tokoh syurkati

28
SYAIKH AHMAD SYURKATI GURU DARI TOKOH DA’WAH NUSANTARA (1874 – 1943) Oleh: Abdul Kadir Pentingnya mengangkat Rijâl al-Da'wah dalam kajian-kajian da'wah sangat dirasakan besar manfaatnya. Selain menjadi sumber rujukan permasalahan-permasalahan keagamaan, mereka juga memberikan inspirasi untuk berbuat lebih dari apa yang pernah dihasilkan. Salah satu tokoh yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah seorang Master of Da'wah yang menjadi guru dari sejumlah tokoh-tokoh pergerakan Islam, baik di bidang pendidikan maupun politik semisal A. Hasan, M. Natsir, Hamka dan lain-lain. Dialah Syaikh Ahmad Surkati, seorang da'i brilian yang mendobrak faham keagamaan kultur bercampur syari'ah, baik yang dianut oleh orang- orang setanah air denganya (Arab) maupun non-Arab. Kajian berikut ini mengajak kita untuk mengenal lebih jauh sepak terjangnya. Kata kunci: tajdid, pemurnian, hadrami, fatwa Pendahuluan Dalam kajian sejarah pembaharuan dan pemurnian Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa, nama Syaikh Ahmad Surkati (1874-1943) seringkali disebut sebagai salah satu tokoh pencetusnya. Kadangkala namanya sering ditulis dengan Syaikh Ahmad Soorkatti as-Sudani al-Anshari memakai huruf vokal ‘o’, dan terkadang pula orang hanya menyebut dengan nama Ahmad Surkati saja. Ulama yang lahir di Sudan ini banyak belajar dari ulama-ulama yang tinggal Mekah dan Madinah, yang perjalanan hidupnya di

Transcript of tokoh syurkati

Page 1: tokoh syurkati

SYAIKH AHMAD SYURKATI GURU DARI TOKOH DA’WAH NUSANTARA

(1874 – 1943)Oleh: Abdul Kadir

Pentingnya mengangkat Rijâl al-Da'wah dalam kajian-kajian da'wah sangat dirasakan besar manfaatnya. Selain menjadi sumber rujukan permasalahan-permasalahan keagamaan, mereka juga memberikan

inspirasi untuk berbuat lebih dari apa yang pernah dihasilkan. Salah satu tokoh yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah seorang Master of

Da'wah yang menjadi guru dari sejumlah tokoh-tokoh pergerakan Islam, baik di bidang pendidikan maupun politik semisal A. Hasan, M. Natsir,

Hamka dan lain-lain. Dialah Syaikh Ahmad Surkati, seorang da'i brilian yang mendobrak faham keagamaan kultur bercampur syari'ah, baik yang dianut oleh orang-orang setanah air denganya (Arab) maupun non-Arab.

Kajian berikut ini mengajak kita untuk mengenal lebih jauh sepak terjangnya.

Kata kunci: tajdid, pemurnian, hadrami, fatwa

PendahuluanDalam kajian sejarah pembaharuan dan pemurnian Islam di Indonesia

khususnya pulau Jawa, nama Syaikh Ahmad Surkati (1874-1943) seringkali disebut sebagai salah satu tokoh pencetusnya. Kadangkala namanya sering ditulis dengan Syaikh Ahmad Soorkatti as-Sudani al-Anshari memakai huruf vokal ‘o’, dan terkadang pula orang hanya menyebut dengan nama Ahmad Surkati saja. Ulama yang lahir di Sudan ini banyak belajar dari ulama-ulama yang tinggal Mekah dan Madinah, yang perjalanan hidupnya di kemudian hari hijrah dan menetap Indonesia hingga wafatnya.

Selain Syaikh Ahmad Surkati ada dua tokoh lagi yang kerap disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu dan pemurnian Islam di Indonesia, dua tokoh itu adalah Ustadz Ahmad Hassan (1887-1958) dan Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923). Syaikh Ahmad Surkati adalah pendiri Al-Irsyad, sedangkan KH. Ahmad Dahlan juga pendiri Muhammadiyah dan Ustadz A. Hassan adalah guru besar Persatuan Islam (Persis). Bahkan, L. Stoddard menyebut tiga tokoh itu berdasarkan ajaran-ajaran salaf atau reform.1

1 ?L. Stoddard, Dunia Baru Islam, 1966, hal 306.

Page 2: tokoh syurkati

Dari ketiga tokoh pembaharu ini banyak muncul murid-murid cerdas yang kemudian hari banyak memberikan kontribusi positif pada sejarah bangsa ini. Selain itu juga, mereka mempunyai pengaruh kuat dalam melanjutkan ide-ide pembaharuan guru-gurunya itu. Sebutlah misalnya, Mohammad Natsir2 adalah salah satu murid ustadz Ahmad Hassan, selain itu ustadz Abdurrahman, Isa Anshari, H. Qamaruddin Saleh dan yang lainnya. Dari tangan Ahmad Surkati lahir murid-murid yang brilian, baik keturunan Arab atau pun pribumi. Salah satunya adalah H.M. Rasyidi, Abdullah Badjerei, Umar Hubeis, Yunis Anis, TM. Hasby As-Shiddieqy, Kahar Muzakkir, Abdurrahman Baswedan dan lainnya.

Ketiga tokoh ini menurut istilah Moh. Natsir adalah trio reformer Islam di tanah Jawa.3 B. J. Boland menyebut dengan istilah perintis gerakan reformis Jawa.4 Ada juga yang menyebut dengan istilah tiga A. Disebut dengan istilah tiga A karena masing-masing dari ketiga nama itu dimulai dari hurup A, yang berarti Ahmad. Tiga tokoh ini hidup se-zaman dan ketiganya seringkali bertemu. Bahkan, Deliar Noer menyebutkan bahwa Ahmad Surkati dan A. Hassan mempunyai hubungan yang amat dekat.

