Tinjauan Pustaka HE

15
I. Definisi Ensefalopati hepatikum didefinisikan sebagai ganguan fungsi sistem saraf pusat karena insufisiensi hepar yang bermanifestasi sebagai gangguan kognitif, psikiatrik dan gangguan motorik 1,2 . Ensefalopati hepatikum dapat terjadi di gagal hati akut maupun gagal hati kronik. Manifestasi neuropsikiatri pada enselofalopati hepatikum dapat bersifat reversible 2 . II. Epidemiologi Tidak ada data akurat tentang insidensi ensefalopati hepatikum. Beberapa penelitian mayoritas penderita dengan sirosis hepatis akan menderita ensefalopati hepatikum dalam perjalanan penyakitnya.Ensefalopati hepatik terjadi pada 30- 50% penderita sirosis hepatis, dan 10-50% pada pasien transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) 3. Frekuensi rawat inap dari ensefalopati hepatikum telah meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir.4 III. Faktor Resiko Penyakit hati berat baik akut maupun kronik dan pirau porto-sistemik meupakan faktor resiko utama berkembangnya ensefalopati hepatikum. Makin berat penyakit hati makin besar kemungkinan terbentuknya ensefalopati hepatikum. Pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) juga merupakan faktor resiko. Penderita dengan diabetes mellitus atau malnutrisi dengan sirosis mempunyai resiko lebih besar terjadinya ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum meupakan komponen essensial dari gagal hati akut. Penderita dengan trombosis vena porta dan pirau porto-sistemik yang luas kadang-kadang juga dapat berkembangnya ensefalopati hepatikum. Faktor resiko lain juga dapat memicu berkembangnya ensefalopati hepatikum (Lihat tabel 1).4 Tabel 1. Faktor resiko yang dapat memicu timbulnya ensefalopati hepatikum4 Dehidrasi Pendarahan gastrointestinal Infeksi (termasuk peritonitis bakteri spontan,

Transcript of Tinjauan Pustaka HE

Page 1: Tinjauan Pustaka HE

I. DefinisiEnsefalopati hepatikum didefinisikan sebagai ganguan fungsi sistem saraf pusat karena insufisiensi hepar yang bermanifestasi sebagai gangguan kognitif, psikiatrik dan gangguan motorik1,2. Ensefalopati hepatikum dapat terjadi di gagal hati akut maupun gagal hati kronik. Manifestasi neuropsikiatri pada enselofalopati hepatikum dapat bersifat reversible2.

II. EpidemiologiTidak ada data akurat tentang insidensi ensefalopati hepatikum. Beberapa penelitian mayoritas penderita dengan sirosis hepatis akan menderita ensefalopati hepatikum dalam perjalanan penyakitnya.Ensefalopati hepatik terjadi pada 30-50% penderita sirosis hepatis, dan 10-50% pada pasien transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)3. Frekuensi rawat inap dari ensefalopati hepatikum telah meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir.4

III. Faktor ResikoPenyakit hati berat baik akut maupun kronik dan pirau porto-sistemik meupakan faktor resiko utama berkembangnya ensefalopati hepatikum. Makin berat penyakit hati makin besar kemungkinan terbentuknya ensefalopati hepatikum. Pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) juga merupakan faktor resiko. Penderita dengan diabetes mellitus atau malnutrisi dengan sirosis mempunyai resiko lebih besar terjadinya ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum meupakan komponen essensial dari gagal hati akut. Penderita dengan trombosis vena porta dan pirau porto-sistemik yang luas kadang-kadang juga dapat berkembangnya ensefalopati hepatikum. Faktor resiko lain juga dapat memicu berkembangnya ensefalopati hepatikum (Lihat tabel 1).4Tabel 1. Faktor resiko yang dapat memicu timbulnya ensefalopati hepatikum4DehidrasiPendarahan gastrointestinalInfeksi (termasuk peritonitis bakteri spontan, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, atau infeksi paru)KonstipasiDiet protein tinggiObat-obatan yang bekerja di sistem saraf pusatHipokalemiaGagal ginjalObstruksi urinHiponatremiaPembedahanTransjugular intrahepatic portal-systemic (TIPS)Cedera pada hatiKarsinoma hepatoselularPenyakit hati terminal

IV. PatogenesisSejumlah hipotesis telah diuslkan untuk menjelaskan perkembangan ensefalopati hepatik pada pasien dengan sirosis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa terjadinya ensefalopati hepatik adalah akibat dari gangguan fungsi astrosit. Jumlah astrosit adalah sekitar sepertiga dari

