0C (untuk bahan baku tuna beku).

6) Sortasi mutu

Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat

tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan

Page 23: Trace Ability

10

secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk

maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).

7) Pembungkusan

Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual

vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan

secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat

produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).

8) Pembekuan

Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku

(freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu

maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku

tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembeku, lalu

dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai –18 °C secara

tepat.

9) Penimbangan

Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah

dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta

tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.

10) Pengepakan

Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan

plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan

saniter.

11) Pengemasan

Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis,

pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya

kontaminasi dari luar terhadap produk.

12) Pelabelan dan pemberian kode

Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar

diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang

dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama

dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan

Page 24: Trace Ability

11

tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun

produksi; dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

13) Penyimpanan

Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan

suhu maksimal -25 oC dengan fluktuasi suhu ±2

oC. Penataan produk

dalam gudang beku diatur sedemikian supa sehingga memungkinkan

sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.

2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan

The International Organization for Standarization 9000:2000 (ISO

9000:2000) mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik

produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam

bidang perikanan mutu identik dengan kesegaran ikan. Kesegaran ikan berkaitan

dengan semua total karakteristik produk yang baru dipanen dengan ciri tidak

rusak, tidak menunjukkan tanda pembusukan, tetap memiliki sifat karakteristik

spesies hidup baik dalam bentuk utuh, fillet atau potongan (Bremner dan

Sakaguchi 2000). Bahan baku yang baik dan sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia (SNI 01-4104.2-2006) harus memiliki karakteristik kesegaran secara

organoleptik seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan

Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006)

Indikator Karakteristik

Rupa Bersih

Kenampakan Mata cerah, cemerlang

Bau Segar

Tekstur Elastis, padat dan kompak

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006)

Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya

diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lanjutan maka ikan harus

disimpan dengan penyimpanan dingin atau penampungan dengan suhu produk

maksimal 5 oC, saniter dan higienis (SNI 01-2729.3-2006).

Page 25: Trace Ability

12

Kemunduran mutu ikan didasarkan tiga mekanisme yaitu proses autolisis

oleh enzim, oksidasi, dan pertumbuhan mikroba (Ghaly et al. 2010). Perubahan

utama yang terjadi pada kemunduran mutu ikan adalah kerusakan dari protein dan

lemak (Mahmoud et al. 2006). Huss (1995) menyatakan bahwa pada penurunan

kualitas ikan selama penyimpanan, pembusukan periode penyimpanan awal

didominasi oleh proses autolisis dan digantikan oleh perubahan akibat aktivitas

bakteri pada periode selanjutnya. Menurut Haard (1992) pada daging ikan terdapat

beberapa enzim protease seperti katepsin, tripsin, kemotripsin, dan peptidase yang

bekerja pada otot selama postmortem. Perubahan pada daging ikan sebagai hasil

reaksi ini dapat menguntungkan kondisi untuk perkembangbiakan bakteri.

Setelah ikan mati, pasokan oksigen ke jaringan otot akan terganggu karena

darah tidak lagi dipompa oleh jantung dan tidak disirkulasikan melalui insang.

Karena tidak ada oksigen yang tersedia untuk respirasi normal, produksi energi

dari nutrisi sangat dibatasi. Glikogen (karbohidrat yang disimpan) atau lemak

akan teroksidasi oleh enzim pada jaringan dalam serangkaian reaksi yang

akhirnya menghasilkan karbon dioksida (CO2), air dan senyawa kaya energi

organik adenosin trifosfat (ATP). Jenis respirasi berlangsung dalam dua tahap:

secara anaerob dan aerob yang tergantung pada kandungan oksigen (O2) yang

tersedia dalam sistem peredaran darah (Huss 1995).

Autolisis pada prinsipnya adalah reaksi enzimatik, yang berlangsung di

jaringan ikan. Enzim dan reaksi kimia dalam otot ikan yang terkait tidak langsung

terhenti setelah kematian ikan. Kelanjutan aktivitas enzim memulai proses lainnya

seperti rigor mortis, yang merupakan dasar untuk pembusukan autolisis pada ikan

(Huss 1995). Tahap rigor mortis pada ikan ditandai dengan penurunan pH

dikarenakan pemecahan glikogen menjadi asam laktat (Green 2011).

Degradasi nukleotida pada daging ikan setelah mati telah diteliti selama

puluhan tahun dan dianggap sebagai salah satu indeks utama untuk menilai

kesegaran ikan. Setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous

yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP),

adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino

atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid

(U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,

Page 26: Trace Ability

13

IMP dominan terakumulasi dalam otot ikan. Reaksi ini diyakini sebagai proses

autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang

terdapat pada daging ikan sedangkan perubahan IMP menjadi Ino dan HX

dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri (Surette et al. 1988).

Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati

dan selama proses autolisis akan terbentuk histamin dari hasil dekarboksilasi

histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar

25 oC (Keer et al. 2002). Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan

sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba yang

terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi

(Keer et al. 2002). Kimata (1961) pada mulanya menduga bahwa pembentukan

histamin disebabkan karena proses autolisis, namun ternyata peranan proses

autolisis terhadap pembentukan histamin sangat kecil dan diabaikan jumlahnya,

jika dibandingkan jumlah histamin yang terbentuk karena proses dekarboksilasi

oleh bakteri.

Bakteri pembentuk histamin kebanyakan dari famili Enterobacteriaceae

yang jenisnya sangat banyak, namun yang paling berperan dalam dekarboksilasi

histidin adalah Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei.

Bakteri ini dapat ditemukan pada hampir semua jenis ikan, kemungkinan besar

hasil kontaminasi pasca panen. Bakteri penghasil histamin ini tumbuh baik pada

suhu 10 oC, tetapi dapat juga tumbuh pada 5

oC. Oleh karena itu, Food and Drug

Administration (FDA) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk pertumbuhan

histamin adalah 4,4 oC. Bakteri penghasil histamin ini memproduksi enzim

dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas pada daging ikan menjadi

histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari

lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000).

Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut

dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin (Rossi et al. 2002).

2.2 Traceability

Codex Alimentarius (CAC/GL 60-2006) menyatakan bahwa traceability

adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan dari makanan selama tahap

proses produksi dan distribusi. The International Organization for Standarization

Page 27: Trace Ability

14

9000:2000 (ISO 9000:2000) mendefinisikan traceability sebagai kemampuan

untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan,

dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah

proses produk, serta distribusi produk. General Food Law Regulation 178/2002

Uni Eropa pada artikel 3 nomor 15 mendefinisikan traceability sebagai

kemampuan menelusuri makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan

atau pakan, dalam setiap tahap proses produksi dan distribusi.

Masalah keamanan pangan pada masa perdagangan global saat ini telah

memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability (Senneset dan Foras 2007).

Berbagai regulasi tentang sistem jaminan keamanan pangan dan traceability telah

tersedia di berbagai negara. Uni Eropa General Food Law Regulation (EC 178,

klausul 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi ini

mencakup elemen penting seperti aturan traceability dan penarikan produk

berbahaya (Recall Procedures) yang terdapat di pasaran. Aturan ini menyatakan

bahwa traceability didefinisikan sebagai kemampuan untuk menelusuri produk,

pakan, bahan yang digunakan untuk konsumsi melalui semua tahapan produksi,

pengolahan dan distribusi produk (Official Journal of the European Communities

2002). Amerika sejak peristiwa 11 September telah pula mengeluarkan The US

Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act pada

tahun 2002. Regulasi ini memberikan kekuasaan bagi FDA (Food and Drugs

Administration) melakukan perlindungan terhadap keamanan pangan nasional

dengan melakukan berbagai langkah, salah satu diantaranya adalah pembuatan

dan pemeliharaan rekaman (record keeping) untuk kepentingan traceability

(Thakur dan Hurburgh 2009).

ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di

dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal

harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk

tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward)

dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga

menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan

melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan

Page 28: Trace Ability

15

kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan

distribusi.

Penerapan traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui

beberapa tahap, yakni analisis sistem, asesmen traceability, prosedur penarikan

produk, dan dokumentasi dan perekaman (Derrick dan Dillon 2004). Berikut

adalah penjelasan tiap-tiap tahapan:

A. Analisis sistem

Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan

sistem traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam

industri pengolahan ikan untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan dan

memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi.

Secara umum menganalisis sistem produksi yang diterapkan perusahaan sebagai

langkah kunci dalam penerapan sistem traceability. Analisis tersebut (Derrick dan

Dillon 2004) terdiri atas:

1) Membuat tim manajemen

Tindakan awal dalam pengembangan sistem traceability adalah membuat tim

manajemen. Penting bagi perusahaan menunjuk seseorang yang memiliki

kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai

traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.

2) Membuat diagram tahapan proses produksi.

Tahapan proses produksi yang dimaksud dimulai dari tahap pengadaan bahan

baku (raw material) hingga pemuatan produk akhir di dalam kontainer.

3) Membuat prosedur identifikasi

Prosedur identifikasi disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi

yang telah dibuat. Pembuatan prosedur identifikasi bertujuan untuk

menentukan format alat-alat dokumentasi serta menetukan pihak-pihak yang

bertanggung jawab terhadap rekaman tersebut.

4) Melakukan perekaman pada setiap tahapan proses produksi.

Perekaman pada tiap tahap proses bertujuan mengidentifikasi dan merekam

setiap hal yang berhubungan dengan produk baik pekerja, lingkungan, bahan

tambahan pada produk, dan hal-hal lain yang diperlukan.

Page 29: Trace Ability

16

5) Verifikasi

Verifikasi merupakan bagian penting dalam sistem perekaman terutama

sebagai alat konfirmasi dengan manajemen tingkat atas.

B. Asesmen traceability

Asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan menentukan

kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem

traceability di unit pengolahan. Asesmen traceability di unit pengolahan

dilakukan dengan menggunakan traceability decision tree.

Traceability decission tree diawali dengan menjawab pertanyaan pada

masing-masing proses produksi secara berurutan (Derrick dan Dillon 2004) yang

meliputi :

1) Identifikasi prosedur dan rekaman perusahaan yang menyangkut traceability.

Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin

traceability tidak ada, maka prosedur harus dimodifikasi.

2) Identifikasi apakah kode pengenal batch yang dicatat berdasarkan hubungan

data proses dengan masing-masing batch.

3) Identifikasi apakah kode pengenal batch dipindahkan dengan produk ke tahap

selanjutnya.

Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu

dilakukan perubahan rekaman atau prosedur untuk memperbaiki pelaksanaan

traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision

tree dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 30: Trace Ability

17

Gambar 2 Skema traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004).

C. Prosedur penarikan produk (recall)

Prosedur penarikan produk (recall) akan terlihat manfaatnya pada saat

suatu produk diketahui mengandung bahaya oleh pihak yang bersangkutan yaitu

penjual atau pembeli. Jika demikian, maka produk akan ditarik dari peredaran

maupun dari tahapan proses produksinya. Adapun prosedur recall produk terdiri

atas:

1) Membuat tim manajemen recall produk

2) Membuat file produk yang dikomplain

3) Mencatat pihak yang melaporkan komplain

4) Menelusuri rantai produk

5) Menelusuri rekaman persediaan dan distribusi produk

6) Membuat tata cara penarikan produk yang memungkinkan

7) Mencatat penarikan produk

8) Evaluasi dan merancang penarikan produk yang lebih efektif

9) Uji coba rencana penarikan

Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?

Q1

Lanjut ke tahap selanjutnya

Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?

Q1a

Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini

Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk kode batch

Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode batch

Apakah kode batch diikutsertakan dalam rekaman ?

Q2

Apakah kode batch pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?

Q3

ya

ya

tidak

tidak

tidak

tidak

ya

ya

Page 31: Trace Ability

18

D. Dokumentasi dan perekaman

Setelah semua tahapan penerapan sistem traceability dilakukan, kegiatan

selanjutnya adalah mendokumentasikan serangkaian kegiatan yang telah

dilakukan sebagai arsip apabila kelak dibutuhkan perusahaan. Rekaman mutu

mewakili bukti bahwa prosedur mutu yang diharuskan telah diterapkan pada

produk dan jasa yang ditentukan. Rekaman harus dalam keadaan sah, mudah

diidentifikasi, dan mudah ditemukan. Pembentukan divisi pada perusahaan yang

spesifik menangani masalah traceability sangat direkomendasikan.

2.3 Sistem Informasi

Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang terdiri dari manusia, alat,

konsep dan prosedur yang dihimpun menjadi satu untuk maksud dan tujuan

bersama (Davis 1992). Sedangkan menurut Dengen dan Hatta (2009) sistem

adalah sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara

teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan

atau sasaran tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari sistem-sistem bagian

(subsistem). Misalnya, sistem komputer terdiri dari subsistem perangkat keras dan

perangkat lunak. Masing-masing subsistem dapat terdiri dari subsistem yang lebih

kecil lagi. Subsistem-subsistem tersebut saling berinteraksi dan berhubungan

membentuk satu kesatuan sehingga tujuan atau sasaran sistem tersebut dapat

tercapai (Amirin 2003).

Model umum sebuah sistem terdiri dari masukan, pengolah, penyimpanan

dan keluaran. Hal ini tentu saja sangat sederhana karena sebuah sistem mungkin

memiliki beberapa masukan dan keluaran. Informasi merupakan data yang telah

diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat

dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis 1992). Sedangkan

sistem informasi adalah kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras

dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses

berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu

produk (Dengen dan Hatta 2009). Model dasar sebuah sistem informasi dapat

dilihat pada Gambar 3.

Page 32: Trace Ability

19

Gambar 3 Model dasar sistem informasi (Davis 1992).

Sistem informasi memiliki perhatian khusus terhadap pengumpulan,

penyimpanan, analisis dan mendapatkan kembali (retrieval) data. Dalam konteks

manajemen keamanan pangan hal-hal tersebut sangat penting untuk mendukung

pengambilan keputusan dalam kerangka waktu yang singkat dan berpotensi

memungkinkan pengambilan keputusan yang harus dibuat secara real time

(McMeekin et al. 2006).

