Tinjauan Pustaka BPH

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA RETENSIO URINE I. Definisi Retensi urine adalah suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar dari vesica urinaria sebagian atau tertimbun didalamnya. Dari definisi tersebut terdapat pengertian bahwa orang tersebut tidak dapat kencing atau kencing yang keluar tidak habis/ tidak tuntas. Keadaan ini harus dibedakan dengan dengan keadaan lain yaitu anuria dan oliguria. Anuria adalah suatu keadaan dimana orang tidak dapat mengeluarkan urine sebab memang produksinya diginjal tidak ada, sedangkan oliguria dimaksudkan berkurangnya produksi urine. Dalam keadaan normal memang produksi urine yang kita keluarkan 800cc-1200cc/24 jam atau sekitar 35cc-50cc/jam. Dikatakan oliguria jika jumlahnya kurang dari harga normal (biasanya dipakai patokan 400cc-500cc/24 jam), sedangkan anuria bila memang tidak ada produksi urine sama sekali atau bila kurang dari 100cc/24jam sudah dianggap anuria (Rifki Muslim, 1997) II. Etiologi Secara garis besar, retensio urine disebabkan oleh : 1. Mekanik

Transcript of Tinjauan Pustaka BPH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

RETENSIO URINE

I. Definisi

Retensi urine adalah suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar dari vesica

urinaria sebagian atau tertimbun didalamnya. Dari definisi tersebut terdapat pengertian

bahwa orang tersebut tidak dapat kencing atau kencing yang keluar tidak habis/ tidak

tuntas. Keadaan ini harus dibedakan dengan dengan keadaan lain yaitu anuria dan

oliguria.

Anuria adalah suatu keadaan dimana orang tidak dapat mengeluarkan urine sebab

memang produksinya diginjal tidak ada, sedangkan oliguria dimaksudkan berkurangnya

produksi urine. Dalam keadaan normal memang produksi urine yang kita keluarkan

800cc-1200cc/24 jam atau sekitar 35cc-50cc/jam. Dikatakan oliguria jika jumlahnya

kurang dari harga normal (biasanya dipakai patokan 400cc-500cc/24 jam), sedangkan

anuria bila memang tidak ada produksi urine sama sekali atau bila kurang dari

100cc/24jam sudah dianggap anuria (Rifki Muslim, 1997)

II. Etiologi

Secara garis besar, retensio urine disebabkan oleh :

1. Mekanik

Penyebab yang paling sering adalah adanya obstruksi distal dari vesika urinaria.

Pada orang tua penyebabnya adalah striktura uretra, neoplasma prostat, sklerotik

leher VU, meatal stenosis, pendesakan oleh tumor diluar uretra.

2. Neurogenik

Sebagian besar kelainan VU neurogenik disebabkan karena cedera tulang

belakang yang berakibat pada lesi medulla spinalis. Lesi ini juga bisa disebabkan

oleh tumor Ketidakmampuan dari otot detrusor untuk berkontraksi sehingga

walaupun tidak ada obstruksi intravesika maupun kelainan syaraf orang tersebut

tidak bisa miksi.

3. Psikogenik

Keadaan cemas atau takut yang hebat bisa terjadi retensio urine.

4. Obat-obatan

Beberapa obat dapat menyebabkan retenso karena efeknya pada otot detrusor

atau sfingter uretra misalnya epedrin dan propanolol (Rifki Muslim, 1997).

BENIGN PROSTAT HIPERPLASI

I. Anatomi

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak diinferior buli-buli, di depan rectum

dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x

2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri dari atas jaringan

fibromuskuler dan glandular yang terbagi dalam beberapa zona, yaitu zona perifer,

sentral, transisional, preprostatik sfingter dan zona anterior(McNeal 1970). Sebagian

besar hyperplasia prostat terdapat pada zona transisional sedangkan pertumbuhan

karsinoma prostat berasaal dari zona perifer. Secara hispatologis kelenjar prostat terdiri

atas kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh

darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Basuki,2003).

Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan

ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui ductus sekretorius dan bermuara pada uretra

posterior untuk dikeluarkan bersama cairan sedimen lain pada saat ejakulat. Volume

cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat (Basuki,2003).

Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus

prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis

S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulus parasimpatik meningkatkan

sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan

prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulat. Saraf simpatik menginervasi otot

polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Di tempat ini banyak reseptor adrenergic-

α. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar

prostat mengalami hyperplasia jinak atau berubah menjadi kanker dapat menyebabkan

obstruksi uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih

(Basuki,2003).

II. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasi

prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya

dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnuya hiperplasi prostat adalah :

1. Teori dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT merupakan metabolit androgen yang sangat penting

pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat

oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan co enzim NADPH. DHT yang terbentuk

berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel

dan selaanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yaang menstimulasi pertumbuhan

prostat.

Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh

berbedaf pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan

jumlah resptor androgen lebih banyak pada BPH, hal ini meyebabkan sel-sel prostat

pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel epitel lebih banyak terjadi

dibandingkan dengan prostat normal.

2. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron

Pada usia semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen

relatif tetap sehingga perbandingan estrogen-testosteron relatif meningkat. Telah

diketahui bahwa estrogen sendiri berperan dalam proliferasi sel kelenjar prostat, dengan

cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel

prostat (apoptosis).Hasil akhir dari semua keadaan adalah meskipun rangsangan

terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun tetapi sel-sel prostat

yang ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel

prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator

(growth factor) tertentu. Sel stroma mendapat stimulasi dari DHT dan estradiol, sel

stroma mensintesis suatu growth factor yang akan mempengaruhi sel stroma itu sendiri

secara intrakin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.

Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat

Program kematian sel apoptosis pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik

untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi

dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan

difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.

Pada jaringan normal terdapat gangguan ketidakseimbangan antara laju

proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampaai pada

prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baruu dengan mati dalam keaadaan

seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan

jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan

penambahan masa prostat.

Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang

menghambat proses apoptosis belum diketahui. Diduga hormon androgen berperan

dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi

peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu

memperpanjang usia sel-sel prostat sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan

dalam proses apoptosis.

5. Teori stem sel

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel

baru yang dikenal sel stem, yaitu sel yang mampu berproliferasi sangat ekstensif.

Kehidupan sel ini tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon

androgen kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi menyebabkan terjadinya

apoptosis (Basuki,2003).

III. Patofisiologi Hyperplasia Prostat

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan

menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.

Untuk dapaat mengeluarkan urine, VU harus berkontraksi lebih kuat guna melawan

tahanan ini. Kontraksi yang terus menerus iini menyebabkan perubahan anatomic VU

berupa hyperplasia otot detrusosr, trabekulasi terbentuknya selula, sakula dan divertikel

VU. Perubahan struktur VU tersebut dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada

saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu

dikenaal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian VU tidak

terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada muara ureter iini dapat menimbulkan

aliran balik dari VU ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini terus

menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh

dalam gagal ginjal.

Obstruksi yang diakibatkan BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa

prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos

yang ada pada stroma, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Pada BPH

terjadi peningkatan komponen stroma terhadap epitel, Normalnya rasio stroma dengan

epitel adalah 2:1, pada BPH rasio meningkat 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH

terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal

(Basuki,2003).

IV. Gejala Klinis

Obstruksi prostate dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun di

luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)

Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan

iritatif. Untuk menilai tingkat keparahan keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,

paara ahli/ organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat diisi dan

dihitung sendiri oleh pasien. Skoring tersebut yaitu international prostatic symptom

score (IPSS)

Gejala obstruktif Gejala iritatif

a. hesitansi,

b. pancaran miksi lemah,

c. intermitensi,

d. miksi tidak puas,

e. menetes setelah miksi

a. frekuensi,

b. nokturi,

c. urgensi,

d. disuri

Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan

keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan dengan kualitas hidup pasien. Setiap

pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai 5

sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga

7. Dari skor IPSS itu dapat dikelompokan gejala LUTS dalam 3 derajat yaitu (1)

ringan : skor 0-7, (2)sedang: skor 8-19 dan (3)berat : skor 20-35.

