Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

12
Tugas Terstruktur MK Parasitologi Veteriner: Endoparasit (IPH 331) Peranan Reservoir Infeksi Schistosoma japonicum dalam Pengendalian Schistosomosis di Indonesia Anggota Kelompok: Intan Anindita Suseno (B04120114) ........................ Kodrat Zulfikar B. (B04120121) ........................ Siti Khunaefah (B04120123) ........................ Kanti Rahmi Fauziyah (B04120125) ........................

description

Schistosomiasis merupakan istilah untuk infeksi cacing Schistosoma sp. Istilah lain untik schistosomiasis adalah bilharzia. Schistosomiasis merupakan penyakit yang paling merugikan di daerah tropis setelah malaria dan intestinal helminthiasis (Ahmed 2014). Penyakit ini menyerang 240 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 700 juta orang yang tinggal di daerah endemik [WHO 2015]. Setiap tahunnya, terjadi 200.000 kasus kematian oleh schistosomiasis. Kejadian schistosomiasis lebih banyak pada daerah tropis dan subtropis, terutama daerah pemukiman dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya ketersediaan air bersih.

Transcript of Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

Page 1: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

Tugas Terstruktur

MK Parasitologi Veteriner: Endoparasit (IPH 331)

Peranan Reservoir Infeksi Schistosoma japonicum

dalam Pengendalian Schistosomosis di Indonesia

Anggota Kelompok:

Intan Anindita Suseno (B04120114) ........................

Kodrat Zulfikar B. (B04120121) ........................

Siti Khunaefah (B04120123) ........................

Kanti Rahmi Fauziyah (B04120125) ........................

Bagian Parasit dan Entomologi

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet

Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

Page 2: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

2015

Pendahuluan

Schistosomiasis merupakan istilah untuk infeksi cacing Schistosoma sp.

Istilah lain untik schistosomiasis adalah bilharzia. Schistosomiasis merupakan

penyakit yang paling merugikan di daerah tropis setelah malaria dan intestinal

helminthiasis (Ahmed 2014). Penyakit ini menyerang 240 juta orang di seluruh

dunia, dan lebih dari 700 juta orang yang tinggal di daerah endemik [WHO 2015].

Setiap tahunnya, terjadi 200.000 kasus kematian oleh schistosomiasis. Kejadian

schistosomiasis lebih banyak pada daerah tropis dan subtropis, terutama daerah

pemukiman dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya ketersediaan air bersih.

Tidak seperti mayoritas trematoda lain, Schistosoma sp. merupakan

cacing yang memiliki satu macam jenis kelamin pada satu individu (tidak

hermaprodit). Cacing ini memiliki keunikan yaitu pada fase dewasanya, cacing

jantan dari spesies ini memiliki kanal ginekofor di salah satu sisi tubuhnya. Kanal

ini digunakan untuk menyimpan cacing betina. Schistosoma sendiri merupakan

gabungan dari istilah schisto dan soma, yang berarti tubuh yang bergabung

(Springer-Verlag 2001). Schistosomosis sp berhabitat di dalam pembuluh darah.

Manusia dapat terinfeksi schistosomiasis akibat kontak dengan air yang

terkontaminasi. Spesies penting Schistosoma sp antara lain S. mansoni, S.

haematobium, dan S. japonicum [CDC 2012]. Hewan-hewan yang menjadi

reservoir cacing Schistosomosis adalah berbagai jenis siput yang tinggal pada

perairan. Setiap spesies cacing Schistosoma memiliki reservoir (inang antara)

dari siput dengan spesies yang berbeda pula. Beberapa di antara siput-siput ini

antara lain, siput Biophalaria untuk S. mansoni, Bulinus untuk S. haematobium,

serta Onchomelaria untuk S. japonicum (Ahmed 2014). Peranan siput-siput ini

sebagai reservoir sangat penting bagi keberlangsungan hidup cacing

Schistosoma sp. Siput—siput ini banyak menyebar di area-area perairan yang

sering terdapat kontak dengan manusia.

Karena kerugian penyakit schistosomosis yang besar, pengendalian

harus dilakukan secara efektif dan efisien. Pengendalian schistosomosis dapat

dilakukan dengan memusnahkan mata rantai siklus hidup cacing Schistosoma

sp. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah pemusnahan populasi siput

sebagai reservoir.

