TP1 PERAN MODALITAS RADIOLOGI PADA KANKER PARU.doc

49
I. PENDAHULUAN Kanker paru masih menjadi masalah kesehatan utama baik di dunia maupun di Indonesia. Data WHO menyebutkan kanker paru sebagai penyebab kematian nomor empat dari kematian yang disebabkan keganasan. Kematian akibat kanker paru baik laki laki maupun perempuan meningkat di China dan beberapa negara Asia. 1,2 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7% dari seluruh penyebab kematian. 3 Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010, kanker paru merupakan jenis kanker peringkat ke lima tertinggi pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di Indonesia dengan jumlah pasien sebanyak 3.244 orang (7,8%). 4 Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menunjukkan Angka ketahanan hidup 1 tahun penderita kanker paru kurang dari 20%. 4,5 . Angka ketahanan hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh stadium kanker saat dilakukan tindakan. Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menyebutkan hampir 75% pasien datang saat kanker paru sudah berada pada stadium lanjut. 4 Penderita kanker paru stadium lanjut memiliki rerata angka ketahanan hidup 5 tahun lebih kecil dibanding mereka yang dilakukan pembedahan pada stadium awal. 6 1

Transcript of TP1 PERAN MODALITAS RADIOLOGI PADA KANKER PARU.doc

Pendahuluan

I. PENDAHULUANKanker paru masih menjadi masalah kesehatan utama baik di dunia maupun di Indonesia. Data WHO menyebutkan kanker paru sebagai penyebab kematian nomor empat dari kematian yang disebabkan keganasan. Kematian akibat kanker paru baik laki laki maupun perempuan meningkat di China dan beberapa negara Asia. 1,2 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7% dari seluruh penyebab kematian.3 Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010, kanker paru merupakan jenis kanker peringkat ke lima tertinggi pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di Indonesia dengan jumlah pasien sebanyak 3.244 orang (7,8%). 4Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menunjukkan Angka ketahanan hidup 1 tahun penderita kanker paru kurang dari 20%. 4,5. Angka ketahanan hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh stadium kanker saat dilakukan tindakan. Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menyebutkan hampir 75% pasien datang saat kanker paru sudah berada pada stadium lanjut.4 Penderita kanker paru stadium lanjut memiliki rerata angka ketahanan hidup 5 tahun lebih kecil dibanding mereka yang dilakukan pembedahan pada stadium awal. 6 Untuk mengatasi masalah kanker paru diperlukan pendekatan multidispilin dari berbagai bidang ilmu kedokteran. Radiologi memegang peranan penting dalam deteksi dini, diagnosis dan staging, evaluasi dan follow up pasca terapi. Berbagai modalitas radiologi mengalami perkembangan teknologi yang sangat signifikan dengan karakteristik dan keunggulannya masing masing. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pilihan modalitas radiologi yang tersedia untuk kasus kanker paru. Pilihan modalitas yang tepat akan membantu penanganan kasus kanker paru dengan lebih efektif dan adekuat.II. KANKER PARU

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, baik keganasan yang berasal dari paru maupun metastasis dari keganasan di luar paru. Dalam makalah ini pembahasan dibatasi pada kanker paru sebagai kanker primer yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkogenik.

II.1. EtiologiSebuah sel normal dapat tubuh menjadi sel kanker jika terjadi ketidakseimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor supresor dalam proses tumbuh kembang sebuah sel. Ketidak seimbangan ini dapat disebabkan oleh mutasi gen ataupun perubahan pada kromosom. 7,8 Perubahan pada tingkat biomolekuler ini berperan sebagai etiologi dari terjadinya kanker paruII.2. Faktor Risiko

Penelitian epidemiologik menunjukkan kaitan yang kuat antara kebiasaan merokok dengan insiden kanker paru. Secara umum laki laki lebih banyak menderita kanker paru dibanding wanita. Risiko wanita merokok baik aktif maupun pasif meningkat lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok aktif maupun pasif. Usia juga menjadi salah satu faktor risiko dimana kanker paru lebih banyak ditemukan pada usia 65 tahun ke atas. Paparan zat industri dan adanya riwayat keluarga dekat yang menderita kanker paru juga menjadi perhatian khusus untuk mendeteksi adanya kanker paru pada seseorang.7,8II.3. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Kanker paru jarang menunjukkan gejala pada stadium awal. Penderita umumnya baru menunjukkan keluhan ringan dan tidak spesifik seperti batuk batuk dengan atau tanpa dahak saat kanker paru telah memasuki stadium II ataupun III. Gejala berikutnya yang dapat timbul pada stadium lanjut adalah batuk darah, batuk kronik, sesak napas, nyeri dada, suara serak, sakit menelan, benjolan di pangkal leher, sembab muka dan leher kadang disertai sembab di daerah lengan disertai nyeri yang hebat.7Gejala lain dapat timbul sebagai manifestasi metastasis di luar paru seperti kompresi di daerah otak, pembesaran hepar ataupun fraktur patologis. Hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, demam yang hilang timbul dan sindrom paraneoplastik dapat muncul sebagai keluhan yang tidak khas pada penderita kanker paru.7Hasil pemeriksaan fisik pada penderita kanker paru sangat dipengaruhi kelainan yang ada pada saat pemeriksaan. Tumor yang berukuran kecil dan terletak di perifer seringkali tidak menunjukkan hasil apapun pada pemeriksaan fisik. Hasil yang lebih informatif bisa didapatkan jika tumor berukuran besar terlebih bila disertai atelektasis, efusi pleura ataupun penekanan vena kava. Pemeriksaaan kelenjar getah bening juga penting dilakukan sebagai data untuk penentuan stadium penyakit. Pemeriksaan organ lain secara sistematis, teliti dan menyeluruh diperlukan untuk mendeteksi adanya metastasis.7,8II. 4. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dikerjakan untuk menentukan jenis histopatologi sel tumor, lokasi tumor primer, metastasi dan penentuan stadium penyakit. Pemeriksaan radiologi mutlak dilakukan untuk menentukan karakteristik tumor primer dan metastasisnya. Modalitas yang umumnya digunakan adalah foto toraks PA/lateral, computerized tomography (CT)-scan toraks, bone scan, bone survey, ultrasonografi (USG) abdomen, CT otak, positron emission tomography (PET) dan magnetic resonnance imaging (MRI).6,8Pemeriksaan khusus seperti bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum, transbronchial needle aspiration (TBNA), transbronchial lung biopsy (TBLB) dengan bantuan fluoroskopi, transthorasic needle aspiration (TTNA) dan biopsi transtorakal dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik histologi kanker paru. Aspirasi jarum halus (AJH), sitologi sputum, biopsi KGB dapat dilakukan bila diagnosis sitologi/histology tuumor primer di paru belum diketahui. Jika massa tumor terletak di bagian perifer paru, pleura ataupun mediastinum biopsy dapat dilakukan melalui tindakan torakoskopi medik mediastinoskopi, atau torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka sebagai pilihan terakhir.7II. 4. Klasifikasi kanker paru

