TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT …/Tinjauan... · v abstrak andre dicky p rayudha ,...

75
TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT …/Tinjauan... · v abstrak andre dicky p rayudha ,...

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT

(DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI

PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA

(STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Andre Dicky Prayudha

NIM.E0005087

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT

(DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI

PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA

(STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)

Oleh

Andre Dicky Prayudha

NIM.E0005087

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, April 2010

Dosen Pembimbing

Bambang Santoso, S.H., M.Hum.

NIP. 19620209 198903 1 001

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT

(DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM

PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI

PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA

(STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)

Oleh

Andre Dicky Prayudha

NIM.E0005087

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari :

Tanggal :

DEWAN PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. )

NIP.19570629 198503 1 002

Ketua

2. Kristiyadi, S.H., M.Hum. ( ..................................)

NIP.19581225 198601 1 001

Sekretaris

3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ................................. )

NIP.19620209 198903 1 001

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.

NIP.19610930 198601 1 001

iv

PERNYATAAN

Nama : Andre Dicky Prayudha

NIM : E0005087

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

“Tinjauan Yuridis Penggunaan Alat Bukti Surat (Documentary Evidence) Oleh

Penuntut Umum Dalam Proses Pembuktian Perkara Pemalsuan Ijazah Di

Persidangan Dan Kekuatan Pembuktiannya (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri

Madiun)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam

penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)

dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, April 2010

yang membuat pernyataan

Andre Dicky Prayudha

NIM.E0005087

v

ABSTRAK

Andre Dicky Prayudha, E0005087. 2010. “TINJAUAN YURIDIS

PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH

PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA

PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN

PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)”.

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui penggunaan alat bukti surat

(documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam

proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan kekuatan

pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) dalam proses pembuktian

perkara pemalsuan ijazah di persidangan.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif yang bersifat kualitatif. Data sekunder bersumber dari dokumen,

buku-buku, literatur, majalah, internet, peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah dengan studi kepustakaan. Penulis menggunakan teknik analisis data dengan

logika deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka

disimpulkan bahwa Penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) dalam

pembuktian perkara pemalsuan ijazah mengacu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c

KUHAP, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Di dalam proses

pemeriksaan tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri

Madiun dengan terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI penyidik

menggunakan alat bukti surat untuk mengungkap fakta dalam persidangan.

Kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah berdasarkan

pasal 187 KUHAP, penjelasan pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa surat

sebagaimana tersebut pada Pasal 184 (1) huruf c KUHAP dalam pembuktian

perkara pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri Madiun adalah sah dan

dapat dipertangungjawabkan. Melihat letak urutannya yaitu ketiga setelah

keterangan saksi dan keterangan ahli maka alat bukti surat (documentary evidence)

sebagai salah satu alat bukti yang penting. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan

dalam pembaruan hukum karena disadari pada massa perkembangan ilmu dan

teknologi, alat bukti surat memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana.

Kata kunci : Pemalsuan ijazah, Pembuktian , Documentary Evidence

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha

Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, atas segala limpahan rizki dan karuniaNya

kepada penulis serta tidak lupa shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul” “TINJAUAN YURIDIS

PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE)

OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA

PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN

PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN).

Penulisan hukum ini membahas mengenai berbagai macam penggunaan alat

bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan

kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) dalam proses

pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu baik materiil maupun imateriil sehingga penulisan

hukum ini dapat terselesaikan, terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi yang

telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, motivasi demi

kemajuan Penulis, dan juga cerita-cerita serta pengalaman yang dapat

memberikan semangat bagi Penulis.

vii

4. Bapak Pius Triwahyudi S.H., M.Si., selaku pembimbing akademik penulis

yang telah memberikan bimbingan selama penulis menempuh masa

perkuliahan.

5. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan

memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta

menyelesaikan penulisan hukum ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Hukum UNS yang

telah memberikan ilmu, membimbing penulis dan membantu kelancaran

sehingga dapat menjadi bekal bagi penulis dalam penulisan hukum ini dan

semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis.

7. Papa dan Mama tercinta, Nono Rachmasono dan Dahlia, S.H., M.H. yang

selalu membimbing dan tidak henti-hentinya mendoakan penulis serta

memberikan segala perhatian baik moral maupun material.

8. Terima kasih atas partner terindah Dian Savitri, S.H. atas eksistensinya untuk

memberikan dorongan dan motivasinya yang tak lekang oleh batas ruang dan

waktu.

9. Novis Purwaningrum, Ermellia Octaviani, Denok, Fitriana Yunita Puri, M.Faiq,

Bayu Novyandri, Dewi Hartika, atas kehangatan dan keceriannya yang selalu

menemani selama ini.

10. Teman-teman di Fakultas Hukum UNS, Dira, Dije, Dipus, Dipi, Ana, Bintang,

Iwan, Aid, Puput, Menul, Kuclux, Reza, Dyah, Endah, Rima, Isti, Kiki, Indri,

Thukul, Paito, Rasyid, Prima, Indra, Edy, Maya, Tantri, Putu, Trex, Okky,

Siwenk, Anggun, Brama, Aini, Desita, Intan, Fenty, Andika, Septin dan semua

angkatan 2005 yang tidak dapat disebut satu persatu, terima kasih telah

menambah pengalaman dan cerita dalam hidup dan selalu menjadi kenangan.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara

moril maupun materiil.

viii

Dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang

membangun sehingga dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam

penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi siapapun

yang membacanya.

Surakarta, April 2010

Penulis

Andre Dicky Prayudha

NIM.E0005087

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …….........……………………….........................………… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………….…………............ ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………….…..….….…….. iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ………...……………………………………………….……..…….... v

KATA PENGANTAR………………………….…………………………..…….. vi

DAFTAR ISI .....………………………………………………………….….…… ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ...………………………….…………...….……… 1

A. Latar Belakang masalah……………….………………....………... 1

B. Perumusan Masalah………………………………….....…………. 6

C. Tujuan Penelitian…………………………………….....…………. 6

D. Manfaat Penelitian ...………………………………….....………... 7

E. Metode Penelitian ………………...………………….....………… 8

F. Sistematika Penelitian …...……………………………....………. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...………………………………...… 12

A. Kerangka Teori ...…………………………………………...…… 12

1. Tinjauan Tentang Pembuktian........................................…….. 12

a. Pengertian Pembuktian ...................................................... 12

b. Asas-Asas Pembuktian ...................................................... 15

c. Teori atau Sistem Pembuktian............................................ 16

d. Alat Bukti Sah Menurut KUHAP..................................... 20

2. Tinjauan Tentang Kejaksaan................…….....….... .............. 23

a. Pengertian Kejaksaan......................................................... 23

b. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ...................................... 23

c. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum................................ 23

d. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum............................. 24

x

3. Tinjauan Tentang Pemalsuan.................................................... 24

a. Pengertian Pemalsuan ....................................................... 24

b. Pengertian Pemalsuan ijazah .............................................. 26

B. Kerangka Pemikiran …………………………………..……......... 28

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……............................ 30

A. Penggunaan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian Perkara Tindak

Pidana Pemalsuan Ijazah ..........................................…………...... 35

1. Kasus Posisi................................................................................ 35

2. Identitas Terdakwa...................................................................... 37

3. Dakwaan..................................................................................... 37

4. Alat Bukti yang Digunakan Penuntut Umum............................ 42

5. Pembahasan............................................................................... 46

B. Kekuatan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian ............................... 51

1. Pertimbangan Hakim................................................................ 51

2. Amar putusan .......................................................................... 54

3. Pembahasan ............................................................................. 55

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 61

A. Simpulan …........……………….................................................... 61

B. Saran .......……………………………………………..………..... 61

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar I Kerangka Pemikiran .......................................................................... 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan

atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan

yang berlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi

terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang

dirumuskan pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan

Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya tidak terlepas

dari pengaruh perkembangan dunia. Perkembangan yang terjadi sudah mulai

merambah banyak aspek kehidupan. Agar tujuan dan cita-cita Bangsa

Indonesia tersebut dapat tercapai, maka negara melaksanakan pembangunan

dalam segala bidang demi kesejahteraan rakyat, dan rakyat Indonesia itu

sendiri harus merasa aman dari berbagai macam ancaman dan bahaya baik

yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Usaha pembangunan

ini juga harus didukung dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM)

yang berkualitas untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam

(SDA) yang tersedia dengan baik dan bijaksana. Selain itu, negara melalui

alat-alat perlengkapan negara harus mampu membuat kebijakan-kebijakan

yang mendukung usaha pembangunan tersebut dengan tetap berpihak pada

kepentingan umum. Dengan demikian, diharapkan usaha pembangunan

tersebut dapat dilaksanakan dengan adil dan merata di seluruh wilayah

2

Indonesia. Meskipun demikian, dalam kenyataannya pemerintah masih

mengalami banyak kendala.

Perkembangan jaman membawa pengaruh besar pada perkembangan

masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih

lagi dalam masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini yang semakin

terpuruk. Tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja namun juga berdampak

pada krisis moral. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang mengambil

jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.

Masalah ini menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas terutama di

daerah urban terjadi kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang

semakin bertambah, didukung dengan angka kemiskinan yang tinggi

mengakibatkan seseorang tega untuk berbuat jahat.

Kejahatan menurut hukum adalah perbuatan yang melanggar atau

bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum. Kejahatan

dapat terjadi di setiap tempat, waktu, dan negara. Melihat kejahatan yang

menimbulkan kerugian dalam masyarakat, maka peranan hukum dalam

menegakkan keadilan sangat diperlukan. Bagaimanapun bentuk kejahatan

yang ada dalam masyarakat harus dilakukan usaha untuk mencegah dan

mengurangi timbulnya kejahatan yang baru serta ditetapkan cara-cara

penanggulangannya.

