Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

16
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected] TONGKAT YANG HANYUT RISALAH BATANG JAO DAN LEGENDA TONGKAT DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG Oleh: Albert Rahman Putra Pesta demokrasi barang kali sudah dimulai,beberapa bulan terakhir proporsi berita dalam media secara dominan diisi oleh berita partai politik (Parpol). Disepanjang jalan juga sudah cukup banyak poster dan bendera parpol. Tapi saya juga sedikit ragu dengan defenisi pesta politik ini. Mungkin lebih tepatnya saya menggunakan istilah kampanye parpol 1 , yang popular dikenal sebagai penciteraan atau usaha untuk menggaet partisipan sebanyak mungkin. Kalau itu benar, sepertinya pesta politik atau kampanye politik yang saya maksud sudah berlangsung setiap hari. Ada banyak bentuknnya, seperti membuat iklan layanan masyarakat, pembagian topi, stiker, baju secara gratis dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang memberikan semacam ongkos untuk masyarakat yang bersedia menempelkan stiker calon pemimpin itu di kendaraan mereka. Foto 1 – Baliho di Batang Jao, Juli 2012 Foto 2 – Baliho di Batang Jao, Maret 2012 Pada Sabtu, 21 Juli 2012 lalu, saya menemukan baliho di satu tempat yang kembali menarik perhatian saya. Apakah ini bagian dari kamapenya juga atau tidak, silahkan bermain dengan pikiran masing-masing. Kampanye bukanlah sesuatu yang menjijikkan atau seuatu yang mulia. Itu adalah suatu kewajaran. Itu adalh wujud dari usaha. Namun kampanye yang tidak tertib, itu baru masalah. Lalu jika pemasangan baliho partai di Salah satu Benda Cagar budaya 2 , dan Benda cagar alam 3 ; 1 Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Kampanye_politik; diakses pada Juli 2012) 2 Benda cagar budaya adalah: a.benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yangberupa kesatuan atau kelompok, atau bagian- bagiannya atau sisa-sisanya, yangberumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yangkhas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, sertadianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan;

description

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected] TONGKAT YANG HANYUT RISALAH BATANG JAO DAN LEGENDA TONGKAT DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG Oleh: Albert Rahman Putra Pesta demokrasi barang kali sudah dimulai,beberapa bulan terakhir proporsi berita dalam media secara dominan diisi oleh berita partai politik (Parpol). Disepanjang jalan juga sudah cukup banyak poster dan bendera parpol. Tapi saya juga sedikit ragu dengan defenisi p

Transcript of Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

Page 1: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

TONGKAT YANG HANYUT

RISALAH BATANG JAO DAN LEGENDA TONGKAT DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG

Oleh: Albert Rahman Putra

Pesta demokrasi barang kali sudah dimulai,beberapa bulan terakhir proporsi berita

dalam media secara dominan diisi oleh berita partai politik (Parpol). Disepanjang jalan juga

sudah cukup banyak poster dan bendera parpol. Tapi saya juga sedikit ragu dengan defenisi

pesta politik ini. Mungkin lebih tepatnya saya menggunakan istilah kampanye parpol1, yang

popular dikenal sebagai penciteraan atau usaha untuk menggaet partisipan sebanyak mungkin.

Kalau itu benar, sepertinya pesta politik atau kampanye politik yang saya maksud sudah

berlangsung setiap hari. Ada banyak bentuknnya, seperti membuat iklan layanan masyarakat,

pembagian topi, stiker, baju secara gratis dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang

memberikan semacam ongkos untuk masyarakat yang bersedia menempelkan stiker calon

pemimpin itu di kendaraan mereka.

Foto 1 – Baliho di Batang Jao, Juli 2012

Foto 2 – Baliho di Batang Jao, Maret 2012

Pada Sabtu, 21 Juli 2012 lalu, saya menemukan baliho di satu tempat yang kembali menarik

perhatian saya. Apakah ini bagian dari kamapenya juga atau tidak, silahkan bermain dengan

pikiran masing-masing.

Kampanye bukanlah sesuatu yang menjijikkan atau seuatu yang mulia. Itu adalah suatu

kewajaran. Itu adalh wujud dari usaha. Namun kampanye yang tidak tertib, itu baru masalah.

Lalu jika pemasangan baliho partai di Salah satu Benda Cagar budaya2, dan Benda cagar alam3;

1 Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Kampanye_politik; diakses pada Juli 2012)

2 Benda cagar budaya adalah: a.benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yangberupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yangberumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yangkhas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, sertadianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan;

Page 2: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Batang Jao, apakah itu salah? Setelah mempelajari undang-undang tentang cagar budaya, dan

cagar alam, ternyata itu salah. Lalu saya mulai ragu lagi, ketika saya berasumsi cagar budaya

yang dimaksud bercerita tentang demokrasi. Apakah pemasanagn poster politk ini masih teap

salah?

