Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif...

79
Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh : Ahmad Munandar NIM. 1113011000059 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif...

  • Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6

    dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

    Oleh :

    Ahmad Munandar

    NIM. 1113011000059

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2020

  • i

    ABSTRAK

    Ahmad Munandar (1113011000059). Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn

    Ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.

    Dalam agama Islam, Rasulullah s.a.w merupakan teladan yang paling utama

    dalam kehidupan beragama, beliau memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap

    orang orang yang berseberangan dan berbeda secara keyakinan. Rasulullah tidak

    pernah memaksakan kehendaknya agar orang lain mengikuti ajarannya. Ketika

    beliau mendakwahi pamannya Abū Ṭālib, beliau tidak menggunakan bujuk rayu

    dan kekerasan. Terhadap kafir żimmi (yang berada dilindungan negara) beliau

    tetap menghargainya dan melindungi hak haknya.

    Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif

    yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari

    jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini

    menggunakan metode penafsiran tokoh dengan pendekatan analisis konten.

    Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam penafsiran Muhammad

    Quraish Shihab tidak ditemukan diksi toleransi secara langsung. Namun penulis

    menemukan pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari toleransi

    itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran Muhammad

    Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali dalam tafsir surah

    al-Kāfirūn di kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Ada 2 hal yang ditemukan dalam diksi

    toleransi dalam kata kompromi beliau yakni: Bahwa tidak ada kompromi (titik

    temu) dalam hal peribadatan. Jadi dalam hubungannya dalam wilayah ibadah

    (penyembahan), tidak ada dan tidak bisa dikompromikan (tidak bisa

    dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi hubungan antar pemeluk

    agama. Kemudian menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk

    agama. Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam

    diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam

    kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima

    Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama

    Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai

    seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam

    keyakinannya agamanya.

    Kata Kunci: Islam, Toleransi, Berkompromi.

  • ii

    ABSTRACT

    Ahmad Munandar (1113011000059). Tolerance within the QS. al-

    Kāfirūn verse 1-6 based on the perspective of Prof. Muhammad Quraish

    Shihab

    In Islamic religion, Rasulullah s.a.w is the utmost role model in living a

    religious life, he possesses a high level of tolerance upon people with counterpart

    and different believes other than himself. Rasulullah has never imposed his will to

    obligate others in following his teaching. Whence, he preached upon his uncle

    Abū Ṭālib, he did not use any kind of manipulation and violence. Upon kafir

    żimmi (which reside and protected by the nation) he respect and protects their

    rights.

    In the research of this dissertation, one employs a qualitative research type

    in which the research is based on the several studies and composition of library

    empirical materials that is study based or Library research. This research is

    employing interpretation of figure method with content analyze approach.

    The result of the research is that within the interpretation of Muhammad

    Quraish Shihab has not been found explicit tolerance diction. However, one found

    the meaning of tolerance that refer to a definition of tolerance itself, therefore the

    meaning of tolerance within the interpretation of Muhammad Quraish Shihab is

    that upon the word compromise which appeared 6 times within the interpretation

    of surah al-Kāfirūn in the book of the interpretation of al-Miṣbāḥ. There are 2

    matters that are found within the tolerance diction within the word compromise

    that he believes in: There are no compromise (meeting point) within liturgy. Thus,

    the relation of liturgy (worship), there are not any and can not be compromised

    (unexchangeable) based on the foundation of the second theme which is the

    relation between religions followers. Then, respecting others faith once they

    decided to be the follower of such faith. Preaching or persuading others to

    understand Islam is allowed, however if the respond of the person is strong within

    his faith that they will not convert and he did not accept Islam, therefore that is

    not the responsibility of us as the followers of Islam to make others become a

    follower as well. As a muslim, we ought to respect the individual to stay strong

    within his faith.

    Keywords: Islam, Tolerance, Compromise.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirraḥmānirraḥīm

    Puji syukur kehadirat Allah s.w.t serta shalawat dan salam kepada Nabi

    Muhammad s.a.w atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah

    menyelesaikan skripsi yang berjudul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6

    dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.

    Skripsi ini merupakan pemenuhan tugas akhir mahasiswa di Fakultas

    Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul terkait diangkat

    oleh penulis dilatarbelakangi maraknya tindakan intoleran yang

    mengatasnamakan agama dan dinamikanya dalam bermasyarakat. Sehingga

    penulis mengangkat tema toleransi dalam kaitannya dengan al-Qur‟an agar

    menampik tindakan intoleran tersebut dan menumbuhkan bagian Islam yang

    raḥmatan lil ‘ālamīn.

    Dalam penyelesaian skripsi penulis menyadari bahwa pencapaian ini tidak

    dapat diraih tanpa dukungan banyak pihak maka dari itu penulis mengucapkan

    terimaksih kepada:

    1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Hj. Sururin, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.

    4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.

    5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

    6. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

    7. Dr. Dimyati, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar dan

    istiqomah dalam membimbing penulis di kampus dari awal hingga akhir

    perkuliahan.

  • iv

    8. Dr. Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Dosen pembimbing yang

    memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis selama

    menyusun skripsi ini.

    9. Bapak H. Munajat, SE. dan Ibu Hj. Sukarmi selaku orang tua yang selalu

    mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya hingga sampai detik

    ini dengan tulus ikhlas.

    10. KH. Rahmat Hidayat, guru pembimbing yang terus mendukung, mendidik

    dan selalu mendoakan penulis agar terus hidup bergerak menjalani hidup

    dengan ikhlas, sabar dan benar sebagai modal dalam menyikapi hidup.

    11. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Kajur Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Periode 2019-2023.

    Yang telah bersedia berbagi pengetahuan, pengalaman dalam dunia tafsir

    pada proses penyusunan skripsi ini.

    12. Isna Ramadani Bsc., yang sampai saat ini menjadi support system, teman

    berpikir, teman emosional, teman spiritual, yang juga telah bersedia

    menemani penulis secara virtual untuk terus berjuang dalam proses menuju

    cita-cita dan harapan untuk hidup bersama.

    13. Teman-teman Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Faris, Fadel, Kastubi,

    Yazid, Hamim, Kholik. Teman-teman UKM Resimen Mahasiswa angkatan

    Nusantara 2013, Althaf, Fuad, Tomy, Fathur, Khaidir, Arief, Asmamia,

    Faika, Fany, Nicken, Nita, Yuniar, dan Iqlima dan teman-teman Jurusan

    Pendidikan Agama Islam angkatan 2013 yang sudah membantu dan berjuang

    selama ini.

    Kepada berbagai pihak yang terlibat dan berandil besar dalam penyelesaian

    skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis

    menerima kritik dan saran yang membangun untuk mengembangkan skripsi ini.

    Semoga Allah memberikan balasan dan menjadikannya sebagai amal saleh. Āmīn

    yā rābbal „ālamīn.

    Tangerang Selatan, 10 Juli 2020

    Penulis

  • v

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

    Republik Indonesia

    Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

    1. Padana Aksara

    Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

    Huruf

    Arab Huruf Latin Keterangan

    Tidak dilambangkan ا b Be ب t Te ت ṡ es dengan titik atas ث j Je ج ḥ ha dengan titik bawah ح kh ka dan ha خ d De د ż zet dengan titik atas ذ r Er ر z Zet ز s Es س sy es dan ye ش ṣ es dengan titik bawah ص ḍ de dengan titik bawah ض ṭ te dengan titik bawah ط ẓ zet dengan titik bawah ظ Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

  • vi

    gh ge dan ha غ f Ef ؼ q Qi ؽ k Ka ؾ l El ؿ m Em ػم n En ن w We و h Ha ه Apostrof ` ء y Ye ي

    2. Vokal

    Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

    tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

    ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    A Fathah ــَـ

    I Kasrah ــِـ

    U Dammah ــُـ

    Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

    berikut:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    Ai a dan i ــَـ ي

    Au a dan u ــَـ و

  • vii

    3. Vokal Panjang

    Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

    dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    Ᾱ a dengan topi di atas ىَا

    Ī i dengan topi di atas ىِيْ

    Ū u dengan topi di atas ىُوْ

    4. Kata Sandang

    Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

    yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun

    huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.

    5. Syaddah (Tasydīd)

    Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

    sebuah tanda (ــّـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

    menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

    berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

    yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا ) tidak ditulis ad-

    darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.

    6. Ta Marbūṭah

    Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata

    yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

    contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti

    oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṭah tersebut

    diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

    (lihat contoh 3).

  • viii

    No Kata Arab Alih Aksara

    قةیرط 1 Ṭarīqah ةیإلسالما لجامعةا 2 al-jāmī’ah al-islāmiyyah دلوجوة احدو 3 wahdat al-wujūd

    7. Huruf Kapital

    Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

    aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

    yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

    permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

    Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf

    kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

    sandangnya. Contoh: Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, al-

    Kindi bukan Al-Kindi.

    Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

    alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

    tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

    demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

    dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

    katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

    tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-

    Rānīrī.

    8. Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja (Fi‘il), kata benda (Isim), maupun huruf (Ḥarfu)

    ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

    kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas

  • ix

    Kata Arab Alih Aksara

    ْلُقْرَءانُ ٱأُنزَِل ِفيِه Unzila fīhil-qur`ānu ْْلَُدى ٱٍت م َن نَ بَ ي Bayyinātim minal-hudā

    ْلُعْسرَ ٱيُرِيُد ِبُكُم Yurīdu bikumul-'usra ةَ ٱ ۟ لُِتْكِمُلوا ْلِعدَّ Litukmilul-'iddata

    Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama

    orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.

    Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan

    Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Rahmān.