Page 2: Tinjauan Pustaka HE

volume kortikal.Astrosit memainkan peran kunci dalam regulasi blood-brain barrier. Astrosit terlibat dalam mempertahankan homeostasis elektrolit dan dalam memberikan nutrisi dan prekursor neurotransmiter untuk neuron, selain itu juga berperan dalam detoksifikasi dari sejumlah bahan kimia, termasuk ammonia.Ensefalopati hepatikum juga dapat dianggap sebagai gangguan yang merupakan hasil akhir dari zat neurotoksik terakumulasi dalam otak. Neurotoksin putatif yang meliputi asam lemak rantai pendek; mercaptans, neurotransmitter palsu, seperti tyramine, octopamine, dan beta phenylethanolamines, mangan, amonia, dan asam gamma-aminobutyric (GABA). Teori dari patogenesis utama ensefalopati hepatikum adalah senyawa nitrogen dari usus yang mempengaruhi fungsi otak. Senyawa ini dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik karena penurunan fungsi hepar atau pirau portal sistemik. Senyawa ini di otak akan mempengaruhi kesadaran atau tingkah laku. Abnormalitas dari jalur neurotransmitter glutamin, serotonin, asam gamma-aminobutirat (GABA) dan katekolamin.1 Dukungan tambahan untuk hipotesis amonia berasal dari pengamatan klinis bahwa perawatan yang menurunkan kadar ammonia dapat memperbaiki gejala ensefalopati hepatikum.Amonia adalah produk metabolisme dari senyawa yang memilki kandungan nitrogen. Konsentrasi amonia yang berlebihan memiliki efek toksik dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Amonia dikeluarkan dari dalam tubuh melalui pembentukan urea di dalam hepar. Metabolit non-toksik ini akan dikeluarkan melalui ginjal.3Biasanya, amonia didetoksifikasi dalam hati dengan konversi menjadi urea oleh siklus Krebs-Henseleit. Amonia juga digunakan dalam konversi glutamat menjadi glutamin, reaksi yang tergantung pada aktivitas enzim gutamin sintetase. Dua faktor dianggap berkontribusi terhadap hiperamonemia yang terlihat pada sirosis. Pertama, ada penurunan fungsi hepatosit, hal ini mengakibatkan detoksifikasi amonia oleh hati juga akan berkurang sehingga kadar amonia akan meningkat. Kedua, pirau porto-sistemik dapat mengalihkan darah yang mengandung amonia dari hati ke sirkulasi sistemik.Sel-sel normal otot rangka tidak terlibat dalam proses enzimatik dari siklus urea tetapi otot rangka mempunyai enzim glutamin sintase. Kegiatan enzim glutamin sintetase meningkatkan dalam keadaan sirosis dan pirau porto-sistemik.Dengan demikian, otot rangka adalah tempat penting untuk metabolisme amoniak pada sirosis. Namun, pada penderita sirosis yang lanjut dapat terjadi keadaan muscle wasting yang berpotensi mengakibatkan hiperamonia.Astrosit merupakan sel utama di otak yang dapat memetabolisme amonia. Enzim glutamin sintase yang berada di retikulum endoplasma otak bertanggung jawab untuk mengubah glutamat dan amonia menjadi glutamin. Pada ensefalopati hepatikum level dari glutamin intraselular di astrosit meningkat dikarenakan meningkatnya amonia dikarenakan gagal hati. Konsentrasi glutamin yang tinggi menyebakan keadaan hiperosmolar di dalam astrosit. Hal ini mengakibatkan air akan masuk ke dalam astrosit dan mengakibatkan sel menjadi bengkak akibatnya akan terjadi edema serebral dan tekanan intrakranial5. pembengkakan astrosit juga

Page 3: Tinjauan Pustaka HE

mengakibatkan defek di regulasi neurotransmitter, gangguan di transport substrat kunci antara astrosit dan neuron dan akhirnya menyebabkan disfungsi neuron dan ensefalopati.6