‘… Hubungan dengan Syaikh Ahmad Soorkati amat rapat. Hassan menganggap Syaikh Ahmad Soorkati adalah gurunya yang membuka banyak persoalan bila sedang berkata-kata. Terutama oleh seringnya Hassan pergi balik ke Jakarta maka hubungan dengan Syaikh Ahmad Soorkati memang rapat”.5

Bahkan, A. Hassan banyak mendapat pengaruh yang cukup besar dari Ahmad Surkati baik dari pengajian yang diadakan ataupun dari tulisan-tulisannya. Seperti ketika di Surabaya, A. Hassan sering menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Surkati.6

Sekitar tahun 1914-1915, A. Hassan mendapat buku ‘Kafa’ah” tulisan Ahmad Surkati yang mengeluarkan fatwa bahwa non sayyid dengan syarifah boleh kawin tanpa memandang golongan dan derajat.7

Begitu juga Surkati dengan Ahmad Dahlan, pada awalnya mereka tidak saling mengenal sampai pada suatu ketika keduanya duduk saling berhadapan tanpa saling mengenal dalam kereta api yang sama pada awal abad ke-20. Untuk mengisi waktu, Ahmad Dahlan membaca satu jilid Tafsir al-Manâr karya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935). Keadaan itu

2 ?Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara, 1980, hal 563 ?Ibid., hal 10.4 ?B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal 222.5 ?Tamar Djaja, Ibid, hal 119.6 ?Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1994, hal 21.7 ?Ibid., hal 20.

Page 3: tokoh syurkati

menarik perhatian dan minat Surkati yang tidak terbayangkan akan sebuah bacaan asli semacam karya ilmiah seperti itu. Mereka kemudian terlibat dalam pembincangan dan masing-masing berjanji akan menyebarluaskan ide-idenya dalam komunitas masing-masing.8 Abdullah Badjerei, salah seorang murid Ahmad Surkati menyebutkan bahwa pertemuan itu terjadi pada tahun 1912, yaitu dalam kereta api dari Jakarta ke Jogyakarta.9 Bahkan di akhir-akhir hidupnya, Ahmad Surkati menulis sebuah syair, dalam salah satu bait syairnya itu terukir pula nama sahabatnya KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang diberinya julukan sebagai Waliyyullah.10

Namun, terkadang pandangan sarjana-sarjana Barat menyebut Surkati atau A. Hassan dengan istilah yang tidak tepat. Seperti Howard M. Federspiel menyebut Surkati sebagai pendukung awal pemikiran fundamentalis Islam.11 Juga, sarjana muslim pun terkadang menyebut dengan istilah pemikir radikal, ajaran Wahabi dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu jelas adalah tidak tepat dan salah alamat.

Bila kita lihat secara runut, tokoh-tokoh pembaharu bangsa ini banyak sekali terilhami dari tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan gurunya Syaikh Muhamamad Abduh. Oleh karenanya bila ditilik dari sejarah Islam Indonesia, ketiga tokoh pembaharu ini tidak dapat dipisahkan dalam literatur sejarah pembaharuan dan pemurnian Islam di Indonesia. Mereka berjasa dalam memberikan ide-ide pencerahan dan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini hanya mengkhususkan kajian dan kiprah Syaikh Ahmad Surkati dalam mengadakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

Gambaran Masyarakat Arab di IndonesiaUntuk memperjelas dan mempertajam bahasan, kita akan bahas

sekilas peran dan kedudukan orang-orang Arab di Indonesia12. Hampir

8 ?Abdurrahman Mas’ud, Ph. D., Dari Haramain ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada, 2006, hal 869 ?Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah Bertanya Surkati Menjawab, Salatiga: 1985, hal 710 ?H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama, 1996, hal 6711 ?Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Jogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, hal 15-1612 ?Untuk kajian tentang kiprah dan perjuangan Orang-orang Arab di Indonesia amatlah banyak diantaranya bisa dilihat dalam karya Mr. Hamid al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab, Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia, dan lain-lain, selain juga bukunya Prof. Deliar Noer. Menurut Karel A. Steenbrink Seorang Sarjana Thelogi Kristen, bahwa studi yang paling luas tentang orang Arab di Indonesia dilakukan oleh L.W.C. Van den Berg, ahli hukum dan bahasa Arab yang lahir pada tahun 1845, diterbitkan di Batavia 1886 dalam bahasa Perancis, yang pada zaman itu dianggap sebagai

Page 4: tokoh syurkati

semua orang yang berasal dari dunia Arab dan tinggal di Indonesia berasal dari Hardramaut, Yaman. Hanya sebagian kecil datang dari Arab lain.13

Walau demikian, Prof. Deliar Noer mengungkapkan, bahwa kedudukan orang-orang Arab pada masa itu, tidak dapat disamakan dengan kedudukan orang-orang asing lain, seperti orang Cina dan orang-orang Eropa, yang pada umumnya memang tetap orang-orang asing bagi kalangan orang Indonesia.

Orang-orang Arab itu beragama Islam, mereka terbagi dalam dua golongan, golongan sayyid dan non-sayyid. Karena faktor Islamlah yang menyebabkan mereka dekat dengan orang-orang Indonesia. Tetapi umumnya mereka juga berasal dari ibu-ibu Indonesia, berbicara dengan bahasa ibu-ibu mereka, kadang-kadang mereka juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan Indonesia, terutama mereka yang tidak termasuk golongan sayyid. Dalam sejarah abad ke-20 ini, mereka lambat laun menjadi orang-orang Indonesia benar, seperti tercermin oleh pendirian Partai Arab Indonesia pada tahun 1934. Dan dapat juga dikatakan bahwa pembaharuan lembaga-lembaga pada kalangan masyarakat Arab melimpah pada masyarakat asli.14

Pada umumnya mereka datang tidak membawa istri, mereka terdiri dari anak-anak muda yang masih bujangan dan kemudian menikah dengan wanita Indonesia. Orang-orang Arab ini mempunyai hubungan dengan penduduk di desa sebagai pedagang.15 Oleh karenanya mereka para ‘Hadrami’ tidak dipandang terlalu asing melainkan bagian persaudaraan masyarakat Islam di seluruh dunia.16

Demikianlah sekilas sejarah masyarakat Arab di Indonesia. Dengan demikian akan lebih memudahkan kita untuk melihat dan menelaah kiprah pembaruan dan perjuangan dakwah Syaikh Ahmad Surkati As-Sudani.