Batang Jao adalah sebutan untuk sebuah pohon yang diyakini sebagai sepotong kayu yang dulu

ditancapkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Tokoh legendaris Masyarakat Minangkabau)

di perbatasan antara Nagari Solok dan Selayo yang kini tumbuh sebagai pohon besar dan pohon

langka. Setelah melakukan riset beberapa bulan terakhir saya menemukan dua versi legenda4

dari Batang Jao ini, seperti keterangan dari Datuak Rajo Bantan, ketua Kerapatan Adan Nagari

(KAN) Salayo; pohon ini adalah sebuah tongkat yang ditancapkan oleh Datuak Parpatiah Nan

Sabatang, kemudian dari keterangan Bapak Tan Ali, Ketua Kerapatan Adat Lubuak Sikarah,

mengatakan bahwa itu adalah batang jenis langka yang sengaja ditanam oleh Datuak Parpatiah

Nan Sabatang yang menghasilkan buah andaleh. Buahnya selalu dua, satu pada sisi Solok, dan

satu pada sisi Selayo. Sekilas saya menangkap, pohon ini berbicara tetang keadilan.

Memang sulit ditelaah legenda mana yang paling tepat, karena sejarah batang jao ini adalah

legenda yang tidak begitu tersebar dalam bentuk Kaba5ataupun teangkum dalam berbagai versi

Tambo6.

Dari narasi yang saya kumpulkan terkait batang jao dilapangan, Cerita seperti yang dikatakan

Datuak Rajo Bantan lah yang paling banyak diyakini masyarakat. Tapi inti dari cerita itu semua

b.benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagisejarah, ilmu pengetahuan , dan kebudayaan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya)

3 Cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. (http://id.wikipedia.org/wiki/Cagar_alam; diakses padaa Juli 2012)

4 Legenda (bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). (http://id.wikipedia.org/wiki/Legenda; diakses pada juli 2012)

5 Kaba adalah genre sastra tradisional Minangkabau. Kata kaba sendiri berasal dari bahasa Arab khabar, yang sinonim dengan kata berita (Minangkabau: barito). Namun dalam peristilahan Minangkabau kedua kata ini dibedakan, kaba disini adalah seni sastra minangkabau yang berisikan cerita-cerita rakyat atau legenda. Kaba biasa disajikan dalam kesenian-kesian sebagai music vocal padakesenian randai, rabab, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kaba)

6 Tambo Minangkabau adalah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal-usul suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Tambo Minangkabau ditulis dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa.

Page 3: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

dapat ditemukan sebuah titik yang bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia dibalik batang

jao ini, yakni batang jao adalah pohon yang keberadaannya sangat erat dengan keberadaan

Datuak Parpatiah Nan Sabatang ditanah Solok dan Selayo.

Jika kita melihat batang jao menggunakan prespektif semiotika7 yang dikembangkan oleh

Ferdinand De Saussure, maka ada beberapa sistem tanda yang bisa kita pakai dalam

mengungkap makna dari Batang jao ini Seperti Batang jao itu sendiri baik itu sebagai tongkat

atau bukan, hubungannya dengan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan lain sebagainya.

***

Tongkat memiliki perngertian yang begitu luas, ada yang menggunakan tongkat untuk kaki

tambahan, ada yang menggunakan tongkat sebagai properti kepemimpinan, ada pula yang

menggunakan tongkat sebagai senjata. Lalu apa itu tongkat bagi masyarakat Solok – Selayo?

Foto 3 – Diskusi Komunitas Gubuak Kopi dan Bapak Bustanul Arifin Dt. Badara kayo, 25 Februari 2012 di kantor

BMN Salayo.

Pada diskusi yang digelar oleh komunitas Gubuak kopi 25 Februari 2012 lalu. Bapak Bustanul

Arifin Datuak Bandaro Kayo (Penulis buku Budaya Alam Minangkabau, dan tokoh Adat)

7 Semiotika : Semiotika ialah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,

seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda, tanda sebagai produk kebudayaan. (Marcell Bonneff, op. cit., hlm. 4-5)

Page 4: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

menjelaskan bahwa tongkat dalam masyarakat Solok dan Salayo adalah alat untuk

menyeberangi sungai, kemudian ditancapkan setelah pemakai tongkat sampai di seberang. Dan

tongkat yang ditancapkan ini digunakan jika ingin menyeberang kembali, atau orang lain yang

ingin menyeberang. Sepintas akan timbul kesan bahwa bagi masyarakat Solok dan Salayo

tongkat Bukanlah sesuatu yang di Agung-agungkan, sesuatu yang keramat, atau sesuatu yang

mahal untuk dijadikan properti kebangsawanan. Melainkan Tongkat adalah alat bantu sehari-

hari yang tidak jarang mereka temui dilingkungan sekitar mereka.

