Torsion

33
TORSIO TESTIS Secara anatomi, testis adalah organ genitalia pria yang teletak di skrotum. Ukuran tetstis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm. Dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albugine terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperature testis agar tetap stabil. Secara histopatologis, testis terdiri atas ± 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonia dan sel sertoli, sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel-sel spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut

description

bhvhfghfhgfjf

Transcript of Torsion

TORSIO TESTIS

Secara anatomi, testis adalah organ genitalia pria yang

teletak di skrotum. Ukuran tetstis pada orang dewasa adalah 4 x 3

x 2.5 cm. Dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Kedua buah

testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat

pada testis. Di luar tunika albugine terdapat tunika vaginalis yang

terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada

disekitar testis memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen

untuk mempertahankan temperature testis agar tetap stabil.

Secara histopatologis, testis terdiri atas ± 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas tubuli

seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonia dan sel sertoli,

sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel spermatogonium pada

proses spermatogenesis menjadi sel-sel spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi

makan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial testis

berfungsi dalam menghasilkan hormone testosterone.

Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis disimpan dan

mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah matur (dewasa) sel-sel spermatozoa

bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula

vas deferens. Sel-sel itu setelah bercampur dengan cairan-cairan dari epididimis, vas deferens

dan vesikula seminalis, serta cairan prostate, membentuk cairan semen atau mani.

Testis mendapat darah dari beberapa cabang arteri, yaitu arteri spermatika interna

yang merupakan cabang dari aorta, arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior,

dan arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang

meninggalkan testis berkumpul meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus

Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai

varikokel. (2)

 I. DEFINISI

Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya

gangguan aliran darah pada testis. Keadaan ini diderita oleh I diantara 4000 pria yang

berumur kurang dari 25 tahun,

paling banyak diderita oleh anak

pada masa pubertas (12-20

tahun). Disamping  itu, tak

jarang  janin yang masih berada

dalam uterus atau bayi baru lahir

menderita torsio testis yang

tidak terdiagnosis sehingga

mengakibatkan kehilangan testis

baik unilateral maupun bilateral.

(2)

Torsio testis atau terpeluntirnya funikulus spermatikus yang dapat menyebabkan terjadinya

strangulasi dari pembuluh darah, terjadi pada pria yang jaringan di sekitar testisnya tidak

melekat dengan baik ke scrotum. Testis dapat infark dan mengalami atrophy jika tidak

mendapatkan aliran darah lebih dari enam jam. (5)

II. ETIOLOGI

Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas. Pergerakan yang

bebas tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Mesorchium yang panjang.

2. Kecenderungan testis untuk berada pada posisi horizontal.

3. Epididimis yang terletak pada salah satu kutub testis. (3)

Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis juga dapat

menyebabkan terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan pergerakan

berlebihan itu antara lain ; perubahan suhu yang mendadak (seperti saat berenang), ketakutan,

latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai

scrotum.

Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus dartos masih

belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis dan tunika vaginalis mudah

sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir pada sumbu funikulus spermatikus.

Terpeluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal. (2)

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan sistem

penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian dari testis pada

permukaan anterior dan lateral testis, pada keadaan ini tunika mengelilingi seluruh

permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini

menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis

dan menggantung pada funikulus spermatikus. Keadaan ini dikenal sebagai anomali bell

clapper. Keadaan ini menyebabkan testis mudah mengalami torsio intravaginal. (2)

 

III. GAMBARAN KLINIS/ sign

and symptom

Pasien-pasien dengan torsio testis dapat mengalami gejala sebagai berikut :

1. Nyeri hebat yang mendadak pada salah satu testis, dengan atau tanpa faktor

predisposisi

2. Scrotum yang membengkak pada salah satu sisi

3. Mual atau muntah

4. Sakit kepala ringan (7)

Pada awal proses, belum ditemukan pembengkakan pada scrotum. Testis yang infark

dapat menyebabkan perubahan pada scrotum. Scrotum akan sangat nyeri kemerahan dan

bengkak. Pasien sering mengalami kesulitan untuk menemukan posisi yang nyaman. (6)

Selain  nyeri pada sisi testis yang mengalami torsio, dapat juga ditemukan nyeri alih di

daerah inguinal atau abdominal. Jika testis yang mengalami torsio merupakan undesendensus

testis, maka gejala yang yang timbul menyerupai hernia strangulata.(3)

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Dalam phisical examination, Testis yang mengalami torsio letaknya lebih tinggi dan

lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-kadang pada torsio testis yang baru

terjadi, dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini

biasanya tidak disertai dengan demam. (2)

Testis kanan dan testis kiri seharusnya sama besar. Pembesaran asimetris, terutama

jika terjadi secara akut, menandakan kemungkinan adanya keadaan patologis di satu testis.