Biografi Syaikh Ahmad Surkati

bahasa ilmiah internasional dengan kedudukan lebih penting daripada bahasa Inggris. Buku ini dicetak kembali pada tahun 1969 di Inggris dengan tetap bahasa aslinya Perancis. Lihat pengantar Prof. Rasyidi dalam buku Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal vi. Dijelaskan pula dalam Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta, Bulan Bintang, 1984, hal 128. Buku Van den Breg ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara terbitan INIS tahun 198913 ?Karel A. Steenbrink, Beberapa, hal 12914 ?Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hal 66-6715 ?Ibid., hal 66.16 ?Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening Kebangkitan Hadrami di Indonesia, Jakarta: Akbar, hal 18

Page 5: tokoh syurkati

Bila melihat dari nama yang disandangnya, ia berasal dari Sudan. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Anshori yang diberi gelar Surkati. Syaikh Ahmad Surkati diyakini memiliki hubungan nasab dengan sahabat Jabir bin Abdillah al-Anshori.17 Ahmad Surkati lahir di desa Udfu, Jazirah Arqu, daerah Dongula, Sudan 1292 H atau 1875 M. Karena masih keturunan Jabir bin Abdillah al-Anshari, maka Muhammad memakai nama tambahan al-Anshari.

Berkenaan dengan tradisi beragama di tanah kelahiran Ahmad Surkati, Spencer Triminghem, para peneliti sejarah memperkirakan Islam masuk ke Dongula pada abad ke-14. Salah seorang pendiri lembaga pengajaran waktu itu bernama Ghulam Allah ibn Aid yang berasal dari Yaman. Kemudian datang empat orang yang mengaku keturunan Jabir melanjutkan lembaga pengajaran tersebut dengan mendirikan Khalwa di Sha’iqi, Dongula.18

Sebutan Surkati diambil dari bahasa Dongula Sudan. ‘Surkati’ berarti banyak kitab (sur menurut bahasa setempat artinya kitab, dan katti menunjukan pengertian banyak). Namanya ini diambil dari sebutan yang dilekatkan pada neneknya yang memperoleh sebutan itu, karena sepulangnya dari menuntut ilmu di Mesir ia membawa banyak kitab. Ayah Ahmad Surkati adalah lulusan Al-Azhar juga mewarisi sebutan yang sama. Seperti neneknya, ayah Ahmad Surkati memiliki banyak kitab pula. Dengan kata lain, Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam.19

Sejak kanak-kanak Ahmad Surkati memiliki kelebihan berupa kejernihan pikiran dan kecerdasan. Hal ini mendorong ayahnya memperlakukan istimewa dibandingkan dengan saudara kandung lainnya. Sejak kecil pula ia telah diajak bepergian menghadiri pengajian atau majelis-majelis yang bersifat ilmiah, yang dihadiri para guru agama. Dengan begitu Ahmad Surkati ikut mendengarkan diskusi-diskusi agama. Karena kecerdasannya, dia tidak menemui kesulitan dalam menghapal al-Qur’an seperti teman-temannya. Menghafal al-Qur’an sendiri adalah bentuk permulaan dari pendidikan agama Islam. Pendidikan seperti itu adalah salah satu sistem pendidikan tradisonal di Sudan. Kebiasan menghafal al-Qur’an itu berlanjut hingga usia tua, disaat dia tidak dalam kesibukan mengajar atau lainnya.

Namun di sisi lain, sebagaimana anak yang belum dewasa, ia juga ingin punya waktu bermain dan santai dengan tidak mengikuti jadwal

17 ?Adz-Dzakhirah Al-islamiyah, vol 5, No. 2, Muharram 1428 H18 ?Prof. Dr. Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999, hal 419 ?Ibid., hal 4-5

Page 6: tokoh syurkati

kegiatan menghafal al-Qur’an. Ini terjadi di Mesjid al-Qaulid, suatu lembaga al-Qur’an yang terkenal di masa itu.20 Tidak hadirnya Ahmad Surkati dalam pelajaran menghafal al-Qur’an sesudah shalat Subuh di Mesjid al-Qaulid itu bukan hanya sekali, melainkan dua kali berturut-turut. Akibatnya Pimpinan Masjid al-Qaulid marah dan memerintahkan wakilnya untuk mencari tahu dan membawa Ahmad Surkati menghadapnya.

Setelah sekian lama dicari di asrama, ternyata ia sembunyi di salah satu bilik masjid dalam keadaan tidur nyenyak. Ketika itu Pimpinan Masjid kemudian menghukum Ahmad Surkati dengan memerintahkannya berdiri di hadapan kawan-kawannya dan mendengarkan ayat-ayat yang sedang dihafal. Setelah kawan-kawannya selesai menghafal, Ahmad Surkati mendapat giliran menghafalkan semua ayat yang sudah dihafal kawan-kawannya. Ternyata, ia dapat menghafal dengan benar seluruh ayat itu. Maka gurunya pun bertanya, “Bagaimana kamu dapat menghafal padahal kamu dalam keadaan telah absen dua kali berturut-turut?”. Ahmad Surkati menjawab, “saya cukup membaca sekali saja.”

Sejak peristiwa itu, gurunya membebaskan Ahmad Surkati dari kegiatan belajar rutin dan ditugasi belajar dan menghafal al-Qur’an secara mandiri. Dalam waktu relatif singkat Ahmad Surkati ternyata bisa menamatkan pelajaran menghafal al-Qur’an di Masjid al-Qualid.21

Tamat dari Masjid al-Qualid, sang ayah mengirimkannya ke Ma’had Sharqi Nawi, pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama besar dan terkenal di Dongula. Sebelum menyerahkan anaknya, ayah Ahmad Surkati terlebih dahulu menyampaikan hal ikhwal yang ada pada anaknya. Benar apa yang disampaikan sang ayah, sebab sejak ia tercatat sebagai murid di Ma’had Sharqi Nawi, ia kurang mematuhi peraturan dan disiplin pesantren serta kurang memperhatikan pelajaran. Ahmad Surkati tampaknya kurang betah tinggal di pondok. Sebaliknya, ia justru banyak bermain-main dan gemar menolong mengatasi kesulitan yang dihadapi para santri, juga membantu urusan-urusan pesantren lainya.22

Karena perilakunya seperti itu Pimpinan pondok sempat memanggil dan memarahinya. Namun kemudian akhirnya Surkati meminta maaf pada Pimpinan Ma’had dan minta didoakan. Pimpinan Ma’had gembira atas sikap Surkati. Sejak peristiwa itu Ahmad Surkati belajar lebih tekun dan berusaha mengikuti peraturan serta disiplin Ma’had, hingga ia bisa menamatkan pelajaran di Ma’ahad Sharqi Nawi.23 Ayahnya menginginkan

20 ?Ibid., hal 521 ?Ibid., hal 5-622 ?Ibid., hal 6.23 ?Ibid., hal 7.