Lalu Bagaimana dengan Tongkat Datuak Parpatiah Nan Sabatang? Yang Pertama membuat

tongkat ini begitu sepesial tentu karena yang menancapkannya bukanlah sembarang orang,

melainkan pucuk pimpinan masyarakat Minangkabau; Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tapi

tidak se-simpel itu pula. Karena banyak pula barang Datuak Parpatiah Nan Sabatang lainnya

yang mungkin lebih layak dianggap spesial, seperti cincin, deta, baju, dan lain sebagainya. Disisi

lain saya sadar bahwasanya tidak akan sembarangan masyarakat Minangkabau menetapkan

sesuatu sebagai simbol, apa lagi itu dari seorang Datuk.

Datuak Bandaro Kayo, mengatakan bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang memang sengaja

menacapkan tongkat tersebut dikhalayak ramai sebagai sebuah simbol yang diharapkan dapat

selalu diingat oleh masyarakatnya. Lalu simbol apakah itu? menurut Datuak Rajo Bantan, ada

tiga poin yang disamapaikan oleh Datuak Parptiah Nan Sabatang pada waktu itu, intinya tokoh

legendaries itu mengajak masyarakt Solok dan Salayo untuk mengolah tanah mereka sebagai

lahan pertanian. Tidak ada bukti kuat untuk hal ini. Namun tidak ada salahnya untuk

menerkanya dengan mengkaji kembali fungsi tongkat tadi dan mengkaitkannya dengan filosofi

hidup masyarakat Minangkabau, Alam Takambang Jadi Guru.

Tongkat adalah alat untuk menyeberangi sungai, Jika sungai adalah fenomena alam yang dapat

menghayutkan maka tongkat adalah alat bantu untuk tetap kuat, dan jika dalam sungai yang

keruh kita kesulitan untuk melihat lubang, batu, atau benda-benda berbahaya yang ada di

dalam sungai, maka tongkat adalah alat bantu agar tetap aman mencapai tujuan. Jika sungai

adalah konotasi dari nafsu yang akan membuat kita terjerumus, maka tongkat adalah alat bantu

untuk tetap teguh pada kebenaran. Jika sungai keruh adalah konotasi dari pikiran yang keruh

atau keadaan yang diluar kendali maka tongkat adalah alat bantu untuk kita tetap menemukan

Page 5: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

jalan yang terbaik. Ada banyak hal yang bisa dijadikan konotasi dari fenomena tongkat dan

sungai ini, semuanya multi tafsir.

Namun jika kita melihat tanda ini dari prespektif semiotik pragmatik8, tentang konteks tanda,

serta arti yang ingin disampaikan pembuat tanda, maka kita sebaiknya juga mengenal lebih

jauh tentang Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan kenapa tongkat ini ditancapkan di perbatasan

antara Solok Dan Salayo.

Solok - Salayo pada masa itu disanjung dengan sebutan Ibu Solok, Bapak Salayo. Ibu bapak

adalah orang tua. Orang tua adalah bahasa Indonesia yang lazim di katakan dengan istilah

induak oleh masyarakat Minangkabau. Solok Salayo adalah induak dari konfederasi Kubuang

Tigo Baleh.

Kubuang Tigo Baleh adalah semacam otonomi khusus yang berdiri atas izin Kerajaan Pariangan

(beberapa sumber menyebutnya sebagai kerajaan Pagaruyung), namun memiliki beberapa

perbedaan paham dengan Pariangan yang bersifat kerajaan pada masa itu9. Dan Kubuang Tigo

Baleh konon adalah Otonomi yang paling demokratis pada masa itu. Jika Pariangan meliputi

luhak nan tigo10; luhak tanah datar, luhak agam, dan luhak limo puluah koto maka Kubuang

Tigo Baleh sudah barang tentu berada diluar 3 luhak itu. Para pemimpin Kubuang Tigo Baleh

membuka daerah baru yakni ditanah Solok dan Selayo. Kemudian menyebar hingga Guguak,

Talang, dan sebagai Pusatnya Solok Salayo. Belum ada penjelasan mendalam tentang kenapa

memilih Solok Salayo sebagai pusat Kubuang Tigo Baleh.

