Tinjauan Pustaka Lansia

9
4 TINJAUAN PUSTAKA Lansia Masa lanjut usia pada kelompok lansia merupakan masa penutup dari kehidupan manusia. Seseorang diatas umur 55 tahun disebut dalam tahap masuk lanjut usia (Setiyono 2010). Departemen kesehatan (1991) mengelompokkan lansia menjadi tiga. Pertama adalah lansia dini (55-64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia. Kedua adalah kelompok lansia (65-70 tahun). Ketiga adalah lansia risiko tinggi (>70 tahun), atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Menurut Undang-undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Turner dan Helms (1991) menyatakan bahwa proses penuaan terbagi atas penuaan eksternal dan penuaan internal. Proses penuaan eksternal merupakan proses penuaan yang gejalanya dapat dilihat. Perubahan- perubahannya dapat diamati dari kulit, rambut, gigi, dan postur tubuh. Penuaan internal adalah penuaan yang gejalanya tidak dapat dilihat, yaitu perubahan degeneratif yang terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut terjadi pada sistem saraf, kardiovaskuler, pernapasan, pencernaan, urinari, dan sistem imun. Astawan dan Wahyuni (1988) menyatakan bahwa perubahan-perubahan umum yang dialami oleh lansia adalah berkurangnya cairan di dalam tubuh, meningkatnya kadar lemak dalam tubuh, meningkatnya kadar kapur dalam otak dan pembuluh darah namun mengalami penurunan dalam jaringan tulang, terjadi perubahan-perubahan pada jaringan ikat, menurunnya laju metabolisme basal setiap satuan berat badan, menurunnya aktivitas hormon, menurunnya aktivitas enzim, dan perubahan fisik lain-lain. Menurut Dahlia (2004) dalam Erawati (2005), pada umumnya setelah orang memasuki tahap lanjut usia maka akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Asupan dan Keluaran Air Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh, diantaranya yaitu air berfungsi sebagai pelarut zat-zat gizi dan alat angkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan tubuh. Selain itu air juga berfungsi sebagai katalisator dalam

description

Tinjauan Pustaka Lansia

Transcript of Tinjauan Pustaka Lansia

  • 4

    TINJAUAN PUSTAKA

    Lansia

    Masa lanjut usia pada kelompok lansia merupakan masa penutup dari

    kehidupan manusia. Seseorang diatas umur 55 tahun disebut dalam tahap

    masuk lanjut usia (Setiyono 2010). Departemen kesehatan (1991)

    mengelompokkan lansia menjadi tiga. Pertama adalah lansia dini (55-64 tahun),

    merupakan kelompok yang baru memasuki lansia. Kedua adalah kelompok

    lansia (65-70 tahun). Ketiga adalah lansia risiko tinggi (>70 tahun), atau

    kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita

    penyakit berat, atau cacat.

    Menurut Undang-undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan

    penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah

    mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang

    tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas.

    Turner dan Helms (1991) menyatakan bahwa proses penuaan terbagi

    atas penuaan eksternal dan penuaan internal. Proses penuaan eksternal

    merupakan proses penuaan yang gejalanya dapat dilihat. Perubahan-

    perubahannya dapat diamati dari kulit, rambut, gigi, dan postur tubuh. Penuaan

    internal adalah penuaan yang gejalanya tidak dapat dilihat, yaitu perubahan

    degeneratif yang terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut terjadi pada sistem

    saraf, kardiovaskuler, pernapasan, pencernaan, urinari, dan sistem imun.

    Astawan dan Wahyuni (1988) menyatakan bahwa perubahan-perubahan

    umum yang dialami oleh lansia adalah berkurangnya cairan di dalam tubuh,

    meningkatnya kadar lemak dalam tubuh, meningkatnya kadar kapur dalam otak

    dan pembuluh darah namun mengalami penurunan dalam jaringan tulang, terjadi

    perubahan-perubahan pada jaringan ikat, menurunnya laju metabolisme basal

    setiap satuan berat badan, menurunnya aktivitas hormon, menurunnya aktivitas

    enzim, dan perubahan fisik lain-lain. Menurut Dahlia (2004) dalam Erawati

    (2005), pada umumnya setelah orang memasuki tahap lanjut usia maka akan

    mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.