Gambar 1. Mekanisme hiperamoniaAmonia sendiri tidak dapat menjelaskan semua perubahan neurologis yang terjadi pada penderita ensefalopati hepatikum. Sepsis menjadi salah satu pencetus terjadinya ensefalopati hepatikum pada penderita sirosis hepatis. Peningkatan TNF yang terjadi selama proses inflamasi akan meningkatkan difusi dari amonia untuk masuk kedalam astrosit.5 Salah satu pendapat terhadap hipotesis amonia adalah dalam pengamatan bahwa sekitar 10% dari pasien dengan ensefalopati signifikan memiliki tingkat serum amonia normal. Selain itu, banyak pasien dengan sirosis memiliki tingkat amonia tinggi tanpa bukti untuk ensefalopati. Juga, amonia tidak merangsang terbentuknya perubahan elektroensefalografik klasik (EEG) ensefalopati hepatikum ketika diberikan pada pasien dengan sirosis.Teori lain yang menjelaskan terjadinya ensefalopati hepatikum adalah teori GABA. GABA adalah zat inhibisi neuron yang diproduksi di saluran pencernaan. Dari semua ujung saraf otak, 24-45% mungkin merupakan reseptor GABAergik. Selama 20 tahun, dipostulasikan bahwa ensefalopati hepatikum merupakan hasil dari peningkatan reseptor GABAergik pada otak. Namun, berbagai percobaan ekperimental telah mengubah persepsi mengenai kegiatan kompleks reseptor GABA pada pasien sirosis.Kompleks reseptor GABA berisi tempat terikatnya GABA, benzodiazepines, dan barbiturat. Dipercaya bahwa terdapat peningkatan kadar GABA dan benzodiazepin endogen dalam plasma. Bahan kimia ini kemudian akan melintasi sawar darah-otak. Pengikatan GABA dan benzodiazepin dengan komplek reseptor GABA akan mengakibatkan masuknya ion klorida ke dalam neuron postsinap, yang akan menyebabkan penghambatan potensial aksi neuron postsinap. Dalam model eksperimental, neurotoksin, seperti amonia dan mangan,

Page 4: Tinjauan Pustaka HE

meningkatkan produksi dari reseptor benzodiazepine tipe perifer (PTBR) di astrocytes. PTBR, pada gilirannya, merangsang konversi kolesterol untuk pregnenolon menjadi neurosteroids. Neurosteroids ini kemudian dilepaskan dari astrosit tersebut danmampu berikatan dalam kompleks reseptor GABA neuronal dan dapat mengakibatkan penghambatan neurotransmisi.

V. KlasifikasiEnsefalopati hepatikum diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan menurut kriteria West Haven seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.Tabel 2. Tingkatan Ensefalopati hepatikum sesuai kriteria West HavenTingkat Gejala Klinis0 Tidak ada kelainan1 Kesadaran mulai berkurang

Cemas atau euforiaKurangnya perhatianGangguan pada hitungan penambahan

2 Letargi atau apatiDisorientasi pada tempat dan waktuPerubahan kepribadianTingkah laku yang tidak sesuaiGangguan pada hitungan pembagian

3 Somnolens atau semi stupor yang masih respon terhadap stimulus verbalKebingunganDisorientasi berat

4 Koma

VI. DiagnosisKompleksitas dari fungsi multipel dari otak membuat penilaian klinis untuk menentukan dan memonitor ensefalopati hepatikum menjadi lebih sulit karena ensefalpati hepatikum adalah kelainan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi otak secara umum. Banyak cara yang sudah diperkenalkan untuk mendiagnosis semua spektrum dari ensefalopati hepatikum termasuk penggunaan EEG. Salah satu pendekatan adalah dengan kombinasi dari beberapa skala neurologi yang mudah dan tes neuropsikologi yang telah tersedia tergantung dari derajat beratnya ensefalopati hepatikum. salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Hepatic Encephalopathy Scaling Algorithm (HESA) yang berdasarkan pada kriteria West Haven.

Page 5: Tinjauan Pustaka HE

Gambar 2. Hepatic Encephalopathy Scaling Algorithm (HESA)Cara lain yang mudah untuk digunakan adalah Clinical Hepatic Encephalopathy Staging Scale. (CHESS). CHESS adalah penilaian yang menetapkan nilai untuk ensefalopati hepatikum dari 0 (status mental normal) sampai 9 (koma dalam), untuk pasien dengan koma direkomendasikan untuk menlengkapi penilaian dengan Glascow Coma Score (GCS).Tabel 3. Penilaian CHESSPenilaian Nilai

0 1Apakah pasien tahu bulan ia masuk rumah sakit saat ini?

Ya

Apakah pasien tau hari ia masuk rumah sakit saat ini?

Ya

Dapatkah pasien menghitung mundur dari 10 ke 1 tanpa ada membuat kesalahan atau berhenti?