Kisah Kubuang Tigo Baleh ini diawali dengan 13 datuk yang menentang sistem kerajaan

Pariangan yang melanggar kebiasaan musyawarah dan lebih menonjolkan kekuasaan,

kemudian 13 pemimpin ini dibuang ke daerah Agam. 13 belas pemimpin ini adalah orang-orang

8 Semiotika pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya dan efek tanda bagi yang

menginterpretasikan dalam batas perilaku subjek.

9 Menurut Ismar Maadis Dauak Putiah, pada masa itu sudah lahir istilah Minangkabau. Sedangkan menurut analisa penulis pada masa itu belum

lahir istilah Minangkabau.

10 Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di Sumatera Barat. Wilayah ini merupakan wilayah

pemukiman awal penduduk Minangkabau yang (dulunya adalah wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung) dikenal dengan istilah Darek. Luhak

Nan Tigo adalah luhak tanah datar, meliputi sebagian besar kabupaten tanah datar dan kota Batusangkar sekarang, kemudian luhak agam yang

meliputi sebagian besar kabupaten agam dan kota bukittinggi sekarang, dan luhak Limo puluah koto, meliputi sebagian besar kabupaten limo

puluah kota dan kota payakumbuh. Daerah diluar tiga luhak ini disebut juga dengan daerah rantau.

Page 6: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

penting, sehingga ketika kerusuhan menimpa Pariangan, Pencurian, pemberontakan dan lain-

lain, 13 orang pemimpin yang sangat berpengaruh ini dipanggil kembali untuk membantu

Pariangan. Pada awalnya 13 pemimpin ini spontan menolak, kemudian setelah beberapa kali

permohonan akhirnya mereka memenuhi permintaan raja dengan pesyaratan setelah keadaan

kembali tentram mereka diizinkan untuk membuka wilayah baru dan memiliki hak untuk

mengatur otonomi sendiri11.

Akhirnya setelah Pariangan kembali aman, maka raja pun menepati janji mereka untuk

melakukan perjalan, membuaka wilayah baru, dengan membawa marawa12 dari raja.

Perjalanan tersebut mengarah kedaerah lauk sumpu13 kemudian menuju Solok Salayo. Alasan

yang paling logis yang bisa diyakini adalah karena berangkat dari Pagaruyung, maka kubu

pemberhentian yang paling tepat adalah Solok, kemudian melakukan perluasan pertama ke

daerah Salayo. Dua daerah ini adalah lahan yang paling datar dan cukup strategis untuk

dijadikan sebagai kubu. Dan dari sinilah para tokoh Kubuang Tigo Baleh berpencar dan

membuka daerah baru dengan tetap membawa marawa.

Salah Satu kesimpulan yang menarik untuk kita ambil dari Kubuang Tigo Baleh dalam konteks

ini, yakni Solok Salayo adalah daerah yang pertama di Minangkabau menegakkan otonomi yang

belakangan dikenal dengan cikal bakal demokrasi. Tapi sebenarnya pada masa itu Minangkabau

belumlah ada, yang ada pada masa itu adalah Pariangan. Dan disinialah mulai terangnya

hubuangan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan tanah Salayo. Pagaruyung yang menganut

sistem kerajaan pada masa itu dipimpin oleh Datuak Katumanggungan kakak tiri dari Datuak

Parpatiah Nan Sabatang. Datuak Katumanggungan dibesarkan di kalangan kraton Majapahit14.

11 Para pemimpin gerakan Kubuang Tigo Baleh membuka wilayah baru diluar luhak nan tigo, sebagai konfederasi baru yang tetap menjadi bagian

dari Pariangan, namun memiliki cara pemerintahan yang berbeda. Konfederasi ini juga dikenal sebagai Luhak Kubuang Tigo Baleh, bukan

daerah rantau, walaupun Kubuang Tigo Baleh berada diluar Luhak Nan Tigo.

12 Semacam bendera kebesaran kerajaan Pagaruyung, yang kini juga menjadi bendera kebesaran masyarakat Minangkabau. Marawa memiliki 3

buah warna yakni; hitam, merah dan kuning. Membawa marawa dalam perjalanan, artinya perjalanan atas izin serta perlindungan dari

pagaruyung.

13 Danau Singkarak sekarang

14 Gus Tf Sakai dalam bukunya (Tambo, Sebuah Pertemuan; th 2000) menyebutkan bahwa Dt. Katumanggungan adalah nama lain dari

Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit. Sedangkan dalam Tambo versi Bahar Dt. Nagari Basa Adityawarman bukanlah Dt.

Katumanggungan dan Dt. Katumanggungan bukanlah orang dibesarkan di Majapahit. Dalam konteks ini penulis menggunakan versi yang

dikembangkan oleh Gus Tf Sakai.

