Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif...
Transcript of Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif...
-
Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6
dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Ahmad Munandar
NIM. 1113011000059
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
-
i
ABSTRAK
Ahmad Munandar (1113011000059). Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn
Ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.
Dalam agama Islam, Rasulullah s.a.w merupakan teladan yang paling utama
dalam kehidupan beragama, beliau memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap
orang orang yang berseberangan dan berbeda secara keyakinan. Rasulullah tidak
pernah memaksakan kehendaknya agar orang lain mengikuti ajarannya. Ketika
beliau mendakwahi pamannya Abū Ṭālib, beliau tidak menggunakan bujuk rayu
dan kekerasan. Terhadap kafir żimmi (yang berada dilindungan negara) beliau
tetap menghargainya dan melindungi hak haknya.
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari
jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tokoh dengan pendekatan analisis konten.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam penafsiran Muhammad
Quraish Shihab tidak ditemukan diksi toleransi secara langsung. Namun penulis
menemukan pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari toleransi
itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran Muhammad
Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali dalam tafsir surah
al-Kāfirūn di kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Ada 2 hal yang ditemukan dalam diksi
toleransi dalam kata kompromi beliau yakni: Bahwa tidak ada kompromi (titik
temu) dalam hal peribadatan. Jadi dalam hubungannya dalam wilayah ibadah
(penyembahan), tidak ada dan tidak bisa dikompromikan (tidak bisa
dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi hubungan antar pemeluk
agama. Kemudian menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk
agama. Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam
diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam
kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima
Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama
Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai
seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam
keyakinannya agamanya.
Kata Kunci: Islam, Toleransi, Berkompromi.
-
ii
ABSTRACT
Ahmad Munandar (1113011000059). Tolerance within the QS. al-
Kāfirūn verse 1-6 based on the perspective of Prof. Muhammad Quraish
Shihab
In Islamic religion, Rasulullah s.a.w is the utmost role model in living a
religious life, he possesses a high level of tolerance upon people with counterpart
and different believes other than himself. Rasulullah has never imposed his will to
obligate others in following his teaching. Whence, he preached upon his uncle
Abū Ṭālib, he did not use any kind of manipulation and violence. Upon kafir
żimmi (which reside and protected by the nation) he respect and protects their
rights.
In the research of this dissertation, one employs a qualitative research type
in which the research is based on the several studies and composition of library
empirical materials that is study based or Library research. This research is
employing interpretation of figure method with content analyze approach.
The result of the research is that within the interpretation of Muhammad
Quraish Shihab has not been found explicit tolerance diction. However, one found
the meaning of tolerance that refer to a definition of tolerance itself, therefore the
meaning of tolerance within the interpretation of Muhammad Quraish Shihab is
that upon the word compromise which appeared 6 times within the interpretation
of surah al-Kāfirūn in the book of the interpretation of al-Miṣbāḥ. There are 2
matters that are found within the tolerance diction within the word compromise
that he believes in: There are no compromise (meeting point) within liturgy. Thus,
the relation of liturgy (worship), there are not any and can not be compromised
(unexchangeable) based on the foundation of the second theme which is the
relation between religions followers. Then, respecting others faith once they
decided to be the follower of such faith. Preaching or persuading others to
understand Islam is allowed, however if the respond of the person is strong within
his faith that they will not convert and he did not accept Islam, therefore that is
not the responsibility of us as the followers of Islam to make others become a
follower as well. As a muslim, we ought to respect the individual to stay strong
within his faith.
Keywords: Islam, Tolerance, Compromise.
-
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirraḥmānirraḥīm
Puji syukur kehadirat Allah s.w.t serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad s.a.w atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6
dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.
Skripsi ini merupakan pemenuhan tugas akhir mahasiswa di Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul terkait diangkat
oleh penulis dilatarbelakangi maraknya tindakan intoleran yang
mengatasnamakan agama dan dinamikanya dalam bermasyarakat. Sehingga
penulis mengangkat tema toleransi dalam kaitannya dengan al-Qur‟an agar
menampik tindakan intoleran tersebut dan menumbuhkan bagian Islam yang
raḥmatan lil ‘ālamīn.
Dalam penyelesaian skripsi penulis menyadari bahwa pencapaian ini tidak
dapat diraih tanpa dukungan banyak pihak maka dari itu penulis mengucapkan
terimaksih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hj. Sururin, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
6. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
7. Dr. Dimyati, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar dan
istiqomah dalam membimbing penulis di kampus dari awal hingga akhir
perkuliahan.
-
iv
8. Dr. Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Dosen pembimbing yang
memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis selama
menyusun skripsi ini.
9. Bapak H. Munajat, SE. dan Ibu Hj. Sukarmi selaku orang tua yang selalu
mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya hingga sampai detik
ini dengan tulus ikhlas.
10. KH. Rahmat Hidayat, guru pembimbing yang terus mendukung, mendidik
dan selalu mendoakan penulis agar terus hidup bergerak menjalani hidup
dengan ikhlas, sabar dan benar sebagai modal dalam menyikapi hidup.
11. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Kajur Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Periode 2019-2023.
Yang telah bersedia berbagi pengetahuan, pengalaman dalam dunia tafsir
pada proses penyusunan skripsi ini.
12. Isna Ramadani Bsc., yang sampai saat ini menjadi support system, teman
berpikir, teman emosional, teman spiritual, yang juga telah bersedia
menemani penulis secara virtual untuk terus berjuang dalam proses menuju
cita-cita dan harapan untuk hidup bersama.
13. Teman-teman Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Faris, Fadel, Kastubi,
Yazid, Hamim, Kholik. Teman-teman UKM Resimen Mahasiswa angkatan
Nusantara 2013, Althaf, Fuad, Tomy, Fathur, Khaidir, Arief, Asmamia,
Faika, Fany, Nicken, Nita, Yuniar, dan Iqlima dan teman-teman Jurusan
Pendidikan Agama Islam angkatan 2013 yang sudah membantu dan berjuang
selama ini.
Kepada berbagai pihak yang terlibat dan berandil besar dalam penyelesaian
skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis
menerima kritik dan saran yang membangun untuk mengembangkan skripsi ini.
Semoga Allah memberikan balasan dan menjadikannya sebagai amal saleh. Āmīn
yā rābbal „ālamīn.
Tangerang Selatan, 10 Juli 2020
Penulis
-
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padana Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا b Be ب t Te ت ṡ es dengan titik atas ث j Je ج ḥ ha dengan titik bawah ح kh ka dan ha خ d De د ż zet dengan titik atas ذ r Er ر z Zet ز s Es س sy es dan ye ش ṣ es dengan titik bawah ص ḍ de dengan titik bawah ض ṭ te dengan titik bawah ط ẓ zet dengan titik bawah ظ Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
-
vi
gh ge dan ha غ f Ef ؼ q Qi ؽ k Ka ؾ l El ؿ m Em ػم n En ن w We و h Ha ه Apostrof ` ء y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ــَـ
I Kasrah ــِـ
U Dammah ــُـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ــَـ ي
Au a dan u ــَـ و
-
vii
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ᾱ a dengan topi di atas ىَا
Ī i dengan topi di atas ىِيْ
Ū u dengan topi di atas ىُوْ
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ــّـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا ) tidak ditulis ad-
darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṭah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
-
viii
No Kata Arab Alih Aksara
قةیرط 1 Ṭarīqah ةیإلسالما لجامعةا 2 al-jāmī’ah al-islāmiyyah دلوجوة احدو 3 wahdat al-wujūd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-
Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (Fi‘il), kata benda (Isim), maupun huruf (Ḥarfu)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas
-
ix
Kata Arab Alih Aksara
ْلُقْرَءانُ ٱأُنزَِل ِفيِه Unzila fīhil-qur`ānu ْْلَُدى ٱٍت م َن نَ بَ ي Bayyinātim minal-hudā
ْلُعْسرَ ٱيُرِيُد ِبُكُم Yurīdu bikumul-'usra ةَ ٱ ۟ لُِتْكِمُلوا ْلِعدَّ Litukmilul-'iddata
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Rahmān.