Page 3: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan

hewan-hewan sebagai reservoir infeksi Schistosoma japonicum pada masyarakat

Indonesia sehingga dapat dilakukan pengendalian terhadap hewan-hewan ini

untuk pengendalian penyakit schistosomiasis.

Tinjauan Pustaka

Parasite S.japonicum ditemukan di China dan Filipina, tetapi tidak

ditemukan lagi di Jepang yang mana telah sukses mengontrol dengan

programnya. Ini menjadi semakin menyebar di China tetapi program kontrol telah

sukses diterapkan di beberapa area selatan China dan sekitar Shanghai. Di

Indonesia ini ditemukan di beberapa lembah terpencil di Sulawesi Tengah.

kontrol dari parasite ini sangat rumit dengan banyaknya inang antara yang ada.

Yang menarik adalah adanya banyak strain S.japonicum yang mana berbeda

patogenisitasnya, sensitifitas terhadap obat, morfologi dan infektifitasnya. Di

Taiwan strain yang ada tidak infektif pada manusia (Departement of Pathology

2010).

Kontrol schistosomiasis yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum

telah tergalang disamping fakta bahwa beberapa spesies mamalia (kecuali

manusia), termasuk di dalamnya hewan domestikasi dan satwa liar, menjadi

carier dari infeksi ini yang bersifat zoonosis. Walaupun sekitar 46 spessies dari

mamalia telah diketahui terkena infeksi secara alami, hanya beberapa yang

mungkin berpotensial bersifat menular pada manusia. Secara umum di daerah

endemik, transmisi schistosomiasis pada manusia tergantung pada adanya dan

kelimpahan dari inang permisif. Faktor penting lain yang perlu dipertimbangkan

dalam kontrol adalah perbedaan strain yang berpotensial (Yi et al 2010).

Penyakit Schistosomiasis yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum

terus menjadi masalah kesehatan utama di China, Filipina dan Indonesia. Infeksi

pada manusia di China dan Filipina telah berkurang meskipun sulit karena

keberadaan dari inang hewan. Data survey menunjukkan baha sekitar 46 spesies

mamalia bukan manusia terdiri dari 33 genus dan 18 famili menjadi carier secara

alami. Walaupun survey tersebut teridentifikasi adanya infeksi yang berasal dari

hewan di wilayah endemik, harus diingat bahwa beberapa inang mungkin non-

permissive terhadap infeksi yang berarti dalam inang tersebut parasite tidak

Page 4: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

tumbuh menjadi dewasa, atau jika parasite tersebut dewasa mereka mungkin

gagal mengeluarkan telur (Yi et al 2010).

Transmisi schistosomiasis di wilayah endemik tergantung pada keberadaan

dan banyaknya inang permissive, kerentanan dari inang permissive terhadap

strain parasite, jumlah telur dalam feses, lamanya telur, dan jumlah telur yang

hidup. Hewan domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing menjadi inang paling

penting dalam transmisi yang ada di China, sedangkan rodensia, kambing,

domba, dan monyet memiliki peranan yang lebih sedikit. Karena jumlah sapi

yang banyak dan memiliki kotak yang dekat dengan manusia, khususnya dalam

praktik pertanian, sapi dan kerbau memiliki ancaman transmisi yang lebih besar

pada manusia daripada mamalia yang lain. Dalam hal ini jika schistosomiasis

pada sapi tidak dapat ditangani, penyakit ini kemungkinan tidak dapat dikontrol

pada manusia (Yi et al 2010)

Schistosomiasis di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1953 oleh

Dr. Brug dan Tesch dan hanya ditemukan endemik di dataran tinggi Napu

(Kabupaten Poso) dan dataran tinggi Lindu (Kabupaten Donggala). Siput yang

merupakan vektor penularan adalah Oncomelania hupensis lindoensis yang

ditemukan pada ahun 1972 di daerah bekas pesawahan di Palu, dataran Lindu.

Hampir semua mamalia yang ditemukan di daerah tersebut terjangkit oleh

parasite tersebut misalnya sapi, kerbau, kuda, anjing, babi, rusa, anoa, dan

berbagai jenis tikus baik tikus rumah maupun tikus ladang dan tikus hutan

(Sudomo-Sasono 2012).

