Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

37
BAB II KAJIAN LITERATUR A. Kota Pesisir Kota Pesisir (Waterfront City) adalah kawasan perkotaan yang berada di tepi air (laut, danau, atau sungai), yang memiliki karakteristik open access dan juga multi fungsi, namun sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan (Rahmat, 2012). Keberadaannya di tepi air tersebut membuat Kota Pesisir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan laut. Dengan demikian, keseimbangan Kota Pesisir akan sangat dipengaruhi oleh proses lingkungan pesisirnya sendiri. Sebagai kota yang berada di tepi air, Kota Pesisir memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota yang berbasis pada wilayah daratan. Sumberdaya alam di Waterfront City khususnya yang berada di wilayah pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan aset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan Kota Pesisir ini dimanfaatkan untuk beragam aktivitas yang kemudian menciptakan fungsi yang beraneka ragam. Kota Pesisir dapat dibedakan berdasarkan dua macam aspek (Rahmat, 2012)., yaitu : 1. Berdasarkan pesisirnya. Berdasarkan pesisirnya, kita dapat membedakan suatu Kota Pesisir kepada tiga jenis, yaitu Kota Pesisir Laut, Kota Pesisir Sungai, dan Kota Pesisir Danau. Jika suatu kota berbatasan langsung dengan Laut, Sungai ataupun Danau secara sekaligus, maka perairan yang memberikan fungsi yang dominan bagi Kota Pesisir tersebut, adalah perairan yang menjadi identitas dari Kota Pesisir tersebut. 2. Berdasarkan populasinya. Berdasarkan populasinya suatu Kota Pesisir dapat dibedakan kepada Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir Sedang, dan Kota Pesisir Besar. Dengan memahami jenis-jenis suatu Kota Pesisir maka kita akan mendapatkan pendekatan yang berbeda dalam upaya melihat keberadaan suatu Kota Pesisir. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan ancaman yang berbeda

Transcript of Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Page 1: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

BAB II

KAJIAN LITERATUR

A. Kota Pesisir

Kota Pesisir (Waterfront City) adalah kawasan perkotaan yang berada di tepi

air (laut, danau, atau sungai), yang memiliki karakteristik open access dan juga

multi fungsi, namun sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan (Rahmat,

2012). Keberadaannya di tepi air tersebut membuat Kota Pesisir memiliki

pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan laut. Dengan demikian,

keseimbangan Kota Pesisir akan sangat dipengaruhi oleh proses lingkungan

pesisirnya sendiri. Sebagai kota yang berada di tepi air, Kota Pesisir memiliki

karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota yang berbasis pada wilayah

daratan. Sumberdaya alam di Waterfront City khususnya yang berada di wilayah

pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan

aset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan Kota Pesisir ini

dimanfaatkan untuk beragam aktivitas yang kemudian menciptakan fungsi yang

beraneka ragam.

Kota Pesisir dapat dibedakan berdasarkan dua macam aspek (Rahmat,

2012)., yaitu :

1. Berdasarkan pesisirnya.

Berdasarkan pesisirnya, kita dapat membedakan suatu Kota Pesisir

kepada tiga jenis, yaitu Kota Pesisir Laut, Kota Pesisir Sungai, dan Kota

Pesisir Danau. Jika suatu kota berbatasan langsung dengan Laut, Sungai

ataupun Danau secara sekaligus, maka perairan yang memberikan fungsi

yang dominan bagi Kota Pesisir tersebut, adalah perairan yang menjadi

identitas dari Kota Pesisir tersebut.

2. Berdasarkan populasinya.

Berdasarkan populasinya suatu Kota Pesisir dapat dibedakan kepada

Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir Sedang, dan Kota

Pesisir Besar.

Dengan memahami jenis-jenis suatu Kota Pesisir maka kita akan

mendapatkan pendekatan yang berbeda dalam upaya melihat keberadaan suatu

Kota Pesisir. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan ancaman yang berbeda

Page 2: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

dengan Kota Pesisir Sungai. Sedangkan Kota Pesisir Mikro akan memiliki potensi

dan permasalahan yang berbeda dengan Kota Pesisir Besar.

Kota Pesisir merupakan kawasan yang strategis dengan berbagai keunggulan

komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi penggerak

pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa

wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena

berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.

Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 150 Kota

Pesisir yang berada di sepanjang garis pantainya, yang merupakan garis pantai

yang kedua terpanjang di dunia. Intensitas kegiatan dan potensi Kota-kota Pesisir

yang bertebaran diseluruh penjuru nusantara, memerlukan perhatian yang

sungguh-sungguh; karena kita tidak ingin, Kota-kota Pesisir kita yang indah dan

mempesona tergerus oleh abrasi, terintrusi oleh air laut dan tergenang banji r rob.

(Rahmat, 2012)

B. Konsep Perencanaan Kota Pesisir (Waterfront City)

Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman

Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city

merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap

ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu

proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air

dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik

alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan

wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan. Sebagai bagian dari

kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik sebagai

kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers

pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional

(Rahmat, 2010 dalam Ferdiansyah, 2012).

Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai,

danau) yang potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan

untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan

transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis

yang terlindung dari hantaman gelombang danserangan musuh. Perkembangan

Page 3: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat

dibandingkan perkembangan waterfront.

Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan

antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan

sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan

daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,terdapat tekanan air sungai

terhadap air tanah, serta merupakan daerahrawa sehingga run off air rendah.

Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai struktur batuan

lepas,tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air. Secara tata guna lahan

kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif antaraair dan elemen

perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim,

cuaca, angin dansuhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi

badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa

permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan

budaya waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat

pertumbuhan ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang

berorientasi ke air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat

masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di

atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagai transportasi

utama, merupakan kawasan terbuka (akses langsung) sehingga rawan terhadap

keamanan,penyelundupan, peyusupan (masalah pertahanan keamanan) dan

sebagainya.

Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau

kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen

penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik.

Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air

seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila

dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang

dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu

memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami.

Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront

city).

Page 4: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air

Sumber: Sastrawati, 2003 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com/

diakses 10/11/2014

Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam

penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam

prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan.Variabel

penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap

komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif)

kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar

negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003 dalam

http://onlyone-deny.blogspot.com/)

1. Waterfront City di Negara Maju

Penerapan waterfront city di kota-kota negara maju dapat juga dijadikan

referensi dalam perencanaan waterfront city bagi kota-kota di Indonesia. Di

negara maju perencanaan dan pengembangan waterfront city didasarkan

pada berbagai konsep sesuai dengan kondisi sosio-kultur, kemampuan

teknologi dan ekonomi serta kebutuhan kotanya masing-masing. Kota San

Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront city modern yang dapat

Page 5: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat menonjolkan nuansa

kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront city di pusat kota ini

yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di Texas.

Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang

mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang

fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai

edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota,Vaporeti (bus air)sampai

angkutan pencampur beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian

Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala

perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial,

industri, residensial dan rekreasi.