Page 7: tokoh syurkati

Ahmad Surkati melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Mesir, sebagaimana dirinya dahulu. Namun maksud tersebut tidak terpenuhi, karena ketika itu pemerintahan Sudan dikuasai oleh pemerintahan al-Mahdi yang bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Mesir. Raja Sudan saat itu bernama Abdullah Ath-Thaya’isi tidak memperbolehkan orang-orang Sudan bepergian ke Mesir.24

Namun Ahmad Surkati tidak patah semangat untuk menuntut ilmu ke luar negeri. Dalam kondisi yang kurang memungkinkan itu, akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke Mekkah pada tahun 1314 H / 1869 M tanpa memberitahu dulu keluarganya. Setelah di Mekkah, hubungan dengan keluarganya di Sudan terputus karena terputusnya jalan haji antara Sudan dan Hijaz. Baru pada tahun 1316 H atau tahun 1898 M, yakni setelah tentara Mesir dan Inggris memasuki negeri Sudan, hubungan itu pun pulih kembali.25

Surkati hanya tinggal sebentar di Mekkah, lalu beliau pindah ke Madinah. Di Madinah, beliau memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab selama kurang lebih empat setengah tahun. Dua guru beliau yang terkenal di Madinah adalah dua ahli hadits kenamaan asal Maroko, yaitu Syaikh Shalih dan Umar Hamdan. Surkati juga belajar al-Qur’an pada Syaikh al-Khuyari. Beliau belajar ilmu fikih kepada ulama ahli fikih saat itu, yaitu Syaikh Ahmad Mahjub dan Syaikh Mubarak an-Nismat. Ia mendalami bahasa Arab kepada seorang ahli bahasa yang bernama Syaikh Muhammad al-Barzanji.26

Dari Madinah, beliau kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana kurang lebih 11 tahun serta mendalami fikih madzhab Syafi’iyah. Di Mekkah, Surkati adalah orang Sudan pertama yang mendapat gelar sebagai al-Allamah pada tahun 1326 H. Di antara gurunya di sana adalah al-Allamah Syaikh Yusuf al-Khayyath dan Syaikh Syu’aib Musa al-Maghribi. Setelah itu beliau membuka madrasah di sana dan mengajar. Beliau juga tercatat sebagai pengajar tetap Masjidil Haram, aktif berkoresponden dengan ulama-ulama al-Azhar, sehingga beliau cukup dikenal dikalangan ulama-ulama al-Azhar pada saat itu.27

Ahmad Surkati dan Jami’at al-Khair

24 ?Ibid.25 ?Ibid.26 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 827 ?Ibid., hal 8-9.

Page 8: tokoh syurkati

Syaikh Ahmad Surkati datang ke Indonesia pada Bulan Rabiul Awwal 1329, bertepatan dengan bulan Maret 1911.28 Kedatangannya ke Jawa ini berkat hubungan korespondensi dengan ulama-ulama al-Azhar yang merekomendasikan nama Ahmad Surkati kepada Jami’at al-Khair, Sebuah perhimpunan masyarakat Arab pertama di Indonesia yang dikelola oleh Alu Ba’alawi. Ia berangkat ke Jawa disertai dengan dua orang sahabatnya, Syaikh Muhammad Abdul Hamid as-Sudani dan Syaikh Muhammad Thayib al-Maghribi.29 Itulah kali pertama Ahmad Surkati datang ke Indonesia atas permintaan Jami’at al-Khair, Jakarta.

Di Jami’at al-Khair Ahmad Surkati diangkat sebagai penilik di sekolah-sekolah yang dibuka oleh perkumpulan masyarakat pertama ini. Sekolah yang berada di Krukut dikepalai oleh Syaikh Muhammad Thayib al-Maghribi, di Bogor dikepalai oleh Syaikh Muhammad Abdul Hamid as-Sudani dan yang di Pekojan dikepalai sendiri oleh Ahmad Surkati.30

Di tangan Ahmad Surkati, madrasah Jami’at al-Khair menjadi maju pesat. Oleh karena itu, Jami’at al-Khair mendatangkan lagi guru-guru dari luar negeri yang keseluruhannya berasal dari Sudan. Mereka itu adalah Muhammad Aqip as-Sudani, Abul Fadl Muhammad Sati, adik Ahmad Surkati, Muhammad Nur al-Anshori dan Hasan Hamid al-Anshori.31 Di Jami’at al-Khair Syaikh Ahmad Surkati mengajar hanya tiga tahun saja.32

Awalnya Jami’at al-Khair mendatangkan Ahmad Surkati untuk memenuhi kebutuhan guru. Sekolah Jami’at al-Khair bukan lembaga yang semata-mata bersifat agama, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu hitung, sejarah dan ilmu pengetahuan umum lainnya. Bahasa pengantar di perguruan Jami’at al-Khair adalah bahasa melayu atau Indonesia. Sedang bahasa asing yang diajarkan selain bahasa Arab adalah bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda yang tidak diajarkan di sekolah ini.