Ya

Apakah pasein dapat mengangkat tangnnya jika diperintah?

Ya

Apakah pasien mengerti apa yang diucapkan oleh pemeriksa?

Ya

Apakah pasien sadar? YaApakah pasien tertidur lelap sehingga sulit untuk membangunkannya?

Tidak Ya

Dapatkah pasien berbicara? YaDapatkah pemeriksa mengerti apa yang disucapkan oleh pasien?

Ya

Tabel 4. Penilaian GCSRespon NilaiMata

Page 6: Tinjauan Pustaka HE

Membuka spontan 4Membuka dengan perintah suara 3Membuka dengan rangsang nyeri 2Tidak ada respon 1VerbalOrientasi baik 5Bingung disorientasi tempat dan waktu

4

Hanya mengeluarkan kata-kata tanpa arti

3

Mengerang 2Tidak ada respon 1MotorikMengikuti perintah 6Melokalisir nyeri 5Withdraw 4Fleksi abnormal (dekortikasi) 3Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2Tidak ada respon 1

Tabel 5. Mini Mental Status ExaminationOrientasi NilaiSekarang iniTahun berapa 1Musim apa 1Tanggal berapa 1Hari apa 1Bulan apaSaat iniKita di negara mana 1Kita di provinsi mana 1Kita di kota mana 1Kita di RS mana 1Kita di lantai mana 1RegistrasiSebut nama 3 benda, dengan selang waktu 1 detik, kemudian penderita menyebut ketiga benda tadi.Tiap jawaban benar diberi nilai 1

3

Perhatian dan berhitungKelipatan tujuh, beri satu nilai untuk jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban

5

Menyebut kembali 3 benda yang disebutkan tadi

3

BahasaTunjukan sebuah pensil dan arlojiMenyebutkan kembali nama kedua benda tadi

2

Page 7: Tinjauan Pustaka HE

Penderita diminta mengulang kata “anu”, “tetapi”

1

Penderita diminta untuk mengikuti perintah 3 langkah kaki, letakkan kertas itu ditangan kananmu, lipat kertas itu dengan tangan kananmu, lipat kertas tadi menjadi setengahnya, kemudian letakkan dilantai

3

Penderita diminta membaca tulisan berikut dan kemudian mematuhinya : TUTUPLAH MATA ANDA

1

Penderita diminta menulis kalimat yang dipilihnya sendiriKalimat harus berisi subjek dan objek agar memiliki artiAbaikan bila ada kesalahan

1

Penderita diminta menggambar kembali dua segilima berikut :

1

Nilai total dari semua pertanyaan tersebut adalah 30. Interpretasi nilai jika nilai ≥ 25 maka fungsi kognitif dianggap normal, ≤ 9 maka ada gangguan fungsi kognitif berat, 10-20 gangguan fungsi kognitif sedang, 21-24 gangguan fungsi kognitif ringan.

VII. Pemeriksaan Laina. Tes neuropsikometrik

Tes neuropsikometrubungik digunakan untuk melihat gangguan di regio tertentu seperti visuospasial, perhatian, kecepatan proses dan respon inhibisi. Tes ini sensitif terhadap perubahan yang berhubungan dengan ensefalopati hepatikum minimal.Nilai psikometrik ensefalopati hepatikum merupakan tes neuropsikometrik yang dirancang untuk mendiagnosis perubahan kognitif pada penderita ensefalopati hepatikum minimal pada pasien sirosis. Hasil tes yang abnormal berhubungan kuat dengan dengan perubahan yang didapatkan pencitraan fungsional otak.Beberapa tes psikometrik yang terkomputerisasi telah dikembangkan dalam 5 tahun belakangan ini yang berpotensi untuk merevolusi penilaian pada pasien dengan ensefalopati hepatikum. Tes kontrol inhibisi merupakan tes yang bernasis komputer yang paling populer untuk ensefalopati hepatikum. tes ini menilai dua regio yang terpengaruh pada pasien dengan ensefalopati hepatikum minimal yaitu respon inhibisi dan dan atensi. Prinsip dari tes ini adalah “target” dan “lures”. Pasien ditunjukan beberapa urutan alfabet yang muncul di layar komputer satu setelah yang lain, dan pasien diharapkan berespon pada urutan misalnya x kemudian dikuti y dan seterusnya, ini yang