Klasifikasi kanker paru diperlukan untuk memperkirakan prognosis dan menentukan pilihan modalitas terapi yang sesuai dengan kondisi penderita. Klasifikasi berdasarkan jenis histologis yang memiliki kepentingan klinis terdiri dari kanker paru sel kecil dan kanker paru bukan sel kecil. Kanker paru bukan sel kecil terdiri dari karsinoma sel besar, adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa.8 Kanker paru sel kecil dibagi menjadi dua stadium. Pertama adalah stadium terbatas (LD) dimana kanker hanya ditemukan pada satu paru-paru saja dan pada jaringan di sekitarnya. Kedua adalah stadium ekstensif (ED) dimana kanker ditemukan di jaringan dada di luar paru-paru tempat asalnya. Atau kanker ditemukan di organ-organ tubuh yang jauh.9 Kanker paru bukan sel kecil ditentukan penderajatannya menurut International stagining System for Lung cancer 2007 yang merupakan revisi dari system penderajatan sebelumnya di tahun 1997.10 Sistem penderajatan ini menilai ukuran tumor sebagai komponen T, keterlibatan kelenjar getah bening sebagai komponen N dan ada tidaknya metastasis jauh sebagai komponen T. Selanjutnya nilai T, N dan M ini akan menjadi penentu penderajaran kanker paru mulai dari stadium 0 sampai IV. 1012

Staging dilakukan untuk kepentingan pemilihan terapi dan memiliki nilai prognostic. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup untuk stadium IA sebesar 61%, stadium IB 38%, stadium II A 34%, staddium IIB 24%, stadium IIIA 13%, stadium IIIB 5% dan 1% untuk stadium IV (3). Secara umum, pasien dengan status tampilan baik, stadium I, II dan beberapa dengan stadium III dapat dipertimbangkan modalitas pembedahan. Sedangkan sebagian besar pasien dengan stadium IIIB (kecuali T4N0) dan stadium IV memerlukan tatalaksana yang berbeda. 13 Keterangan mengenai deskripsi T, N dan M pada masing masing stage dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Chart illustrates the descriptors from the 7th edition of the TNM staging system for lung cancer 13II. V. TatalaksanaTatalaksana kanker paru menggunakan multi modalitas terapi yang pemilihannya dipengaruhi jenis histologis, derajat dan tampilan pasien.6,14 Pilihan modalitas terapi kanker paru antara lain pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Pembedahan dapat dilakukan pada Kanker paru bukan sel kecil stadium I dan II atau sebagai bagian dari combined modality therapy pada kasus inoperabel misalnya kanker paru bukan sel kecil stadium IIIA. Kanker paru dengan sindrom vena kava superior berat merupakan kegawatan yang memerlukan intervensi bedah.6,8 Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif, paliatif atau untuk penanganan kegawatdaruratan seperti sindrom vena kava superior, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada ataupun metastasis ke otak dan tulang. Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru dengan memperhatikan status tampilan baik menurut skala Karnofsky atau skala WHO. 6,7III. PERAN MODALITAS RADIOLOGI PADA KASUS KANKER PARUIII. 1. SKRININGSecara definisi skrining berarti evaluasi pada individual yang asimtomatik namun berisiko untuk terkena suatu penyakit. Tujuan dari skrining adalah mencegah atau memperlambat perjalanan penyakit. Penemuan positif pada skrining dapat diikuti evaluasi lanjutan untuk memperoleh kepastian diagnosis. Skrining yang efektif setidaknya harus memenuhi 3 kondisi. Pertama, harus dapat membantu mendiagnosa sebelum muncul gejala penyakit. Kedua, tatalaksana dini penyakit harus lebih efektif dari tatalaksana pada stadium lanjut. Ketiga, keuntungan dari proses skrining harus lebih besar dari potensi bahayanya.1517Pada skrining kanker paru, syarat pertama relatif mudah dipenuhi. Namun syarat kedua dan ketiga masih banyak bias yang mempengaruhi. Hal yang menjadi tantangan dalam skrining kanker paru ini adalah karakter biologis dari sel kanker. Sel kanker paru berkembang 3-6 juta sel per gram per jaringan tiap 24 jam yang menunjukkan potensi metastasis yang sangat besar. 18 Beberapa penelitian menyebutkan kemungkinan metastasis sudah terjadi pada saat lesi berukuran sekitar 1-2 mm. Sel kanker paru juga memiliki heterogenitas karakter biologis yang cukup luas mulai dari indolen hingga yang agresif.18 Hal ini menyebabkan diskusi yang berbeda mengenai efektifitas skrining mengingat kemungkinan yang sangat beragam saat kelainan ditemukan secara radiologis dapat menyebabkan tatalaksana yang berlebihan .16Saat ini belum ada metode khusus untuk mendeteksi kelainan kanker paru secara dini. Skrining rutin pada populasi berisiko tinggi terhadap kanker paru masih menjadi hal yang diperdebatkan.19 Individu yang berisiko tinggi terhadap kanker paru diantaranya adalah laki laki, usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun, perokok berat, terpapar dengan bahan berbahaya dan atau memiliki gejala yang berhubungan dengan kanker paru.7,20 Secara umum alur deteksi dini yang direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tercantum dalam gambar 2.