Pemberantasan schistosomiasis di Indonesia telah dilakukan sejak tahun

1974 melalui pengobatan penderita dengan Niridazole dan pemberantasan siput

penular (Oncomelania hupensis lindoensis) dengan molusisida dan agro-

engineering. Namun demikian dikarenakan Niridazole sangat toksik dan dapat

menimbulkan efek samping yang cukup berat, maka sangat sulit untuk

melaksanakan pengobatan secara masal karena untuk pengobatan

schistosomiasis Niridazole harus diminum selama 7 hari berturut-turut. Sebelum

peberantasan dilakukan, prevalensi schistosomiasis pada manusia di dataran

tinggi Napu sebesar 72 % sedangkan di dataran Lindu 12-74% (Sudomo-Sasono

2012).

Page 5: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

Pembahasan

Schistosomosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh spesies

cacing Schistosoma japonicum, salah satu cacing Trematoda yang tinggal dalam

pembuluh darah vena dan merupakan salah satu penyakit tertua dan penting di

dunia selain malaria (Sudomo 2004). Schistosomosis atau disebut juga demam

keong disebabkan oleh parasit cacing. Parasit ini muncul dari siput (keong) untuk

mencemari air tawar, dan kemudian menginfeksi manusia ataupun hewan

mamalia yang kulitnya bersentuhan dengan air. Schistosomosis selain

menginfeksi manusia juga dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan

dari hewan mamalia melalui perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis

(Hadidjaja P 1985).

Di Indonesia schistosomosis merupakan masalah kesehatan masyarakat,

dan hanya ditemukan di Sulawesi Tengah, di tiga daerah yaitu dataran tinggi

Napu, Lindu dan Bada (Jastal et al. 2008). Pengendalian schistosomosis telah

dilakukan dari tahun 1975 hingga sekarang. Hasil pemberantasan yang

dilakukan dapat menurunkan prevalensi dengan sangat signifikan, tetapi reinfeksi

tetap terjadi sehingga prevalensi schistosomosis baik pada manusia, tikus

maupun siput penular berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena siklus penularan

masih berlangsung terus (Sudomo et al. 2007).

Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterika superior, dimana

tempat cacing betina akan menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau

meninggalkan cacing jantan untuk bertelur di dalam venule-venule mesenterika

kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat dan memerlukan

waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam

kerangka telur. Massa telur menyebabkan adanya penekanan pada dinding

venule yang tipis dan biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolik

mirasidium yang masih berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek

dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi

berat, dapat ditemukan ribuan cacing pada pembuluh darah. Selanjutnya jika

kontak dengan siput, larva menembus jaringan lunak dalam waktu 5-7 minggu,

membentuk generasi pertama dan kedua dari sporokista.

Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria yang bercabang.

Serkaria ini dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air.

Dalam waktu 24 jam serkaria menembus kulit. Tertembusnya kulit ini sebagai

hasil kerja dari kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju

Page 6: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

aliran kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru

kemudian terbawa sampai ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak semua

rute perjalanan tersebut diambil oleh Schistosoma sp. muda pada migrasi dapat

dari paru-paru ke hati. Schistosoma sp. merayap melawan aliran darah

sepanjang arteri pulmonalis, jantung kanan dan vena cava menuju ke hati melalui

vena hepatica. Infeksi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang tidak

terbatas.

Menetasnya telur yang berlangsung di dalam air dapat dipengaruhi oleh

kadar pH, suhu, dan aspek penting lainnya. Migrasi Schistosoma japonicum

dimulai dari masuknya cacing tersebut ke dalam pembuluh darah kecil, kemudian

ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang bermigrasi jarang

menimbulkan kerusakan atau gejala. Tetapi terkadang dapat menimbulkan reaksi

hebat pada tubuh penderita.

Pada tahun 1982 pemberantasan yang lebih intensif dan terkoordinasi

telah dilakukan baik di Napu maupun di Lindu. Pemberantasan dilakukan secara

terintegrasi antara pengobatan masal, pemberantasan siput dan pembangunan

sarana air bersih dan pembagan jamban keluarga kepada penduduk.

Pengobatan masal dilakukan dengan pemberian obat baru yaitu Praziquantel

dengan dosis 60mg/kg BB yang dibagi menjadi 2 dengan tenggat waktu minum

obat antara 4-6 jam. Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan dilakukan

survailans secara berkala yaitu dengan pemeriksaan tinja penduduk selama 6

bulan sekali. Untuk mengetahui apakah masih terjadi penularan schistosomiasis

di alam maka dilakukan pula pemeriksaan tikus dan siput penular setiap enam

bulan sekali bersama-sama dengan pemeriksaan tinja penduduk (Sudomo-

Sasono 2012).