Perubahan warna kulit scrotum, juga dapat menandakan adanya suatu masalah.  Hal terakhir

yang perlu diwaspadai yaitu adanya nyeri atau perasaan tidak nyaman pada testis. (6)Reflex

cremaster secara umum hilang pada torsio testis. Tidak adanya reflex kremaster, 100%

sensitif dan 66% spesifik pada torsio testis. Pada beberapa anak laki-laki, reflex kremaster

dapat menurun atau tidak ada sejak awal, dan reflex kremaster masih dapat ditemukan pada

kasus-kasus torsio testis, oleh karena itu, ada atau tidak adanya reflex kremaster tidak bisa

digunakan sebagai satu-satunya acuan mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis torsio

testis.(5)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk

membedakan torsio testis dengan keadaan akut scrotum yang

lain adalah dengan menggunakan stetoskop Doppler,

ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi testis, yang kesemuanya

bertujuan untuk menilai aliran darah ke testis.(2) Sayangnya,

stetoskop Doppler dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu bermanfaat dalam menilai

aliran darah ke testis. Penilaian aliran darah testis secara nuklir dapat membantu, tetapi

membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus bisa terlambat ditangani.  Ultrasonografi

Doppler berwarna merupakan pemeriksaan noninvasif yang keakuratannya kurang lebih

sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning. Ultrasonografi Doppler berwarna dapat

menilai aliran darah, dan dapat membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah

dinding scrotum. Alat ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi patologis lain pada

scrotum. (8)

Color Doppler ultrasonogram showing acute torsion affecting the

left testis in a 14-year-old boy who had acute pain for four hours. Note decreased blood flow

in the left testis compared with the right testis.

Color Doppler ultrasonogram showing late torsion affecting the right testis in a 16-year-old

boy who had pain for 24 hours. Note increased blood flow around the right testis but absence

of flow within the substance of the testis.

Color Doppler ultrasonogram showing inflammation

(epididymitis) in a 16-year-old boy who had pain in the left testis for 24 hours. Note

increased blood flow in and around the left testis

Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin, dan

pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali pada torsio yang sudah lama

dan mengalami keradangan steril. (2)

VI. DIAGNOSIS (8,9)

Diagnosis torsio testis dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Secara umum, digambarkan  pada bagan Alogaritma dan Clinical Pathway Torsio

Testis / Testicular Torsion;

Protocol for the diagnosis and treatment of the acute scrotum. (8)

VII. DIAGNOSIS BANDING (1,2,4,5)

1. Epididimitis akut. Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis.

Nyeri scrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah dari

uretra, adanya riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan selain

isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan,

epididimitis dan torsio testis, dapat dibedakan dengan Prehn’s sign, yaitu jika testis

yang terkena dinaikkan, pada epididmis akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s

sign positif), sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative).

Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan

sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan bakteriuria.

2. Hernia scrotalis incarserata. Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang dapat

keluar masuk ke dalam scrotum.

3. Hidrokel

4. Tumor testis. Benjolan dirasakan

tidak nyeri kecuali terjadi perdarahan

di dalam testis

5. Edema scrotum yang dapat

disebabkan oleh hipoproteinemia,

filariasis, adanya sumbatan saluran

limfe inguinal, kelainan jantung, atau

kelainan-kelainan yang tidak

diketahui sebabnya (idiopatik).