2. Waterfront City di Indonesia

Pada dasarnya, mayoritas perencanaan dan pengembangan waterfront city

di kota-kota Indonesia memiliki karakteristik yang beorientasi ekonomi dan

ekologis sehingga mampu menjadi prime movers pengembangan wilayah

lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional. Seperti perencanaan dan

pengembangan waterfront city di Jakarta yang mempunyai tujuan utama

merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk

nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat,

dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti

pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan

(Rahmat,2010).

Di Kota Surabaya, perencanaan waterfront city dikembangkan di Teluk

Lamong dengan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan

modern Jepang. Selain itu, akan dikembangkan juga sebagai kawasan

pergudangan, industri, dan pariwisata. Berdasarkan hasil Kajian Lingkup

Hidup Startegis (KLHS) Teluk Lamong (2011) konsep yang ditawarkan adalah

eco-waterfront city sebagai upaya untuk menjaga kondisi lingkungan dari

kerusakan dan berkelanjutan.

Sedangkan waterfront city di Ternate telah menjadi kota mandiri (self

contained city) yang dapat melayani kebutuhan penduduk di sekitarnya.

Dalam konteks ekologi waterfront city di Ternate adalah bagaimana menjaga

terjadinya penurunan kualitas lingkungan pada kawasan baik wilayah daratan,

Page 6: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

laut maupun perairan yang termasuk maupun tidak termasuk kawasan sensitif

(Nurdin, 2009 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com).

Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil

pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap

menginginkan positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota

sebagai kota maritime, jasa, niaga, pendidikan serta budaya

(http://www.makassarterkini.com).

Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing

kota – kota di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-

pertimbangan perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial,

ekonomi dan lingkungan. Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan

kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan seluruh masyarakat

diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan memacu

perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk

mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi

ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah

yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan

dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun

dari manusia yang mengambil atau memanfaatkan potensi alam sedikit

banyak akan mempengaruhi kesetimbangannya. Apabila hal ini tidak

diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya

akibat dampak yang dapat dapat bersifat tak berubah lagi (irreversible

changes). Ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama sesuai

dengan peran dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan

waterfront city (Mulyanto, 2008 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep waterfront city

merupakan salah satu konsep pembangunan yang berkelanjutan karena

mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya pelestarian sumber daya,

pemerataan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan. Selain itu, jika

menggunakan pendekan pengelolaan kawasan peisir yang terpadu

(Integrated Coastal Zone Management) maka konsep waterfront city

menggunakan prinsip ICZM yakni proses untuk pengelolaan pantai

Page 7: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

menggunakan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai,

termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai

pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan (Dahuri, 1996 dalam

deny.blogspot.com)

C. Pesisir Kota Makassar

Berdasarkan penjelasan sebelumnya diketahui bahwa wilayah pesisir baik di

negara maju maupun di Indonesia umumnya dikembangkan untuk kepentingan

ekonomi, seperti dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri,

pariwisata, pelabuhan dan perbelanjaan. Pengembangan seperti itu juga terjadi di

kota Makassar, salah satunya yang terjadi di pulau Lae-Lae pada tahun 90-an

yang direncanakan untuk dikembangkan sebagai tempat wisata pantai dimana

akan dibangun restoran dan penginapan. Akibatnya masyarakat pesisir (nelayan)

yang menghuni pulau tersebut harus direlokasi.

Kebijakan relokasi Masyarakat Pulau Lae-Lae ke Kampung Nelayan pada

tahun 1998 oleh Pemerintah Kota Makassar saat itu memberikan dampak pro dan

kontra. Pasalnya, dari 326 jumlah kepala keluarga Pulau Lae-Lae yang

direncanakan direlokasi, hanya separuh diantaranya yang setuju. Sehingga

menyebabkan komunitas masyarakat Lae-Lae terpecah menjadi dua kelompok.

(http://www.upeks.co.id/ diakses 13/11/2014 ).

Kelompok yang setuju direlokasi kemudian menghuni permukiman nelayan

yang disediakan pemerintah di kelurahan Untia, sedangkan sebagian kelompok

lain (yang tidak setuju) memutuskan untuk tetap bertahan di pulau Lae-Lae, yang

pada akhirnya menyebabkan perencanaan untuk dikembangkan sebagai tempat

wisata batal. Sehingga masyarakat yang memutuskan bertahan di pulau Lae-Lae

dapat melanjutkan kehidupan mereka seperti sebelumnya. Sedangkan

masyarakat yang di relokasi berpotensi memiliki dampak hasil relokasi yang

dilakukan secara paksa. World Bank, 2001 (dalam Umbara, 2003) melihat dampak

yang mungkin timbul bagi penduduk yang dipindahkan atau orang terkena

dampak relokasi adalah :

1. Kehidupan penduduk dapat terkena akibat atau dampak yang

menyebabkan penderitaan. Banyak mata pencaharian dan kekayaan yang

hilang. Pemeliharaan kesehatan cenderung menurun. Mata rantai antara

Page 8: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

produsen dan konsumen seringkali terputus dan pasar tenaga kerja lokal

menjadi terpecah-pecah.

2. Jaringan-jaringan sosial informal yang merupakan bagian dari sistem

pemeliharaan kehidupan sehari-hari (seperti kebiasaan saling tolong

menolong dan sumber dukungan sosial ekonomi) menjadi rusak.

3. Organisasi-organisasi setempat dan perkumpulan-perkumpulan formal dan

infromal lenyap karena bubarnya anggota mereka. Masyarakat dan otoritas

tradisional dapat kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.

4. Efek kualitatif ialah rusaknya sistem sosial dan ekonomu setempat yang

secara mendasar menimbulkan dampak negatif bagi sejumlah besar

penduduk.

D. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia

1. Pengertian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengertian pesisir menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU

No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu:

a. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu

proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,

serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

b. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan

laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

c. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan

2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

d. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya

hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa

lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang

lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi

pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi

infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-

jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat

Page 9: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta

energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.

e. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan

yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan

dangkal, rawa payau, dan laguna.

f. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya

proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100

(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

2. Tujuan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia

Tujuan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut UU No. 27

Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu :

a. Melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan

memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem

ekologisnya secara berkelanjutan;

b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil;

c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta

mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,

dan keberkelanjutan; dan

d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui

peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

3. Perencanaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia menurut UU No.

27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (pasal 5) meliputi

kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian

terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Page 10: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (pasal 7)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas:

a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RSWP-3-K;

b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RZWP-3-K;

c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan

d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RAPWP-3-K.

4. Pemanfaatan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia menurut UU No.

1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

a. Pesisir

Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian

Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara

menetap wajib memiliki Izin Lokasi. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan

untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup

permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada

batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-

pulau kecil. Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi

dasar pemberian Izin Pengelolaan.

Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan

berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dan

wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau

kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas

damai bagi kapal asing. Izin Lokasi sebagaimana diberikan dalam luasan

dan waktu tertentu. Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana, tidak

merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun

sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin

Lokasi.

Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan

Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:

1) produksi garam;

Page 11: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

2) biofarmakologi laut;

3) bioteknologi laut;

4) pemanfaatan air laut selain energi;

5) wisata bahari;

6) pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau

7) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin

Pengelolaan.

b. Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan

berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan

terpadu dengan pulau besar di dekatnya.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya

diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:

1) konservasi;

2) pendidikan dan pelatihan;

3) penelitian dan pengembangan;

4) budidaya laut;

5) pariwisata;

6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;

7) pertanian organik; dan/atau

8) peternakan.

Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta

penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan

perairan di sekitarnya wajib:

1) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;

2) memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air

setempat; dan

3) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

c. Konservasi

Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya

perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Page 12: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,

dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan

tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan

keanekaragamannya.

Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan

untuk :

1) menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;

2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;

3) melindungi habitat biota laut; dan

4) melindungi situs budaya tradisional.

Pemerintah Daerah menetapkan batas Sempadan Pantai yang

disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi

pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Sempadan

Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional

dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari

titik pasang tertinggi ke arah darat.

Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan:

1) perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;

2) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;

3) perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan

bencana alam lainnya;

4) perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah,

mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria,

dan delta;

5) pengaturan akses publik; serta

6) pengaturan untuk saluran air dan limbah.

d. Rehabilitas

Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses

pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak

walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula. Rehabilitasi Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan

keseimbangan Ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat.

Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara:

Page 13: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

1) pengayaan sumber daya hayati;

2) perbaikan habitat;

3) perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang

secara alami; dan

4) ramah lingkungan.

e. Reklamasi

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam

rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut

lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan

lahan atau drainase. Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis,

lingkungan, dan sosial ekonomi.

Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud menjaga dan

memperhatikan:

1) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;

2) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan

pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta

3) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan

material.

f. Larangan

Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 35),

setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:

1) menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan

Ekosistem terumbu karang;

2) mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;

3) menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan/atau bahan lain

yang merusak Ekosistem terumbu karang;

4) menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak

Ekosistem terumbu karang;

5) menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem

mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil;

Page 14: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

6) melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona

budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi

ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

7) menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan

industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;

8) menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;

9) melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara

teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan

lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan

Masyarakat sekitarnya;

10) melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang

apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya

menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran

lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;

11) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila

secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya

menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran

lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta

12) melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan

lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Page 15: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Gambar 2.1 Zonasi Ideal Pesisir

(sumber : http://ariefhidayat06.blogspot.com/2009 diakses tanggal

29/11/2014 18:50 WITA)

5. Pengawasan dan Pengendalian menurut UU No. 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan

dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu

yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian

khusus.

E. Pengertian Permukiman Nelayan

1. Pengertian Nelayan

Menurut ST. Khadija dalam Syahriarto arti kata Nelayan terbagi dalam dua

pengertian nelayan yaitu :

Page 16: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

a. Nelayan Sebagai Subyek/Orang; merupakan sekelompok masyarakat

manusia yang memiliki kemampuan serta sumber kehidupan disekitar

pesisir pantai.

b. Nelayan sebagai predikat/pekerjaan; suatu sumber penghasilan

masyarakat yang berkaitan erat dengan sektor perikanan dan perairan

(laut dan sungai).

Menurut Umbara (2003), nelayan digolongkan sebagai pekerja, yaitu orang

yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung

maupun secara tidak langsung sebagai mata pencahariannya. Pekerjaan

menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan

umumnya hanya dapat dikerjakan oleh lelaki. Kondisi sosial ekonomi dan

budaya masyarakat nelayan ditandai dengan rendahnya tingkat pendapatan

(kemiskinan), tingginya angka kelahiran (fertilitas), tingkat pendidikan yang

rendah, kesehatan yang buruk, budaya konsumtif dan pola tindakan

berdasakan kebiasaan (custom). Berkaitan dengan pola pekerjaan yang

berkaitan dengan air permukiman dibuat mendiami daerah kepulauan,

sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai.

2. Permukiman Nelayan

Permukiman nelayan adalah merupakan lingkungan tempat tinggal dengan

sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan

masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan

keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan

perairan sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian

sebagian dari mereka masih terikat dengan daratan. (Umbara, 2003).

Secara umum permukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu

permukiman yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang

memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan itu sendiri

adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik

Indonesia Nomor 15/Permen/M/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Nelayan, perumahan kawasan

nelayan untuk selanjutnya disebut kawasan nelayan adalah perumahan

kawasan khusus untuk menunjang kegiatan fungsi kelautan dan perikanan.

Page 17: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Pada perkembangannya kampung-kampung nelayan berkembang semakin

padat dan tidak tertib karena pertumbuhan penduduk alami dan urbanisasi.

Kriteria fisik lingkungan kawasan permukiman nelayan sebagai berikut:

(Depertemen Pekerjaan Umum)

a. Tidak berada pada daerah rawan bencana

b. Tidak berada pada wilayah sempadan pantai dan sungai

c. Kelerengan : 0 – 25 %

d. Orientasi horizontal garis pantai : > 600

e. Kemiringan dasar pantai : terjal – sedang

f. Kemiringan dataran pantai : bergelombang – berbukit

g. Tekstur dasar perairan pantai : kerikil – pasir

h. Kekuatan tanah daratan pantai : tinggi

i. Tinggi ombak signifikan : kecil

j. Fluktuasi pasang surut dan arus laut : kecil

k. Tidak berada pada kawasan lindung

l. Tidak terletak pada kawasan budidaya penyangga, seperti kawasan

mangrove.

Kawasan permukiman nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana

yang memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para keluarga

nelayan. Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari

sistem permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses

terhadap kegiatan perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan

jaringan transportasi.

Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang

Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :

a. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan

yang memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung

kehidupan dan penghidupan penghuninya.

b. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki

akses yang tinggi terhadap kawasan perairan.

c. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya

yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.

Page 18: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

d. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan

penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan

dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

Kawasan permukiman nelayan tersusun atas satuan-satuan lingkungan

perumahan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan yang

sesuai dengan besaran satuan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun

memenuhi prinsip-prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis,

persyaratan administrasi, maupun persyaratan lingkungan. Dari berbagai

parameter tentang permukiman dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan

bahwa permukiman nelayan merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan

sarana dan prasarana yang mendukung, dimana masyarakat tersebut

mempunyai keterikatan dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai

nelayan. (Syahriarto,2013).

3. Sarana Permukiman Nelayan

Lingkungan permukiman yang sehat adalah lingkungan yang terdiri dari

atas kumpulan rumah sehat yang teratur tata letaknya dan mempunyai

prasarana dan sarana lingkungan yang memadai, seperti jaringan jalan,

saluran air limbah, MCK, sumber air bersih, pusat lingkungan, yaitu sekolah,

kantor, puskesmas dan tempat peribadatan (Patandianan dan Zenaide, 2011).

Berikut pemaparan yang termasuk dalam sarana permukiman nelayan dikutip

dari berbagai sumber.