  • x

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK .......................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

    PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 10

    C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 10

    D. Rumusan Masalah ................................................................................. 10

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10

    1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10

    2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11

    KAJIAN TEORI ............................................................................................. 12

    A. Pengertian Toleransi.............................................................................. 12

    B. Macam-macam Toleransi ...................................................................... 15

    1. Toleransi Antar Sesama Agama ....................................................... 15

    2. Toleransi Antar Umat Agama .......................................................... 16

    C. Wilayah Toleransi ................................................................................. 18

    1. Akidah .............................................................................................. 18

    2. Syariah .............................................................................................. 20

    3. Akhlak .............................................................................................. 20

    D. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 22

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 25

    A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 25

    B. Metode Penelitian.................................................................................. 25

    1. Jenis Penelitian ................................................................................ 25

    2. Sumber Data Penelitian ................................................................... 26

    C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 26

    1. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 26

    2. Teknik Pengolahan Data ................................................................... 26

  • xi

    D. Analisis Data ......................................................................................... 27

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28

    A. Surah al-Kafirun .................................................................................... 31

    1. Ayat dan Terjemahannya ................................................................ 31

    2. Munasabah Surah ............................................................................ 31

    B. Pembahasan ........................................................................................... 32

    1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.................................................. 32

    1.1 Argumen yang Digunakan .............................................................. 32

    a. Asbab Nuzul ................................................................................ 32

    b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya .......................................... 34

    1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan ................................................... 35

    a. Pengingkaran atas Allah .............................................................. 36

    b. Pengingkaran atas Rasul Allah .................................................... 37

    c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat) ............................. 39

    d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah ........................................ 41

    2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama ........................................ 42

    2.1 Argumen Makna Dīn ....................................................................... 42

    a. Secara Kebahasaan ...................................................................... 42

    b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25 ................................................... 45

    2.2 Tafsiran Lafaz Dīn .......................................................................... 48

    3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama ....................................... 48

    4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan ............................ 49

    5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama .................................. 50

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 56

    A. Kesimpulan ........................................................................................... 56

    B. Implikasi ................................................................................................ 58

    C. Saran ...................................................................................................... 58

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Al-Qur’ān merupakan kitab suci umat Islam yang memuat ajaran-ajaran dan

    petunjuk agar manusia dapat selamat dalam kehidupan, baik kehidupannya di

    dunia maupun di akhirat. Melaksanakan petunjuk yang ada dalam al-Qur’ān, ini

    berarti bahwa ia dapat menyikapi ajaran Islam, namun kembali lagi kepada

    manusia itu sendiri, antara memilih menjalankan atau memanfaatkan nilai-nilai

    yang terkandung dari ajaran Islam maupun meninggalkannya. Ketika manusia itu

    memilih untuk kembali kepada al-Qur’ān dan menjalankan petunjuk yang ada di

    dalamnya berarti manusia tersebut memilih untuk mengharapkan/mendapatkan

    ketenangan lahir maupun batin. Sebaliknya, ketika manusia itu memilih untuk

    meninggalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’ān berarti ia telah memilih untuk

    menerima datangnya waktu kehancuran untuk dirinya. Meski pada realitanya

    orang-orang di luar Islam yang lebih giat menggali dan mengkaji tentang alam

    semesta raya, sehingga mereka menjadi lebih unggul dari bangsa lainnya,

    walaupun umat Islam lah yang seharusnya semangat dan tetap berpegang teguh

    kepada al-Qur’ān.1

    Al-Qur’ān juga termasuk kitab yang menegakkan toleransi, karena toleransi

    merupakan salah satu cara untuk mempersatukan perbedaan terlebih lagi dalam

    sebuah perbedaan keyakinan. Wujud dalam toleransi Islam adalah diwujudkan

    dengan cara nabi Muḥammad s.a.w menghormati agama-agama diluar agama

    Islam seperti agama Nasrani dan Yahudi. Bentuk penghormatan ini dibuktikan

    dengan nabi Muḥammad s.a.w yang tidak pernah menghancurkan tempat ibadah

    orang-orang diluar Islam.

    Dalam QS. al-Ḥajj ayat 40 secara tegas berisikan tentang larangan untuk

    merusak tempat ibadah, yang berbunyi “Dan sekiranya Allah tiada menolak

    1 Muḥammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’ān, cet. 4, (Bandung: Mizan, 1999), h.

    21.

  • 2

    (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah

    dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi

    dan masjid-masjid.” Imam al-Qurṭubī berpendapat, ayat ini menjelaskan dan

    menegaskan secara syariat bahwa Allah s.w.t memberlakukannya di bumi ini, atas

    dasar syariat yang diberlakukannya itu Allah s.w.t telah memberikan perlindungan

    terhadap tempat ibadah dari kekuasaan/tangan-tangan yang tidak

    bertanggungjawab maupun tangan-tangan yang berbuat aniaya. Secara

    proporsional dan adil, Nabi Muḥammad s.a.w tak henti-hentinya memberikan

    perhatiannya kepada pemeluk agama Nasrani, Yahudi maupun pemeluk agama

    lainnya di luar agama Islam agar terpenuhi hak-haknya. Hal ini terbukti ketika

    Nabi Muḥammad s.a.w memberikan kesempatan maupun kebebasan untuk

    melakukan ibadah kepada para pendeta dari Bani al-Hariṡ dan Najrān. Nabi

    Muḥammad s.a.w memberikan jaminan berupa hak beribadah kepada Nasrani dan

    menjamin utuk tidak membumihanguskan tempat ibadah mereka, sewaktu Umar

    bin Khattab merebut Yerussalem. Semua adalah gambaran kecil yang menjadi

    bukti, bahwa agama Islam secara tegas menolak adanya bentuk terror maupun

    bentuk perusakan terhadap tempat ibadah non-muslim.2 Sikap toleran tinggi

    Rasulullah s.a.w. juga merupakan bentuk dakwah terhadap perjuangan Islam

    tanpa adanya jalur paksaan, sehingga dalam sejarah masyarakat Arab berbondong-

    bondong untuk masuk dalam agama Islam yang hanif.

    Rasulullah s.a.w adalah teladan paling utama pada kehidupan beragama

    dalam agama Islam. Beliau memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi, terutama

    terhadap pihak yang berseberangan dalam hal perbedaan keyakinan. Beliaupun

    tidak pernah memaksakan ajaran Islam yang disampaikannya kepada umat

    manusia untuk diikuti dengan jalan paksaan. Dakwah yang beliau sampaikan

    kepada orang terdekatnya pun tidak menggunakan kekerasan ataupun dengan

    bujuk rayu pada saat mendakwahi pamannya sendiri, yakni Abū Ṭālib. Bahkan

    tehadap orang kafir yang lemah sekalipun, Nabi Muḥammad tetap melindungi dan

    menjaga hak-haknya. Pada saat utusan dari Habsyah (Ethiopia) datang menemui

    2 Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-habis)”,

    2012, (www.republika.co.id). Diakses pada tanggal 12 Mei 2020.

  • 3

    Rasulullah s.a.w, beliaupun tetap menghormatinya walaupun utusan tersebut

    pemeluk agama Nasrani. Rasulullah s.a.w ingin menghormati mereka

    sebagaimana mereka telah dihormati oleh orang-orang yang berada dalam

    lingkungannya. Pada saat Rasulullah s.a.w hijrah ke kota Madinah, beliau justeru

    tidak mengusir orang-orang Yahudi yang sudah menetap disana. Bahkan sikap

    interaksi yang baik ditunjukkan oleh Rasul dengan terciptanya sebuah perjanjian.

    Isi yang sudah disepakati dalam perjajian tersebut diantaranya adalah bahwa, baik

    orang-orang Yahudi maupun orang-orang Islam memiliki kebebasan dan hak-hak

    yang sama dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama masing-masing untuk

    dilaksanakan. Rasulullah s.a.w pun pernah memberikan penghormatan kepada

    orang Yahudi yang meninggal dunia. Rasulullah s.a.w amatlah bijaksana dalam

    kehidupan bermasyarakat. Bahkan kepada tetangganya, sekalipun beliau tidak

    melihat apa agamanya. Beliau juga menjauhi permusuhan dan tidak pernah

    melukai/menyakiti hati tetangganya karena sebuah perbedaan, apalagi dalam hal

    perbedaan keyakinan. Sikap yang Rasulullah s.a.w lakukan tersebut harusnya

    menjadi teladan yang agung bagi kita semua, selaku umat Islam dalam kehidupan

    kita sehari-hari. Bagaimana sikap toleransi Rasulullah terhadap tetangganya, dapat

    kita terapkan pada interaksi kita kepada tetangga yang berbeda keyakinan. Sikap

    toleransi Rasulullah mencermikan ajaran agama Islam yang penuh dengan

    kedamaian. Meski negara Indonesia bukanlah negara Islam, sepatutnya kita tetap

    menghormati perbedaan, menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan. Sehingga

    tetap tercipta kedamaian serta jauh dari bentuk ekstrimisme yang timbul karena

    tidak adanya sikap toleransi dalam hubungan terhadap sesama manusia.3

    Toleransi memiliki tempat dan peran yang penting dalam terjaganya

    persatuan bangsa dan keutuhan negara, khususnya dalam toleransi keberagamaan.

    Kelompok agama yang tidak memiliki sikap yang toleran dapat membahayakan

    keutuhan negara Indonesia, karena dapat menimbulkan berbagai konflik bagi

    pemeluk agama manapun. Sikap intoleransi di Indonesia tetap ada, walau dalam

    skala yang kacil. Tindakan radikal yang mengatasnamakan agama nyaris tak

    3 Abdurrahman Siregar, “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah s.a.w”, 2019,

    (www.kompasiana.com). Diakses pada tanggal 9 Juni 2020.

