TINJAUAN PUSTAKA Telur · organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya....

16
TINJAUAN PUSTAKA Telur Telur merupakan salah satu produk unggas yang mengandung protein cukup tinggi sebesar 12%. Telur terutama kaya akan asam amino esensial seperti lisin, triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial terbatas (Yuwanta, 2010). Komposisi asam amino yang lengkap dengan proporsi yang seimbang tersebut menyebabkan protein telur digunakan secara luas sebagai standar dan bilangan nisbah efisiensi protein (NEP) serta dianggap memiliki nilai biologi 100 (Man, 1999). Pengelompokkan telur berdasarkan bobot minimum yang dijelaskan dalam United States Departement of Agriculture (2000) yakni jumbo (70 gram/butir), besar sekali (63 gram/butir), besar (56 gram/butir), sedang (49 gram/butir), kecil (42 gram/butir), dan kecil sekali (35 gram/butir). Kaewmanee (2010) menyebutkan bah- wa sebutir telur itik tersusun atas 10,87% kerabang, 54,73% putih telur, dan 33,94% kuning telur dengan bentuk struktur telur yang berlapis-lapis (Gambar 1). Keterangan: (1) Germinal disc (blastoderm), (2) membran yolk, (3) latebra, (4) lapisan yolk terang, (5) lapisan yolk gelap, (6) kalaza, (7) lapisan encer albumen, (8) lapisan kental albumen, (9) pori-pori, (10) kantung udara, (11) membran kerabang, (12) membran dalam telur, (13) permukaan kerabang yang bergabung dengan lapisan mamilari, (14) kutikula, (15) lapisan bunga karang Gambar 1. Struktur Telur Sumber: Belitz dan Grosch (2009)

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Telur · organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya....

3

TINJAUAN PUSTAKA

Telur

Telur merupakan salah satu produk unggas yang mengandung protein cukup

tinggi sebesar 12%. Telur terutama kaya akan asam amino esensial seperti lisin,

triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial

terbatas (Yuwanta, 2010). Komposisi asam amino yang lengkap dengan proporsi

yang seimbang tersebut menyebabkan protein telur digunakan secara luas sebagai

standar dan bilangan nisbah efisiensi protein (NEP) serta dianggap memiliki nilai

biologi 100 (Man, 1999).

Pengelompokkan telur berdasarkan bobot minimum yang dijelaskan dalam

United States Departement of Agriculture (2000) yakni jumbo (70 gram/butir), besar

sekali (63 gram/butir), besar (56 gram/butir), sedang (49 gram/butir), kecil (42

gram/butir), dan kecil sekali (35 gram/butir). Kaewmanee (2010) menyebutkan bah-

wa sebutir telur itik tersusun atas 10,87% kerabang, 54,73% putih telur, dan 33,94%

kuning telur dengan bentuk struktur telur yang berlapis-lapis (Gambar 1).

Keterangan: (1) Germinal disc (blastoderm), (2) membran yolk, (3) latebra, (4) lapisan yolk terang,

(5) lapisan yolk gelap, (6) kalaza, (7) lapisan encer albumen, (8) lapisan kental albumen, (9) pori-pori, (10) kantung udara, (11) membran kerabang, (12) membran dalam telur, (13) permukaan kerabang yang bergabung dengan lapisan mamilari, (14) kutikula, (15) lapisan bunga karang

Gambar 1. Struktur Telur

Sumber: Belitz dan Grosch (2009)

4

Kerabang Telur

Kerabang telur terdiri atas bagian luar yang ditutupi oleh gelatin (kutikula),

garam inorganik, beberapa materi organik dan sedikit air. Rata-rata komposisi

protein pada membran kerabang telur ayam sebesar 70%. Bagian kutikula pada

kerabang telur diduga mengandung beberapa protein berupa musin (Romanoff dan

Romanoff, 1963). Kerabang telur menurut Belitz dan Grosch (2009) terdiri atas

kristal kalsium karbonat yang tertanam dalam matriks organik dan kompleks protein-

mukopolisakarida dengan perbandingan 50:1, juga sejumlah kecil magnesium

karbonat dan fosfat. Suguro et al. (2000) menyebutkan bahwa kandungan kalsium

pada kerabang telur sebesar 37,7%. Struktur kerabang telur berdasarkan Belitz dan

Grosch (2009) terbagi menjadi empat bagian yakni kutikula, lapisan bersepon (bunga

karang), lapisan mamilari, dan pori-pori.

Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ukuran pori-pori besar

dan kecil pada permukaan kerabang telur itik masing-masing yaitu 0,036 x 0,031 mm

dan 0,014 x 0,012 mm, sedangkan pada permukaan kerabang telur ayam ukuran pori-

pori besar dan kecilnya masing-masing yaitu 0,029 x 0,022 mm dan 0,011 x 0,009

mm. Jumlah pori di seluruh bagian kerabang telur bervariasi antara 100-200

pori/cm2, bagian tumpul dari telur memiliki jumlah pori yang lebih banyak serta tebal

kerabang yang lebih tipis daripada bagian yang lain. Fungsi pori kerabang telur

adalah sebagai tempat pertukaran gas-gas dari dalam dan luar kerabang sehingga

membantu respirasi embrio di dalam telur.

Putih Telur (Albumen)

Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan, bahwa putih telur terdiri atas

putih telur encer bagian luar (23,2%) dengan kadar air sebesar 88,8%, putih telur

kental (57,3%) dengan kadar air sebesar 87,6%, putih telur encer bagian dalam

(16,8%) dengan kadar air sebesar 86,4%, dan khalazaferous (2,7%) dengan kadar air

sebesar 84,3%. Bahan penyusun utama dari putih telur adalah air. Kadar air akan

mengalami penurunan dari lapisan luar menuju lapisan dalam putih telur.

Putih telur (albumen) selain menjadi sumber protein pada telur (9,7%-10,8%)

juga mengandung fraksi gula (0,4%-0,9%), garam mineral (0,5%-0,6%), lemak

(0,03%), dan abu (0,5%-0,6%) serta memiliki berat kering sekitar 10,6%-12,1%

(Yuwanta, 2010). Protein pada putih telur terdiri atas ovalbumin (54%), konalbumin

5

atau ovotransferin (12%), ovomukoid (11%), ovomusin (3,5%), lisosom atau G1

globulin (3,4%), G2 globulin (4%), G3 globulin (4%), ovoflavoprotein (0,8%),

ovoglikoprotein (1,0%), ovomakroglobulin (0,5%), ovoinhibitor (1,5%), sistatin

(0,05%), dan avidin (0,05%) (Stadelman dan Cotterill, 1995).

Kuning Telur (Yolk)

Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan berat kering sebesar

50% yang terdiri atas 65% lipid, 31% protein, dan 4% karbohidrat, vitamin, dan

mineral (Belitz dan Grosch, 2009). Susunan kuning telur dari bagian dalam hingga

luar menurut Yuwanta (2010) yakni latebra, kuning telur berwarna putih (white yolk)

dan berwarna kuning (yellow yolk) yang tersusun secara konsentris berselang seling,

serta membran vitelin. Huopalahti et al. (2007) menyebutkan bagian-bagian dari

kuning telur berdasarkan bahan kering yaitu terdiri atas 19%-23% granula dan 77%-

81% plasma. Bagian granula terdiri atas 70% high density lipoprotein (HDL), 16%

fosvitin, dan 12% low density lipoprotein (LDL), sedangkan bagian plasma terdiri

atas LDL sebanyak 85% dan livetin sebanyak 15%.

Bagian granula memiliki ukuran yang seragam dengan diameter 1,0-1,3 µm,

sedangkan bagian plasma berupa yolk droplet memiliki ukuran yang bervariasi antara

20-40 µm. Jenis protein yang terdapat pada granula kuning telur yaitu lipovitelin

(disusun oleh HDL) dan fosvitin, sedangkan yang terdapat dalam plasma yaitu

lipovitelenin (disusun oleh LDL) dan livetin (Belitz dan Grosch, 2009).

Lemak kuning telur menurut Yuwanta (2010) tersusun atas komplek lemak-

protein dalam bentuk LDL dan lipovitelin dalam bentuk ikatan bebas. Lemak telur

terdiri atas 65% trigliserida, 28,3% fosfolipid, dan 5,2% kolesterol. Stadelman dan

Cotterill (1995) menyebutkan bahwa kuning telur merupakan sumber utama karbonil

jenuh maupun tak jenuh.