Sarana permukiman nelayan dikutip dari Patandianan dan Toban meliputi :

a. Sarana Kesehatan

Lingkungan permukiman yang mempunyai penduduk 6.000 jiwa, perlu

disediakan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, poliklinik, posyandu,

fasilitas diletakkan pada lokasi yang mudah terjangkau. (luas lahan

puskesmas pembantu 0,12 Ha/unit dan luas lahan posyandu 0,05 Ha/unit).

b. Sarana Pendidikan

Taman kanak-kanak diperuntukkan bagi anak-anak usia 5–6 tahun

minimal penduduk pendukungnya 1.000 jiwa. Lokasi sebaiknya berada

ditengah-tengah kelompok masyarakat/keluarga dan digabung dengan

Page 19: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

tempat/taman bermain di RW atau RT. Radius pencapaian tidaklah lebih

dari 500 meter (luas lahan 0,12 Ha/unit).

1) Sekolah Dasar untuk anak usia 6-12 tahun min. penduduknya

1.600 jiwa. lokasi sebaiknya tidak menyeberang jalan lingkungan

dan masih di tengah kelompok keluarga, radius pencapaian

maksimum 1.500 m. (luas lahan 0,27 Ha/unit)

2) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama adalah untuk melayani anak-

anak lulusan SD, dimana 3 unit sekolah dasar dilayani oleh 1 unit

SLTP yang dapat dipakai pagi/sore minimum penduduk

pendukungnya 4.500 jiwa, lokasinya dapat digabung dengan

lapangan olahraga atau sarana pendidikan yang lain (luas lahan

0,27 Ha/unit).

3) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas adalah lanjutan dari SLTP, di mana

1 unit SLTP, dilayani oleh 1 unit SLTA. Minimum penduduk

pendukungnya adalah 4.800 unit. (luas lahan 0,27 Ha/unit).

c. Sarana perdagangan

Toko/warung untuk lingkungan permukiman yang mempunyai

penduduk 250 orang perlu disesuaikan fasilitas perbelanjaan terkecil.

Selain sarana perdagangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dibutuhkan

sarana perdagangan berupa toko yang berhubungan dengan kegiatan

melaut.

d. Sarana sosial

1) Tempat peribadatan, yaitu tempat penganut suatu agama

malaksanakan aktivitas ritual beragamanya sehari-hari. Untuk > 15-

40 jiwa diperlukan sebuah fasilitas peribadatan berupa mesjid,

gereja dan sebagainya sedangkan untuk < 15 orang cukup

dilakukan dirumah.

2) Balai karya/Balai Desa, yaitu tempat yang disediakan untuk

menampung berbagai kegiatan seperti rapat, pertemuan,

pelayanan kesehatan masyarakat, dan PKK.

3) Pos jaga adalah tempat yang disediakan untuk melakukan kegiatan

pengawasan lingkungan desa.

e. Tempat bermain/olahraga

Page 20: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Untuk penduduk sebanyak 250 jiwa (setingkat RT) diperlukan ruang

terbuka utuk bermain/taman. Sedangkan untuk penduduk sebanyak 2500

jiwa (setingkat RW) diperlukan lapangan olah raga seperti lapangan sepak

bola yang lokasinya disatukan dengan fasilitas lingkungan lainnya.

f. Tempat penjemuran ikan, untuk mengeringkan ikan dan proses

pengawetan ikan

g. Tempat pembuatan jaring

h. Tempat pelelangan ikan.

Adalah tempat jual beli ikan dengan sistem lelang. Kegiatan yang

terjadi di tempat ini berupa menimbang ikan, menempatkan ikan pada

keranjang-keranjang sesuai dengan jenis-jenisnya atau digelar di lantai

siap untuk dilelang, pelelangan, lalu pengepakan dengan es untuk

keranjang/peti ikan yang sudah laku.

i. Pabrik es

Sarana Permukiman Nelayan dikutip dari Syahriarto 2013, yaitu :

a. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Tempat pelelangan ikan (TPI) adalah tempat jual beli ikan dengan

sistem lelang dimana terdapat kegiatan menimbang, menempatkan pada

keranjang-keranjang dengan jenis-jenisnya atau digelar di lantai siap untuk

dilelang, kemudian pelelangan lalu pengepakan dengan es untuk

keranjang/peti ikan yang sudah beku.

Lokasi TPI sebaiknya dekat dengan dengan dermaga sehingga

memudahkan pengangkutannya dari kapal-kapal. Kegiatan ini banyak

menggunakan air, oleh karena itu sebaiknya dekat dengan air bersih

kondisi saluran drainase di lokasi TPI harus baik agar air tidak tergenang

sehingga tidak menimbulkan bau yang menyengat.

b. Tambatan Perahu

Tempat penambatan perahu adalah tempat perahu-perahu bersandar /

parkir sebelum dan sesudah bongkar muat ikan. Biasanya berdekatan

dengan TPI. Fungsi tambatan perahu sebagai tempat untuk mengikat

perahu saat berlabuh dan tempat penghubung antara dua tempat yang

Page 21: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

dipisahkan oleh laut, sungai maupun danau. Terdapat dua tipe tambatan

perahu terdiri dari:

1) Tambatan tepi, digunakan apabila dasar tepi sungai atau pantai

cukup dalam, dibangun searah tepi sungai atau pantai.

2) Tambatan dermaga, digunakan apabila dasar sungai atau pantai

cukup landai, dibangun menjalar ketengah.

c. Tempat Penjemuran Ikan

Tempat penjemuran ikan berfungsi untuk mengeringkan ikan sebagai

proses pengawetan. Adapun syarat-syarat tempat penjemuran ikan

sebagai berikut:

1) Tempat penjemuran ikan sebaiknya berupa lapangan terbuka atau

terkena sinar matahari.

2) Wadah penjemuran ikan sebaiknya berlubang agar air dapat turun

supaya cepat kering dan tidak berkarat.

3) Tempat penjemuran ikan diusahakan bersih dengan membuat

saluran pembuangan.

4) Sebaiknya ada jaringan drainase supaya tidak ada air yang

tergenang sehingga tidak menimbulkan bau.

5) Lokasi penjemuran ikan sebaiknya mudah di awasi.

4. Prasarana Permukiman Nelayan

Prasarana dikutip dari Patandianan dan Toban, meliputi:

a. Dermaga

Dalam lingkup kegiatan perikanan tingkat desa, dermaga merupakan

tempat menyandarkan perahu saat istirahat dan tempat para nelayan

mendaratkan ikan hasil tangkapannya untuk dijual atau dilelang. Prasarana

ini biasanya dibuat dari konstruksi beton atau kayu.

b. Tambatan perahu

Adalah tempat perahu–perahu nelayan bersandar/parkir sebelum dan

sesudah bongkar muat ikan.

c. Tanggul dan pemecah gelombang

d. Jaringan listrik harus dapat menjangkau seluruh areal permukiman

e. Jaringan jalan

Page 22: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

1) Jalan lingkungan, yaitu jalan yang menghubungkan suatu kelompok

rumah ke kelompok rumah yang lain, atau dari kelompok rumah ke

fasilitas lingkungan atau menuju tempat sarana bekerja.