Dari berbagai macam kajahatan yang terjadi dalam masyarakat salah

satunya adalah kejahatan pemalsuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi

tindak pidana pemalsuan dengan berbagai macam bentuk dan

perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat

intelektualitas dari kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan

mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan

yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu

sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar

adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Dalam

3

ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan,

antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai, dan

pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak

pidana pemalsuan tersebut, tindak pidana pemalsuan surat mengalami

perkembangan yang begitu kompleks, karena jika kita melihat obyek yang

dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi

yang sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu

berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari. Tentang tindak pidana

pemalsuan surat ini, Wirjono Prodjodikoro mengatakan, tindak pidana ini

oleh Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dinamakan (kualifikasi) “pemalsuan surat (Valsheid in Geschriften)”. Dengan

kualifikasi pada macam surat: Ke-1: surat yang dapat menerbitkan suatu hak,

suatu perikatan atau pembebasan hutang, Ke-2: surat yang ditujukan untuk

membuktikan suatu kejadian. Dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan

surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar

kesarjanaan.

Dewasa ini terjadi peningkatan tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar

kesarjanaan, yang cukup menyita perhatian masyarakat. Peningkatan

kejahatan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita,

yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang

seseorang dari sisi gelar yang disandangnya dari pada kerjanya. Ijazah atau

gelar dianggap sebagai “tiket” untuk meningkatkan status sosial, jabatan dan

lain-lain. Hal inilah yang turut menghidup suburkan praktik jual beli ijazah

atau gelar aspal (asli tapi palsu). Praktek pemalsuan ijazah atau gelar

kesarjanaan merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu

kepercayaan masyarakat terhadap suatu surat atau akta otentik, terlebih lagi

hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau

penghinaan terhadap dunia pendidikan. Kegiatan pendidikan yang seharusnya

menjadi investasi sumber daya manusia menuju suatu kualitas yang

diharapkan dengan standar kompetensi dan kualifikasi tertentu yang harus

4

dikuasai bagi kelangsungan hidup manusia dan khususnya suatu bangsa

(http://one.indoskripsi.com.).

Mereka yang menggunakan ijazah palsu, selain dikategorikan sebagai

pelaku tindak kriminal, juga dapat dikategorikan sebagai berperilaku

menyimpang. Mereka memiliki kelainan perilaku dan kepribadian seperti

tidak percaya diri, tidak ada rasa malu, tidak jujur, menipu, merugikan orang

lain, penyalah gunaan wewenang, korupsi, melakukan kebohongan publik,

dan kebohongan terhadap diri sendiri. Penampilan seperti itu hanya

ditunjukkan oleh mereka yang mendapat gangguan kepribadian (disorganized

personality) yang tanpa malu menggunakan kepalsuan mereka di tengah-

tengah kehidupan msyarakat.

Untuk saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

tindak pidana pemalsuan ijazah memang belum spesifik atau khusus, seperti

peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Padahal

sebenarnya hal tersebut adalah sarana represif yang sangat penting yang tidak

dapat dipisahkan. Peraturan mengenai pemalsuan ijazah saat ini memang

belum dikodifikasikan secara khusus dalam sistim peradilan kita. Akan tetapi

peraturan mengenai tindak pidana pemalsuan sudah dimuat dalam Buku II

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun tidak secara

spesifik disebutkan sebagai pemalsuan ijazah, pemalsuan ijazah dapat

digolongkan atau dimaksudkan kedalamnya.

Dengan ketentuan tersebut hukum acara pidana dalam Buku II Kitab

Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat melakukan

pemeriksaan terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah. Namun mengenai

pemeriksaan di muka pengadilan terdapat beberapa hal yang diatur tersendiri.

Hal ini tentunya juga berkaitan dengan masalah pembuktian dan alat bukti

dalam tindak pidana pemalsuan ijazah. Perihal pembuktian adalah bagian

yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Karena tujuan

dari pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil

atau kebenaran yang sesungguhnya. Dan pembuktian adalah salah satu cara

5

untuk mencapai itu. Dimana hakim menemukan dan menetapkan terwujudnya

kebenaran yang sesungguhnya itu.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam

proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan

nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang

ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat

bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus

dinyatakan bersalah dan Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman pidana

sesuai dengan pasal yang diancamkan. Tindak pidana pemalsuan ijazah,

dalam pelaksanaan pembuktiannya dilakukan sesuai dengan Pasal 184 ayat

(1) KUHAP. Proses pembuktian di persidangan tidaklah selalu berjalan

lancar, tidak jarang dijumpai hambatan-hambatan dalam proses pembuktian.

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian

secara mendalam terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pembuktian

tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan oleh Penuntut Umum

Kejaksaan Negeri Madiun terutama tentang penggunaan alat bukti surat

(documentary evidence), termasuk mengenai kekuatan pembuktian alat bukti

surat. Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis mengkaji proses pembuktian

pada perkara yang ditangani oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun.

Untuk itu Penulis melakukan penelitian dalam bentuk Penulisan Hukum atau

Skripsi yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT

BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT

UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN

IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA

(STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)”.

6

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

penelitian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam membatasi

masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan hasil dari penelitian dapat

sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis mencoba

merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh

Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian

perkara pemalsuan ijazah di persidangan?

2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary

evidence) dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di

persidangan?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai

dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis

dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui penggunaan alat bukti surat (documentary

evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam

proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan.

b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti surat

(documentary evidence) dalam proses pembuktian perkara

pemalsuan ijazah di persidangan.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang

7

diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori

dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara

pidana yang sangat berarti bagi penulis.

c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu

hukum.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan hukum tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan

kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat

yang didapat dari penulisan hukum ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data

sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan

untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk sedikit memberi sumbang pengetahuan dan pikiran dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum

pada khususnya.

c. Untuk mendalami teori–teori yang telah penulis peroleh selama

menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih

lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai

bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum

8

maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan

hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi

masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait

dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara

seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-

lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 2006:6). Maka dalam

penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat

dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun

metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat

kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada

kuantitas atau banyaknya data (Lexy J. Moleong, 1993:3). Dalam

penelitian hukum normatif, peneliti cukup dengan mengumpulkan data-

data sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil

penelitian. Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis.

Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh

gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang

diteliti, yaitu mengenai penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian

tindak pidana pemalsuan surat.

2. Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan

menggunakan metode penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang

ada. Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kasus (case

study).

9

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh

seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan

kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan

perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan

sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang

diteliti.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif

adalah sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder

adalah bahan-hahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen putusan

pengadilan, buku-buku, laporan, arsip dan literatur yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua bahan atau materi hukum yang

mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, seperti peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ini meliputi :

1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia;

2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana;

3) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi:

1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum yang berkaitan dengan topik

penelitian;

2) Literatur dan hasil penelitian.

10

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Ini biasanya

diperoleh dari media internet, kamus ensiklopedi dan lain sebagainya

(Lexy J. Moleong, 1993:3).

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

sesuai dengan jenis dan sumber datanya. Sumber data yang disebut bahan

penelitian ini diperoleh lewat penelitian ini diperoleh lewat penelitian

kepustakaan akan diinventarisasi dan dianalisis. Dalam studi kepustakaan

ini penulis mendapat data yang bersifat teoritis yaitu dengan jalan

membaca dan mempelajari buku-buku, literatur, dokumen, majalah,

internet, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian serta bahan lain

yang erat hubungannya dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, permasalahan hukum akan dianalisis dengan

dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh

dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji

dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta

dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait,

kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk

menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik

kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya

dapat diketahui penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian tindak

pidana pemalsuan surat

F. Sistematika Penulisan Hukum

Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa

yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab

ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut :

11

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang berisi

latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan

sistematika skripsi.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai tinjauan

tentang pembuktian, tinjauan tentang kejaksaan serta tinjauan

tentang pemalsuan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang disertai dengan

pembahasan mengenai penggunaan alat bukti surat (documentary

evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam

proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan

kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) oleh

Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses

pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data

yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap

pembahasan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan

pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga

bermanfaat bagi semua pihak.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian

sehingga pengertian mengenai pembuktian diberikan oleh para ahli.

Pembuktian adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi

dan terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya (Darwan Prints, 1998:133).

Pembuktian tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberi kepastian tentang perkara yang diajukan.

Pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan

perundang-undangan mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu

kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan

dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan

perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut

ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam

perkara pidana (Bambang Poernomo, 1986:36).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap,

2000:273).

13

Berdasarkan pengertian yang diuraikan di atas, dapat

disimpulkan bahwa ruang lingkup pembuktian meliputi tiga hal,

yaitu :

1) Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan

pedoman cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan terdakwa, di kenal juga dengan sistem atau teori

pembuktian;

2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan

dan diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim

membuktikan kesalahan;

3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai

kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.

Demikian ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan inti

pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang

peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan oleh sebab

itu mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat

pemeriksaan, khususnya penuntut umum yang berwenang menuntut

dan dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa.

Kegagalan penuntut umum dalam tugas penuntutan banyak

tergantung pada ketidakmampuan menguasai teknik pembuktian.

Penuntut umum terikat pada pasal ketentuan dan penilai alat

bukti yang ditentukan Undang-Undang. Penuntut umum, hakim,

terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati

dengan kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat

bukti di luar apa yang telah digariskan Undang-Undang. Dalam hal

ini penuntut umum bertindak sebagai aparat yang di beri wewenang

untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa.

14

Sebaliknya terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak

untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan

penuntut umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan Undang-

Undang, bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan

saksi yang meringankan atau saksi a de charge maupun dengan alibi.

Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan

mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap

alat bukti yang ada.

Pembuktian juga bisa berarti penegasan bahwa ketentuan tindak

pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya

surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil

kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan

pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti.

Berarti apa yang didakwakan dalam dakwaan primair tidak sesuai

dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal ini, arti dan fungsi

pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang

dilakukan terdakwa sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan

yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak

pidana yang telah terbukti sesuai dengan dakwaan pengganti.

Dalam pembuktian tidaklah mungkin dapat tercapai kebenaran

mutlak (absolut). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif,

yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang

tidak selalu pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran

mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh

sebagian besar dari pelaku tindak pidana mengharapkan pasti dapat

bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan

dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan

besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-

perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-kesalahannya

15

walaupun salalu ada kemungkinannya, merupakan suatu hal yang

tidak dapat diterima sama sekali (Djoko Prakoso, 1988:37).

b. Asas–asas Pembuktian

Di dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus

diketahui, yaitu :

1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi : “ hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan”. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum

yang didasarkan pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau

peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat

yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa

dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut Undang-

Undang,. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.