  • 4

    terlihat. Meskipun ada dan terlihat, dinamika kecil keberagamaan dan keagamaan

    dapat diselesaikan serta didamaikan. Agama menjadi sumber kekuatan untuk

    membangun kebersamaan maupun sikap berkasih sayang terhadap sesama

    sejatinya. Ini berarti bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai sumber inspirasi

    maupun sumber motivasi dalam hidup.4

    Kehadiran toleransi ini sangat membantu mendamaikan atau mengurai

    benang kusut perselisihan diantara umat manusia. Namun akhir-akhir ini banyak

    terjadi perselisihan karena persoalan keyakinan (agama). Misalkan larangan

    memilih pemimpin non-muslim yang terjadi pada munculnya ijtima ulama

    diberbagai pihak pada sebuah kontestasi pemilihan umum yang menimbulkan

    gesekan khususnya pada kalangan masyarakat Indonesia.

    Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak risau dalam menghadapi isu

    suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang memanas jelang Pilkada DKI

    2017. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi

    Ahmad, mengatakan bahwa PBNU sudah pernah mengeluarkan fatwa pada 1999

    tentang memilih pemimpin non-Muslim. "Fatwa kepemimpinan kalau MUI,

    Muḥammadiyah, sudah jelas memilih pemimpin kafir tidak boleh, titik. Namun,

    NU punya fatwa-nya yang membolehkan, kata ulama pada tahun 1999," kata

    Rumadi di Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa

    boleh memilih pemimpin non-Muslim jika pertama memang tidak ada orang

    Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon beragama Islam, tetapi karena

    dikhawatirkan berkhianat, boleh memilih alternatifnya yang non-Muslim. “Ketiga,

    memilih pemimpin non-Muslim selama tokoh itu dianggap tidak jadi ancaman

    bagi umat Islam, boleh saja,” kata Rumadi. Rumadi menjelaskan bahwa

    kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih beragama Islam sebab

    ada teks yang mengaturnya. Teks itu pula yang menjadi rujukan atau senjata

    untuk keuntungan politik. Menurut Rumadi, konteks di balik teks ini adalah

    peperangan pada masa lampau. “Bagi orang NU tidak ada lagi peperangan. Jadi,

    4 Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi, “Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat Kabar

    Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan Gunung Djati Bandung Vol. 3.

    Nomor 1. 2019, h. 18.

  • 5

    sekarang masa perdamaian. Kalau perdamaian me-refer ke ayat yang tadi itu

    (haram memilih pemimpin kafir) ya itu tidak relevan” kata dia.5

    Puluhan ribu massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Umat dan Bangsa

    menggelar aksi unjuk rasa di Pintu Monas Barat Daya, Gambir, Jakarta, Ahad

    (4/8). Mereka mengajak warga Ibu Kota untuk tidak memilih gubernur

    nonmuslim pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Aliansi itu terdiri dari para anggota

    Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Forum RT RW,

    Laskar Luar Batang, Amju, dan sejumlah organisasi lain. Aksi yang diikuti anak-

    anak, remaja, hingga dewasa itu digelar mulai pukul 09.00 WIB dan rampung

    sekitar pukul 12.00 WIB. Dalam aksinya, peserta membentangkan spanduk

    bernadakan penolakan terhadap pemimpin nonmuslim. Mereka juga membawa

    bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta ormas lainnya. “Kita tegas menolak

    pemimpin kafir. Hal ini sudah termuat dalam al-Qur’ān,” kata Jubir HTI,

    Muḥammad Ismail Yusanto. Ismail mengatakan, kepemimpinan adalah perkara

    yang sangat penting. Dalam pandangan Islam, kata dia, kemaslahatan bersama

    atau rahmatan lil alamin seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan dan

    ketenteraman serta kesucian dan sebagainya, hanya akan benar-benar terwujud

    bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariat Islam dan menegakkan amar

    ma’ruf nahi mungkar. “Tanpa syariah Islam yang diterapkan secara kaffah, yang

    terjadi bukan kemaslahatan atau kerahmatan, tetapi mafsadat atau kerusakan

    seperti yang terlihat saat ini,” ucap dia. Maka, syarat utama pemimpin haruslah

    seorang Muslim. “Bila bukan Muslim, bagaimana mungkin ia bisa diharap

    menerapkan syariah dan menegakkan amar makruf, sedangkan ia tidak beriman

    pada syariah dan tidak memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar?”. “Oleh

    karena itu, dalam pandangan Islam, sebagaimana disebut dalam al-Qur’ān surah

    An Nisa ayat 41, haram mengangkat nonmuslim atau orang kafir menjadi

    pemimpin bagi kaum Muslimin.”6

    5 Nibras Nada Nailufar, “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-Muslim”,

    2016, (www.kompas.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2020 6 Karta Raharja Ucu, “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”,

    (www.republika.co.id), 2016, Diakses pada tanggal 12 Juni 2020.

  • 6

    Isu-isu kontra toleransi bagai api dalam sekam di Indonesia, yang lambat

    laun akan terus “membakar” atau menciderai persatuan umat, seakan terus-

    menerus terjadi pengulangan pada momen-momen tertentu dalam kehidupan

    beragama. Klaim kafir di Indonesia terhadap perbedaan pendapat sudah menjadi

    fenomena yang biasa pada wilayah sosial seperti dalam pemilihan umum baik

    pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan juga pada ranah lain seperti

    ucapan selamat pada acara keagamaan bagi peringatan hari besar umat beragama

    lain.

    Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta melarang

    umat Islam merayakan Hari Natal 2019 dan Tahun Baru 2020. Hal itu dituangkan

    dalam Maklumat FPI DKI Jakarta Tentang Hari Natal dan Malam Tahun Baru

    Masehi yang dirilis Sabtu (21/12). Dalam maklumat tersebut, FPI DKI meminta

    umat Islam untuk tak turun ke jalan. Mereka beralasan Natal dan Tahun Baru

    bukan ajaran agama Islam. “Tidak turut meramaikan dan tidak pasang

    petasan/kembang api serta tidak turun ke jalan pada Hari Natal dan malam Tahun

    Baru Masehi 2020 Masehi, karena ini bukan ajaran dari agama Islam,” tulis

    maklumat yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (23/12). Maklumat itu

    ditandatangani Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Abdul Majid, Sekretaris

    Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Sahid bin Yahya, dan Imam DPP FPI DKI Jakarta

    Muchsin bin Zaid Al-Attas. FPI DKI juga mengimbau umat Islam untuk mengisi

    dua hari itu dengan berzikir, berselawat, dan bermunajat kepada Allah untuk

    kepentingan agama, bangsa, dan negara. Umat Islam juga diminta merayakan

    tahun baru Islam. “Meramaikan malam tahun baru Islam setiap 1 Muharram,”

    tuturnya. FPI DKI juga menginginkan umat Islam untuk memperkokoh persatuan

    dan kesatuan masyarakat. Salah satunya dengan cara meningkatkan kepedulian

    terhadap semua golongan. “Meningkatkan kepedulian sosial dan kemanusiaan

    antarsesama manusia dengan seadil-adilnya tanpa memandang suku, agama, ras,

    antargolongan, dan lainnya sesuai dengan ajaran agama dan amanat konstitusi

    NKRI,” tulis FPI DKI dalam maklumat tersebut. Polemik perayaan ataupun

    pengucapan selamat Hari Natal kembali muncul ke permukaan. Sebelumnya,

    Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur melarang umat Islam, kecuali Wakil

  • 7

    Presiden RI Ma'ruf Amin, mengucapkan selamat natal. Sementara MUI tak

    melarang ucapan tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan

    pihaknya tidak melarang dan tidak pula menganjurkan ucapan selamat natal.

    Sebab MUI belum pernah membuat fatwa khusus untuk hal tersebut. “MUI Pusat

    sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya

    memberikan tahniah atau ucapan selamat natal kepada umat Kristiani yang

    merayakannya. Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam

    untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,”

    tutur Zainut lewat keterangan tertulis, Senin (23/12).7

    Klaim kebenaran oleh sebagian kelompok disini adalah menjadi problem

    kehadiran Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu

    muncul beberapa kelompok yang meng-counter pemikiran-pemikiran intoleransi

    tersebut, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian atau skripsi kali ini

    adalah tentang pemikiran Muhammad Quraish Shihab.

    Muhammad Quraish Shihab adalah ilmuwan tafsir yang menginginkan

    kemudahan bagi masyarakat Islam pada umumnya sebagai motivasi besar agar

    giat dalam memahami, mempelajari dan mengkaji al-Qur’ān secara objektif akan

    pesan, kesan dan kandungan didalamnya. Beliau juga mengajak masyarakat

    muslim Indonesia untuk mengagumi dan mencintai al-Qur’ān untuk memandang

    al-Qur’ān secara objektif dengan baik dan benar dikarenakan fenomena yang

    berkembang di masyarakat muslim sebagian besar kita yang hanya terpesona akan

    keindahan merdunya lantunan bacaan al-Qur’ān, sedangkan kitab suci al-Qur’ān

    diturunkan bukan hanya untuk dibaca saja, namun al-Qur’ān haruslah di hayati

    atau di tadabburi dengan mendayagunakan potensi akal manusia yang telah

    diberikan oleh Allah s.w.t. Sehingga pengahayatan manusia itu tercermin dari

    sikap yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk rasa

    syukur dan keimanan terhadap Allah s.w.t.

    Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu ilmuan yang berasal dari

    Indonesia yang dalam kehidupannya pernah menghabiskan masa studi dipesantren

    7 Tri Wahyuni, “FPI DKI imbau umat Islam tak Turun ke jalan saat tahun baru”, 2019,

    (www.cnnindonesia.com). Diakses pada tanggal 11 Juni 2020.

  • 8

    dan di perguruan tinggi al-Azhar, di Mesir. Al-Azhar sebagai latarbelakangnya

    merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi moderasi

    (wasaṭṭiyyah). Wujud atau implementasi dari moderasi ditengah perguruan tinggi

    al-Azhar ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran para guru atau dosen yang

    mengajar disana, sebut saja al-Maraghī, Yusūf al-Qarḍāwī dan lain-lain, yang

    merupakan salah satu dari sekian cendekiawan muslim yang menghadirkan

    gagasan-gagasan yang “mempertemukan” atau yang disebut dengan moderasi.

    Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu dari alumnus atau lulusan al-

    Azhar tentunya beliau akan mewarisi sikap-sikap moderasi disini.

    Moderasi Islam Muhammad Quraish Shihab itu dapat juga dilihat dari

    gagasan-gagasan beliau yang dihadirkan dalam berbagai media, baik dalam media

    cetak maupun digital. Media cetak yang memuat gagasan-gagasan Muhammad

    Quraish Shihab sungguh sangat tidak sedikit, misalkan dari buku-buku beliau

    yang sudah diterbitkan di penerbit Mizan atau ditempat penerbitannya sendiri

    yakni di Lentera Hati. Buku yang menarik yang masih sangat relevan pada sampai

    saat ini yang banyak dikaji oleh para peneliti adalah karya tafsir, karya

    monumental beliau atau masterpiece yaitu Tafsīr al-Miṣbāḥ. Dalam Tafsīr al-

    Miṣbāḥ berisi landasan-landasan yang toleran, seperti dalam masalah perdamaian

    QS. al-Ḥajj (22) ayat 40:

    “(yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang

    benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah

    tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu

    telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang

    Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah

    pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah

    Mahakuat, Mahaperkasa”.

    Pandangan Quraish Shihab terhadap ayat QS. al-Ḥajj (22) ayat 40 dipahami

    bahwa Allah s.w.t. tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah, sehingga

  • 9

    sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk senantiasa menjaganya. Oleh sebab

    itu, umat Islam bukan saja memeli hara masjid, tetapi juga rumah-rumah ibadah

    umat agama lainnya. Selain itu, pakar-pakar tafsir dan hukum Islam juga

    melarang merobohkan gereja-gereja aẓ-Ẓimmah, atau menjualnya kepada yang

    lain, demikian juga berlaku bagi rumah peribadatan umat yang lain.8 Kemudian

    banyak sekali pandangan yang toleran yang bisa dijumpai dari Muhammad

    Quraish Shihab khususnya pada wilayah toleransi dalam praktek sosial

    keagamaan seperti membenarkan atau mendukung pengucapan ucapan selamat

    natal pada momen peringatan hari besar umat nasrani, karena menurut beliau

    ucapan selamat natal itu bukan untuk mengimani atau meyakini keimanan mereka

    tetapi untuk mengapresiasi atau menghormati keyakinan mereka.

    Hal yang lebih spesifik tentang masalah toleransi dalam al-Qur’ān adalah

    kandungan QS. al-Kāfirūn. Pada QS. al-Kāfirūn Muhammad Quraish Shihab

    mengomentari bahwa seorang muslim dengan seorang nonmuslim memang

    memiliki keyakinan yang berbeda kendatipun demikian mereka tidak boleh saling

    mencemooh, menghardik atau menyalahkan keyakinan mereka karena itu akan

    menyalahkan pemikiran mereka, bukan mempersatukan mereka tetapi akan

    memperkeruh tali persaudaraan dan hal itu nanti akan berdampak pada munculnya

    benih-benih permusuhan. Pada QS. al-Kāfirūn ini Muhammad Quraish Shihab

    memimpikan tentang moderasi (wasaṭṭiyyah), karena moderasi itu merupakan

    solusi untuk mempertemukan perbedaan yang seringkali kita selisihkan di

    sebagian orang ataupun kelompok. Dan moderasi merupakan sikap atau mental

    dari toleransi, namun peneliti tidak membahas tentang moderasi. Dalam surah al-

    Kāfirūn ada beberapa kata yang menjadi fokus dalam menyikapi hidup yang

    sangat kental dan berkaitan erat dengan toleransi, bagaimana Muhammad Quraish

    Shihab memaknai toleransi yang tercermin dalam kandungan dan uraiannya

    dalam surah al-Kāfirūn. Memaknai kata kafir maupun agama dalam surah

    tersebut. Maka dari itu berdasarkan dari uraian tentang pentingnya manusia untuk

    memiliki sikap yang toleran dan juga gagasan Muhammad Quraish Shihab akan

    8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,

    Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 78-79.

  • 10

    hal itu dalam karyanya, penulis tertarik untuk mengangkat tema pada penulisan

    penelitian/skripsi ini dengan judul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6

    dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.

    B. Identifikasi Masalah

    1. Masyarakat di Indonesia belum memahami toleransi dan pentingnya

    toleransi dalam kehidupan beragama.

    2. Pendidikan toleransi adalah cita-cita untuk semua agama agar

    mempertemukan perbedaan.

    3. QS. al-Kāfirūn menyatakan Lakum dīnukum waliyadīn, redaksi ayat ini

    menunjukkan kebebasan kita untuk memeluk keyakinan. Akan tetapi di Indonesia

    ada sebagian kelompok yang menyebutkan kebenaran hanya pada agama Islam.

    4. Apakah Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu ulama tafsir

    yang memahami tentang toleransi beragama?

    C. Pembatasan Masalah

    Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn dalam perspektif Muhammad Quraish

    Shihab.

    D. Rumusan Masalah

    Bagaimana pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Toleransi dalam

    QS. al-Kāfirūn?

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    a. Untuk mengetahui toleransi dalam QS. al-Kāfirūn pada pemikiran

    Muhammad Quraish Shihab.

    b. Untuk menganalisis toleransi yang terkandung dalam QS. al-Kāfirūn

    dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ.

  • 11

    2. Manfaat Penelitian

    a. Manfaat Teoritis

    Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi sumber penelitian lanjutan

    mengenai toleransi dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab dikemudian

    hari oleh peneliti selanjutnya dan dapat digunakan dalam pengembangan

    keilmuan tafsir al-Qur’ān khususnya dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ surah al-Kāfirūn.

    b. Manfaat Praktis

    Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

    secara ilmiah dan memberikan wawasan kepada masyarakat luas. Kemudian

    nantinya hasil dari penelitian ini dapat dilaksanakan dalam praktik bertoleransi

    kehidupan sehari-hari.

  • 12

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Pengertian Toleransi

    Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi memiliki pengertian sebagai sifat

    toleran atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,

    membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,

    kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi

    bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau

    penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal. 1

    Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia yang selanjutnya

    berkembang dalam bahasa Inggris menjadi tolerance. Sedangkan, dalam bahasa

    Arab istilah toleransi merujuk kepada kata tasāmuḥ atau tasahul yaitu yang berarti

    to be indulgent, to tolerate, to overlook, forbearing, excuse, tolerant, lenient dan

    merciful. Selanjutnya, kata tasāmuḥ merujuk kepada makna hilm dan tasahul yang

    diartikan sebagai toleration, forbearance, mercy, indulgence, leniency, tolerance,

    lenitt, clemency dan kindness. 2

    Disamping kata toleransi, dalam percakapan sehari-hari digunakan pula kata

    “tolerere” yang merupakan bahasa Belanda. Kata ini memiliki arti yaitu

    membolehkan dan/atau membiarkan dengan pengertian lebih lanjut yaitu

    membolehkan dan/atau membiarkan yang pada prinsipnya sesuatu yang tidak

    perlu terjadi. Maka, dapat ditarik pemahaman bahwa toleransi mengandung suatu

    konsesi. Dimana, konsesi merupakan pemberian yang didasari hanya pada

    kebaikan hati nurani dan kemurahan, serta bukan didasari kepada semata hak yang

    harus dipenuhi daripada pihak terkait. Sehingga, suatu hal yang jelas bahwa

    toleransi itu ada dikarenakan adanya perbedaan dalam aspek prinsip, tanpa

    meninggalkan prinsip pribadi dengan menghormati serta menghargai prinsip

    1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008, h. 1538 2 R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, (Bandung: Pustaka, 1993),

    ix.

  • 13

    orang lain. Ini berarti toleransi tetap melihat pada batas-batas penerimaan sebuah

    perbedaan tanpa mengabaikan atau meninggalkan pandangan diri sendiri.3

    Istilah tasāmuḥ dalam Islam pada dasarnya tidak semata-mata selaras

    maknanya dengan kata tolerance saja, namun tasāmuḥ juga mempunyai arti lain

    yaitu memberi serta mengambil. Lebih lanjut, dapat ditarik pemahaman bahwa

    Tasāmuḥ juga mengandung suatu harapan terhadap satu pihak untuk memberi dan

    mengambil pada saat yang bersamaan. Selain itu, Tasāmuḥ terdiri dari tindakan

    tindakan berupa penerimaan serta tuntutan dalam batasan tertentu. Dalam Islam,

    subjek atau pelaku yang melakukan tasāmuḥ tersebut dinamakan sebagai

    mutasamihin, yang mempunyai arti yaitu pemaaf, menawarkan, penerima dan

    pemurah sebagai tuan rumah kepada tamunya. Dalam melakukan tasāmuḥ, orang

    yang melakukan tindakan ini tidak sepantasnya menerima begitu saja tanpa

    memikirkan dan mencerna akan suatu hal perihal atau keadaan yang

    menyebabkan adanya penekanan atas batasan hak serta kewajiban orang tersebut

    secara pribadi. Dengan kata lain, perilaku tasāmuḥ memiliki pengertian untuk

    tidak saling melanggar batasan dalam beragama, terutama yang berkaitan erat

    dengan batas-batas aqidah keimanan. Walaupun demikian, dalam banyak konteks

    kata tasāmuḥ seringkali dikaitkan dan berhubungan dengan kata “toleransi”.