Perbedaan antara torsio testis, torsio appendix testis dan epididimitis dapat dilihat pada tabel

di bawah ini. (8)

Diagnosis of Selected Conditions Responsible for the Acute Scrotum

 

Condition

 

Onset of

symptoms

 

Age

 

Tenderness

 

Urinalysis

 

Cremasteric

reflex

 

Treatment

Testicular 

torsion

Acute Early

puberty

Diffuse - + Surgical

exploration

Appendiceal

torsion

Subacute Prepubertal Localized to

upper pole

- + Bed rest and

scrotal

elevation

Epididymitis Insidious Adolescence Epididymal + / - + Antibiotic

Torsio testis

Torsio appendix testis

Epididimitis

VIII. PENATALAKSANAAN

1. Non operatif

Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus dapat

mengembalikan aliran darah. (5)

Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan

memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial,

maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu, kemudian jika tidak ada

perubahan, dicoba detorsi ke arah medial.

Metode tersebut dikenal dengan metode “open book” (untuk testis kanan), Karena

gerakannya seperti membuka buku. Bila berhasil, nyeri yang dirasakan dapat menghilang

pada kebanyakan pasien. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang

waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur

pembedahan. (2,5)

Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit gawat

darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini sulit dilakukan

tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali

menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke

arah mana testis mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan

detorsi manual akan memperburuk derajat torsio.(5)

2. Operatif

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk

mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya iskemia, oleh

karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan pencitraan,

laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat

dipertahankan.

Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu :

1. Untuk memastikan diagnosis torsio testis

2. Melakukan detorsi testis yang torsio

3. Memeriksa apakah testis masih viable

4. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis masih viable

5. Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan oleh kecilnya

kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian

ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi dengan alasan

medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis, untuk

menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi pada testis

kontralateral. (5)

  Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal ini

dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain waktu.(3,5,7)

Jika testis masih viable, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos

kemudian disusul pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan menggunakan

benang yang tidak diserap pada tiga tempat untuk mencegah agar testis tidak terpuntir

kembali. Sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis, dilakukan pengangkatan

testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi kontralateral. Testis yang telah

mengalami nekrosis jika tetap berada di scrotum dapat merangsang terbentuknya antibodi

antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari. (2)

IX. KOMPLIKASI (5)

1. Atropi testis

2. Torsio rekuren

3. Wound infection

4. Subfertility

EKSTIRPASI, EKSISI DAN INSISI

A. Ekstirpasi

Definisi

Ekstirpasi adalah tindakan pengangkatan seluruh massa tumor beserta kapsulnya.

Indikasi

Kista Aterom. Kista aterom adalah kista retensi dari kelenjar sebasea akibat penutupan

saluran pori rambut yang terdiri dari kapsul jaringan ikat padat dengan isi mengandung

banyak lemak seperti bubur. Pada pemeriksaan tampak sebagai tonjolan bulat, superfisial-

subkutan, lunak-kenyal. Isi aterom kadang-kadang dapat dipijat keluar. Predileksi di bagian

tubuh yang berambut (kepala, wajah, belakang telinga, leher, punggung, dan daerah genital).

Kista ini mempunyai diagnosis banding kista epitel, fibroma, lipoma.

  Tindakan

o Ekstirpasi total dengan eksisi pada daerah bekas muara kelenjar, dengan indikasi kosmetik,

rasa nyeri, mengganggu

o Insisi dan drainase bila ada infeksi atau abses

Alat dan Bahan

o Lidokain 2%

o Spuit

o Pisau insisi (skapel)

o Pinset

o Gunting jaringan

o Klem jaringan

o Needle holder

o Jarum dan benang

Teknik

1. Bersihkan daerah operasi (daerah kulit di atas kista)

2. Lakukan anestesi lokal (blok/infiltrasi) pada daerah operasi

3. Eksisi kulit di atas kista berbentuk bulat telur (elips) runcing dengan arah sesuai garis

lipatan kulit. Panjang dibuat lebih dari ukuran benjolan yang teraba dan lebar kulit yang

dieksisi ¼ garis tengah kista tersebut.

4. Gunakan gunting tumpul untuk melepaskan jaringan subkutan yang meliputi kista,

pisahkan seluruh dinding kista dari kulit.

5. Usahakan kista tidak pecah agar dapat diangkat kista secara in-toto. Bila kista telah pecah

keluarkan isi kista dan dinding kista. Jepit dinding kista dengan klem dan gunting untuk

memisahkannya dengan jaringan kulit.