2) Jalan setapak, yaitu jalan yang menghubungkan antar rumah

didalam kelompok perumahan nelayan secara konstruktif. Jalan ini

tidak dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat, hanya dapat

dilalui oleh kendaraan bermotor dan becak. Ukuran jalan setapak

1,2 - 1,5 m jika mungkin ditambah jalur kerikil 0,5 m

f. Jaringan air bersih

Bisa memanfaatkan sumber air baku yang tersedia baik air tanah atau

air permukaan melalui pembuatan sumur gali, sumur pompa tangan (SPT),

saringan pipa resapan (SPR), penampungan air hujan (PAH), saringan

pasir lambat (SPL), instalasi pengolahan air (IPA), hidran umum (HU),

terminal air (TA) dan sistem perpipaan / jaringan.

g. Drainase

Untuk menyalurkan air hujan serta dari setiap rumah yang berupa air

limbah agar lingkungan perumahan bebas dari genangan air. Ukuran

saluran drainase ditentukan berdasarkan kapasitas volume air yang akan

ditampung dan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan serta daya

resap tanah. Saluran drainase di bangun pada kiri kanan jaringan jalan,

namun kadang-kadang untuk menghemat biaya kadang-kadang saluran

terdapat hanya di satu sisi.

h. Persampahan

Bak sampah harus dapat menampung jumlah sampah yang dihasilkan.

Bak sampah dibuat dari bahan yang menjamin kebersihannya dan

mempunyai penutup, sampah basah terpisah dengan sampah kering,

pengangkutan dan pemusnahan sampah harus lancar dan tidak tinggal

membusuk. Tempat pembuangan akhir dari sampah tersebut harus jauh

dari lingkungan perumahan

Dikutip dari Syahriarto. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik suatu

lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu kawasan permukiman

nelayan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana mestinya, seperti :

Page 23: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

jaringan air bersih dan air limbah, jaringan drainase, jaringan persampahan,

dan jaringan jalan.

a. Jaringan Jalan

Jaringan jalan merupaka prasarana pengangkutan (transportasi) yang

memungkinkan sistem pencapaian dari suatu tempat ke tempat lain dalam

pergerakan arus manusia dan angkutan barang secara aman dan nyaman.

Berdasarkan SNI 03-6967-2003, jaringan jalan adalah suatu prasarana

perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

bagi lalu-lintas kendaraan, orang dan hewan.

Menurut Adji Adisasmita (2010) prasarana jalan mempunyai peranan

yang sangat besar dalam kehidupan manusia, dalam perekonomian dan

pembangunan. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di luar rumah.

Hampir seluruh kegiatan rumah tangga disuplai dari luar rumah. Kegiatan

dan kebutuhan manusia, semuanya menggunakan transportasi jalan dan

jasa pelayanan jalan, berarti prasarana jalan adalah sangat penting dan

sangat besar.

Jaringan jalan di kawasan perumahan menurut fungsinya adalah jalan

lokal dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan sekunder.

1) Jalan Lokal

Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan

rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2) Jalan Lingkungan

Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan

kecepatan rata-rata rendah.

3) Jalan Setapak

Jalan yang menghubungkan antar rumah didalam kelompok

perumahan nelayan secara konstruktif. Jalan ini tidak dapat dilalui

oleh kendaraan beroda empat, hanya dapat dilalui oleh kendaraan

bermotor dengan becak.

Page 24: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

b. Jaringan Air Limbah / Air Kotor

Limbah adalah air bekas buangan yang bercampur kotoran, air

bekas/air limbah ini tidak diperbolehkan dibuang ke sembarangan /

dibuang keseluruh lingkungan, tetapi harus ditampung kedalam bak

penampungan.

Limbah adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga

berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya.

Dengan demikian air buangan ini merupakan hal yang bersifat kotoran

umum.

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi

baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat

bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah,

ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas

domestik lainnya (grey water).

Air limbah domestik adalah air bekas yang tidak dapat digunakan lagi

untuk tujuan semula baik yang mengandung kotoran manusia (tinja) atau

dari aktifitas dapur, kamar mandi dan cuci dimana kuantitasnya antara 50-

70 % dari rata-rata pemakaian air bersih (120-140 liter/orang/hari).

Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung

bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau

konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak

langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,

dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,

kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.

Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya

dan atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan atau

jumlahnya, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merusak dan

atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan

manusia.

Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang

berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa

Page 25: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan

penanganan dan pengolahan khusus. Berdasarkan sumbernya, limbah B3

dibagi menjadi 3 bagian:

1) Limbah B3 dari sumber tidak spesifik yaitu limbah yang berasal dari

kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, inhibitor korosi, pelarutan

kerak, pengemasan dan lain-lain.

2) Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan

dan pembuangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi

3) Limbah B3 dari sumber spesifik yaitu limbah B3 yang berasal dari

sisa proses suatu industri atau kegiatan manusia.

Menurut Sugiharto, sumber asal air limbah dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Air Limbah Domestik (Rumah Tangga)

Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat adalah

berasal dari perumahan dan daerah perdagangan. Adapun sumber

lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah daerah

perkantoran/lembaga serta daerah fasilitas rekreasi.

2) Air Limbah Non Domestik (Industri)

Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi

tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada

proses industri, derajat penggunaan air, derajat pengolahan air

limbah yang ada untuk memperkirakan jumlah air limbah yang

dihasilkan oleh industri yang tidak menggunakan proses basah

diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari.

c. Jaringan Drainase

Drainase berasal dari bahasa inggris, drainage mempunyai arti

mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang

teknik sipil, darinase secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu

tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air irigasi dari suatu

kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase

dapat juga diartikan sebagai usaha mengontrol kualitas air tanah dalam

kaitannya dengan sanitasi. Jadi drainase menyangkut tidak hanya air

permukaan tapi juga air tanah.

Page 26: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Sistem darinase dapat didefenisikan sebagai serangkaian bangunan air

yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari

suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara

optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran

penerima (interceptor drain), saluran drainase terdiri dari saluran penerima

(interceptor darin), saluran induk (main drain), dan badan penerima

(receiving waters). Disepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya,

seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air, pelimpah pintu-pintu air,

bangunan terjun, kolam tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang

lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima, air diolah dahulu di

instalasi pengolahan limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur.

Hanya air yang telah memenuhi baku mutu tertentu yang dimasukkan ke

badan air penerima, sehingga tidak merusak lingkungan.

Secara umum drainase terbagi menjadi:

1) Drainase Primer adalah saluran utama yang menerima saluran

drainase dari drinase sekunder. Dimensi saluran relatif besar yang

bermuara pada badan penerima yang dapat berupa sungai, danau,

laut, maupun kanal.

2) Drainase Sekunder adalah saluran terbuka atau tertutup yang

menerima aliran air dari drainase tersier / lingkungan, limpahan air

permukaan sekitarnya dan meneruskan ke saluran primer.

3) Drainase Tersier adalah saluran dari yang menerima air dari setiap

persil-persil rumah, fasilitas umum dan sarana kota lainnya.