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli

untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli akan mengalami fatigue

(kepayahan) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam

bentuk retensio urine akut.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat spada saluran kemih bagian atas berupa

gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan

tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau

urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau

hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi

sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan VU yang terisi penuh dan teraba

masa kistis didaerah supraa simpisis akibat retensio urine. Kadang-kadang didapati

urine menetes sendiri tanpa disaadari oleh pasien yaitu tanda dari inkontinensia

paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan : (1) tonus sfingter ani/refluks

bulbokaavernosus untuk menyingkirkan kelainan VU neurogenik, (2) mukosa rectim

dan (3) keadaan prostat antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi

prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.

Colok dubur pada pembesaran prostat benignaa menunjukan komsistensi

prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak

didapatkan nodul sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba

nodul dan mungkin antara lobus prostat tidak simetris (Basuki,2003).

V. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi

atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam

mencari jenis kuman yang menyebakan infeksi dan sekaligus menentukan

sensitivitas kuman terhadap beberapa kuman yang diujikan.

Faal ginjal diperiksa diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit

yang mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah untuk mencari

kemungkinan adanya diabetes yang menimbulkan kelainan persarafan pada buli-

buli. Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor

PSA (Basuki,2003).

Pemeriksaan PSA (Prostate Spesifik Antigen) sebagai dasar penentuan

perlunya biopsi atau deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu

biopsi,sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml perlu hitunglah PSAD (Prostate

Spesific Antigen Density). Bila PSAD > 0.15 maka sebaiknya dilakukan biopsi

prostat demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml (Arief Mansoer,2000)

2. Pencitraan

Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya

batu, kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan VU yang penuh terisi

urine, yang merupakan tanda dari suatu retensio urine. Pemeriksaan PIV dapat

menerangkan adanya: (1) kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter

atau hidronefrosis, (2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukan

oleh adanyaa indentasi prostat (pendesakan VU oleh kelenjar prostat) atau ureter

disebelah distal yang berbentuk mata kail dan (3) penyulit yang terjaadi pada VU

yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi VU.

Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS dimaksudkan untuk mengetahui

besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat

maligna sebagai petunjuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentuka jumlah

urine dan mencari kelainan lain yang mungkin ada pada VU. Disamping itu juga

bisa untuk mendeteksi adanya hidronefrosiis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi

BPH lama.

3. Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :

a. Residual Urine yaitu sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat dihitung

dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan

pemeriksaan USG setelah miksi.

b. Pancaran Urine atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu menghitung

jumlah urine dibagi lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat

uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urine. Dari

uroflometri dapat diketahui lama waktu miksi, lama pancaran, waktu yang

dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimal, rentan pancaran, maksimum

pancaran dan volume urine yang dikemihkan (Basuki,2003).

VI. Terapi

Tidak semua pasien hyperplasia prostat perlu tindakan medik, kadang kala

mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa terapi apapun

atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun ada yang membutuhkan

terapi medikamentosa atau tindakan medic lain kalau keluhannya semakin parah.

Tujuan terapi pada pasien hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan

miksi, (2)meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)

mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume

residu, dan (6) mencegah progresivitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan

medika mentosa pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invaasif.