Gambar 2. Alur Deteksi Dini Kanker Paru 7Skrining kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebelumnya dilakukan dengan menggunakan foto toraks konvensional dan sitologi sputum. Foto toraks konvensional menjadi pilihan lini pertama karena tersedia lebih luas, ekonomis dan memiliki tingkat radiasi yang lebih rendah. Foto toraks juga menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk general check up. Pada pemeriksaan foto toraks rutin, dapat ditemukan nodul solid paru yang asimtomatik. Beberapa studi sejak tahun 1950-1975 menyebutkan, skrining kanker paru dengan foto toraks dan sitologi sputum tidak menunjukkan hubungan yang bermakna untuk menurunkan angka mortalitas ataupun morbiditas kanker paru.19 Kelemahan foto toraks dalam mendeteksi nodul paru yang berukuran kurang dari 2 cm menjadi faktor yang mengurangi sensitifitas pada skrining kanker paru. 19Sejak akhir tahun 1980 diperkenalkan Low Dose Helical CT (LDCT) Scan untuk skrining Ca paru. LDCT ini menjadi pilihan karena sifatnya yang non invasif dan tidak menggunakan kontras. Pemeriksaan ini juga memiliki waktu scanning yang lebih cepat (kurang dari 1 menit), resolusi gambar yang lebih baik dan potongan yang lebih tipis (5 - < atau = 7 cm). Tumor juga dapat diklasifikasikan sebagai T2 jika tumbuh hingga saluran napas besar (bronkus utama) tidak kurang dari 2 cm di bawah karina, menuju pleura visceral atau membuat sebagian paru kolaps. Keterangan ini penting disampaikan agar ahli bedah dapat mempertimbangkan kebutuhan pneumonektomi atau reseksi. 13,28Tumor berukuran >7cm atau tumbuh menginvasi dinding dada, pleura mediastinum, diafragma, pericardium parietal, diklasifikasikan sebagai T3. Adanya nodul tambahan di lobus yang sama dengan tumor primer, atelektasis, pneumonitis seluruh lobus juga diklasifikasikan sebagai T3. Tumor yang terletak kurang dari 2cm di dekat karina mungkin memerlukan pneumonectomy carinal. Tingkat invasi dinding dada penting untuk disampaikan kepada ahli bedah karena mempengaruhi luasnya reseksi yang direncanakan. Perluasan tumor ke dalam jaringan lunak, struktur mediastinum ataupun tulang rusuk dapat dideskripsikan melalui CT atau MRI dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tidak jauh berbeda.13 MRI merupakan modalitas pilihan staging kanker paru pada pasien dengan alergi kontras iodine CT atau dengan gangguan ginjal yang serius.26Tumor dengan nodul tambahan yang terletak di lobus lain ipsilateral atau tumbuh ke area mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, oesophagus, tulang belakang, karina, dengan efusi pleura ganan atau efusi perikardial diklasifikasikan sebagai T4.10,11 Pada stadium ini kontrol lokal dari penyakit adalah salah satu aspek penting dari tatalaksana untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Reseksi bedah beberapa tumor T4 dapat dilakukan selama pasien memiliki status tampilan baik dan tidak memiliki bukti penyakit sistemik. Oleh karena itu deskripsi stuktur yang terlibat harus dilakukan secara teliti dan detil. Beberapa penelitian menyarankan 18F FDG PET untuk membantu penilaian pleura. Nilai sensitifitas, spesifisitas, positif predictif value meningkat jika dikombinasikan dengan CT. 27,28Salah satu tumor T4 yang memerlukan reseksi adalah tumor sulkus superior (tumor Pancoast). Hal yang harus dideskripsikan secara radiologis adalah keterlibatan pleksus brakialis, perluasan ke tulang belakang hingga kanalis spinalis. Tumor yang menginvasi vertebara merupakan kontraindikasi reseksi. Keteribatan lebih dari 50% struktur tulang belakang menunjukkan prognosis pembedahan yang lebih buruk. Pencitraan MRI paling berguna pada pasien dengan tumor sulcus superior untuk menentukan apakah tumor telah menginvasi pleksus brakialis, vena subklavia , atau tulang vertebra.8,26Selain dari perpsektif pembedahan, pencitraan radiologi juga harus memperhatikan kepentingan radioterapi. Informasi radiologis mengenai tumor primer yang penting untuk kepentingan radiasi adalah kondisi struktur yang berdekatan dengan tumor khususnya paru-paru, sumsum tulang belakang, kerongkongan, dan jantung, di mana toleransi radiasi membebankan kendala dosis-volume. Modalitas radiologi yang dipilih harus dapat menggambarkan dengan baik margin tumor dan sejauh mana invasi tumor ke dalam yang struktur yang berdekatan.