Substansi Aroma

Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan, bahwa telur yang disimpan dapat

menyerap flavor dari bahan-bahan makanan di sekitarnya. Telur segar menurut

Romanoff dan Romanoff (1963) dapat dibedakan dari telur yang basi ketika

digabungkan dengan bahan lain. Bau amis dari telur berhubungan dengan pakan

yang diberikan pada unggas. Ward et al. (2009) menjelaskan, ayam petelur yang

6

diberi pakan dengan kanola akan menghasilkan telur yang berbau amis. Timbulnya

bau amis disebabkan oleh terakumulasinya trimetilamin pada kuning telur.

Trimetilamin (TMA) terbentuk dari degradasi kolin oleh senyawa mikroba.

Aroma utama yang ditemukan pada putih dan kuning telur yang dimasak

adalah sulfur akibat dari penguapan gas H2S (Stadelman dan Cotterill, 1995).

Karakteristik aroma dari telur yang dimasak lebih lanjut dijelaskan oleh Warren et al.

(1995) yaitu terdapat 32 senyawa volatil yang dapat diidentifikasi dari telur yang

dimasak selama 30 menit pada suhu 100 oC melalui analisis volatil extraction.

Senyawa volatil tersebut dibagi menjadi 8 kelas yang terdiri atas 10 aldehid, 2 keton,

5 alkohol, 2 alkana, 1 furan, 1 pirazin, 6 senyawa aromatik, dan 6 asam lemak. Di

antara senyawa-senyawa tersebut, pirazin merupakan senyawa yang berkontribusi

dalam flavor makanan yang dipanggang.

Pengawetan dan Pemasakan Telur

Pengawetan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) tidak dapat

menaikkan mutu suatu bahan pangan. Pengawetan bertujuan untuk memperlama

waktu terjadinya penurunan mutu bahan pangan tersebut.

Prinsip pengawetan telur utuh adalah untuk mencegah terjadinya penguapan

air dan terlepasnya CO2 dari dalam telur serta mencegah masuknya mikroba dari luar

melalui pori-pori kerabang. Umumnya pengawetan yang dilakukan pada telur dapat

dilakukan dalam bentuk pengawetan telur segar dan telur olahan. Pengawetan dalam

bentuk telur segar yakni dengan menutup pori-pori kerabang telur. Pengawetan ini

dapat dilakukan antara lain dengan pelapisan telur menggunakan minyak, pelapisan

dengan bahan kimia (kalsium karbonat, sodium silikat, vaselin, dan parafin),

perendaman dalam larutan kapur dan ekstrak nabati. Pengawetan telur segar juga

dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam lemari es. Pengawetan dalam bentuk

telur olahan yakni dengan menambah bahan-bahan yang mampu untuk mengawetkan

makanan seperti garam, gula, dan asam (Syarief dan Halid, 1993).

Pengasinan

Prinsip pengasinan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) adalah (1)

memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba, (2) garam mempunyai sifat

higroskopis sehingga akan menarik air keluar jaringan yang menyebabkan aw akan

7

menjadi rendah, (3) garam yang berbentuk larutan dapat mengurangi oksigen

terlarut, dan (4) ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme. Gaman dan

Sherrington (1992) menjelaskan bahwa klorin digunakan sebagai desinfektan yang

mampu membunuh bakteri dengan reaksi sebagai berikut:

Cl2 + H2O HCl + HOCl. Asam hipoklorat (HOCl) yang terbentuk akan

membunuh bakteri dengan cara oksidasi dan kemudian berubah menjadi asam

klorida.

Pengasinan menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi berat putih telur

namun menurunkan proporsi kuning telur. Kadar air baik putih maupun kuning telur

menurun secara bertahap seiring meningkatnya kandungan garam dan abu serta

lamanya waktu pengasinan (Kaewmanee, 2010).

Pemberian garam menurut Belitz dan Grosch (2009) menimbulkan pengaruh

pada kelarutan protein. Pemberian yang terlampau sedikit (konsentrasi rendah) akan

meningkatkan kelarutan protein (efek salting in) dengan menekan interaksi protein-

protein elektrostatik, sedangkan pemberian garam yang terlampau banyak

(konsentrasi tinggi) akan menurunkan kelarutan protein (efek salting out) sebagai

hasil dari kecenderungan hidrasi ion garam. Stadelman dan Cotterill (1995) juga

menyebutkan bahwa penambahan garam akan meningkatkan koagulasi, beberapa

garam menurunkan sejumlah ikatan air pada putih telur.