2) Menjadi saksi adalah kewajiban

Diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan: ”saksi

adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri”. Dengan demikian syarat seseorang wajib

menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri.

3) Satu saksi bukan saksi

Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi : ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus

16

testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut

undang-undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan

pengalaman praktek, keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara

pidana di pengadilan.

Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan

biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti

keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa

dikuatkan atau di dukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah,

maka kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian tidak cukup

membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus

membebaskan terdakwa dari tuntutan penuntut umum.

4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajban penuntut

umum membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian

terbalik“ atau lebih tepatnya ”pembalikan beban pembuktian”

yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di

Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan

terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti lain.

c. Teori atau Sistem Pembuktian

Dalam hukum acara pidana dikenal adanya empat teori

pembuktian yaitu :

1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif

(positif wettelijke bewijsteorie).

Sistem ini berkembang abad di pertengahan, dan saat ini

sudah mulai ditinggalkan. Pembuktian menurut undang-undang

secara positif artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim

17

telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-

alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang tanpa

diperlukan keyakinan hakim dapat menjatuhkan putusan

(Bambang Poernomo, 1986:40). Dikatakan secara positif karena

hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut

oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan

sama sekali.

2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata atau

sistem keyakian belaka (conviction intime).

Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu

peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu

kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak

terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus

tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya hakim

belaka, yang dapat diambil dari dan disimpulkan oleh hakim

dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan,

atau bisa juga dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan

oleh hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan atau

pengakuan terdakwa.

3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan

yang logis (la convictio raisonee).

Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar

pembuktian disertai dengan kesimpulan yang berlandaskan

kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Hakim bebas

untuk menentukan macam dan banyaknya alat-alat bukti yang

dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, satu-

satunya peraturan yang mengikat kepadanya ialah bahwa dalam

keputusannya hakim harus menyebutkan pula alasan-alasannya.

18

4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif

(negatief wattelijke)

Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim

memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:247-

253). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa

adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang

dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam

undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan

hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan

hakim atas kebenarannya.

Cara menilai atau menggunakan alat bukti telah diatur

dalam undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas

adanya “kebenaran” alat-alat bukti atau atas kejadian. Untuk

menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut

undang-undang secara negatif terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang.

b) Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang

(M. Yahya Harahap, 2000:279).

Unsur di atas tidak ada yang paling dominan, jika salah satu dari

kedua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian

kesalahan terdakwa.

Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam Pasal

183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

19

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam penjelasan

Pasal 183 KUHAP, ditegaskan bahwa seseorang untuk dapat

dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya,

apabila :

a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua

alat bukti” ;

b) Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Jika dilihat melalui konstruksi hukumnya, maka keyakinan

hakim hanyalah sebagai pelengkap. Tidak dibenarkan

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang kesalahannya

tidak terbukti secara sah berdasarkan ketentuan perundangan

yang berlaku, kemudian keterbuktiannya itu digabung dan

didukung dengan keyakinan hakim. Dalam praktik keyakinan

hakim itu bisa saja dikesampingkan apabila keyakinan hakim

tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian yang cukup.

Keyakinan hakim tersebut dianggap tidak mempunyai nilai

apabila tidak dibarengi oleh pembuktian yang cukup.

Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan

untuk pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum

membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung

jawab untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang

kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa,

bukan sebaliknya terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia

tidak bersalah.

20

Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat

bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan

mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu

terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa

yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatannya

(Martiman Prodjohamijaya, 1983:19).

d. Alat Bukti Sah Menurut KUHAP

Alat-alat bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam sidang

pengadilan adalah alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184

ayat ( 1 ) KUHAP, meliputi :

1) Keterangan Saksi

Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah

“salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Macam saksi

menurut Darwan Prinst dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a) Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa), adalah saksi

dalam perkara pidaana yang dipilih dan diajukan oleh

penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang

memberatkan terdakwa.

b) Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa), adalah

saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau

terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan

terdakwa.

2) Keterangan Ahli

Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

21

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Sedangkan pengertian keterangan ahli yang termuat dalam Pasal

186 KUHAP, adalah apa yang seorang ahli nyatakan dalam

sidang pengadilan.

Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang

dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan

mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di

sidang, saksi ahli diminta untuk memberikan keterangan dan

dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut

diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan

hakim (Djoko Prakoso, 1988:78).

3) Surat

Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP,

surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat

atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian

atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya

sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

kejadian itu;

(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu

hal atau sesuatu keadaan;

(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi kepadanya;

(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

22

4) Petunjuk

Di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat di

dalam Pasal 188 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang

karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya ;

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

diperoleh dari :

(a) Keterangan saksi ;

(b) Surat ;

(c) Keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk

dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan

arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan

dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan

hati nuraninya.

5) Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP di atur

dalam Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di

sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat

digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,

asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang

sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap

dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang

lain.

Dalam mencari alat bukti keterangan terdakwa harus

benar-benar tuntas, artinya tidak cukup umpamanya hanya atas

23

perbuatan yang didakwakan saja, melainkan juga dengan

segala keterangan mengenai perbuatan yang dilakukannya dan

cara-cara melakukannya (Laden Marpaung, 1992:42).

2. Tinjauan Tentang Kejaksaan

a. Pengertian Kejaksaan

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Imdonesia, ”Kejaksaan adalah

lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.”

Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

b. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang

sebagai berikut :

1) Melakukan penuntutan;

2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;

4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

c. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP,

”Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

24

d. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan

wewenang Penuntut Umum adalah :

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan ;

2) Mengadakan prapenuntutan ;

3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan

mengubah status penahanan ;

4) Membuat surat dakwaan ;

5) Melimpahkan berkas ke pengadilan ;

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang waktu

sidang dengan surat panggilan kepada saksi dan terdakwa ;

7) Melakukan penuntutan ;

8) Menutup perkara demi kepentingan hukum ;

9) Melaksanakan penetapan hakim ;

10) Tindakan lain menurut hukum.

3. Tinjauan Tentang Pemalsuan

1) Pengertian Pemalsuan

Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau

benda, statistik, atau dokumen-dokumen dengan maksud untuk

menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan

memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang

diperoleh melalui pemalsuan. Menyalin, studio pengganda, dan

mereproduksi tidak dianggap sebagai pemalsuan, meski pun

mungkin mereka nanti dapat menjadi pemalsuan selama mengetahui

dan berkeinginan untuk tidak dipublikasikan. Dalam hal penempaan

uang atau mata uang itu lebih sering disebut pemalsuan. Barang

konsumen tetapi juga meniru ketika mereka tidak diproduksi atau

yang dihasilkan oleh manufaktur atau produsen diberikan pada label

atau merek dagang tersebut ditandai oleh simbol. Ketika objeknya

adalah catatan atau dokumen ini sering disebut sebagai dokumen

palsu (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemalsuan).

25

Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya

mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek)

yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya,

padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Suatu

pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak

dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kebenaran beberapa

bukti surat dan atas alat tukarnya, kiranya perbuatan pemalsuan

dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat

tersebut.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 263

menyatakan bahwa :

(1) “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang

dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan

hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu

hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain

memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak

dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan

kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling

lama enam tahun.”

(2) “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan

sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah

sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Sementara dalam Pasal 264 KUHP diatur bahwa :

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama

delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

(a) Akta-akta otentik;

(b) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau

bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

(c) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari

suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:

(d) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat

yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang

dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

(e) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk

diedarkan.

26

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja

memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak

sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu,

jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Mengenai perbuatan pemalsuan ternyata merupakan suatu jenis

pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar:

(a) Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarnya dapat tergolong

dalam kelompok kejahatan penipuan;

(b) Ketertiban masyarakat, yang pelanggarnya tergolong dalam

kelompok kejahatan terhadap negara atau ketertiban masyarakat.

2) Pengertian Pemalsuan Ijazah

Pada hakikatnya ijazah itu berupa dokumen sebagai bukti fisik

atas pencapaian kualifikasi tingkat pendidikan yang telah dicapai

seseorang setelah mengikuti suatu program tertentu berdasarkan

ketentuan yang berlaku. Sementara gelar akademik merupakan

simbol kualifikasi yang diberikan kepada seseorang yang dinilai

telah memeliki kualifikasi akademik dalam bidang tertentu sesuia

dengan ketentuan yang telah ditentukan. Ketentuan yang dimaksud

adalah status kelembagaan, lamanya program, isi program atau

kurikulum, proses pembelajaran, proses penilaian, persyaratan

administratif, penguasaan akademis dan lain sebagiannya. Seseorang

yang berhak menerima ijazah dan gelar adalah mereka yang telah

mengikuti seluruh program secara utuh dan dinyatakan berhasil

melalui sistem penilaian atau ujian dan dinyatakan lulus berdasarkan

standart dan peraturan yang berlaku.

Ijazah dan gelar akademik sebagai bukti kualifikasi pencapaian

pendidikan diberikan pada akhir pendidikan. Dapat dikatakan bahwa

ijazah adalah produk dari suatu proses dan hasil capai program

pendidikan dan gelar akademik adalah proses dan hasil capai

program pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi

27

atau dinas pendidikan yang terakreditasi. Apabila ada orang yang

memiliki ijazah dan atau gelar diluar ketentuan tersebut, misalnya

tidak mengikuti proses program pendidikan, tidak mengikuti ujian

atau penyimpangan lainnya di luar ketentuan yang berlaku. Mungkin

ijazahnya palsu atau tidak sah, atau kelainan lain sehingga hal itu

merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

Siapapun yang terlibat dalam proses pemalsuan ini apakah lembaga

yang mengeluarkan, oknum yang memberikan, oknum yang

memfasilitasi, dan oknum pengguna ijazah serta gelar palsu adalah

perbuatan kriminal dan dapat dikenakan tindakan pidana sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku.