Pemeriksaan CT scan toraks dapat menunjukkan lokasi dan ukuran semua adenopati dada, termasuk dari mediastinum, hili, supraklavikula, paraesophageal, aksila, dan regio retrocrural untuk memberikan petunjuk rencana radioterapi. Whole-tumor dual-input perfusion CT dapat memberikan informasi mengenai vaskularisasi (dual blood supply of tumors ) tumor yang membantu untuk memprediksi efek dari infuse kemoterapi multiarterial pada kanker paru bukan sel kecil stadium lanjut35III.2 KELENJAR GETAH BENINGUntuk keterlibatan kelenjar getah bening, penderajatan dikategorikan atas Nx, No s/d N3. Tidak adanya keterlibatan kelenjar getah bening dikategorikan sebagai N0. Keterlibatan kelenjar getah bening paru dikategorikan sebagai N1. Adenopati mediastinal ipsilateral atau subcarinal digolongkan sebagai N2. Klasifikasi N3 ditentukan jika didapatkan keterlibatan KGB paru kontralateral.CT kurang ideal untuk mengevaluasi KGB mediastinum. Meskipun MSCT telah meningkatkan kualitas pencitraan CT, namun perannya dalam penderajatan kanker paru belum meningkat secara bermakna. Hal ini dikarenakan CT hanya menunjukkan ukuran, bentuk dan lokasi KGB mediastinum. Kelenjar getah bening mediastinum dapat dievaluasi lebih baik jika KGB terbesar yang merupakan bagian dari drainase tumor dibandingkan dengan KGB terbesar di seluruh mediastinum. KGB dikatakan abnormal jika short-axis diameter kurang dari 10 mm dan perbedaan lebih dari 5 mm antara ukuran ini dengan KGB terbesar di mediastinum.13,28

Pencitraan PET dengan FDG terbukti lebih akurat dibandingkan CT dan MRI. (81-96%) dalam evaluasi keterlibatan kelenjar getah bening. PET juga berguna untuk membedakan KGB hiperplastik dari KGB metastasis dan mendeteksi sel metastasis dalam KGB yang berukuran normal. Salah satu kemajuan yang paling menarik di FDG PET adalah pencitraan integrasi PET / CT, yang memungkinkan resolusi anatomi yang lebih baik. 27,13 Jika dibandingkan dengan mediastinoskopi, akurasi PET dalam mengevaluasi KGB adalah 56% dan 78%.8III.3. METASTASISKategori penderajatan berdasarkan ada atau tidaknya metastase jauh terdiri dari M0 dan M1. M0 dimana tidak didapatkan metastasis jauh dan M1 disubklasifikasikan menjadi M1a (dengan nodul paru kontralateral, efusi pleura maligna atau efusi perikardial) dan M1b (metastasis jauh seperti pada otak, hepar, tulang, dan kelenjar adrenal). 12Deteksi metastasis jauh merupakan tahapan yang penting pada penatalaksanaan pasien kanker paru, karena biasanya akan merubah pengobatan pada pasien kanker paru. Pada pasien yang sudah terjadi metastasis jauh, maka operasi pengangkatan tumor tidak dapat dilakukan. Metastasis dapat terjadi pada sekitar 50% pasien kanker paru bukan sel kecil dan sekitar 60-80% pada kanker paru sel kecil.CT scan toraks dapat mengevaluasi kemungkinan metastasis intrapulmonal tapi memiliki kelemahan dalam kemampuan deteksi metastasis jauh dan metastasis di KGB mediastinum.24 Metastasis kanker paru dapat sampai ke kelenjar adrenal, hati, otak, tulang, dan kelenjar getah bening. PET Scan merupakan modalitas mutakhir yang unggul dalam penilaian metastasis kanker paru. PET scan yang dilakukan seluruh tubuh dapat mengurangi tindakan invasif yang tidak perlu pada pasien yang dicurigai memiliki metastasis. PET scan seluruh tubuh lebih akurat dibandingkan dengan CT thorak dan otak, sidik tulang, atau MRI dalam penentuan stadium pada pasien dengan kanker paru. Hasil systematic review dan meta analisis menunjukkan sensitifitas, spesifisitas, LR + dan LR dari PET/CT dalam mendeteksi metastasis jauh adalah 97,5%, 98,2%, 19,86 dan 0,06.36 Studi meta analisis yang dilakukan Xinhua Qu dkk tahun 2010 menyebutkan sensitifitas deteksi metastasis tulang pada kanker paru dengan 18FDG-PETCT, 18FDG-PET, MRI dan Bone Scan adalah 92%, 87%, 77% dan 86% dengan spesifisitas 98%, 94%, 92% dan 88%. Studi tersebut menyimpulkan bahwa baik 18FDG-PETCT dan 18FDG-PET adala modalitas yang lebih baik untuk mendeteksi metastasis tulang dibanding MRI dan Bone Scan, 31PET scan memiliki nilai prognostik dan berkorelasi sangat kuat dengan angka harapan hidup pada pasien kanker yang mendapatkan pengobatan. Pasien dengan hasil PET scan positif memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien yang hasil PET scan negatif. 31PET masih belum banyak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu jika secara klinis diduga sudah terjadi metastasis jauh, perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan pada lokasi yang dicurigai. Deteksi metastasis dapat dilakukan dengan menggunakan CT Otak, MRI, USG abdomen, bone scan dan bone skintigrafi sesuai dengan klinis pasien. III.3.1. Metastasis ke adrenal dan hatiPencitraan dengan CT scan thorax biasanya diperluas hingga mencakup hati dan adrenal. Pada pemeriksaan CT scan thorax, tingkat deteksi metastasis adrenal mencapai 20% pada presentasi awal. Identifikasi metastase adrenal sangat penting karena reseksi metastase yang terisolir pada adrenal dikaitkan dengan peningkatan angka kelangsungan hidup. Metastasis harus dapat dibedakan dari adrenal adenoma yang dapat terjadi dalam 2% -10% dari populasi umum. Massa adrenal dapat dianggap jinak jika memiliki nilai penyangatan kurang dari 10 HU pada CT scan atau ada pengurangan 50% atau lebih Hounsfield unit pada 10 menit delayed CT scan. 26,13Jika gambaran CT kurang memuaskan, MRI atau PET berguna untuk karakterisasi lebih lanjut. Analisis pergeseran kimia dengan MRI dapat membantu menentukan apakah lesi adrenal jinak atau ganas. FDG PET juga merupakan metode yang efektif untuk mengevaluasi massa adrenal karena dapat menunjukkan aktivitas metabolik. Jika ketiga metode ini tidak menunjukkan apakah massa jinak atau ganas, dianjurkan untuk biopsi dari lesi adrenal. 28Evaluasi adanya metastasi hepar secara awal masih menjadi kontroversi. Setiap lesi mencurigakan di hepar yang terdeteksi pada CT scan dada dianjurkan untuk evaluasi lebih lanjut baik dengan CT abdomen, MRI ataupun biopsi. CT scan memiliki nilai sensitivitas sekitar 85% dalam mendeteksi metastasis di hati. Nilai yang sama mungkin juga dimiliki oleh MRI dan USG apabila dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. USG lebih baik dibandingkan dengan CT scan dalam membedakan metastasis dari kista hati yang sering terlihat seperti jinak pada CT scan.