Kedatangan Ahmad Surkati di Jakarta disambut gembira dan penuh hormat oleh pengurus dan warga Jami’at Khair. Bahkan salah seorang pemukanya, Syaikh Muhammad bin Abdul Rahman Shihab menyerukan pada masyarakat Arab untuk menghormati Ahmad Surkati. Penghormatan itu bukan saja karena ia mempunyai ilmu yang mendalam tetapi juga

28 ?Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah Bertanya Surkati Menjawab, Salatiga: 1985, hal 529 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 930 ?Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah, hal 631 ?Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah, hal 632 ?Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah, hal 6

Page 9: tokoh syurkati

kesabaran, ketekunan dan keikhlasannya mengajar murid-muridnya dan dalam usaha mengembangkan Jami’at al-Khair.33

Kabar gembira kedatangan Ahmad Surkati segera tersebar luas di kalangan ummat Islam, khususnya masyarakat Arab, sehingga perguruan Jami’at al-Khair yang waktu itu memilki tiga buah sekolah, dua diantaranya di Jakarta dan satu di kota Bogor, makin memperoleh perhatian ummat Islam.

Namun sambutan baik dan kabar gembira keluarga besar Jami’at al-Khair itu tidak berlangsung lama. Menjelang tahun ajaran ketiga, saat berkembang pesatnya usaha-usaha memajukan sekolah-sekolah itu, telah terjadi perbedaan pendapat yang menyebabkan perselisihan antara Ahmad Surkati dan pengurus Jami’at al-Khair.34

Perselisihan terjadi tatkala pengurus Jami’at al-Khair memperoleh laporan negatif tentang Ahmad Surkati, yaitu ketika mengadakan perjalanan keliling Jawa Tengah, sebagai tamu golongan Arab Alawi, ia singgah di Solo dan diterima di Rumah al-Hamid dari keluarga al-Azami. Pada saat itulah Umar bin Sa’ad bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan antara gadis keturunan Alawi dengan pria bukan keturunan Alawi, menurut syari’at Islam. Jawaban Ahmad Surkati singkat dan tegas, yaitu boleh menurut hukum syara’ yang adil.35

Sebetulnya, bila dilihat fatwa Ahmad Surkati ini sesuai dengan pandangan Rasyid Ridha, bahkan sudah lebih dahulu dilontarkan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Rihda pada tahun 1905 ketika menjawab surat salah seorang tokoh sayyid terkemuka di Singapura, Syaikh Umar al-Attas.36

Jawaban yang dikenal dengan fatwa Solo itu telah mengguncang masyarakat golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan dan mereka menuntut para pengurus Jami’at al-Khair agar Ahmad Surkati mencabut fatwanya. Permintaan pencabutan fatwanya itu dijawab oleh Ahmad Surkati, bahwa apa yang disampaikan itu benar, baik dilihat dari al-Qur’an maupun hadits. Sebab itulah, ia berkeberatan menarik fatwanya dan sama sekali tak ingin mencampuri urusan mereka mengenai setuju atau tidaknya.37 Itulah salah satu sebab Ahmad Surkati mundur dari perguruan Jami’at al-Khair, tepatnya pada tanggal 15 Syawal 1332 H atau bertepatan dengan 6 September 1914 M. 38

33 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 1034 ?Ibid., hal 1135 ?Ibid., 11-1236 ?Ibid., hal 20737 ?Ibid., hal 1238 ?Ibid.

Page 10: tokoh syurkati

Pendiri Jam’iyyât al-Ishlâh wa al-Irsyâd al-Arabiyyâh Pada awalnya setelah mundur dari Jami’at al-Khair, Syaikh Ahmad

Surkati akan kembali lagi ke Mekkah. Namun hal itu urung dilakukannya setelah mendapat permintaan dari Umar Manggusyi dan dua sahabatnya, Saleh Ubaid dan Said Salim Masy’abi untuk tidak meninggalkan Indonesia dan memintanya untuk memimpin madrasah yang mereka dirikan di Jati Petamburan, Jakarta.

Ahmad Surkati menerima ajakan dan permintaan itu. Bertepatan dengan tanggal 15 Syawal 1332 H atau 6 September 1914 secara resmi Ahmad Surkati membuka serta memberi nama sekolah itu dengan Madrasâh Al-Irsyâd al-Islamiyyâh. Bersamaan dengan pembukaan itu, ia menyetujui didirikannya jam’iyyâh yang akan menaunginya. Jam’iyyâh itu ia namakan Jam’iyyât al-Ishlâh wa al-Irsyâd al-Arabiyyâh.39

Jam’iyyâh itu pada tanggal 11 Agustus 1915 memperoleh pengakuan status badan hukum dari pemerintah Belanda. Tetapi walau pengakuan badan hukum itu keluar 11 Agustus 1915, mereka mencatat hari dan tanggal kelahirannya bersamaan dengan dibukanya madrasah al-Irsyâd yang pertama di Jati Petamburan, Jakarta, pada hari Ahad 15 Syawal 1332 H atau 6 September 1914. Tanggal itulah yang dicatat sebagai tanggal resmi berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad.

Dalam perkembangannya, al-Irsyâd mempunyai cabang di berbagai kota, seperti Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Solo, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Al-Irsyâd juga mendapatkan simpati dari golongan Sayyid Abdullah bin Ali Alatas, pedagang kaya dan banyak menyumbang untuk perkembangan al-Irsyâd.40

Dr. Pijper dalam bukunya Sejarah Islam Indonesia 1900-1950, sebagaimana dikutip Hussein Badjerei, mengatakan bahwa berdirinya al-Irsyâd bukan didorong oleh keinginan Surkati untuk mengadakan sesuatu yang baru, tetapi didasarkan pada ketaatannya kepada akidah agama yang murni yang diturunkan oleh Allah lewat al-Qur’an dan hadits. Dan Ahmad Surkati merupakan seorang pembaharu Islam di Indonesia.41

Tampilnya Ahmad Surkati sebagai pemimpin madrasah al-Irsyâd dan dukungan terhadap berdirinya Jam’iyyâh al-Irsyâd, menambah luasnya pembicaraan orang tentang fatwa sahnya nikah seseorang sayyidah atau syarifah dengan golongan lain. Pembicaraan itu bukan saja hanya dari mulut ke mulut, tetapi juga telah dijadikan bahan pemberitaan koran-koran yang

39 ?Ibid., hal 1340 ?Wahidin Saputra, Gerakan Dakwah Syeikh Ahmad Surkati Melalui Al-Irsyad, Jurnal Kajian Dakwah dan komunikasi, 2006, hal 259.41 ?H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad, hal 71

