Tinjauan Pustaka Dr Juspeni
-
Upload
intan-putri-prayitno -
Category
Documents
-
view
21 -
download
1
Transcript of Tinjauan Pustaka Dr Juspeni
![Page 1: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/1.jpg)
GAGAL GINJAL KRONIK
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis
(chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan
limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta
komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir
merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer and Bare, 1997 dalam
Suharyanto dan Madjid, 2009).
Gagal ginjal kronis menurut The Kidney Outcomes
Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation
(NKF) pada tahun 2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama atau lebih tiga bulan dengan laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/men./1,73 m2 (Perhimpunan Nefrologi
Indonesia, 2003).
![Page 2: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/2.jpg)
![Page 3: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/3.jpg)
2. Kalsifikasi Gagal Ginjal Kronis
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal
kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu :
Tabel 1. Gagal Ginjal Berdasarkan Penyebab
Klasifikasi Penyakit PenyakitPenyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik
Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis malignaGangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik
Poliartritis nodusaGangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Penyakit metabolik Diabetes Melitus
Gout DiseaseNefropati toksi Penyalahgunaan analgesik
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas : kalkuli,
neoplasma, fibrosis retroperineal.
Saluran kemih bagian bawah :
hipertropi prostat, striktur uretra, (Suharyanto dan Madjid, 2009)
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi
menjadi tiga stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN
normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi
ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih
dan tes GFR yang teliti.
![Page 4: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/4.jpg)
b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang
berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal.
Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari
normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih di
malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari
kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak,
atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.
Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin
serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok.
Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit
dalam tubuh, yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus,
sindrom uremik.
Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) (dalam Desita, 2010), gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke
waktu sebagai berikut :
Stadium1 : kerusakan masih normal (GFR > 90
ml/min/1,73m2)
Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
![Page 5: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/5.jpg)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan
tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang
abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009; dalam Desita,
2010).
3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin- angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Price and
![Page 6: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/6.jpg)
Wilson, 2005).
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan
keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi
keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang
30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran
cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal (Price and
Wilson 2005).
4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
![Page 7: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/7.jpg)
hemodialisa di Indonesia,
yaitu :
Tabel 2 Penyebab Gagal Ginjal Menurut Pernefri
Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46, 39 %Diabetes Melitus 18,65 %Obstruksi dan infeksi 12,85 %Hipertensi 8,46 %Sebab lain 13,65 %
(Pernefri, 2009)
5. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kroni
Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan
memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda
dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari dan usia pasien (Brunner
& Suddarth, 2002).
Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :
a. Gastrointestinal : ulserasi saluran pencernaan dan
perdarahan.
b. Kardiovaskuler :hipertensi, perubahan EKG,
perikarditis, efusi perikardium,
tamponade pericardium.
c. Respirasi : edema paru, efusi pleura, pleuritis.
![Page 8: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/8.jpg)
d. Neuromuskular : lemah, gangguan tidur, sakit kepala,
letargi, gangguan muskular, neuropati
perifer, bingung dan koma.
e. Metabolik : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan
hormon seks menyebabkan penurunan
libido, impoten dan ammenore.
f. Cairan-elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan
kehilangan sodium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemi,
hipermagnesemia.
g. Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, pruritus,
ekimosis, uremia frost.
h. Abnormal skeletal : osteodistrofi ginjal menyebabkan
osteomalasia.
i. Hematologi : anemia, defek kualitas platelet,
perdarahan meningkat.
j. Fungsi psikososial : perubahan kepribadian dan perilaku serta
gangguan proses kognitif.
![Page 9: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/9.jpg)
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai oleh sesak nafas dan fatik(saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Harapan hidup yang meningkat disertai semakin tingginya angka selamat (
survival) dari serangan infark jantung akut akibat kemajuan pengobatan dan
penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak orang yang hidup dalam
disfungsi ventrikel kiri, yang selanjutnya masuk ke dalam kondisi gagal jantung
kongestif dan semakin banyak yang dirawat akibat gagal jantung kongestif ..
