Tinjauan Pustaka Ggk Ave

19
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. B. Etiologi Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : a) Kelainan parenkim ginjal b) Penyakit ginjal obstruktif C. Patofisiologi 1

description

Tinjauan Pustaka Ggk Ave

Transcript of Tinjauan Pustaka Ggk Ave

TINJAUAN PUSTAKAA. DefinisiGagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.B. EtiologiPenyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :a) Kelainan parenkim ginjalb) Penyakit ginjal obstruktifC. PatofisiologiPatofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.1. Hemolisis.Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.2. Defisiensi Eritropoetin.Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.3. Penghambatan eritropoesis.Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.4. Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.Manifestasi GGK dan Uremia:1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basaa. Homeostasis Natrium dan Air.b. Homeostasis Kalium.c. Metabolik Asidosis.2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.3. Kelainan kardiovaskuler.a. Penyakit Jantung Iskemik.b. Gagal jantung kongestif.c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.4. Kelainan hematologi.a. Anemia b. Gangguan pembekuan.5. Kelainan neuromuskular6. Kelainan gastrointestinal.7. Kelainan dermatologi.D. KlasifikasiKlasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.

Klasifikasi menurut NICE 2008a) Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGKb) Proteinuria:1) Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.2) Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih.(dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)c) Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:1) LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)2) LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

d) Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia.Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 59 ml/min/1,73 m2, apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

E. Manifestasi klinisa) Kardiovaskulerb) Pulmonerc) Gastrointestinald) Muskuloskeletale) Integumenf) Reproduksig) Sindrom uremia:a. Lemah letargib. Anoreksiac. Mual dan muntahd. Nokturiae. Kelebihan volume cairan (volume overload).f. Neuropati periferg. Uremic frosth. Perikarditisi. Kejangj. Koma.F. Pemeriksaan penunjang1. Gambaran laboratoriumGambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll).b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.2. Gambaran radiologiPemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.d. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa.G. DiagnosisDiagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.H. PenatalaksanaanFarmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)1) Kontrol tekanan daraha. Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg.b. Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.2) Pemilihan agen antihipertensi1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.3) Pemilihan statin dan antiplateleta. Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.b. Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya.c. Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.4) Anemiaa) Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun).b) Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.c) Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada: Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L. Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100 mikrogram/L.d) Penanganan anemia1. Suplementasi eritropoetin2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine.4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.5. Terapi Androgen.6. Suplementasi besi.7. Transfusi darah.Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamikb. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dLc. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamikd. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat.e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). 5) NutrisiPemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar 35 kkal/kgBB. I. PrognosisPenyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.

Daftar Pustaka

1. Annonymous. Renal failure 2009 : (online), (http://wikipedia.com, diakses 20 januari 2010).2. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit dalam.edisi ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.

3. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

4. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal kronis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.

5. Boediwarsono.Gagal ginjal kronis. segi praktis pengobatan penyakit dalam.Surabaya : Penerbit PT Bina Indra Karya 1985.

6. Sukahatya. Gagal ginjal kronis 2006 : (online), (http://www.medicastore.com), diakses 20 januari 2010. 7