Observasi Medikamentosa Operatif Invasif minimal

Watchful

Waiting

Antagonis

α-adrenergik

Inhibitor

5 α- reduktase

Fitoterapi

Hormonal

Prostatektomi

terbuka

Endourologi:

TURP

TUIP

TULP

Elektrovaporasi

TUMT

HIFU

Stent uretra

TUNA

ILC

1. Watchful waiting

Pilihan terapi ini di tujukan untuk pasien BPH dengan IPSS <7 yaitu keluhan ringan

yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi

apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai hal yang dapat memperburuk

keluhan, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi, alcohol setelah makan malam,

(2) kurangi makanan yang dapat mengiritasi VU (cokelat, kopi), (3) batasi

penggunaan obat yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas

dan asin dan (5) jangan menahan kencing

Secara periodik pasien diminta untuk kontrol dengan ditanya keluhannya menjadi

baik, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine atau

uroflowmetri. Jika keluhan miksi bertambah jelek dengan daripada sebelumnya,

mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

2. Terapi Medikamentosa

Tujuan terapi medika mentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat

sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat adrenergik

α-bloker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara

menurunkan kadar hormon testosteron/ DHT melalui penghambat 5α reductase.

a. Penghambat reseptor adregenik-α

Ditemukan obat penghambat reseptor adregenik-α dapat mengurangi penyulit

sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari fenoksibenzamin.

Beberapa golongan obat-obatan yang sering dipakai diantaranya prazosin yang

diberikan 2 kali sehari, terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan

sehari sekali. Obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju

pancaran urine.

Atau akhir-akhir ini ditemukan pula tamsulosin yang sangat selektif terhdap

otot polos prostat. Obat ini mampu memperbaiki miksi tanpa menimbulkan

efek terhadap tekanan darah maupun jantung.

b. Penghambat enzim 5- reduktase

Obat ini bekerja dengan menghambat pembentukan DHT dari testosteron yang

dikatalis oleh 5α reductase didalam sel prostat sehingga menyebabkan sintesis

protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Pemberian finasteride 5mg sehari

yang diberikan sekali selama 6 bulan dapat menurunkan prostat hingga 28%

hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.

c. Fitofarmaka

Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai anti estrogen, anti androgen,

menurunkan kadar sex hormon binding globulin (SHBG), inhibisi basic

fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF),

mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti inflamasi, menurunkan

outflow resistance dan memperkecil volume prostat.

Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah : Pygeum africanum,

Serenoa repens dan masih banyak lagi (Basuki,2003).

3. Operatif

Pembedahan

Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang adalah dengan pembedahan

karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya memerlukan waktu

yang sangat lama untuk melihat hasil terapi. Pembedahan direkomendasikan pada

pasien BPH yang tidak menunjukan perbaikan setelah terapi medikamentosa,

mengalami retensi urine, infeksi saluran kemih berulang, hematuri, gagal ginjal dan

timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih

bagian bawah.

A. Pembedahan terbuka

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah Metode millin yaitu

melakukan enukleasi klejenar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika.

Metode freyer yaitu melalui pendekatan suprapubik transvesika atau transperineal.

Prostatektomi terbuka ditujukan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).

B. Pembedahan endourologi

Operasi ini lebih disenangi karena tidak memerlukan insisi pada kulit perut, waktu

mondok lebih cepat dan memberikan hasil yang tidak berbeda dengan tindakan

operasi terbuka.

1. TURP( Reseksi prostat trans uretra)

Reseksi prostat dilakukan secara transuretra dengan cara menggunakan cairan

irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap tenang bdan tidak

tertutup oleh darah. Cairan yang sering dipakai adalah aquaades. Kerugiannya

cairan ini dapat masuk kedalam sirkulasi sistemik melalui pembuluh daarah

vena yang terbuka pada saat reseksi. Dapat pula terjadi hiponatremia relatif atau

gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindroma TURP yang ditandai

dengan gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat dan bradikardia.

Penyulit TURP :

Selama operasi Post op – early Post op – late

1. Perdarahan

2. Sindroma TURP

3. Perforasi

1. Perdarahan

2. Infeksi lokal atau

sistemik

1. Inkontinensia

2. Disfungsi ereksi

3. Ejakulasi retrograd

4. Striktur uretra

2. Elektrovaporisasi prostat

Caranya adalah saama dengan TURP hanya saja teknik ini memakai roller ball

yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat sehingga mampu

membuat vaporisisai kelenjar prostat.

