tinjauan Pustaka Leptospirosis

8
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003). Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme yaitu leptospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki maupun perempuan semua umur dan dikenal dengan berbagai nama seperti mud f eve r , sli me f eve r , swamp f eve r , aut umnal f eve r , inf ec t ious jaundi ce , f i e ld f eve r , c ane cutt e r f eve r(Mansjoer, 2005).Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam i c t e rohemorrhagi c , demam lumpur, penyakit swinhe rd, demam rawa, penyakit we il , demam c ani cola(PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi. Di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah, kuman leptospira akan mudah berkembang dan sehubungan dengan itu leptospira sering disebut penyakit pedesaan (Saroso, 2003). WHO menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10 100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003). Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious disease di Indonesia dengan angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yang mencapai 2,5-16,45% (PDPERSI Jakarta, 2007). Int e rna t ional L e pt ospirosi s Soc i e ty menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas (ILS, 2001). 1

description

tinjauan Pustaka Leptospirosis

Transcript of tinjauan Pustaka Leptospirosis

Page 1: tinjauan Pustaka Leptospirosis

1  

  

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira

patogen (Saroso, 2003). Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan

suatu mikroorganisme yaitu leptospira tanpa memandang bentuk spesifik

serotipenya. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki maupun perempuan

semua umur dan dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever,

swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter

fever(Mansjoer, 2005).Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama

demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa,

penyakit weil, demam canicola(PDPERSI Jakarta, 2007).

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,

khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki

curah hujan dan kelembaban yang tinggi. Di negara berkembang, dimana

kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah,

kuman leptospira akan mudah berkembang dan sehubungan dengan itu

leptospira sering disebut penyakit pedesaan (Saroso, 2003).

WHO menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah

berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di

negara tropis berkisar antara 10 – 100 kejadian tiap 100.000 penduduk per

tahun (WHO, 2003).

Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti.

Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious disease di Indonesia

dengan angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yang

mencapai 2,5-16,45% (PDPERSI Jakarta, 2007).International Leptospirosis

Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan

peringkat tiga di dunia untuk mortalitas (ILS, 2001).

 

1

Page 2: tinjauan Pustaka Leptospirosis

2  

  

 

Penularan di Indonesia paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.

Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti

banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak

timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira

berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh

manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan

hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama

leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya

reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda,

babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke

manusia tidak sebesar tikus (PDPERSI Jakarta, 2007).

Berdasarkan laporan dari Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah,

leptospirosis terutama terjadi di enam daerah yakni Kota Semarang,

Kabupaten Demak, Klaten, Purworejo, Pati, dan Kabupaten Semarang.

Berdasarkan Geographis Information System (GIS) dan data Dinas Kesehatan

Kota Semarang untuk pemetaan dan penentuan zona kerawanan leptospirosis,

kasus Leptospirosis pada tahun 2009 mengalami fluktuatif, dengan jumlah

kasus tertinggi pada bulan Juli 2009 dan terendah pada bulan Oktober 2009.

Penderita leptospirosis tahun 2009 mengalami kenaikan sebanyak 57 kasus

(21%) dibandingkan tahun 2008 dengan jumlah kematian meningkat 1%.

Data kasus leptospirosis sampai September 2010 sebanyak 61 kasus. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena meningkatnya jumlah unit pelayanan

kesehatan yang melaporkan kasus leptospirosis. (Dinas Kesehatan Propinsi

Jawa Tengah. Spot Survey, 2008).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk jumlah kasus

Leptospirosis tiap puskesmas sampai dengan Desember 2011 berjumlah 69

kasus leptospirosis dan 24 orang diantaranya meninggal. Di Wilayah Kota

Semarang dengan jumlah kasus tertinggi pertama sampai bulan Desember

Page 3: tinjauan Pustaka Leptospirosis

3  

  

 