III.3.2 Metastasis OtakMetastasis otak dilaporkan pada 18% pasien dengan karsinoma paru bukan sel kecil. Meskipun demikian, CT scan otak hanya dianjurkan pasien yang menunjukkan tanda dan gejala kelainan neurologis. Angka kelangsungan hidup yang lebih baik ditunjukkan pada reseksi metastasis otak soliter pada pasien dengan kanker paru bukan sel kecil.

Kanker paru jenis karsinoma sel kecil dan adenokarsinoma merupakan kanker paru yang sering bermetastasis ke otak. Dalam memberikan gambaran anatomi otak, MRI lebih baik dibandingkan CT scan terutama anatomi di fossa posterior yang berdekatan dengan dasar tengkorak. Pada pasien kanker paru dengan jenis karsinoma bukan sel kecil, pencitraan otak tidak rutin dilakukan pada pasien tanpa gejala karena angka kejadian untuk metastasis otak pada pasien tersebut hanya 2-4%.

III.3.3. Metastasis TulangPada pasien kanker paru bukan sel kecil pemeriksaan untuk deteksi metastasis tulang dengan radiografi tulang konvensional, bone survey, bone scan ataupun MRI dianjurkan pada pasien dengan riwayat nyeri tulang fokal atau menunjukkan peningkatan nilai alkalin phosphatase. Rekomendasi ini menarik untuk ditinjau ulang karena hasil penelitian sebelumnya (90) dari FDG PET pada kanker paru bukan sel kecil menunjukkan bahwa 13% dari pasien kanker paru tanpa gejala tersebut sudah memiliki metastasis tulang.37,38 Bone survey adalah serangkaian pemeriksaan radiografik tulang konvensional dengan sinar X. Pemeriksaan bone survey mencakup pemeriksaan bone survey I pada kepala (AP-Lateral), vertebrae (AP-Lateral) , C1-S Pelvis (AP) dan bone survey II pada extremitas (foto AP humerus dan femur) dan thorax (foto costae AP/PA). Metastasis kanker paru pada tulang umumnya menunjukkan gambaran lesi osteolitik.

Kelebihan bone survey adalah tidak memerlukan persiapan khusus dan tidak memerlukan zat kontras. Bone survey memiliki kelemahan dalam memvisualisasikan kompresi sumsum tulang belakang. Pada kasus seperti ini diperlukan bantuan CT atau MRI jika bone survey tidak menunjukkan kelainan apapun pada lokasi dimana pasien mengeluh nyeri.