Page 7: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Dia adalah salah satu panglima perang yang handal. Pengalaman perangnya-lah yang membuat

beliau tertarik untuk kembali kedaerah asalnya dan memimpin kerajaan Pagaruyung15. Disisi

lain, adik satu ibu belainan bapaknya, yakni Datuak Paraptiah Nan Sabatang yang tidak begitu

setuju dengan konsep kerajaan memutuskan untuk marantau16.

Setelah Datuak Parpatiah Nan Sabatang menjelajahi negeri cina, romawi, dan sebagian besar

ranah asia, Dia tertarik untuk menyempurnakan sistem yang berkembang di daerahnya. Dari

sanalah Ia mengenal dan mempelajari konsep suku17, aturan dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian konsep itu ditawarkan kepada kakaknya yang pada masa itu memimpin kerajaan.

Karena merasa sama-sama punya hak untuk membenahi tanah lahir mereka, dan karena

Datuak Katumanggungan merasa mubazir untuk membuang ilmu perang yang telah digaulinya

semenjak kecil akhirnya kehendak Datuak Parpatiah Nan Sabatang sedikit demi sedikit diterima

oleh raja. Dan sementara proses itu berlangsung Datuak Parpatiah Nan Sabatang lebih sering

bergaul dan belajar di Kubuang Tigo Baleh yang telah menganut cikal bakal dari sistem yang Ia

inginkan.

Dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang hadir untuk menyempurnakan melalui pembagian suku

dan lain sebagainya. Salah satu tujuan pembagian suku ini adalah pembuktian bahwasanya

konsep kerajaan tidaklah begitu efektif dalam kehidupan masyarakat. Bala tentara, tidaklah

diperlukan jika masing—masing suku diatur untuk saling membutuhkan saling mengunci, saling

membuhur. Kasta bisa dihapuskan, karena semuanya sama di mata alam. Semua pekerjaan

saling membutuhkan, tidak ada yang tidak penting. Baginya tidak pula dibutuhkan wilayah-

wilayah baru untuk mengumpulkan upeti.

Lalu bagaimana jika kerajaan lain yang datang menjajah?

Menurut sebagian besar kitab Tambo inilah yang melatarbelakangi hadirnya Minangkabau.

Seperti yang digambarkan, Gus Tf Sakai, dalam bukunya “Tambo Sebuah Pertemuan”

15Kerajaan pagaruyung hadir setelah masa kerajaan Pariangan.

16 Merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman.

17 Suku ; Klan

Page 8: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

(Gramedia Widiasarana Indonesia; tahun 2000), Pada pada masa itu datanglah penjajah dari

tanah jawa, yang ingin mengusai pagaruyung. “hal seperti inilah yang kau katakan tidak

membutuhkan tentara?” barang kali itulah cemooh yang ingin disampaikan oleh raja. Namun

Datuak Parpatiah Nan Sabatang dapat mengakalinya. Beliau melakukan semacam kesepakatan

kepada utusan jawa yang datang menjajah. Ia menawarkan untuk melakukan perperangan

tanpa bala tentara. Dan tentu saja para utusan Jawa semakin heran namun makna pepatah,

Perang tak ubahnya “kalah jadi abu menang jadi arang” itu juga disadari oleh tentara Jawa.

Parang hanya membinasakan kedua belah pihak. Tapi utusan Jawa tak bakal mau pula pulang

tanpa membawa kabar. Artinya usaha perebutan kekuasaan akan tetap ada, Kemudian Datuak

Paraptiah menyuguhkan kesepakatan menarik, yang memikat hati bala tentara Jawa. Bahwa

jika Pagaruyung kalah, maka seluruh kekuasaan Pagaruyung diserahkan pada kerajaan jawa.

Dan jika Pagaruyung menang Pagaruyung tidak akan menuntut apa-apa. Maka sepakatlah

kedua belah pihak untuk melakukan perang yang diwakili dengan aduan kerbau.

Minangkabau

Kisah aduan kerbau ini barang kali semua orang sudah tau. Bahwa Jawa mendatangkan kerbau

yang paling besar dan paling tangguh, sedangkan dari Pagaruyung hanya mengutus anak kerbau

yang membuat semua bala tentara tertawa. Anak kerbau itu tidak dibiarkan menyusu selama 3

hari, dan tanduknya diberi permata runcing.