-
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 10
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 10
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10
1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10
2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11
KAJIAN TEORI ............................................................................................. 12
A. Pengertian Toleransi.............................................................................. 12
B. Macam-macam Toleransi ...................................................................... 15
1. Toleransi Antar Sesama Agama ....................................................... 15
2. Toleransi Antar Umat Agama .......................................................... 16
C. Wilayah Toleransi ................................................................................. 18
1. Akidah .............................................................................................. 18
2. Syariah .............................................................................................. 20
3. Akhlak .............................................................................................. 20
D. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 25
B. Metode Penelitian.................................................................................. 25
1. Jenis Penelitian ................................................................................ 25
2. Sumber Data Penelitian ................................................................... 26
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 26
1. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 26
2. Teknik Pengolahan Data ................................................................... 26
-
xi
D. Analisis Data ......................................................................................... 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28
A. Surah al-Kafirun .................................................................................... 31
1. Ayat dan Terjemahannya ................................................................ 31
2. Munasabah Surah ............................................................................ 31
B. Pembahasan ........................................................................................... 32
1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.................................................. 32
1.1 Argumen yang Digunakan .............................................................. 32
a. Asbab Nuzul ................................................................................ 32
b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya .......................................... 34
1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan ................................................... 35
a. Pengingkaran atas Allah .............................................................. 36
b. Pengingkaran atas Rasul Allah .................................................... 37
c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat) ............................. 39
d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah ........................................ 41
2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama ........................................ 42
2.1 Argumen Makna Dīn ....................................................................... 42
a. Secara Kebahasaan ...................................................................... 42
b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25 ................................................... 45
2.2 Tafsiran Lafaz Dīn .......................................................................... 48
3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama ....................................... 48
4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan ............................ 49
5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama .................................. 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 56
A. Kesimpulan ........................................................................................... 56
B. Implikasi ................................................................................................ 58
C. Saran ...................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’ān merupakan kitab suci umat Islam yang memuat ajaran-ajaran dan
petunjuk agar manusia dapat selamat dalam kehidupan, baik kehidupannya di
dunia maupun di akhirat. Melaksanakan petunjuk yang ada dalam al-Qur’ān, ini
berarti bahwa ia dapat menyikapi ajaran Islam, namun kembali lagi kepada
manusia itu sendiri, antara memilih menjalankan atau memanfaatkan nilai-nilai
yang terkandung dari ajaran Islam maupun meninggalkannya. Ketika manusia itu
memilih untuk kembali kepada al-Qur’ān dan menjalankan petunjuk yang ada di
dalamnya berarti manusia tersebut memilih untuk mengharapkan/mendapatkan
ketenangan lahir maupun batin. Sebaliknya, ketika manusia itu memilih untuk
meninggalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’ān berarti ia telah memilih untuk
menerima datangnya waktu kehancuran untuk dirinya. Meski pada realitanya
orang-orang di luar Islam yang lebih giat menggali dan mengkaji tentang alam
semesta raya, sehingga mereka menjadi lebih unggul dari bangsa lainnya,
walaupun umat Islam lah yang seharusnya semangat dan tetap berpegang teguh
kepada al-Qur’ān.1
Al-Qur’ān juga termasuk kitab yang menegakkan toleransi, karena toleransi
merupakan salah satu cara untuk mempersatukan perbedaan terlebih lagi dalam
sebuah perbedaan keyakinan. Wujud dalam toleransi Islam adalah diwujudkan
dengan cara nabi Muḥammad s.a.w menghormati agama-agama diluar agama
Islam seperti agama Nasrani dan Yahudi. Bentuk penghormatan ini dibuktikan
dengan nabi Muḥammad s.a.w yang tidak pernah menghancurkan tempat ibadah
orang-orang diluar Islam.
Dalam QS. al-Ḥajj ayat 40 secara tegas berisikan tentang larangan untuk
merusak tempat ibadah, yang berbunyi “Dan sekiranya Allah tiada menolak
1 Muḥammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’ān, cet. 4, (Bandung: Mizan, 1999), h.
21.
-
2
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid.” Imam al-Qurṭubī berpendapat, ayat ini menjelaskan dan
menegaskan secara syariat bahwa Allah s.w.t memberlakukannya di bumi ini, atas
dasar syariat yang diberlakukannya itu Allah s.w.t telah memberikan perlindungan
terhadap tempat ibadah dari kekuasaan/tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab maupun tangan-tangan yang berbuat aniaya. Secara
proporsional dan adil, Nabi Muḥammad s.a.w tak henti-hentinya memberikan
perhatiannya kepada pemeluk agama Nasrani, Yahudi maupun pemeluk agama
lainnya di luar agama Islam agar terpenuhi hak-haknya. Hal ini terbukti ketika
Nabi Muḥammad s.a.w memberikan kesempatan maupun kebebasan untuk
melakukan ibadah kepada para pendeta dari Bani al-Hariṡ dan Najrān. Nabi
Muḥammad s.a.w memberikan jaminan berupa hak beribadah kepada Nasrani dan
menjamin utuk tidak membumihanguskan tempat ibadah mereka, sewaktu Umar
bin Khattab merebut Yerussalem. Semua adalah gambaran kecil yang menjadi
bukti, bahwa agama Islam secara tegas menolak adanya bentuk terror maupun
bentuk perusakan terhadap tempat ibadah non-muslim.2 Sikap toleran tinggi
Rasulullah s.a.w. juga merupakan bentuk dakwah terhadap perjuangan Islam
tanpa adanya jalur paksaan, sehingga dalam sejarah masyarakat Arab berbondong-
bondong untuk masuk dalam agama Islam yang hanif.
Rasulullah s.a.w adalah teladan paling utama pada kehidupan beragama
dalam agama Islam. Beliau memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi, terutama
terhadap pihak yang berseberangan dalam hal perbedaan keyakinan. Beliaupun
tidak pernah memaksakan ajaran Islam yang disampaikannya kepada umat
manusia untuk diikuti dengan jalan paksaan. Dakwah yang beliau sampaikan
kepada orang terdekatnya pun tidak menggunakan kekerasan ataupun dengan
bujuk rayu pada saat mendakwahi pamannya sendiri, yakni Abū Ṭālib. Bahkan
tehadap orang kafir yang lemah sekalipun, Nabi Muḥammad tetap melindungi dan
menjaga hak-haknya. Pada saat utusan dari Habsyah (Ethiopia) datang menemui
2 Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-habis)”,
2012, (www.republika.co.id). Diakses pada tanggal 12 Mei 2020.
-
3
Rasulullah s.a.w, beliaupun tetap menghormatinya walaupun utusan tersebut
pemeluk agama Nasrani. Rasulullah s.a.w ingin menghormati mereka
sebagaimana mereka telah dihormati oleh orang-orang yang berada dalam
lingkungannya. Pada saat Rasulullah s.a.w hijrah ke kota Madinah, beliau justeru
tidak mengusir orang-orang Yahudi yang sudah menetap disana. Bahkan sikap
interaksi yang baik ditunjukkan oleh Rasul dengan terciptanya sebuah perjanjian.
Isi yang sudah disepakati dalam perjajian tersebut diantaranya adalah bahwa, baik
orang-orang Yahudi maupun orang-orang Islam memiliki kebebasan dan hak-hak
yang sama dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama masing-masing untuk
dilaksanakan. Rasulullah s.a.w pun pernah memberikan penghormatan kepada
orang Yahudi yang meninggal dunia. Rasulullah s.a.w amatlah bijaksana dalam
kehidupan bermasyarakat. Bahkan kepada tetangganya, sekalipun beliau tidak
melihat apa agamanya. Beliau juga menjauhi permusuhan dan tidak pernah
melukai/menyakiti hati tetangganya karena sebuah perbedaan, apalagi dalam hal
perbedaan keyakinan. Sikap yang Rasulullah s.a.w lakukan tersebut harusnya
menjadi teladan yang agung bagi kita semua, selaku umat Islam dalam kehidupan
kita sehari-hari. Bagaimana sikap toleransi Rasulullah terhadap tetangganya, dapat
kita terapkan pada interaksi kita kepada tetangga yang berbeda keyakinan. Sikap
toleransi Rasulullah mencermikan ajaran agama Islam yang penuh dengan
kedamaian. Meski negara Indonesia bukanlah negara Islam, sepatutnya kita tetap
menghormati perbedaan, menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan. Sehingga
tetap tercipta kedamaian serta jauh dari bentuk ekstrimisme yang timbul karena
tidak adanya sikap toleransi dalam hubungan terhadap sesama manusia.3
Toleransi memiliki tempat dan peran yang penting dalam terjaganya
persatuan bangsa dan keutuhan negara, khususnya dalam toleransi keberagamaan.
Kelompok agama yang tidak memiliki sikap yang toleran dapat membahayakan
keutuhan negara Indonesia, karena dapat menimbulkan berbagai konflik bagi
pemeluk agama manapun. Sikap intoleransi di Indonesia tetap ada, walau dalam
skala yang kacil. Tindakan radikal yang mengatasnamakan agama nyaris tak
3 Abdurrahman Siregar, “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah s.a.w”, 2019,
(www.kompasiana.com). Diakses pada tanggal 9 Juni 2020.