    Sebenarnya, dalam ayat-ayat yang tertulis pada al-Qur‟ān kata tasāmuḥ ataupun

    toleransi tidak ditemukan secara tersurat. Namun, al-Qur‟ān memberikan

    gambaran terhadap toleransi secara konseptual dan eksplisit dengan segala

    batasan-batasannya. Maka dari itu, bentuk dari implementasi sebagai rujukan

    dalam menjalani kehidupan dapat diambil berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang

    merupakan penjelasan tentang konsep toleransi.4 Sehingga, toleransi dalam

    konteks ini memberikan ruang yang luas untuk berpikir akan pandangan-

    pandangan baru terhadap pengertian toleransi yang dalam keselarasan dengan

    kehidupan pada konsep kebutuhan yang didasari oleh al-Qur‟ān dan

    interpretasinya sebagai sumber yang merupakan referensi dalam menjalani hidup.

    3 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press,

    2005), h. 13. 4 Adeng Muchtar Ghazali. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif Islam”.

    Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016, h. 28.

  • 14

    Secara awam, toleransi seringkali distereotipkan atas sikap mengalah,

    menahan diri, membolehkan, membiarkan ataupun sikap atas kesabaran, lapang

    dada atas kelakuan, pandangan, keyakinan serta kebiasaan orang lain yang

    bertentangan dan berbeda dengan personal diri pelaku toleransi itu sendiri.

    Selanjutnya, toleransi yang utuh bukanlah sikap seseorang yang tidak perduli,

    cenderung acuh, apatis dan cuek terhadap pandangan, perilaku dan sikap pihak

    lain. Selain itu, toleransi juga bukanlah sikap mengalah akan prinsip pribadi

    dalam rangka berkompromi atas permasalahan pokok yang melibatkan lain pihak.

    Kemudian, ia bukan juga sikap yang merupakan pembenaran atas pandangan serta

    tindakan pihak lain. Sejatinya toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai

    kesetaraan harkat dan martabat manusia, penerimaan dan pengakuan atas

    perbedaan yang disebabkan oleh luasnya cara berpikir dan adanya kebebasan

    berpikir serta penerimaan adanya hati nurani masing-masing-masing secara

    alamiah dengan keberagamannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor terkait.

    Kesempurnaan perilaku atau tindakan dan sikap toleran adalah dengan hidup

    didasari dengan kasih terhadap Tuhan, sesama dan lingkungan hidup serta alam.5

    Toleransi terhadap semua aspek kehidupan tanpa pengecualian secara holistik di

    dunia yang beranekaramnya dan saling terkait satu dengan yang lainnya.

    Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah segala bentuk yang pada

    akhirnya membentuk sikap-sikap positif berupa tenggang rasa, penghormatan,

    perbedaan pandangan dalam kehidupan yang beragam, pemahaman, penghargaan

    dan penghormatan dengan tidak langsung menyetujui atau melakukan pembiaran

    terhadap suatu tingkah laku dikarenakan proses interaksi sistem dan lingkungan

    terhadap diri pribadi ataupun sebaliknya dari diri ke sistemnya dengan tidak

    meninggalkan batasan kewajiban, hak dan prinsip-prinsip personal.

    5 J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk, Toleransi dalam Kehidupan Keluarga dan

    Masyarakat, (Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan LDD- KAJ, Komisi PSE-

    KWI, 2003), h. 41.

  • 15

    B. Macam-macam Toleransi

    1. Toleransi Antar Sesama Agama

    Dalam praktiknya agama berkaitan erat dengan toleransi, sehingga muncul

    toleransi beragama yang memiliki arti sebagai toleransi dengan cakupan pada

    permasalahan keyakinan diri pribadi manusia yang berkaitan dengan akidah atau

    pula yang berkaitan dengan ke-Tuhanan yang ia yakini. Seorang individu harus

    mendapatkan haknya untuk diberikan kebebasan dalam memeluk suatu agama

    (memiliki akidah) serta menyakini masing-masing keyakinan ataupun agama yang

    dipilihnya dengan menghormati pelaksanaan serta penganutan ajaran-ajaran yang

    diyakininya tersebut. Maksud toleransi yang terkandung di dalamnya adalah agar

    dibolehkan berkembangnya suatu sistem yang dapat menjamin personal, harta dan

    benda serta aspek minoritas yang ditemukan dalam interaksi sosial budaya

    bermasyarakat dengan tentunya adanya penghormatan terhadap moralitas lokal

    yang terkait, agama secara general dan birokrasi terkait. Kandungan yang lain

    juga adalah sebagai bentuk penghargaan pendapat lain dengan perbedaan Socio-

    culture tanpa perselisihan yang didasari oleh perbedaan agama dan/atau keyakinan

    itu. Selanjutnya, toleransi beragama berarti menyikapi segala sesuatu dengan

    lapang dada sebagai bentuk penghormatan dan pembiaran pemeluk agama

    masing-masing untuk beribadah menurut ajaran dan aturan agama yang mereka

    anut serta yang mereka imani tanpa mengganggu serta memaksakan dari pihak

    manapun termasuk keluarganya sendiri.6

    Diketahui ada dua pola yang mendasari dari hubungan dalam beragama

    yaitu adanya hubungan secara vertikal (ke atas) dan hubungan horizontal (ke

    samping). Yang dimaksud dengan hubungan vertikal tersebut adalah hubungan

    seorang hamba dengan Penciptanya secara langsung dan personal yang dilakukan

    melalui tata cara ibadah yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama masing-

    masing. Secara keseluruhan hubungan ini dilakukan secara personal. Meskipun

    6 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

    Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama

    dalam al-Qur‟ān (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel

    2013, h. 17-18.

  • 16

    demikian, ada beberapa bagian dan tata cara yang diutamakan untuk bersama-

    sama atau berjamaah yaitu shalat fardu di dalam agama Islam. Dalam hubungan

    ini berlakulah toleransi beragama yang batasannya hanya pada lingkungan internal

    suatu agama terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan horizontal

    adalah hubungan seorang manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan ini tidak

    ada hanya dibatasi pada internal suatu agama saja namun juga mencakup pihak

    agama lain dalam bentuk kompromi dan kerjasama dalam penyelesaian

    permasalahan umum dilingkungan sosial untuk kemaslahatan masyarakat luas.

    Dalam hubungan horizontal ini lah diberlakukan toleransi didalam pergaulan

    kehidupan antar umat yang beragama.7

    2. Toleransi Antar Umat Beragama

    Pengahayatan tentang ajaran-ajaran setiap umat yang beragama merupakan

    sumber bagi toleransi didalam pergaulan kehidupan antar umat tersebut. Said Agil

    Al Munawar berpendapat bahwa toleransi itu dapat dibagi menjadi dua macam

    yaitu toleransi yang dinamis dan toleransi yang statis. Toleransi yang dinamis

    diartikan Sebastian toleransi yang pro-aktif dalam upaya mewujudkan tujuan

    kolektif antar umat beragama dan bukan yang bersumber literasi teoritis,

    melainkan sebagai hasil introspeksi didasari persamaan umat dalam satu

    kebangsaan. Sedangkan, toleransi yang statis memiliki sifat yang kaku dan

    terkesan hanya sebagai rujukan dikarenakan bentukanya yang teoritis serta tidak

    menimbulkan adanya dampak kerjasama antar umat.8

    Berdasarkan pendapat Harun Nasution, ada lima hal yang diliputi oleh

    toleransi yaitu 9 Upaya menganalisa terhadap kebenaran yang terdapat dalam lain

    agama. Dalam artian bahwa kebenaran yang merupakan keyakinan ataupun iman

    terdapat pula dalam agama lain. Ini akan mengarahkan umat beragama yang

    beragam ini pada kebenaran yang relatif serta menunjukkan adanya pluralisme

    agama-agama. Hal ini menunjukkan adanya suatu kepercayaan bahwa bila

    7 Said Agil al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.

    14. 8 Ibid., h. 16. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān

    (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel 2013, h. 18. 9 M.T Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiyas, 2009), h. 614.

  • 17

    kebenaran ada di agama-agama lain maka adanya membuat Tuhan yang mutlak

    menjadi relatif. Sedangkan, pernyataan ini selaras dengan pernyataan John Hick

    yang telah lama ia nyatakan melalui buku miliknya yang berjudul A Christian

    Theology of Religions: The Rainbow of Faiths.10 Poin kedua, meminimalisir

    adanya perbedaan-perbedaan pada agama yang beragam. Selanjutnya, pada poin

    ketiga mengutamakan persamaan yang terdapat dalam agama yang beragam ini.

    Walaupun demikian, yang terpenting bukanlah persamaan antar setiap agama

    tersebut melainkan perbedaannya.