28

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Salah satu bentuk dari berbagai macam tindak pidana yang sedang

marak di masyarakat salah satunya adalah pemalsuan. Pemalsuan yang

dalam hal ini adalah pemalsuan ijazah tidak terlepas dari tanggung jawab

para penegak hukum. Instansi kejaksaan dalam hal ini jaksa sebagai salah

Tindak pidana

(Pemalsuan)

Penegak Hukum

KEJAKSAAN

Penuntutan

Pembuktian

Alat bukti

(Pasal 184 KUHAP)

Kekuatan pembuktian

Ket. Saksi

Ket. Ahli SURAT Petunjuk

Ket. Terdakwa

29

satu penegak hukum memegang peran yang sangat penting dalam

penanganan terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah khususnya dalam hal

penuntutan. Proses penuntutan dalam persidangan tentunya perlu didukung

dengan proses pembuktian yang menurut Pasal 184 KUHAP telah

dijelaskan mengenai macam-macam alat bukti. Salah satu alat bukti adalah

alat bukti surat (documentary evidence). Dalam penulisan hukum ini hal

yang akan dikaji adalah mengenai kekuatan pembuktian dari alat bukti

surat (documentary evidence) tersebut.

30

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penggunaan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian Perkara Tindak

Pidana Pemalsuan Ijazah

Dalam kaitan dengan pemalsuan ijazah oleh sebagian calon legislatif

tersebut, panitia pengawas pemilihan umum (panwaslu) telah meminta

kepada pihak kepolisian segera menyelesaikan laporan pemalsuan pemalsuan

ijazah sebagai tindakan pelanggaran pidana. Mekanisme pelaporan tersebut

secara terperinci telah diatur dalam Pasal 127 Undang – Undang Pemilihan

umum yang berbunyi sebagai berikut :

a) Ayat pertama, pengawas pemilihan umum menerima laporan

pelanggaran pemilihan umum pada setiap tahapan penyelenggaraan

pemilihan umum.

b) Kedua, laporan pelanggaran pemilihan umum dapat diajukan oleh:

(1) Warga negara yang mempunyai hak pilih;

(2) Pemantau pemilihan umum dan atau;

(3) Peserta pemilihan umum.

c) Ketiga, laporan disampaikan secara lisan atau tertulis yang berisi:

(1) Nama dan alamat pelapor;

(2) Waktu dan tempat kejadian perkara;

(3) Nama dan alamat pelanggar;

(4) Nama dan alamat saksi – saksi;

(5) Uraian kejadian.

d) Keempat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat ketiga disampaikan

kepada pengawas pemilihan umum sesuai dengan wilayah kerjanya

31

selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran

pemilihan umum.

Selanjutnya Pasal 128 ayat 5 dan Pasal 130 Undang – Undang pemilihan

umum memerintahkan panitia pengawas pemilihan umum untuk

menyampaikan laporan yang mengandung unsur pidana kepada penyidik

dalam hal ini kepada kepolisian. Di tangan kepolisian, perkara tersebut

selanjutnya diproses dengan menggunakan mekanisme beracara seperti yang

diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana kecuali

ditentukan lain dalam Undang – Undang pemilihan umum.

Pemalsuan ijazah yang dilakukan sementara oleh calon legislatif dalam

hukum positif kita, termasuk perbuatan yang melanggar Pasal 263 ayat 1 dan

2 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana yaitu tentang pemalsuan surat yang

isinya:

a) Barang siapa membuat membuat secara tidak benar atau memalsu surat

yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan

hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan

maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat

tersebut seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika

pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan

surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

b) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

memakai surat yang isinya tidak benar atau dipalsu, seolah – olah benar

dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Maka mereka yang melakukan perbuatan terlarang tersebut diganjar

dengan hukuman pidana paling lama enam tahun. Sementara itu, Undang

– Undang pemilihan umum mengatur sanksi pidana perbuatan tersebut

dalam Pasal 137 ayat 3 dan 4 yang hukumnya jauh lebih ringan

dibandingkan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

Dalam Undang – Undang Pemilihan Umum, hukum berkisar antara tiga

32

bulan sampai dengan 18 bulan saja, atau denda enam ratus ribu rupiah

saja sampai dengan enam juta rupiah. Mengenai berat ringannya

hukuman, sepenuhnya akan ditentukan oleh hakim yang mengadili

perkara tersebut. Isi dari Pasal 137 ayat 3 dan 4 adalah :

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut

suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk

menjalankan suatu perbuatan dalam Pemilu, dengan maksud untuk

digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau

tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau

denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau

paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau

dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain

menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu

rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Perlu digaris bawahi bahwa perbuatan pidana pemalsuan ijazah

bukanlah termasuk dalam delik aduan (klachtdelict) yang mensyaratkan

harus ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, sebagaimana

dalam kasus penghinaan (belediging) Pasal 310 jo Pasal 319 Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana. Dalam kasus penghinaan, mereka

yang merasa dihina atau dicemarkan nama baiknya harus aktif

mengadukan kepada pihak kepolisian atas perilaku dari orang yang

menghina ataupun mencemarkan nama baiknya. Mereka pun dapat pula

mencabut pengaduan tersebut jika, misalnya terjadi perdamaian diantara

yang berperkara.

Dalam kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh sebagian calon

legislatif, pihak kepolisian harus melakukan penyidikan dengan atau

tanpa laporan masyarakat apalagi masyarakat melalui media massa telah

mengungkapkan indikasi ke arah itu. Sepatutnya pihak kepolisian

melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mendapatkan bukti

33

permulaan yang cukup bagi pemanggilan tersangka. Kasus pemalsuan

ijazah sama halnya dengan kasus pembunuhan, pencurian, dan lain lain.

Peranan polisi sangatlah besar. Karena perbuatan tersebut termasuk

dalam kepentingan publik. Dalam konteks sistem peradilan di Indonesia,

Pasal 133 ayat 1 Undang – Undang Pemilihan Umum mengatur bahwa

pemeriksaan perkara ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum.

Dengan demikian, kewajiban pihak kepolisian bekerja secara aktif

untuk membawa pelaku pemalsuan ijazah terutama para calon anggota

legislatif ke muka pengadilan. Akibatnya, jika pihak kepolisian

mendiamkan saja pelanggaran pidana tersebut karena menganggap

bahwa hal ini adalah urusan panitia pengawas pemilihan umum, pihak

kepolisian tersebut dapat dijerat dengan Pasal 164 dan Pasal 165 Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana. Yaitu delik pembiaran (ommisie

delicten) yaitu pelanggaran terhadap sesuatu yang seharusnya (gebod)

dicegah untuk tidak terjadi, tetapi dibiarkan terjadi dengan sengaja atau

atas dasar kelalaian sebagaimana tertera dalam Pasal 164 dan Pasal 165

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Alasannya, sebagai penegak

hukum yang berwenang mencegah dan menyidik pemalsuan ijazah

tersebut akan dianggap melalaikan tugasnya sebagai penegak hukum.

Tidak ada alasan pembenar atau alasan apapun untuk mengatakan bahwa

pihak kepolisian tidak mengetahui karena tiadanya laporan.

Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab XX Pasal 67 sampai dengan Pasal 71 mengatur tentang

ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran pendidikan

termasuk pemalsuan ijazah dan gelar palsu, pemalsuan ijazah diancam

dengan hukuman pidana yang cukup berat yang berupa kurungan penjara

selama lima tahun kurungan atau denda sebesar maksimal Rp 500 juta,

bagi pelanggar seperti pemakai ijazah palsu, lembaga yang

mengeluarkan, dan oknum yang terlibat.

34

Disamping hukuman badan dan atau denda, juga pencabutan ijazah

yang sudah dimiliki oleh calon legislatif yang terbukti telah melakukan

pemalsuan ijazah. Misalnya yang bersangkutan telah memalsukan ijazah

SMA-nya. Kemudian dengan ijazah SMA tersebut dia melanjutkan

pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi hingga mencapai gelar

sarjana. Apakah ijazah sarjananya tersebut dapat dicabut dan siapa yang

berhak mencabutnya. Dasar dari pencabutan tersebut adalah mengingat

bahwa “fondasi“ dari keberadaannya sebagai mahasiswa di perguruan

tinggi bersangkutan didasarkan pada ijazah palsu. Artinya sebagai

rentetan kejadian dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan

bentuk tindak pidana yang berkelanjutan. Namun disisi lain dapat

dimungkinkan yang bersangkutan (pelaku) meminta pembatalan

pencabutan ijazah palsu dengan dalih bahwa pihak perguruan tinggi telah

dengan sah secara formal (konsensual). Secara formal administratif

barang kali dalih konsensual antara pihak perguruan tinggi dan pelaku

pembuatan ijazah palsu dapat diterima karena sudah selayaknya pihak

Universitas meneliti keabsahan ijazah calon mahasiswanya sebelum

diterima sebagai calon mahasiswa.

Beberapa hal yang terdapat dalam pemalsuan ijazah antara lain

adalah :

a) Menguntungkan diri dengan melanggar hukum. Mengapa saya

memasukkan unsur ini ke dalam tindak pidana pemalsuan ijazah

adalah karena seseorang melakukan suatu pemalsuan ijazah pastilah

mempunyai maksud untuk memperoleh suatu keuntungan atau

setidaknya suatu imbalan terhadap suatu hal. Disini penulis

menekankan pada keuntungan yang akan di dapatkan sebagai

seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang mana akan

memperoleh banyak harta dan, status dan jabatan yang tinggi serta

pengakuan dari seluruh masyarakat.

35

b) Perbuatan – perbuatan tipu muslihat dan kebohongan. Dikatakan

bahwa rangkaian kebohongan berupa kata – kata yang tidak benar,

sedangkan tipu muslihat adalah membohongi tanpa kata – kata,

tetapi dengan menunjukkan atau memperlihatkan sesuatu. Dapat

juga dikatakan bahwa tipu muslihat dapat berupa suatu perbuatan.

Sedangkan rangkaian kebohongan memerlukan sedikitnya dua

pernyataan yang bohong.

