TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS …repository.unpas.ac.id/34500/2/BAB 1.pdf ·...
Transcript of TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS …repository.unpas.ac.id/34500/2/BAB 1.pdf ·...
1
BAB I
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS TANAH
MELALUI JUAL BELI DI BAWAH TANGAN
A. Latar Belakang Penelitian
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan
sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk
tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial-budaya
dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak, umpamanya
untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan
jalan-jalan untuk perhubungan.1
Adanya ketidakseimbangan antara persediaan tanah yang terbatas
dengan kebutuhan akan tanah sangat besar berakibat pada timbulnya masalah-
masalah yang terkait dengan tanah, dengan ini kebutuhan masyarakat atas
tanah pasti akan semakin meningkat dan hal ini juga akan mendorong
peningkatan kegiatan jual beli tanah sebagai sarana dan bentuk proses
peralihan hak atas tanah.
1 Wantjik Saleh, Hak Anda atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 7.
2
Secara umum jual-beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa : “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli
yang dimaksud merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana penjual
berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk
menerima pembayaran, sedangkan pembeli berkewajiban untuk melakukan
pembayaran dan berhak untuk menerima suatu kebendaan.
Effendi Perangin menyatakan “Jual beli hak atas tanah adalah perbuatan
hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-
lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan
harganya kepada penjual”.2 Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum
dalam jual beli hak atas tanah diperlukan adanya persyaratan formil. Syarat
formil terhadap obyek jual beli hak atas tanah berupa bukti kepemilikan tanah
yang terkait dengan hak atas tanah, dan juga terkait dengan prosedur peralihan
hak atas tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria dalam Pasal 19 memerintahkan untuk diselenggarakannya pendaftaran
tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum yang dimaksud,
penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.3
2 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1986,hlm. 13. 3 Chairul Anam Abdullah, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Hal Terdapat Sertipikat Ganda Di Kabupaten Tangerang Propinsi Banten”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008, hlm. 12.
3
Menurut Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria jo Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual
beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT. Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam jual beli tanah, proses jual beli tanah hanya dapat
dilakukan diatas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah, artinya
obyek tanah yang disahkan dengan bukti kepemilikan hak atas tanah.4
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka suatu peralihan hak
atas tanah harus dilakukan dengan menandatangani akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dan harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna memperoleh
suatu bukti yang sah. Tanpa adanya akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), maka peralihan hak atas tanah tersebut dianggap tidak
sah karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Namun, tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
masih banyak jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli yang
dilakukan di bawah tangan tidak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria
jo Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Jual beli tanah di bawah tangan terkadang hanya
dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadi jual beli.
Perbuatan hukum berupa jual beli hak atas tanah yang hanya dibuktikan
dengan selembar kwitansi saja, tanpa adanya akta jual beli yang dibuat di
4 J. Andy Hartanto, Hukum Pertanahan, LaksBang Justitia, Surabaya, 2014, hlm. 83.
4
hadapan PPAT tentunya perbuatan hukum tersebut akan sangat merugikan
bagi pihak pembeli, karena pihak pembeli tidak ada kepastian hukum terhadap
peralihan hak atas tanah yang dibelinya, yang notabene telah membayar
sejumlah uang kepada pihak penjual. Secara normatif sertifikat yang sudah
dibelinya belum ada bukti peralihan hak atas tanah yang bersangkutan dan
sertifikat masih atas nama pihak penjual, meskipun telah diserahkan kepada
pihak pembeli.
Kwitansi adalah alat bukti dibawah tangan dan bisa mempunyai
kekuatan hukum tetap bila tanda tangan yang tertera pada kwitansi tersebut
diakui secara langsung oleh para pihak maka tanah tersebut dapat menjadi hak
miliknya.5 Namun yang menjadi permasalahan adalah penempatan tanah tanpa
hak seperti yang terjadi dalam kasus tanah yang terletak di Desa Pataruman,
Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung ditempati oleh pihak lain atas
persetujuan penjual padahal tanah tersebut telah diperjualbelikan sebelumnya
oleh penjual kepada pembeli.