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong timbulnya

ketertarikan pada sistem elektronik bagi chain traceability. Salah satu contohnya

ketertarikan akan sistem yang mampu memfasilitasi komunikasi antara sistem

bisnis dan bekerja secara terintegrasi sebagai bagian dari manajemen produksi.

Dalam hal ini, sistem traceability berperan sebagai perlindungan merk dagang

(brand protection) melalui penyediaan informasi seperti asal bahan mentah yang

digunakan, rekaman sepanjang proses produksi (processing hystory) dan

informasi terkait lainnya (McMeekin et al. 2006). Dengan menggunakan sistem

elektronik untuk melakukan traceability sepanjang rantai distribusi (chain

traceability), informasi hanya akan dimasukkan sekali tidak ditulis setiap kali

bahan mentah diproses, dikemas atau dikemas ulang. Hal ini dapat mengurangi

kesalahan dan penghematan waktu pada beberapa tahapan dalam rantai distribusi

(Frederiksen et al. 2002; Larsen 2003).

Info-Fisk project (Frederiksen et al. 2002), melakukan kajian pada rantai

distribusi ikan segar dan mendemonstrasikan bahwa sistem berbasis internet

(internet-based) mampu menyediakan kemampuan traceability secara

keseluruhan sejak penangkapan, pengumpul, pelelangan, grosir dan penjualan

terakhir pada supermarket. Sistem ini menggunakan barcode sebagai media

identifikasi produk dan XML (Extensible Markup Language) untuk transfer

informasi berbasis internet antar operator bisnis.

Data Pengolahan Informasi

Penyimpanan

Page 33: Trace Ability

20

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perusahaan pengolahan ikan tuna PT X, yang

terletak pada kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra Muara Baru, Jakarta Utara.

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Agustus-September 2010.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini mencakup evaluasi sistem dokumentasi rantai distribusi

penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X dan dilakukan dalam

beberapa tahapan, yaitu:

1. Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi

penanganan ikan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X, sebagai mata rantai

industri pengolahan tuna loin.

2. Melakukan analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem

dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna

yang memiliki kaitan dengan PT X. Pelaksanaan penerapan dokumentasi

program traceability meliputi prosedur perekaman, manajemen perekaman

dan sistem pengkodean. Adapun asesmen yang dilakukan menggunakan

traceability decission tree, untuk memastikan keperluan tahapan terhadap

proses ketelusuran.

3. Analisis dan desain pengembangan sistem informasi dalam jaringan rantai

distribusi tuna untuk pelaksanaan penerapan dokumentasi program

traceability. Kegiatan pelaksanaan pengembangan sistem informasi yang

dilakukan meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model

traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar

aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir

adalah desain basis data.

Secara lengkap masing-masing tahapan tersebut adalah :

3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi

penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X.

1) Mempelajari jaringan rantai distribusi tuna yang berkaitan dengan PT X

mulai dari penangkapan hingga ekspor.

Page 34: Trace Ability

21

2) Pembuatan jaringan rantai distribusi tuna.

3) Verifikasi dan presentasi jaringan rantai distribusi tuna di PT X. Verifikasi

dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada QC dan

manajer umum PT X.

3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem

dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi

penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X

Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem

dokumentasi program traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur

yang ada dalam industri pengolahan ikan tuna untuk menetapkan elemen apa yang

telah ada dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah

teridentifikasi. Sedangkan asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan

menentukan kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan

sistem traceability di unit pengolahan.

3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability

Analisis sistem traceability yang dilakukan menggunakan data primer

maupun data sekunder berupa prosedur-prosedur yang diperoleh di industri

penanganan dan pengolahan tuna. Inventarisasi data primer dilakukan secara

langsung di lapangan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder

melalui studi pustaka, analisis dokumen, serta informasi dari instansi terkait. Data

yang diperoleh di evaluasi kesesuaiannya dengan mengacu pada standar aturan

yang berlaku di Uni Eropa (EC No. 178/2002) maupun Amerika (Bioterrorism

Act 2002) sebagai negara tujuan ekspor, selain itu juga mengacu kepada standar

internasional, Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 60-2006) mengenai

prinsip traceability sebagai alat untuk inspeksi makanan dan sistem sertifikasi dan

The International for Standarization seperti sistem manajemen keamanan pangan

ISO 22000.

Analisis sistem traceability menurut Derrick dan Dillon (2004) meliputi :

1) Analisis prosedur perekaman proses produksi

Analisis prosedur perekaman disusun berpatokan pada diagram alir proses

produksi tuna loin beku masing-masing aktor. Pada tahap ini, semua informasi

yang berkaitan dengan produk sepanjang proses produksi dipastikan telah

didokumentasikan.

Page 35: Trace Ability

22

2) Analisis manajemen perekaman

Analisis manajemen perekaman dilakukan meliputi semua ruang lingkup

traceability yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer

traceability.

3) Analisis sistem pengkodean

Analisis sitem pengkodean dilakukan untuk melihat bagaimana perusahaan

memberikan kode identifikasi pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode

bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses

produksi.

Masing-masing analisis diatas dilakukan di seluruh tahap penanganan dan

pengolahan yang terjadi di rantai distribusi tuna loin.

3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability

Tahap selanjutnya adalah melakukan asesmen terhadap praktek implementasi

sistem dokumentasi program traceability. Asesmen sistem dokumentasi program

traceability adalah penentuan kemampuan prosedur perekaman dan kegiatan

perekaman di unit pengolahan yang mampu mendukung penerapan sistem

traceability. Metode yang digunakan mengacu pada konsep traceability decision

tree (Derrick dan Dillon 2004).

Traceability Decision Tree diawali dengan pertanyaan pada masing-masing

proses produksi secara berurutan yang meliputi :

4) Identifikasi prosedur dan dokumen perusahaan yang menyangkut traceability.

Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin

traceability tidak ada, maka prosedur harus diganti.

5) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes)

yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch.

6) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes)

dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya.

Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu

dilakukan perubahan prosedur pencatatan untuk memperbaiki pelaksanaan

traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision

tree dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 36: Trace Ability

23

Gambar 4 Skema Traceability Decision Tree (Derrick dan Dillon 2004).

3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk

mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin

beku

Konsep desain atau perancangan sistem informasi berbasis teknologi

informasi mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009). Tahapan perancangan

sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan

Ikan, dalam hal ini PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun

konsumennya (buyer). Tahapan ini dilaksanakan dalam 4 (empat) aktivitas atau

kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability

internal, desain model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang

terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data.

Skematis tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?

Q1

Melanjutkan ke tahap selanjutnya

Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?

Q1a

Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini

Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk nomor lot

Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode nomor lot

ya

ya

tidak

tidak

tidak

Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman ?

Q2

Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?

Q3

tidak

Page 37: Trace Ability

24

Gambar 5 Tahapan perancangan sistem informasi (mengacu Thakur dan

Hurburgh 2009).

3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem

Identifikasi kebutuhan sistem merupakan langkah pertama dari analisis dan

desain sistem informasi untuk mendukung implementasi dokumentasi program

traceability pada rantai distribusi ikan tuna. Tahapan identifikasi kebutuhan

sistem bertujuan memenuhi dan menyelaraskan antara berbagai kebutuhan dari

seluruh aktor yang terlibat.

Pelaksanaan identifikasi kebutuhan sistem meliputi penentuan dari pihak-

pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna. Batasan terhadap pihak-

pihak (aktor) dalam penelitian ini adalah aktor yang terkait dengan PT X, baik

pihak supplier maupun pihak yang menerima produk akhir hasil produksi dari

perusahaan. Secara umum aktor-aktor yang terlibat dengan PT X adalah kapal

penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (transit), unit pengolah ikan (PT X),

grosir (wholesalers), dan retailer.

Selanjutnya dari aktor-aktor yang terlibat dibuat interaksinya dalam bentuk

gambar model sistem traceability dari rantai distribusi tuna. Gambar model

tersebut menggunakan model diagram use case yang mengacu pada Lee dan Xue

(1999). Diagram use case ini membantu menjelaskan mengenai hubungan antara

aktor dengan setiap use case dalam sistem traceability rantai distribusi tuna yang

ada (Gambar 6).

Identifikasi kebutuhan sistem

Pengembangan model traceability internal

Desain model untuk pertukaran informasi antara

aktor yang terlibat dalam sistem

Desain basis data

Page 38: Trace Ability

25

Gambar 6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya.

3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal

Langkah selanjutnya adalah pengembangan model traceability internal.

Traceability internal memiliki peranan yang sangat penting dalam traceability

secara keseluruhan (chain traceability). Traceability internal dikembangkan

sebagai dasar bagi pengembangan pertukaran informasi pada chain traceability

tuna. Traceability internal yang baik akan memudahkan dalam pelacakan produk

secara keseluruhan dalam suatu rantai distribusi.

Pengembangan model traceability internal dikembangkan dengan

menggunakan teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) yang mengacu

IDEF0 (1993). Teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) menerangkan

mengenai masukan (input), keluaran (output), kontrol (control) dan mekanisme

(mechanisms) dari suatu proses (Gambar 7). Model ini dapat disusun secara

Aktor Use case Batasan sistem

Sistem

Use case

Use case

Use case

Use case

Sistem traceability rantai distribusi tuna

Aktor

Aktor

Aktor

Aktor

Aktor

Keterangan:

Garis penghubung

Page 39: Trace Ability

26

hierarki dalam bentuk struktur pohon (tree stucture), yaitu berupa sub proses-sub

proses dari proses utama (parent process).

Gambar 7 Model umum IDEF0.

Langkah pertama dari teknik IDEF0 adalah mengidentifikasi fungsi (proses)

utama. Proses utama pada penelitian ini adalah pengembangan sistem traceability

internal pada UPI (Unit Pengolahan Ikan) tuna. Setelah mengetahui proses utama

maka dilakukan pendefinisian input (sesuatu yang dapat digunakan dari suatu

proses untuk menghasilkan suatu output), kontrol (kondisi atau prinsip atau

batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output),

mekanisme (bagaimana suatu proses direalisasikan) dan output (data atau obyek

yang dihasilkan dari suatu proses) dari proses utama tersebut.

Input dan kontrol dipilih secara teoritis mengacu pada standar ISO 22005 :

2007, sedangkan mekanisme dan untuk mencapai output yang diinginkan

mengacu pada Thakur dan Humburgh (2009). Input pada penelitian ini adalah

regulasi, karakteristik produk dan harapan konsumen dengan acuan standar ISO

22005 : 2007. Mekanisme yang digunakan adalah standar industri, personal dan

prosedur-prosedur yang ada, sedangkan output yang ingin dihasilkan adalah

dokumentasi proses produksi, sertifikat yang divalidasi, jaminan kualitas

keamanan pangan, kepuasan konsumen dan pemenuhan regulasi yang berlaku.

Langkah selanjutnya dari teknik IDEF0 ini adalah menguraikan proses

utama menjadi sub proses-sub proses. Penguraian proses utama ini dibagi menjadi

5 tahap dimana output dari suatu tahapan merupakan input bagi tahapan yang lain

(Thakur dan Humburgh 2009). Kelima tahapan tersebut adalah untuk melihat

rencana sistem traceability, penerapan traceability, evaluasi pelaksanaan sistem,

validasi sistem dan perawatan sistem (Gambar 8).

NAMA

PROSES Masukan Keluaran

Kontrol

Mekanisme

Page 40: Trace Ability

27

Gambar 8 Penguraian model IDEF0 (pengembangan sistem traceability internal

tuna).

3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability

Model pertukaran informasi pada rantai distribusi tuna (tuna supply chain)

dibuat untuk menggambarkan informasi apa saja yang harus disimpan dan

dipertukarkan dalam rantai distribusi. Langkah yang dilakukan untuk

memodelkan pertukaran informasi dibagi menjadi tiga bagian yang mengacu pada

Thakur dan Hurburgh (2009).

Langkah pertama adalah memodelkan aliran produk tuna dan aliran

informasinya yang terlihat dari gambar rantai distribusi tuna beku. Dari gambar

tersebut akan terlihat aktivitas-aktivitas yang terjadi pada suatu produk tuna dan

informasi-informasi yang sebaiknya diteruskan oleh masing-masing aktor

sepanjang jalur distribusinya.

Langkah selanjutnya adalah menggambarkan pertukaran informasi ketika

salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk yang diduga

berbahaya menggunakan sequence diagram mengacu pada Pender (2002).

Sequence diagram mengilustrasikan bagaimana suatu obyek berinteraksi dengan

obyek lainnya (interaksi antar obyek). Tipe interaksi pada sequence diagram

dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan model sequence diagram yang digunakan

pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Masukan Keluaran

Mekanis

me

Kontrol

Penerapan

/Implementasi

Traceability Evaluasi

Pelaksanaan

Sistem

Validasi

Sistem

Perawatan

Sistem

Menentukan Rencana

Sistem

Traceability

Page 41: Trace Ability

28

Kirim data produk Kirim data produk

Kirim data produk

Pesan tambahan

Pesan tambahan

Tanggapan pesan tambahan

Tanggapan pesan tambahan

Pesan tambahan

Tanggapan pesan tambahan

Gambar 9 Tipe interaksi pada sequence diagram. Sumber: Pender 2002

Gambar 10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian.

Langkah terakhir adalah memfasilitasi bagaimana suatu data/informasi

dipertukarkan antar aktor dalam suatu rantai distribusi. Hal ini dapat dilakukan

menggunakan XML (Extensible Markup Language) (Folinas et al. 2007). XML

merupakan bahasa yang digunakan untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang

berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange)

antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi.

3.2.3.4 Desain basis data

Penggunaan basis data pada sistem traceability perusahaan bertujuan

untuk mengurangi adanya program data dependence, duplikasi data dan

keterbatasan berbagi informasi yang direpresentasikan menggunakan entity

relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat

menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta

hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity

relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan/relasi antar

entitas (relationship) mengacu pada Hoffer et al. (2002). Tahapan-tahapan dalam

dalam melakukan desain basis data dapat dilihat dari Gambar 11.