Bone scan atau skintigrafi tulang atau sidik tulang adalah pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan radiasi nuklir (sinar gamma) yang membantu mendiagnosa kelainan pada tulang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melengkapi bone survey. Skintigrafi tulang digunakan untuk menentukan ada tidaknya metastasis ke tulang dan mengevaluasi efektifitas terapi. Skintigrafi menggunakan zat radioaktif yang disuntikkan melalui pembuluh darah. Zat radioaktif ini akan memancarkan radiasi dalam jumlah yang sangat kecil. Oleh karena itu, pemeriksaan ini memiliki risiko yang relatif lebih kecil dibanding sinar X ray biasa. Radiasi yang dihasilkan akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Reaksi alergi dan reaksi anafilaksis dapat terjadi. Pemeriksaan pada wanita hamil ataupun menyusui sebaiknya ditunda untuk mencegah paparan radiasi ke bayi, Jika pemeriksaan harus dilakukan, maka ASI yang dihasilkan selama 2 hari setelah pemeriksaan harus dibuang.Sidik tulang dengan menggunakan radioisotop Tc-99m dapat dilakukan di bagian kedokteran nuklir dan diindikasikan untuk pasien dengan keluhan nyeri tulang. Pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas hingga 95% untuk mendeteksi metastasis, akan tetapi juga memiliki nilai positif palsu yang juga tinggi. Positif palsu ini biasanya dapat disebabkan oleh penyakit degeneratif dan trauma. Sehingga pemeriksaan ini perlu dikombinasikan dengan pencitraan anatomi. Namun terkadang ditemukan perbedaan hasil antara sidik tulang dengan radiologi karena sidik tulang sudah dapat mendeteksi sebelum terjadi 30% kerusakan pada tulang, sedangkan pencitraan radiologi konvensional baru dapat mendeteksi setelah terjadi > 30% kerusakan pada tulang. Metastasis di tulang belakang dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis. Pada pasien tanpa keluhan, sidik tulang hanya dapat mendeteksi 5% metastasis tulang, sehingga pemeriksaan ini tidak disarankan untuk rutin digunakan sebelum operasi.31III.4. EVALUASI DAN FOLLOW UPIII.4.1. Pasca pembedahanPada periode segera pasca operasi, radiografi toraks portable dapat dilakukanuntuk menilai ada tidaknya lobus yang kolaps, tension pneumotoraks, edema paru, atau proses akut lainnya. Pada pasien yang telah menjalani pneumonectomi, kebanyakan ahli bedah lebih suka memasukkan cairan dalam rongga pleura menutupi tunggul bronkial sebelum dibuang. Ahli radiologi harus mengetahui hal ini dalam memberikan interpretasi radiologis.Beberapa bulan setelah operasi, pneumotoraks berkurang ukurannya, diganti ekspansi cairan atau kompensasi dari paru-paru yang tersisa. Pasien dengan pneumonectomy biasanya akan memiliki gambaran opasitas satu hemithorax dengan pergeseran mediastinum ke sisi pembedahan dalam waktu 6-8 bulan. Peningkatan komponen gas pasca operasi harus meningkatkan kepedulian terhadap adanya fistula bronkopleural. Ahli radiologi harus rajin menilai situs operasi untuk bukti kekambuhan dan adanya metastasis. 28III.4.2 PASCA RADIOTERAPIPencitraan pasca radioterapi adalah bagian penting dari evaluasi pasca-perawatan. Ahli radiologi harus tahu tanggal selesai pengobatan agar tepat menafsirkan gambar. Pencitraan yang dilakukan dalam 3 bulan pengobatan mungkin didapatkan gambaran groundglass opasitas yang menunjukkan pneumonitis radiasi. Pada pencitraan lanjutan, akan terlihat nodul yang menyatu menjadi daerah konsolidasi dan akhirnya akan menjadi komponen dari fibrosis radiasi. Fibrosis radiasi terdiri dari daerah konsolidasi berbatas tegas terkait dengan hilangnya volume dan bronkiektasis. Umumnya, fibrosis akan bertambah perlahan-lahan selama 3-12 bulan setelah terapi radiasi berakhir dan stabil dalam waktu 2 tahun. Ahli onkologi radiasi biasanya perlu mengkonfirmasi stabilitas fibrosis dan adanya tumor berulang dengan modalitas radiologi.28 Temuan umum lainnya setelah terapi radiasi adalah efusi pleura dan perikardial. Efusi pleura dan perikardium biasanya berkembang dalam waktu 6-9 bulan setelah selesai terapi Efusi ini sebagian besar mungkin memerlukan thoracentesis untuk menentukan keganasan. Deteksi sisa tumor dalam tumor primer dan restaging KGB mediastinum dapat diperiksa dengan PET. Pneumonitis radiasi juga dapat menunjukkan peningkatan aktifitas di gambar PET.24,27Dari perspektif onkologi medik, pada dasarnya perlu diketahui perkembangan tumor untuk menentukan apakah rejimen pengobatan harus dilanjutkan atau diubah. Dengan kriteria RECIST (Response Evaluation Criteria in Solid Tumors) WHO, respon pengobatan didefinisikan sebagai respon lengkap (tidak ada bukti tumor), respon parsial (penurunan sedikitnya 30% ukuran tumor, penyakit yang stabil (tidak ada perubahan ukuran tumor), dan progresif (peningkatan setidaknya 20% ukuran tumor). 28III.4.3 DETEKSI KOMPLIKASI PASCA TERAPI