Page 11: tokoh syurkati

beredar ketika itu, seperti Koran Suluh Hindia Pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.42

Selanjutnya, pendidikan di bawah Jam’iyyât al-Irsyâd tahun1918, meskipun di tengah hasutan dan fitnah, makin berkembang pesat dan terkenal bukan hanya di Jawa, tapi juga di luar Jawa, seperti Lampung dan Palembang. Murid-murid madrasah al-Irsyâd semakin bertambah banyak, demikian pula ruang lingkup pengaruh di daerah-daerah. Di saat itulah Ahmad Surkati yang mendapat tanggung jawab di bidang pendidikan Irsyadi sering melakukan perjalanan untuk pembinaan dan inspeksi, dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakaan Islam seperti, KH. Ahmad Dahlan, KH. Agus Salim dan A. Hassan.43

Akhir Hayat Syaikh Ahmad SurkatiAhmad Surkati meninggal pada usia 69 tahun, pada tahun 1943.

Waktu itu adalah masa pendudukan Jepang. Pada zaman Jepang itu Surkati hampir tidak mau tampil, karena kedzaliman Pemerintah Jepang yang amat luar biasa. Seperti juga A. Hassan, ia lebih suka diam. Di akhir-akhir usianya kedua matanya telah buta.44

Ketika sahabat lamanya Syaikh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka, mengunjunginya, Surkati menceritakan kepada sahabatnya itu bahwa sebelah matanya terkena sakit yang amat sangat. Lalu diperiksakan ke dokter Belanda. Setelah diperiksa, dokter itu menyatakan bahwa supaya hilang sakitnya yang sebelah dibuang saja. Maka, dikucitlah kedua matanya dan hilanglah sakitnya sama sekali, tetapi beliau telah buta dan tidak bermata lagi.45

Selama dalam peristirahatannya, Surkati senantiasa membaca al-Qur’an di luar kepala. Di masa itu pula ia sering berpuisi yang kemudian ditulis sahabat yang menungguinya.46

Syaikh Ahmad Surkati wafat di kediamannya Jalan KH. Hasyim Asy’ari no. 25 Jakarta, dulu orang lebih mengenal dengan Gg. Solan, pada hari Kamis tanggal 16 September 1943 pukul 09 pagi.47 Ia tidak dikaruniai seorang anak pun.

Jenazahnya di makamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta, yang sekarang tepatnya sudah menjadi lapangan parkir perguruan Said Na’um jalan KH. Mas Mansyur 25 Jakarta Pusat. Ketika Jenazah di usung

42 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 1343 ?Ibid., hal 1544 ?H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad, hal 6745 ?Ibid., hal 6646 ?Ibid., hal 6747 ?Ibid., hal 71

Page 12: tokoh syurkati

menuju tempat pemakaman, Bung Karno serta pemimpin Islam lainnya ikut mengantar berjalan kaki. Menjelang pemakaman, tampak sekali keinginan besar Bung Karno untuk berpidato menyampaikan kata pelepasan. Bung Karno cukup cermat (cerdik) menghubungi Abdullah Badjerei, Sekjen al-Irsyâd ketika itu, yang menanyakan tentang pendirian atau sikap al-Irsyad mengenai hukum berpidato di atas kuburan atau saat pemakaman. Abdullah Badjerei menyatakan kepada Bung karno bahwa yang berwenang memberi keterangan tarjîh adalah ustadz Umar Hubeis, Ketua Majlis Tarjîh dan Fatwa al-Irsyâd. Ketika Umar Hubeis ditanya oleh Bung Karno tentang hal itu, Umar Hubeis menyatakan tidak ada salahnya, karena ketika ayahnya wafat dan saat pemakaman, Surkatilah yang mengucapakan pidato saat itu. Tampillah Wondoamiso, tokoh Syarikat Islam, ketua MIAI yang berbicara atas nama ummat Islam, melepas kepergian seorang ulama besar, tokoh pembaharu Islam Indonesia.48

Ia dimakamkan dengan cara sederhana dan nyaris tidak ada tanda yang menonjol di atas kuburannya, sebagaimana yang diminta sebelum wafatnya.

Karya-Karya Syaikh Ahmad SurkatiSyaikh Ahmad Surkati memiliki beberapa karya tulis, sebagian besar

karyanya berbentuk sanggahan dan bantahan terhadap penyimpangan-penyimpangan akidah, ibadah, maupun amalan lainnya dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Dan beliau adalah orang pertama yang memperkenalkan kritik sanad hadits dalam ber-istinbath (menggali hukum), dan menolak terhadap hadits-hadits yang tidak shahih dalam ber-istidlal (berdalil). Bila dilihat maka hal itu menunjukan kedalaman ilmu dan pemahaman penulisnya. Berikut adalah beberapa karya Ahmad Surkati yang cukup terkenal49:

1. Surât al-Jawâb (1915), yang berisi bantahan mengenai masalah kafa’ah (kufu dalam pernikahan). Dalam risalah ini Surkati membantah pemahaman kafa’ah yang keliru dengan argumentasi dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, ucapan para salaf dan ulama Mujtahid. Risalah ini pertama kali disebarkan oleh surat kabar ‘Suluh Hindia’.

2. Tawjih al-Qur’ân ilâ Adab al-Qur’an (1917). Risalah ini menguatkan risalah sebelumnya dengan tambahan-tambahan ilmiah yang lebih

48 ?Ibid., hal 7149 ?Majalah Al-Dzakhirah Al-Islamiyyâh, vol 5, No. 2, Muharram 1428 H, hal 8-9. Lihat pula Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal. 39-47.

Page 13: tokoh syurkati

memperkuat argumentasi Ahmad Surkati dalam membantah masalah kafa’ah.

3. Al-Dzakhirah al-Islamiyyâh (1923), adalah majalah bulanan yang dipimpinnya. Majalah ini hanya terbit sampai edisi ke-10. Isinya lebih banyak tentang fatwa-fatwa, pembahasan hadits-hadits palsu, pembahasan fiqh, tafsir, juga membahas tentang syirik, bid’ah, khurafat dan tahayul yang ketika itu sudah lama menjadi keyakinan kaum muslimin ketika itu.