1. Kasus Posisi

Untuk mengetahui proses pembuktian dalam tindak pidana

pemalsuan ijazah di Pengadilan Negeri madiun, penulis akan

menjelaskan mengenai putusan terhadap WISNU SUWARTO DEWO

Bin SOMO SADI yang telah didakwa melakukan tindak pidana

pemalsuan ijazah. Putusan terhadap WISNU SUWARTO DEWO Bin

SOMO SADI ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Terdakwa diajukan ke pengadilan dengan dugaan telah melakukan

tindak pidana pemalsuan ijazah, sebagai berikut :

“Dengan melawan hukum telah melakukan perbuatan – perbuatan

yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau

menggunakan surat palsu seolah – olah sebagai surat yang sah tentang

suatu hal yang diperlukan lagi sebagai persyaratan untuk menjadi peserta

pemilihan umum”.

Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut :

a. Bahwa Terdakwa pada PEMILU tahun 1999 mendaftar ke KPU Kota

Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif dengan melampirkan surat

– surat yang diperlukan dalam PEMILU. Salah satunya adalah surat

keterangan sekolah atau ijazah, dan dalam proses pencalonan

Anggota Legislatif pada PEMILU 1999 Terdakwa melampirkan

Ijazah SLTA berdasarkan Daftar Riwayat Hidup yang ditanda

tangani Terdakwa pada saat pencalonan PEMILU 1999.

36

b. Kemudian dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk

PEMILU 2004 sebagai syarat untuk menjadi Anggota Legislatif

adalah memiliki ijazah minimal tingkat SLTA, sehingga Terdakwa

melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan

Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor

seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 untuk melengkapi

persyaratan tersebut.

c. Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas

Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan Nomor

Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap

Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P

0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah

sebagai berikut :

1) Bahwa Panitia Ujian Persamaan SLTP / SMU Kanwil

DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur tidak pernah

mengeluarkan Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama

(SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan

Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas

nama WISNU SUWARTO.

2) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat

Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat

Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh Saudara WISNU

SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Demikian juga Terdakwa tidak dapat menyebutkan nama sekolah tempat

penyelenggaraan Ujian Persamaan (Upers) dengan jelas.

37

2. Identitas Terdakwa

Nama lengkap : WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO

SADI

Tempat lahir : Madiun.

Umur / tanggal lahir : 51 Tahun / 7 September 1953

Jenis kelamin : Laki – laki.

Kebangsaan : Indonesia.

Tempat tinggal : Jl. Sikatan No.4 Kel. Nambangan Lor, Kec.

Mangunharjo Kota Madiun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota

Madiun Wiraswasta.

Pendidikan : Sekolah lanjutan.

3. Dakwaan

Proses pembuktian dimulai dengan surat dakwaan yang diajukan

oleh jaksa Penuntut Umum yaitu :

PRIMAIR :

Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI

selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Madiun dan sekaligus

sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Pada hari dan tanggal

yang sudah tidak dapat diingat lagi dengan pasti, yang masih termasuk

bulan Desember 2003 atau setidak – tidaknya pada hari, tanggal dan

waktu lain yang masih termasuk dalam tahun 2003 bertempat di di kantor

KPU Kota Madiun yaitu Jalan Mobilisasi Pelajar Kota Madiun, atau

setidak – tidaknya berada pada suatu tempat yang masih termasuk dalam

daerah Hukum pengadilan Negari kodya Madiun, dengan sengaja

memalsukan Surat yang menurut suatu aturan dalam Undang - Undang

diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam PEMILU dengan

maksud untuk digunakan sendiri atau oleh orang lain sebagai seolah –

38

olah surat sah atau tidak dipalsukan, perbuatan Terdakwa dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

1) Bahwa Terdakwa pada PEMILU tahun 1999 mendaftar ke KPU kota

Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif dengan melampirkan surat

– surat yang diperlukan dalam PEMILU. Salah satunya adalah surat

keterangan sekolah atau ijazah, dan dalam proses pencalonan

Anggota Legislatif pada PEMILU 1999 Terdakwa melampirkan

Ijazah SLTA berdasarkan Daftar Riwayat Hidup yang ditanda

tangani Terdakwa pada saat pencalonan PEMILU 1999.

2) Kemudian dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk

PEMILU 2004 sebagai syarat untuk menjadi Anggota Legislatif

adalah memiliki ijazah minimal tingkat SLTA, sehingga Terdakwa

melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan

Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor

seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 untuk melengkapi

persyaratan tersebut.

3) Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas

Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan Nomor

Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap

Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P

0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah

sebagai berikut :

a) Bahwa Panitia Ujian Persamaan SLTP atau SMU Kanwil

DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur tidak pernah

mengeluarkan Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama

(SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan

39

Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas

nama WISNU SUWARTO.

b) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat

Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat

Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh Saudara WISNU

SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Demikian juga Terdakwa tidak dapat menyebutkan nama

sekolah tempat penyelenggaraan Ujian Persamaan (Upers) dengan

jelas.

Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Pidana sebagaimana diatur

dan diancam dalam Pasal 137 ayat 3 UURI No 12 Tahun 2003.

SUBSIDAIR

Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI

pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Primair

dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,

menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai

surat sah perbuatan pidana mana dilakukan Terdakwa anrata lain sebagai

berikut :

1) Bahwa ia Terdakwa pada bulan Desember 2003 mendaftar ke KPU

kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004,

dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam PEMILU

salah satunya adalah surat keterangan sekolah atau Ijazah, dan

Terdakwa dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk

PEMILU 2004 melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang

Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar

(STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993

40

dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993,

untuk melengkapi persyaratan tersebut.

2) Bahwa Terdakwa menggunakan Surat Keterangan Yang

Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar

(STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) miliknya

tersebut yang digunakan untuk mendaftarkan CalonAnggota

Legislatif PDI Perjuangan DPRD Kota Madiun periode 2004 – 2009

di KPU kota Madiun tersebut diperoleh denagn cara Terdakwa

menyuruh orang lain untuk membuat Ijazah tersebut dengan

prosedur yang tidak sah.

3) Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari

Dinas Dinas Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur

dengan Nomor Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari

2004 terhadap Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama

(SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor

Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa

tersebut adalah sebagai berikut :

a) Bahwa panitia ujian persamaan SLTP / SMU Kanwil

DEPDIKBUD Propinsi Jawa timur tidak pernah mengeluarkan

Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og

P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU

SUWARTO

b) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat

Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat

Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh saudara WISNU

SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

41

Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Pidana sebagaimana

diatur dan diancam dalam Pasal 137 ayat 4 UURI No 12 tahun 2003.

LEBIH SUBSIDAIR

Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO Bin SOMO SADI pada

waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Primair, dengan

sengaja memberi keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat

palsu seolah – olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang

diperlukan bagi persyaratan peserta PEMILU, perbuatan pidana mana

dilakukan Terdakwa antara lain sebagai berikut:

1) Bahwa Terdakwa pada bulan Desember 2003 mendaftar ke KPU

Kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif untuk PEMILU

2004, dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam

PEMILU salah satunya adalah surat keterangan Sekolah atau ijazah

dan Terdakwa dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk

PEMILU 2004 melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang

Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar

(STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993

dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993,

untuk melengkapi persyaratan tersebut.

2) Ternyata berdasarkan pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas

Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa timur dengan Nomor

Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap

Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P

0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah

sebagai berikut :

“Bahwa panitia ujian persamaan SLTP / SMU Kanwil

DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur tidak pernah mengeluarkan

42

Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P

0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU SUWARTO.”

Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat

Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda

Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA)

yang dimiliki oleh Saudara WISNU SUWARTO telah diperoleh dengan

prosedur yang tidak benar.

4. Alat Bukti yang Digunakan Penuntut Umum

Untuk menguatkan dakwaannya Penuntut Umum mengajukan

surat–surat bukti berupa :

a. Satu (1) bendel laporan Panwaslu Kota Madiun No 274 / 110 /

Panwaslu / II / 2004 yang diterima Penyidik Polresta Madiun,

tanggal 10 Februari 2004;

b. Satu (1) lembar surat dari Panwaslu kota Madiun tentang permintaan

pengecekan STTB / Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa timur;

c. Satu (1) lembar surat Dinas P dan K Propins Jawa Timur tentang

hasil penelitian STTB Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun;

d. Satu (1) lembar Asli SKYBS dengan STTB Sekolah Menengah

Umum Tingkat atas (SMA) tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO;

e. Foto Copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS)

dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah

Umum Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993

yang telah dilegalisir (diajukan sebagai alat bukti pembanding).

43

Selain surat–surat bukti yang tersebut di atas Penuntut Umum juga

mengajukan saksi–saksi yaitu :

a. Saksi I : SUPARNO.

Dibawah sumpah menurut tata cara agama dan kepercayaannya,

di depan persidangan saksi menerangkan pada pokoknya sebagai

berikut :

1) Bahwa pada hari dan tanggal yang sudah lupa, tetapi di atas

tanggal 20 Januari 2004. sewaktu saksi diberitahu oleh teman

saksi sesama Anggota Dewan yang bernama Hidang Jadi yang

mengatakan bahwa ada surat kaleng berikut lampirannya berupa

fotocopy ijazah ujian persamaan SMA tahun 1993 atas nama

WISNU SUWARTO, fotocopy Daftar Riwayat Hidup, Fotocopy

Kliping koran dan formulir pendaftaran UNMER.

2) Saksi tidak tahu siapa yang membuat surat kaleng.

3) Saksi belum pernah melihat sendiri secara fisik asli dari surat

ijazahnya Terdakwa tetapi melihat dari fotocopy ijazah tersebut

diduga palsu.

4) Selanjutnya saksi bermusyawarah dengan 5 (lima) orang teman

saksi lainnya yaitu Sonny S. P, Kentot Prawiyanto. S, H.

Supranowo. Hidang Jadi dan Djoko Santoso, yang akhirnya

disepakati bahwa dugaan adnya ijazah palsu tersebut akan

dilaporkan ke Panwaslu Kota Madiun.

5) Pada PEMILU 1999 Terdakwa menjadi Caleg dengan ijazah

SMP dan semua sesuai dengan biodata yang ada Terdakwa tidak

lulus SLTA (sampai kelas III).