-
4
terlihat. Meskipun ada dan terlihat, dinamika kecil keberagamaan dan keagamaan
dapat diselesaikan serta didamaikan. Agama menjadi sumber kekuatan untuk
membangun kebersamaan maupun sikap berkasih sayang terhadap sesama
sejatinya. Ini berarti bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai sumber inspirasi
maupun sumber motivasi dalam hidup.4
Kehadiran toleransi ini sangat membantu mendamaikan atau mengurai
benang kusut perselisihan diantara umat manusia. Namun akhir-akhir ini banyak
terjadi perselisihan karena persoalan keyakinan (agama). Misalkan larangan
memilih pemimpin non-muslim yang terjadi pada munculnya ijtima ulama
diberbagai pihak pada sebuah kontestasi pemilihan umum yang menimbulkan
gesekan khususnya pada kalangan masyarakat Indonesia.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak risau dalam menghadapi isu
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang memanas jelang Pilkada DKI
2017. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi
Ahmad, mengatakan bahwa PBNU sudah pernah mengeluarkan fatwa pada 1999
tentang memilih pemimpin non-Muslim. "Fatwa kepemimpinan kalau MUI,
Muḥammadiyah, sudah jelas memilih pemimpin kafir tidak boleh, titik. Namun,
NU punya fatwa-nya yang membolehkan, kata ulama pada tahun 1999," kata
Rumadi di Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa
boleh memilih pemimpin non-Muslim jika pertama memang tidak ada orang
Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon beragama Islam, tetapi karena
dikhawatirkan berkhianat, boleh memilih alternatifnya yang non-Muslim. “Ketiga,
memilih pemimpin non-Muslim selama tokoh itu dianggap tidak jadi ancaman
bagi umat Islam, boleh saja,” kata Rumadi. Rumadi menjelaskan bahwa
kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih beragama Islam sebab
ada teks yang mengaturnya. Teks itu pula yang menjadi rujukan atau senjata
untuk keuntungan politik. Menurut Rumadi, konteks di balik teks ini adalah
peperangan pada masa lampau. “Bagi orang NU tidak ada lagi peperangan. Jadi,
4 Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi, “Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat Kabar
Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan Gunung Djati Bandung Vol. 3.
Nomor 1. 2019, h. 18.
-
5
sekarang masa perdamaian. Kalau perdamaian me-refer ke ayat yang tadi itu
(haram memilih pemimpin kafir) ya itu tidak relevan” kata dia.5
Puluhan ribu massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Umat dan Bangsa
menggelar aksi unjuk rasa di Pintu Monas Barat Daya, Gambir, Jakarta, Ahad
(4/8). Mereka mengajak warga Ibu Kota untuk tidak memilih gubernur
nonmuslim pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Aliansi itu terdiri dari para anggota
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Forum RT RW,
Laskar Luar Batang, Amju, dan sejumlah organisasi lain. Aksi yang diikuti anak-
anak, remaja, hingga dewasa itu digelar mulai pukul 09.00 WIB dan rampung
sekitar pukul 12.00 WIB. Dalam aksinya, peserta membentangkan spanduk
bernadakan penolakan terhadap pemimpin nonmuslim. Mereka juga membawa
bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta ormas lainnya. “Kita tegas menolak
pemimpin kafir. Hal ini sudah termuat dalam al-Qur’ān,” kata Jubir HTI,
Muḥammad Ismail Yusanto. Ismail mengatakan, kepemimpinan adalah perkara
yang sangat penting. Dalam pandangan Islam, kata dia, kemaslahatan bersama
atau rahmatan lil alamin seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan dan
ketenteraman serta kesucian dan sebagainya, hanya akan benar-benar terwujud
bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariat Islam dan menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar. “Tanpa syariah Islam yang diterapkan secara kaffah, yang
terjadi bukan kemaslahatan atau kerahmatan, tetapi mafsadat atau kerusakan
seperti yang terlihat saat ini,” ucap dia. Maka, syarat utama pemimpin haruslah
seorang Muslim. “Bila bukan Muslim, bagaimana mungkin ia bisa diharap
menerapkan syariah dan menegakkan amar makruf, sedangkan ia tidak beriman
pada syariah dan tidak memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar?”. “Oleh
karena itu, dalam pandangan Islam, sebagaimana disebut dalam al-Qur’ān surah
An Nisa ayat 41, haram mengangkat nonmuslim atau orang kafir menjadi
pemimpin bagi kaum Muslimin.”6
5 Nibras Nada Nailufar, “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-Muslim”,
2016, (www.kompas.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2020 6 Karta Raharja Ucu, “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”,
(www.republika.co.id), 2016, Diakses pada tanggal 12 Juni 2020.
-
6
Isu-isu kontra toleransi bagai api dalam sekam di Indonesia, yang lambat
laun akan terus “membakar” atau menciderai persatuan umat, seakan terus-
menerus terjadi pengulangan pada momen-momen tertentu dalam kehidupan
beragama. Klaim kafir di Indonesia terhadap perbedaan pendapat sudah menjadi
fenomena yang biasa pada wilayah sosial seperti dalam pemilihan umum baik
pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan juga pada ranah lain seperti
ucapan selamat pada acara keagamaan bagi peringatan hari besar umat beragama
lain.
Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta melarang
umat Islam merayakan Hari Natal 2019 dan Tahun Baru 2020. Hal itu dituangkan
dalam Maklumat FPI DKI Jakarta Tentang Hari Natal dan Malam Tahun Baru
Masehi yang dirilis Sabtu (21/12). Dalam maklumat tersebut, FPI DKI meminta
umat Islam untuk tak turun ke jalan. Mereka beralasan Natal dan Tahun Baru
bukan ajaran agama Islam. “Tidak turut meramaikan dan tidak pasang
petasan/kembang api serta tidak turun ke jalan pada Hari Natal dan malam Tahun
Baru Masehi 2020 Masehi, karena ini bukan ajaran dari agama Islam,” tulis
maklumat yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (23/12). Maklumat itu
ditandatangani Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Abdul Majid, Sekretaris
Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Sahid bin Yahya, dan Imam DPP FPI DKI Jakarta
Muchsin bin Zaid Al-Attas. FPI DKI juga mengimbau umat Islam untuk mengisi
dua hari itu dengan berzikir, berselawat, dan bermunajat kepada Allah untuk
kepentingan agama, bangsa, dan negara. Umat Islam juga diminta merayakan
tahun baru Islam. “Meramaikan malam tahun baru Islam setiap 1 Muharram,”
tuturnya. FPI DKI juga menginginkan umat Islam untuk memperkokoh persatuan
dan kesatuan masyarakat. Salah satunya dengan cara meningkatkan kepedulian
terhadap semua golongan. “Meningkatkan kepedulian sosial dan kemanusiaan
antarsesama manusia dengan seadil-adilnya tanpa memandang suku, agama, ras,
antargolongan, dan lainnya sesuai dengan ajaran agama dan amanat konstitusi
NKRI,” tulis FPI DKI dalam maklumat tersebut. Polemik perayaan ataupun
pengucapan selamat Hari Natal kembali muncul ke permukaan. Sebelumnya,
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur melarang umat Islam, kecuali Wakil
-
7
Presiden RI Ma'ruf Amin, mengucapkan selamat natal. Sementara MUI tak
melarang ucapan tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan
pihaknya tidak melarang dan tidak pula menganjurkan ucapan selamat natal.
Sebab MUI belum pernah membuat fatwa khusus untuk hal tersebut. “MUI Pusat
sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya
memberikan tahniah atau ucapan selamat natal kepada umat Kristiani yang
merayakannya. Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam
untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,”
tutur Zainut lewat keterangan tertulis, Senin (23/12).7
Klaim kebenaran oleh sebagian kelompok disini adalah menjadi problem
kehadiran Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu
muncul beberapa kelompok yang meng-counter pemikiran-pemikiran intoleransi
tersebut, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian atau skripsi kali ini
adalah tentang pemikiran Muhammad Quraish Shihab.
Muhammad Quraish Shihab adalah ilmuwan tafsir yang menginginkan
kemudahan bagi masyarakat Islam pada umumnya sebagai motivasi besar agar
giat dalam memahami, mempelajari dan mengkaji al-Qur’ān secara objektif akan
pesan, kesan dan kandungan didalamnya. Beliau juga mengajak masyarakat
muslim Indonesia untuk mengagumi dan mencintai al-Qur’ān untuk memandang
al-Qur’ān secara objektif dengan baik dan benar dikarenakan fenomena yang
berkembang di masyarakat muslim sebagian besar kita yang hanya terpesona akan
keindahan merdunya lantunan bacaan al-Qur’ān, sedangkan kitab suci al-Qur’ān
diturunkan bukan hanya untuk dibaca saja, namun al-Qur’ān haruslah di hayati
atau di tadabburi dengan mendayagunakan potensi akal manusia yang telah
diberikan oleh Allah s.w.t. Sehingga pengahayatan manusia itu tercermin dari
sikap yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk rasa
syukur dan keimanan terhadap Allah s.w.t.
Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu ilmuan yang berasal dari
Indonesia yang dalam kehidupannya pernah menghabiskan masa studi dipesantren
7 Tri Wahyuni, “FPI DKI imbau umat Islam tak Turun ke jalan saat tahun baru”, 2019,
(www.cnnindonesia.com). Diakses pada tanggal 11 Juni 2020.