3. Laser prostatektomi

Pemakaian laser lebih sedikit menimbulkan komplikasi, penyembuhannya cepat

dan hasilnya kurang lebih sama akan tetapi mebutuhkan terapi ulang tiap tahun.

C. Tindakan invasif minimal

1. Termoterapi

Adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang

dipancarkan melalui antena dalam uretra sehingga menyebabkan destruksi

jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi.

2. TUNA (trans uretral needle ablation of the prostate)

Teknik ini memakai energi frekuensi radio yang menimbulka panas sampai

1000C sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.

3. Stent

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena

pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher VU dan disebelah

proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati uretra

prostatika.

4. HIFU (high intensity focused ultrasound)

Energi panas yang ditunjukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal

dari gelombang ultrasonografi dari transducer (Basuki,2003).

4. Kontrol berkala

Setiap pasien BPH yang telah melakukan pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk

mengetahui perkembangan penyakitnya tergantung pada tindakan apa yang sudah

dijalaninya. Setelah pembedahan pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6minggu

pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit. Kontrol selanjutnya

setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil operasi (Basuki,2003).

VESIKOLITIASIS

I. Anatomi

A. Vesika Urinaria

Vesika urinaria adalah organ berongga yang terdiri dari 3 lapis otot detrusor yang

saling beraanyaman. Disebelah dalam adalah otot longitudinal, ditengah adalah otot

sirkuler dan yang paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa VU terdiri atas sel

transisional yang sama seperti pada pelvic renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada

dasar VU kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga

yang disebut trigronum VU (Basuki,2003). Vesica urinaria mendapat pendarahan dari

arteri vesikalis superior dan inferior cabang arteri illiaca interna sedangkan vena

membentuk pleksus venosus vesikalis dibawah berhubungan dengan plexus venosus

prostaticus dan bermuara pada vena illiaca interna (Richard Snell,2006).

Secara anatomic bentuk VU terdiri atas 3 permukaan yaitu permukaan superior

yang berbatasan dengan rongga peritoneum, dua permukaan inferolateral dan

permukaan posterior. Permukaan superior merupakan lokus minorus (daerah terlemah)

dinding VU.

VU berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya

dengann melalui uretra dalam mekanisme miksi. Dalam menampung urine, VU

mempunyai kapasitas maksimal dimana pada orang dewasa kurang lebih 300-400 ml

(Basuki,2003).

B. Uretra

Uretra merupakan tabung yang membawa urine keluar dari vesica urinaria

melalui proses miksi. Secara anatomis dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior

dan uretra anterior. Pada pria organ inin berfungsi dalam menyalurkan sperma. Uretraa

dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan VU dan uretra.

Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm sedangkan uretra pria kurang lebih

23-25cm. Perbedaan inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran sering

kali terjadi. Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8mm. berada

paada bawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina (Basuki,2003).

Uretra pda laki-laki panjangnya sekitar 8 inc (20cm) dan terbentang dari

collum vesikae urinaria sampai ostium uretra externum pada gland penis. Uretra

masculine dibagi menjadi :

1. Uretra pars prostatica panjangnya 3cm dan berjalan melalui prostat dari basis

apex. Bagian ini merupakan bagian yang paling lebar dan yang paling dapat

dilebarkan dari uretra.

2. Uretra pars membranaceae panjangnya sekitar 1,25cm terletak didalam

diafragma urogenital dan dikelilingi oleh muscullus sfingter uretrae. Bagian ini

merupakan bagian dari uretra yang paling tidak bisa dilebarkan.

3. Uretra pars spongiosa panjangnya sekitar 16 cm dan dibungkus dalam bulbus

dan corpus spongiosum penis Richard Snell,2006).