Pesan yang membutuhkan tanggapan Tanggapan dari suatu pesan

Aktor Aktor Aktor Aktor

Page 42: Trace Ability

29

Persyaratan Data

E-R model

Definisi entitas

Rancangan skema eksternal &

konseptual

(terlepas dari DBMS)

Tahap I:

Koleksi & analisis

persyaratan

Tahap II:

Rancangan konseptual

Tahap III:

Pemilihan DBMS

Tahap IV:

Rancangan logikal

Tahap V:

Rancangan fisik

Tahap VI:

Implementasi

Rancangan skema eksternal &

konseptual

(sesuai dengan DBMS terpilih)

Rancangan skema internal

(sesuai dengan DBMS terpilih)

Pembangunan Basis Data

Persyaratan Proses

Rancangan Transaksi

Data

Rancangan program

aplikasi

Penyusunan program

aplikasi

Operasional program

aplikasi

Definisi:

tabel, index,

view, jalur,

akses, format

penyimpanan

Gambar 11 Tahapan perancangan basis data (Elmasri dan Navathe 1994).

Langkah yang digunakan pada penelitian ini hanya sampai pada tahap 2.

Persyaratan data (tahap 1) berisikan data-data yang dibutuhkan untuk

pengembangan basis data yaitu sesuai dengan data-data proses produksi tuna beku

di perusahaan. Rancangan konseptual basis data (tahap 2) menghasilkan skema

konseptual dari basis data yang bebas dari DBMS (database management system)

tertentu. Dalam hal ini digunakan pemodelan ERD (Entity Relationship Diagram)

menggunakan program microsoft office visio 2007.

Page 43: Trace Ability

30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna

Rantai produksi perikanan khususnya untuk ikan hasil tangkapan bisa

sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Secara umum, rantai distribusi ikan

hasil tangkapan melibatkan berbagai aktor (pihak) antara lain kapal penangkap

ikan, tempat pendaratan ikan (vessel landing businesses) dan tempat pelelangan

ikan, unit pengolah, perusahaan pengangkutan, grosir (wholesalers), dan retailer

(CEN 14660:2003). Dalam suatu rantai distribusi ikan beberapa pihak atau

seluruh pihak dalam standar tersebut dapat terlibat.

Rantai distribusi tuna (tuna supply chain) di PT X di mulai dari hasil

tangkapan tuna oleh nelayan didistribusikan untuk dibongkar muat di pelabuhan

(transit). Pada bagian transit ikan tuna yang masuk disortir secara organoleptik

oleh checker untuk dibedakan berdasarkan mutunya, yaitu: ikan tuna dengan mutu

A, B, C, dan D. Hasil sortir mutu ikan tuna sebagian akan diekspor langsung ke

Jepang, sedangkan bagian lainnya akan dijual kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI)

dan pasar lokal. Rantai distribusi tuna ini dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Rantai distribusi ikan tuna.

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12. Kapal penangkap ikan

melakukan penangkapan ikan tuna yang kemudian didaratkan dan dijual ke pihak

transit. Pihak transit melakukan penjualan ikan tuna yang masuk ke berbagai

pihak mulai dari melakukan kegiatan ekspor secara langsung maupun melakukan

penjualan kepada pihak UPI (PT X) dan pasar lokal. Ikan tuna segar dengan mutu

A dan B di ekspor utuh (whole) ke Jepang menggunakan pesawat terbang sebagai

alat transportasinya, ikan tuna ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku

Kapal Transit

Transportasi Distributor Retailer

Distributor

Retailer

UPI

Pasar Lokal

Transportasi

Page 44: Trace Ability

31

untuk pembuatan sushi dan sashimi. Untuk ikan tuna dengan mutu C dan D, dijual

kepada pihak UPI yang tersebar di muara baru dengan spesifikasi ukuran (size) 16

up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg) untuk diolah menjadi

produk diversifikasi tuna. Produk hasil diversifikasi tuna kemudian di

transportasikan menggunakan kapal untuk di ekspor ke pihak importir (grosir),

untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen akhir oleh pihak retailer.

Selanjutnya, ikan tuna yang tidak masuk spesifikasi untuk ekspor maupun

spesifikasi UPI, akan dijual oleh pihak transit ke pasar lokal.

4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability

Analisis traceability dilakukan pada aktor yang terlibat dalam rantai

distribusi tuna loin beku yang berkaitan dengan PT X meliputi analisis prosedur

perekaman, analisis manajemen perekaman dan analisis sistem pengkodean. Aktor

yang terlibat antara lain Kapal Penangkap Tuna, Transit, PT X, dan Wholesaler

(Distributor) dan Retailer. Namun untuk tahap analisis ini hanya dibatasi hingga

pihak wholesaler saja.

4.2.1 Analisis prosedur perekaman

Analisis prosedur perekaman dilakukan pada tiap-tiap aktor (pihak) yang

terlibat dan bertujuan untuk memastikan semua informasi yang berkaitan dengan

produk sepanjang penanganan dan proses produksi dipastikan telah

didokumentasikan.

1) Kapal penangkap tuna dan transit

Analisis prosedur perekaman proses penangkapan ikan tuna diawali dari

penangkapan hingga bongkar muat dan penanganan ikan di darat. Tahap analisis

dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 45: Trace Ability

32

Tabel 3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit.

No Nama tahapan kegiatan Aktivitas meliputi

1 Penangkapan* Kegiatan penangkapan

2 Penanganan di kapal* Teknik mematikan tuna

Pembuangan darah

Pembuangan insang dan isi perut

Pencucian

Penyimpanan (on-board storage)

3 Bongkar muat dan penanganan

di darat** Pembongkaran

Pengangkutan atau pemindahan

Penanganan:

- Pemeriksaan dan sortasi

- Pembersihan

- Pengemasan

- Pengangkutan dan pengiriman Sumber: * Blanc et al. (2005)

** SNI 01-2729.3-2006

Tabel 3 menunjukkan aktivitas-aktivitas yang secara umum terjadi selama

kegiatan penangkapan hingga penanganan di darat pada kapal penangkap ikan dan

tempat transit ikan. Kegiatan perekaman juga sebaiknya meliputi aktivitas-

aktivitas tersebut. Secara umum rekaman selama penangkapan dapat dilihat pada

log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan

pancing ulur (Lampiran 1), sedangkan rekaman untuk pihak transit disesuaikan

dengan aktivitas selama bongkar muat dan penanganan hingga ikan

didistribusikan ke aktor selanjutnya. Deskripsi detail dari informasi yang

dibutuhkan dapat dilihat pada standar tracefish CEN 14460 (2003).

2) PT X

Analisis prosedur perekanan proses produksi tuna loin beku dilakukan

pada setiap tahap proses produksi di PT X. Tahap analisis dimulai dari tahap

pembelian hingga tahap pengisian (stuffing) dimana aktivitas yang dilakukan

selama proses produksi dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan rekaman dapat

dilihat pada Tabel 4.

Page 46: Trace Ability

33

Tabel 4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan.

No Nama tahapan kegiatan Rekaman

1 Pembelian (purchasing) Tally sheet of purchasing,

Record of harvest vessel

2 Penerimaan bahan baku Report of raw material receiving

3 Pencucian I Record of daily temperature

4 Penyimpanan sementara Record of daily temperature

5 Pencucian II Record of daily temperature

6 Penimbangan I Record of daily temperature

7 Pemotongan kepala Record of daily temperature

8 Pembentukan loin (loining) Record of daily temperature

9 Pembuangan kulit, daging gelap

dan duri Record of daily temperature

10 Penimbangan II Record of daily temperature

11 Pembungkusan sementara Record of daily temperature

12 Pemberian gas CO -

13 Pendinginan (chilling) Chilling temperature report

14 Sortasi mutu Record of daily temperature

15 Perapihan (retouching) Report of inspection product after

trimming before freezing

16 Penimbangan III Record of daily temperature

17 Pembungkusan Record of daily temperature

18 Pemvakuman Record of daily temperature

19 Penyusunan Record of daily temperature

20 Pembekuan Freezing monitoring report

21 Penimbangan IV Record of daily temperature

22 Pengemasan dalam master

carton dan pelabelan Daily report of packing and

labelling

23 Penyimpanan Cold storage temperature report

24 Pengisian (stuffing) Report of stuffing

Pembelian (purchasing)

Selama proses pembelian staf bagian produksi PT X mencatat pembelian

dalam tally sheet tentang no batch, size, tanggal pembelian, nama kapal, nomor

transit, dan nama supplier. Pada proses pembelian juga didapat informasi-

informasi tentang penangkapan dan penanganan ikan tuna selama di kapal

maupun di transit yang dicatat oleh staf produksi PT X dalam record of harvest

vessel (Lampiran 3) yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh

kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji

organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim.

Page 47: Trace Ability

34

Penerimaan bahan baku

Pada tahap penerimaan ikan tuna didapatkan rekaman yang berisi

informasi mengenai suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode

pemasok, nomor batch, uji organoleptik (bau, tekstur dan warna) yang dicatat

dalam record of raw material receiving oleh quality control (QC). Record of raw

material receiving dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pencucian I

Selama proses pencucian I dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat

dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penyimpanan sementara

Selama proses penyimpanan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang

yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pencucian II

Selama proses pencucian II dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat

dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penimbangan I

Selama proses penimbangan I dilakukan pencatatanhasil penimbangan

yang dicatat dalam telly sheet of weighting.

Pemotongan kepala

Selama proses pemotongan kepala dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pembentukan loin (loining)

Selama proses pembentukan loin dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pembuangan kulit, daging gelap dan duri

Selama proses pembuangan kulit, daging gelap dan duri dilakukan

pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily

temperature (Lampiran 5).

Penimbangan II

Selama proses penimbangan II dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Page 48: Trace Ability

35

Pembungkusan sementara

Selama proses pembungkusan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pemberian gas CO

Pada proses pemberian gas CO, pencatatan baik suhu ruang maupun suhu

ikan tidak dilakukan.

Pendinginan (chilling)

Selama proses pendinginan dilakukan pencatatan suhu chilling

(sekitar -4 oC hingga 0

oC) yang dicatat dalam chilling temperature report

(Lampiran 6).

Sortasi mutu

Selama proses sortasi mutu dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Perapihan (retouching)

Selama proses perapihan dilakukan pencatatan terhadaphasil pemeriksaan

loin terhadap benda asing, misalkan tulang, kulit, daging merah atau pengotor

lain, yang dicatat dalam report of inspection product after trimming before

freezing (Lampiran 7). Sedangkan suhu ruang selama perapihan sekitar 20oC

dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penimbangan III

Selama proses penimbangan III dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pembungkusan

Selama proses pembungkusan dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pemvakuman

Selama proses pemvakuman dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penyusunan

Selama proses penyusunan dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC)

yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Page 49: Trace Ability

36

Pembekuan

Selama proses pembekuan dilakukan pencatatan alat Air Blast Freezer

(ABF) (-40oC) yang dicatat dalam freezing monitoring report (Lampiran 8).

Penimbangan IV

Selama proses penimbangan IV dilakukan pencatatan suhu ruang

(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pengemasan dalam master carton dan pelabelan

Selama proses pengemasan dan pelabelan dilakukan perekaman yang

meliputi jenis produk, no batch, kualitas kemasan vakum, berat bersih, kualitas

pengemasan dan label. Perekaman ini dicatat dalam daily report of packing and

labelling (Lampiran 9).

Penyimpanan

Selama proses penyimpanan dilakukan pencatatan suhu cold storage yaitu

sekitar -20 oC dipantau oleh staf QC 1 jam sekali dalam cold storage temperature

report (Lampiran 10).

Pengisian (stuffing)

Selama proses pengisian dilakukan pencatatan suhu dalam kontainer yaitu

sekitar -20 oC dipantau setiap jam oleh staf QC, kode produksi, jenis dan jumlah

produk dalam report of stuffing (Lampiran 11).

3) Wholesaler

Analisis prosedur perekaman bagi aktor wholesaler dilakukan berdasarkan

standar tracefish (CEN 14460:2003). Prosedur perekaman meliputi identitas

wholesaler, kemudian identitas, sumber dan control suhu dari tiap unit produk

yang diterima, sejarah proses produksi unit produk dan tujuan dari unit produk

dipasarkan.

4.2.2 Analisis manajemen perekaman

Menurut Notermans dan Beumer (2003) dalam Derrick dan Dillon (2004)

perekaman dilakukan pada semua ruang lingkup traceability, yaitu Supplier

traceability, Process traceability dan Customer traceability. Kajian Larsen (2003)

memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode untuk melakukan perekaman

Page 50: Trace Ability

37

yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis

teknologi informasi.

Sistem perekaman produk tuna loin yang dihasilkan oleh PT X

berdasarkan ruang lingkup telah terbagi menjadi tiga, yaitu Supplier traceability

yang dilakukan oleh pihak transit PT Samudra Agung Permai, Process

traceability oleh PT X dan Customer traceability oleh importir dari Amerika.

Perekaman di tahap supplier berisi informasi-informasi tentang metode

penangkapan dan penanganan ikan selama di kapal dan transit. Rekaman tersebut

dicatat dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) oleh staf produksi PT X, yang

meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan,

metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran,

nama penyortir dan pengirim.

Informasi suhu setiap ikan dalam satuan derajat celcius ketika pendaratan

ikan dari kapal tertera dalam record of harvest vessel, akan tetapi dalam

pelaksanaannya tidak dilakukan perekaman suhu ketika di transit karena asumsi

supplier ikan masih dalam keadaan setengah beku dengan suhu sekitar 0 oC akibat

pendinginan RSW (Refrigerated Sea Water) di dalam palka kapal dan waktu

penanganan di transit tidak memakan waktu lama (30-45 menit) serta suhu ruang

transit yang rendah (sekitar 20oC). Suhu yang tertera dalam record of harvest

vessel dalam kenyataannya adalah suhu pusat ikan ketika sampai di perusahaan.