4. Al-Masâil al-Tsalâts (1925)), atau ‘Tiga persoalan’ yang berisikan tertang masalah ijtihâd – taklid, sunnah – bid’ah, dan ziarah kubur – tawassul.

5. Al-Washîyah al-Amiriyyah (1918) berisi tentang anjuran-anjuran kepada sunnah dan kebajikan. Buku ini senantiasa diawali dengan seruan ‘ayyuha al-mu’min…’

6. Al-Adâb al-Qur’âniyyah yang diterjemahkan oleh Van der Plaas ke dalam bahasa Belanda dengan judul Zedeleer Uit den Qoran. Buku ini ditujukan kepada orang-orang Islam yang berpendidikan Belanda.

7. Al-Khawâtir al-Hisan (1914) adalah risalah beliau yang terakhir ketika beliau telah berusia lanjut dan buta matanya yang berisikan syair-syair.

8. Muhammadiyah Bertanya Surkati Menjawab. Buku kecil ini bersumber dari naskah Surkati atas pertanyaan Pimpinan Muhammadiyah bulan Maret 1938, yang kemudian diterjemahkan Abdullah Badjerei dan diterbitkan pada tahun 1985.

9. Hak Soeami Istri, yang diterbitkan oleh Persatoean Islam, Bandung tahun 1933. Buku ini adalah naskah ceramah Ahmad Surkati Huqûq al-Nisâ’ (hak-hak kaum wanita).

Pemikiran Syeikh Ahmad SurkatiSyeikh Ahmad Surkati selalu menghabiskan waktunya untuk ilmu,

belajar dan mengajar. Beliau seringkali memberikan ceramah dan yang paling terkenal adalah pengajian umum yang disebut dengan muhâdharah Islamiyyah pada tahun 1937 di hadapan murid-muridnya dengan bahasan tafsir.

Ahmad Surkati dalam penyampaiannya menjelaskan akan pentingnya bahasa Arab di dalam memahami ilmu tafsir yang dilakukan oleh para salaf, yaitu bî al-ma’tsûr, yaitu dengan pendekatan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendiri, dengan hadits dan dengan ucapan para sahabat.50

50 ?Ibid., hal 9

Page 14: tokoh syurkati

Oleh karena itu, Prof. Abu Bakar Aceh, seperti yang dikutif Bisri Affandi, dalam bukunya yang berjudul ‘Salaf’ menggolongkan Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa.51 Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Al-Masâil al-Tsalâts yang ditulisnya.

1. Koreksi Ritual KeagamaanJika dilihat dari tulisan-tulisannya, Ahmad Surkati tampaknya

menyadari bahwa kaum muslimin di Indonesia masih sangat lemah. Keadaan moral, sosial dan intelektualnya juga sangat rendah, ditandai dengan adanya kebiasaan yang sangat tidak dianjurkan Islam. Mereka bahkan boleh disebut tidak mengenal Islam dan rukun Islam. Oleh karenanya ia berkeinginan menebalkan keimanan mereka.

Ahmad Surkati menyimpulkan bahwa jalan keluarnya adalah kembali mengajarkan Islam sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Ia berpendapat bahwa inilah tujuan yang terpenting dari semua tujuannya.52

Tujuan-tujuannya itu dipaparkan dalam pengantar bukunya Al-Dhahirah. Dalam pengantarnya itu ia menulis: Pertama, Memperlihatkan hadits-hadits palsu dan kisah-kisah yang direkayasa. Namun cerita itu dipercayai sebagai ajaran Islam oleh kaum muslimin. Kedua, Untuk membuktikan bahwa argumentasi-argumentasi yang kontra Islam salah dengan menggunakan dalil al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Ia berharap dengan cara ini muslim Indonesia akan melaksanakan rukun Islam dengan benar. Ketiga, untuk menjelaskan Bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebajikan, sesuai untuk segala zaman dan semua negara. Keempat, untuk mendorong kaum muslimin agar mengikuti kemajuan dan tidak didikte oleh kekuasaan pengaruh asing.53

Salah satu masalah yang kerap dibahas oleh Surkati adalah bentuk koreksi terhadap beberapa ritual ibadah yang dicampuradukan dengan adat dan pandangan para kyai atau ulama yang tidak berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan hadits.54 Praktek beragama yang ditentang Syaikh Ahmad Surkati adalah ritual yang dipengaruhi mistisme doa-doa yang dikhususkan untuk membimbing jiwa seorang muslim yang baru saja meninggal. Surkati berpendapat bahwa talqin adalah bid’ah, sebab baik al-Qur’an maupun hadits tidak menganjurkannya. Begitu juga masalah ushalli, Surkati menganggap perbuatan itu sebagai ghuluw fî al-dîn, Karena ushalli tidak dilakukan semasa Nabi Muhammad saw hidup.55 Surkati menginginkan agar

51 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 252 ?Ibid., hal 22553 ?Ibid., hal 225-22654 ?Ibid., hal 22655 ?Ibid., hal 227

Page 15: tokoh syurkati

perkara-perkara itu digali dan diselidiki dari sumber-sumber asli, yaitu dari al-Qur’an dan al-Hadits.56

2. Ijtihad dan TaqlidTaklid dan Ijtihad adalah dua hal yang berbeda. Oleh karenanya

Ahmad Surkati menyatakan bahwa kewajiban seorang muslim adalah berpegang kepada kitabullah dan sunnah yang shahih, tidak wajib berpegang pada satu madzhab apapun. Beliau menukil perkataan empat Imam madzhab yang menjelaskan kewajiban berpegang pada Kitabullah dan sunnah Rasulallah saw yang shahih.