6) Pada Pemilu 2004 Terdakwa kembali menjadi Caleg dengan

melampirkan ijazah UPERS tahun 1993 yang bermasalah

tersebut.

44

7) Dalam DPRD Kota Madiun, saksi dengan Terdakwa berada

dalam satu fraksi yaitu PDI Perjuangan dimana Terdakwa

sebagai ketua Fraksi dan sekretarisnya Sonny Sunarso P.

8) Saksi membenarkan fotocopy surat keterangan yang

berpenghargaan sama dengan STTB SMA yang diajukan di

persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat dalam

lampiran surat kaleng.

Namun kemudian dalam persidangan keterangan – keterangan

saksi tersebut di atas di tolak oleh Terdakwa.

b. Saksi II : KENTOT PRAWIYANTO, S. H

Di bawah sumpah menurut tata cara agamanya dan

kepercayaannya. Di depan pengadilan menerangkan pada pokoknya

sebagai berikut :

1) Bahwa saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan telah

memberikan keterangan sebenar – benarnya;

2) Bahwa pada awalnya ketika saksi masuk kerja sebagai Anggota

Dewan. Saksi diberitahu oleh seorang teman sesama Anggota

Dewan yang bernama Hidang Jadi yang membawa surat kaleng

lengkapdengan lampiran beberapa fotocopy dokumen antara lain

ijazah palsu atas nama WISNU SUWARTO;

3) Hari dan tanggalnya saksi sudah lupa tapi seingat saksi tanggal

20 januari 2004 bertempat di kantor DPRD Kota Madiun Jl,

perintis kemerdekaan No 32 Madiun;

4) Dari surat kaleng tersebut saksi menangkap kejanggalan

terhadap ijazah Upers milik Terdakwa, yaitu nama orang tua

Terdakwa tidak lengkap, dalam daftar riwayat hidup pencalegan

tahun 1999 tercantum Terdakwa lulus SLTP, SMA kelas III

(tidak lulus) sementara dalam pencalegan 2004 Terdakwa

melampirkan ijazah Upers tahun 1993;

45

5) Pada PEMILU tahun 1999 persyaratan ijazah minimal SLTP

sedangkan pada PEMILU 2004 minimal SLTA atau sederajat;

6) Menyikapi surat kaleng tersebut, kemudian saksi membahasnya

dengan 5 (lima) orang teman saksi yaitu Hidang Jadi, Sonny

Sunarso, Suparno, Supranowo dan Djoko Santoso dan akhirnya

sepakat untuk melaporkan hal tersebut ke Panwaslu Kota

Madiun;

7) Saksi menjadi yakin kalau ijazah Terdakwa adalah palsu setelah

melihat bahwa nama orang tua tidak sama dan nama Terdakwa

hanya tertulis WISNU SUWARTO saja, bukan WISNU

SUWARTO DEWO;

8) Saksi melaporkan hal tersebut kepada panwaslu karena

berkeinginan agar PDI Perjuangan lebih baik;

9) Saksi membenarkan fotocopy Surat Keterangan Yang

Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan STTB SMA yang

diajukan di persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat

dalam lampiran surat kaleng.

Dalam persidangan keterangan – keterangan saksi tersebut di

atas di tolak oleh Terdakwa.

c. Saksi III : DJOKO SANTOSO

Dibawah sumpah menurut tata cara agama dan kepercayaannya,

di depan persidangan saksi menerangkan pada pokoknya sebagai

berikut :

1) Bahwa pada hari dan tanggal yang sudah lupa, di atas tanggal 20

Januari 2004 sekitar pukul 11.00 WIB, sewaktu saksi masuk

kerja sebagai anggota dewan. Oleh teman saksi sesama anggota

DPRD Kota Madiun yang bernama Hidang Jadi bahwa ada surat

kaleng yang isinya antara lain menyebutkan bahwa ijazah SMA

yang digunakan tersangka menjadi caleg 2004 adalah palsu;

46

2) Selanjutnya Dalam surat kaleng tersebut juga dilampiri oleh

fotocopy daftar riwayat hidup dan bukti pendaftaran UNMER

3) Saksi membahas masalah tersebut bersama – sama dengan 5

(lima) orang teman sesama anggota dewan yaitu : Hidang Jadi,

Kentot Prawiyanto, S. H, Supranowo, Sonny Sunarso, dan

Suparno yang pada akhirnya sepakat untuk melaporkan hal

tersebut pada panwaslu;

4) Saksi membenarkan fotocopy Surat Keterangan Yang

Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan STTB SMA yang

diajukan di persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat

dalam lampiran surat kaleng.

Dalam persidangan keterangan – keterangan saksi tersebut di

atas di tolak oleh Terdakwa.

Dalam kesempatan yang diberikan, Penasihat Hukum maupun

Terdakwa tidak mengajukan saksi yang meringankan (a de charge)

tetapi mengajukan surat surat bukti berupa fotocopy Surat

Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan Surat Tanda Tamat

Belajar Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) Nomor seri

04 OB og P 0014768 Tanggal 30 juni 1993 atas nama WISNU

SUWARTO yang telah dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh

departemen pendidikan dan kebudayaan kantor Kotamadya

Surabaya.

5. Pembahasan

Terdakwa dihadapkan ke depan persidangan dengan Dakwaan

Subsidairitas (bersusun lapis) yaitu :

a) Primair, melanggar Pasal 137 ayat (3) Undang–Undang

Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan

UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

47

b) Subsidair, melanggar Pasal 137 ayat (4) Undang–Undang

Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan

UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

c) Lebih Subsidair, melanggar Pasal 137 ayat (7) Undang–Undang

Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan

UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Adapun unsur–unsur delik dalam Dakwaan Primair adalah :

a) Setiap orang;

Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapapun juga

sebagaimana dalam pengertian orang dalam hukum, artinya

siapapun juga tanpa terkecuali asalkan itu menurut hukum

dianggap sebagai orang yang merupakan subyek pendukung dari

hak dan kewajiban maka sudah memenuhi unsur ini. Dalam hal

ini Terdakwa yang identitasnya telah disebutkan di atas, tidak

dikecualikan telah memenuhi unsur ini,

b) Dengan sengaja;

1) Bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah bahwa

seseorang itu melakukan suatu tindakan atau perbuatan

dengan sepenuh kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu;

2) Bahwa tindakan – tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa,

mulai dari upaya memperoleh SKYBS dengan STTB SMA,

kemudian menggunakannya untuk memenuhi salah satu

persyaratan sebagai bakal caleg dengan mendaftar ke KPU

kota Madiun, semuanya dilakukan Terdakwa dengan

sepenuh kesadaran untuk mencapai tujuan akhir yaitu

menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Madiun;

48

3) Bahwa dari pertimbangan – pertimbangan di atas majelis

berpendapat bahwa unsur “dengan sengaja” telah memenuhi

atau terpenuhi secara sempurna.

c) Memalsukan surat yang diperlukan untuk menjalankan suatu

perbuatan dalam PEMILU;

Bahwa dari fakta – fakta yuridis yang terungkap di persidangan

memang SKYBS dengan STTB SMA digunakan oleh tedakwa

unutk menjalankan suatu perbuatan, dalam PEMILU yaitu

dipakai untuk memenuhi persyaratan sebagai bakal caleg dalam

PEMILU 2004 tetapi dari fakta – fakta yuridis tersebut, jaksa

Penuntut Umum tidak pernah membuktikan bahwa SKYBS

dengan STTB SMA sebagaimana obyek dalam perkara ini di

buat sendiri oleh Terdakwa, dalam arti terdakwalah yang

mencetak blanko ijazah, mengisi blanko tersebut dan seterusnya,

sehingga jadilah SKYBS dengan STTB SMA buatan Terdakwa;

d) Dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai

seolah olah surat sah dan tidak dipalsukan.

Dari pertimbangan tersebut di atas Majelis berkesimpulan

bahwa unsur “memalsukan surat” yang diperlukan untuk

menjalankan suatu perbuatan dalam PEMILU tidak terpenuhi.

Karena salah satu unsur delik dalan dakwaan primair yang tidak

terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan dalam dakwaan primair, dan oleh karenanya terdakwa

harus di bebaskan dari dakwaan primair tersebut. Bahwa oleh karena

dakwaan primair tidak terbukti, maka majelis akan

mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu melanggar Pasal 137

ayat (4) Undang-Undang RI No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah;

49

Unsur–unsur delik dalam dakwan subsidair adalah :

(a) Setiap orang;

(b) Dengan sengaja;

(c) Mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan;

(d) Menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakannya

sebagai surat sah.

Pembuktian terhadap unsur 1 yaitu “setiap orang“ dan unsur 2

yaitu “dengan sengaja“ adalah identik dengan unsur – unsur yang

telah terpenuhi dalam dakwaan primair, oleh karenannya dalam

pembuktian dakwaan subsidair ini unsur setiap orang “setiap orang”

dan unsur “dengan sengaja” mangambil alih dari dakwaan primair

dan dinyatakan telah terpenuhi secara sempurna.

Mengenai unsur ke-3 yaitu mengetahui bahwa suatu surat adalah

tidak sah atau dipalsukan, dari fakta-fakta yuridis yang terungkap di

persidangan terungkap bahwa berdasarkan surat dari Kepala Dinas

Pendidikan Propinsi Jawa Timur kepada Panwaslu Kota Madiun

tanggal 5 Februari 2004 nomor 423. 5 / 37 / 108. 08 /2004 sangat

tegas disebutkan bahwa kanwil DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur

tidak pernah mengeluarkan SKYBS dengan STTB SMA Nomor Seri

: 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 atas nama WISNU

SUWARTO dan disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA

tersebut diperoleh dengan prosedur yang tidak benar, sehingga dari

sini dapat disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA milik

Terdakwa termaksud adalah tidak sah. Walaupun dalam hal ini

Terdakwa menerangkan memperoleh SKYBS dengan STTB SMA

melalui prosedur yang benar, antara lain telah mendaftar

sebagaimana mestinya, membayar biayanya dan kemudian

mengikuti ujian sampai dinyatakan lulus sehingga berhak memiliki

SKYBS dengan STTB SMA termaksud. Namun dalam hal ini baik

50

Terdakwa maupun Penasihat Hukumsama sekali tidak dapat

mengajukan bukti apapun, baik saksi-saksi, barang bukti ataupun

berupa surat-surat yang bisa mendukung pernyataan Terdakwa di

depan sidang tersebut. Keterangan Terdakwa di depan persidangan

tidak didukung oleh bukti-bukti yang memadai menurut hukum,

maka keterangan tersebut tidak bisa dianggap sebagai fakta hukum.

Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa SKYBS dengan

STTB SMA milik Terdakwa tidak sah, yang mana ketidak sahan

tersebut sudah pasti diketahui oleh Terdakwa, karena Terdakwalah

yang secara logis mengetahui, mengerti dan mengalami sendiri seluk

beluk sampai ada SKYBS dengan STTB SMA tersebut. Bahkan

Terdakwa menerangkan bahwa ijasah tersebut diterima di madiun

dirumah Terdakwa dengan diantar kurir sehingga menimbulkan

kejanggalan prosedur perolehan ijasah tersebut. Dari pertimbangan-

pertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat bahwa unsur ke 3

dalam subsidair telah terpenuhi secara sempurna.

Tentang unsur ke-4 yaitu menggunakannya atau menyuruh

orang lain menggunakan sebagai surat sah. Dari fakta-fakta yuridis

yang terungkap di persidangan diperoleh fakta bahwa telah

menggunkan sendiri SKYBS dengan STTB SMA miliknya yang

tidak sah tersebut untuk melengkapi salah satu syarat sebagai Caleg

di Kota Madiun periode tahun 2004 – 2009. Berdasarkan

pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa unsur ke-4

dari dakwaan subsidair telah terpenuhi secara sempurna.

Semua unsur delik dari dakwaan subsidair telah terpenuhi maka

terbuktilah secara sah dan meyakinkan Terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana “SENGAJA DAN MENGETAHUI

BAHWA SUATU SURAT TIDAK SAH DAN

MENGGUNAKAN SEBAGAI SURAT SAH” sebagaimana diatur

dan diancam pidana oleh Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang RI No.

51

12 Tahun 2003 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Untuk dakwaan lebih subsidair, oleh karena dakwaan subsidair

telah terbukti maka dakwaan lebih subsidair tidak perlu

dipertimbangkan lagi.

B. Kekuatan Alat bukti Surat dalam Pembuktian

1. Pertimbangan Hakim

Menimbang bahwa pembuktian terhadap unsur 1 yaitu “setiap

orang“ dan unsur 2 yaitu “dengan sengaja“ adalah identik dengan unsur –

unsur yang telah terpenuhi dalam dakwaan primair, oleh karenannya

dalam pembuktian dakwaan subsidair ini unsur setiap orang “setiap

orang” dan unsur “dengan sengaja” mangambil alih dari dakwaan primair

dan dinyatakan telah terpenuhi secara sempurna.

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas

majelis berpendapat bahwa unsur ke 3 dalam subsidair telah terpenuhi

secara sempurna.

Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut diatas Majelis

berpendapat bahwa unsur ke 4 dari dakwaan subsidair telah terpenuhi

secara sempurna.

Menimbang bahwa oleh karena dakwaan subsidair telah terbukti

maka dakwaan lebih subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi;

Menimbang bahwa mengenai surat-surat bukti berupa :

a) 1(satu) bendel laporan Panwaslu Kota Madiun, tanggal 10 Februari

2004; yang diterima penyidik Polresta Madiun tanggal 10 Februari;

b) 1(satu) surat dari Panwaslu Kota Madiun tentang permintaan

pengecekan STTB / ijasah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa Timur;

52

c) 1(satu) lembar surat dinas P dan K Propinsi Jawa Timur tentang

hasil penelitian STTB ijasah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun;

d) 1(satu) lembar asli SKYBS dengan STTB sekolah menengah umum

tingkat atas ( SMA ) tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO;

e) Foto copy surat keterangan yang berpenghargaan sama dengan surat

tanda tamat belajar sekolah umum tingkat atas ( SMA ) atas nama

Resti Handayani tahun 1993 yang telah dilegalisir (diajukan sebagai

bukti pembanding);

f) 1(satu) lembar foto copy SKYBS dengan STTB SMA tahun 1993

atas nama WISNU SUWARTO yang telah dilegalisir oleh kantor

Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kotamadya Surabaya (diajukan

oleh penasihat hukum).

Menimbang, bahwa dalam melakukan Terdakwa cakap tidak

ditemukan adannya alasaan pemaaf maupun alasan pembenar pada diri

Terdakwa sehingga Terdakwa harus mempertanggung jawabkan dan oleh

karenanya harus dijatuhi pidana.

Menimbang bahwa pada prinsipnya pemidanaan terhadap seseorang

bukanlah upaya atau sarana balas dendam dan bukan pula dimaksudkan

untuk menciptakan penderitaan bagi seseorang tetapi hakekat

pemidanaan yang utama adalah efek jera dan efek preventif edukatif

sehingga suatu pemidanaan jika sudah memenuhi efek jera dan efek

preventif edukatif sudah dipandang cukup.

Menimbang bahwa dari aspek sosiologis tanpa bermaksud

mempolitisir perkara ini, posisi dan kedudukan Terdakwa sebagai ketua

dewan pimpinan cabang salah satu partai besar kota madiun maka pikiran

tenaga dan keberadaannya pasti sangat dibutuhkan oleh partai dan

masyarakat pendukungnya pada saat-saat klimaks pelaksanaan Pemilu

53

seperti saat ini sehinnga jika Terdakwa harus menjalani secara fisik

dalam tembok penjara justru akan kontra produktif.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut diatas beralasanlah kiranya bila Terdakwa dijatuhi pidana

penjara percobaan dalam arti Terdakwa tidak perlu menjalani penjara

yang dijatuhkan kepadanya kecuali bila kemudian hari diperintahkan

oleh hakim atas dasar, sebelum habisnya waktu tertentu Terdakwa telah

melakukan tindak pidana lain;

Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah maka

kepadanya harus pula dibebani untuk membayar upaya perkara akan

ditetapkan dalam Dictum putusan ini;

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana perlu terlebih

dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

sebagai berikut :

Yang memberatkan

Terdakwa tidak mengakui terus terang atas perbuatannya

Yang meringkankan

a) Terdakwa belum pernah dihukum

b) Terdakwa belum pernah menikmati hasil dari tindak pidana yang

dilakukan

c) Terdakwa mempunyai tanggung jawab tulang punggung keluarga

Menimbang, bahwa pidana tersebut dibawah menurut hemat majelis

telah setimpal dengan kesalahan Terdakwa;

54

2. Amar Putusan

MENGADILI

Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO BIN SOMO SADI

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana di dakwakan dalam Dakwaan Primair;

a) Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;

b) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO BIN SOMO SADI

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “

SENGAJA DAN MENGETAHUI BAHWA SUATU SURAT TIDAK

SAH DAN MENGGUNAKANNYA SEBAGAI SURAT SAH”;

c) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3

(tiga) bulan;

d) Menetapkan pidna tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika di kemudian

hari dengan suatu putusan Hakim ditentukan lain atas dasar bahwa

sebelum berakhirnya masa percobaan selama 6 (enam) bulan Terdakwa

telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum;

e) Menjatuhkan pidana pula berupa pidana denda sebesar Rp.600.000

(enam ratus ribu rupiah)

f) Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar akan diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

g) Menetapkan Surat-Surat bukti berupa :

(1) 1(satu) bendel laporan Panwaslu Kota Madiun No.

274/110/Panwaslu/ii/2004 yang diterima penyidik Polresta Madiun

tanggal 10 Februari 2004.

(2) Satu (1) lembar surat dari Panwaslu kota Madiun tentang permintaan

pengecekan STTB / Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa timur.

55

(3) Satu(1) lembar surat Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur tentang

hasil penelitian STTB Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun.

(4) Satu (1) lembar Asli SKYBS dengan STTB Sekolah Menengah

Umum Tingkat atas (SMA) tahun 1993 atas nama WISNU

SUWARTO.

(5) Foto Copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS)

dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah

Umum Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993

yang telah dilegalisir (diajukan sebagai alat bukti pembanding).

Demikian diputus dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Madiun pada hari KAMIS tanggal 1 APRIL 2004 oleh

SUKADI S.H sebagai Hakim Ketua Majelis, WINARTO S.H dan DJOKO

INDIARTO S. H. Masing – masing sebagai Hakim Anggota Majelis, putusan

mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu

juga oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan didampingi oleh ketua kedua

Hakim anggota tersebut. Dibantu oleh PRIJONO sebagai panitera pengganti

pada Pengadilan Negeri Madiun, dengan di hadiri oleh SUYANTO. S.H dan

SUTARNO, S.H sebagai jaksa Penuntut Umum INDRA PRIANGKASA,

S.H dan ROSIDI, S.H. sebagai Penasihat Hukum dan dihadiri pula oleh

Terdakwa.

3. Pembahasan

Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar pidana sebagaimana diatur dan

diancam dalam Pasal 137 ayat 7 Undang-Undang RI No. 12 tahun 2003.

a. Tentang berkas acara pemeriksaan oleh penyidik.

Bahwa, dalam berkas acara pemeriksaan oleh penyidik, ternyata

semua saksi telah disumpah, padahal saksi – saksi tersebut tidak berada

dalam kondisi “ketidak mungkinan yang mutlak (absolut imposibilitas)“

melainkan hanya dalam kondisi “ketidak mungkinan nisbi“ yang

56

didasarkan pada subyektifitas yang tidak logis. Hal demikian menurut

Penasihat Hukum, jelas akan membatasi, mengurangi bahkan

meniadakan nilai pemeriksaan peradilan dalam mencari, menemukan,

dan mewujudkan “kebenaran materiil”.

b. Keterangan Ahli.