Meskipun pendaratan ikan dari kapal tidak membutuhkan waktu yang lama dan

kondisi ikan relatif dalam keadaan setengah beku akan tetapi rekaman suhu ikan

selama di transit dan selama di palka kapal tetap dibutuhkan untuk menjamin

kualitas ikan tuna mulai dari proses penangkapan sampai pendaratan di transit.

Sistem perekaman produksi tuna loin beku di PT X dilakukan secara

berurutan pada setiap tahapan proses, mulai dari pembelian sampai dengan

pengisian produk akhir untuk di ekspor. Akan tetapi dalam pelaksanaannya

terdapat tahapan produksi penting yang tidak dilakukan perekaman oleh pihak

perusahaan, yaitu pemberian gas CO (karbon monoksida). Hal ini dapat dilihat

dari asesmen sistem traceability tuna loin pada Lampiran 12.

Pada tahap pemberian gas CO bahan baku tuna loin tidak ada perekaman

dari staf quality control maupun dari staf lainnya. Pemberian gas CO dilakukan

Page 51: Trace Ability

38

pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus

yang terpisah dengan ruang lainnya. Gas CO yang diberikan hanya diatur tekanan

gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya, selain itu juga tidak

memperhatikan mutu daging yang akan diberi gas CO atau antara mutu daging

yang berbeda-beda cenderung mendapat pemberian gas dengan volume yang

sama. Akibat proses yang kurang tepat tersebut, setelah pemberian gas CO dan

pendinginan terkadang masih ditemukan beberapa produk yang tidak memenuhi

standar kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan

pemberian ulang gas CO. Adanya ruang proses khusus, perlakuan gas CO dan

terkadang waktu tunggu proses yang lama dari tahapan ini serta potensi kegagalan

proses akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap maka

diperlukan rekaman tersendiri yang berbeda dengan rekaman dari tahap proses

sebelumnya atau sesudahnya. Rekaman yang lengkap pada proses pemberian gas

CO akan memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu

saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). Rekaman proses

pemberian gas CO seharusnya meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu

ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin.

Tahapan terakhir untuk melakukan perekaman secara internal oleh

perusahaan adalah ketika produk telah siap untuk di ekspor yaitu dilakukan pada

proses stuffing atau pengisian kontainer. Perekaman ini dicatat di report of stuffing

(Lampiran 11), yang meliputi suhu kontainer, kode produksi, jenis dan jumlah

produk. Perekaman selanjutnya adalah customer traceability yang dilakukan oleh

pihak pengimpor, yaitu pada waktu produk telah sampai di port of entry negara

pengimpor. Pihak pengimpor menginformasikan tentang kondisi produk kepada

pengekspor setelah dilakukan proses pengiriman produk melalui jalur laut dengan

estimasi waktu pengiriman selama 1-2 bulan.

4.2.3 Analisis sistem pengkodean

Salah satu kunci sukses dalam penerapan sistem traceability adalah

pemberian kode identifikasi (batch) pada suatu produk dan menjaga keutuhan

kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses

produksi (Derrick dan Dillon 2004). Sistem pengkodean untuk traceability

produksi tuna pada pihak Transit menggunakan plastik warna-warni yang

Page 52: Trace Ability

39

diikatkan pada ekor ikan tuna. Masing-masing warna pada plastik mewakili

tingkat mutu, dimana tingkat mutu telah disortir terlebih dahulu oleh checker.

Ikan tuna dengan mutu A diberi plastik berwarna merah, mutu B diberi plastik

berwarna biru, mutu C plastik berwarna kuning dan terakhir mutu D diberi plastik

berwarna hitam.

Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna loin beku di PT X

menggunakan dokumen kertas (paper based) dimana kode bacth diikutsertakan

bersama produk sepanjang proses produksi. Cara ini lebih praktis digunakan

karena perusahaan dapat mengubah kode setiap hari atau setiap shift (Morrison

2003) Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap

pembelian sampai tahap penimbangan akhir (penimbangan IV) dan pengkodean

tahap pengemasan sampai pemuatan (stuffing).

Pengkodean pada tahap pembelian-penimbangan akhir menggunakan

selembar kertas atau plastik pembungkus produk yang dituliskan kode produk.

Kode produk terdiri dari 2 huruf dan 3 angka dimana kode ini akan berubah

menjadi kode produksi pada pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Digit

pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4

merupakan nomor urut penerimaan bahan baku yang dimulai dari 001 sampai 999,

digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode produksi tahap

pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir.

Pada tahap pengemasan-stuffing kode produksi dari tahap pembelian-

penimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka

sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan ke-4

yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yaitu SEA

PRODUCT dimana S=0, E=1, A=2, P=3, R=4, O=5, D=6, U=7, C=8, dan T=9.

Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi

proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat

pada Gambar 14.

Page 53: Trace Ability

40

Gambar 14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton.

Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan

mempunyai ciri khusus akan tetapi kode tersebut tidak dapat menunjukkan jenis

produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam

produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada

perbedaan antara kode tuna loin dengan kode produk lain, misalnya tuna steak.

Hal ini dapat menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan

proses recall product. Apabila dalam suatu proses dengan sumber bahan baku

yang sama dihasilkan bermacam-macam produk maka seharusnya dilakukan

pengkodean khusus ketika proses bahan baku mengalami pemisahan (splitting).

Kode yang sama pada produk yang berbeda mengakibatkan perusahaan tidak

dapat mengidentifikasi atau menelusuri rekaman produksi dengan tepat. Hal ini

terjadi karena masing-masing produk mempunyai tahap proses dan waktu

produksi berbeda. Kode baru yang lebih spesifik atau tambahan pada kode

sebelumnya (kode bahan baku) seharusnya diberikan pada masing-masing produk

yang dihasilkan perusahaan.

Pengkodean pada pihak wholesaler dilakukan menggunakan label kertas

dengan barcode yang ditempelkan pada kotak pengemas produk. Pengemasan

ulang dilakukan di pihak ini dimana barcode ditempelkan pada produk yang

dikemas ulang setelah dibeli dari PT X. Sistem pengkodean hanya diketahui oleh

pihak wholesaler dimana pengkodean dimaksudkan untuk memudahkan penjualan

produk.

Pengkodean yang lebih spesifik untuk mengidentifikasi produk dapat

dilakukan menggunakan EAN.UCC sistem (Europan Article Numbering system)

yaitu GS1 identification number yang telah digunakan di seluruh dunia sebagai

standar sistem pengkodean. Sistem ini dapat menggunakan berbagai macam

Page 54: Trace Ability

41

media seperti barcode maupun RFID (Radio Frequency Identification) (GS1

2011). Perbedaan antara paper based system dengan barcode system atau RFID

adalah ketepatan dan kemudahan manajemen data. Paper based system

memindahkan kode bacth bersamaan dengan produk sepanjang proses produksi

sedangkan barcode dan RFID dapat menghubungkan masing-masing kode bacth

(dalam suatu basis data) pada tiap proses, tempat ikan atau rekaman dengan cara

mengidentifikasi barcode atau RFID (Derrick dan Dillon 2004).

4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna

Tahapan analisis dan desain sistem informasi dilakukan untuk memberikan

gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan yaitu PT X dan kaitannya dengan

supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer) yang terdiri dari empat tahap.

4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem

Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan untuk menganalisis kebutuhan

informasi pengguna terhadap sistem yang akan dikembangkan yang kemudian

menentukan informasi apa saja yang yang akan disampaikan pada sistem (O‟Brien

dan Marakas 2006). Regattieri et al. (2007) juga mengatakan bahwa syarat dasar

melakukan desain sistem traceability adalah menentukan informasi yang

dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran. Kategori informasi yang

sebaiknya disimpan oleh tiap-tiap aktor yang terlibat dalam suatu rantai distribusi

meliputi; informasi tentang produk, informasi proses dan informasi mengenai

kualitas produk (Thakur dan Donnelley 2010). Identifikasi kebutuhan sistem

dilakukan menggunakan use case diagram untuk menggambarkan fungsionalitas

yang diharapkan dari sebuah sistem dalam hal ini adalah sistem traceability. Hal

yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana”.

Sebuah use case merepresentasikan sebuah interaksi antara aktor dengan sistem

(Dharwiyanti dan Wahono 2003). Use case diagram rantai distribusi tuna dapat

dilihat pada Gambar 15.

Page 55: Trace Ability

42

Retailer

Kapal

UPI/PT X

Transit Ikan

Wholesaler

Sistem traceability rantai distribusi tuna beku

Dokumen Cara

Penanganan Ikan

Sertifikat Hasil

Tangkapan

Dokumen proses

produksi (Processing Practices)

Sertifikasi HACCP

Sertifikasi Produk

(Health Certificate)

Dokumen Jalur

Distribusi Produk

Pemenuhan Regulasi

Keamanan Pangan

Gambar 15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna

loin beku (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).

Gambar 15. Menunjukkan use case diagram untuk sistem traceability

pada rantai distribusi tuna yang terlibat dengan PT X. Berdasarkan gambar

tersebut didefinisikan beberapa aktor seperti kapal penangkap ikan, transit ikan,

UPI (PT X), grosir (wholesaler) dan retailer yang terlibat pada system traceability

rantai distribusi tuna beku. Informasi apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan

suatu penelusuran digambarkan dalam sebuah use case (dilambangkan dengan

bentuk elips), diantaranya:

Dokumen Cara Penanganan Ikan : Para pihak yang terlibat dalam sistem

(aktor) harus mendokumentasikan segala sesuatu kegiatan yang berhubungan

dengan aktivitas penanganan ikan, baik sejak penangkapan, penyimpanan

maupun proses produksi. Persayaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di

bagian produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan

Page 56: Trace Ability

43

pengangkut ikan, tempat pendaratan ikan, unit pengolahan ikan dan lain-lain

terkait dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan tertera dalam

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2007

tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada

Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Contoh: informasi mengenai

apakah ikan tuna segera disiangi setelah ikan ditangkap, bagaimana suhu ikan

dan suhu ruangan selama penyimpanan, metode penyimpanan ikan, dan lain-

lain.

Sertifikat Hasil Tangkapan : Sertifikat hasil tangkapan merupakan persyaratan

bagi produk perikanan hasil tangkapan dari laut (termasuk produk olahan)

yang dapat masuk pasar Uni Eropa (UE). Sertifikat ini merupakan landasan

awal untuk melakukan traceability dan juga merupakan upaya menegakkan

peraturan/ketentuan penanggulangan illegal, unreported and unregulated

fishing (IUU Fishing) yang diatur oleh Komisi Eropa bagi negara-negara yang

akan melakukan ekspor hasil tangkapan laut (termasuk produk olahan) ke

pasar Uni Eropa dan diterapkan oleh Indonesia. Sertifikat ini membuktikan

bahwa produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari

kegiatan yang memenuhi ketentuan pengelolaan/konservasi perikanan (KKP

2009). Aturan mengenai sertifikat hasil tangkapan tertera dalam Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009. Contoh:

informasi/data yang diperlukan untuk mengisi/melengkapi sertifikat, diisi

pada log book yang diwajibkan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang

tertera dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan.

Memenuhi Regulasi Keamanan Pangan : Adalah menjadi hak importir untuk

menetapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor ke negaranya untuk

menjamin dan melindungi keselamatan dan kepuasan konsumen

(Purnomo 2007). Mengaplikasikan sistem traceability berarti mengharuskan

para aktor yang terlibat dalam sistem untuk menunjukkan bahwa produk atau

proses yang dikenakan pada produk tuna telah memenuhi persyaratan mutu

sesuai dengan regulasi yang berlaku terutama regulasi mengenai masalah

keamanan pangan. Contoh: Pihak transit harus memenuhi persyaratan mutu

Page 57: Trace Ability

44

UPI (PT X) sebelum dapat menjual ikan tuna, sedangkan suatu UPI harus

mampu menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan

persyaratan mutu dan keamanan pangan yang berlaku di negara tujuan ekspor,

dan menunjukkan bahwa kondisi saat melakukan proses produksi (GMP,

SSOP) telah memenuhi regulasi yang berlaku.

Dokumen Proses Produksi (Processing Practice) : Unit Pengolahan Ikan

(UPI) khususnya PT X harus mendokumentasikan segala proses yang

dikenakan kepada tuna, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan

untuk ekspor. Proses yang dilalui suatu produk berbeda-beda tergantung pada

jenis produk akhirnya (end product). Contoh: tahapan proses tuna saku,

tahapan proses pembuatan tuna loin, suhu pembekuan tuna, jenis kemasan,

bahan tambahan yang digunakan pada tuna seperti CO (carbon monoxide),

dan lain-lain.

Sertifikasi HACCP : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X dengan

menerapkan sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis and Critical

Control Point) maka telah menerapkan sistem perekaman (record keeping)

yang merupakan salah satu dasar dari sistem traceability sebenarnya telah ada

dalam konsep HACCP yaitu pada prinsip ketujuh : penyimpanan catatan dan

dokumentasi. Sertifikat penerapan HACCP berdasarkan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 dapat diberikan kepada

UPI apabila telah terdapat Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang

diperoleh dengan menerapkan Cara Pengolahan yang Baik (Good

Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi

Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP) dan telah

menerapkan konsepsi HACCP yang terdiri dari tujuh prinsip.

Sertifikasi Produk (Health Certificate) : Sebelum dapat melakukan ekspor,

pihak UPI harus mempunyai sertifikat mengenai produk yang akan diekspor

yaituhealth certificate. Health certificate merupakan surat keterangan yang

dikeluarkan oleh LPPMHP (Lembaga Pengembangan dan Pengujian Mutu

Hasil Perairan) yang menerangkan bahwa suatu hasil perikanan telah

ditangani dan diolah sejak pra-panen hingga siap didistribusikan dengan cara-

cara yang memenuhi persyaratan sanitasi sehingga aman dikonsumsi manusia.

Page 58: Trace Ability

45

Health certificate dapat diberikan apabila UPI konsisten dalam memenuhi

persyaratan penerapan HACCP.