Pengasinan dengan metode pembalutan cenderung lebih banyak

menghasilkan eksudasi minyak pada kuning telur daripada dengan metode

perendaman. Kekerasan dan keadhesifan kuning telur juga ditemukan lebih tinggi

pada pengasinan metode pembalutan, sedangkan metode perendaman ditemukan

lebih tinggi di dalam kemampuan retak, daya elastisitas, kelengketan dan daya

kunyah. Kadar air putih telur dari metode perendaman sedikit lebih rendah daripada

metode pembalutan, kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh migrasi air dari

putih telur menuju air garam jenuh yang diperantarai dengan proses osmosis

(Kaewmanee, 2010).

Pengasinan tidak hanya mempengaruhi karakteristik fisik, kimia maupun

organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya. Nilai gizi dari

telur itik asin berbeda dengan telur itik segar (Tabel 1).

8

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Itik Segar dan Telur Itik Asin (Tiap 100 Gram Bahan)

Bahan Pangan Air (g)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Ca (mg)

Vit. A (SI)

Kalori (Kal)

Telur itik 70,8 13,1 14,3 0,8 56 1.230 189

Telur itik asin 66,5 13,6 13,6 1,4 120 841 195 Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti (2005)

Proses Termal

Proses termal (pemanasan) menurut Estiasih dan Ahmadi (2011) dapat

menyebabkan perubahan pada karakteristik fisik, kimia maupun nutrisi produk

pangan. Perubahan yang terjadi bergantung pada intensitas maupun metode

pemanasan, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan. Perubahan sifat

organoleptik juga dapat terjadi pada proses termal. Perubahan tersebut merupakan

akumulasi dari berbagai perubahan yang terjadi selama proses seperti denaturasi

protein dan restrukturisasi lemak yang menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa

produk. Harris dan Karmas (1989) menyebutkan, bahwa pengolahan dapat

menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan.

Perebusan. Winarno (2008) menyebutkan, perebusan merupakan cara memasak

makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 oC). Bahan pangan yang dimasak

menggunakan air akan meningkat daya kelarutannya. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Wulandari (1999) menunjukkan bahwa lama perebusan yang efektif

digunakan untuk tujuan pengawetan adalah selama 15 menit karena menghasilkan

penurunan kadar air dan nilai pH yang paling rendah sehingga proses kebusukan

dapat diperlambat. Lama perebusan 15 menit menyebabkan protein putih telur yang

terdenaturasi lebih sedikit dibandingkan telur yang direbus selama 30 menit. Selain

itu penetrasi air rebusan akan lebih rendah bila telur direbus selama 15 menit.

Banyaknya protein yang terdenaturasi mampu meningkatkan kadar air dalam putih

telur, sehingga menyebabkan proses pembusukan yang ditimbulkan oleh bakteri dan

proses kimia lebih dipercepat.

Romanoff dan Romanoff (1963) menambahkan, bahwa perebusan

menyebabkan kehilangan berat pada telur sebesar 0,03–0,1 gram. Persentase lemak,

nitrogen, fosfor, dan air pada telur yang direbus hampir sama dengan telur segar.

Putih telur yang mengalami perebusan selama 20 menit dengan suhu 100 oC memi-

9

liki daya simpan selama 1,5–3 hari. Keretakan kerabang telur yang terjadi pada

proses perebusan menurut Brown (2000) dapat dikurangi dengan cold start method

yakni memasukkan telur ke panci perebusan yang berisi air dingin lalu dipanaskan.

Pengovenan. Pengovenan adalah proses termal yang menggunakan udara panas.

Udara panas tersebut dipindahkan ke bahan makanan melalui tiga cara yakni radiasi,

konveksi, dan konduksi (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Hasil penelitian Trilaksami et

al. (2004) mengenai pengaruh suhu dan lama pengovenan terhadap karakteristik

cumi-cumi kertas menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi kecerahan produk,

semakin tinggi suhu pengovenan menyebabkan semakin rendah nilai kecerahan

produk.

Hasil penelitian Ayuza (2011) mengenai pengaruh level suhu pengovenan

terhadap kadar protein, kadar air, total koloni bakteri, umur simpan, dan nilai

organoleptik telur asin menunjukkan bahwa telur asin yang paling baik adalah telur

asin yang dioven selama 6 jam pada suhu 90 oC. Perlakuan telur asin tersebut

menghasilkan kadar protein 13,47%, kadar air 54,77%, total koloni bakteri 9,22 x 104

CFU/g dengan umur simpan selama 36,20 hari.