-
8
dan di perguruan tinggi al-Azhar, di Mesir. Al-Azhar sebagai latarbelakangnya
merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi moderasi
(wasaṭṭiyyah). Wujud atau implementasi dari moderasi ditengah perguruan tinggi
al-Azhar ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran para guru atau dosen yang
mengajar disana, sebut saja al-Maraghī, Yusūf al-Qarḍāwī dan lain-lain, yang
merupakan salah satu dari sekian cendekiawan muslim yang menghadirkan
gagasan-gagasan yang “mempertemukan” atau yang disebut dengan moderasi.
Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu dari alumnus atau lulusan al-
Azhar tentunya beliau akan mewarisi sikap-sikap moderasi disini.
Moderasi Islam Muhammad Quraish Shihab itu dapat juga dilihat dari
gagasan-gagasan beliau yang dihadirkan dalam berbagai media, baik dalam media
cetak maupun digital. Media cetak yang memuat gagasan-gagasan Muhammad
Quraish Shihab sungguh sangat tidak sedikit, misalkan dari buku-buku beliau
yang sudah diterbitkan di penerbit Mizan atau ditempat penerbitannya sendiri
yakni di Lentera Hati. Buku yang menarik yang masih sangat relevan pada sampai
saat ini yang banyak dikaji oleh para peneliti adalah karya tafsir, karya
monumental beliau atau masterpiece yaitu Tafsīr al-Miṣbāḥ. Dalam Tafsīr al-
Miṣbāḥ berisi landasan-landasan yang toleran, seperti dalam masalah perdamaian
QS. al-Ḥajj (22) ayat 40:
“(yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang
benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah
pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah
Mahakuat, Mahaperkasa”.
Pandangan Quraish Shihab terhadap ayat QS. al-Ḥajj (22) ayat 40 dipahami
bahwa Allah s.w.t. tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah, sehingga
-
9
sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk senantiasa menjaganya. Oleh sebab
itu, umat Islam bukan saja memeli hara masjid, tetapi juga rumah-rumah ibadah
umat agama lainnya. Selain itu, pakar-pakar tafsir dan hukum Islam juga
melarang merobohkan gereja-gereja aẓ-Ẓimmah, atau menjualnya kepada yang
lain, demikian juga berlaku bagi rumah peribadatan umat yang lain.8 Kemudian
banyak sekali pandangan yang toleran yang bisa dijumpai dari Muhammad
Quraish Shihab khususnya pada wilayah toleransi dalam praktek sosial
keagamaan seperti membenarkan atau mendukung pengucapan ucapan selamat
natal pada momen peringatan hari besar umat nasrani, karena menurut beliau
ucapan selamat natal itu bukan untuk mengimani atau meyakini keimanan mereka
tetapi untuk mengapresiasi atau menghormati keyakinan mereka.
Hal yang lebih spesifik tentang masalah toleransi dalam al-Qur’ān adalah
kandungan QS. al-Kāfirūn. Pada QS. al-Kāfirūn Muhammad Quraish Shihab
mengomentari bahwa seorang muslim dengan seorang nonmuslim memang
memiliki keyakinan yang berbeda kendatipun demikian mereka tidak boleh saling
mencemooh, menghardik atau menyalahkan keyakinan mereka karena itu akan
menyalahkan pemikiran mereka, bukan mempersatukan mereka tetapi akan
memperkeruh tali persaudaraan dan hal itu nanti akan berdampak pada munculnya
benih-benih permusuhan. Pada QS. al-Kāfirūn ini Muhammad Quraish Shihab
memimpikan tentang moderasi (wasaṭṭiyyah), karena moderasi itu merupakan
solusi untuk mempertemukan perbedaan yang seringkali kita selisihkan di
sebagian orang ataupun kelompok. Dan moderasi merupakan sikap atau mental
dari toleransi, namun peneliti tidak membahas tentang moderasi. Dalam surah al-
Kāfirūn ada beberapa kata yang menjadi fokus dalam menyikapi hidup yang
sangat kental dan berkaitan erat dengan toleransi, bagaimana Muhammad Quraish
Shihab memaknai toleransi yang tercermin dalam kandungan dan uraiannya
dalam surah al-Kāfirūn. Memaknai kata kafir maupun agama dalam surah
tersebut. Maka dari itu berdasarkan dari uraian tentang pentingnya manusia untuk
memiliki sikap yang toleran dan juga gagasan Muhammad Quraish Shihab akan
8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,
Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 78-79.
-
10
hal itu dalam karyanya, penulis tertarik untuk mengangkat tema pada penulisan
penelitian/skripsi ini dengan judul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6
dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.
B. Identifikasi Masalah
1. Masyarakat di Indonesia belum memahami toleransi dan pentingnya
toleransi dalam kehidupan beragama.
2. Pendidikan toleransi adalah cita-cita untuk semua agama agar
mempertemukan perbedaan.
3. QS. al-Kāfirūn menyatakan Lakum dīnukum waliyadīn, redaksi ayat ini
menunjukkan kebebasan kita untuk memeluk keyakinan. Akan tetapi di Indonesia
ada sebagian kelompok yang menyebutkan kebenaran hanya pada agama Islam.
4. Apakah Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu ulama tafsir
yang memahami tentang toleransi beragama?
C. Pembatasan Masalah
Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn dalam perspektif Muhammad Quraish
Shihab.
D. Rumusan Masalah
Bagaimana pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Toleransi dalam
QS. al-Kāfirūn?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui toleransi dalam QS. al-Kāfirūn pada pemikiran
Muhammad Quraish Shihab.
b. Untuk menganalisis toleransi yang terkandung dalam QS. al-Kāfirūn
dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ.
-
11
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi sumber penelitian lanjutan
mengenai toleransi dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab dikemudian
hari oleh peneliti selanjutnya dan dapat digunakan dalam pengembangan
keilmuan tafsir al-Qur’ān khususnya dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ surah al-Kāfirūn.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan
secara ilmiah dan memberikan wawasan kepada masyarakat luas. Kemudian
nantinya hasil dari penelitian ini dapat dilaksanakan dalam praktik bertoleransi
kehidupan sehari-hari.
-
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi memiliki pengertian sebagai sifat
toleran atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,
membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,
kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi
bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau
penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal. 1
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia yang selanjutnya
berkembang dalam bahasa Inggris menjadi tolerance. Sedangkan, dalam bahasa
Arab istilah toleransi merujuk kepada kata tasāmuḥ atau tasahul yaitu yang berarti
to be indulgent, to tolerate, to overlook, forbearing, excuse, tolerant, lenient dan
merciful. Selanjutnya, kata tasāmuḥ merujuk kepada makna hilm dan tasahul yang
diartikan sebagai toleration, forbearance, mercy, indulgence, leniency, tolerance,
lenitt, clemency dan kindness. 2
Disamping kata toleransi, dalam percakapan sehari-hari digunakan pula kata
“tolerere” yang merupakan bahasa Belanda. Kata ini memiliki arti yaitu
membolehkan dan/atau membiarkan dengan pengertian lebih lanjut yaitu
membolehkan dan/atau membiarkan yang pada prinsipnya sesuatu yang tidak
perlu terjadi. Maka, dapat ditarik pemahaman bahwa toleransi mengandung suatu
konsesi. Dimana, konsesi merupakan pemberian yang didasari hanya pada
kebaikan hati nurani dan kemurahan, serta bukan didasari kepada semata hak yang
harus dipenuhi daripada pihak terkait. Sehingga, suatu hal yang jelas bahwa
toleransi itu ada dikarenakan adanya perbedaan dalam aspek prinsip, tanpa
meninggalkan prinsip pribadi dengan menghormati serta menghargai prinsip
1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, h. 1538 2 R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, (Bandung: Pustaka, 1993),
ix.
-
13
orang lain. Ini berarti toleransi tetap melihat pada batas-batas penerimaan sebuah
perbedaan tanpa mengabaikan atau meninggalkan pandangan diri sendiri.3
Istilah tasāmuḥ dalam Islam pada dasarnya tidak semata-mata selaras
maknanya dengan kata tolerance saja, namun tasāmuḥ juga mempunyai arti lain
yaitu memberi serta mengambil. Lebih lanjut, dapat ditarik pemahaman bahwa
Tasāmuḥ juga mengandung suatu harapan terhadap satu pihak untuk memberi dan
mengambil pada saat yang bersamaan. Selain itu, Tasāmuḥ terdiri dari tindakan
tindakan berupa penerimaan serta tuntutan dalam batasan tertentu. Dalam Islam,
subjek atau pelaku yang melakukan tasāmuḥ tersebut dinamakan sebagai
mutasamihin, yang mempunyai arti yaitu pemaaf, menawarkan, penerima dan
pemurah sebagai tuan rumah kepada tamunya. Dalam melakukan tasāmuḥ, orang
yang melakukan tindakan ini tidak sepantasnya menerima begitu saja tanpa
memikirkan dan mencerna akan suatu hal perihal atau keadaan yang
menyebabkan adanya penekanan atas batasan hak serta kewajiban orang tersebut
secara pribadi. Dengan kata lain, perilaku tasāmuḥ memiliki pengertian untuk
tidak saling melanggar batasan dalam beragama, terutama yang berkaitan erat
dengan batas-batas aqidah keimanan. Walaupun demikian, dalam banyak konteks
kata tasāmuḥ seringkali dikaitkan dan berhubungan dengan kata “toleransi”.