Kemoterapi dapat menyebabkan beberapa komplikasi, yang paling umum diantaranya adalah infeksi dan toksisitas obat. Paru-paru adalah lokasi umum sebagian besar infeksi serius pada pasien dengan kanker yang umumnya dapat dideteksi dengan pencitraan.28 Toksisitas obat juga harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena dapat menampilkn gambaran radiologis yang mirip dengan infeksi, pneumonitis radiasi atau tumor berulang.24 Toksisitas obat bermanifestasi sebagai gambaran ground glass opacity, kekeruhan interstitial ataupun fibrosis. Beberapa agen kemoterapi seperti gemcitabine, etoposid, dan paclitaxela telah dilaporkan menyebabkan cedera paru.28 Pada pasien dengan terapi kuratif yang intensif, follow up penilaian komplikasi sebaiknya dilakukan dalam 3-6 bulan. Dilanjutkan setiap 6 bulan dalam 2 tahun kemudian setahun sekali.23 Follow up direkomendasikan menggunakan CT scan atau PET, PET/CT Scan.IV. KESIMPULANMasalah kanker paru memerlukan kerjasama multidisiplin. Modalitas radiologi memegang peranan penting dalam deteksi dini, diagnosa, staging dan evaluasi kanker paru. Setiap modalitas memiliki nilai kelebihan dan kekurangan masing masing. Foto toraks merupakan modalitas awal dalam diagnosa kanker paru. CT scan memiliki keunggulan untuk deteksi dini dan deskripsi tumor primer. PET Scan dan PET/CT Scan berperan unggul untuk menentukan keganasan, staging, keterlibatan KGB mediastinum dan deteksi metastasis jauh. MRI baik untuk menilai invasi dinding dada, tumor di area sulkus superior dan metastasis ke otak. USG digunakan untuk mengevaluasi metastasis hati. Bone scan dan Bone Survey baik untuk mengevaluasi metastasis tulang. Penilaian radiologis yang akurat dapat memperbaiki diagnosa dan tatalaksana pasien yang berpengaruh pada angka harapan hidup penderita kanker paru.V. DAFTAR PUSTAKA

1. Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. Global cancer statistics. CA Cancer J Clin. 2011 Apr;61(2):6990.

2. Mortality Statistics: Deaths registered in England and Wales (Series DR) [Internet]. Office for National Statistics. 2010 [cited 2015 Feb 25]. Available from: http://www.ons.gov.uk/ons/rel/vsob1/mortality-statistics--deaths-registered-in-england-and-wales--series-dr-/2009/index.html

3. Laporan_Riskesdas2013.PDF [Internet]. [cited 2015 Feb 23]. Available from: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PDF

4. Zuelmi S. ANGKA KETAHANAN HIDUP SATU TAHUN PENDERITA KANKER PARU DI RUANG RAWAT INAP PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE MARET 2010 MARET 2011. 2013 Jul 26 [cited 2015 Feb 23]; Available from: http://repository.unri.ac.id/xmlui/handle/123456789/4741

5. - S, Suryanto A. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan hidup satu tahun penderita kanker paru stadium lanjut di RSUP Dr. Kariadi Semarang. MEDICA Hosp - J Clin Med [Internet]. 2013 Feb 8 [cited 2015 Feb 23];1(1). Available from: http://medicahospitalia.rskariadi.co.id/index.php/mh/article/view/35

6. Lung Cancer Management | SOERATMAN | Indonesian Journal of Cancer [Internet]. 2014 [cited 2015 Feb 12]. Available from: http://www.indonesianjournalofcancer.or.id/e-journal/index.php/ijoc/article/view/251

7. Indonesia PDP. Kanker Paru, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jkt Balai Penerbit FKUI. 2003;

8. Kernstine K, H RKLKK. Lung Cancer: A Multidisciplinary Approach to Diagnosis and Management. Demos Medical Publishing; 2010. 477 p.

9. Jett JR, Schild SE, Kesler KA, Kalemkerian GP. Treatment of small cell lung cancer: Diagnosis and management of lung cancer, 3rd ed: american college of chest physicians evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2013 Mei;143(5_suppl):e400S e419S.

10. Rami-Porta R, Crowley JJ, Goldstraw P. The revised TNM staging system for lung cancer. Ann Thorac Cardiovasc Surg Off J Assoc Thorac Cardiovasc Surg Asia. 2009 Feb;15(1):49.

11. Mirsadraee S, Oswal D, Alizadeh Y, Caulo A, van Beek EJ. The 7th lung cancer TNM classification and staging system: Review of the changes and implications. World J Radiol. 2012 Apr 28;4(4):12834.

12. UK CR. More about staging for lung cancer [Internet]. 2014 [cited 2015 Feb 25]. Available from: http://www.cancerresearchuk.org/about-cancer/type/lung-cancer/treatment/more-about-lung-cancer-staging

13. UyBico SJ, Wu CC, Suh RD, Le NH, Brown K, Krishnam MS. Lung Cancer Staging Essentials: The New TNM Staging System and Potential Imaging Pitfalls. RadioGraphics. 2010 Agustus;30(5):116381.

14. Bakhtiar A. Kanker Paru dan Penatalaksanaannya. J Kedokt Unsyiah. 2013;6(1).

15. Gill RR, Jaklitsch MT, Jacobson FL. Controversies in Lung Cancer Screening. J Am Coll Radiol. 2013 Dec 1;10(12):9316.