2011 adalah di wilayah Puskesmas Pegandan dengan jumlah kasus 5 kasus,

jumlah kasus leptospirosis tertinggi kedua di wilayah Puskesmas Pandanaran

dengan jumlah kasus 7 kasus dan sebanyak 3 orang diantaranya meninggal,

dan jumlah kasus leptospirosis tertinggi ketiga di wilayah Puskesmas Kagok

dengan jumlah kasus 7 kasus dan sebanyak 4 orang diantaranya meninggal

Berdasarkan data hasil wawancara dengan kepala program kasus leptospirosis

dari Puskesmas yang jumlah kasus leptospirosis tertinggi di wilayah Kota

Semarang penyebab terjadinya leptospirosis adalah jarak antara rumah

dengan selokan atau parit ≤ 2 meter serta perilaku kesehatan masyarakat yang

masih buruk.

Faktor perilaku kesehatan lingkungan ini meliputi perilaku sehubungan

dangan air bersih dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan,

Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, Perilaku sehubungan

dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Termasuk di

dalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat,serta

dampak pembuangan limbah yang tidak baik (Notoatmodjo,2007).

Faktor resiko lingkungan terhadap kejadian leptospirosis adalah faktor

lingkungan fisik, faktor lingkungan biologis dan faktor lingkungan sosial.

Faktor lingkungan fisik leptospirosis meliputi keberadaan badan air atau

sungai dapat menjadi media penularan leptospirosis secara tidak langsung.

Kontaminasi air dari urin atau sekret atau bagian tubuh dari hewan yang

terinfeksi bakteri Leptospira dapat menjadi sumber penularan,keberadaan

parit atau selokan merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal

tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk ke rumah, adanya genangan air,

jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah yang dekat

dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke

rumah dan kencing sembarangan. Faktor lingkungan biologis meliputi

populasi tikus di dalam rumah dan keberadaan hewan peliharaan. Faktor

Page 4: tinjauan Pustaka Leptospirosis

4  

  

 

lingkungan sosial meliputi lama pendidikan, jenis pekerjaan dan kondisi

tempat bekerja (Sudarsono, 2002).

Hasil penelitian Ningsih (2009) faktor risiko lingkungan yang terbukti

berhubungan dengan kejadian leptospirosis yaitu keberadaan genangan air di

sekitar rumah. Faktor risiko lingkungan yang tidak terbukti berhubungan

dengan kejadian leptospirosis keberadaan selokan, keberadaan sampah,

kondisi TPS, jarak rumah dengan TPS, keberadaan tikus di sekitar rumah dan

keberadaan hewan peliharaan sebagai hewan perantara.

Hasil penelitian Priyanto (2007) faktor risiko yang terbukti berpengaruh

terhadap kejadian leptospirosis adalah kondisi selokan buruk, keberadaan

sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah, kebiasaan

tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi atau mencuci di sungai, pekerjaan

berisiko dan tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis. Faktor risiko yang

tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah keberadaan

genangan air, curah hujan ≥ 177,5 mm.

Hasil penelitan Rejeki (2005) faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor

risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya sampah di dalam rumah,

curah  hujan  ≥  177,5 mm,  jarak  rumah  dengan  selokan  ≤  2,0 meter. Faktor

lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis

berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar. Fakor resiko yang tidak

terbukti berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah aktivitas tidak

memakai alas kaki di rumah atau tempat kerja.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah

dalam  penelitian  ini  adalah  “Adakah  hubungan  antara perilaku dan

lingkungan fisik dengan kejadian penyakit leptospirosis di Puskesmas

Pegandan, Puskesmas Pandanaran dan Puskesmas Kagok”.