Kasus ini bermula pada tahun 2007 telah terjadi jual beli hak atas tanah
milik Bapak Engkos Kosasih (penggugat) kepada Bapak Obar Sobarna
(tergugat) yang dilakukan di bawah tangan yaitu hanya menggunakan bukti
pembelian dengan kwitansi yang pada akhirnya penjual mengajukan
permohonan pembatalan jual beli tanah pada Pengadilan Negeri Bandung
dengan alasan pembeli telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
belum melunasi objek tanah tersebut. Sedangkan dalam kesepakatan penjual 5 Robiatul Adawiyah, Keabsahan Jual Beli Tanah dengan Alat Bukti Kwitansi, https://www.academia.edu/33922437/Keabsahan_Jual_Beli_Tanah_dengan_Alat_Bukti_Kwitansi , diunduh pada Minggu 18 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.
5
menyepakati bahwa sisa pembayaran akan dilunasi oleh pembeli pada tahun
2013 yang dimana tidak dipastikan kapan tanggal dan bulannya.
Permasalahan muncul pada tahun 2011 di mana tanah yang telah
diperjualbelikan semakin berkurang karena disewakan oleh penjual dengan
berdirinya 4 bangunan yang dipakai untuk pembuatan bata merah. Kemudian
pada tahun 2013 Bapak Obar (tergugat) mendengar dari orang lain disekitar
objek tanah, bahwa atas sebagian tanah yang dibelinya dari Bapak Engkos
(penggugat) telah diperjualbelikan lagi oleh Bapak Engkos (penggugat)
kepada pihak lain tanpa persetujuan Bapak Obar (tergugat) sehingga Bapak
Obar merasa bahwa penjual tidak menepati janjinya/ingkar janji.
Jual beli hak atas tanah tersebut telah memenuhi ketentuan syarat
sahnya perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu
kesepakatan mereka yang megikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang diperkenankan dan
telah dipenuhinya syarat “tunai” dan “terang” yang merupakan sifat jual-beli
hak atas tanah menurut hukum adat yang diakui berdasarkan Pasal 5 Undang-
Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa:
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, serta segala sesuatu dengan mengadakan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
6
Kontan atau tunai artinya pembayaran harga dan penyerahan haknya
dilakukan pada saat yang bersamaan, dan pada saat itulah jual beli dianggap
telah selesai. Terang atau jelas artinya bahwa peralihan itu dilakukan di
hadapan Kepala Adat (Kepala Desa). Dalam kasus ini Bapak Obar (tergugat)
telah membayar sebagian dengan kontan dan atas uang pembelian milik
Bapak Obar telah diterima sepenuhnya oleh Bapak Engkos serta jual beli hak
atas tanah dilakukan dengan disaksikan oleh Bapak Ahmad Saefudin
kemudian setelah itu diinfomasikan kepada aparat setempat seperti Ketua RT,
Ketua RW, dan Kepala Desa. Maka jual beli demikian seharusnya tetap sah
dan berharga.
Setiap hak atas tanah yang diperjualbelikan dan disewakan oleh penjual
kepada pihak lain sementara telah terjadi proses jual beli dengan kata sepakat
dan pembeli telah membayar sebagian harga, maka dalam hal ini penjual
melakukan suatu tindakan berupa ingkar janji/wanprestasi dimana penjual
tidak dapat memenuhi janji yang telah disepakatinya. Sebagaimana Pasal
Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Penggantian biaya,
kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,
bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap lalai untuk memenuhi
perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya
dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang
telah ditentukan”.
Selain itu, berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
7
mereka yang membuatnya” dan ayat (3) yang berbunyi “persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Penjual telah melanggar ketentuan Pasal
1338 ayat (1) dan ayat (3) di atas karena apabila tanah yang bersangkutan
secara fisik masih digunakan oleh pihak lain dan belum diserahkan kepada
pembeli adalah janggal bila pembeli diwajibkan melunasi seluruh harga
kesepakatan jual beli hak atas tanah tersebut. Berarti penjual telah menjual
tanahnya dengan tidak beritikad baik.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian yang dituangkan dalam penulisan hukum yang berjudul:
“Tinjauan Yuridis Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual
Beli Di Bawah Tangan”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis
membatasi masalah-masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual
beli di bawah tangan ?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari masalah peralihan hak atas tanah
melalui jual beli di bawah tangan ?
3. Bagaimanakah cara penyelesaian masalah peralihan hak atas tanah melalui
jual beli di bawah tangan ?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis pengaturan mengenai
peralihan hak atas tanah melalui jual beli di bawah tangan.
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis akibat hukum peralihan
hak atas tanah melalui jual beli di bawah tangan.