II. Etiologi

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran

urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang

masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang

mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor

intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu

pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Faktor intrinsik itu antara lain adalah:

1. Herediter (keturunan)

Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. menyerang beberapa orang dalam

satu keluarga.

2. Umur :Penyakit ini paling didapatkan pada umur 30-50 tahun.

3. Jenis kelamin

Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih bnyak dibandingkan dengan pasien

perempuan.

Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:

1. Geografi

Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih

tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah stone belt (sabuk batu),

sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran

kemih.

2. Iklim dan temperatur

3. Asupan air

Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi,

dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

4. Diet

Diperkirakan diet sebagai faktor penyebab terbesar terjadinya batu saluran kemih.

5. Pekerjaan

Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau

kurang aktivitas atau sedentary life (Basuki,2003).

III. Patogenesis

Secara teoritis batu dapat terbentuk didalam saluran kemih terutama pada

tempat-tempat yang sering mengalami hambatan urine (statis urine) yaitu pada

system kalikes ginjal dan vesica urinaria. Batu terdiri atas Kristal-kristal yang

tersusun dari bahan organic maupun anorganik yang larut dalam urine. Kristal-kristal

tersebut tetap dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak adaa

keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi Kristal. Kristal-

kristal yang saling melakukan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang

kemudian akan mengalami agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi

Kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat Kristal masih

rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat Kristal

menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi Kristal) dan dari sisi bahan-

bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar

untuk menyumbat saluran kemih (Basuki,2003).

IV. Komposisi Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure : kalsium oksalat atau kalsium

fosfat, asam urat, magnesium-amonia-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin, silikat dan

senyawa lainnya. Daata mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu

sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.

A. Batu Kalsium

Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh

batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat,

kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsure itu.

Factor terjadinya batu kalsium adalah :

1. Hiperkalsiuri

2. Hiperoksaluri

3. Hiperurikosuria

4. Hipositraturia

5. Hipomagnesuria

B. Batu Struvit

Batu ini juga sering juga diisebut dengan batu infeksi, karena terbentuknya

batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi

ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan

enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis

uretra menjadi ammonia.

C. Batu Asam Urat

Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Diantara

75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan

campuran kalsium oksaalat. Sumber asam urat berasal dari diet yang

mengandung purin dan metabolism endongen didalam tubuh. Dengan bantuan

enzim xaanthin oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xhantin yang akhirnya

dirubah menjadi asam urat. Asam urat relative tidak larut dalam urine seinngga

pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk Kristal asam urat dan

selanjutnya membentuk batu asam urat. Batu asam urat murni bersifat radio lusen

sehingga pada pemeriksaan PIV tampak bayangan filling defect pada saluran

kemih. Pada pemeriksaan USG memberikan gambaran bayangan akustik

(acoustic shadowing).

D. Batu Jenis Lain

Batu sistin, batu xhantin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang

dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolism sistin yaitu kelainan

dalam absorbs sistin dimukosa usus. Demikian batu xhantin terbentuk karena

penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xhantin oksidase yang mengkatalisis

perubahan hipoxantin mendi xhantin dan xhantin menjadi asam urat. Penggunaan

antasida yang mengandung silikat yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama

dapat menyebabkan batu silikat (Basuki,2003).

V. Gejala Klinis

Batu VU atau vesikolitiasis seing terjadi pada pasien yang gangguan miksi

atau terdappat benda asing di VU. Gangguan miksi sering terjadi pada pasien

hyperplasia prostat, striktura uretra, divertikel VU atau VU neurogenik. Kateter

yang terpasang dalam waktu lama, adanya benda asing lain yang secara tidak

sengaja dimasukan kedalam VU seringkali menjadi initi untuk terbentuknya batu

VU. Selain itu batu VU juga dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang

turun ke VU.

Gejala khas batu VU adalah berupa gejalaa iritatif antara lain : nyeri

kencing/disuria, perasaan tidak enak sewaktu kencing dan kencing tiba-tiba terhenti

kemudian menjadi laancar dengan perubahan posisi tubuh. Nyeri pada saat miksi

serinng kali dirasakan reffered pain pada ujung peneis, scrotum, perineum,

pinggang sampai kaki (Basuki,2003).