16. Aberle DR, Brown K. Lung Cancer Screening with CT. Clin Chest Med. 2008 Mar;29(1):114.

17. Patz EF, Black WC, Goodman PC. CT Screening for Lung Cancer: Not Ready for Routine Practice. Radiology. 2001 Desember;221(3):58791.

18. Halperin EC, Perez CA, Brady LW. Perez and Bradys Principles and Practice of Radiation Oncology. Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 2152 p.

19. Kanne JP. Screening for Lung Cancer: What Have We Learned? Am J Roentgenol. 2014 Mar 1;202(3):5305.

20. Lung Cancer: Screening Guidelines [Internet]. Memorial Sloan Kettering Cancer Center. [cited 2015 Mar 6]. Available from: http://www.mskcc.org/cancer-care/adult/lung/screening-guidelines-lung

21. Computed Tomography (CT) Scans and Cancer Fact Sheet - National Cancer Institute [Internet]. [cited 2015 Mar 6]. Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/diagnosis-staging/ct-scans-fact-sheet

22. Black WC, Gareen IF, Soneji SS, Sicks JD, Keeler EB, Aberle DR, et al. Cost-effectiveness of CT screening in the National Lung Screening Trial. N Engl J Med. 2014;371(19):1793802.

23. Detterbeck FC, Lewis SZ, Diekemper R, Addrizzo-Harris D, Alberts WM. Executive summary: Diagnosis and management of lung cancer, 3rd ed: american college of chest physicians evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2013 Mei;143(5_suppl):7S 37S.

24. Rakesh R. Misra AP. AZ of Chest Radiology. 1st ed. United Kingdom: Cambridge University Press; 2007. 56-63 p.

25. Abdullah AA, Bujang N, Badril C, Hamdani C, Junadi P, Jusuf A, et al. The Sensitivity and Specificity of a new Scoring System Using High Resolution Computed Tomography to Diagnose Lung Cancer. Med J Indones. 2009 Sep;18(3):1818.

26. Laurent F, Montaudon M, Corneloup O. CT and MRI of Lung Cancer. Respir Int Rev Thorac Dis. 2006;73(2):13342.

27. Amin Z, Kadarsan D, Ayudyasari W. The Role of Positron Emission Tomography in Diagnosis and Evaluation of Lung Cancer. J Indones Med Assoc. 2011;57(04).

28. Munden RF, Swisher SS, Stevens CW, Stewart DJ. Imaging of the Patient with NonSmall Cell Lung Cancer. Radiology. 2005 Desember;237(3):80318.

29. Choices NHS. PET scan - NHS Choices [Internet]. 2015 [cited 2015 Mar 3]. Available from: http://www.nhs.uk/conditions/PET-scan/Pages/Introduction.aspx

30. Kagna O, Solomonov A, Keidar Z, Bar-Shalom R, Fruchter O, Yigla M, et al. The value of FDG-PET/CT in assessing single pulmonary nodules in patients at high risk of lung cancer. Eur J Nucl Med Mol Imaging. 2009 Jun;36(6):9971004.

31. Qu X, Huang X, Yan W, Wu L, Dai K. A meta-analysis of 18FDG-PETCT, 18FDG-PET, MRI and bone scintigraphy for diagnosis of bone metastases in patients with lung cancer. Eur J Radiol. 2012 May 1;81(5):100715.

32. Imaging in Lung Cancer Staging. 2014 Feb 27 [cited 2015 Apr 9]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/362919-overview

33. Akata S, Kajiwara N, Park J, Yoshimura M, Kakizaki D, Abe K, et al. Evaluation of chest wall invasion by lung cancer using respiratory dynamic MRI. J Med Imaging Radiat Oncol. 2008 Feb;52(1):369.

34. Bandi V, Lunn W, Ernst A, Eberhardt R, Hoffmann H, Herth FJF. Ultrasound vs. CT in detecting chest wall invasion by tumor: a prospective study. Chest. 2008 Apr;133(4):8816.

35. Li XS, Fan HX, Fang H, Huang H, Song YL, Zhou CW. Value of Whole-Tumor Dual-Input Perfusion CT in Predicting the Effect of Multiarterial Infusion Chemotherapy on Advanced NonSmall Cell Lung Cancer. Am J Roentgenol. 2014 Nov 1;203(5):W497505.

36. Lu Y-Y, Chen J-H, Liang J-A, Chu S, Lin W-Y, Kao C-H. 18F-FDG PET or PET/CT for detecting extensive disease in small-cell lung cancer: a systematic review and meta-analysis. Nucl Med Commun. 2014 Jul;35(7):697703.

37. Donato AT, Ammerman EG, Sullesta O. Bone scanning in the evaluation of patients with lung cancer. Ann Thorac Surg. 1979 Apr;27(4):3004.

38. Li F, Engelmann R, L. Pesce L, Doi K, Metz CE, MacMahon H. Small Lung Cancers: Improved Detection by Use of Bone Suppression ImagingComparison with Dual-Energy Subtraction Chest Radiography. Radiology. 2011 Desember;261(3):93749.

Kanker paru sel kecil

Kanker paru bukan sel kecil

Bronkoskop; biopsi, TBLB, BAJ, TBNA, sikatan, kureting, bilasan, TTNA, TTB, BJH, Biopsi pleura, punksi pleura

Foto toraks PA/Lat, CT-scan toraks s/d suprarenal, PET,

MRI, USG

Laboratorium, pemeriksaan histologi

Anamnesa, pemeriksaan jasmani

Curiga Kanker paru

PAGE 32