Page 5: tinjauan Pustaka Leptospirosis

5  

  

 

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara perilaku kesehatan dan lingkungan fisik

dengan kejadian leptospirosis di Puskesmas Pegandan, Puskesmas

Pandanaran dan Puskesmas Kagok.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan perilaku kesehatan masyarakat di Puskesmas

Pegandan, Puskesmas Pandanaran dan Puskesmas Kagok.

b. Mendiskripsikan lingkungan fisik masyarakat yang meliputi

keberadaan badan air atau sungai, keberadaan parit atau selokan,

keberadaan genangan air dan jarak rumah dengan tempat

pengumpulan sampah di Puskesmas Pegandan, Puskesmas

Pandanaran dan Puskesmas Kagok.

c. Mendeskripsikan kejadian leptospirosis di Puskesmas Pegandan,

Puskesmas Pandanaran dan Puskesmas Kagok.

d. Menganalisis hubungan perilaku kesehatan dengan kejadian

leptospirosis di Puskesmas Pegandan, Puskesmas Pandanaran dan

Puskesmas Kagok.

e. Menganalisis hubungan lingkungan fisik dengan kejadian

leptospirosis di Puskesmas Pegandan, Puskesmas Pandanaran dan

Puskesmas Kagok.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini di harapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan,

khususnya keperawatan komunitas.

b. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya ilmu

keperawatan dalam meningkatkan profesionalisme pelayanan

terhadap masyarakat

Page 6: tinjauan Pustaka Leptospirosis

6  

  

 

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

masyarakat mengenai pentingnya memperhatikan perilaku kesehatan

dalam mengurangi kejadian penyakit leptospirosis.

b. Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang

Memberikan tambahan informasi mengenai Sistem Kewaspadaan

Dini dalam strategi program pengendalian kejadian Leptospirosis

dengan mempertimbangkan kondisi daerah serta sebagai

pertimbangan bagi pihak yang berwenang dalam mengambil

kebijakan pengendalian kejadian Leptospirosis.

c. Bagi Puskesmas

Dapat digunakan sebagai masukan bagi tenaga medis terkait untuk

melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien leptospirosis.

E. Bidang Ilmu

Penelitian ini merupakan penelitian yang memfokuskan pada bidang

keperawatan komunitas.

Page 7: tinjauan Pustaka Leptospirosis

7  

  

 

F. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah:

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian No Peneliti

(tahun) Judul Desain study Variabel bebas dan

terikat Hasil

1. Riyan Ningsih (2009).

Faktor resiko lingkungan terhadap kejadian leptospirosis di jawa tengah(studi kasus di Kota Semarang Kabupaten Demak Dan Pati).

Explantory research dengan metode observasional

Variabel bebas : faktor lingkungan fisik. Variabel terikat : kejadian leptospirosis

Faktor lingkungan fisik sangat mempengaruhi kejadian leptospirosis berat.

2. Dwi Sarwani Sri Rejeki. (2005).

Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang).

Observasional dengan rancangan kasus kontrol.

Variabel bebas : faktor resiko lingkungan. Variabel terikat : kejadian leptospirosis.

Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya sampah di dalam rumah, curah hujan, jarak rumah dengan selokan <2,0 meter. Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar.

3. Agus Priyanto (2007)

Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis (study kasus di kabupaten Demak).

Observasional Variabel bebas : Faktor-faktor resiko. Variabel terikat : kejadian leptospirosis

Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah pekerjaan berisiko, kondisi selokan buruk, keberadaan sampah di dalam rumah, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi atau mencuci disungai dan tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis.

Dalam penelitian ini, terdapat perbedaan perbedaan penelitian dengan penelitian

sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Riyan Ningsih (2009) dengan desain

penelitian explanatory research dengan metode observasional dengan variabel

Page 8: tinjauan Pustaka Leptospirosis

8  

  

 

bebas faktor resiko lingkungan dan variabel terikat kejadian leptospirosis, Dwi

Sarwani Sri Rejeki (2005) dan Agus Priyanto (2007) dengan desain penelitian

observasional dengan variabel bebas faktor resiko lingkungan dan variabel terikat

kejadian leptospirosis. Perbedaan berupa variabel bebas perilaku dan lingkungan

fisik.