DEFINISI
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah
jantung (cardiacoutput = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam
tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui
perubahan-perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon
hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling
pressure) dari jantung atau preload.
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema
paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang
sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat
![Page 10: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/10.jpg)
menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat
mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka keadaan ini disebut gagal
jantung kongestif akut.
Berdasarkan gejala sesak nafas NewYork Heart Association (NYHA) membagi
gagal jantung kongestif menjadi 4 klas yaitu:
Klas I : Aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika melakukan
kegiatan fisik yang berat.
Klas II : Aktivitas sehari-hari terganggu sedikit
Klas III :Aktivitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman pada waktu
istirahat
Klas IV : walaupun istirahat terasa sesak.
EPIDEMIOLOGI
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal
jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua
dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis
ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal
pada tahun pertama.
ETIOLOGI
Penyebab gagal jantung kongestif dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyakit
miokard sendiri dan gangguan mekanik pada miokard.
a.Penyakit pada miokard sendiri antaralain:
-Penyakit jantung koroner
-Kardiomiopati
-Miokarditis dan penyakit jantung reumatik
![Page 11: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/11.jpg)
-Penyakit infiltratif
-Iatrogenik akibat obat-obat seperti adriamisin dan diisopiramid atau
akibat radiasi.
b.Gangguan mekanik pada miokard, jadi miokard sendiri sebenarnya tidak
ada kelainan.
Golongan ini dapat dibagi menjadi:
- kelebihan beban tekanan (pressure overload)
o hipertensi
o stenosis aorta
o koartasio aorta
o hipertrofi kardiomiopati
- kelebihan beban volume (volumeoverload)
o insufisiensi aorta atau mitral
o left to right shunt
o transfusi berlebihan
- Hambatan pengisian
o constrictive pericarditis
o tamponade
PATOFISIOLOGI:
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah di dalam tubuh terjadi
peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, serta
penglepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat.
Respon neurohumoral ini akan membawa keuntungan untuk sementara
waktu. Namun setelah beberapa saat, kelainan sistem neurohumoral ini akan
memacu perburukan gagal jantung, tidak hanya karena vasokontriksi
![Page 12: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/12.jpg)
serta retensi air dan garam yang terjadi akan tetapi juga karena adanya efek toksik
langsung dari noradrenalin dan angiotensin terhadap miokard.
Apabila keadaan ini tidak segera teratasi peninggian afterload, peninggian
preload dan hipertrofi/dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.
Diagnosis:
Anamnesis: Dispnead’effort
orthopnea
paroxysmal nocturnal dispnea
lemas
anoreksia dan mual
gangguan mental pada usia tua
Pemeriksaan fisik:
Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi vena
jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah
halus di basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat,
edema pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah
baring. Efusi pleura lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering
terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitraldan perikarditis konstriktif,
hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan
hipertensi vena sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk
bilirubin, ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.
Kriteria diagnosis:
Kriteria Framingham: Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Kriteria mayor
![Page 13: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/13.jpg)
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena-vena leher
Peningkatan vena jugularis
Ronki
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop bunyi jantung III
Refluks hepatojugular positif
Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam
Sesak pada aktivitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Takikardia (>120 denyut/menit)
Mayor atau minor
Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis banding
Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru
berat misalnya ARDS, emboli paru
Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
Penyakit hati: sirosis hepatik
Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen dada: pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan
redistribusinya ke apeks paru(opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks),
peningkatan tekanan vascular pulmonary, kadang-kadang ditemukan efusi
pleura.
![Page 14: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/14.jpg)
Elektrokardiografi: membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark,
iskemia, hipertrofi dll) dapat ditemukan low voltage, T inverse, QS,
depresi st dll.
Laboratorium
Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin,
tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah
Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria
Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang funsi dan
struktur jantung, katup dan perikard.
Upaya pencegahan:
Pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan resiko tinggi:
Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, factor resiko jantung
koroner.
Pengobatan hipertensi yang agresif.
Koreksi kelainan congenital serta penyakit jantung katup.