Pada hari kesepakatan perang, anak kerbau ini yang sudah kehausan ini tentu tidak tahan untuk

menyusu, ketika melihat induk kerbau yang besar anak kerbau ini langsung mencari sesuatu

yang ia butuhkan dibawah perut sang kerbau besar dan tanduknya yang telah di setting

sedemikian rupa berhasil merobek perut induk kerbau itu. Seketika Pagaruyung menang. Dari

pihak kerajaan yang sebenarnya juga ragu akan menang, mengakui kecerdikan taktik Datuak

Parpatiah Nan Sabatang. Dan pahamnya yang selama ini dianggap konyol itu mulai mendapat

perhatian dari masyarakat dan pihak kerajaan. Baik kaum-nya, dan utusan dari jawa itu sendiri

mengenang peristiwa tersebut sebagai “Menang kerbau”, yang secara tak langsung menamai

Page 9: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

paham Datuak Parpatiah Nan Sabatang selama ini, dan pada pola bahasa masyarakat setempat

menang kerbau adalah Minangkabau.18

Cerita diatas memang tidak dibuktikan secara mutlak kebenarannya. Ada banyak pula cerita

lainnya tentang asal nama Minangkabau, itulah uniknya Minangkabau, sejarahnya adalah

legenda yang tidak disangka-sangka, tinggal bagaimana kita memilah atau menemukan legenda

yang paling tepat.

***

Kemudian mulailah paham yang disebarkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang ini benar-benar

mendapat tempat di mata raja. Namun Datuak Parpatiah Nan Sabatang juga tidak ingin

membubarkan kerajaan Pagaruyung. Pagaruyung tetap ada, entah itu untuk menghargai kakak

tirinya atau memang kekuatan kerjaan juga dibutuhkan untuk memudahkan penanaman sistem

yang dimaksud pada kaum yang selama ini lebih patuh terhadap Pagaruyung.

Kemudian dibagilah dua induk suku yang di pimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan

Datuak Katumanggungan keduanya disebarkan pada daerah yang berbeda-beda. Kemudian

suku-suku tersebut dikunci dengan sistem perkawinan yang diatur oleh kedua tokoh kakak

beradik itu. Suku A (beserta cabangnya) hanya boleh kawin dengan Suku B (beserta cabangnya).

dan sebaliknya, kemudian diatur pula pembagian warisan pusako dan sako melalui garis ranji

suku. Alhasil memang hal ini begitu efektif dalam menjaga ketentraman masyarakat. Dan

kerajaanlah yang mengawassi berjalanya sistem ini.

***

Kembali pada hubungannya dengan Solok Salayo. Sebagai daerah yang telah lebih dahulu

menjalankan cikal bakal demokrasi, maka Solok sebagai ibu menganut Suku Bodi Caniago yang

dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan Salayo dengan Suku Koto Piliang yang

dipimpin oleh Datuak Katumanggungan. Ini pulalah yang membuat Datuak Parpatiah Nan

Sabatang lebih dekat dengan masyarakat Solok Salayo sedangkan Datuak Katumanggungan

sibuk di Pagaruyung. Dengan pembagian suku itu, maka Salayo adalah daerah tempat Datuak

18

Legenda Minangkabau, namun ada juga yang menyatakan tentara yang menjajah bukan dari tanah jawa.

Page 10: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Paraptiah mengadu dan Solok adalah tempat ia mengabdi. Beliau tidur di rumah Datuak

Gadang, Salayo, dan beraktivitas di tanah Solok. Beliau jatuh sakit dan meninggal ditanah

Salayo, dan dikuburkan di tanah datuak Gadang, di munggu tanah, Salayo.

Foto 4 – Lokasi Makam Datuak Parptiah Nan Sabatang

Foto 5 – Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang, di Munggu Tanah – Salayo.

Sebagai tanda telah dibaginya suku dua daerah induk Kubung Tigo Baleh ini, maka

ditacapkanlah tongkat tersebut sebagai daerah percontohan bagi cabang-cabang Kubuang Tigo

Page 11: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Baleh lainnya dan daerah lainnya diluar Kubuang Tigo Baleh. Tongkat sebagai alat bantu

melintas juga berarti sebagai penghubung antara dua suku.

Apapun makna yang diwakili oleh tongkat ini jika kita menggalinya lebih dalam tentu kita sadar

bahwa batang jao adalah suatu petanda besarnya peranan Solok Selayo dalam sejarah

demokrasi di Minangkabau. Datuak Parpatiah Nan Sabatang tentu memiliki alasan tersendiri

kenapa memilih tongkat, atau sepotong kayu yang nantinya akan tumbuh besar dan memiliki

kemungkinan mati jika tidak dirawat dengan baik, barang kali itulah petanda bahwa besarnya

keinginan Datuak Parptiah Nan Sabatang agar generasi berikutnya terus merawat hingga

menjadi kokoh dan tidak membiarkan demokrasi itu mati.