Page 8: Tinjauan Pustaka HE

disebut sebagai target. Dan penderita diharapkan tidak berespon jika x diikuti oleh x atau y diikuti oleh y, jika pasien berespon terhadap ini lebih dari lima kali setelah percobaan empat puluh kali mendeteksi ensefalopati hepatikum minimal dengan sensitivitas yang tinggi.

b. Penilaian elektrofisiologiThe critical flicker frequency digunakan untuk penilaian pasien dengan ensefalopati hepatikum dan penilaian pasien dengan ensefalopati hepatikum yang akan menjalani TIPS. Prinsip dari tes ini adalah berdasarkan kenyataan bahwa sel glial retina pada pasien ensefalopati hepatikum menjadi edema sama seperti sel glial serebral. Hal ini disebut retinopati hepatikum. Tes ini dilakukan dengan cara memberikan cahaya pada saat awal dengan frekuensi 60 Hz dan terus diturunkan secara gradual sampai 0,1 Hz. Cahaya diberikan satu perdetik. The critical flicker frequency menunjukan frekuensi cahaya pada frekuensi mana yang pertama diterima oleh pasien. Tes ini tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan atau tingkat pendidikan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh umur. Frekuensi yang diterima dibawah 39 Hz menunjukan ensefalopati hepatikum dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi.Elektroensefalografi merupakan salah satu alat diagnostik untuk ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum berhubungan dengan penurunan frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik di otak.

c. Pencitraan otakEdema serebral pada pasien dengan ensefalopati hepatikum dapat dideteksi dengan MRI. Banyak tehnik mRI dapat mendeteksi edema serebral low grade. CT scan dapat digunakan untuk mengidentifikasi keadaan yang mirip atau memicu terjadinya ensefalopati hepatikum seperti hematoma subdural.

d. Pengukuran nilai serum amoniaNilai serum amonia arteri maupun vena berhubungan dengan derajat beratnya ensefalopati hepatikum. Walaupun pengukuran rutin nilai amonia di darah tidak dianjurkan karena hasil dari tes tidak akan berubah walaupun sebagai pendekatan diagnosis atau pada saat manajemen pada pasien yang diduga menderita ensefalopati hepatikum. sampel darah harus diambil dari vena stasis (tidak menggunakan torniquet dan tidak menyebabkan turbulens atau lisisnya sel darah) dan harus diantar ke laboratorium dalam 20 menit dalam es.

VIII. Tatalaksana Banyak pilihan untuk tata laksana pasien dengan ensefalopati hepatikum. kebanyakan pasien menunjukan peningkatan secara klinis dari gejala ensefalopati hepatikum dalam 24-48 jam setelah terapi. Nilai serum amonia dapat hanya sedikit berubah dibandingkan dengan renpon klinis yang terlihat. Jika ensefalopati hepatikum masih tidak ada peubahan secara klinis setelah 72 jam pemberian terapi maka beberapa kemungkinan harus dilihat seperti sebab lain dari ensefalopati mungkin terlewatkan, faktor pemicu mungkin terlewatkan atau diterapi secara tidak adekuat atau masih tidak terkoreksi dengan baik, terapi empirik diberikan terlalu berlebihan.Koreksi dari faktor penyebab yang memicu terjadinya ensefalopati hepatikum membantu untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi respon pasien terhadap terapi tidak dapat diprediksi secara baik. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Semua pasien harus mendapatkan terapi empiris untuk ensefalopati hepatikum sambil mengekslusikan diagnosis lain yang mungkin ada. Terapi empiris untuk