3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis cara penyelesaian masalah
peralihan hak atas tanah melalui jual beli di bawah tangan.
D. Kegunaan Penelitian
Dari kegiatan penelitian ini, diharapkan setidaknya dapat memberikan
banyak manfaat dan kegunaan dalam 2 (dua) hal yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini, diharapkan setidaknya selain dapat
memberikan wawasan penulis sendiri, juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan bidang ilmu hukum
pada umumnya dan ilmu hukum agraria, serta ilmu hukum perdata,
khususnya pengetahuan mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual
beli di bawah tangan.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi para praktisi dan instansi-instansi terkait, khususnya bagi
9
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pemerintah Daerah, khususnya bagi
masyarakat mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual beli di bawah
tangan agar menjadi pedoman bagi para pihak yang melakukan jual beli
hak atas tanah.
E. Kerangka Pemikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Alinea ke-4 menyebutkan bahwa landasan hukum untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Negara Hukum yang artinya
bahwa dalam penyelengaraan pemerintahan dan bernegara didasarkan atas
hukum. Penegasan bahwa Indonesia ialah Negara Hukum tampak nyata ketika
dilakukan Amandemen ke IV Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia ialah
Negara Hukum” maka yang paling esensi dari Negara Hukum ialah segala
Hubungan antara Negara atau Pemerintah dan Masyarakat atau antar sesama
anggota Masyarakat yang di landasi oleh aturan Hukum baik tertulis atau tidak
tertulis.6
6Azhary, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Penerbit UI Press, Jakarta, 1995, hlm. 21.
10
Prinsip negara hukum yaitu menjamin kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”. Sehingga
memerlukan adanya aturan yang mengatur dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang atau badan hukum sebagai subjek hukum.
Dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, haruslah dibarengi
dengan adanya berbagai program yang harus dibuat dan dijalankan oleh
Pemerintah sampai terealisasi di kehidupan masyarakat bersamaan dengan
masalah pembangunan di Indonesia yang bertujuan meningkatkan usaha
pemerataan disegala bidang, khususnya yang berhubungan dengan masalah
pertanahan, perlu adanya penanganan secara khusus, mengingat pentingnya
bidang pertanahan dalam menunjang pembangunan Nasional. Sebagaimana
landasan utama pembangunan Nasional dalam bidang pertanahan yang di atur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Bumi dan Air dan Kekayaan
Alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam perkembangan ekonomi
juga turut andil dalam mensejahterakan masyarakat yaitu dengan adanya buku
III tentang Perikatan. Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta
kekayaan (vermogenstrcht). Perikatan mempunyai sistim terbuka bahwa setiap
11
orang bisa mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian
apapun dan bagaimana pun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur
dalam Undang-Undang maupun yang tidak diatur dalam Undang-Undang.7
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu. Pasal 1235 menyatakan bahwa :
Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan. Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”.
Untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut
dengan somasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Ingkar Janji/Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
7 Firman Frolanta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 1.
12
Mengenai ganti kerugian karena wanprestasi diatur dalam Pasal
1246, Pasal 1247, Pasal 1248, dan Pasal 1250 KUHPerdata. Dan akibat
hukum dari wanprestasi Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa :
Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Perjanjian dalam KUHPerdata terdapat dalam Pasal 1313 yang
menyatakan bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
R. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “kontrak adalah suatu
hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana satu
pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak untuk menuntut kontrak itu”.8
Berdasarkan uraian di atas, bahwa sumber perikatan yang terpenting
adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian, pihak-pihak dapat
membuat segala macam perikatan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tetapi bukan berarti boleh
membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, untuk sah suatu perjanjian.
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur di dalam Pasal
1320 KUHPerdata, yang berbunyi :
8 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 22.
13
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang diperkenankan.
Apabila suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat tersebut maka
perjanjian tersebut adalah sah. Perjanjian jual beli ini bagaimanapun bentuk
dan isinya, dalam pelaksanaannya harus senantiasa berpegang pada hukum
positif yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan, dan ketertiban umum agar di
dalam penerapannya bagi para pihak yang bersangkutan dan berkepentingan
tidak merasa dirugikan, karena semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku bagi Undang-Undang terhadap mereka yang membuatnya. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Menurut Pasal 1338 (2) KUHPerdata bahwa “ suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak, atau
karena alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Dikatakan pula dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi
“persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Rumusan ini memberi
artian bahwa segala sesuatu yang telah disepakati dalam perjanjian oleh para
pihak harus ditaati dan dipenuhi serta pelaksanaan prestasi harus dihormati
sepenuhnya hingga perjanjian ditutup.