Winarno et al. (1980) menyebutkan jika pemasakan dengan menggunakan

udara panas seperti pengovenan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini

dapat mengakibatkan terjadinya “case hardening” yaitu suatu bagian luar

(permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih

basah. Hal ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga bagian permukaan

cepat mengering dan menjadi keras, serta akan menghambat penguapan selanjutnya

dari air yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut. Terjadinya “case hardening”

dapat menyebabkan mikroba yang ada di bagian dalam bahan yang masih basah

dapat berkembang biak sehingga menimbulkan kebusukan, dan membutuhkan waktu

yang lebih lama jika bahan akan direhidrasi. Cara mencegah “case hardening”

misalnya dengan membuat suhu pengovenan tidak terlalu tinggi.

Perubahan yang terjadi akibat pengovenan adalah pengembangan volume,

pembentukan kulit (crust), inaktivasi mikroba dan enzim, koagulasi protein, dan

gelatinisasi sebagian pati. Perubahan tersebut disertai dengan pembentukan senyawa-

senyawa cita rasa dari gula yang mengalami karamelisasi, membentuk pirodekstrin

dan melanoidin, serta pembentukan aroma dari senyawa-senyawa aromatik yang

10

terdiri atas aldehid, keton, berbagai ester, asam, dan alkohol (Estiasih dan Ahmadi,

2011).

Perubahan yang Terjadi selama Pemasakan

Denaturasi Protein

Denaturasi merupakan proses yang mengubah struktur molekul tanpa

memutuskan ikatan peptida dari protein. Denaturasi dapat disebabkan oleh panas,

pH, garam, dan efek permukaan (Man, 1999). Pengertian lain dari denaturasi yang

dinyatakan Winarno (2008) yakni modifikasi pada struktur sekunder, tersier, dan

kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan

kovalen. Struktur primer merupakan susunan asam amino dalam protein yang

berbentuk linier. Struktur sekunder merupakan struktur protein yang berbentuk tiga

dimensi dengan susunan cabang rantai polipeptida yang saling berdekatan. Struktur

tersier merupakan susunan protein yang terdiri atas struktur sekunder yang berbeda

bentuknya, sedangkan struktur kuartener merupakan struktur protein yang

melibatkan beberapa polipeptida.

Denaturasi secara umum bersifat reversible ketika rantai peptida distabilkan

dalam keadaan yang tidak terikat oleh agen denaturasi. Denaturasi yang bersifat

irreversible terjadi ketika rantai peptida yang tidak terikat distabilkan oleh

interaksinya dengan rantai lain (contohnya protein telur selama perebusan) (Belitz

dan Grosch, 2009).

Reaksi Maillard

Muchtadi (1989) menyebutkan bahwa reaksi antara protein dengan gula

pereduksi (reaksi Maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama

pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yakni

reaksi awal dan reaksi lanjutan. Reaksi awal ditandai dengan terjadinya kondensasi

antara grup karbonil gula pereduksi dan grup amino bebas dari asam amino atau

protein. Produk kondensasi tersebut akan berubah menjadi basa Schiff karena

kehilangan molekul air dan akhirnya terjadi siklisasi oleh penyusunan kembali

Amadori membentuk senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa. Senyawa Amadori yang

terbentuk merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum

11

mengubah warna makanan tersebut walaupun secara biologis lisin dalam makanan

sudah tidak tersedia.

Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur, dua diantaranya

dimulai dengan produk amadori, sedangkan yang ketiga dari degradasi Strecker.

Reaksi ini akan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut

melanoidin (Gambar 2). Protein yang telah mengalami reaksi Maillard daya cernanya

menurun. Penurunan nilai gizi protein tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1)

lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid; (2)

penurunan availabilitas semua asam amino termasuk leusin (leusin biasanya stabil),

karena terbentuknya ikatan silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi

Maillard; (3) penurunan daya cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke

dalam substrat (protein) atau karena tertutupinya sisi protein yang dapat diserang

enzim dari ikatan silang tersebut (Muchtadi, 1989).

Man (1999) menambahkan, bahwa reaksi Maillard (pencoklatan nonen-

zimatis) adalah salah satu faktor yang memicu terjadinya kebusukan dalam makanan.