Page 9: Tinjauan Pustaka HE

ensefalopati hepatikum berdasarkan prinsip untuk menurunkan produksi dan absorbsi dari amonia di usus.Disakarida nonabsorbable termasuk laklulosa dan laktitol selain memiliki efek laksatif, laklutosa dan laktitol menurunkan pH kolon dan mempengaruhi pengambilan glutamin di mukosa usus yang akan menurunkan sintesis dan absorbsi amonia. Laktulosa merupakan terapi pertama untuk ensefalopati hepatikum. laktulosa dapat diberikan secara oral melalui pipa nasogastrik atau diberikan secara rektal melalui enema pada pasien yang koma atau tidak responsif. Dosis oral untuk laktulosa yang biasa diberikan adalah 15-30 ml diberikan 2 kali sehari. Pembengkakan abdomen dan rasa manis di mulut adalah efek samping dari pemberian laktulosa ini. Pemberian laktulosa secara berlebihan akan berakibat efek samping yang serius seperti dehidrasi berat, hiponatremia, dan perburukan dari ensefalopati hepatikum terutama pada pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU).Beberapa jenis antibiotik dapat digunakan dalam terapi empiris ensefalopati hepatikum. Rifaximin merupakan antibotik oral yang hanya sedikit diabsorbsi dan mempunyai efek samping yang sedikit dan tidak ada interaksi dengan obat lain. Rifaximin digunakan untuk terapi ensefalopati hepatikum dalam dosis oral 550 mg dan diberikan 2 kali sehari. Neomycin merupakan antibotik pertama yang diteliti sebagi terapi potensial untuk ensefalopati hepatikum. Obat ini bekerja dengan menghambat glutaminase di mukosa saluran pencernaan yang akan menurunkan produksi dari amonia. Neomycin menghambat bakteri koliform amoniagenik yang memproduksi urease. Efek samping utama dari pemberian neomycin adalah efek ototoksik dan nefrotoksik dan malabsorbsi intestinal. Penggunaan antibiotik ini dibatasi dan digunakan antibiotik yang lebih aman seperti rifaximin.Pengurangan massa tubuh akan memperberat ensefalopati hepatikum karena otot juga akan memetabolisme amonia pada pasien dengan penyakit hati kronik. Pasien dengan sirosis harus mendapat diet yang tinggi protein. Pasien dengan sirosis harus makan 1,2 g/kg berat badan protein sehari dan mendapatkan asam amino cabang dan protein nabati. Asam amino cabang telah diteliti dapat membuat perbaikan dari ensefalopati hepatikum lebih cepat daripada yang tidak mendapat asam amino rantai cabang. Asam amino cabang meningkatkan kadar albumin serum, meningkatkan tingkat harapan hidup, dan menurunkan lama perawatan bagi penderita sirosis. Asam amino cabang ini dapat diberikan secara oral maupun intravena walaupun penggunaannya dibatasi karena harga yang tinggi dan ketersediaan yang terbatas. Protein nabati dapat ditoleransi lebih baik dibandingkan protein hewani. Protein yang berasal dari tumbuhan juga memiliki kadar serat yang tinggi yang akan meningkatkan waktu transit di intestinal, meningkatkan motilitas kolon dan meningkatkan pembersihan nitrogen di usus. Protein nabati juga menurunkan pH kolon yang dapat mencegah penyerapan amonia di usus. Efek samping dari diet vegetarian adlah rasa penuh di perut dan flatus. Untuk menurunkan efek ini dan meningkatkan asupan protein bagi pasien dapat dikombinasikan dengan susu atau keju.Setelah episode ensefalopati hepatikum membaik, penderita dengan sirosis harus mempertahankan terapi empirik dalam jangka watu yang tidak dapat ditentukan atau sampai mereka mendapatkan transplantasi liver. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah episode ensefalopati hepatikum yang berulang dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Page 10: Tinjauan Pustaka HE

Laktulosa dan rifaximin merupakan pilihan populer untuk terapi pasien yang pernah mendapatkan episode ensefalopati hepatikum. Kepatuhan pasien pada pengobatan dibatasi oleh efek sampingnya pada sistem gastrointestinal. Pasien harus diedukasi untuk memonitor konsistensi dari gerakan ususnya dan menggunakan dosis yang tepat ketika menggunakan laktulosa. Rifaximin merupakan terapi yang efektif untuk mencegah rekurensi ensefalopati hepatikum. Pasien yang mendapatkan setidaknya 2 episode ensefalopati hepatikum dan dalam masa remisi dan menerima laktulosa dan rifaximin atau plasebo. Pasien dengan rifaximin dapat memelihara status remisi mereka lebih efektif daripada pasien yang menerima plasebo. Rifaximin berhubungan dengan peningkatan tolerabilitas dan penurunan efek samping dibandingkan dengan plasebo.Transplantasi liver ortotopik merupakan solusi utama bagi pasien yang menderita ensefalopati hepatikum. Tingkat ensefalopati hepatikum sebelum transplantasi hati berhubungan dengan durasi harapan hidup setelah transplantasi. Operasi pirau portosistemik atau TIPS memperberat ensefalopati hepatikum karena amonia didalam sirkulasi usus dapat memmotong jaur metabolisme pertama dihati dan langsung menuju otak. Gejala ensefalopati hepatikum akibat dari pirau portosistemik tapi prosedur ini hanya diindikasikan pada pasien yang bukan merupakan kandidat untuk transplantasi.