6. Jahit rongga bekas kista dengan jahitan subkutaneus

7. Jahit dan tutup luka operasi

B. Eksisi

Definisi

Eksisi adalah suatu tindakan pengangkatan massa tumor dan jaringan sehat di sekitarnya.

Indikasi

1. Kista Dermoid

Kista dermoid adalah kista kongenital yang berasal dari kelainan pertumbuhan kulit

pada masa embrio. Pada pemeriksaan tampak berupa benjolan bulat pada lapisan subkutan

dengan ukuran bervariasi hingga 10 cm seperti kista epidermoid dan terdiri dari kelenjar

sebasea, folikel rambut yang rudimenter, elemen kelenjar keringat yang dekat pada garis

epitelial. Letaknya terutama di sisi lateral alis mata, sepanjang akar hidung, leher, sublingual,

daerah sternal, perineal, skrotum, dan sakral. Biasanya lepas, tak melekat pada kulit di

atasnya tetapi sering melekat pada periosteum sehingga tidak lepas dari dasarnya. Dapat

terjadi degenerasi ganas, tetapi lebih sering terjadi infeksi, terutama pada kista di daerah

sakrum. Bila terjadi perforasi spontan, sering timbul fistula yang sulit sembuh. Sebagai diag-

nosis banding adalah sinus-pilinoidalis, suatu fistel di daerah sakrum karena masuknya

rambut ke dalam kulit. Pada kista yang terletak di atas alis mata, eksisinya harus hati-hati,

karena dapat mencederai cabang saraf fasialis.

2. Kista Epidermoid

Kista epidermoid adalah kista yang berasal dari sel epidermis yang masuk dan tumbuh

kejaringan subkutis akibat trauma tajam. Pada pemeriksaan tampak benjolan subkutis bulat,

maksimal sebesar kelereng, kenyal dan permukaan rata, yang biasanya ditemukan di telapak

kaki/tangan, dan jari-jari sisi volarnya. Benjolan ini berisi massa seperti bubur yang

merupakan produk keratin. Kadang-kadang kulit di atasnya terdapat jaringan parut yang

merupakan tanda bahwa pernah ada trauma. Kulit di atasnya biasanya tipis karena tekanan

yang terus menerus di atas hiperkeratosis yang menstimulasi penyebab utamanya. Bila pada

perabaan terasa nyeri di daerah tersebut, maka hal ini merupakan petunjuk adanya kista ini.

Tonjolan ini berdinding putih, tebal dan jarang menjadi besar, tetapi cukup mengganggu

karena letaknya.

  Tindakan yang dilakukan adalah eksisi total untuk menentukan diagnosis pasti

(pemeriksaan PA) dalam menghilangkan keluhan serta indikasi kosmetis. Bila melekat pada

periosteum, maka pexlu dilakukan kuretase tulang. Eksisi kista yang terletak di daerah sakral

atau kista yang terinfeksi di unit rawat jalan tidak dianjurkan.

 

Alat dan Bahan

o Lidokain 2%

o Spuit

o Pisau insisi (skapel)

o Pinset

o Gunting jaringan

o Klem jaringan

o Needle holder

o Jarum dan benang

C. INSISI

Definisi

Yang dimaksud insisi adalah membuka kulit / organ tanpa mengambil organ atau kulit

tersebut. Dengan perkataan lain, luka insisi hanya sebagai jalan masuk untuk mencapai organ.

Sedangkan eksisi adalah tindakan membuang kulit beserta jaringan dibawahnya.

Insisi harus cukup panjang agar operasi dapat leluasa dikerjakan tanpa retraksi yang

berlebihan. Retraksi yang berlebihan akan meningkatkan rasa nyeri pasca bedah. Usahakan

agar insisi dibuat hanya dengan satu sayatan, karena sayatan tambahan akan meninggalkan

bekas yang lebih buruk.