Bila sudah ada disfungsi miokard upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi
gagal jantung.
Terapi:
Non farmakologi
Anjuran umum:
1. edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
![Page 15: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/15.jpg)
2. aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan
3. gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
tindakan umum:
1. diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung
ringan dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2. hentikan rokok
3. aktivitas fisik ( latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-
30menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan
beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan
dan sedang)
4. istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut
Farmakologi
1. diuretik
kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik regular dosis rendah tujuanuntuk mencapai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretic intravena, atau kombinasi loop diuretic dan
tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25 -50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada paien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik
2. Penghambat ACE
Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan
pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
3. Penyekat beta
Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Penyekat beta
yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan
dengan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
![Page 16: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/16.jpg)
4. Antagonis penyekat reseptor angiotensin II
Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat
enzim konversi angiotensin
5. glikosida jantung (digitalis)
Digitalis merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat
gagal jantung.
6. kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat
Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat
ACE.
7. antikoagulan dan antiplatelet.
Aspirin dindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada
penderitadengan fibrilasi atrialdengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
![Page 17: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/17.jpg)
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
PENDAHULUAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).1
Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik (menurunnya
suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan
serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot
jantung yang menebal.2
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang
melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,
struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor
ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi
lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor
tersebut.3
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat,pengkuran tekanan
darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan awal pasien
hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis untuk
mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi,
mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain,
memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap
detail mengenai tekhnik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang
melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya,
![Page 18: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/18.jpg)
sebagian besar pengukuran dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi
instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada
pemeriksaan fisis, Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat.
Pada pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik
pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan
hipotensi postural. Pada pemeriksaan laboratorium meliputi Urinalisis
mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum, Natrium, kalium,
kalsium, dan TSH serum, Hematokrit, elektrokardiogram, Glukosa darah puasa,
kolesterol total, HDL dan LDL, trigliserida.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non
farmakologi) dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin,
antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik,
penyekat kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-
Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi
ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal
jantung akibat penyakit jantung hipertensi.
![Page 19: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/19.jpg)
1. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Sejumlah 85-90 %
hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat
ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat
tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien
hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%.
Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan
sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal
dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi).
Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal, atau gangguan retina mata.1,6
2. Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena
jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah
yang meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung
setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung
akan makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya
suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan
![Page 20: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/20.jpg)
serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot
jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh
darah yang akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol
yang akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga
meningkatkan resiko seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung hipertensi
adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi
pada sekitar 7 dari 1000 orang.2
3. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang
melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,
struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor
ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi
lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor
tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan
pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui
peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait
dan perubahan vaskular. Peningkatan perubahan tekanan darah dan tekanan darah
malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai faktor yang paling
berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat
Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-
beda dan akan dijelaskan pada bagian ini.
Hipertrofi ventrikel kiri
Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri
(HVK). Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi
HVK berdasarkan penemuan lewat EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan yang
sensitif) pada saat menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah
bervariasi.Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara derajat dan
lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.
![Page 21: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/21.jpg)
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri, sebagai
respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan
darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan
afterload. Rangsangan mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi
dapat menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen
(beberapa gen diberi ekspresi secara primer dalam perkembangan miosit janin),
dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui aksi
angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel
interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh
hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium
skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada
ketebalan dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan dan volume
diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi.
Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana penebalan ventrikel kiri tidak merata
namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum. LVH konsentrik
merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi. Pada awalnya
proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output
yang adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi diastolik
otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung.
Abnormalitas Atrium Kiri
Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum
terjadi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium
kiri lewat peningkatan tekanan end diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan
untukmeningkatkan tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada fungsi
atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan penebalan tarium kiri. Peningkatan
ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi yang tidak disertai penyakit katup
jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas hipertensi dan mungkin
berhubungan dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai
![Page 22: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/22.jpg)
tambahan, perubahan struktur ini menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial
fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi
atrium pada disfungsi diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal jantung.