Dokumen Jalur Distribusi Produk : ketika diperlukan, suatu sistem traceability

harus mampu menyediakan informasi mengenai jalur distribusi mana saja

yang dilalui oleh suatu produk sebelum sampai ke tangan konsumen akhir

minimal satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan (one step

backward, one step forward). Raspor (2005) menyatakan suatu sistem

traceability mampu memberikan informasi mengenai posisi suatu produk dan

jalur distribusi yang ditempuh yang dapat memudahkan upaya pelacakan

produk. Sebagai contoh adalah ketika suatu produk tuna terdeteksi mempunyai

potensi gangguan keamanan pangan, maka sangat penting untuk mengetahui

berada dimanakah produk yang diduga mempunyai gangguan keamanan

pangan tersebut langsung pada saat dibutuhkan.

4.3.2 Traceability internal

Traceability internal mempunyai peran yang sangat penting dalam

mendukung traceability tuna secara keseluruhan (chain traceability) (Thakur dan

Hurburgh 2009). Oleh karena itu pengembangan traceability internal pada industri

pengolahan tuna penting karena jika terjadi masalah pangan selama jalur

distribusinya maka traceability internal dapat digunakan untuk mencari

penyebabnya. Traceability internal disini dikembangkan secara teoritis untuk

memberikan suatu acuan yang baku dalam pengembangan traceability internal

pada dalam suatu organisasi khususnya pada industri pengolahan tuna loin beku

menggunakan teknik yang disebut Integrated Definition Modelling (IDEF0).

Berdasarkan standar ISO 22005:2007, suatu sistem traceability

dipengaruhi oleh regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen. Di

Indonesia produk hukum yang mengatur tentang traceability produk perikanan

yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010

tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yaitu

pada Bab II pasal 3 huruf C. Lebih lanjut ISO 22000:2005 yang merupakan sistem

manajemen keamanan pangan bagi organisasi dalam rantai produksi pangan pada

klausul 7.9 juga mempersyaratkan adanya sistem mampu telusur (traceability

system).

Page 59: Trace Ability

46

Ikan tuna sebagaimana ikan pada umumnya merupakan bahan pangan

yang dikategorikan highly perishable yaitu bahan pangan yang sangat mudah

busuk dan membutuhkan penanganan yang baik dalam rantai distribusinya

(Venugopal 2006). Teknik penanganan bahan baku tuna segar dilakukan secara

hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 oC,

sedangkan penanganan bahan baku tuna beku sama seperti halnya tuna segar

namun dilakukan dengan menjaga suhu pusat produk maksimal -18 oC (SNI 01-

4103.3-2006). Hal lain yang mempengaruhi sistem traceability adalah harapan

konsumen terhadap suatu produk. Sebagai contoh jika konsumen mengharapkan

adanya jaminan terhadap produk tuna yang dikonsumsi merupakan ikan yang

bebas dari bahaya keamanan pangan, maka produsen akan berusaha untuk

mencapai harapan konsumen tersebut. Dari berbagai penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen

merupakan masukan bagi teknik IDEF0 pengembangan sistem traceability pada

tuna.

Suatu sistem traceability dikembangkan untuk memenuhi regulasi yang

berlaku (Thakur dan Hurburgh 2009). Sistem traceability produk perikanan

Indonesia dilakukan untuk memenuhi PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian

Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan, sedangkan dalam penerapannya

dibutuhkan suatu standar yang digunakan sebagai batasan untuk menghasilkan

keluaran yang tepat yaitu standar Codex Alimentarius Commission (CAC/RPC 1-

1969, Rev. 4-2003) mengenai prinsip umum untuk higiene pangan (General

Principles of Food Hygiene). Standar ini dipilih karena merupakan standar

internasional dari negara Amerika yang menjadi tujuan ekspor PT X dimana

pemilihan standar sebaiknya disesuaikan dengan negara tujuan ekspor atau

menggunakan standar yang lebih ketat persyaratannya untuk alasan kesehatan.

Oleh karena itu, standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dikategorikan sebagai

kontrol (control) bagi model ini. Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan

untuk mengembangkan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal

(pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Keluaran (output) dari

model ini akan tergantung dari jenis produk akhir tuna yang dihasilkan dan aktor

yang terlibat didalamnya. Secara umum, output yang dapat dihasilkan dalam

Page 60: Trace Ability

47

sistem traceability internal ini adalah adanya berbagai macam dokumentasi

seperti dokumentasi proses produksi, sertifikat-sertifikat yang telah divalidasi, dan

pemenuhan terhadap regulasi sebagai jaminan kualitas dan keamanan pangan.

Model pada sistem ini harus dapat membuktikan klaim terhadap suatu produk,

misalnya klaim terhadap ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi

ditangkap dari daerah penangkapan yang tidak melanggar undang-undang illegal,

unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu sistem traceability yang

dibuat juga harus menyediakan suatu tolak ukur untuk kepuasan konsumen.

Teknik IDEF0 (Integrated Definition Modelling) untuk pengembangan sistem

internal traceability pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat dilihat pada

Gambar 16.

Gambar 16 Teknik IDEF0 untuk pengembangan traceability internal pada Unit

Pengolahan Ikan (UPI).

Berdasarkan Gambar 16. maka dibuatlah detail dari teknik tersebut untuk

menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan pengembangan

traceability internal pada UPI dalam hal ini PT X yang melakukan pengolahan

ikan tuna beku. Model ini digambarkan lebih detail (didekomposisi) untuk

memudahkan pemahaman mengenai rangkaian pengembangan traceability

internal pada UPI dan ditujukan untuk mendapatkan sertifikasi sistem manajemen

keamanan pangan (food safety management system certificate) seperti ISO 22000

oleh Thakur dan Humburgh (2009) dengan tahapan sebagai berikut :

1) Menentukan rencana sistem traceability : langkah pertama untuk

pengembangan sistem traceability internal adalah menentukan rencana

traceability. Masukan (input) bagi tahapan ini adalah kebutuhan akan regulasi,

Dokumentasi Proses Produksi

Sertifikat yang divalidasi

Jaminan Kualitas dan Keamanan Pangan

Kepuasan Konsumen

Kebutuhan Regulasi PENGEMBANGAN

SISTEM

TRACEABILITY

INTERNAL TUNA

A0

Karakteristik Produk

Harapan Konsumen

Pemenuhan Regulasi

Prosedur Personal Standar

Industri

Page 61: Trace Ability

48

karakteristik produk dan harapan konsumen. Kebutuhan akan regulasi

ditujukan untuk memenuhi CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 yang merupakan

regulasi Amerika Serikat karena negara tujuan ekspor PT X. Karakteristik hasil

perikanan yang highly perishable mempengaruhi rencana traceability dimana

penggunaan bahan-bahan seperti air atau es harus ada jaminan bahwa air

berasal dari air dengan kualitas air minum sehingga ikan tidak mudah rusak.

Penggunaan kemasan yang khusus bagi produk pangan (food grade) dan

peralatan yang digunakan juga perlu diperhatikan mengingat ikan merupakan

bahan pangan yang mudah busuk. Hal terakhir yang mempengaruhi suatu

sistem traceability adalah harapan konsumen dimana produsen akan senantiasa

berusaha memenuhi harapan dari konsumennya. Rencana sistem traceability

ditentukan berdasarkan keperluan-keperluan tersebut.

Selain masukan, diperlukan juga suatu standar bagi sistem ini dimana standar

CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat digunakan sebagai kontrol (control).

Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk menentukan sistem

traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan

prosedur-prosedur yang ada. Personal yang terlibat dalam sistem ini harus

merupakan tim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman multi disiplin, dan

merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai departemen yang ada pada

suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI). Selain itu, menurut Derrick dan Dillon

(2004) penting bagi suatu UPI menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan

untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan

memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.

Rencana sistem traceability harus didefinisikan secara jelas dalam format yang

tetap dan termasuk di dalamnya mengenai informasi yang dibutuhkan untuk

dicatat dan informasi yang akan dibagi kepada aktor lain yang terlibat (dalam

rantai distribusi produk). Selain itu dalam sistem ini juga perlu didefinisikan

parameter yang tepat untuk mengukur kesuksesan sistem. Keluaran (output)

pada tahapan ini adalah terbentuknya manual sistem traceability yang

mendefinisikan prosedur untuk penerapan rencana sistem traceability dimana

secara umum prosedur meliputi dokumentasi proses produksi dan informasi

Page 62: Trace Ability

49

terkait proses produksi, termasuk perawatan dokumen dan verifikasi

(ISO 22005:2007).

2) Penerapan rencana traceability : Keluaran pada tahapan 1 merupakan masukan

bagi tahapan ini. Manual sistem traceability yang telah dibuat digunakan untuk

diterapkan pada tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme

yang sama dengan yang ada pada tahap 1. Pada sistem informasi yang

dikembangkan, dilakukan desain basis data traceability perusahaan yang

direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD

merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan bagaimana data dan

informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data.

Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram

adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan (relationship). Pengguna (user)

dalam hal ini pihak UPI dapat mendesain entitas yang berkaitan dengan

aktifitas ikan tuna (per batch) baik kualitas maupun proses yang dikenakan.

Entity relationship diagram ini menghubungkan berbagai macam data mulai

dari kedatangan bahan baku tuna, proses produksi per batch, dan hasil akhir

dari tiap batch yang keluar dari ruang penyimpanan (storage) UPI. Setelah

selesai membuat ERD dilanjutkan dengan penerjemahan desain basis data

(database) pada sistem yang telah dibuat kemudian diterjemahkan ke dalam

bentuk perintah-perintah yang dimengerti komputer dengan mempergunakan

suatu bahasa pemrograman dan penyimpanan ke dalam database tergantung

dari keperluan pengguna. Hanya terdapat satu basis data terpusat untuk

menyimpan semua informasi yang dibutuhkan. Salah satu bahasa yang dapat

digunakan untuk merepresentasikan data adalah XML (Extensible Markup

Language). XML dipilih karena dalam industri perikanan terdapat suatu

standar yang disebut “tracefish” yang dapat digunakan untuk mencapai sistem

traceability secara menyeluruh pada suatu rantai distribusi dimana standar ini

menurut Larsen (2003) merupakan suatu konsep yang menggunakan sistem

elektronik untuk mencapai penelusuran rantai distribusi (chain traceability).

Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyatakan bahwa tracefish menggunakan

XML (extensible markup language) untuk memfasilitasi pertukaran informasi

yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic

Page 63: Trace Ability

50

exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi.

Setelah tahap ini selesai, sebuah laporan penerapan traceability akan

dihasilkan. Laporan ini akan terdiri dari deskripsi detail sistem database dan

penggunaannya.

3) Evaluasi pelaksanaan sistem : pelaksanaan sistem traceability akan dievaluasi

pada tahap ini. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi efisiensi

penggunaan database untuk kecepatan reaksi terhadap kasus keamanan

pangan. Laporan pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti

HACCP atau ISO 22000 dan laporan hasil audit merupakan keluaran dari

tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan

tahap sebelumnya.

4) Validasi sistem: validasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan

sistem sesuai dengan rencana traceability yang telah dibentuk. Laporan

pelaksanaan dan laporan hasil audit dari tahap 3 digunakan sebagai dasar untuk

pemvalidasian sistem traceability menggunakan standar CAC/RPC 1-1969,

Rev. 4-2003 sebagai kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahapan-

tahapan sebelumnya. Setelah sistem traceability divalidasi, pemenuhan

CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat dicapai. Dokumentasi lainnya seperti

dokumentasi proses produksi, sistem manajemen keamanan pangan, dan

validasi sistem (sertifikat) dapat dicapai. Bukti dari kepuasan konsumen juga

merupakan keluaran yang diharapkan dari proses pengembangan sistem

traceability internal ini.

5) Perawatan sistem: Perawatan dari sistem traceability merupakan tahapan yang

sangat penting dari keseluruhan proses. Perawatan dibutuhkan untuk menjaga

agar sistem tetap berjalan dan juga untuk melakukan perbaikan terus-menerus.

Tahapan ini merupakan proses yang terus-menerus dilakukan (siklus berulang)

dan rencana sistem traceability sebaiknya dimodifikasi berdasarkan perubahan

regulasi yang ada, permintaan konsumen dan faktor lainnya yang dapat

menyebabkan perubahan pada proses bisnis. Tahapan selanjutnya akan

dimodifikasi ulang setiap adanya perubahan rencana sistem traceability.

Keseluruhan tahapan pengembangan traceability internal ini dapat dilihat pada

Gambar 17.

Page 64: Trace Ability

32

Gambar 17 Teknik IDEF0 untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability internal pada UPI

(Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).

51

Laporan Penerapan

traceability

Jaminan kualitas dan keamanan pangan

Penerapan

Traceability

2

Evaluasi

Pelaksanaan

Sistem

3

Validasi

Sistem

4

Perawatan

Sistem

5

Pemenuhan Regulasi

(CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003)

Manual Traceability

Standar

Industri Personal Prosedur

Menentukan

Rencana

Sistem

Traceability

1

Dokumentasi Proses Produksi

Sertifikat yang divalidasi

Kepuasan Konsumen

Laporan Penerapan Sistem

Manajemen Keamanan Pangan

Laporan Audit

Jenis Produk Akhir

(Harapan Konsumen)

Highly Perishable

(Karakterisasi Produk)

CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003 (Kebutuhan Regulasi)

Page 65: Trace Ability

52

4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna

Peraturan pangan Uni Eropa yaitu General Food Law (EC No. 178, artikel

18) menyebutkan perlunya sistem traceability pada rantai distribusi pangan (food

supply chain) untuk mencapai kemampuan pelacakan secara utuh (Official

Journal of the Europan Communities 2002). Setiap aktor yang terlibat di

dalamnya harus menyimpan dan memelihara informasi yang berkaitan dengan

dari mana suatu bahan pangan berasal dan tetap menelusuri (mengikuti) jalur dan

perubahan bentuk yang dialami suatu produk sepanjang proses produksi dan

kemudian mentransfer informasi tersebut ke aktor selanjutnya dalam rantai

distribusinya (Thakur dan Humburgh 2009). Berbagi informasi (share) antar aktor

dalam rantai distribusi produk penting dilakukan untuk mencapai sistem

traceability yang efektif (Derrick dan Dillon 2004). Untuk memahami hal tersebut

maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan bagaimana suatu produk

diidentifikasi, struktur datanya, data carrier yang digunakan, dimana saja lokasi

pengumpulan data (data capture point) dan bagaimana data/informasi

dipertukarkan antar aktor dalam rantai distribusi tuna loin beku.