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata,
yang isinya mengatur bahwa: “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh
14
karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Dari
bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur perbuatan melawan
hukum sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan melawan hukum;
2. Adanya kesalahan;
3. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;
4. Adanya kerugian.
Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang
bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”. Ganti rugi untuk perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata
yang menyatakan bahwa “seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya”.
Peralihan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan
hak, yaitu melalui kegiatan jual beli. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata
perjanjian jual beli adalah “Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
15
Ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jual beli
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu
mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun
barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”. Mengenai hak
milik, Pasal 1459 KUHPerdata menyatakan bahwa “Hak milik atas barang
yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan
menurut Pasal 612, 613 dan 616.”
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan atas peristiwa yang menjadi
dasar hak/perikatan, yang dibuat dengan sengaja untuk suatu pembuktian.
Pasal 1875 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu tulisan di bawah tangan
yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara
hukum dianggap telah dibenarkan olehnya,menimbulkan bukti lengkap seperti
suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta
orang-orang yang mendapat hak dari mereka ; ketentuan Pasal 1871 berlaku
terhadap tulisan itu”.
Mengingat pentingnya bidang pertanahan dalam menunjang
pembangunan Nasional maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Salah satu tujuan
pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah meletakkan Dasar-
Dasar untuk memberikan Jaminan kepastian Hukum mengenai Hak-hak atas
tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
16
Sebutan tanah dalam keseharian dapat dipakai dalam berbagai arti,
karena itu dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui
dalam hal apa istilah tersebut digunakan. Budi Harsono memberi Batasan
tentang pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, bahwa:9
Dalam hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA sebagaimana dalam pasal 4 dinyatakan, bahwa hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.
Tanah dalam pengertian yuridis dapat diartikan sebagai permukaan
bumi. Tanah mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga menjadi
kewajiban setiap orang untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi
sebagai benda yang bernilai ekonomis karena tanah selain itu bermanfaat pula
bagi pelaksanaan pembangunan namun tanah juga sering menimbulkan
berbagai macam persoalan bagi manusia sehingga dalam pengunaannya perlu
dikendalikan dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan masalah dalam
masyarakat.
Jual-beli hak atas tanah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria harus
dilakukan secara terang dan tunai. Sifat terang dan tunai merupakan sifat jual-
beli tanah menurut hukum adat yang diakui berdasarkan Pasal 5 Undang-
9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm.18.
17
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang berbunyi :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Kontan atau tunai artinya pembayaran harga dan penyerahan haknya
dilakukan pada saat yang bersamaan, dan pada saat itulah jual beli dianggap
telah selesai. Terang atau jelas artinya bahwa peralihan itu dilakukan di
hadapan Kepala Adat (Kepala Desa).
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di dalamnya menjelaskan bahwa :
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pendaftaran tersebut meliputi : 1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran Hak-hak atas tanah dan peralihan Hak-Hak tersebut; 3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria ini memerintahkan untuk diselenggarakannya
pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam jual beli
hak atas tanah, dimana penyelenggaraan pendaftaran tanah harus dengan akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana terkandung dalam
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
18
Namun tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
masih banyak jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa
campur tangan (PPAT). Perbuatan “jual beli di bawah tangan“ terkadang
hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadi jual-
beli. Kwitansi merupakan alat bukti dibawah tangan, yang pembuktiannya
bersifat formil saja. Tidak sempurna seperti akta otentik yang pembuktiannya
bersifat formil dan materiil, namun surat di bawah tangan seperti kwitansi
menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap bila tanda tangan
yang tertera pada surat-surat tersebut diakui secara langsung oleh para pihak.10
Diperbolehkannya pengecualian jual beli hak atas tanah di bawah
tangan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat jual beli
tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yaitu syarat materiil dan syarat formil :11
1. Syarat Materiil : pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat
untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau
tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung
pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak
bangunan, atau hak pakai.
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan
10 Robiatul Adawiyah, loc.cit. 11 Muhammad Shohib, TIinjauan Yuridis Jual Beli Tanah Dengan Kuasa Jual Di Bawah Tangan, Jurnal Universitas Hang Tuah Surabaya, 2016, hlm. 7, dikutip.