    Asupan dan Keluaran Air

    Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh, diantaranya

    yaitu air berfungsi sebagai pelarut zat-zat gizi dan alat angkut sisa metabolisme

    untuk dikeluarkan tubuh. Selain itu air juga berfungsi sebagai katalisator dalam

  • 5

    berbagai reaksi biologik. Air diperlukan juga untuk menghidrolisis zat gizi

    kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fungsi lain air adalah sebagai

    pelumas dalam cairan sendi-sendi tubuh, fasilitator pertumbuhan, dan pengatur

    suhu (Almatsier 2003).

    Keseimbangan air tubuh dikontrol dengan pengaturan masukan dan

    ekskresi cairan. Secara normal, masukan air dipengaruhi oleh rasa haus, yang

    merupakan pertahanan utama terhadap kekurangan cairan. Rasa haus

    merupakan keinginan yang sadar untuk minum air yang diatur oleh suatu pusat

    di midhipotalamus (Adelman & Solhung). Namun, selain karena adanya rasa

    haus, manusia juga mengonsumsi cairan karena alasan kesukaan seperti saat

    mengonsumsi minuman manis dan alkohol (Popkin et al. 2010). Keseimbangan

    cairan tubuh diatur oleh mekanisme homeostatis yang dipengaruhi oleh status

    cairan tubuh. Defisiensi air meningkatkan konsentrasi ionik pada kompartemen

    ekstraseluler yang meyebabkan sel-sel mengerut. Pengerutan sel dideteksi oleh

    dua sensor otak, yang satu mengontrol minum dan yang lain mengontrol ekskresi

    urin (Popkin et al. 2010).

    Keseimbangan air akan tercapai bila jumlah asupan air sama dengan

    jumlah keluaran air. Asupan dan keluaran air dibagi menjadi dua, yaitu asupan

    air wajib dan asupan air elektif (kehendak sendiri) serta keluaran air wajib dan

    keluaran air elektif. Asupan air wajib berasal dari air minum (jumlah minimal), air

    yang berasal dari makanan, dan air hasil oksidasi zat makanan (Santoso et al.

    2011).

    Jumlah air minum minimal adalah air minum yang harus masuk dalam

    keadaan basal (badan dan lingkungan normal, serta dalam keadaan istirahat)

    untuk menjaga keseimbangan, volumenya kurang lebih 400 mL. Air yang berasal

    dari makanan adalah kandungan air yang ada dalam makanan, volumenya

    kurang lebih 850 mL (daging mengandung 70% air sedangkan buah dan sayuran

    mengandung 100% air). Air hasil oksidasi zat makanan adalah air hasil oksidasi

    protein, hidrat arang, dan lemak, volumenya kurang lebih 350 mL. Volume air

    wajib adalah sebesar 1.600 mL (Santoso et al. 2011).

    Volume asupan air elektif tergantung dari besarnya kebutuhan akibat

    kemungkinan suhu lingkungan yang tinggi, suhu badan yang tinggi atau setelah

    melakukan latihan fisik yang merangsang pusat rasa haus sehingga individu

    tersebut ingin minum. Besaran volume ini disebut sebagai asupan air elektif.

  • 6

    Keluaran air wajib berasal dari urin, kulit, saluran napas, dan feses. Bila

    jumlah solute urin 600 mOsm sedangkan osmolalitas urin maksimal adalah 1200

    mOsm/kg, maka jumlah urin minimal adalah 600/1200 atau 500 mL (asumsi

    osmolalitas plasma normal). Keluaran air dari kulit dan saluran napas (insensible

    water loss) adalah berupa penguapan yang juga berfungsi sebagai pengatur

    suhu badan atau termoregulasi yang besarnya 0,58 Kal/1 mL air. Besaran

    penguapan dari kulit dan saluran napas kurang lebih 900 mL air. Air yang keluar

    melalui feses tidak terlalu banyak antara 100-200 mL. Air yang dikeluarkan

    melalui keringat dalam keadaan basal sedikit. Produksi keringat bertambah

    dalam keadaan suhu lingkungan yang tinggi, atau panas endogen tubuh yang

    meningkat seperti demam, latihan fisik, dan hipertiroid. Dalam keadaan sehat

    dengan fungsi ginjal yang normal asupan elektif harus seimbang dengan

    keluaran elektif (Santoso et al. 2011).

    Sumber Air Bagi Tubuh

    Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria

    dewasa 55% - 60% berat tubuh adalah air, pada perempuan dewasa 50% - 60%

    berat tubuh adalah air (Santoso et al. 2011).