Usaha untuk mengontrol populasi siput melalui bahan kimia molluscicides

atau perubahan habitatnya menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan.

Penggunaan kemoterapi pada manusia dan hewan domestik hanya berjalan

temporer. Diketahui tingginya reinfeksi pada manusia dan hewan domestik.

Sebagai hasilnya, habitat siput oncomelania meningkat dan menyebabkan infeksi

lebih banyak terhadap manusia. Ditemukan serkaria S. japonicum yang

menginfestasi air danau, menggunakan mencit yang dibongkar selama

transmisiya tinggi pada bulan Agustus 2005, 2006, dan 2007. Mencit dieutanasi

40 hari kemudian di cek untuk keberadaan cacing dewasa dari S. japonicum

pada vena mesenterica (Long 2009).

Page 7: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

Infeksi S. japonicum pada tikus yang masih tinggi demikian juga infeksi

pada siput penular yaitu O.h. lindoensis. Mata rantai penularan yang paling

lemah adalah pada siput penularnya, dengan melakukan eliminasi pada siput

penularnya maka penularan akan terhenti. Telah diketahui bahwa O.h. lindoensis

dapat bertahan hidup di daerah yang lembab tidak terlalu banyak air dan tidak

terlalu kering. Sehingga apabila habitat siput dikeringkan dan diubah menjadi

kebun maka siput tersebut akan mati (Sudomo et al. 2007).

Usaha telah ditujukan untuk mengidentifikasi antigen S. japonicum yang

mungkin menginduksi respon imun. Vaksinasi dapat menjadi target untuk

menghindari infeksi dari schistosoma atau penurunan parasite yang produktif.

Penghancuran jumlah cacing merupakan standar untuk pengembangan vaksin

anti-schistosoma, tetapi telur juga memiliki peran pada transmisi dan patologi.

Vaksin yang ditargetkan untuk mempengaruhi kesuburan parasite dan

keberadaan telur juga diperlukan. Kebanyakan vaksin adalah protein membran,

komponen otot atau enzim (McManus-Dalton 2006).

Daftar Pustaka

[CDC] Centers for Disease Control Prevention. 2012. Parasites-Schistosomiasis.

[terhubung berkala]. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. [19 April

2015].

[WHO] World Health Organization. 2015. Schistosomiasis: a major public health

problem. [terhubung berkala]. http://www.who.int/schistosomiasis/en/. [19

April 2015].

Ahmed Shaddab H. 2014. Schistosomiasis. [terhubung berkala].

http://emedicine.medscape.com/article/228392-overview. [19 April 2015].

Department of Pathology. 2010. Geographical Distribution of Schistosomiasis.

[internet] [20 April 2015] dapat diunduh dalam:

www.path.cam.as.k/~schisto/schistosoma/schito_distribution.html.

Jastal et al. 2008. Analisis Spasial epidemiologi schistosomiasis menggunakan

pengindraan jauh dan system informasi geografis di Lembah Napu dan

Lindu Kab. Donggala. Donggala: Loka Litbang P2B2 Donggala.

Long DW et al. 2009. A strategy to control transmission of Schistosoma

japonicum in China. N engl J med (360):121-129.

Page 8: Tinjauan Pustaka Schistosomiasis

McManus DP, Dalton JP. 2006. Vaccine agaist the zoonotic trematodes

Schistosoma japonicum, Fasciola hepatica, and Fasciola gigantica.

Parasitology (133) : S43-S61.

Mehlhorn H, Amstrong PM. 2001. Ecyclopedic Reference of Parasitology. New

York: Springer.

Sudomo M, Pretty, Sasono MD. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di

Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 35(1):36-45.

Sudomo M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia

Orasi Pengukuhan Professor Riset Entomologi dan Moluska. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Sudomo M, Sasono PMD. 2012. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia.

Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan : 36-45.

Yi XH, Salafsky B, Ramaswamy K. Juli 2010. Host-parasite relationship of

Schistosoma japonicum in mammalian hosts. TRENDS in Parasitologogy 7

(17):320-324.