VI. Diagnosis

Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan

diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,

laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi

saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat

radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu

sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi. Yang radiolucent

umumnya adalah dari jenis asam urat murni.

Pada batu yang radioopak pemeriksaan dengan FRA sudah cukup untuk

menduga adanya batu saluran kemih bila diambil foto 2 arah. Pada batu radiolusent,

foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan terdapatnya defek penngisian pada

tempat batu sehingga member gambaran batu yang kosong. Pemeriksaan

laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat menunjang

adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan sebab

terjadinya batu.

Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara

terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini

dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup

sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan

ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen

saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama tindakan

pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu (Sjamsuhidajat, 1997).

VII. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos abdomen

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan

rencana terapi antara lain foto polos abdomen. Pembuatan foto polos abdomen

bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-

batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering

dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio lusen).

Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih

Jenis Batu Radioopasitas

Kalsium Opak

MAP Semiopak

Urat/Sistin Non opak

2. Pielografi Intra Vena (PIV)

Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain

itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu nonopak yang tidak

dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belumdapat menjelaskan keadaan

sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya

adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

3. Ultrasonografi

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,yaitu

pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan

pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal

atau di buli-buli (yang ditunjukkansebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis,

atau pengkerutan ginjal (Basuki,2003).

VIII.Terapi

1. Medikamentosa

Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm,

karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk

mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum, dan

minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih

Tindakan atau terapi untuk pencegahan timbulnya kembali batu saluran kemih

Jenis batu Faktor penyebab

Timbulnya batu

Jenis Obat/ Tindakan Mekanisme Kerja

Obat

Kalsium Hiperkalsiuri absorptive

Hiperkalsiuri renal

Hiperkalsiuri resorbtif

Hipositraturi

Hipomagnesiuri

Hiporurikosuria

Hiperoksaluria

Natrium Selulosa Fosfat

Thiazide

Orthofosfat

Thiazid

Parathyroidectomi

Potasium sitrat

Magnesium sitrat

Allopurinol

Potasium alkali

Allopurinol

Pyridoxin

Mengikat Ca dalam

ususabsorbsi ↓

↑rearbsorbsi Ca diTubulus

↓ sintesa viatamin D

↑ rearbsorbsi Ca diTubulus

↓ resorbsi Ca diTulang

↑ pH ↓ Ca Urine

↑ Mg urine

↓ Urat

↑ pH

↓ Urat

MAP Infeksi Antibiotika

AHA(Amino hidroxamic acid)

Eradikasi infeksi

Urease inhibitor

Urat Dehidrasi (pH urine ↓)

Hiperurikosuri

Hidrasi cukup

Potasium alkali

Allopurinol

↑ pH

↓ Urat

2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu kandung kemih

tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-

fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang

pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan

menyebabkan hematuria.

3. Endourologi

Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan BSK

yang terdiri atas memecah batu, dan mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat

yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui

uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat

dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidroulik, energi gelombang suara

atau energi laser. Beberapa tindakan endourologi itu adalah :

1. PNL (percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang berada

didalam saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi kesistem kalikes

melalui insisi pada kulit.

2. Litotripsi : memecah batu VU atau batu uretra dengan memasukan alat pemecah

batu dedalam VU. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.

3. Ureteroskopi : memasukan alat ureteroskopi peruretram guna melihat keadaan

ureter atau system pielokaliks ginjal.

4. Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat

keranjang dormia.

5. Tindakan Operasi.

a. Bedah Laparoskopi

Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini

sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

b. Bedah Terbuka

Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-

tindakan endourologi, laparoskopi maupun ESWL, pengambilan batu masih

dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:

pielolitomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan

ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan

nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi

nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat

BSK yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun (Basuki,2003).