Sebelum mencapai traceability pada keseluruhan rantai distribusi (chain

traceability) penting untuk memahami lokasi-lokasi pengidentifikasian unit

produk pada traceability internal dan hubungannya dengan chain traceability.

Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability mengacu pada Senneset

et al. (2007) dan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability

(Modifikasi Senneset et al. 2007).

Lokasi pengidentifikasian produk

pada traceability internal

Lokasi pengidentifikasian

produk pada chain traceability

Aliran Informasi

Lokasi pengidentifikasian

produk pada chain traceability

Aliran Produk (tuna loin beku)

TRANSIT

IMPORTIR

UPI (PT X)

Penerimaan Proses Stuffing

Page 66: Trace Ability

53

Tahapan yang penting untuk dilakukan pengidentifikasian produk dan

perekaman secara internal di PT X adalah pada tahap penerimaan bahan baku dan

pengisian (stuffing) karena kedua tahapan ini merupakan tahapan yang menjadi

penghubung informasi antara supplier (transit)dengan perusahaan dan perusahaan

dengan pihak importir. Pada tahap penerimaan bahan baku merupakan awal dari

pengumpulan informasi dari supplier mengenai bahan baku atau bahan tambahan

yang digunakan, sedangkan pada tahap stuffing merupakan tahapan dimana

informasi baru ditambahkan setelah proses produksi selesai dilaksanakan.

Senneset et al. (2007) menyatakan penting bagi suatu organisasi menetapkan

identitas untuk melakukan penelusuran dimana identitas tersebut direkam pada

tahapan penerimaan dan pada saat suatu produk akan didistribusikan ke pihak

selanjutnya setelah proses produksi selesai dilaksanakan.

Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003)

memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti

distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa

kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau

organisasi yang berbeda. Praktek pendistribusian ikan tuna beku (frozen tuna) dari

satu aktor ke aktor lainnya juga mengalami berbagai macam aktivitas termasuk

pengemasan ulang diantaranya:

Pergerakan: Ikan tuna bergerak dari satu pihak ke pihak lain dalam rantai

distribusi sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Sebagai contoh adalah

nelayan menjual tuna ke pihak transit dan kemudian pihak transit menjualnya

ke PT X.

Penyortiran: Ikan selama distribusi mengalami aktivitas penyortiran untuk

pembedaan berdasarkan mutu. Contohnya ketika ikan yang disortir secara

organoleptik di transit oleh checker menjadi 4 tingkat grade (mutu), yaitu:

ikan tuna dengan grade A, B, C, dan D.

Penyimpanan (storage): Ikan tuna sejak penangkapan disimpan dalam periode

tertentu oleh tiap-tiap aktor sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen

akhir. Ikan yang disimpan dalam periode tertentu sebelum dikonsumsi dapat

mempengaruhi kondisi fisik, kimia maupun biologinya. Sebagai contoh

menurut Keer et al. (2002) ikan tuna yang disimpan pada suhu rendah oleh

Page 67: Trace Ability

54

retailer yaitu hanya menutup ikan menggunakan es atau secara sederhana ikan

hanya diletakkan di atas es untuk mencegah kebusukan, dalam jangga waktu

yang lama hal ini akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang memicu

terbentuknya histamin pada tuna.

Perubahan bentuk: Sepanjang rantai distribusi, ikan tuna tidak hanya di ekspor

dalam bentuk utuh segar melainkan juga di ekspor dalam bentuk yang

bermacam-macam seperti loin, steak, cubes dan ground meat.

Pengemasan ulang: Ikan tuna beku hasil diversifikasi pihak UPI (PT X)

diekspor ke Amerika tidak langsung ditujukan ke konsumen akhir melainkan

dijual ke pihak wholesaler (grosir) yang akan melakukan pengemasan ulang

sebelum didistribusikan kembali ke pihak retailer yang meneruskan ke

konsumen akhir.

Aktivitas-aktivitas yang terjadi pada ikan tuna sepanjang rantai distribusi

tersebut penting untuk direkam. Thakur dan Humburgh (2009) juga menyatakan

mendokumentasikan aktivitas yang terjadi pada suatu produk dan transfer

informasi kepada pihak selanjutnya pada rantai distribusi penting dilakukan.

Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan

informasi apa saja yang harus didokumentasikan dan dibagi (transfer informasi)

kepada pihak-pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna (tuna supply

chain) yang dapat dilihat pada Gambar 19.

Page 68: Trace Ability

56

Kapal Transit

Transportasi Distributor Retailer

Distributor

Retailer

UPI

Pasar Lokal

Transportasi

Gambar 19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi tuna (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).

Nama kapal1

ID kapal1

ID produk1

No registrasi kapal

Metode penangkapan

Spesies & berat ikan

Cara penanganan diatas kapal

Area dan tanggal

penangkapan1

Tanggal dan waktu

pengiriman

Identitas transit1

Identitas UPI3

Identitas distributor4

Nama produk3

ID berkaitan dengan produk

Identitas pengiriman

Spesies ikan

Jenis pengolahan

Jenis dan jumlah

kemasan

Berat bersih

Pengecekaan suhu

Tanggal kadaluarsa

ID produk1

Nama kapal1

Id kapal1

Control check

Area dan tanggal

penangkapan1

Tanggal dan waktu

penerimaan

Identitas transit2

Jumlah, spesies dan berat ikan

Waktu dan tanggal pengiriman

Identitas UPI3

Bukti pembelian

Identitas UPI3

Identitas transit2

Tanggal dan waktu penerimaan

ID berkaitan dengan

produk

Quality control check

Metode pendinginan

Jenis, jumlah dan berat ikan

Suhu ikan selama

pengangkutan

Nama produk

Berat bersih

Tahapan proses

Tipe kemasan

Suhu selama pengolahan dan

penyimpanan

Hasil uji mutu produk

Berat bersih produk

Tanggal produksi

Kode produksi

No registrasiUPI

Waktu dan tanggal pengiriman

Suhu selama

penyimpanan dan transportasi

Identitas tujuan ekspo

(distributor)4

55

Page 69: Trace Ability

56

Gambar 19. menunjukkan bahwa tidak semua informasi pada tiap-tiap

aktor dibagi kepada aktor selanjutnya dalam jalur distribusi. Angka-angka 1, 2,

dan 3 (superscript) menunjukkan informasi apa saja yang dibagi oleh tiap-tiap

aktor dalam rantai distribusi tuna. Ketika suatu informasi mengenai bacth tuna

didapatkan, informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak ke belakang

hingga asal ikan. Sebaliknya setelah ikan tuna selesai di proses, informasi kepada

siapa bacth dari ikan tersebut dikirim dapat digunakan untuk mengikuti jalur

distribusinya bahkan hingga ke pihak retailer.

Informasi-informasi pada Gambar 19. untuk pihak Kapal Penangkap

berasal dari log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai

tuna dan pancing ulur (Lampiran 1). Untuk pihak Transit dan Distributor

(wholesaler) informasi berasal dari standar Tracefish (CEN 14660:2003),

sedangkan informasi pada pihak UPI berasal dari PT X sebagai perusahaan

pengolah ikan tuna loin beku.

Informasi-informasi yang sebaiknya didokumentasikan oleh tiap-tiap aktor

dalam rantai distribusi untuk mencapai ketertelusuran (traceability) produk

perikanan dapat dilihat dalam standar Tracefish (CEN 14660:2003) dimana pada

standar ini terdapat tiga kategori informasi yaitu kategori Shall, Should dan May.

Kategori shall merupakan kategori informasi yang berkaitan dengan data pokok

untuk sistem traceability. Data pada kategori ini dibutuhkan untuk melakukan

penelusuran mengenai sejarah, aplikasi maupun lokasi dari suatu produk dalam

prinsip satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan sehingga mampu

untuk memfasilitasi penarikan produk. Kategori should dan may merupakan

kategori informasi pendukung untuk mendeskripsikan dan menyediakan informasi

pendukung mengenai produk yang akan dilacak. Perbedaannya adalah kategori

should merupakan kategori informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu

sertifikasi (misal sertifikasi GMP) sedangkan kategori may tidak.

Selain gambaran mengenai informasi yang harus didokumentasikan dan

dibagi oleh tiap aktor dalam rantai distribusi tuna loin, sebuah sequence diagram

dikembangkan untuk menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu

aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk olahan tuna pada aktor

sebelumnya. Menurut Thakur dan Humburgh (2009) tujuan utama dari sequence

Page 70: Trace Ability

57

diagram adalah untuk mendefinisikan rangkaian peristiwa yang menghasilkan

suatu output yang diinginkan. Sequence diagram pada tuna supply chain dapat

dilihat pada Gambar 20.

Page 71: Trace Ability

56

Kapal Transit UPI/PT X Distributor Retailer

Kirim data tuna

Kirim data produk

Kirim data tuna

Kirim data produk

Minta informasi tambahan

Minta informasi tambahan

Minta informasi tambahan

Minta informasi tambahan

Mengembalikan informasi tambahan

Mengembalikan informasi tambahan

Mengembalikan informasi tambahan

Mengembalikan informasi tambahan

Pengguna informasi

Gambar 20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta

(Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).

58

Page 72: Trace Ability

59

Gambar 20. menunjukkan rangkaian dari pertukaran suatu informasi.

Ketika suatu produk didistribusikan dari satu aktor ke aktor lain, informasi (data)

yang berkaitan dengan produk juga diikutsertakan. Namun pada kasus khusus

yaitu berkaitan dengan masalah keamanan pangan, maka lembaga berwenang

akan meminta informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya.

Ketika hal ini terjadi, aktor dalam suatu rantai distribusi harus mampu

menyediakan informasi yang dibutuhkan secara cepat (real time). Sebagai contoh

Thakur dan Humburgh (2009) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, suatu

perusahaan memiliki waktu 24 jam untuk menyediakan informasi yang diperlukan

sejak informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta.

4.3.4 Desain basis data

Desain basis data traceability direpresentasikan menggunakan entity

relationship diagram (ERD). Seperti halnya cetak biru yang merupakan kunci

untuk memahami dan membuat desain sebuah bangunan, entity relationship

diagram merupakan kunci untuk memahami dan membuat desain sebuah

database (Toledo dan Cushman 2007). ERD yang dihasilkan pada tahap ini masih

merupakan suatu bentuk konseptual, sehingga perlu disusun dan diterjemahkan ke

dalam bentuk fisik agar dapat digunakan. Desain basis data yang dilakukan baru

mencakup informasi mengenai produk akhir (end product) yang terdiri dari 6

entitas (obyek) utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut

diantaranya adalah tabel kapal penangkapan tuna, tabel supplier, tabel bahan

baku, tabel produk, tabel perusahaan, dan tabel pelanggan. Deskripsi dari tiap-tiap

tabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 73: Trace Ability

60

Tabel 5. Entitas utama yang terdapat dalam basis data

Entitas Keterangan

Kapal penangkapan tuna Berisi informasi berkaitan dengan seluruh aktivitas

penangkapan ikan tuna. Contoh: nama kapal, metode

penangkapan, lokasi penangkapan, dll.

Supplier Berisi informasi tentang identitas supplier dan

aktivitas pembelian ikan.

Bahan baku Berisi informasi tentang seluruh bahan baku yang

digunakan untuk proses produksi.

Produk Berisi informasi tentang segala sesuatu yang

mendeskripsikan tentang produk akhir dari suatu

proses produksi (end product).

Perusahaan Berisi informasi tentang perusahaan sebagai tempat

dilakukannya proses produksi tuna.

Pelanggan Berisi informasi tentang pelanggan yang membeli

produk dari perusahaan.

Entitas utama pada Tabel 5. juga merupakan entitas dari sistem informasi

dalam penelitian ini dimana terdapat hubungan (relasi) antara entitas-entitas

tersebut. Entitas adalah obyek-obyek bermakna yang bagi organisasi merupakan

informasi yang perlu untuk diketahui (Thakur dan Humburgh 2009). Hasil dari

penghubungan entitas tersebut akan menjadi suatu entity relationship diagram

yang disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. menjelaskan hubungan keterkaitan antara entitas yang ada.

Pada gambar tersebut primary key dan atribut digambarkan dimana primary key

merupakan identitas (ID) yang bersifat unique bagi setiap entitas. Primary key

dilambangkan dengan tulisan dengan garis bawah. Entitas produk memiliki

hubungan terhadap entitas perusahaan dimana setiap produk yang dihasilkan

berasal dari satu perusahaan saja yaitu PT X, sedangkan satu perusahaan dapat

menghasilkan banyak produk tuna yang memiliki banyak ID. Entitas perusahaan

memiliki hubungan dengan entitas pelanggan dimana satu perusahaan dapat

mempunyai banyak pelanggan dan begitu pula setiap pelanggan dapat mempunyai

banyak perusahaan sebagai tempat membeli produk. Entitas perusahaan memiliki

hubungan dengan entitas supplier dimana satu perusahaan dapat mempunyai

banyak supplier dan begitu pula setiap supplier dapat mempunyai banyak

perusahaan sebagai tempat menjual bahan baku.

Page 74: Trace Ability

61

Entitas produk memiliki hubungan dengan entitas supplier dimana setiap

produk yang dihasilkan berasal dari bahan baku dengan banyak supplier,

sedangkan setiap supplier dapat mempunyai bahan baku yang banyak yang

menghasilkan banyak produk. Entitas produk juga memiliki hubungan dengan

entitas bahan baku dimana setiap produk yang dihasilkan menggunakan banyak

bahan baku dan setiap bahan baku yang digunakan menghasilkan banyak produk.