    Air dalam tubuh manusia diperoleh dari tiga sumber, yaitu air dari

    minuman, air dari makanan, dan air hasil metabolisme (air metabolik). Dalam

    kondisi tertentu sumber air tubuh juga berasal dari cairan infus. Jumlah air dari

    makanan 700-1000 mL per hari. Jumlah ini tergantung pada pola konsumsi

    makan. Proses metabolisme di dalam tubuh menghasilkan air tetapi jumlahnya

    relatif sedikit. Jumlah air metabolik yang dihasilkan oleh orang dewasa 200-300

    mL dalam sehari (Tabel 1).

    Tabel 1 Jumlah air menurut sumber dan pengeluaran air tubuh

    Sumber Air Tubuh Jumlah (mL) Pengeluaran Air Tubuh Jumlah (mL)

    Minuman/cairan 550-1.500 Urin/ginjal 500-1.400 Makanan 700-1.000 Keringat/kulit 450-900 Hasil metabolisme 200-300 Pernapasan/paru 350 Tinja 150 Total 1.450-2.800 Total 1.450-2.800

    Sumber Sherwood L dalam Whitney et al. (1998)

    Kajian asupan air pada populasi dewasa di Amerika Serikat menunjukkan

    total asupan air 28% berasal dari makanan dan 72% dari minuman, yang terdiri

    dari 28% air putih dan 44% minuman lain-lain (Institut of medicine 2004 dalam

    Santoso et al. 2011). Hasil penelitian Fauji (2011) menunjukkan bahwa total

  • 7

    asupan air pada dewasa laki-laki yaitu 71.9% dan pada dewasa perempuan yaitu

    73.8%.

    Berbagai bangsa mempunyai preferensi terhadap jenis minuman dalam

    memenuhi kebutuhan air tubuh. Penelitian The Indonesian Hydration Study

    (THIRST) pada tahun 2008 terhadap 400 sampel di Indonesia menunjukkan

    bahwa 63.4% remaja dan 71.3% orang dewasa lebih menyukai air putih sebagai

    minuman utama setiap hari. Pilihan kesukaan berikutnya adalah teh, kopi, susu,

    dan minuman berkarbonasi bagi remaja; serta teh, kopi, jus, dan susu bagi orang

    dewasa.

    Apabila seseorang banyak mengonsumsi makanan lembek atau cair,

    sayur dan buah termasuk salad, maka sumber air tubuh dari makanan akan lebih

    tinggi. Akan terjadi sebaliknya bila seseorang lebih banyak mengonsumsi

    makanan dari produk serealia, tepung dan daging yang kering (Santoso et al.

    2011). Berbagai jenis pangan memberikan kontribusi asupan air terhadap tubuh

    manusia. Sebagian besar sumber air dari makanan adalah makanan pokok

    (46%) serta buah dan sayur (30%). Makanan pokok orang Indonesia pada

    umumnya adalah nasi yang mengandung kadar air 25-35%, sementara buah

    dikonsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit meskipun banyak kadar airnya.

    Sumber: Hardinsyah et al. (2009) dalam Santoso et al. (2011)

    Gambar 1 Pola asupan air dari makanan pada dewasa

    Air metabolik adalah air yang dihasilkan dari proses metabolisme lemak,

    protein, dan karbohidrat di dalam tubuh. Semakin banyak produksi energi dari

    makanan karbohidrat akan semakin banyak air metabolik yang dihasilkan tubuh.

    Jumlah air yang dihasilkan dari metabolisme pemecahan lemak, protein dan

    karbohidrat per 1 gram dapat dilihat pada tabel berikut

    makanan pokok

    Lauk pauk

    Buah dan sejenisnya

    Sayur dan sejenisnya

    Jajanan berkuah

    Jajanan kering

    46%

    8% 8%

    22%

    13

    3%

  • 8

    Tabel 2 Jumlah air yang dihasilkan dari proses metabolisme (mL/1 gram)

    Zat gizi Air yang dilepaskan

    Lemak 1.07 Protein 0.40 Karbohidrat 0.55

    Sumber: Verdu & Navarrete (2009)

    Proses metabolisme tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut

    Karbohidrat

    Protein + O2 + CO2 + H2O + ATP

    Lemak

    Secara umum dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa

    kontribusi air dari air metabolik dan air makanan hanya sekitar sepertiga total

    asupan air (35%). Dengan demikian, air minum merupakan jumlah terbesar yang

    diperoleh tubuh, yaitu sekitar dua pertiga (65-70%) (Santoso et al. 2011).