Masalah ijtihad dan taqlid yang dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Surkati memiliki pandangan yang sama dengan para ulama ahlussunnah wal jama’ah. Masalah itu beliau kemukakan dalam buku al-Masâ’il al-Tsalâts. Dalam bukunya itu Surkati juga menurunkan perkataan para imam Mujtahid yang melarang berbuat taqlid. Syaikh Ahmad Surkati berkata,

“Adapun para salaf shaleh yang telah dipuji Allah dan Rasul-Nya diantara mereka tidak ada seorang pun yang bertaqlid buta dalam persoalan agama. Mereka saling ajar mengajarkan dan dikuatkan dengan dalil-dalil aqli dan naqli kemudian diikuti mana yang lebih unggul dalilnya dan kuat sumbernya”.57

Agar tidak terjebak pada taqlid buta, Ahmad Surkati mendorong orang untuk mengembangkan ittiba’ (mengikuti dalil/kebenaran). Menurutnya, orang boleh mengikuti atau ittiba’ pendapat seseorang yang terkenal mempunyai kemampuan intelektual tinggi, saleh dan selalu mengkaji ucapan-ucapannya.58

Adapun tentang masalah ijtihad Ahmad Surkati membolehkan orang-orang yang sudah memiliki pengetahun dan kemampuan otak untuk ber-ijtihad. Tetapi ia tidak meminta semua orang untuk melakukannya. Ia hanya memperbolehkan orang-orang yang melaksanakan ijtihad telah memenuhi persyaratan mujtahid.59

3. Sunnah dan Bid’ahAhmad Surkati menjelaskan bahwa pengertian Sunnah adalah

perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw. Beliau menjelaskan bahwa Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw adalah sudah sempurna, tidak

56 ?Ibid., hal 22357 ?Syaikh Ahmad Surkati al-Anshari, Al-Masâ’il al-Tsalâts, (diterjemahkan Tiga persoalan Ijtihad dan Taqlid), Jakarta: PP. Al-Irsyad, hal 16-1758 ?Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati, hal 230-23159 ?Ibid., hal 228

Page 16: tokoh syurkati

perlu tambahan. Karenanya semua bid’ah adalah penyimpangan dan sesat.60

Dan ia mengatakan tidak ada bid’ah hasanah atau mahmudah dalam urusan agama. Namun, dalam urusan duniawi pembaharuan sangat dianjurkan.61

4. Ziarah kubur dan TawasulAhmad Surkati tidak sepenuhnya menolak ziarah kubur. Menurutnya,

ziarah kubur bisa dianggap sunnah jika niatnya untuk mengingat akhirat. Ziarah kubur harus menghindari semua tindakan munkarat termasuk tawassul, pemujaan para wali, permintaan berkah dari orang yang sudah meninggal agar mendapatkan sesuatu, duduk dan membaca al-Qur’an di makam dan berkorban untuk orang yang sudah meninggal. Hal-hal itu dianggap Surkati adalah ‘tidak islami’.62

Prinsip Persamaan DerajatSalah satu gerakan pembaharuan Ahmad Surkati yang paling

monumental dan merupakan tonggak awal langkahnya di Indonesia adalah masalah kafa’ah atau persamaan derajat diantara manusia. Ummat Islam pada dasarnya adalah ummat yang satu dalam segala hal. Tidak ada yang membedakan dalam pandangan Allah, kecuali tingkat ketakwaannya. Siapa yang paling bertakwa maka dialah yang paling mulia di sisi Allah. Perbedaan darah, keturunan, suku, ras tidaklah menjadi suatu kendala dalam masalah muamalah maupun dalam hal-hal yang sifatnya pribadi seperti pernikahan.

Di masyarakat umum masalah kafa’ah antara sayyid dengan non sayyid biasa terlihat, yaitu terhadap golongan sayyid masyarakat memberikan penghormatan dengan cara mencium tangan (taqbil) bila berjabat tangan.63 Pandangan persamaan derajat yang dipegang oleh Ahmad Surkati ini selaras dengan pandangan Syaikh Muhammad Rasyaid Ridha dalam al-Manâr, bahwa pernikahan antara seorang yang bukan sayyid dengan syarifah adalah jaiz / boleh.

Penutup Demikianlah kiprah perjuangan pembaharuan dan pemurnian Islam

yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Surkati As-Sudani. Namun demikian Ahmad Surkati bukanlah manusia yang sempurna, ia seorang ‘alim tapi juga ada kekeliruan. Kesalahan itu adalah penolakannya terhadap hadits-hadits

60 ?Ibid., hal 23161 ?Ibid., hal 23262 ?Ibid., hal 23263 ?Wahidin Saputra, Gerakan Da’wah, hal 268

Page 17: tokoh syurkati

ahad dalam beberapa masalah akidah, seperti nuzul-nya Isa as, keluarnya Dajjal dan Imam Mahdi pada akhir jaman, dan masalah-masalah lainnya.

Kesalahan beliau tidak boleh dijadikan bahan atau senjata untuk mengeluarkannya dari lingkaran ahlussunnah. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan memberinya pahala atas ijtihadnya yang keliru ini.

Imam Sa’id al-Musayyib berkata, “Tidak ada seorang ‘alim pun, ataupun seorang yang mulia dan memiliki keutamaan, melainkan ia memiliki cela. Akan tetapi, ada sebagian manusia yang tidaklah sepatutnya mereka menyebutkan cela-cela para ulama ini. Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, niscaya hilanglah kekurangannya karena banyak keutamaannya”.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas’ud, Ph. D., Dari Haramain ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada, 2006.

Al-Dzakhirah Al-Islamiyah, vol 5, No. 2, Muharram 1428 H.

Page 18: tokoh syurkati

B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.

Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasyidi, Jakarta, HU. Pelita, 1985.

Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Jogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, 1966.Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening Kebangkitan Hadrami di

Indonesia, Jakarta: Akbar, 2007.Prof. Dr. Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati Pembaharu dan Pemurni

Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.Syaikh Ahmad Surkati al-Anshari, Masâ’il al-Tsalâts, (diterjemahkan Tiga

persoalan Ijtihad dan Taqlid), Jakarta: PP. Al-Irsyad, t.thn.Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Radikal, Surabaya: Bina Ilmu,

1994.Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah Bertanya

Surkati Menjawab, Salatiga: 1985. Syaikh Ahmad Surkati dan Abdulah Badjerei, Muhammadiyah Bertanya

Surkati Menjawab, Salatiga, 1985.Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara, 1980.Wahidin Saputra, Gerakan Dakwah Syeikh Ahmad Surkati Melalui Al-

Irsyad, Jurnal Kajian Dakwah dan komunikasi, 2006.