Entitas bahan baku selain memiliki hubungan dengan entitas produk juga

memiliki hubungan dengan entitas supplier yaitu setiap bahan baku mempunyai

banyak supplier dan sebaliknya setiap supplier mempunyai bahan baku yang

banyak untuk dihasilkan berbagai macam produk. Terakhir adalah entitas supplier

memilili hubungan dengan entitas kapal dimana setiap ikan yang ada pada

supplier dikirim dari berbagai kapal penangkap tuna, sedangkan setiap kapal

penangkap tuna dapat mengirim ikan hasil tangkapannya kepada banyak supplier.

Page 75: Trace Ability

47

SupplierProduk

mempunyai

Id_produk

nama

produk

Tanggal

produksi

berat

bersih

FDA

registration

jenis

produk

nama

supplierId_supplier

Bahan baku

Id_bahan baku

menggunakan mempunyai

spesies

jumlah berat

tanggal

penerimaan

no urut

penerimaan

Perusahaan

menghasilkan

Id_perusahaan

nama

perusahaan

Pelanggan

Kapalmengirim

tanggal

pendaratan

Id_kapal

nama

kapal

metode

penangkapan

lokasi

penangkapan

tanggal

penangkapan

mempunyai

Id_pelanggan

nama

pelanggan

Gambar 21 Entity relationship diagram dari basis data traceability.

62

Page 76: Trace Ability

63

4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability

Arsitektur umum implementasi sistem digunakan untuk memudahkan

pemahaman mengenai bagaimana suatu organisasi dalam rantai distribusi produk

menyimpan data/informasi secara internal dan melakukan pertukaran

data/informasi antar aktor. Arsitektur ini merupakan modifikasi dari Karlsen et al.

(2011) yang membuat arsitektur implementasi traceability elektonik pada rantai

distribusi ikan segar yang dapat dilihat pada Gambar 22.

Kapal Penangkap

TunaTransit UPI Importir

Update

data

Update

data

Sistem

Informasi

A

Sistem

Informasi

B

Database

Traceability

Database

Traceability

Aliran produk Aliran informasi

Pertukaran Informasi Menggunakan XML

Tra

ce

ab

ility

in

tern

al

Ch

ain

Tra

ce

ab

ility

Pengguna sistem (aktor)

Gambar 22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability

(Modifikasi Karlsen et al. 2011)

Gambar 22 menunjukkan bahwa aktor kapal penangkap tuna dan transit

belum memiliki sistem informasi tersendiri sehingga informasi terkait traceability

yang terdapat pada masing-masing aktor (pihak) tersebut akan di transfer secara

manual menggunakan dokumen kertas hingga ke pihak UPI. Pihak UPI sendiri

memiliki suatu sistem informasi yang sama sekali berbeda dengan sistem

informasi yang terdapat pada pihak Importir. Pertukaran informasi secara

elektonik akan sulit dilakukan karena perbedaan sistem informasi tersebut,

sedangkan pertukaran informasi traceability berbasis dokumen kertas

membutuhkan waktu yang relatif lama (time consuming) untuk melakukan

Page 77: Trace Ability

64

penelusuran produk dan peluang eror yang cukup tinggi karena pencatatan

berulang dalam penggabungan dokumen pada prakteknya menyulitkan

traceability berbasis dokumen kertas (Derrick dan Dillon 2004; Senneset et al.

2007).

Kesuksesan pertukaran informasi produk perikanan dapat dilakukan jika

perbedaan sistem informasi antar aktor dalam rantai distribusi dapat bekerja

bersama (interoperable) (Sebestyen et al. 2008 dalam Karlsen et al. 2011).

Standar untuk mendeskripsikan pertukaran informasi antara sistem perangkat

lunak (software system) berguna untuk dapat mengefisienkan komunikasi (Folinas

et al. 2006). Peningkatan popularitas XML (Extensible Markup Language) saat ini

untuk melakukan pertukaran informasi antar sistem informasi yang berbeda telah

memudahkan para pelaku bisnis untuk menggunakan teknologi ini (Sidik dan

Pohan 2010; Thakur dan Hurburgh 2009). Dengan XML, data dapat dipertukarkan

antara sistem yang berbeda (not compatible). Dalam kenyataan yang sebenarnya

sistem komputer dan basis data menyimpan data dalam format yang berbeda satu

sama lain. Mengkonversi data ke XML dapal mengurangi kompleksitas dan

membuat data dapat dibaca oleh berbagai tipe aplikasi (Sidik dan Pohan 2010;

Karlsen et al. 2011). Perbedaan sistem informasi pada pihak UPI dan Importir

dapat dijembatani menggunakan XML sehingga memudahkan pertukaran

informasi secara elektronik. Salah satu contoh dokumen XML yang dapat

digunakan untuk melakukan pertukaran informasi dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi

(Modifikasi Tracefish 2003)

TraceabilityDocument Document ID="001" Creator= "rizal">

<ProductType>Frozen Tuna Loin</ProductType>

<BacthNumber>K183Q</BacthNumber>

<TradeName>Yellowfin tuna</TradeName>

<ScientificName>Thunnus albacares</ScientificName>

<ProductionMethodType>Captured</ProductionMethodType>

<CatchArea>FAO Catch Area No. 57 (Indian Ocean)</CatchArea>

<Size>5/8 Lbs/Pc</Size>

<NetWeight>40 Lbs</NetWeight>

<ManufactureCode>149281816446</ManufactureCode>

<ProductionDate>10 2010</ProductionDate>

<TemperatureControlMethodType>Refrigerated</TemperatureControlMethodType>

</TraceabilityDocument>

Page 78: Trace Ability

65

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kajian rantai distribusi penanganan tuna menunjukkan bahwa aktor yang

terlibat antara lain kapal penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer. Dari

masing-masing aktor yang terlibat, sistem rekaman sebagai alat pemantauan dan

sistem pengkodean sebagai alat identifikasi penting untuk diterapkan. Penerapan

sistem dokumentasi program traceability di PT X menunjukkan bahwa sistem

rekaman sebagai hasil pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat

identifikasi telah diterapkan, akan tetapi masih belum optimal. Sistem rekaman

dan pengkodean belum mampu merekam dan menelusuri seluruh tahap

pengolahan tuna loin terutama pada tahap pemberian gas CO.

Hasil analisis dan desain sistem informasi dokumentasi program

traceability menunjukkan bahwa dari tiap-tiap aktor yang terlibat dalam rantai

distribusi tuna loin beku memiliki hubungan yang saling terkait dalam penyediaan

informasi dokumentasi program traceability dan ditampilkan dalam sebuah use

case. Sebuah model untuk implementasi sistem dokumentasi program traceability

secara internal juga dikembangkan untuk unit pengolah ikan menggunakan IDEF0

(Integrated Definition Modelling) terdiri dari input, kontrol, mekanisme dan

output. Dalam pemodelan pertukaran informasi, terlihat bahwa tidak semua

informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya dalam rantai

distribusi, sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi internal aktor.

Terakhir desain basis data yang dilakukan dalam suatu bentuk konseptual dimana

baru mencakup desain basis data untuk produk akhir (end product) yang terdiri

dari 6 entitas utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya

adalah kapal penangkapan tuna, supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan

pelanggan.

5.2 Saran

Tingkat efiktivitas dan efisiensi dari implementasi sistem informasi

berbasis teknologi informasi untuk mendukung pelaksanaan sistem dokumentasi

program traceability pada suatu perusahaan pengolah ikan sangat penting

dikembangkan.

Page 79: Trace Ability

66

DAFTAR PUSTAKA

Amirin TM. 2003. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Blanc M, Desurmont A, Beverly S. 2005. Onboard Handling of Sashimi-Grade

Tuna. New Zealand: Secretariat of The Pacific Community P 1-22.

Block B, Stevens. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution Vol. 19.

California: Academic Press P 468.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2729.3-2006. Ikan Segar-

Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.1-2006. Tuna Loin

Beku-Bagian 1: Spesifikasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.2-2006. Tuna Loin

Beku-Bagian 2: Persyaratan Bahan Baku. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.3-2006. Tuna Loin

Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan

Standardisasi Nasional.

Bremner HA, M Sakaguchi. 2000. A critical look at whether „freshness‟ can be

determined. Journal of Aquatic Food Product Technology 9 (3): 5–25.

Caswell JA. 2000. Economic approaches to measuring the significance of food

safety in international trade. Journal of Food Microbiology 62 (3): 261-

266.

[CAC] Codex Allimentarious Comission. 2006. CAC/GL 60-2006. Principles for

Traceability/Product Tracing as a Tool Within a Food Inspection and

Certification System. Rome: CAC.

CEN 14660. 2003. CEN Workshop Agreement. Traceability of Fisheriy Products

- Spesification of the Information To Be Recorded In Captured Fish

Distribution Chains. Europan Committe for Standardization.

Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the

world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos

and related species known to date. FAO Fish.Synop., (125) Vol. 2: 137 p.

Committee on the Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems.

2003. Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems. Japan.

Page 80: Trace Ability

67

Davis GB. 1992. Sistem Informasi Manajemen-Bagian 2. Widyahartono B,

penerjemah. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.

Dengen N, Hatta HR. 2009. Perancangan sistem informasi terpadu pemerintah

daerah kabupaten Paser. Jurnal informatika Mulawarman 4 (1): 47-54.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Potensi dan Pemberdayaan

Ikan Tuna. http://www.dkp.go.id [17 Agustus 2010].

Derrick S, Dillon M. 2004. A Guide to Traceability within The Fish Industri.

Eurofish, Humber Institute Food and Fisheries, SIPPO.

Ekici K, Alisarli M. 2008. Histamine formation and microbiological changes in

endemic Chalcalburnus tarichi Pallas 1811 (Inci Kefali) stored at 4 °C.

Arch Med Vet 40 (1): 95-98.

Elmasri R, Navathe SB. 1994. Fundamentals of Database System-Second Edition.

California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.

Emborg J, Laursen G, Dalgaard P. 2005. Significant histamine formation in tuna

(Thunnus albacore) at 2 oC-effect of vacuum-and modified atmosphere-

packaging on psychrotolerant bacteria. Journal of food microbiology 101

(3): 263-279.

[FDA] Food and Drug Administration. 2009. FDA Import Refusal Report.

http://www.fda.gov [21 April 2010].

[FSAI] Food Safety Authority of Ireland. 2002. Guidance Note 10 Product Recall

and Traceability. Ireland.

Folinas D, Manikas, I, Manos, B. 2006. Traceability data management for food

chains. British Food Journal 108 (8): 622–633.

Frederiksen M, Osterberg C, Silberg S, Larsen E, Bremner A. 2002. Info-Fisk.

development and validation of an internet base traceability system in a

Danish domestic fresh fish chain. Journal of Aquatic Product Technology

11 (2): 13-34.

Ghaly AE, Dave D, Budge S, Brooks MS. 2010. Fish Spoilage Mechanisms and

Preservation Techniques: Review. American Journal of Applied Sciences 7

(7): 859-877.

Green DP. 2011. Sensory evaluation of fish freshness and eating qualities. Di

dalam: Alasalvar C, F Shahidi, K Miyashita, U Wanasundara, editor.

Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications. USA:

Blackwell Publishing Ltd. Pp. 29 – 38.

GS1 US. 2011. The GS1 US Point of View: How GS1 Standards Support Product

Tracing, Critical Tracking Events, and Key Data Elements. United States.

Page 81: Trace Ability

68

Guzaini N, AL-Busaidy M.A, Al-Belushi I.M, Mothershaw A, Rahman M.S.

2005. The effect of storage temperature on histamine production and the

freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacares). Food Research

International 35 (2): 215-222.

Haard NF. 1992. A review of proteolytic enzymes from marine organisms and

their applications in the food industry. Journal Aquatic Food Product

Technology 1 (1): 17.

Huss H H. 1995. Quality and Quality changes in fresh fish. Rome: FAO Fisheries

Technical Paper, No. 348.

Hoffer JA, Prescott MB, McFadden FR. 2002. Modern Database Management 6th

Edition. United States of America: Prentice Hall.

IDEFO Funcion Modelling Method. 1993. Integrated Definition Methods, IDEF

Family of Methods. Knowledge Based Systems, Inc.

http://www.idef.com/idef0.html [07 Maret 2011].

[ISO 9000:2000] The International for Standarization 9000:2000. 2000. Quality

Management System – Fundamentals and Vocabularry. The International

for Standarization. Switzerland.

[ISO 22000:2005] The International for Standarization 22000:2005. 2005. System-

Requirements for any Organization in the Food Chain. The International

for Standarization. Switzerland.. The International for Standarization.

Switzerland.

[ISO 22005:2007] The International for Standarization 22005:2007. 2007.

Traceability in the Feed and Food Chain-General Priciples and Basic

Requierements for System Design and Implementation. The International

for Standarization. Switzerland.

Junaedi F. 2005. Panduan Lengkap Pemrograman HTML. Yogyakarta: PD.

Anindya.

Karlsen KM, Sorensen CF, Foras F, Olsen P. 2011. Critical criteria when

implementing electronic chain traceability in a fish supply chain. Food

Control (22): 1339-1347.

Keer M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage Conditions on

Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Werribee: Public Health

Division of Victoria Government.

Kimata M. 1961. The Histamine Problem dalam Fish as Food Vol 1. New York:

Acad Press.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan

Dalam Angka 2009. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Page 82: Trace Ability

69

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan No.

PER. 19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan

Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Larsen E. (2003) Traceability in fish processing. Di dalam: M. Lees (Ed.) Food

Authenticity and Traceability. United Kingdom: Woodhead Publishing

Limited. pp. 507–517.

Lee J, Xue NL. 1999. Analyzing user requirements by use case: a goal driven

approach. IEE Software 16 (4): 92-101.

Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. Journal of Food

Microbiology 58 (1-2): 1–37.

Mahmoud BSM, K Yamazaki, K Miyashita, II Shin, T Suzuki. 2006. A new

technology of fish preservation by combined treatment with electrolysed

NaCl solutions and essential oil compounds. Journal Food Chemistry 99

(4): 656-662.