Reaksi ini bergantung pada aktivitas air dan mencapai tingkat maksimum pada aw 0,6

hingga 0,7. Pencoklatan nonenzimatis dipengaruhi oleh kadar air produk. Umumnya

laju pencoklatan pada aktivitas air < 0,4 berlangsung lambat karena air pelarut tidak

mencukupi, dan jika aktivitas air dinaikkan melebihi 0,4 maka laju pencoklatan

meningkat sampai maksimum pada aktivitas air 0,65. Aktivitas air yang lebih tinggi

menyebabkan laju pencoklatan turun karena pereaksi menjadi encer dan air juga

merupakan produk reaksi pencoklatan (Harris dan Karmas, 1989).

12

Gambar 2. Reaksi Pembentukan Melanoidin Sumber: Man (1999)

Penurunan dan Perubahan Mutu selama Penyimpanan

Kerusakan pada bahan pangan dicirikan oleh adanya penyimpangan yang

melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh pancaindera atau parameter

lain yang biasa digunakan (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Penurunan mutu

bahan pangan meliputi penurunan nilai gizi, penyimpangan warna, perubahan rasa

dan bau, adanya pembusukan, dan modifikasi komposisi kimia (Syarief dan Halid,

1993). Indikator kerusakan telur asin menurut Khasanah et al. (2010) terdapat pada

parameter aroma.

13

Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi selama penyimpanan telur utuh diantaranya yaitu

berkurangnya berat terutama disebabkan oleh hilangnya air dari putih telur, juga

CO2, NH3, N2, dan H2S; pertambahan ukuran ruang udara; penurunan berat jenis;

bercak-bercak pada permukaan kulit telur karena penyebaran air yang tidak merata;

penurunan jumlah putih telur kental karena serat glikoprotein ovomusin pecah;

penambahan ukuran kuning telur karena perpindahan air dari putih telur ke kuning

telur sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis; perubahan cita rasa; serta kenaikan

pH terutama dalam putih telur yang meningkat dari sekitar pH 7 hingga 10 atau 11

sebagai akibat hilangya CO2 (Buckle, 2007).

Penguapan air secara terus menerus melalui kerabang menyebabkan

penurunan berat jenis dengan koefisien penurunan harian sekitar 0,0017 g/cm3

(Belitz dan Grosch, 2009). Laju susut air menurut Harris dan Karmas (1989)

bergantung pada luas permukaan produk maupun keadaan lingkungannya.

Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan, kelembaban tidak

mempengaruhi kualitas putih dan kuning telur namun berpengaruh besar pada

hilangnya bobot telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang dianjurkan

untuk menyimpan telur adalah 75%-80%.

Perubahan Kimia

Nilai pH. Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau alkalinitas suatu larutan

(Gaman dan Sherrington, 1992). Albumen pada telur segar mengandung bikarbonat

dan CO2. Terdapat hubungan antara konsentrasi CO2 bebas dengan pH. Hilangnya

CO2 menyebabkan meningkatnya nilai pH pada albumen, nilai pH bergantung pada

tekanan parsial dari CO2. Perubahan tekanan CO2 berpengaruh kecil pada pH kuning

telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Nilai pH putih telur segar sekitar 7,6-7,9 dan

meningkat menjadi 9,7 selama penyimpanan (Belitz dan Grosch, 2009).

Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme khususnya

khamir dan kapang mampu memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam

bahan pangan. Akibatnya terjadi perubahan pH yang memungkinkan tumbuhnya

spesies bakteri pembusuk yang sebelumnya terhambat pertumbuhannya.

14

Kadar Air. Labuza (1980) menjelaskan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw)

berperan dalam laju dari banyak reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba dalam

makanan. Kadar air dan aktivitas air akan menurun dengan adanya proses

pengeringan. Hal ini menyebabkan cairan menjadi lebih pekat serta beberapa

komponen bahan pangan membentuk larutan lewat jenuh dan akhirnya mengendap.

Laju reaksi yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dalam larutan

menyebabkan naiknya laju penyusutan zat gizi (Harris dan Karmas, 1989).