4) Drainase Lingkungan adalah saluran yang menerima aliran air dari

lingkungan dan para warga.

d. Jaringan Persampahan

Sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang

punya dan bersifat padat. Sampah ini ada yang mudah membusuk dan ada

pula yang tidak mudah membusuk. Yang membususk terutama terdiri dari

zat-zat organik seperti sisa makanan, sedangkan yang tidak mudah

membusuk dapat berupa plastik, kertas, karet, logam dan sebagainya.

Sampah adalah limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah

padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau

Page 27: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sumber

limbah padat (sampah) perkotaan berasal dari permukiman, pasar,

kawasan pertokoan dan perdagangan, kawasan perkantoran dan sarana

umum lainnya.

Adapun Jenis-jenis sampah terbagi atas dua. Yaitu:

1) Sampah Organik

Sampah Organik, yaitu sampah yang mudah membusuk. Sampah

Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan

yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian,

perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan

dalam proses alami dan dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos.

Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.

Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa

tepung, sayuran, kulit buah, dan daun-daun kering.

2) Sampah Anorganik

Sampah Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah dan bahkan

tidak bisa membusuk. Sampah Anorganik berasal dari sumber daya

alam tidak dapat diperbaharui seperti mineral dan minyak bumi,

atau dari proses industri. Sebagian dari sampah anorganik secara

keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian

lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama.

Sampah anorganik pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa

botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.

e. Jaringan air bersih

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada suatu kawasan

permukiman maka adapun kriterianya adalah sebagai berikut :

1) Pengambilan air baku diutamakan dari air permukaan;

2) Kebutuhan air rata – rata 100 liter/orang/hari;

3) Kapasitas minimum sambungan rumah 60 liter/orang/hari dan

sambungan kran umum 30 liter/orang/hari.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/menkes/sk/xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja

Perkantoran dan industri terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu air

Page 28: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi

persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.

Menurut (NSPM Kimpraswil, 2002) beberapa pengertian tentang air

bersih adalah sebagai berikut :

1) Sebagai air yang memenuhi ketentuan yang berlaku untuk baku

mutu air bersih yang berlaku yang siap diminum setelah dimasak

2) Air yang memenuhi persyaratan untuk keperluan rumah tangga

3) Air yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk keperluan

sehari-hari dengan kualitas yang memenuhi ketentuan baku mutu

air bersih yang ditetapkan

4) Air yang aman digunakan untuk air minum dan pemakaian-

pemakaian lain karena telah bersih dari bibit-bibit penyakit, zat

kimia organik dan anorganik, serta zat-zat radioaktif yang dapat

membahayakan kesehatan.

5) Air bersih memenuhi syarat kesehatan :

a) Air yang tidak berwarna (bening atau tembus pandang)

b) Tidak berubah rasanya dan baunya

c) Tidak mengandung zat-zat organik dan kuman-kuman yang

mengganggu kesehatan

5. Karakteristik Lingkungan (Permukiman Nelayan Pesisir Pantai)

Perairan pantai sangat penting sebagai habitat berbagai jenis organisme.

Perairan pantai merupakan daerah peralihan antara perairan tawar dan laut,

terutama di daerah-daerah dekat muara sungai. Pantai yang terletak antara

pasang tertinggi dan surut terendah disebut pantai intertidal. Sebagai daerah

peralihan, perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi,

sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan

baik. Kondisi perairan pantai yang baik, tidak hanya akan menguntungkan

secara ekologis, tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi

masyarakat, baik secara langsung bagi masyarakat nelayan maupun secara

tidak langsung bagi masyarakat lainnya (Tobing, 2009).

Dikutip dari Khairum (2012), pantai intertidal dapat dibedakan atas 3 jenis,

yaitu:

Page 29: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

a. Pantai Berbatu

Pantai berbatu terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat

ombak pecah. Umumnya pantai berbatu terdapat bersama-sama atau

berseling dengan pantai berdinding batu. Kawasan ini paling padat

makroorganismenya, dan mempunyai keragaman fauna maupun flora yang

paling besar. Tipe pantai ini banyak ditemui di selatan Jawa, Nusa

tenggara, dan Maluku.

b. Pantai Berpasir

Pantai ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh sungai

besar, atau di pulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang hidup disini

tidak sepadat di kawasan pantai berbatu, dan karena kondisi

lingkungannya organisme yang ada cenderung menguburkan dirinya ke

dalam substrat. Kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk

berbagai aktivitas rekreasi.

c. Pantai Berlumpur

Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai sebelumnya

terletak pada ukuran butiran sedimen (substrat). Tipe pantai berlumpur

mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai berlumpur terbentuk

disekitar muara-muara sungai dan umumnya berasosiasi dengan estuaria.

Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1 meter atau lebih. Pada pantai

berlumpur yang amat lembek sedikit fauna maupun flora yang hidup

disana. Perbedaan yang lain adalah gelombang yang tiba di pantai,

dimana aktivitas gelombangnya sangat kecil, sedangkan untuk pantai yang

lain kebalikannya.

(http://laodekhairummastufpik.blogspot.com/2012/06/daerah-intertidal-atau-

daerah-pasang.html / di akses tanggal 28/11/2014 00:24)

6. Karakteristik Kehidupan Masyarakat Nelayan

a. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Sosial

Hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan

adalah akibat interaksi dengan lingkungannya. Adapun ciri sosial

masyarakat nelayan sebagai berikut:

1) Sikap kekerabatan atau kekeluargaan yang sangat erat.

2) Sikap gotong royong/paguyuban yang tinggi.

Page 30: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

Kedua sikap telah banyak mewarnai kehidupan masyarakat nelayan

yang pada umumnya masih bersifat tradisional. Lahirnya sikap ini sebagai

akibat dari aktivitas nelayan yang sering meninggalkan keluarganya dalam

kurun yang waktu cukup lama, sehingga timbul rasa keterkaitan serta

keakraban yang tinggi antara keluarga-keluarga yang ditinggalkan untuk

saling tolong menolong.

Hal ini dapat tercermin pada pola permukimannya yang mengelompok

dengan jarak yang saling berdekatan, sikap gotong royong yang tampak

pada saat pembuatan rumah, memperbaiki jala ikan, memperbaiki perahu,

dan alat tangkap serta pada upacara adat, ketika akan melakukan

penangkapan ikan yang juga dilakukan secara gotong royong di laut yang

dipimpin oleh seorang punggawa.

b. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Budaya

Beberapa hal yang telah membudaya dalam masyarakat nelayan

adalah kecenderungan hidup lebih dari satu keluarga dalam satu rumah

atau mereka cenderung untuk menampung keluarga serta kerabat mereka

dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan sering dijumpai

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah melebihi kapasitas daya

tampung, sehingga ruang gerak menjadi sempit dan terbatas. Dan

dampaknya itu pula, mereka cenderung untuk memperluas rumah tanpa

terencana.