19
badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 21 UUPA).
Pembeli yang mempunyai kewarganegaraan asing di samping
kewarganegaraan Indonesia maka jual beli tersebut batal karena hukum
dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA); penjual berhak
menjual tanah yang bersangkutan.
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang
yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik
sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri
tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah kedua orang itu bersama-
sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual; tanah hak
yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam
sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah
ditentukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak milik (Pasal
20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai
(Pasal 41).
2. Syarat Formil: Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT
akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang
dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan
pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan Hukum Adat sistem yang
dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/nyata/riil.
20
Penyelenggaraan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebagaimana tersirat
dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang berbunyi :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan hak atas tanah secara benar harus sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan bentuk pembuatan akta tanah yang
dibuat oleh PPAT nantinya akan digunakan sebagai syarat untuk mendaftarkan
peralihan hak atas tanah ke kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tanah
tersebut terletak.
Keseluruhan pengaturan pendaftaran tanah tersebut selain diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juga diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, yaitu :
Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa
(1)PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
21
(2)Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a. Jual beli ; b. Tukar menukar ; c. Hibah ; d. Pemasukan ke dalam perusahaan; e. Pembagian hak bersama ; f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik ; g. Pemberian Hak Tanggungan ; h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Keputusan-keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mensahkan jual
beli hak atas tanah dengan akta yang dibuat tidak dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah :12
1. Keputusan MA No. 1211/K/Sip/1971 tanggal 15 April 1972
Mahkamah Agung telah mengkasir Keputusan Pengadilan Tinggi
Bandung tanggal 5 Agustus 1970 Nomor 275/1968/Perd/PTB, dimana
dapat dibaca bahwa MA telah “membenarkan jual-beli sebidang sawah
yang terjadi pada tahun 1966 yang memakai akta berupa surat segel yang
disaksikan oleh Kepala Desa.”.
2. Keputusan MA Nomor 1363/K/Sip/1971 tanggal 12 Mei 1972
Keputusan MA ini telah mengkasir Keputusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor 890/1964 tanggal 22 September 1966 dan Keputusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 76/1976 tanggal 17 Juli 1967 yang
menetapkan bahwa “akta jual beli tanah berikut rumahnya yang tidak
dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sah” dan
mendalilkan pula bahwa “ketentuan dalam pasal 19 PP 10/1961 tidak
12 S. Adiwinta, Penuntun Hukum Agraria I, CV. Widya Pratama Offset, Bandung, 1997,
hlm.12-16.
22
bermaksud untuk menyampingkan pasal-pasal dari KUHPerdata atau
ketentuan-ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual beli.”.
3. Keputusan MA Nomor 601/K/Sip/1972 tanggal 14 Maret 1973
Keputusan MA ini membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 1/1972/Perd/PTB tanggal 27 April 1972 dan memperkuat
Keputusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 22/1971/Sip tanggal 21
Oktober 1971 memuat pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut : “
karena dengan akta sah (syarat untuk sahnya dipenuhi) dan syarat-syarat
menurut pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria yaitu Undang-undang
Nomor 5/1960 mengenai ini bukan menentukan syarat untuk sah tidaknya
perjanjian jual beli, tetapi hanyalah suatu syarat pembuktian yang harus
diikuti setelah terjadi suatu perjanjian jual beli yang sah”.
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat
dalam perjanjian jual beli. Secara umum asas perjanjian ada 5 (lima) yaitu :
1. Asas Konsensualisme
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 sub 1 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa :“Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Dari perkataan perjanjian yang dibuat secara sah, hal ini menunjukkan
pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang syarat
sahnya perjanjian, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Inilah
yang merupakan dasar dari asas konsensualisme.
23
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini berkenaan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak
(contractsvrijheid, contracteer vrijheid, atau partijautonomie)
Pada dasarnya bahwa :
Orang bebas memuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan
isi, berlakunya, dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau
tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan dipergunakan
dalam perjanjian.13 Namun kebebasan berkontrak tersebut tidak mutlak,
melainkan ada batas-batasnya (Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata), yaitu14
1) Tidak dilarang Undang-Undang;
2) Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
3) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang terpenting di
antara asas-asas yang lain yang terdapat dalm asas-asas hukum perjanjian.