Air yang terdapat dalam bahan makanan menurut Winarno (2008) umumnya

disebut air terikat. Air terikat dibagi menjadi empat tipe menurut derajat

keterikatannya. Tipe pertama (1) yaitu molekul air yang terikat pada molekul-

molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air membentuk

hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti

karbohidrat, protein, dan garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses

pembekuan tetapi sebagian bisa dihilangkan dengan pengeringan biasa. Tipe kedua

(2) yakni molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain di

dalam mikrokapiler. Air jenis ini sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe ini

akan menyebabkan penurunan aktivitas air, jika air tipe ini dihilangkan seluruhnya

maka kandungan air bahan berkisar 3%-7%. Tipe ketiga (3) yakni air yang secara

fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran kapiler dan serat. Tipe ini

disebut juga air bebas, mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan

mikroba. Kandungan air bahan akan berkisar antara 12%-25% jika air tipe ini

diuapkan seluruhnya. Tipe keempat (4) yaitu air yang tidak terikat dalam jaringan

suatu bahan atau air murni. Contohnya, air yang menempel pada bahan makanan

setelah proses pencucian bahan.

Aktivitas Air (aw). Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi

kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir

mulai tumbuh pada kisaran aw 0,7 dan 0,8; sedangkan bakteri tumbuh ketika aw

mencapai 0,8 (Man, 1999).

Andrade et al. (2011) menyatakan bahwa isotermik sorpsi air menjelaskan

mengenai hubungan antara kadar air dan aktivitas air (aw) dalam makanan. Sorpsi

isotermik berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan menurut Brunauer et al.

(1940) dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe (Gambar 2). Tipe 1: Langmuir,

15

peningkatan aktivitas air berhubungan dengan peningkatan kadar air. Tipe ini berupa

daerah lapisan tunggal (monolayer), air bersifar sangat kuat terikat dan stabil. Tipe 2:

sigmodial, memperhitungkan keberadaan lapisan-lapisan air (multilayer). Air tipe ini

kurang terikat dibandingkan pada daerah monolayer, dan biasanya terdapat pada

ruang kapiler yang kecil. Tipe 3: Flory-Huggins isotermik, kondensasi air pada pori-

pori bahan mulai terjadi (kondensasi kapiler). Tipe 4: menggambarkan adsorpsi

bahan hidrofilik hingga tercapai hidrasi maksimum. Tipe 5: adsorpsi multilayer

Brunauer-Emmett-Teller (BET). Tipe ini paling tepat diterapkan pada bahan pangan

yang mempunyai kisaran aw 0,05-0,45.

Gambar 3. Tipe Isotermik Sumber: Brunauer et al. (1940)

Perubahan Mikrobiologi

Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan

munculnya mikroorganisme pada telur yakni bakteri yang berinkorporasi di dalam

telur selama pembentukannya yakni di oviduk yang disebut kontaminasi kongenital,

serta bakteri yang berpenetrasi melalui kerabang telur dari luar telur atau yang

dikenal dengan istilah kontaminsi ekstragenital. Kontaminasi kongenital sering

dijumpai pada kuning telur dengan mikroorganisme yakni Salmonella pullorum

penyebab penyakit diare, sedangkan mikroorganisme yang ditemukan akibat

kontaminasi ekstragenital yaitu Escherichia coli, Eberthella typhi, Salmonella

16

paratyphi, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, fluorescent organism, Serratia

marcescens, dan Pseudomonas aeruginosa.

Romanoff dan Romanoff (1963) lebih lanjut menjelaskan bahwa jumlah

spora kapang pada kerabang dari telur segar sekitar 200-500 thallus/cm2, jumlah

bakteri per kerabang sekitar 35.000 koloni/cm2 ketika diinkubasi pada suhu 37 oC

atau 130.000 koloni/cm2 pada 20 oC. Tipe mikroorganisme yang ditemukan pada

permukaan kerabang telur antara lain tidak berspora batang (38%), berspora batang

(30%), kokus (25%), khamir (4%), dan actinomyces (3%). Biasanya bakteri tidak

ditemukan pada kuning telur ataupun putih telur dari 10% telur segar. Tipe

mikroorganisme yang sering dijumpai pada telur segar yaitu Basilus dan

Mikrokokus. Moats (1980) selanjutnya menyatakan bahwa telur yang tidak

mengalami pencucian mengandung kokus gram positif lebih besar daripada yang

mengalami pencucian serta mengandung bakteri Aerococcus dan Streptococcus

faecalis yang tidak ditemukan pada telur yang mengalami pencucian.