    Pada poin keempat, menumbuhkan persaudaraan dengan konsep ketuhanan

    yang esa. Selanjutnya poin kelima, menghindari agresi terhadap praktik beragama

    masing-masing. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa Harun menelaah masa

    kelam sekte di dalam agama Kristen pada zamannya. Dikarenakan secara historis

    agama Islam tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap

    agama-agama lainnya melainkan agama islam memberikan perlindungan untuk

    agama Kristen dan Yahudi dengan toleransi yang berbatas tertentu. Kemudian, ini

    dapat ditelusuri secara historis dalam masa kepemimpinan Rasulullah Nabi

    Muhammad s.a.w serta Khulafā’ ar-Rasyidin.

    Zuhairi Misrawi menyetujui pendapat Harun Nasution dalam pernyataannya

    yang termaktub dalam bukunya yang berjudul al-Qur’ān Kitab Toleransi dimana

    dia menyatakan bahwa dalam ruang lingkup antar-agama dan Intra-agama,

    toleransi menjadi bagian yang terpenting.11

    Selanjutnya, dia berpendapat bahwa

    toleransi juga berarti sebagai usaha dalam pemahaman atas agama-agama lainnya

    karena tidak dapat dipungkiri bahwa agama tersebut mempunyai ajaran yang

    selaras dengan cinta-kasih, kedamaian dan toleransi.12

    Selain daripada itu, dia

    menyimpulkan bahwa pada dasarnya toleransi itu bersifat absolut dipraktikkan

    oleh siapapun yang mempunyai akal pikiran, hati nurani serta keimanan.

    Kemudian, gambaran akan toleransi haruslah direalisasikan dengan menggandeng

    10

    John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America: SCM,

    1995), h. 23. 11

    Zuhairi Misrawi, al-Qur’ān Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), h. 159. 12

    Ibid.

  • 18

    tokoh agama ataupun ulama dengan keutamaaan pembangunan toleransi antar

    beragama tersebut.

    Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan

    dunia Barat terhadap toleransi yang memiliki arti sebagai sikap dan perilaku

    membendung perasaan tanpa perlawanan sedikitpun, dalam keadaaan benar

    maupun salah dengan cakupan yang tak terbatas serta termasuk di dalamnya

    toleransi beragama. Hal ini menggambarkan bahwa pluralisme dalam beragama

    mempengaruhi istilah toleransi di dalam pemahaman dunia Barat. Dimana

    pemahaman ini menjadikan adanya peleburan antar keyakinan antar umat yang

    beragama. Dualisme salah dan benar pun menjadi kabur sehingga nyaris tiada.

    Pada akhirnya, setiap umat yang beragama pun meyakini dengan tegas atas

    kebenaran yang relatif dalam agama-agama yang lain daripada kebenaran yang

    absolut. Maka dapat diibaratkan beragama itu seakan-akan seperti menggunakan

    pakaian yang dapat diganti sewaktu-waktu.

    Maka dapat diambil pemahaman bahwa toleransi antar umat yang beragama

    adalah sikap ataupun perilaku seorang individu sebagai umat beragama yang

    memiliki keimanan ataupun keyakinan untuk menghargai serta menghormati

    individu yang beragama lainnya. Hal ini berkaitan juga dengan sila pertama dalam

    Pancasila yang bersifat tegas dan cenderung absolut mengenai ketakwaan

    terhadap Tuhan menurut kepercayaan dan agama sendiri. Pada dasarnya, setiap

    agama menghormati dan menghargai setiap manusia maka dari itu umat yang

    beragama pun harus juga untuk menghargai sesama umat beragama. Maka dari itu

    kerukunan dalam kehidupan pun dapat terjalin antar umat yang beragama tersebut.

    C. Wilayah Toleransi

    1. Akidah

    Akidah jika dipandang dari sudut pandang arti bahasa yang sebenarnya

    memiliki akidah memiliki arti dari sebuah akar kata ‘aqada-ya’qidu-’aqan-

    ‘aqidatan kemudian dengan akar kata itu timbullah pemaknaan yang berarti

    simpul, ikatan, perjanjuan dan kokoh. Lalu selanjutnya akar kata dari ‘aqada-

    ya’qidu-’aqan-‘aqidatan berbentuk menjadi kata ‘aqidah maka dalam hal ini

  • 19

    bermakna keyakinan. Hubungan ataupun kaitannya dalam padanan kata tersebut

    yakni dalam kata „aqdan dan dalam kata „aqdan adalah bermakna keyakinan yang

    tersimpul dalam hati yang kokoh. Kemudian beberapa definisi dari makna akidah

    itu sendiri dalam arti dari sudut pandang istilah yang dikutip oleh Yunahar Ilyas

    adalah sebagai berikut:13

    1) Menurut pandangan dari Hassan al-Banna

    ‘Aqa’id14

    (bentuk jamak dalam kata aqidah) memiliki arti segala perkara

    yang mendatangkan ketentraman dalam jiwa dan kebenarannya berada dalam hati

    yang tidak dapat tercampur dengan sesuatu yang samar tanpa adanya keraguan

    sedikitpun yang timbul serta wajib diyakini kebenarannya.

    2) Menurut pandangan dari Abud Bakar Jabir al-Jazairy

    Aqidah merupakan beberapa kebenaran yang bisa diterima dengan atas

    dasar pijakan akal (rasio), wahyu maupun fitrah manusia. Sehingga hal tersebut

    melekat erat dalam hati manusia baik dari segi kebenaran secara keberadaannya

    (pasti) tanpa ada kontradiksi dengan kebenarannya itu dan diyakini dengan

    sebenar-benarnya.

    Dari pengertian kedua ahli tersebut mengenai akidah maka dapat ditarik

    kesimpulan bahwa akidah atau keimanan merupakan keyakinan yang timbul dari

    hati yang terdalam dan keyakinan itu terhubung pada Allah SWT. yang bersumber

    dari wahyu serta akal pikir (rasio manusia) sehingga dengan keyakinan itu

    mengukuhkan kebenaran yang ada dalam diri seseorang dan menolak segala

    sesuatu yang bertentangan.

    13

    Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2013), h. 1. Lihat Abqori Hisan

    “Nilai-nilai Pendidikan Akidah Akhlak Yang Terkandung Dalam QS. al-Ankabut Ayat 8-11”

    Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. h. 15. 14

    ‘aqa’id, suatu keyakinan atau kepercayaan yang menetapkan bahwa Allah s.w.t itu Esa,

    Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan segala isinya, dan Dia yang wajib disembah, tempat

    meminta pertolongan. Lawan Tauhid adalah syirik (mempersekutukan Tuhan) atau Mulhid (tidak

    mengakui adanya Tuhan). yang membahas tentang akidah umat Islam, berhubungan dengan:

    masalah ketuhanan, kenabian dan hal-hal yang gaib, seperti Qadha dan Qadar, Hari Kiamat,

    Surga, Neraka dsb. dan membahasnya secara dalil-dalil naqliyah (dinukil dari al-Qur‟ān atau

    Hadis) dan aqliyah (sesuai dengan jalan pikiran manusia). Shodiq Shalahuddin Chaery, Kamus

    Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1983), Cet. I. h. 35

  • 20

    2. Syariah

    Menurut Moh. Ali Aziz Syari'ah meliputi dua aspek pesan dakwah yaitu

    ibadah dan muamalah.

    1) Ibadah

    Pelaksanaan kewajiban azasi manusia sebagai hamba Allah terhadap Allah

    atau semua bentuk perbuatan penghambaan diri manusia kepada Allah. Jadi

    ibadah tersebut menyangkut ibadah meliputi tata cara shalat, zakat, puasa, haji dan

    ibadah-ibadah lainnya.

    2) Muamalah

    Muhammad Yusuf berpendapat bahwa muamalah adalah segala peraturan

    yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam

    hidup dan kehidupan.15

    Jadi muamalah merupakan susunan aturan yang tersusun secara rinci dari

    Allah s.w.t yang berkaitan dengan urusan dunia dalam hubungannya secara sosial.

    Maka syari‟ah dapat disimpulkan sebagai tatacara untuk seorang hamba

    berinteraksi dengan Allah s.w.t sebagai pencipta, serta tatacara untuk berinteraksi

    dengan sesama hamba.

    3. Akhlak

    Masalah akhlak adalah etika dalam mengatur masalah keimanan dan

    kelslaman seorang Muslim. Akhlak atau moral merupakan pendidikan jiwa agar

    jiwa seseorang dapat bersih dari sifat-sifat yang tercela dan dihiasi dengan sifat-

    sifat terpuji, seperti rasa persaudaraan dan saling tolong menolong antar sesama

    manusia, sabar, tabah, belas kasih, pemurah, dan sifat-sifat terpuji lainnya.16

    “Aspek akhlak dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan etika, moral, budi

    pekerti dan lain-lain. Namun demikian, sesungguhnya konsep akhlak memiliki

    dimensi yang lebih luas daripada konsep etika, moral, atau budi pekerti. Sebab

    15

    H. Hendi Suhendi, Fiqh Muama/ah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h 2. Lihat

    Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku Menabur Pesan Ilahi”

    Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.18. 16

    Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1999),

    Cet. Ke-1, h. 11-13. Lihat Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku

    Menabur Pesan Ilahi” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.19.