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi,
hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta,
yang menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat
perubahan perdarahan secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah
yang akut dapat menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan kembali ke
dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain
menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat
proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang
kronik. Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak
diketahui, sebagian karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang
mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal
ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik
yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi
Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan
terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan
fase komplaien lambat dari diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi
diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai
tambahan, selain peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan
dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner,
penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK.
Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir
penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output
![Page 23: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/23.jpg)
dalam menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai
berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki
tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan
peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,
yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan
vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh
hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat,
disadari sebagai pemegang peran pentingdalam transisi dari tahap kompensata
menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik
dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan pada
kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi miokard (contoh:
iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan
edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara
umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik
maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pad status klinis
dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi
ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi
sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi.
Hipertensi adalah faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri
koroner, bahkan hampir melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada
pasien dengan hipertensi bersifat multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada
ketidakhadiran penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder
akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan
tekanan transmural, menekan aliran darah koroner selama diastole. Sebagai
tambahan, mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat
mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu
mengkompensasi peningkatan metabolik dan kebutuhan oksigen.
![Page 24: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/24.jpg)
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri
koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan
darah kronis mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi
endotelial menyebabkan gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang
merupakan vasodilator poten. Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan
perkembangan dan makin cepatnya pembentukan arteriosklerotis dan plak.
Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang ditemukan pada pasien tanpa
hipertensi.
Arimia kardiak
Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang
mengalami arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler
takikardi.
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolismedipekirakan
memegang peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan
metabolisme sel, ketidakhomogen miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard
dan fluktuasi pada afterload. Semua faktor tersebut dapat menyebabkan
peningkatanan resiko ventrikel takiaritmia.
Artrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah
merupakan faktor umum bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50%
pasien dengan artrial fibrilasi mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti
tidak diketahui, abnormalitas struktur atrium kiri, penyakit arteri koroner, dan
HVK telah dianggap sebagi faktor yang mungkin berperan. Perkembangan artrial
fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi sistolik dekompensata, dan yang lebih
penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hlangnya kontraksi atrium, dan juga
meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya stroke.
Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti jantung mendadak
ditemukan lebih sering pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK.
Penyebab arimitmia tersebut dianggap terjadi bersama-sama dengan penyakit
arteri koroner dan fibrosis miokard.3,5,7,9,10
![Page 25: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/25.jpg)
4. Diagnosis
Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan
pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-
faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab
sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan
komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan
potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap
sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada
pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada
waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat
berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa pusing,
palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka
umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan
manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang
harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.
![Page 26: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/26.jpg)
Tabel Riwayat yang relevan
Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam
merokok, diabetes, inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan;
kelemahan otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku
mendengkur, somnolens siang hari; gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme;
penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien;
angina, infark miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
Pengukuran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap
detail mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang
melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya,
sebagian besar pengukuran kantor dibuat menggunakan instrumen aneroid.
Akurasi instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi.
Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5 menit
dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang
nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus
setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan. Penempatan cuff,
penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik) penting untuk
diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-
kurangnya dua ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik
adalah titik di mana suara Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat
![Page 27: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/27.jpg)
ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi
duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,
menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat
pembacaan setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik
tidaklah sering digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi
pasien yang dicurigai mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga telah
merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk resistensi terhadap
penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan
awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi
terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural.
Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan arterial harus diukur
sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi
ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga harus dicatat.
Individu hipertensif memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi
atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para
pasien harus diperiksa untuk tanda-tana hipo dan hipertiroidisme. Pemeriksaan
pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit vakular yang
mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk
bruit di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral dan pedal
(pedis). Retina adalah satu-satunya jaringan di mana arteri dan arteriol dapat
diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan
penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik progresif antara lain seperti
peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous,
hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.
Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang
menguat karena penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan
kontraksi artrium terhadap ventrikel kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel
kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan,
![Page 28: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/28.jpg)
dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang berlateralisasi
dan terjadi selama sistole ke diastole, meningkatkan kemungkinan hipertensi
renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di
abdomen. Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF
dan pemeriksaan neurologis.
Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan
dalam evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang,
elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen
antihipertensif baru dan kemudian tiap tahun, atau lebih sering bila diindikasikan
secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien
dengan hipertensi resistan-pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi klinis
menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.4
Tabel Tes laboratorium dasar untuk evaluasi awal
Sistem Tes
Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin,
BUN atau kreatinin serum
Endokrin Natrium, kalium, kalsium, dan TSH
serum
Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total,
HDL dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram
5. Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh
baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup
yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan
prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif.
![Page 29: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/29.jpg)
Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit
kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup
pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada
uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah
terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan
jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang
cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang
diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang
secara efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi
masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol,
dan pola diet sehat secara keseluruhan.
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI
<25 kg/m2
Reduksi garam < 6 g NaCl/hari
Adaptasi rencana diet jenis-DASH Diet yang kaya buah-buahan, sayur-
sayuran, dan produk susu rendah-lemak
dengan kandungan lemak tersaturasi dan
total yang dikurangi
Pengurangan konsumsi alkohol Bagi mereka yang mengkonsumsi
alkohol, minumlah 2 gelas/hari untuk
laki-laki dan 1 gelas/hari untuk wanita
Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan
cepat selama 30 menit/hari
Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi
tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan
penurunan berat badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah
dan peningkatan sensitivitas insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar
6.3/3/1 mmHg telah diamati terjadi dengan reduksi berat badan rata-rata sebesar
9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan berat badan, mengurangi
tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular.
![Page 30: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/30.jpg)
Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama 30
menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas
lebih dan frekuensi kurang.
Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan
variasi ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis,
penurunan tekanan darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-
7.4 g (75-125 mEq) menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9
mmHg pada individu hipertensif dan reduksi yang lebih rendah pada individu
normotensif. Diet yang kurang mengandung kalium, kalsium, dan magnesium
berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi dan prevalensi hipertensi yang
lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium urin memiliki hubungan yang
lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau kalium saja.
Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif moderat yang
tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah, suplementasi kalium
mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke. Penggunaan alkohol
pada individu yang mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari (satu gelas
standar mengandung ~14 g etanol) berhubungan dengan tekanan darah yang lebih
tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol berkaitan dengan reduksi tekanan darah.
Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau alkohol dapat mempengaruhi
tekanan darah masihlah belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu,
diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak
mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau
hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6 g (100 mEq)
menambah efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan sayur-sayuran
merupakan sumber yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan produk
susu merupakan sumber kalsium yang penting.
Terapi farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah 140/90 mmHg.
Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan
![Page 31: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/31.jpg)
dengan besarnya reduksi tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar
10-12 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama
memberikan reduksi risiko sebesar 35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD
dalam 5 tahun dari mula penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar
>50%. Terdapat variasi yang nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas
agen antihipertensif yang berbeda, dan besarnya respon terhadap agen tunggal
apapun dapat dibatasi oleh aktivasi mekanisme counter-regulasi yang melawan
efek hipotensif dari agen tersebut. Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan
kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara individual, dengan pertimbangan
usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular
lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis yang berkenaan dengan biaya,
efek samping, dan frekuensi pemberian obat.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri
atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat
pompa Na+/Cl- di tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi
natrium. Dalam jangka panjang, mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator.
Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi
kejadian klinis. Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah tambahan
ketika dikombinasikan dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat
reseptor angiotensin. Sebaliknya, penambahan diuretik terhadap penyekat kanal
kalsium adalah kurang efektif. Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar
dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena peningkatan insidensi efek samping
metabolik (hipokalemia, resistansi insulin, peningkatan kolesterol), dosis yang
lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik hemat kalium, amiloride dan
triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium epitel di nefron distal.
Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan
dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target
farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na+-K+-2Cl- di
lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi pasien
hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum
refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena
![Page 32: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/32.jpg)
alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti
monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar
bradikinin, dan mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor
angiotensin II menyediakan blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek
angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak tersekat dapat menambah efek
hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang efektif
yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan
diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa. Efek samping ACE
inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah insufisiensi ginjal
fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik
pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi
ginjal yang diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan
penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15%
pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang mengkonsumsi ACE
inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari Asia
dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia.
Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang
kadang terjadi baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor
angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang
terutama efektif pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi
resistan, dan aldosteronisme primer. Pada pasien dengan CHF, spironolakton
dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah sakit karena gagal
jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional dengan
ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan
reseptor progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia,
![Page 33: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/33.jpg)
impotensi, dan abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh
agen yang lebih baru, eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif.
Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk penatalaksanaan hipertensi
Beta blocker
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah
jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme
lain yang diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah
adalah efek pada sistem saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker
terutama efektif pada pasien hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif
mereka dikuatkan oleh pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah,
beberapa beta blocker secara selektif menghambat reseptor 1 jantung dan kurang
memiliki pengaruh pada reseptor2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular;
namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker
kardio selektif dan non kardio selektif. Beta blocker tertentu memiliki aktivitas
simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas apakah aktivitas ini memberikan
keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker tanpa aktivitas
simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian mendadak
(sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren. Pada
pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko perawatan di
rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol menyekat kedua
reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider. Keuntungan potensial dari
penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan hipertensi masih
perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang
efektif, yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan
agen-agen lain. Namun dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa
tidak terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun
menyediakan perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif
![Page 34: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/34.jpg)
lain. Agen-agen ini juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius bawah
pada pria dengan hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan
dengan reseptor postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk
penatalaksanaan pasien dengan pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer
dengan menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien
dengan neuropati otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena
denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini antara lain somnolens, mulut kering,
dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik perifer mengurangi
resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan cadangan norepinefrin
ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif yang potensial efektif,
kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan
berbagai interaksi obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel,
yang mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri
dari bermacam agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine
(verapamil), benzothiazepine (diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-
nifedipine). Digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan agen-agen lain
(ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic blocker), antagonis kalsium secara
efektif mengurangi tekanan darah; namun, apakah penambahan diuretik terhadap
penyekat kalsium menghasilkan penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah
tidak jelas. Efek samping sepertiflushing, sakit kepala, dan edema dengan
penggunaan dihydropyridine berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator
arteriol; edema disebabkan peningkatan gradien tekanan transkapiler, dan bukan
karena retensi garam dan cairan.
![Page 35: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/35.jpg)
Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap
sebagai agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam
kombinasi yang menyertakan diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah
vasodilator direk yang poten yang memiliki efek antioksidan dan penambah NO,
dan minoxidil merupakan agen yang amat poten dan sering digunakan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal yang refrakter terhadap semua obat lain. Hydralazine
dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain
adalah hipertrikosis dan efusi perikardial.
II.6 PROGNOSIS
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri.
Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi.
Pengobatan hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,
Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri
dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat
penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi
adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.2
![Page 36: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/36.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
1. Marulam M Panggabean, Daulat M, Gagal jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Aru W Sudoyo (Editor), Balai Penerbit UI. Jakarta, 2006.
2. PAPDI, gagal jantung kronik. Panduan pelayanan medik PB PAPDI.Jakarta
2006.
3. Karim S, Peter K. EKG dan Penanggulangan beberapa penyakit jantung
untuk dokter umum, FK UI 2005.
4. Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.1654-55
5. Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember
2008). Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm.
accessed at Desember 3, 2008
6. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008).
Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Accessed
at Desember 3, 2008
7. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.
241
8. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.
9. Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.610-614.
10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442
11. Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997.
h. 245
![Page 37: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022062314/55cf968a550346d0338c2972/html5/thumbnails/37.jpg)
12. Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC.
1995. h.45
13. Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC. H.322-323