Arah

Arah insisi harus direncanakan dengan teliti agar jaringan parut yang terbentuk tidak terlalu

menyolok. Insisi sejajar garis Langer akan menyembuh dengan parut yang halus, karena

kolagen kulit terarah dengan baik. Arah kolagen kulit diidentifikasi dengan relaxed skin

tension lines (RSTL). RSTL diketahui dengan mencubit kulit dan melihat arah kerutan serta

penonjolan yang terbentuk. Cubitan tegak lurus terhadap RSTL akan lebih mudah dikerjakan

dan menghasilkan kerutan dan tonjolan yang lebih besar. Namun kadang-kadang keleluasaan

operasi mengalahkan pertimbangan kosmetis. Di lengan dan tungkai, insisi tidak boleh

memotong lipat sendi secara tegak lurus. Ini dapat dihindari dengan:

1. Sayatan memotong lipat sendi ke arah miring. Contohnya insisi Brunner di permukaan

ventral jari

2. Memasukkan lipat sendi sebagai bagian dari insisi. Di proksimal dan distal lipat sendi,

insisi dapat dibuat longitudinal. Cara ini dikerjakan di fosa poplitea.

3. Jauhi lipat sendi. Contohnya insisi midlateral pada jari.

 

Di daerah wajah, kerutan-kerutan, lipatan kulit, serta garis-garis kontour bisa digunakan

untuk menyembunyikan parut bekas luka. Kadang-kadang insisi perlu dimodifikasi untuk

menghindari trauma terhadap struktur neovaskular di bawahnya. Sebisa mungkin hindari

membuat insisi di daerah: bahu dan prasternal (sering menjadi keloid), di atas tulang yang

terletak subkutis (penyembuhannya lambat), atau di dekat atau menyilang jaringan parut

(vaskularisasinya mungkin tidak begitu baik).

Teknik

o Kulit disayat dengan satu gerakan menggunakan mata skalpel yang tajam. Lebih mudah

bila kulit ditegangkan dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, sementara skalpel disayatkan

dari kiri ke kanan.

o Jika membuat insisi yang panjang dan lurus, gagang skalpel bermata no. 10 dipegang

seperti menggenggam pisau dengan jari telunjuk diletakkan di sisi atas gagang agar

pengendalian gerakan lebih mantap. Untuk insisi yang lebih kecil dan rumit (misalnya di

daerah tangan), gagang skalpel bermata no. 15 dipegang seperti memegang pena sehingga

perubahan arah insisi dapat dikerjakan dengan lebih halus.

o Tekanan sayatan di atur sedemikian rupa agar sayatan tepat membelah epidermis dan

dermis. Luka akan merekah dan lemak subkutis dapat terlihat. Jika ragu-ragu, lebih baik

menyayat dengan tekanan ringan, meregangkan kulit agar luka terbuka, kemudian

memperdalam sayatan.

o Insisi harus tegak lurus kulit sehingga penutupannya lebih baik.

o Diseksi lebih dalam dilakukan dengan melakukan diseksi tajam ataupun tumpul

menggunakan skalpel, gunting, atau klem arteri. Bila terdapat vena dan saraf permukaan yang

melintas di lapangan operasi, insisi dapat dilakukan sejajar terhadap arah saraf atau pembuluh

darah, sejauh tidak mengurangi ruang gerak dan pandangan di daerah operasi. Jika tidak

mungkin, lebih baik potong saja daripada terkena cedera, teregang atau terputus secara tidak

sengaja.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Blandy, John. Lecture Notes on Urology. Third edition. Oxford : Blackwell Scietific

Publication. 1982. 277.

(2) Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2003. 8,145-148.

(3) Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated. London and New York :

Churchill Livingstone. 1975. 324-325.

(4) Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran – EGC. 2004. 799.

(5) http://emedicine.medscape.com/article/1017689-overview

(6) http://www.urologyhealth.org/about/

(7) http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1113.htm

(8) http://www.aafp.org/afp/2006/1115/p1746.html

(9) http://www.gfmer.ch/selected_images_v2/detail_list.php?

cat1=15&cat2=123&cat3=280&cat4=2&stype=n

(10) http://www.catscanman.net/blog/2008/12/scan-mans-casebook-case-6/

(11) http://www.catscanman.net/blog/wp-content/uploads/casebook/orchitis5.jpg

(12) http://urologistchennai.com/services

(13) http://www.medicineonline.com/articles/s/2/Scrotal-Orchiopexy/Testicular-Torsion-

Repair.html

(14) http://www.surgeryencyclopedia.com/La-Pa/Orchiopexy.html

(15) http://wikimed.blogbeken.com/prinsip-insisi#sthash.vXBZ1v3J.dpuf