  • 21

    konsepsi akhlak tidak hanya rnencakup hubungan manusia dengan flora dan

    fauna, serta hubungan rnanusia dengan alarn lingkungannya. Sedangkan

    hubungan manusia dengan al-Khalik sering disebut ihsan.”17

    Menurut Abudin Nata, “Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim

    mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang berarti al-

    sajiyah (perangai), aṭ-ṭab’ah (kelakuan, tabi‟at, watak dasar), al-adat (kebiasaan,

    kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan ad-dīn (agama).”18

    Sedangkan, pengertian akhlak menurut Abuddin Nata secara istilah dapat

    disimpulkan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang dan menjadi

    identitasnya. Selain itu akhlak dapat pula diartikan sebagai sifat yang telah

    dibiasakan, ditabiatkan, didarahdagingkan, sehingga menjadi kebiasaan dan

    mudah dilaksanakan, dapat dilihat indikatornya, dan dapat dirasakan

    manfaatnya.19

    Menurut istilah etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu,

    akhlāqun yang bentuk jamaknya adalah khāliqun ini mengandung arti “budi

    pekerti, tingkah laku, perangai dan tabiat”. Kata akhlak ini berakar dari kata

    khāliqun, yang artinya menciptakan. Kata akhlak merupakan satu akar kata

    dengan khāliqun (pencipta), makhlūqun (yang diciptakan) dan khāliqun

    (penciptaan). Di sini memberi makna bahwa antara kehendak Allah sebagai

    khāliqun dan perlakuan seorang makhlūqun perlu adanya sebuah keterpaduan.

    Manusia harus menjalani kehidupan ini sebagaimana diinginkan oleh Allah

    (khaliq), segala perilaku, tindak tanduk, budi pekerti, tabiat manusia harus sesuai

    dengan apa yang disukai Allah. Jika tidak sesuai dengan perintah Allah itu berarti

    manusia menunjukkan kecongkakan, kesombongan, dan melawan kehendak

    Pencipta. Kita manusia adalah makhluk yang dhaif sekali di hadapan Yang Maha

    Kuasa, oleh karena itu eloklah kita menjadi manusia yang taat dan patuh kepada

    segala ketentuan-Nya termasuklah dalam menjalankan akhlak sehari-hari dalam

    17

    Irfan Hielmy, Dakwah Bil Hikmah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 90. 18

    Abudi Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2015), h. 1. Lihat Hermawati Rosidi “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Akhlak Lil Banin Jilid

    I”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 21. 19

    Ibid., h. 208.

  • 22

    kehidupan ini. Dalam Lisan al-Arab, makna akhlak adalah perilaku seseorang

    yang sudah menjadi kebiasaannya, dan kebiasaan atau tabiat tersebut selalu

    terjelma dalam perbuatannya secara lahir. Pada umumnya sifat atau perbuatan

    yang lahir tersebut akan mempengaruhi batin seseorang. Akhlak juga dapat

    dipahami sebagai prinsip dan landasan atau metode yang ditentukan oleh wahyu

    untuk mengatur seluruh perilaku atau hubungan antara seseorang dengan orang

    lain sehingga tujuan kewujudannya di dunia dapat dicapai dengan sempurna.20

    Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang berlandaskan konsep

    daripada interaksi habluminannas dan habluminallah untuk menyeimbangkan

    kehendak Allah s.w.t dan kehendak hamba-Nya agar tercapai kesempurnaan

    dalam menyikapi kehidupan.

    D. Hasil Penelitian yang Relevan

    Kajian penelitian mengenai tentang toleransi bukan suatu hal yang baru,

    sehingga penulis belum menemukan secara komperhensif dan detail tentang

    toleransi dalam QS. al-Kāfirūn menutut perspektif atau pemikiran dari

    Muhammad Quraish Shihab, terlebih lagi dari berbagai sumber beliau secara

    verbal maupun non-verbal. Pada penelitian yang diteliti oleh peneliti lain didapati

    beberapa poin yang dapat dilihat dengan jelas, dimulai dengan penglihatan secara

    langsung pada judul terkait, mengenai wilayah maupun konsep toleransi

    antarumat beragama yang kajiannya tentu dalam ayat-ayat toleransi al-Qur‟ān di

    kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Kemudian penelitian lain juga mengkomparasikan

    pemikiran Muhammad Quraish Shihab yang berkaitan dengan tafsir al-Kāfirūn

    dengan pemikiran atau pandangan dari mufassir Indonesia yang lain dan lain

    sebagainya. Tetapi dalam penelitian ini kalimat beragama atau komparasi

    terhadap para mufassir lain, baik di dalam negeri maupun dinusantara penulis

    tiadakan, mengingat toleransi yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam

    20

    Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta:

    Rajawali Pers, 2016), h. 6. Lihat Gustin Ambarsih “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Untuk Peserta

    Didik Menurut M. Quraish Shihab Dalam Buku Yang Hilang Dari Kita: Akhlak”, Skripsi pada

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 18.

  • 23

    bahasan toleransi secara murni dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Untuk

    itu perlu penulis paparkan beberapa penelitian yang relevan agar tidak ada

    pengulangan judul maupun pembahasan yang sama berdasarkan kajian penelitian

    yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini. Berikut ini adalah penelitian yang

    relevan dari peneliti sebelumnya mengenai ruanglingkup toleransi maupun QS. al-

    Kāfirūn:

    1. Skripsi dengan judul “Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān (Telaah Atas

    Tafsir Surah al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya dari Muḥammad Ahmadi. Skripsi atau

    penelitian ini membahas tentang bagaimana Toleransi beragama dalam surah al-

    Kāfirūn dengan menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif yang hasil

    dari penelitian tersebut bahwa toleransi antarumat beragama adalah sebuah

    keniscayaan, sehingga semua umat manusia khususnya umat Islam yang

    mengikuti al-Qur‟ān dan Sunnah menjadi tuntunan dalam menyikapi kehidupan

    sesuai 2 pokok ajaran Islam itu sendiri. Tafsir al-Kāfirūn menjadi salah satu tafsir

    atau surah dalam al-Qur‟ān yang menjelaskan mengenai larangan terhadap

    interaksi maupun kerjasama dalam hal ibadah dan muamalah dengan agama lain.

    Sehingga berkompromi dalam hal bentuk ritual kegamaan pun dalam hasil

    penelitian tersebut tidak diperbolehkan, namun terciptanya kerukunan dalam

    hubungan antarumat beragama harus terjaga dengan sikap toleran yang harmonis.

    2. Skripsi dengan judul “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān

    (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya M. Nahdi Fahmi. Skripsi ini

    membahas tentang bagaimana konsep toleransi antar umat beragama dalam

    ruanglingkup kajian telaah pendidikan dan interaksi sosial lainnya. Hasil dari

    penelitian M. Nahdi Fahmi ini bahwa toleransi beragama terdapat batasan-batasan

    dalam menyikapi perbedaan. Islam memberi ruang untuk tegas dalam menyikapi

    perbedaan dengan sikap toleransi berupa sikap baraa‟/penolakan secara

    menyeluruh terhadap semua bentuk kesyirikan di wilayah akidah dan ritual

    ibadah/hukum. Antar umat beragama tidak dibenarkan ikut mencapuri urusan-

    urusan khusus agama lain dalam surah al-Kāfirūn berdasarkan pijakan tafsiran

    para mufassir.

  • 24

    3. Skripsi dengan judul “Pendidikan Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān”

    karya Yasin Hakim. Skripsi ini membahas tentang konsep pendidikan toleransi

    beragama dalam al-Qur‟ān dengan menggunakan metode penelitian analisis tafsir

    taḥlīly berdasarkan hasil dari analisa penilitian ini berupa tafsir al-Qur‟ān 4 surah,

    yakni QS. al-Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8,

    dan QS. al-Kāfirūn (109): 6. Hasil dari penelitian Yasin Hakim ini bahwa konsep

    pada pendidikan toleransi beragama yang termuat dalam al-Qur‟ān yakni QS. al-

    Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8, dan QS. al-

    Kāfirūn (109): 6 adalah menghormati kebebasan dalam beragama dalam

    perbedaan keyakinan yang diimplementasikan pada sikap pembiasaan di

    lingkungan sekolah dengan memberikan izin dalam hal berdoa sesuai dengan

    ajaran agamanya masing-masing, saling mengingatkan dalam bentuk peribadatan

    sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, ikut serta dalam hal empati yakni

    baik ikut bahagia maupun dalam keadaan duka dan saling memberikan hadiah.

    Kemudian pendidikan toleransi dari segi sikap keadilan meliputi: memberikan hak

    kepada orang yang harusnya menerimanya, memberikan hak sesuai dengan

    hukum, dan kewajiban memberi hasil yang sudah menjadi bagian dst.

    Dari ketiga penelitian yang penulis dapatkan diatas merupakan hasil

    penelitian yang relevan sebagai acuan dari pada penelitian yang penulis kerjakan

    memiliki persamaan dalam ruanglingkup toleransi, terutama dalam keseluruhan

    surah/ayat al-Kāfirūn. Perbedaannya dalam penelitian ini adalah dari segi metode

    penelitian dan objek penelitian. Penelitian yang penulis teliti pada kesempatan ini

    menggunakan metode penafsiran tokoh dan hanya terpusat pada sudut pandang

    atau perspektif Muhammad Quraish Shihab dan pengkajiaanya pada penafsiran

    beliau pada surah Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Sehingga objek pada penelitian ini

    hanya pada toleransi dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ secara murni dan

    diperkuat dengan sumber dari karya beliau yang relevan.

  • 25

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Tempat dan Waktu Penelitian

    Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Toleransi dalam

    QS. al-Kāfirūn ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.

    Dalam penelitian ini, penulis meneliti tentang tafsiran Muhammad Quraish Shihab

    pada surah al-Kāfirūn sudah tentu di dalam kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ, kemudian apa

    saja tema utama di dalam tafsir surah tersebut hingga peneliti mendapatkan

    deskripsi dari hasil analisis. Adapun mengenai waktu penelitian yang dilakukan

    oleh penulis dalam skripsi ini selama 6 bulan, terhitung dari bulan Januari 2020

    sampai dengan bulan Juli 2020 bertempat diberbagai perpustakaan, baik di

    perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di Pusat Studi Qur’ān

    Lentera Hati Ciputat.