Sebenarnya, dalam ayat-ayat yang tertulis pada al-Qur‟ān kata tasāmuḥ ataupun
toleransi tidak ditemukan secara tersurat. Namun, al-Qur‟ān memberikan
gambaran terhadap toleransi secara konseptual dan eksplisit dengan segala
batasan-batasannya. Maka dari itu, bentuk dari implementasi sebagai rujukan
dalam menjalani kehidupan dapat diambil berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang
merupakan penjelasan tentang konsep toleransi.4 Sehingga, toleransi dalam
konteks ini memberikan ruang yang luas untuk berpikir akan pandangan-
pandangan baru terhadap pengertian toleransi yang dalam keselarasan dengan
kehidupan pada konsep kebutuhan yang didasari oleh al-Qur‟ān dan
interpretasinya sebagai sumber yang merupakan referensi dalam menjalani hidup.
3 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press,
2005), h. 13. 4 Adeng Muchtar Ghazali. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif Islam”.
Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016, h. 28.
-
14
Secara awam, toleransi seringkali distereotipkan atas sikap mengalah,
menahan diri, membolehkan, membiarkan ataupun sikap atas kesabaran, lapang
dada atas kelakuan, pandangan, keyakinan serta kebiasaan orang lain yang
bertentangan dan berbeda dengan personal diri pelaku toleransi itu sendiri.
Selanjutnya, toleransi yang utuh bukanlah sikap seseorang yang tidak perduli,
cenderung acuh, apatis dan cuek terhadap pandangan, perilaku dan sikap pihak
lain. Selain itu, toleransi juga bukanlah sikap mengalah akan prinsip pribadi
dalam rangka berkompromi atas permasalahan pokok yang melibatkan lain pihak.
Kemudian, ia bukan juga sikap yang merupakan pembenaran atas pandangan serta
tindakan pihak lain. Sejatinya toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai
kesetaraan harkat dan martabat manusia, penerimaan dan pengakuan atas
perbedaan yang disebabkan oleh luasnya cara berpikir dan adanya kebebasan
berpikir serta penerimaan adanya hati nurani masing-masing-masing secara
alamiah dengan keberagamannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor terkait.
Kesempurnaan perilaku atau tindakan dan sikap toleran adalah dengan hidup
didasari dengan kasih terhadap Tuhan, sesama dan lingkungan hidup serta alam.5
Toleransi terhadap semua aspek kehidupan tanpa pengecualian secara holistik di
dunia yang beranekaramnya dan saling terkait satu dengan yang lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah segala bentuk yang pada
akhirnya membentuk sikap-sikap positif berupa tenggang rasa, penghormatan,
perbedaan pandangan dalam kehidupan yang beragam, pemahaman, penghargaan
dan penghormatan dengan tidak langsung menyetujui atau melakukan pembiaran
terhadap suatu tingkah laku dikarenakan proses interaksi sistem dan lingkungan
terhadap diri pribadi ataupun sebaliknya dari diri ke sistemnya dengan tidak
meninggalkan batasan kewajiban, hak dan prinsip-prinsip personal.
5 J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk, Toleransi dalam Kehidupan Keluarga dan
Masyarakat, (Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan LDD- KAJ, Komisi PSE-
KWI, 2003), h. 41.
-
15
B. Macam-macam Toleransi
1. Toleransi Antar Sesama Agama
Dalam praktiknya agama berkaitan erat dengan toleransi, sehingga muncul
toleransi beragama yang memiliki arti sebagai toleransi dengan cakupan pada
permasalahan keyakinan diri pribadi manusia yang berkaitan dengan akidah atau
pula yang berkaitan dengan ke-Tuhanan yang ia yakini. Seorang individu harus
mendapatkan haknya untuk diberikan kebebasan dalam memeluk suatu agama
(memiliki akidah) serta menyakini masing-masing keyakinan ataupun agama yang
dipilihnya dengan menghormati pelaksanaan serta penganutan ajaran-ajaran yang
diyakininya tersebut. Maksud toleransi yang terkandung di dalamnya adalah agar
dibolehkan berkembangnya suatu sistem yang dapat menjamin personal, harta dan
benda serta aspek minoritas yang ditemukan dalam interaksi sosial budaya
bermasyarakat dengan tentunya adanya penghormatan terhadap moralitas lokal
yang terkait, agama secara general dan birokrasi terkait. Kandungan yang lain
juga adalah sebagai bentuk penghargaan pendapat lain dengan perbedaan Socio-
culture tanpa perselisihan yang didasari oleh perbedaan agama dan/atau keyakinan
itu. Selanjutnya, toleransi beragama berarti menyikapi segala sesuatu dengan
lapang dada sebagai bentuk penghormatan dan pembiaran pemeluk agama
masing-masing untuk beribadah menurut ajaran dan aturan agama yang mereka
anut serta yang mereka imani tanpa mengganggu serta memaksakan dari pihak
manapun termasuk keluarganya sendiri.6
Diketahui ada dua pola yang mendasari dari hubungan dalam beragama
yaitu adanya hubungan secara vertikal (ke atas) dan hubungan horizontal (ke
samping). Yang dimaksud dengan hubungan vertikal tersebut adalah hubungan
seorang hamba dengan Penciptanya secara langsung dan personal yang dilakukan
melalui tata cara ibadah yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama masing-
masing. Secara keseluruhan hubungan ini dilakukan secara personal. Meskipun
6 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama
dalam al-Qur‟ān (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel
2013, h. 17-18.
-
16
demikian, ada beberapa bagian dan tata cara yang diutamakan untuk bersama-
sama atau berjamaah yaitu shalat fardu di dalam agama Islam. Dalam hubungan
ini berlakulah toleransi beragama yang batasannya hanya pada lingkungan internal
suatu agama terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan horizontal
adalah hubungan seorang manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan ini tidak
ada hanya dibatasi pada internal suatu agama saja namun juga mencakup pihak
agama lain dalam bentuk kompromi dan kerjasama dalam penyelesaian
permasalahan umum dilingkungan sosial untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Dalam hubungan horizontal ini lah diberlakukan toleransi didalam pergaulan
kehidupan antar umat yang beragama.7
2. Toleransi Antar Umat Beragama
Pengahayatan tentang ajaran-ajaran setiap umat yang beragama merupakan
sumber bagi toleransi didalam pergaulan kehidupan antar umat tersebut. Said Agil
Al Munawar berpendapat bahwa toleransi itu dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu toleransi yang dinamis dan toleransi yang statis. Toleransi yang dinamis
diartikan Sebastian toleransi yang pro-aktif dalam upaya mewujudkan tujuan
kolektif antar umat beragama dan bukan yang bersumber literasi teoritis,
melainkan sebagai hasil introspeksi didasari persamaan umat dalam satu
kebangsaan. Sedangkan, toleransi yang statis memiliki sifat yang kaku dan
terkesan hanya sebagai rujukan dikarenakan bentukanya yang teoritis serta tidak
menimbulkan adanya dampak kerjasama antar umat.8
Berdasarkan pendapat Harun Nasution, ada lima hal yang diliputi oleh
toleransi yaitu 9 Upaya menganalisa terhadap kebenaran yang terdapat dalam lain
agama. Dalam artian bahwa kebenaran yang merupakan keyakinan ataupun iman
terdapat pula dalam agama lain. Ini akan mengarahkan umat beragama yang
beragam ini pada kebenaran yang relatif serta menunjukkan adanya pluralisme
agama-agama. Hal ini menunjukkan adanya suatu kepercayaan bahwa bila
7 Said Agil al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
14. 8 Ibid., h. 16. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān
(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel 2013, h. 18. 9 M.T Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiyas, 2009), h. 614.
-
17
kebenaran ada di agama-agama lain maka adanya membuat Tuhan yang mutlak
menjadi relatif. Sedangkan, pernyataan ini selaras dengan pernyataan John Hick
yang telah lama ia nyatakan melalui buku miliknya yang berjudul A Christian
Theology of Religions: The Rainbow of Faiths.10 Poin kedua, meminimalisir
adanya perbedaan-perbedaan pada agama yang beragam. Selanjutnya, pada poin
ketiga mengutamakan persamaan yang terdapat dalam agama yang beragam ini.
Walaupun demikian, yang terpenting bukanlah persamaan antar setiap agama
tersebut melainkan perbedaannya.
Pada poin keempat, menumbuhkan persaudaraan dengan konsep ketuhanan
yang esa. Selanjutnya poin kelima, menghindari agresi terhadap praktik beragama
masing-masing. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa Harun menelaah masa
kelam sekte di dalam agama Kristen pada zamannya. Dikarenakan secara historis
agama Islam tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap
agama-agama lainnya melainkan agama islam memberikan perlindungan untuk
agama Kristen dan Yahudi dengan toleransi yang berbatas tertentu. Kemudian, ini
dapat ditelusuri secara historis dalam masa kepemimpinan Rasulullah Nabi
Muhammad s.a.w serta Khulafā’ ar-Rasyidin.