Jika kita masih percaya demokrasi adalah pilihan yang baik, dan jika benar kata orang-orang

selama ini demokrasi telah kacau maka tidak ada salahnya untuk menghargai dari sejarah yang

dibawa batang jao ini. Ada banyak macam cara untuk menghargai sejarah demokrasi tersebut,

mungkin itu membuka ruang diskusi lebih dalam tentang apa itu demokrasi, atau apa itu

demokrasi yang sebenarnya. Namun jika ada pula yang berfikiran demokrasi yang

dikembangkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang tidak lagi sesuai dengan kenyataan sekarang,

tetaplah tidak ada salahnya kita mengetahui lebih dalam tentang bagaimana demokrasi ini bisa

efektif pada masa itu kemudian mencari titik temunya dengan fenomena kekinian.

Pudarnya Pesona Batang Jao

Beberapa pihak barangkali heran, batang jao yang ternyata juga dapat membawa kita untuk

mengenal perjalanan demokrasi ini tidak begitu dipedulikan.

Sungguh mengherankan, karena setelah saya mengumpulkan data-data tentang batang jao ini,

rupanya tidak pula sedikit yang mengetahui tentang keberadaan batang jao ini. Hanya saja

beberapa diantaranya tidak begitu mengetahui, atau ingin tau apa sejarah yang

melatarbelakangi cagar budaya tersebut.

Beberapa waktu lalu saya sempat berulang kali bolak balik mengkomfirmasi pada tokoh-tokoh

adat setempat. Datuak Rajo Bantan menyatakan benar, itu adalah pohon yang diyakini sebagai

tongkat yang ditancapkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Datuak Gadang, tokoh adat Salayo

Page 12: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

juga mengatakan benar. Datuak Bandaro Kayo, tokoh adat selayo, penulis buku BAM, juga

menyatakan benar. Datuak Tan Ali, ketua KAN Salayo juga menyatakan benar. Kemudian di luar

tokoh adat yang saya temui seperti Bapak J. otri St. Mantari, anggota koramil yang bermarkas

disebelah lokasi batang jao ini juga menyatakan benar hanya saja sama seperti beberapa

pemuda, serta tukang ojek didekat lokasi batang jao itu berpendapat, bahwa tidak seluruhnya

warisan budaya itu wajib kita pertahankan. Saya juga heran kenapa? Lalu kepada mereka yang

menjawab demikian saya bertanya, apa cerita dibalik batang jao ini, ternyata 90% dari mereka

memang hanya sebatas mengetahui bahwa tongkat itu ditancap oleh Datuak Parpatiah Nan

Sabatang, dan bahwasanya beliau adalah tokoh besar dalam adat Minangkabau. Hanya sebatas

itu. Tak heran pula saya, kenapa masyarakat tidak begitu peduli dengan pohon ini. Karena

barang kali mereka mengira Datuak Parpatiah Nan Sabatang juga menancapkan tongkat-

tongkat ditempat lain, atau mungkin mereka mengira bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang

juga pernah membangun rumah di daerah-daerah tertentu tapi tidak juga perlu di ekspose

secara berlebihan. Sedangkan ini hanya tongkat, yang tumbuh menjadi pohon, suhu, iklim, api,

dan gergaji pun bisa membuatnya hilang.

Foto 6 – Diskusi bersama tokoh adat Salayo, di kediaman Dt. Rajo Bantan (ketua KAN Salayo), 7 Januari 2012

Page 13: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Foto 7 – Datuak Gadang di kediamannya, 3 Maret 2012.

Foto 8 – Bapak J. Otri dan penulis, di Markas Koramil

cabang, batas kota Solok (disebelah lokasi Batang

Jao), Januari 2012.

Pohon Demokrasi

Sepertinya memang tidak semua orang butuh pengetahuan tentang itu, tampaknya beberapa

orang juga tidak peduli dengan hal ini. Seperti fakta yang bebarapa kali saya temukan. Batang

jao yang belakangan saya anggap guru, atau buku yang menyimpan pelajaran tentang

kedamainan ini ternyata bagi orang lain hanyalah suatu pohon yang terletak pada

persimpangan, yang strategis dijadikan sebagai papan iklan. Banyak perusahaan komersil yang

pernah mengikatkan baliho/spanduk mereka pada pohon ini, ada pula beberapa instansi non-

komersial yang juga menompang penciteraan mereka dengan menempel baliho atau poster

mereka dibatang tersebut. Namun belakangan, yang paling ramai memasang poster berasal

dari partai-partai politik. Seperti pengamatan saya sejak satu tahun terakhir --- dalam masa