Telur yang dicuci dengan air yang lebih dingin dari telur maka dimungkinkan

bakteri akan meresap ke dalam pori-pori kerabang telur. Umumnya, pori-pori pada

kerabang telur tahan terhadap penetrasi mikroba karena dilengkapi dengan substansi

organik berupa musin dan ketika kering dapat menghambat masuknya bakteri atau

kapang. Selaput kerabang (shell membrane) berbentuk jalinan serabut yang

memungkinkan berperan sebagai filter bagi mikroorganisme yang berhasil masuk

melalui pori-pori kerabang. Albumen juga berperan sebagai barier bagi mikroflora,

mikroorganisme yang berhasil melewati kerabang maupun selaputnya dapat mati di

dalam putih telur (albumen) sebelum mencapai kuning telur. Kemampuan albumen

dalam melindungi kuning telur disebabkan oleh adanya kandungan antibakteri pada

albumen tersebut (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Harrungton et al. (1974) menyebutkan, bahwa pada telur asin ditemukan

Pseudomonas cepacia, Alcaligenes metalcaligenes, A. recti, Micrococcus leutus,

Pasteurella hemolytica, dan Ps. aeruginosa. Lebih lanjut dijelaskan oleh Syarief dan

Halid (1993) bahwa pemberian garam pada bahan pangan akan membatasi jumlah

dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya

pengurangan aktivitas air bahan pangan, di samping oleh garamnya itu sendiri.

Beberapa jenis bakteri toleran terhadap kadar garam tinggi, bahkan tidak dapat

17

tumbuh bila kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10%. Persyaratan mutu

mikrobiologis telur asin menurut Standar Nasional Indonesia 01-4277-1996 adalah

negatif untuk Salmonella dalam satu koloni per 25 gram serta < 10 untuk

Staphylococcus aureus dalam satu koloni per gram.

Sel vegetatif bakteri, khamir, dan kapang menurut Effendi (2009) mudah

terdestruksi oleh pemanasan sekitar 80 oC, demikian pula spora dari khamir dan

kapang. Spora dari bakteri umumnya tahan terhadap pemanasan pada 100 oC selama

berjam-jam. Daya tahan terhadap kematian dari mikroorganisme dipengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain: (1) umur dan kondisi mikroorganisme; (2) komposisi

medium seperti kadar air, garam dapur, gula, garam-garam nitrit atau nitrat, lemak,

dan zat-zat penghambat pertumbuhan mikroorganisme; (3) nilai pH dan aw medium

tumbuh; dan (4) suhu pemanasan. Buckle et al. (2007) menyebutkan, bahwa

seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak

dibandingkan dengan bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik

dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi.

Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik atau sensori merupakan cara pengujian menggunakan

indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian

menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu kenampakan, bau, rasa dan

konsistensi (tekstur) serta beberapa faktor lain yang diperlukan untuk menilai produk

tersebut. Prinsip uji organoleptik adalah menggunakan indera manusia sebagai alat

utama untuk menilai mutu produk (Badan Standardisasi Nasional, 2006).

Karakteristik sensori seperti tekstur, citarasa, aroma, dan warna dari produk makanan

merupakan atribut terpenting bagi konsumen (Theron dan Lues, 2011).

Syarat uji organoleptik menurut Soekarto (1985) yaitu adanya contoh

(sampel), panelis, dan pernyataan respon yang jujur. Jumlah penilai (anggota panel)

menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) antara lain tergantung dari tipe penilai,

khusus untuk panel konsumen jumlah yang diperlukan cukup besar, yaitu dari 30

sampai 1000 orang. Jenis pengujian biasanya mengenai uji kesukaan. Panelis agak

terlatih merupakan panelis yang mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang

18

dinilai karena mendapat penjelasan atau latihan. Jumlah panelis ini berkisar antara

15-25 orang.

Uji hedonik merupakan metode uji untuk mengukur tingkat kesukaan

terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian. Berbeda dengan uji

hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan

menyatakan kesan tentang baik atau buruk dengan rentang skala berkisar dari ekstrim

baik sampai ke ekstrim jelek. Bentuk pengujian organoleptik lain adalah uji skalar

yaitu pengujian yang dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau skala numerik

seperti uji skor dan uji penjenjangan (ranking). Uji skor yaitu pemberian angka nilai

mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau tingkat skala

hedonik; sedangkan dalam uji ranking, sampel yang diuji diurutkan dari yang paling

tinggi (urutan pertama) hingga paling rendah (urutan terakhir) (Soekarto, 1985).