Adapun adat kebiasaan yang turun temurun telah berlangsung pada

masyarakat nelayan adalah seringnya mengadakan pesta syukuran atau

selamatan, misalnya pada waktu peluncuran perahu baru ketika akan

melakukan pemberangkatan, dan saat berakhirnya musim melaut agar

pada musim berikutnya mendapatkan hasil yang lebih banyak dan lain-lain.

Masyarakat nelayan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan

yang rendah, menyebabkan kurangnya pengetahuan mereka sehingga

menghambat kemajuan nelayan sendiri, antara lain sulitnya bagi

pemerintah untuk memberi bantuan dalam bentuk penyuluhan maupun

modernisasi peralatan (Mubyarto,1985; dalam Syahriarto 2013). Hal ini

juga berpengaruh dalam lingkungan permukimannya, karena rendahnya

Page 31: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

pengetahuan akan pentingnya rumah sehat yang mengakibatkan mereka

menganggapnya sebagai suatu kebutuhan.

c. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Ekonomi

Usaha perikanan banyak tergantung pada keadaan alam, sehingga

pendapatan nelayan tidak dapat ditentukan. Tingkat penghasilan nelayan

umumnya dibagi atas dua:

1) Penghasilan bersih yang diperoleh selama melaut jika seorang

“sawi” maka besar pendapatannya sesuai dengan kesepakatan.

2) Penghasilan sampingan yaitu penghasilan yang diperoleh dari

pekerjaan tambahan, baik pekerjaan itu didapat ketika jadi buruh,

bertani dan berdagang maupun pekerjaan atau kerajinan dalam

mengelola hasil laut lainnya.

Diamati kondisi ekonomi ketiga kelompok tersebut diatas, maka

sepintas lalu dapat dikemukakan bahwa umumnya taraf hidup kehidupan

masyarakat nelayan terutama yang menangkap ikan secara tradisional,

termasuk paling rendah, sedangkan masyarakat pantai yang bergerak

dibidang petempaian/tambak menempati taraf hidup yang lebih baik.

Sedangkan untuk yang teratas diduduki oleh masyarakat /pedagang .

Desa nelayan umumnya terletak dipesisir pantai, maka penduduk desa

tersebut sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.

Melihat bahwa mereka berada pada daerah pesisir sehingga akan

bertambah secara berkelompok-kelompok mengikuti pola lingkungan

karena adanya faktor laut sebagai faktor pendukung, sehingga penduduk

setempat mempunyai tata cara kehidupan yang bersifat tradisional dengan

kehidupan yang spesifik pula. (Syahriarto, 2013)

F. Teori Relokasi Permukiman

1. Pengertian Relokasi Permukiman

Relokasi atau resettlement merupakan proses pemindahan penduduk dari

lokasi permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya ke lokasi baru

yang baru disiapkan sesuai dengan rencana pembangunan kota (Ridho,

2001:95 dalam Umbara Umbara, 2003). Bila dikaitkan dengan 5 kelompok

peremajaan permukiman yang didasarkan pada lokasi seperti dikemukakan

Page 32: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

oleh Yudohusodo, relokasi atau pemindahan permukiman dilakukan terhadap

lokasi permukiman yang peruntukkannya bukan untuk perumahan atau lokasi

permukiman yang rawan bahaya.

Ada dua alternatif pemberian ganti rugi (kompensasi) dalam proses relokasi

ini, yaitu :

a. Pemberian kompensasi atas tanah dan/atau bangunan serta fasilitas

lainnya berupa uang tunai senilai dengan nilai jual tanah dan/atau

bangunan serta fasilitas lainnya yang dilepaskan.

b. Pemberian kompensasi atas tanah dan/atau bangunan serta fasilitas

lainnya berupa hal yang sama dengan yang dilepaskan pada lokasi

baru yang telah ditetapkan dan disepakati. (Ridlo, 2001:96 dalam

Umbara Umbara, 2003)

Menurut World Bank (OD 4.30, June 1990), permukiman kembali atau

ressetlement pada umumnya terjadi atau dilakukan pada kondisi “terpaksa”.

Pengertiannya adalah tidak ada pilihan lain kecuali harus menyerahkan

“kekayaannya” untuk dimukimkan pada tempat yang baru. Asian Development

Bank (November 1995) menyampaikan laporan hasil studinya yang

menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan peristiwa yang seringkali menjadi

penyebab program relokasi (ressetlement), antara lain :

a. Proyek pemerintah yang memerlukan pembebasan tanah untuk

keperluan pembangunan sarana prasarana kota, pembuatan waduk,

pembuatan rel kereta api atau jalan bebas hambatan, untuk keperluan

jaringan listrik dan telepon;

b. Kondisi force majour, seperti bencana alam, kebakaran, perang dan

kerusuhan.

Mengenai program relokasi, di dalam Panduan Operasional Bank dunia

(KO 4.12, September 1999) digambarkan bahwa kebijakan tersebut, mengacu

pada hasil evaluasinya di beberapa negara berkembang, dipandang sebagai

bentuk program yang sedapat mungkin dihindari atau paling tidak dikurangi

dengan cara menjajaki berbagai desain proyek alternatif yang mungkin dapat

dilaksanakan. Program relokasi dinilai sebagai suatu program yanag bersifat

“terpaksa” jikalau harus dilaksanakan.

Page 33: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

2. Tujuan dan Prinsip Kebijakan Relokasi Permukiman

Asian Develompment Bank (dalam Umbara, 2003) menyampaikan tujuan

dan prinsip kebijakan mengenai permukiman kembali, yang barangkali dapat

diadopsi dan dimodifikasi sebagai bentuk alternatif program relokasi, yakni :

a. Permukiman Kembali Rudapaksa harus dihindari kalu memungkinakan

memilih alternatif-alternatif proyek yang layak

b. Orang-orang yang terkena dampak, wajib diberikan ganti rugi dan

dibantu, supaya kehidupan sosial dan ekonominya sama seperti

apabila tidak ada proyek tersebut.

c. Orang-orang yang terkena dampak ini harus diberikan informasi

lengkap dan diajak bermusyawarah tentang permukiman kembali dan

alternatif-alternatif lain.

d. Lembaga-lembaga sosial dan budaya dari penduduk yang dipindahkan

dan penduduk setempat di lokasi pindahan harus didukung dan

dimanfaatkan sebaik mungkin. Penduduk yang dipindahkan harus

dapat berintegrasi secara ekonomi dan sosial dengan penduduk

setempat di lokasi pindahan.

e. Sedapat mungkin permukiman kembali harus dirancang dan

dilaksanakan sebagai bagian dari proyek

f. Seluruh biaya permukiman kembali dan ganti rugi harus diperhitungkan

dalam rencana biaya dan manfaat proyek.