Bahwa surat rujukan dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan

Propinsi Jawa Timur Nomor 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5

Februari 2004 yang ditanda tangani Drs. RASIYO, M.Si yang dijadikan

sebagai dasar penyusunan Dakwaan tidak dapat dikualifikasi baik

sebagai Keterangan Ahli langsung dihadapan Penyidik (Pasal 120

KUHAP) maupun Keterangan ahli dalam bentuk tertulis (Pasal 133

KUHAP). Terlebih itu dalam point – point rujukan tersebut secara tegas

dinyatakan bahwa SKYBS dengan STTB SMA yang dimiliki Terdakwa

telah diperoleh dengan Prosedur yang Tidak benar, disitu tidak secara

tegas disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA tersebut TIDAK

SAH. Menurut Penasihat Hukum, kesalahan prosedur, tidak dapat

diartikan secara Mutatis Mutandis berakibat SKYBS dengan STTB SMA

yang dimiliki Terdakwa tidak sah.

c. Tentang barang bukti.

Bahwa, barang bukti berupa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan

Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 yang diterbitkan

beradasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan

Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur No. 1278 / 1 04 / M / 93 / SK

Tanggal 23 Februari 1993 adalah merupakan produk Pejabat Tata Usaha

Negara Yang Berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara, maka pengujian

atas keabsahannya harus melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha

Negara.

57

Majelis Hakim memberikan pertimbangan terhadap eksepsi Penasihat

Hukum sebagai berikut.

a. Bahwa mengenai disumpahnya Para Saksi dalam berita acara

pemeriksaan oleh penyidik bukan berarti membatasi, mengurangi

ataupun meniadakan nilai pemeriksaan dalam peradilan dalam mencari,

menemukan dan mewujudkan kebenaran materiil, karena dalam hal ini

Majelis Hakim tetap Bisa memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk

menghadirkan saksi – saksi tersebut dan masih pula mengambil sumpah

ulang. Kenyataannya dalam persidangan semua saksi datang dan

disumpah serta bisa diperiksa secara bebas sebagaimana layaknya

seorang saksi yang diperiksa di depan persidangan.

b. Bahwa barang bukti berupa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan

Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah

Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) adalah benar memang Produk

Tata Usaha Negara. Tetapi apabila keberadaanya “ diduga “ terdapat

unsur pidananya maka untuk menilai keabsahan nya bukan lagi melalui

mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan telah menjadi ruang

lingkup Peradilan Umum.

c. Bahwa mengenai materi eksepsi selain dan selebihnya ternyata telah

memasuki materi pokok perkara, sehingga tidak perlu dipertimbangkan

dalam eksepsi ini. Tetapi akan dipertimbangkan dalam pokok perkara.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut Majelis Sampai

pada kesimpulan bahwa eksepsi Penasihat Hukum tidak beralasan dan

oleh karenanya dinyatakan tidak dapat diterima untuk seluruhnya.

e. Bahwa Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut supaya

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Madiun memutuskan :

1) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO

SADI tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

perbuatan yang didakwakan atas dakwaan primair dan dakwaan

58

subsider, oleh karenanya agar Terdakwa dibebaskan dari dakwaan

primer dan subsider tersebut.

2) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO

SADI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak

benar atau menggunakan surat palsu seolah – olah sebagai surat

yang sah tentang suatu hal yang diperlukan lagi sebagai

persyaratan untuk menjadi peserta pemilu.”

3) Penuntut Umum mohon agar Terdakwa dijatuhi pidana penjara

selama 4(empat) bulan dan pidana denda Rp. 600.000,00 (enam ratus

ribu rupiah) subsidair 1(satu) bulan kurungan.

4) Menetapkan barang bukti sebagai berikut :

(a) 1(satu) bendel laporan panitia pengawas pemilu kota Madiun No

274 / 110 / panwaslu / II / 2004 yang diterima oleh penyidik

Kota Madiun.

(b) 1(satu) lembar surat dari panitia pengawas pemilu Kota Madiun

tentang permintaan pengecekan STTB / ijazah SMA tahun 1993

atas nama WISNU SUWARTO DEWO ke dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.

(c) 1(satu) lembar surat dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi

Jawa Timur tentang hasil penelitian STTB Ijazah SMA Tahun

1993 atas nama WISNU SUWARTO DEWO yang ditujukan

kepada Panitia pengawas pemilu Kota Madiun.

(d) 1(satu) lembar asli SKYBS (surat keterangan yang

berpenghargaan sama) dengan Surat Tanda Tamat Belajar

(STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) dengan

Nomor seri : 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993.

(e) Fotocopy Surat Keterangan yang berpenghargaan sama dengan

Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum

59

Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993

yang dilegalisir (diajukan sebagai bukti pembanding).

(5) Menetapkan surat bukti yang diajukan dalam perkara ini tetap

terlampir dalam berkas perkara ; dan menetapkan pula agar

Terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.3.000,00 (tiga ribu rupiah).

Bahwa atas dakwaan tersebut di atas Terdakwa menyatakan telah

mengerti dan Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan keberatan yang pada

pokoknya sebagai berikut:

a) Bahwa titik permulaan dari perkara ini adalah adanya surat kaleng yang

dibawa oleh Hidang Jadi, saksi – saksi yang diperiksa dalam perkara ini

hanya melihat fotocopy dalam surat kaleng tersebut, tetapi sudah dapat

menyimpulkan bahwa Terdakwa tidak tamat SMA.

b) Mengenai permohonan Penasihat Hukumuntuk dihadirkannya Hidang

Jadi di depan sidang pengadilan tidak dikabulkan padahal menurut

Penasihat HukumHidang Jadi adalah orang yang sangat penting dalam

perkara ini, karena dari dialah awal mula munculnya atau diterimanya

surat kaleng tersebut.

c) Untuk memastikan SKYBS dengan STTB SMA yang diduga palsu harus

ada asli sebagai pembanding atau dihadirkan saksi ahli yang

berkompeten dalam menilai asli atau tidaknya suatu surat.

d) Bukti pembanding yang diajukan Penuntut Umum datang dengan tiba –

tiba di persidangan, hal tersebut harus dinilai sebagai bukti liar dan harus

dinyatakan batal demi hukum.

e) SKYBS dengan STTB SMA milik Terdakwa adalah merupakan Produk

Pejabat Tata Usaha Negara yang berbentuk Keputusan Tata Usaha

Negara, sehingga dengan demikian pengujian atas keabsahannya harus

melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara sedangkan hingga

sekarang belum ada putusan Tata Usaha Negara mengenai hal ini.

60

f) Surat Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur

No 423. 5 / 37 / 108 . 08 / 2004. tidak dapat diklasifikasikan sebagai

keterangan ahli karena melanggar ketentuan Pasal133 KUHAP

sedangkan sesuai dengan Pasal120 KUHAP Keterangan ahli harus

diberikan di hadapan penyidik atau di depan persidangan di bawah

sumpah, sehingga dengan demikian menurut Penasihat Hukum surat dari

Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur tersebut

hanyalah merupakan surat yang tidak memiliki pembuktian.

g) Tidak diingatnya nama sekolah dan teman sesama pengikut ujian, tidak

dapat menjadi alasan untuk mengatakan Terdakwa bersalah mengenai

pembuktian unsur – unsur delik menurut Penasihat Hukum tidak terbukti

seluruhnya. Berdasarkan hal – hal tersebut di atas Penasihat Hukum

mohon pada Majelis Hakim menjatuhkan putusan untuk membebaskan

Terdakwa dari tuntutan Hukum atau setidak – tidaknya menyatakan

Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.

Penuntut Umum dalam replik lisannya berpendirian tetap pada

tuntutannya dan Penasihat Hukum dalam duplik lisannya menyatakan tetap

berpegang teguh pada pembelaannya.

61

BAB IV

P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan

pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :

1. Penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) dalam pembuktian

perkara pemalsuan ijazah mengacu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c

KUHAP, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Di dalam

proses pemeriksaan tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan

Pengadilan Negeri Madiun dengan terdakwa WISNU SUWARTO

DEWO Bin SOMO SADI penyidik menggunakan alat bukti surat untuk

mengungkap fakta dalam persidangan.

2. Kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah

berdasarkan Pasal 187 KUHAP, penjelasan Pasal 187 KUHAP yang

menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 (1) huruf c

KUHAP dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan

Pengadilan Negeri Madiun adalah sah dan dapat dipertangungjawabkan.

Melihat letak urutannya yaitu ketiga setelah keterangan saksi dan

keterangan ahli maka alat bukti surat (documentary evidence) sebagai

salah satu alat bukti yang penting. Hal tersebut merupakan suatu

kemajuan dalam pembaruan hukum karena disadari pada massa

perkembangan ilmu dan teknologi, alat bukti surat memegang peranan

dalam penyelesaian kasus pidana.

B. Saran-Saran

1. Penggunaan alat bukti surat sebagai alat bukti dalam perkara pidana

sangat diperlukan karena keterbatasan ilmu serta daya ingat yang dimiliki

oleh setiap orang, sehingga surat-surat sebagai salah satu bukti otentik

sangatlah diperlukan. Dengan adanya surat-surat yang telah diakui secara

62

sah keasliannya diharapkan akan membantu dalam mengungkap perkara

dalam persidangan.

2. Untuk dapat mendukung penegakan hukum terutama dalam proses

pembuktian, alat bukti surat harus benar-benar dapat diakui

keabsahannya dan dapat dipertanggungjawabkan, agar nantinya tidak

menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.

63

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Arta Jaya.

Bambang Poernomo. 1986. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana.

Yogyakarta : Liberty.

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta : Djambatan.

Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses

Pidana. Yogyakarta : Liberty.

Laden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar

Grafika.

Lexi J Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rodakarya.

Martiman Prodjohamijaya. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Jakarta :

Ghalia Indonesia.

Moeljatno. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT.Bumi

Aksara.

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali). Jakarta : Sinar Grafika.

R.Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas

Indonesia (UI-Press).

_______________. 2001. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press

_______________. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD).

64

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Yusuf Aditya. Kebijakan (Legislatif) Hukum Pidana Dalam Upaya

Penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Atau Gelar

Kesarjanaan. http://one.indoskripsi.com/node/1207 diakses pada

(9Februari 2010 pukul 13.35)

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemalsuan diakses pada (17 Februari 2010 pukul

12.30)

`