    Kebutuhan Air Lansia

    Perkiraan kebutuhan air tubuh biasanya dinyatakan berdasarkan asupan

    energi, luas permukaan tubuh, atau berat badan tubuh. Faktor lain yang

    mempengaruhi kebutuhan cairan tubuh adalah kegiatan olahraga, suhu udara

    yang tinggi, kelembaban udara rendah, ketinggian, konsumsi tinggi serat, dan

    kehilangan cairan tubuh karena konsumsi kopi dan alkohol.

    Pada usia lanjut tidak dianjurkan mengonsumsi air lebih dari 1.5 Liter

    dalam 24 jam (Siregar et al. 2009). Terdapat beberapa faktor yang dapat

    mempengaruhi kebutuhan cairan pada lansia diantaranya adalah berat badan.

    Berat badan (lemak tubuh) cenderung meningkat dengan bertambahnya usia,

    sedangkan sel-sel lemak mengandung sedikit air, sehingga komposisi air dalam

    tubuh lansia kurang dari manusia dewasa yang lebih muda atau anak-anak dan

    bayi. Faktor lain adalah fungsi ginjal yang menurun dengan bertambahnya usia,

    terjadi penurunan kemampuan untuk memekatkan urin sehingga mengakibatkan

    kehilangan air yang lebih tinggi. Selain itu pada lansia terjadi penurunan asam

    lambung, yang dapat mempengaruhi individu untuk mentoleransi makanan-

    makanan tertentu. Lansia terutama rentan terhadap konstipasi karena penurunan

    pergerakan usus. Masukan cairan yang terbatas, pantangan diit, dan penurunan

    aktivitas fisik dapat menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif

    yang berlebihan atau tidak tepat dapat mengarah pada masalah diare. Faktor

    lain-lain adalah lansia mempunyai pusat rasa haus yang kurang sensitif dan

  • 9

    mungkin mempunyai masalah dalam mendapatkan cairan (misalnya gangguan

    dalam berjalan) atau mengungkapkan keinginan untuk minum (pasien stroke).

    Dampak Kekurangan dan Kelebihan Air

    Kurang air sekitar 1% berpotensi menimbulkan gangguan mood

    (Temasek Polytechnic and Asian Food Information Center 1998 dalam Santoso

    et al. 2011). Kekurangan air sebanyak 2% atau lebih akan menurunkan

    kemampuan fisik, visuomotor, psikomotor, dan kognitif.

    Kurang air tubuh adalah kondisi dimana terjadi pengurangan air intrasel

    atau air ekstrasel. Kurang air tubuh dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu hipovolemia

    dan dehidrasi. Hipovolemia adalah kondisi terjadi pengurangan volume cairan

    ekstrasel. Keadaan ini terjadi bila keluaran airnya adalah cairan yang isotonik,

    yaitu air dan natrium keluar dalam jumlah yang sebanding (proporsional)

    sehingga osmolalitas plasma tidak berubah atau kadar natrium plasma tetap

    normal. Hipovolemia atau disebut juga deplesi volume, dapat terjadi misalnya

    pada perdarahan atau diare. Dehidrasi adalah kondisi terjadinya pengurangan

    volume cairan intrasel. Dehidrasi terjadi bila keluaran airnya adalah cairan

    hipotonik, yaitu volume air yang keluar jauh lebih besar dari jumlah natrium yang

    keluar. Dehidrasi dapat terjadi pada pasien diabetes insipidus atau pada usia

    lanjut yang lupa minum (Santoso et al. 2011).

    Asupan air yang berlebihan tidak dianjurkan pada keadaan kelainan

    tertentu, misalnya adanya peningkatan hormon ADH, penyakit ginjal kronik.

    Gagal jantung, dan kadar albumin dalam serum rendah. Asupan air yang

    berlebihan juga tidak dianjurkan pada mereka dalam kelompok usia lanjut. Pada

    penelitian yang dilakukan oleh Siregar dkk, asupan air lebih dari 1.500 mL/24 jam

    potensial menimbulkan hiponatremia pada usia lanjut (Siregar et al. 2009 dalam

    Santoso et al. 2011)

    Konsumsi Pangan

    Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang

    dimakan oleh seorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dalam

    aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh

    (Hardinsyah & Martianto 1989).

    Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruihi

    konsumsi pangan, yaitu: 1) karakteristik sampel, seperti usia, jenis kelamin,

    pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakteristik

    makanan atau minuman seperti rasa, rupa, tekstur, tipe makanan, bentuk dan

  • 10

    kombinasi makanan dan minuman; 3) karakteristik lingkungan seperti musim,

    pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat. Konsumsi makanan dan

    minuman yang mencukupi sangat dibutuhkan oleh tubuh agar tubuh dapat

    melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh, dan aktivitas.

    Pola konsumsi pangan lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan akibat

    proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan

    makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 1998).

    Perubahan-perubahan tersebut misalnya berkurangnya sensitifitas indera

    penciuman dan perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun.

    Lansia sering mengalami gangguan pada gigi yang mengakibatkan lansia

    mengalami hambatan dalam proses pengunyahan dan membatasi jenis

    makanan yang dikonsumsi (Wirakusumah 2000).

    Bagi lansia, pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat

    membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan

    perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan

    pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia. Kebutuhan kalori

    pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik.

    Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh

    dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernapasan dan ginjal.

    Meningkatnya usia akan diikuti dengan menurunnya aktivitas tubuh yang

    berakibat pada menurunnya kebutuhan kalori. Seseorang yang berusia 70 tahun

    akan mengalami metabolisme basal 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan

    mereka yang berusia 30 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka konsumsi kalori

    harus dikurangi untuk menghindari risiko kegemukan dan serangan penyakit lain

    (Astawan & Wahyuni 1988).

    Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur

    keadaan konsumsi makanan dan minuman yang merupakan salah satu cara

    yang digunakan untuk menilai status gizi (Suhardjo 1989). Berdasarkan jenis

    data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua

    jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat

    kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi

    menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan

    (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode

    kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi

    sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan meggunkan Daftar Komposisi

  • 11

    Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran

    Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar

    Penyerapan Minyak (Supariasa et al. 2001).

    Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang

    bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24

    jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang

    dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan

    berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya

    dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk

    menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa

    penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut,

    dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan

    variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam

    Supariasa et al. 2001).

    Mutu Gizi Asupan Pangan

    Menurut McCollum dan becker (1934) dalam Hardinsyah (2001), mutu

    gizi asupan pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan

    yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa komponen mutu gizi tidak

    hanya ditentukan dari kandungan energi, karbohidrat, dan lemak, tetapi

    ditentukan juga oleh kandungan vitamin, dan mineral. Sejak ada konsep yang

    dirumuskan oleh McCollum dan Becker (1934), konsep mutu gizi asupan pangan

    yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi

    tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap

    kecukupan atau kebutuhannya (Hardinsyah 1996 dalam Hardinsyah & Atmojo

    2001).

    Kandungan gizi pangan merupakan salah satu ukuran mutu gizi pangan.

    Penilaian kandungan gizi pangan dapat dilakukan melalui analisis dengan

    menggunakan data kandungan gizi pangan berupa Daftar Komposisi Bahan

    Makanan (DKBM). Daftar ini menunjukan kandungan berbagai zat gizi dari

    berbagai jenis pangan atau makanan dalam 100 gram bagian yang dapat

    dimakan (BDD). Daftar ini berguna sebagai alat untuk menilai konsumsi pangan,

    merencanakan menu, merencanakan ketersediaan dan produksi pangan yang

    sesuai kecukupan gizi. Konsumsi zat gizi tertentu per hari yang diperoleh dari

    mengonsumsi aneka makanan adalah penjumlahan dari zat gizi yang sama yang

    diperoleh dari aneka makanan tersebut (Hardinsyah & Atmojo 2001).

  • 12

    Penilaian mutu gizi asupan pangan menggunakan metode rata-rata

    tingkat kecukupan gizi pertama kali dilakukan oleh Medden (1976) dalam

    Hardinsyah (2001). Selanjutnya diadopsi dan dikembangkan oleh Guthrie dan

    Scheer (1981), Kreb-Smith et al (1982), dan penelitain lain-lain (Hardinsyah &

    Atmojo 2001). Secara umum, cara penilaian mutu gizi asupan pangan adalah

    dengan membagi antara tingkat kecukupan zat gizi tertentu dengan jumlah zat

    gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian mutu gizi asupan pangan.