3. Prosedur Pelaksanaan Relokasi

Bank Dunia, 1999 (dalam Umbara, 2003) merekomendasikan bahwa

sebelum memutuskan rencana relokasi, negara-negara berkembang perlu

mempersiapkan kerangka rencana atau kerangka kebijakan permukiman

kembali secara matang, dan program dikembangkan atas dasar partisipasif,

sehingga keputusan untuk pindah atau dimukimkan kembali dibuat sendiri

oleh masyarakat setempat dan sacara teguh mengikat anggota-anggotanya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan program relokasi :

a. Diberikan penjelasan yang memadai mengenai pilihan dan hak-hak

mereka sebagai orang yang akan direlokasi;

Page 34: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

b. Diberikan konsultasi dan ditawari pilihan-pilihan di antara alternatif

permukiman kembali yang dapat dilakukan secara layak dipandang dari

segi teknis dan ekonomis;

c. Diberikan kompensasi secara tepat dan efektif dengan penggantian

penuh atas kehilangan asset yang secara langsung terkena program

relokasi;

d. Jika relokasi diperlukan, bantuan (seperti biaya pindah) diberikan

selama relokasi;

e. Setelah pemindahan, diberikan bantuan (seperti pekerjaan jangka

pendek, bantuan nafkah atau biaya hidup) secara layak selama masa

transisi yang cukkup memadai; dan

f. Disediakan bantuan pengembangan bagi keberlanjutan perumahan dan

kawasan permukiman.

g. Lembaga-lembaga sosial dan budaya dari penduduk yang dipindahkan

dan penduduk setempat di lokasi pindahan harus didukung dan

dimanfaatkan sebaik mungkin agar penduduk yang dipindahkan harus

dapat berintegrasi secara ekonomi dan sosial dengan penduduk

setempat di lokasi pindahan.

Ridlo (2001:96) dalam Umbara (2003) menawarkan prosedur yang

ditempuh dalam pelaksanaan relokasi, yaitu :

a. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena relokasi

dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi tersebut.

b. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah untuk menggali

respon, aspirasi warga dan peranserta warga dalam proyek

peremajaan. Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari

perencanaan hingga terlaksananya proyek. Hal-hal yang dibicarakan

dalam forum diskusi diantaranya kesepakatan besarnya kompensasi,

pengurusan surat-surat hak atas tanah, penyusunan jadwal

kepindahan, perancangan prosedur kepindahan, dan sebagainya.

c. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan

besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan

prasarana dan sarana lingkungan di lokasi yang baru.

Page 35: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

d. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal baru

dengan memperhatikan aspirasi warga;

e. Setelah pemindahan warga ke lokasi baru dilaksanakan, perlu diadakan

bimbingan dan pembinaan kepada warga agar dapat segera

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

Menurut Davidson, 1993 (dalam Umbara,2003) relokasi yang dipilih jauh

dari perkampungan asli dapat menyebabkan tekanan, khususnya jika lokasi

itu berbeda keadaan lingkungannya, pola kehidupan ekonomi dan mata

pencaharian. Relokasi ke kawasan yang jauh harus dapat dihindari sedini

mungkin.

Umbara (2003) mengatakan pendekatan pemenuhan kebutuhan akan

perumahan masyarakat menuntut adanya perspektif baru yang lebih

komprehensif melalui pendekatan ekonomi, sosial dan budaya daripada

sekedar pendekatan kebutuhan dasar. Dalam perspektif ini, kebijakan

pemenuhan kebutuhan perumahan masyarakat perlu dengan sungguh-

sungguh memperhatikan persepsi masyarakat di dalam menentukan tempat

tinggalnya. Persepsi tersebut meliputi :

a. Pandangan masyarakat di dalam menempatkan prioritas berdasarkan

fungsi rumah (seperti security, opportunity dan identity)

b. Lokasi dan aksesbilitas kepada masyarakat dan tempat-tempat lain

c. Kelengkapan fasilitas permukiman, seperti sarana dan prasarana

d. Lingkup atau status sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat

e. Kualitas fisik bangunan dan lingkungannya

f. Nilai dan tipe rumah

g. Lingkup komunitas

4. Dampak Relokasi Permukiman

Evaluasi yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam artikel “Involuntary

Resettlement”, 1990 (dalam Umbara, 2003) terhadap beberapa program

relokasi di negara-negara sedang berkembang seperti India, Thailand, dan

Filipina lebih banyak menunjukkan dampak negatif. Program-program tersebut

seperti pemindahan paksa untuk eksploitasi sumber daya alam di beberapa

negara selalu menyisakan masalah, tidak saja menyangkut kerugian materil di

Page 36: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

lokasi lama tetapi juga kesulitan-kesulitan atau masalah yang dihadapi

“korban” di lokasi baru.

Asia Development Bank (dalam Umbara, 2003) dalam salah satu temuan

studinya mengemukakan beberapa dampak negatif yang mungkin ditimbulkan

oleh program relokasi yang tidak direncanakan secara matang di dalam

pembangunan perkotaan yakni bahwa perumahan, struktur dan sistem

masyarakat, hubungan sosial dan pelayanan sosial dapat terganggu. Sumber-

sumber produktif termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian dapat

hilang. Kultur budaya dan kegotongroyongan yang ada dalam masyarakat

dapat menurun. Kehilangan sumber kehidupan dan pendapatan dapat

mendorong timbulnya eksploitasi ekosistem, kesulitan hidup, ketegangan

sosial, dan kemiskinan (ADB, Nopember 1995).

Senada dengan hal tersebut World Bank, 2001 (dalam Umbara, 2003)

melihat dampak yang mungkin timbul bagi penduduk yang dipindahkan atau

orang terkena dampak relokasi adalah :

a. Kehidupan penduduk dapat terkena akibat atau dampak yang

menyebabkan penderitaan. Banyak mata pencaharian dan kekayaan

yang hilang. Pemeliharaan kesehatan cenderung menurun. Mata rantai

antara produsen dan konsumen seringkali terputus dan pasar tenaga

kerja lokal menjadi terpecah-pecah.

b. Jaringan-jaringan sosial informal yang merupakan bagian dari sistem

pemeliharaan kehidupan sehari-hari (seperti kebiasaan saling tolong

menolong dan sumber dukungan sosial ekonomi) menjadi rusak.

c. Organisasi-organisasi setempat dan perkumpulan-perkumpulan formal

dan infromal elnyap karena bubarnya anggota mereka. Masyarakat dan

otoritas tradisional dapat kehilangan pemimpin-pemimpin mereka

d. Efek kualitatif ialah rusaknya sistem sosial dan ekonomu setempat yang

secara mendasar menimbulkan dampak negatif bagi sejumlah besar

penduduk.

Bank Dunia juga mencemaskan dampak yang mungkin dapat terjadi pada

lokasi pemindahan, terutama berkaitan dengan kemungkinan merosotnya

kesejahteraan penduduk akibat penyesuaian terhadap mata pencaharian

mereka sebagai sumber penghidupan di tempat yang baru, termasuk kerugian

Page 37: Tinjauan Pustaka, Permukiman Nelayan

yang tidak mudah dinilai atau diganti dalam bentuk uang seperti akses

terhadap pelayanan umum, ancaman terhadap kelestarian lingkungan,

putusnya hubungan ekonomi antara pelanggan dan pemasok yang telah

terbina di tempat lama, dan akses terhadap sumber daya yang sepadan yang

dapat diterima secara kultural dan membuka peluang mereka untuk

memperoleh penghasilan.