proses mengumpulkan data-data ini --- banyak baliho yang di tempel, di-paku-kan. Dan

diikatkan pada pohon ini. Saya kira yang melatarbelakangi hal ini adalah sejarah demokrasi

pohon tersebut yang mungkin telah berkembang menjadi mitos demokrasi, atau mungkin

demikianlah cara mereka untuk menghargai demokrasi itu. Tapi setelah saya bersama teman-

teman dari komunitas Gubuak Kopi meng-komfirmasi pada beberapa pimpinan partai itu, kami

keliru. Mereka bahkan tidak tahu tentang sejarah pohon itu, dan rata-rata semuanya

menyalahkan pihak percetakan yang mereka percayakan untuk mencarikan tempat strategis

untuk memasang baliho/poster mereka.

Page 14: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Foto 9 – Baliho dan bendera partai di Batang Jao, 5

September 2011

Foto – 10 Pada saat membersihakan Batang Jao, 25

Februari 2012

Foto 11 - Pada saat membersihakan Batang Jao dan

disaksikan oleh salah satu anggota koramil, 25

Februari 2012

Foto 12 – Banner pemberitahuan cagar budaya Batang

Jao. 20 Mei 2012

Foto 13 - Banner pemberitahuan cagar budaya

Batang Jao dan Baliho yang diikatkan di Batang Jao,

20 Mei 2012.

Foto 14 – Baliho di Batang Jao, 20 Agustus 2012

Page 15: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Diketahui oleh tokoh-tokoh adat Salayo, kami meminta mereka untuk memindahkan baliho

mereka tersebut. Dan memang dipindahkannya. Lalu untuk mencegah itu saya dan teman-

teman di komunitas Gubuak Kopi berinisiatif untuk membuat banner sementara untuk

mengingatkan bahwa ini adalah batang jao, benda cagar budaya yang sebaiknya lindungi (lihat;

Foto 12). Namun karena kami pun harus menuntut ilmu diluar kota tidak selalu kami dapat

mengontrol hal ini. Pemasangan poster liar itu kembali terjadi, walau kami sempat berincang-

bincang tentang hal ini pada koramil disebelahnya, walau disana juga lintas utama Kota dan

kabupaten Solok, Walau disimpang itu juga merupakan baypass (terminal alternative) jurusan

Solok-Padang, walau di simpang itu juga ramai tukang ojek yang juga asli masyarakat Solok dan

Salayo, yang juga pernah melihat kami memasang banner. Tapi pemasangan iklan liar tetap saja

terjadi. Beberapa waktu lalu sebelum ramadhan 1433 H (20 Agustus 2012), saya pulang ke

Solok dan melihat ternyata banner (pemberitahuan) yang pernah kami pasang itu telah hilang.

Dan dua baliho partai kembali terpampang (lihat; Foto 14).

*(Foto: Arsip Komunitas Gubuak Kopi)

Page 16: Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject

JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]

Profil Penulis:

Albert Rahman Putra, akrab disapa Albert. Lahir di Solok, 31 Oktober

1991. Pendiri dan aktif di komunitas Gubuak Kopi Solok. Penulis dan

fotografer freelance. beberapa tulisan dan fotonya pernah dimuat di

media local, dan nasional, seperti Singgalang, majalah Pituluik,

inioke.com, jurnal www.akumassa.org, jurnal www.gubuakkopi.org,

Info Sumbar, dan lain-lain. Saat ini bekerja sebagai penyiar di salah

satu radio swasta di Kota Padang Panjang, dan tengah merintis

sebuah yayasan untuk seni budaya; Bujangkatapel Foundation.

Di Publikasikan pada 12 Agustus 2012 oleh:

Jurnal Jejak Kota

salah satu program yang digagas Komunitas Gubuak Kopi dalam rangka

mengkaji dan memetakan sejarah budaya lokal, menyajikanya pada publik

sebagai wacana pengantar dalam menemukan identitas kota dan menghadapi

kedinamisan budaya

Jalan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, No 52

Air Mati, Kota Solok

Sumatera Barat – Indonesia.

www.gubuakkopi.org Email: [email protected] | [email protected]

KOMUNITAS GUBUAK KOPI Organisasi non-profit yang yang didirikan oleh beberapa pemuda yang terdiri

dari mahasiswa, pelaku seni, dan pengamat budaya asal Solok pada 01 Agustus

2011. Gubuak Kopi hadir sebagai sarana diskusi yang mengkaji kehidupan sosial

dan kedinamisan budaya lokal (tempat komunitas berkembang) dengan

berbagai disiplin ilmu.

©GBKAgus2012

Program Jejak Kota Komunitas Gubuak Kopi 2012