Zuhairi Misrawi menyetujui pendapat Harun Nasution dalam pernyataannya
yang termaktub dalam bukunya yang berjudul al-Qur’ān Kitab Toleransi dimana
dia menyatakan bahwa dalam ruang lingkup antar-agama dan Intra-agama,
toleransi menjadi bagian yang terpenting.11
Selanjutnya, dia berpendapat bahwa
toleransi juga berarti sebagai usaha dalam pemahaman atas agama-agama lainnya
karena tidak dapat dipungkiri bahwa agama tersebut mempunyai ajaran yang
selaras dengan cinta-kasih, kedamaian dan toleransi.12
Selain daripada itu, dia
menyimpulkan bahwa pada dasarnya toleransi itu bersifat absolut dipraktikkan
oleh siapapun yang mempunyai akal pikiran, hati nurani serta keimanan.
Kemudian, gambaran akan toleransi haruslah direalisasikan dengan menggandeng
10
John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America: SCM,
1995), h. 23. 11
Zuhairi Misrawi, al-Qur’ān Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), h. 159. 12
Ibid.
-
18
tokoh agama ataupun ulama dengan keutamaaan pembangunan toleransi antar
beragama tersebut.
Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan
dunia Barat terhadap toleransi yang memiliki arti sebagai sikap dan perilaku
membendung perasaan tanpa perlawanan sedikitpun, dalam keadaaan benar
maupun salah dengan cakupan yang tak terbatas serta termasuk di dalamnya
toleransi beragama. Hal ini menggambarkan bahwa pluralisme dalam beragama
mempengaruhi istilah toleransi di dalam pemahaman dunia Barat. Dimana
pemahaman ini menjadikan adanya peleburan antar keyakinan antar umat yang
beragama. Dualisme salah dan benar pun menjadi kabur sehingga nyaris tiada.
Pada akhirnya, setiap umat yang beragama pun meyakini dengan tegas atas
kebenaran yang relatif dalam agama-agama yang lain daripada kebenaran yang
absolut. Maka dapat diibaratkan beragama itu seakan-akan seperti menggunakan
pakaian yang dapat diganti sewaktu-waktu.
Maka dapat diambil pemahaman bahwa toleransi antar umat yang beragama
adalah sikap ataupun perilaku seorang individu sebagai umat beragama yang
memiliki keimanan ataupun keyakinan untuk menghargai serta menghormati
individu yang beragama lainnya. Hal ini berkaitan juga dengan sila pertama dalam
Pancasila yang bersifat tegas dan cenderung absolut mengenai ketakwaan
terhadap Tuhan menurut kepercayaan dan agama sendiri. Pada dasarnya, setiap
agama menghormati dan menghargai setiap manusia maka dari itu umat yang
beragama pun harus juga untuk menghargai sesama umat beragama. Maka dari itu
kerukunan dalam kehidupan pun dapat terjalin antar umat yang beragama tersebut.
C. Wilayah Toleransi
1. Akidah
Akidah jika dipandang dari sudut pandang arti bahasa yang sebenarnya
memiliki akidah memiliki arti dari sebuah akar kata ‘aqada-ya’qidu-’aqan-
‘aqidatan kemudian dengan akar kata itu timbullah pemaknaan yang berarti
simpul, ikatan, perjanjuan dan kokoh. Lalu selanjutnya akar kata dari ‘aqada-
ya’qidu-’aqan-‘aqidatan berbentuk menjadi kata ‘aqidah maka dalam hal ini
-
19
bermakna keyakinan. Hubungan ataupun kaitannya dalam padanan kata tersebut
yakni dalam kata „aqdan dan dalam kata „aqdan adalah bermakna keyakinan yang
tersimpul dalam hati yang kokoh. Kemudian beberapa definisi dari makna akidah
itu sendiri dalam arti dari sudut pandang istilah yang dikutip oleh Yunahar Ilyas
adalah sebagai berikut:13
1) Menurut pandangan dari Hassan al-Banna
‘Aqa’id14
(bentuk jamak dalam kata aqidah) memiliki arti segala perkara
yang mendatangkan ketentraman dalam jiwa dan kebenarannya berada dalam hati
yang tidak dapat tercampur dengan sesuatu yang samar tanpa adanya keraguan
sedikitpun yang timbul serta wajib diyakini kebenarannya.
2) Menurut pandangan dari Abud Bakar Jabir al-Jazairy
Aqidah merupakan beberapa kebenaran yang bisa diterima dengan atas
dasar pijakan akal (rasio), wahyu maupun fitrah manusia. Sehingga hal tersebut
melekat erat dalam hati manusia baik dari segi kebenaran secara keberadaannya
(pasti) tanpa ada kontradiksi dengan kebenarannya itu dan diyakini dengan
sebenar-benarnya.
Dari pengertian kedua ahli tersebut mengenai akidah maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa akidah atau keimanan merupakan keyakinan yang timbul dari
hati yang terdalam dan keyakinan itu terhubung pada Allah SWT. yang bersumber
dari wahyu serta akal pikir (rasio manusia) sehingga dengan keyakinan itu
mengukuhkan kebenaran yang ada dalam diri seseorang dan menolak segala
sesuatu yang bertentangan.
13
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2013), h. 1. Lihat Abqori Hisan
“Nilai-nilai Pendidikan Akidah Akhlak Yang Terkandung Dalam QS. al-Ankabut Ayat 8-11”
Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. h. 15. 14
‘aqa’id, suatu keyakinan atau kepercayaan yang menetapkan bahwa Allah s.w.t itu Esa,
Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan segala isinya, dan Dia yang wajib disembah, tempat
meminta pertolongan. Lawan Tauhid adalah syirik (mempersekutukan Tuhan) atau Mulhid (tidak
mengakui adanya Tuhan). yang membahas tentang akidah umat Islam, berhubungan dengan:
masalah ketuhanan, kenabian dan hal-hal yang gaib, seperti Qadha dan Qadar, Hari Kiamat,
Surga, Neraka dsb. dan membahasnya secara dalil-dalil naqliyah (dinukil dari al-Qur‟ān atau
Hadis) dan aqliyah (sesuai dengan jalan pikiran manusia). Shodiq Shalahuddin Chaery, Kamus
Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1983), Cet. I. h. 35
-
20
2. Syariah
Menurut Moh. Ali Aziz Syari'ah meliputi dua aspek pesan dakwah yaitu
ibadah dan muamalah.
1) Ibadah
Pelaksanaan kewajiban azasi manusia sebagai hamba Allah terhadap Allah
atau semua bentuk perbuatan penghambaan diri manusia kepada Allah. Jadi
ibadah tersebut menyangkut ibadah meliputi tata cara shalat, zakat, puasa, haji dan
ibadah-ibadah lainnya.
2) Muamalah
Muhammad Yusuf berpendapat bahwa muamalah adalah segala peraturan
yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
hidup dan kehidupan.15
Jadi muamalah merupakan susunan aturan yang tersusun secara rinci dari
Allah s.w.t yang berkaitan dengan urusan dunia dalam hubungannya secara sosial.
Maka syari‟ah dapat disimpulkan sebagai tatacara untuk seorang hamba
berinteraksi dengan Allah s.w.t sebagai pencipta, serta tatacara untuk berinteraksi
dengan sesama hamba.
3. Akhlak
Masalah akhlak adalah etika dalam mengatur masalah keimanan dan
kelslaman seorang Muslim. Akhlak atau moral merupakan pendidikan jiwa agar
jiwa seseorang dapat bersih dari sifat-sifat yang tercela dan dihiasi dengan sifat-
sifat terpuji, seperti rasa persaudaraan dan saling tolong menolong antar sesama
manusia, sabar, tabah, belas kasih, pemurah, dan sifat-sifat terpuji lainnya.16
“Aspek akhlak dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan etika, moral, budi
pekerti dan lain-lain. Namun demikian, sesungguhnya konsep akhlak memiliki
dimensi yang lebih luas daripada konsep etika, moral, atau budi pekerti. Sebab
15
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muama/ah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h 2. Lihat
Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku Menabur Pesan Ilahi”
Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.18. 16
Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1999),
Cet. Ke-1, h. 11-13. Lihat Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku
Menabur Pesan Ilahi” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.19.