Asas ini merupakan tiang dari hukum perdata, khususnya hukum perikatan
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini disebut juga asas kekuatan mengikat dari perjanjian dan
berhubungan dengan akibat perjanjian. Menurut asas ini bahwa pihak-
pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Sebagaimana telah
13 A.Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm.9-11. 14 Purwahid Patrik, Azas Itikad Baik, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1986, hlm.3.
24
disebutkan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Hal
tersebut berarti bahwa perjanjian telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang.
4. Asas Itikad Baik
Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang didasarkan pada
Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi :
Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Ada dua pengertian mengenai asas itikad baik yaitu : Asas itikad
baik dalam pengertian subyektif merupakan sikap batin seseorang pada
waktu dimulainya hubungan hukum yang berupa perkiraan bahwa syarat-
syarat yang diperlukan telah dipenuhi. Asas ini harus ada pada waktu
perjanjian dibuat sah merupakan asas itikad baik atas dasar kejujuran yang
diatur di dalam Pasal 1963, Pasal 1965, dan Pasal 1977 KUHPerdata. Asas
itikad baik dalam pengertian obyektif Asas ini terutama terletak pada
pelaksanaan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Hal ini
berlaku pada saat pelaksanan perjanjian. Asas itikad baik di sini atas dasar
kepatutan yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata jo Pasal 530
KUHPerdata.
25
5. Asas Kepribadian artinya pada umumnya tidak seorangpun dapat
mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri, pengecualiannya
terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Sedangkan, asas yang menjadi dasar pengaturan Hukum Pertanahan
menurut Undang-Undang Pokok Agraria, antara lain :
1. Asas Kebangsaan
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, Air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh Bumi, Air
dan Ruang Angkasa, termasuk Kekayaan Alam yang terkandung di
dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
Kekayaan Nasional Indonesia;
2. Asas Tingkatan Tertinggi
Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang Terkandung
di dalamnya Dikuasai oleh Negara Asas ini didasari pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria. Sesuai dengan pendirian tersebut,
perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti dimiliki, akan tetapi adalah
pengertian yang memberikan wewenang kepada Negara sebagai
Organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkatan yang tertinggi
untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan
dan pemeliharaan Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam;
26
b. Menentukan dan mengatur Hak dan Kewajiban yang dapat dipunyai
atas Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung
di dalamnya yang ditimbulkan dari hubungan kepentingan orang dan
unsur agraria itu;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan Hukum terkait Bumi, Air, Ruang Angkasa
dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya;
3. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara
Berdasarkan atas Persatuan bangsa dari pada Kepentingan
Perseorangan dan Golongan Dapat dilihat dalam Pasal 3 Undang-Undang
Pokok Agraria. Sekalipun Hak Ulayat (Tanah bersama menurut Hukum
Adat) masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria
Nasional, akan tetapi karena pelaksanaannya berdasarkan Asas ini, maka
untuk kepentingan pembangunan, masyarakat Hukum Adat tidak
dibenarkan untuk menolak penggunaan tanah untuk pembangunan dengan
dasar hak ulayatnya;
4. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Asas ini tertulis dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria,
berarti bahwa Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat
dibenarkan bila digunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, terutama apabila hal tersebut menimbulkan
kerugian bagi masyarakat;
27
5. Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok
Agraria yang berbunyi :
Bahwa setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu Hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
6. Asas Hanya Warga Negara Indonesia Yang Dapat Mempunyai Hak Milik
Atas Tanah
Asas ini dapat ditemui dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria yang berbunyi :
Hak milik adalah hak tertinggi yang dapat dimiliki individu dan berlaku selamanya.Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.Asas ini tidak mencakup Warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing.
7. Asas Pemisahan Horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Suatu asas yang memisahkan antara pemilikan Hak atas tanah
dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas
ini merupakan kebalikan dari Asas Vertical (Verticale Scheidings
Beginsel) atau Asas perlekatan yaitu suatu Asas yang menyatakan segala
apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh
dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda itu artinya
dalam Asas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan Hak atas tanah
dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
28
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu memuat sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif – analitis “yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan
praktek pelaksanaan hukum positif,”.15 Dalam penelitian ini, fakta-fakta
dianalisis untuk memperoleh gambaran menyeluruh dan sistematis
mengenai Tinjauan Yuridis Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Di Bawah Tangan menurut peraturan yang berlaku di Indonesia.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan bersifat yuridis-normatif, yaitu
mengkaji hubungan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain, serta kaitannya dengan penerapan dalam praktik.16 Dalam penelitian
ini, metode tersebut digunakan untuk mengkaji teori-teori hukum agraria
dan peraturan perundang-undangan mengenai hukum agraria untuk
menganalisis terkait dengan obyek yang diteliti.