McMeekin TA, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S,

Zwietering M.H. 2006. Information system in food safety management.

International Journal of Food Microbiology 112 (3): 181-194.

Morrison C. 2003. Traceability in food processing: an introduction. Di dalam: M.

Lees (Ed.) Food Authenticity and Traceability. United Kingdom:

Woodhead Publishing Limited. pp. 459–472.

Official Journal of the European Communities, 2002. Regulation (EC) No.

178/2002 of the European Parliament and the Council of 28 January 2002.

O‟Brien JA, Marakas GM. 2006. Management Information System-Seventh

Edition. Boston: McGraw-Hill.

Pender TA. 2002. UML Weekend Crash Course. United Stated of America:

Willey Publishing.

Purnomo AH. 2007. Permasalahan makro di sector perikanan dan alternatif

kebijakannya. Di dalam: BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan

Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar

Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan.

Purnomo AH, Suryawati SH. 2007. Penawaran komoditas perikanan Indonesia:

trend produksi, sentra produksi dan teknologi pengolahannya. Di dalam:

BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang

dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar Riset Sosial Ekonomi

Kelautan Perikanan.

Raspor P. 2005. Bio-markers: Traceability in food safety issues. Acta Biochimica

Polonica 52 (3): 659-664.

Page 83: Trace Ability

70

Regattieri A, Gamberi M, Manzini R. 2007. Traceability of food products: general

framework and experimental evidence. Journal of Food Engineering 81

(2): 347-356.

Rehbein H, Oehlenschlager J. 2009. Fishery Products-Quality, Safety and

Authenticity. United Kingdom: Willey Blackwell.

Rossi S, Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye

tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicology

(67): 2056-2060.

Senneset G, Foras E, Fremme KM. 2007. Challenges regarding implementation of

electronic chain traceability. British Food Journal 109 (10): 805-818.

Shomura RS, Majkowski J, Langi S. 1991. Interaction of Pacific Tuna Fisheries

Volume 2 Paper on Biology and Fisheries. Rome: FAO: 439p.

Sidik B, Pohan HI. 2010. Pemrograman Web dengan HTML - Revisi Ketiga.

Bandung: Informatika.

Surette M, Gill TA, LeBlanc PJ. 1988. Biochemical basis of postmortem

nucleotide catabolism in cod (Gadus morhua) and its relationship to

spoilage. Journal Agriculture Food Chemistry 36 (1): 19–22.

Thakur M, Donnelly KAM. 2010. Modelling traceability information in soybean

value chain. Journal of Food Engineering 99 (1): 98-105.

Thakur M, Hurburgh CR. 2009. Framework for implementing traceability system

in the bulk grain supply chain. Journal of Food Enginering 95 (4): 617-

629.

Thow AN, Swinburn B, Colagiuri S, Diligolevu M, Quested C, Vivili P, Leeder S.

2010. Trade and food policy: case studies from three Pasific Island

countries. Food Policy 35 (6): 556-564.

Toledo RAM, Cushman PK. 2007. Dasar-Dasar Database Relasional. Astranto

S, penerjemah. Jakarta: Erlangga.

Veen TWSV. 2005. International trade and food safety in developing countries.

Food Control 16 (6): 491-496.

Venugopal V. 2006. Seafood Processing, Adding Value Through Quick Freezing,

Retortable Packaging, and Cook-Chilling. United States of America: CRC

Press.

Wallace CA, Sperber WH, Mortimore SE. 2011. Food Safety for the 21st Century:

Managing HACCP and Food Safety Throughout the Global Supply Chain.

United Kingdom: Willey-Blackwell.

Page 84: Trace Ability

71

GLOSSARY

B

Basis data:

Kumpulan informasi yang disimpan dalam komputer secara sistematik dapat

diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi

dari basis data tersebut.

Batch/Lot

Kumpulan dari unit atau banyak unit yang diproduksi dan/atau diproses atau

dikemas dalam keadaan yang sama.

D

Data

Informasi yang didokumentasikan.

Database Management System:

Kumpulan program yang digunakan untuk membuat dan mengelola basis data.

Desain Data Konseptual:

Model data yang menyediakan konsep bagaimana user (pengguna informasi)

melihat suatu data.

E

Entitas:

Obyek-obyek yang dilibatkan dalam sebuah basis data

Entity Relationship Diagram:

Suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di

dalam basis data beserta hubungan antar data.

I

Informasi

Data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan

bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang.

Input

Sesuatu yang dapat digunakan dari suatu proses untuk menghasilkan suatu output.

Page 85: Trace Ability

72

K

Kontrol

Kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat

menghasilkan output.

M

Mekanisme

Bagaimana suatu proses direalisasikan.

O

Output

Data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses.

P

Primary Key:

Identitas (ID) yang bersifat unique

Proses:

Suatu kumpulan yang saling berhubungan atau aktivitas yang saling berinteraksi

untuk mengubah suatu input menjadi output.

S

Sistem

Sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur

dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau

sasaran tertentu.

Sistem Informasi

Kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak

serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara

bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk.

Page 86: Trace Ability

73

T

Traceability

Kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah

pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan

dan sejarah proses produk, serta distribusi produk.

Traceability Decission Tree

Metode untuk memastikan traceability dari setiap proses produksi pada suatu

perusahaan telah berjalan.

U

Use Case:

Suatu kegiatan yang dilakukan dan dapat diukur.

Use Case Diagram:

Suatu diagram yang menggambarkan skenario tentang apa yang terjadi ketika

seseorang/organisasi berinteraksi dengan sistem.

X

XML (Extensible Markup Language)

Merupakan bahasa sebagaimana HTML yang di desain untuk mendeskripsikan

data dimana tag dalam XML didefinisikan sendiri. Dokumen XML dapat

digunakan untuk pertukaran data antar organisasi.

Page 87: Trace Ability

74

LAMPIRAN

Page 88: Trace Ability

59

Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur.

74

Page 89: Trace Ability

75

Lampiran 2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data

verivikasi)

Nama tahapan kegiatan Aktivitas yang dilakukan

Pembelian (purchasing) Penyortiran ikan berdasarkan mutu

Pembuangan sirip

Pemeriksaan mutu dan suhu oleh

checker

Penerimaan bahan baku Pemeriksaan mutu dan suhu oleh

checker

Pencucian I Pencucian kulit dari kotoran yang

menempel dengan air mengalir

Penyimpanan sementara Penyimpanan ikan dalam bak besar

berisi es curai

Lama penyimpanan sementara

tergantung pada lamanya kesiapan

dari proses pengolahan selanjutnya

dan juga waktu kedatangan ikan

Pencucian II Pencucian dari kotoran setelah ikan

diangkat dari bak penyimpanan

semetara

Penimbangan I Penimbangan bobot ikan sebelum

proses cutting

Pencatatan bobot ikan

Pemotongan kepala Pembuangan kepala dampai batas

operculum

Pembersihan meja pemotongan

Pembentukan loin (loining) Pemfiletan menjadi 4 bagian

Pembuangan kulit, daging gelap dan

duri Pembuangan kulit

Pemisahan daging gelap

Pembuangan sisa-sisa duri

Penimbangan II Penimbangan bobot loin

Pencatatan dalam form

Pembungkusan sementara Pembungkusan dalam plastik

LDPE polos

Peletakan dalam keranjang

Penimbungan dengan flekes ice

Pemberian gas CO Pemberian gas CO pada tekanan

20-40 Psi

Jumlah penyuntikan disesuaikan

dengan size loin

Pendinginan (chilling) Penyusunan loin dalam keranjang

Penyimpanan dalam chill room

suhu 0-1oC selama 48 jam

Sortasi mutu Sortasi berdasarkan warna dan

tekstur

Loin dengan grade A diproses

Page 90: Trace Ability

76

menjadi saku, grade B menjadi

loin ID-on, grade C atau size yang

terlalu kecil menjadi steak

sedangkan daging sisa potongan

diproses menjadi cubes dan ground

meat.

Loin dengan mutu dibawah standar

dipisahkan untuk di smoke ulang

Perapihan (retouching) Perapihan dari daging gelap, sisa-

sisa daging gelap, sisa kulit, dan

sisa duri

Penyekaan daging dengan spon

Penimbangan III Penimbangan berat akhir loin

sebelum pembungkusan

Untuk mengetahui rendemen

produk

Pencatatan dalam form

(dokumentasi)

Pembungkusan Pemasukan dalam plastik polietilen

berlabel

Pemvakuman Pemvakuman produk yang telah

dikemas dengan mesin vakum

Penyusunan Penyususnan dalam keranjang

Pemberian no batch

Pengangkutan ke Air Blast Freezer

Pembekuan Pembekuan dalam ABF, suhu -

20oC selama 8 jam

Penimbangan IV Penimbangan bobot ikan setelah

pembekuan

Pengemasan dalam master carton dan

pelabelan Penyusunan dalam master carton

Pemberian label

Penyimpanan Penyusunan dalam cold storage

Penyimpanan produk dalam cold

storage pada suhu -18oC

Pengisian (stuffing) Pemindahan produk dari cold

storage ke dalam kontainer

pengangkut

Page 91: Trace Ability

77

Lampiran 3 Record of harvest vessel

Page 92: Trace Ability

78

Lampiran 4 Record of raw material receiving

Page 93: Trace Ability

79

Lampiran 5 Record of daily temperature

Page 94: Trace Ability

80

Lampiran 6 Chilling temperature report

Page 95: Trace Ability

81

Lampiran 7 Report of inspection product after trimming before freezing

Page 96: Trace Ability

82

Lampiran 8 Freezing monitoring report

Page 97: Trace Ability

83

Lampiran 9 Daily report of packing and labelling

Page 98: Trace Ability

84

Lampiran 10 Cold storage temperature report

Page 99: Trace Ability

85

Lampiran 11 Report of stuffing

Lampiran 12 Hasil asesmen sistem traceability

Tahapan

Proses

Pertanyaan 1:

Apakah pada

tahapan ini dibuat

rekaman?

Pertanyaan 2:

Apakah kode

nomor lot

diikutsertakan

dalam rekaman?

Pertanyaan 3: Apakah

kode nomor lot pada

produk diikutsertakan

pada tahapan proses

selanjutnya?

Page 100: Trace Ability

86

Ya: Identitas

perekaman?

Ya: Lanjutkan ke

pertanyaan 3?

Ya: Identitas

perekaman?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang

mendukung?

Pembelian Ya Tally sheet

of

purchasing,

Record of

harvest

vessel

Ya Ya Bagian

pembelian

memberi kode

batch pada

tiap pembelian

ikan lalu

diteruskan

kebagian

penerimaan

Penerimaan

bahan baku

Ya Report of

raw

material

receiving

Ya Ya Tiap

penerimaan

diberi kode

batch

Pencucian 1 Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pencucian I

diberi kode

batch

Penyimpanan

sementara

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Ikan disimpan

terpisah sesuai

dengan kode

batch masing-

masing

Pencucian II Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pencucian II

diberi kode

batch

Penimbangan I Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan I

diberi kode

batch

Pemotongan

kepala

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya

Tiap

pemotongan

kepala diberi

kode batch

Pembentukan

loin

Ya Record of

daily

temperature

Ya

Ya Tiap

pembentukan

loin diberi

kode batch

Page 101: Trace Ability

87

Tahapan

Proses

Pertanyaan 1:

Apakah pada

tahapan ini dibuat

rekaman?

Pertanyaan 2:

Apakah kode

nomor lot

diikutsertakan

dalam rekaman?

Pertanyaan 3: Apakah

kode nomor lot pada

produk diikutsertakan

pada tahapan proses

selanjutnya?

Ya: Identitas

perekaman?

Ya: Lanjutkan ke

pertanyaan 3?

Ya: Identitas

perekaman?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang

mendukung?

Pembuangan

kulit, daging

gelap dan duri

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pembuangan

kulit, daging

gelap dan duri

diberi kode

bacth

Penimbangan

II

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan

II diberi kode

batch

Pembungkusan

sementara

Ya Record of

daily

temperature

Ya Tiap

pembungkusan

sementara

diberi kode

batch

Pemberian gas

CO

Tidak Pemberian

gas CO

dilakukan

tiap kode

batch yang

sama

Tidak Pemberian

gas CO

dilakukan

tiap kode

batch

yang sama

Tidak Pemberian gas

CO dilakukan

tiap kode

batch yang

sama

Pendinginan Ya Chilling

temperature

report

Ya Ya Tiap

pendinginan

diberi kode

batch

Sortasi mutu

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap sortasi

mutu diberi

kode batch

Perapihan Ya Report of

inspection

product

after

trimming

before

freezing

Ya Ya Tiap perapihan

diberi kode

batch

Penimbangan

III

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan

III diberi kode

batch

Page 102: Trace Ability

88

Pembungkusan Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pembungkusan

diberi kode

batch

Tahapan

Proses

Pertanyaan 1:

Apakah pada

tahapan ini dibuat

rekaman?

Pertanyaan 2:

Apakah kode

nomor lot

diikutsertakan

dalam rekaman?

Pertanyaan 3: Apakah

kode nomor lot pada

produk diikutsertakan

pada tahapan proses

selanjutnya?

Ya: Identitas

perekaman?

Ya: Lanjutkan ke

pertanyaan 3?

Ya: Identitas

perekaman?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang

mendukung?

Pemvakuman Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pemvakuman

diberi kode

batch

Penyusunan Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penyusunan

diberi kode

batch

Pembekuan Ya Freezing

monitoring

report

Ya Ya Tiap

pembekuan

diberi kode

batch

Penimbangan

IV

Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan

IV diberi kode

batch

Pengemasan

dalam master

carton dan

pelabelan

Ya Daily

report of

packing

and

labelling

Ya Ya Tiap

pengemasan

dalam master

carton dan

pelabelan

diberi kode

bacth

Penyimpanan Ya Cold

storage

temperature

report

Ya Ya Tiap

penyimpanan

diberi kode

batch

Pengisian Ya Report of

stuffing

Ya Ya Tiap pengisian

diberi kode

batch