    B. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh

    (berupa kata-kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan

    atau angka melainkan dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi

    pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif.1

    Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualtitatif

    yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari

    jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini

    menggunakan metode penafsiran tokoh yakni Muhammad Quraish Shihab dengan

    pendekatan analisis konten.

    1 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 39.

  • 26

    2. Sumber Data Penelitian

    Penelitian skripsi ini menggunakan data primer berupa kitab Tafsīr al-

    Miṣbāḥ tentang surah al-Kāfirūn. Kemudian pada data sekundernya menggunakan

    buku-buku yang relevan, buku karya Muḥammad Quraish yang lainnya, lalu pada

    redaksi pandangan ulama lainnya mengenai tafsir surah al-Kāfirūn dan juga

    menggunakan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan toleransi.

    C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

    1. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang

    mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka

    peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan

    data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan bantuan bermacam-

    macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.2

    Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis telah melakukan pengkajian

    literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dengan

    mengumpulkan bahan-bahan bacaan baik pada buku primer maupun sekunder.

    2. Teknik Pengolahan Data

    Setelah peneliti mendapatkan data-data yang sudah dikumpulkan, peneliti

    menelaah, membaca dan meneliti data-data yang relevan yang menunjang dan

    mendukung pembahasan dalam penelitian ini yang kemudian pada tahap

    selanjutnya peneliti memberikan kesimpulan pada pembahasan dengan deskripsi

    yang utuh.

    2 Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.

    60-61.

  • 27

    D. Analisis Data

    Cresswel3 mengatakan bahwa prosedur penelitian kualitatif memiliki ciri-

    ciri induktif dalam menganalisis datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh

    pada dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Oleh sebab itu,

    logika yang harus terus diikuti oleh peneliti adalah induktif.

    Ada beberapa tahapan dalam analisis data pada skripsi ini: 1. Pengumpulan

    data terkait yang sesuai dengan judul. 2. Pemilahan data untuk memudahkan

    analisis data, dalam skripsi ini berdasarkan 2 tema, tema kafir dan agama (dīn). 3.

    Membaca data secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai

    alat koding. 4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,

    penulis membaginya menjadi dua, tentang kafir dan dīn dalam surah al-Kāfirūn.

    Kemudian dirinci lagi yang kemudian interrelasi hasil koding untuk mendapatkan

    deskripsi.

    3 Dalam buku Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan Mushaf al-

    Qur’ān di Indonesia. (Eva Nugraha mengutip pernyataan dari Jhon W. Creswl, Research Design:

    Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.) Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu

    Ushuluddim (hipius), 2019. h. 33.

  • 28

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA. Lahir pada tanggal 16 Februari

    1944, di daerah Rappang Sulawesi Selatan. Ia adalah keturunan bangsa Arab yang

    terpelajar. Bapaknya bernama Abdurrahman Shihab (1905 M-1986) berprofesi

    sebagai ulama tafsir dan merupakan seorang guru besar di IAIN Alauddin di kota

    ujung Pandang dalam bidang tafsir. Pekerjaan sampingan beliau pada usia muda

    adalah wirawisatawan. Selain itu, beliau juga aktif berdakwah dan mengajar di

    masa mudanya tersebut. Namun demikian, kebiasaan beliau untuk membaca al-

    Qur‟ān serta kitab-kitab tafsir pada pagi dan petang selalu dilakukannya.1

    Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya (SD) di kota Ujung

    Pandang. Kemudian, dia melanjutkan sekolah menengah pertamanya (SMP) di

    Kota Malang, Jawa Timur sembari memperdalam agama di Pesantren bernama

    Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah. Ketika dia berumur 14 tahun tepatnya pada tahun

    1958, Quraish Shihab berangkat ke kota Kairo, di Mesir. Dimana, dia melanjutkan

    pendidikannya di al-Azhar didalam Tsanawiyah, saat kelas II. Selanjutnya, ia

    bersekolah pada fakultas Ushuluddin diterima dalam jurusan tafsir dan hadits di

    Universitas al-Azhar, Mesir. Dia lantas menyelesaikan studinya pada tahun 1967

    hingga LC dan melanjutkan perkuliahan pada jurusan yang sama. Kemudian,

    beliau menyelesaikan tesisnya pada tahun 1969 yang berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iy

    li al- Qurānul-Karim dan meraih gelar M.A.2

    Bapaknya yang pada saat itu menjabat sebagai rektor di UIN Alauddin

    Makassar, meminta bantuan kepada Quraish Shihab untuk mengelola sektor

    pendidikan di universitas itu, di tahun 1973. Ia pun menjabat sebagai wakil rektor

    dalam bidang kemahasiswaan dan akademis sampai pada tahun 1980. Selama

    durasi dia menjabat sebagai wakil rektor tersebut, ia sering diminta untuk

    menggantikan ayahnya dalam pertemuan-pertemuan dan tugas utama tertentu

    1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

    Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 1994), h. 14. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

    Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 6.

  • 29

    dikarenakan faktor usia. Selanjutnya, ia menjabat sebagai koordinator Perguruan

    Tinggi Swasta pada koordinator Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia Timur

    yang melingkupi bidang pembinaan mental serta jabatan lainnya yang di luar dari

    kampus itu. Dengan semua kesibukan tersebut beliau telah dapat menyelesaikan

    tugas-tugas penelitiannya yaitu Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978) serta

    Penerapan kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975).3

    Kemudian, di tahun 1980 Quraish Shihab melanjutkan studinya kembali ke

    Kairo di Universitas al-Azhar dan pada tahun 1982 beliau meraih gelar Doktor

    Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟ān serta dapat meraih Summa cum

    Laude (nilai paling tinggi) dan Mumtaz ma’a martabat al-ataraf al-ula

    (penghargaan atas peringkat pertama) melalui tesis beliau yang dengan judul

    “Nazham al-Durar li al-Baqa’i:’Tahqiq wa Dirasah”. Atas pencapaian-

    pencapaiannya ini, Ia pun dinobatkan sebagai orang Asia Tenggara pertama yang

    bergelar Doktor Falsafah didalam ilmu-ilmu al-Qur‟ān dari Universitas al-Azhar,

    di negara Mesir.4

    Quraish Shihab dipindah tugaskan dari IAIN yang berada di Ujung Pandang

    ke IAIN yang berada di Jakarta pada fakultas yang sama yaitu Fakultas

    Ushuluddin pada tahun 1984. Pada masa karier inilah dia aktif mengajar dalam

    program S1 sampai dengan S3 sampai dengan tabun 1998 dalam bidang Ulumul

    Quran dan Tafsir. Selain tugas utama sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai

    rektor dari IAIN Jakarta dalam dua periode (1992-1996 dan 1997-1998).

    Kemudian, pada awal tahun 1998 dalam dua bulan pertama ia menjabat sebagai

    Menteri Agama. Pada akhirnya dia diberi pangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa

    serta Berkuasa Utuh Republik Indonesia yang diperuntukkan untuk Negara Mesir

    dan merangkap juga Republik Djibauti yang juga berkedudukan di ibukota Kairo.5

    Masyarakat menyambut hangat dan kehadiran Quraish Shihab di Jakarta

    dengan suasana baru yang ia bawa. Ini ditunjukkan melalui karyanya yang

    3 Amirullah Kandu, Ensiklopedia Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 669.

    4 Afrizal Nur, “M.Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin, Vol.

    XVIII No. 1, Januari 2012), h. 23. 5 Jaka Perdana, “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-

    Qur‟ān,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2015, h. 38.

  • 30

    diterapkan di masyarakat luas. Selain mengajar sebagai dosen, ia juga telah

    menapaki karier dan memiliki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia

    (MUI) semenjak tahun 1984 di daerah pusat, ia juga seorang anggota dari Lajnah

    Pentashih al-Qur‟ān di Departemen Agama dari tahun 1989. Keterlibatannya

    dalam organisasi keprofesionalan seperti Ikatan cendikiawan Muslim se-Indonesia

    (ICMI) pada awal pembentukannya serta menjadi Asisten Ketua Umumnya

    menambah daftar aktivitas karier Quraish Shihab. Ia juga merupakan pengurus

    dalam Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, serta dalam Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan memiliki jabatan sebagai pengurus konsorsium dari

    Ilmu-Ilmu agama.6 Ia juga selaku Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesian

    Journal for Islamic Studies Ulumul Qur’ān, Mimbar Ulama dan Refleksi Jurnal

    dalam Kajian Filsafat dan Agama dengan semua penerbitan daftar aktivitasnya ini

    berada di ibukota Jakarta.7

    Di samping kegiatan tersebut, M. Quraish Shihab juga dikenal sebagai

    peneliti dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan

    yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal, serta ditopang oleh

    kemampuannya dalam menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang

    sederhana, lugas, rasional8 dan kecendrungan pemikiran yang moderat, ia tampil

    sebagai penceramah dan peneliti yang bisa diterima oleh semua lapisan

    masyarakat.9

    6 Haward M. Federspiel, Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga

    Quraish Shihab, cet. I, (Mizan: Bandung, 1996), h. 295-299. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

    Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h.7. 8 Abuddin Nata, Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2005), h. 364. 9 Muhalli Fikri, “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur‟ān Surat Al-Kafirun (Studi

    Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al- Mishbah),” Skripsi pada UIN Mataram, Mataram

    2019, h. 51.

  • 31

    A. Surah al-Kafirun

    1. Ayat dan Terjemahannya

    (1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”

    (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,

    (3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,