-
21
konsepsi akhlak tidak hanya rnencakup hubungan manusia dengan flora dan
fauna, serta hubungan rnanusia dengan alarn lingkungannya. Sedangkan
hubungan manusia dengan al-Khalik sering disebut ihsan.”17
Menurut Abudin Nata, “Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim
mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang berarti al-
sajiyah (perangai), aṭ-ṭab’ah (kelakuan, tabi‟at, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan ad-dīn (agama).”18
Sedangkan, pengertian akhlak menurut Abuddin Nata secara istilah dapat
disimpulkan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang dan menjadi
identitasnya. Selain itu akhlak dapat pula diartikan sebagai sifat yang telah
dibiasakan, ditabiatkan, didarahdagingkan, sehingga menjadi kebiasaan dan
mudah dilaksanakan, dapat dilihat indikatornya, dan dapat dirasakan
manfaatnya.19
Menurut istilah etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu,
akhlāqun yang bentuk jamaknya adalah khāliqun ini mengandung arti “budi
pekerti, tingkah laku, perangai dan tabiat”. Kata akhlak ini berakar dari kata
khāliqun, yang artinya menciptakan. Kata akhlak merupakan satu akar kata
dengan khāliqun (pencipta), makhlūqun (yang diciptakan) dan khāliqun
(penciptaan). Di sini memberi makna bahwa antara kehendak Allah sebagai
khāliqun dan perlakuan seorang makhlūqun perlu adanya sebuah keterpaduan.
Manusia harus menjalani kehidupan ini sebagaimana diinginkan oleh Allah
(khaliq), segala perilaku, tindak tanduk, budi pekerti, tabiat manusia harus sesuai
dengan apa yang disukai Allah. Jika tidak sesuai dengan perintah Allah itu berarti
manusia menunjukkan kecongkakan, kesombongan, dan melawan kehendak
Pencipta. Kita manusia adalah makhluk yang dhaif sekali di hadapan Yang Maha
Kuasa, oleh karena itu eloklah kita menjadi manusia yang taat dan patuh kepada
segala ketentuan-Nya termasuklah dalam menjalankan akhlak sehari-hari dalam
17
Irfan Hielmy, Dakwah Bil Hikmah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 90. 18
Abudi Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), h. 1. Lihat Hermawati Rosidi “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Akhlak Lil Banin Jilid
I”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 21. 19
Ibid., h. 208.
-
22
kehidupan ini. Dalam Lisan al-Arab, makna akhlak adalah perilaku seseorang
yang sudah menjadi kebiasaannya, dan kebiasaan atau tabiat tersebut selalu
terjelma dalam perbuatannya secara lahir. Pada umumnya sifat atau perbuatan
yang lahir tersebut akan mempengaruhi batin seseorang. Akhlak juga dapat
dipahami sebagai prinsip dan landasan atau metode yang ditentukan oleh wahyu
untuk mengatur seluruh perilaku atau hubungan antara seseorang dengan orang
lain sehingga tujuan kewujudannya di dunia dapat dicapai dengan sempurna.20
Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang berlandaskan konsep
daripada interaksi habluminannas dan habluminallah untuk menyeimbangkan
kehendak Allah s.w.t dan kehendak hamba-Nya agar tercapai kesempurnaan
dalam menyikapi kehidupan.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian mengenai tentang toleransi bukan suatu hal yang baru,
sehingga penulis belum menemukan secara komperhensif dan detail tentang
toleransi dalam QS. al-Kāfirūn menutut perspektif atau pemikiran dari
Muhammad Quraish Shihab, terlebih lagi dari berbagai sumber beliau secara
verbal maupun non-verbal. Pada penelitian yang diteliti oleh peneliti lain didapati
beberapa poin yang dapat dilihat dengan jelas, dimulai dengan penglihatan secara
langsung pada judul terkait, mengenai wilayah maupun konsep toleransi
antarumat beragama yang kajiannya tentu dalam ayat-ayat toleransi al-Qur‟ān di
kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Kemudian penelitian lain juga mengkomparasikan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab yang berkaitan dengan tafsir al-Kāfirūn
dengan pemikiran atau pandangan dari mufassir Indonesia yang lain dan lain
sebagainya. Tetapi dalam penelitian ini kalimat beragama atau komparasi
terhadap para mufassir lain, baik di dalam negeri maupun dinusantara penulis
tiadakan, mengingat toleransi yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam
20
Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), h. 6. Lihat Gustin Ambarsih “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Untuk Peserta
Didik Menurut M. Quraish Shihab Dalam Buku Yang Hilang Dari Kita: Akhlak”, Skripsi pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 18.
-
23
bahasan toleransi secara murni dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Untuk
itu perlu penulis paparkan beberapa penelitian yang relevan agar tidak ada
pengulangan judul maupun pembahasan yang sama berdasarkan kajian penelitian
yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini. Berikut ini adalah penelitian yang
relevan dari peneliti sebelumnya mengenai ruanglingkup toleransi maupun QS. al-
Kāfirūn:
1. Skripsi dengan judul “Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān (Telaah Atas
Tafsir Surah al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya dari Muḥammad Ahmadi. Skripsi atau
penelitian ini membahas tentang bagaimana Toleransi beragama dalam surah al-
Kāfirūn dengan menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif yang hasil
dari penelitian tersebut bahwa toleransi antarumat beragama adalah sebuah
keniscayaan, sehingga semua umat manusia khususnya umat Islam yang
mengikuti al-Qur‟ān dan Sunnah menjadi tuntunan dalam menyikapi kehidupan
sesuai 2 pokok ajaran Islam itu sendiri. Tafsir al-Kāfirūn menjadi salah satu tafsir
atau surah dalam al-Qur‟ān yang menjelaskan mengenai larangan terhadap
interaksi maupun kerjasama dalam hal ibadah dan muamalah dengan agama lain.
Sehingga berkompromi dalam hal bentuk ritual kegamaan pun dalam hasil
penelitian tersebut tidak diperbolehkan, namun terciptanya kerukunan dalam
hubungan antarumat beragama harus terjaga dengan sikap toleran yang harmonis.
2. Skripsi dengan judul “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān
(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya M. Nahdi Fahmi. Skripsi ini
membahas tentang bagaimana konsep toleransi antar umat beragama dalam
ruanglingkup kajian telaah pendidikan dan interaksi sosial lainnya. Hasil dari
penelitian M. Nahdi Fahmi ini bahwa toleransi beragama terdapat batasan-batasan
dalam menyikapi perbedaan. Islam memberi ruang untuk tegas dalam menyikapi
perbedaan dengan sikap toleransi berupa sikap baraa‟/penolakan secara
menyeluruh terhadap semua bentuk kesyirikan di wilayah akidah dan ritual
ibadah/hukum. Antar umat beragama tidak dibenarkan ikut mencapuri urusan-
urusan khusus agama lain dalam surah al-Kāfirūn berdasarkan pijakan tafsiran
para mufassir.
-
24
3. Skripsi dengan judul “Pendidikan Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān”
karya Yasin Hakim. Skripsi ini membahas tentang konsep pendidikan toleransi
beragama dalam al-Qur‟ān dengan menggunakan metode penelitian analisis tafsir
taḥlīly berdasarkan hasil dari analisa penilitian ini berupa tafsir al-Qur‟ān 4 surah,
yakni QS. al-Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8,
dan QS. al-Kāfirūn (109): 6. Hasil dari penelitian Yasin Hakim ini bahwa konsep
pada pendidikan toleransi beragama yang termuat dalam al-Qur‟ān yakni QS. al-
Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8, dan QS. al-
Kāfirūn (109): 6 adalah menghormati kebebasan dalam beragama dalam
perbedaan keyakinan yang diimplementasikan pada sikap pembiasaan di
lingkungan sekolah dengan memberikan izin dalam hal berdoa sesuai dengan
ajaran agamanya masing-masing, saling mengingatkan dalam bentuk peribadatan
sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, ikut serta dalam hal empati yakni
baik ikut bahagia maupun dalam keadaan duka dan saling memberikan hadiah.
Kemudian pendidikan toleransi dari segi sikap keadilan meliputi: memberikan hak
kepada orang yang harusnya menerimanya, memberikan hak sesuai dengan
hukum, dan kewajiban memberi hasil yang sudah menjadi bagian dst.
Dari ketiga penelitian yang penulis dapatkan diatas merupakan hasil
penelitian yang relevan sebagai acuan dari pada penelitian yang penulis kerjakan
memiliki persamaan dalam ruanglingkup toleransi, terutama dalam keseluruhan
surah/ayat al-Kāfirūn. Perbedaannya dalam penelitian ini adalah dari segi metode
penelitian dan objek penelitian. Penelitian yang penulis teliti pada kesempatan ini
menggunakan metode penafsiran tokoh dan hanya terpusat pada sudut pandang
atau perspektif Muhammad Quraish Shihab dan pengkajiaanya pada penafsiran
beliau pada surah Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Sehingga objek pada penelitian ini
hanya pada toleransi dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ secara murni dan
diperkuat dengan sumber dari karya beliau yang relevan.
-
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Toleransi dalam
QS. al-Kāfirūn ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.
Dalam penelitian ini, penulis meneliti tentang tafsiran Muhammad Quraish Shihab
pada surah al-Kāfirūn sudah tentu di dalam kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ, kemudian apa
saja tema utama di dalam tafsir surah tersebut hingga peneliti mendapatkan
deskripsi dari hasil analisis. Adapun mengenai waktu penelitian yang dilakukan
oleh penulis dalam skripsi ini selama 6 bulan, terhitung dari bulan Januari 2020
sampai dengan bulan Juli 2020 bertempat diberbagai perpustakaan, baik di
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di Pusat Studi Qur’ān
Lentera Hati Ciputat.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh
(berupa kata-kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan
atau angka melainkan dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi
pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif.1
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualtitatif
yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari
jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tokoh yakni Muhammad Quraish Shihab dengan
pendekatan analisis konten.