3. Tahap Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini merupakan
penelitian normatif, sehingga dalam penelitian ini data utama yang
digunakan adalah data sekunder (data yang sudah jadi), sehingga 15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm. 97-98. 16 Ibid, hlm. 97-98.
29
penelitian kepustakaan/ studi kepustakaan merupakan tahap penelitian
utama sedangkan penelitian lapangan hanya bersifat penunjang terhadap
data kepustakaan.
a. Penelitian Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu dengan cara mengambil dari bahan
pustaka berupa konsep-konsep dan teori-teori, pendapat para ahli atau
penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.17
Adapun tahap-tahap penelitian dilakukan dengan menghimpun
data sekunder yang berupa:
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum seperti peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan tinjauan
yuridis terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli di bawah
tangan, yaitu sebagai berikut :
a) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
e) Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
17Ibid, hlm. 23.
30
f) Keputusan MA No. 1211/K/Sip/1971 tanggal 15 April 1972;
g) Keputusan MA Nomor 1363/K/Sip/1971 tanggal 12 Mei 1972;
h) Keputusan MA Nomor 601/K/Sip/1972 tanggal 14 Maret 1973.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang merupakan
hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang yang
berkaitan dengan bidang pertanahan dan bahan yang diperoleh dari
artikel-artikel internet.
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti ensiklopedia, Black Law Dictionary dan kamus
hukum.
b. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan yaitu suatu cara memperoleh data hukum
primer. Dalam hal ini akan dilakukan dengan mengadakan dialog dan
tanya jawab dengan pihak-pihak yang akan dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data tersebut di atas dipergunakan
pengumpulan data berdasarkan:
a. Studi dokumen, yaitu melakukan penelitian kepustakaan untuk
mendapatkan data sekunder terhadap peraturan perundang-undangan
dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian skripsi.
31
b. Wawancara yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang
atau lebih berhadapan secara fisik antara penanya atau interview
dengan pemberi informasi atau responden.18
5. Alat Pengumpul Data
Sarana pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Pengumpul Data
Alat pengumpul data dalam penelitian kepustakaan yaitu
catatan-catatan hasil inventarisasi bahan hukum primer, sekunder dan
tersier yang relevan dengan Tinjauan Yuridis Terhadap Peralihan Hak
Atas Tanah Melalui Jual Beli Di Bawah Tangan, bahan hukum primer
dan bahan hukum tersier.
b. Alat bantu pengumpul data dalam penelitian lapangan berupa daftar
pertanyaan, alat tulis , alat perekam dan flashdisk.
6. Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah terkumpul akan di analisis dengan
menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu seluruh data yang diperoleh
di inventarisasi, dikaji dan diteliti secara menyeluruh, sistematika dan
terintegrasi mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.19 Data
dianalisis dengan cara melakukan interpretasi atas peraturan perundang-
undangan dan dikualifikasikan dengan tanpa menggunakan rumus statistik.
18Ibid, hlm, 71. 19Ibid, hlm. 116.
32
7. Lokasi Penelitian
Selama melakukan penyusunan penelitian, penulis mengunjungi
tempat yang dapat membantu memperoleh data yang dibutuhkan antara
lain :
a. Penelitian Kepustakaan
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung.
Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung.
2) Perpustakaan Hukum Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran Bandung.
Jalan Dipatiukur No.35 Bandung.
b. Instansi
1) Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus.
Jl. L.L.R.E. Martadinata 74-80.
2) Kantor Notaris Riana Suharyati, S.H.
Di Braga, Bandung.
33
8. Jadwal Penelitian
No RENCANA KEGIATAN
TAHUN 2018
Feb Maret April Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan/ Penyusunan Proposal
2 Seminar
Proposal
3 Persiapan
Penelitian
4 Pengumpula
n Data
5 Pengolahan Data
6 AnalisisData
7 Penyusunan Hasil Penelitian Ke Dalam Bentuk Skripsi
8 Sidang
Skripsi
9 Perbaikan
10 Penjilidan
11 Pengesahan