1 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 39.
-
26
2. Sumber Data Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan data primer berupa kitab Tafsīr al-
Miṣbāḥ tentang surah al-Kāfirūn. Kemudian pada data sekundernya menggunakan
buku-buku yang relevan, buku karya Muḥammad Quraish yang lainnya, lalu pada
redaksi pandangan ulama lainnya mengenai tafsir surah al-Kāfirūn dan juga
menggunakan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan toleransi.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan
data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan bantuan bermacam-
macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.2
Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis telah melakukan pengkajian
literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dengan
mengumpulkan bahan-bahan bacaan baik pada buku primer maupun sekunder.
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah peneliti mendapatkan data-data yang sudah dikumpulkan, peneliti
menelaah, membaca dan meneliti data-data yang relevan yang menunjang dan
mendukung pembahasan dalam penelitian ini yang kemudian pada tahap
selanjutnya peneliti memberikan kesimpulan pada pembahasan dengan deskripsi
yang utuh.
2 Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.
60-61.
-
27
D. Analisis Data
Cresswel3 mengatakan bahwa prosedur penelitian kualitatif memiliki ciri-
ciri induktif dalam menganalisis datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh
pada dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Oleh sebab itu,
logika yang harus terus diikuti oleh peneliti adalah induktif.
Ada beberapa tahapan dalam analisis data pada skripsi ini: 1. Pengumpulan
data terkait yang sesuai dengan judul. 2. Pemilahan data untuk memudahkan
analisis data, dalam skripsi ini berdasarkan 2 tema, tema kafir dan agama (dīn). 3.
Membaca data secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai
alat koding. 4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,
penulis membaginya menjadi dua, tentang kafir dan dīn dalam surah al-Kāfirūn.
Kemudian dirinci lagi yang kemudian interrelasi hasil koding untuk mendapatkan
deskripsi.
3 Dalam buku Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan Mushaf al-
Qur’ān di Indonesia. (Eva Nugraha mengutip pernyataan dari Jhon W. Creswl, Research Design:
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.) Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu
Ushuluddim (hipius), 2019. h. 33.
-
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA. Lahir pada tanggal 16 Februari
1944, di daerah Rappang Sulawesi Selatan. Ia adalah keturunan bangsa Arab yang
terpelajar. Bapaknya bernama Abdurrahman Shihab (1905 M-1986) berprofesi
sebagai ulama tafsir dan merupakan seorang guru besar di IAIN Alauddin di kota
ujung Pandang dalam bidang tafsir. Pekerjaan sampingan beliau pada usia muda
adalah wirawisatawan. Selain itu, beliau juga aktif berdakwah dan mengajar di
masa mudanya tersebut. Namun demikian, kebiasaan beliau untuk membaca al-
Qur‟ān serta kitab-kitab tafsir pada pagi dan petang selalu dilakukannya.1
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya (SD) di kota Ujung
Pandang. Kemudian, dia melanjutkan sekolah menengah pertamanya (SMP) di
Kota Malang, Jawa Timur sembari memperdalam agama di Pesantren bernama
Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah. Ketika dia berumur 14 tahun tepatnya pada tahun
1958, Quraish Shihab berangkat ke kota Kairo, di Mesir. Dimana, dia melanjutkan
pendidikannya di al-Azhar didalam Tsanawiyah, saat kelas II. Selanjutnya, ia
bersekolah pada fakultas Ushuluddin diterima dalam jurusan tafsir dan hadits di
Universitas al-Azhar, Mesir. Dia lantas menyelesaikan studinya pada tahun 1967
hingga LC dan melanjutkan perkuliahan pada jurusan yang sama. Kemudian,
beliau menyelesaikan tesisnya pada tahun 1969 yang berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iy
li al- Qurānul-Karim dan meraih gelar M.A.2
Bapaknya yang pada saat itu menjabat sebagai rektor di UIN Alauddin
Makassar, meminta bantuan kepada Quraish Shihab untuk mengelola sektor
pendidikan di universitas itu, di tahun 1973. Ia pun menjabat sebagai wakil rektor
dalam bidang kemahasiswaan dan akademis sampai pada tahun 1980. Selama
durasi dia menjabat sebagai wakil rektor tersebut, ia sering diminta untuk
menggantikan ayahnya dalam pertemuan-pertemuan dan tugas utama tertentu
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 1994), h. 14. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 6.
-
29
dikarenakan faktor usia. Selanjutnya, ia menjabat sebagai koordinator Perguruan
Tinggi Swasta pada koordinator Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia Timur
yang melingkupi bidang pembinaan mental serta jabatan lainnya yang di luar dari
kampus itu. Dengan semua kesibukan tersebut beliau telah dapat menyelesaikan
tugas-tugas penelitiannya yaitu Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978) serta
Penerapan kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975).3
Kemudian, di tahun 1980 Quraish Shihab melanjutkan studinya kembali ke
Kairo di Universitas al-Azhar dan pada tahun 1982 beliau meraih gelar Doktor
Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟ān serta dapat meraih Summa cum
Laude (nilai paling tinggi) dan Mumtaz ma’a martabat al-ataraf al-ula
(penghargaan atas peringkat pertama) melalui tesis beliau yang dengan judul
“Nazham al-Durar li al-Baqa’i:’Tahqiq wa Dirasah”. Atas pencapaian-
pencapaiannya ini, Ia pun dinobatkan sebagai orang Asia Tenggara pertama yang
bergelar Doktor Falsafah didalam ilmu-ilmu al-Qur‟ān dari Universitas al-Azhar,
di negara Mesir.4
Quraish Shihab dipindah tugaskan dari IAIN yang berada di Ujung Pandang
ke IAIN yang berada di Jakarta pada fakultas yang sama yaitu Fakultas
Ushuluddin pada tahun 1984. Pada masa karier inilah dia aktif mengajar dalam
program S1 sampai dengan S3 sampai dengan tabun 1998 dalam bidang Ulumul
Quran dan Tafsir. Selain tugas utama sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai
rektor dari IAIN Jakarta dalam dua periode (1992-1996 dan 1997-1998).
Kemudian, pada awal tahun 1998 dalam dua bulan pertama ia menjabat sebagai
Menteri Agama. Pada akhirnya dia diberi pangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa
serta Berkuasa Utuh Republik Indonesia yang diperuntukkan untuk Negara Mesir
dan merangkap juga Republik Djibauti yang juga berkedudukan di ibukota Kairo.5
Masyarakat menyambut hangat dan kehadiran Quraish Shihab di Jakarta
dengan suasana baru yang ia bawa. Ini ditunjukkan melalui karyanya yang
3 Amirullah Kandu, Ensiklopedia Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 669.
4 Afrizal Nur, “M.Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin, Vol.
XVIII No. 1, Januari 2012), h. 23. 5 Jaka Perdana, “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-
Qur‟ān,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2015, h. 38.
-
30
diterapkan di masyarakat luas. Selain mengajar sebagai dosen, ia juga telah
menapaki karier dan memiliki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) semenjak tahun 1984 di daerah pusat, ia juga seorang anggota dari Lajnah
Pentashih al-Qur‟ān di Departemen Agama dari tahun 1989. Keterlibatannya
dalam organisasi keprofesionalan seperti Ikatan cendikiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) pada awal pembentukannya serta menjadi Asisten Ketua Umumnya
menambah daftar aktivitas karier Quraish Shihab. Ia juga merupakan pengurus
dalam Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, serta dalam Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan memiliki jabatan sebagai pengurus konsorsium dari
Ilmu-Ilmu agama.6 Ia juga selaku Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesian
Journal for Islamic Studies Ulumul Qur’ān, Mimbar Ulama dan Refleksi Jurnal
dalam Kajian Filsafat dan Agama dengan semua penerbitan daftar aktivitasnya ini
berada di ibukota Jakarta.7
Di samping kegiatan tersebut, M. Quraish Shihab juga dikenal sebagai
peneliti dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan
yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal, serta ditopang oleh
kemampuannya dalam menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang
sederhana, lugas, rasional8 dan kecendrungan pemikiran yang moderat, ia tampil
sebagai penceramah dan peneliti yang bisa diterima oleh semua lapisan
masyarakat.9
6 Haward M. Federspiel, Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, cet. I, (Mizan: Bandung, 1996), h. 295-299. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h.7. 8 Abuddin Nata, Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 364. 9 Muhalli Fikri, “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur‟ān Surat Al-Kafirun (Studi
Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al- Mishbah),” Skripsi pada UIN Mataram, Mataram
2019, h. 51.
-
31
A. Surah al-Kafirun
1. Ayat dan Terjemahannya
(1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”
(2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
(3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,