TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit 2.1.1 Anatomi...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit 2.1.1 Anatomi...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan
membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa sekitar
1,5 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang
esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga
sangat kompleks, elastik dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, ras,
dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Djuanda, 1999).
2.1.1 Anatomi Kulit
Gambar 2.1 Struktur Kulit (Wasitaatmadja, 2010)
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu :
a. Lapisan epidermis, lapisan epidermis terdiri atas: stratum corneum
(lapisan tanduk), stratum lusidum, stratum granulosum (lapisan
keratohialin), stratum spinosum (stratum malphigi), dan stratum basal
(Djuanda, 1999).
b. Lapisan dermis, lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang
jauh lebih tebal daripada epidermis. Secara garis besar lapisan dermis
5
dibagi menjadi dua, yaitu pars papilare dan pars retikulare (Djuanda,
1999).
c. Lapisan subkutis, jaringan subkutis merupakan lapisan yang langsung
dibawah dermis. Batas antara jaringan subkutis dan dermis tidak tegas.
Ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah. Lapisan subkutis terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel
lemak berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat
ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening (Djuanda,
1999).
2.1.2 Fungsi Kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan
lingkungan. Adapun fungsi utama kulit adalah (Wasitaatmadja, 1997):
a. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau
mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan kimia (zat-zat kimia
yang iritan), gagguan bersifat panas (radiasi dan sinar ultraviolet), dan
gangguan infeksi luar (Wasitaatmadja, 1997).
b. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat,
tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun
yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum (Wasitaatmadja,
1997).
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia
(Wasitaatmadja, 1997).
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis
sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang diberikan.
6
Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan
subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak
di dermis, rangsangan diperankan oleh badan meissner yang terletak di
papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini
di epidermis (Wasitaatmadja, 1997).
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu
dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu
badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan
terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh
dapat dijaga tidak terlalu panas (Wasitaatmadja, 1997).
f. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D
Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi
ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar
makanan (Wasitaatmadja, 1997).
g. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya
butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun
individu (Wasitaatmadja, 1997).
2.1.3 Mekanisme Perlindungan Alami Kulit
Secara alami kulit manusia mempunyai sistem perlindungan terhadap
paparan sinar matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah dengan penebalan
stratum corneum dan pigmentasi kulit (Ditjen POM, 1985).
Perlindungan kulit terhadap sinar UV disebabkan oleh peningkatan jumlah
melanin dalam epidermis. Butir melanin yang terbentuk dalam sel basal kulit
setelah penyinaran UV B akan berpindah ke stratum corneum di permukaan kulit,
kemudian teroksidasi oleh sinar UV A. Jika kulit mengelupas, butir melanin akan
lepas, sehingga kulit kehilangan pelindung terhadap sinar matahari (Ditjen POM,
1985).
7
Semakin gelap warna kulit (tipe kulit seperti yang dimiliki ras Asia dan
Afrika), maka semakin banyak pigmen melanin yang dimiliki, sehingga semakin
besar perlindungan alami dalam kulit. Namun, mekanisme perlindungan alami ini
dapat ditembus oleh tingkat radiasi sinar UV yang tinggi, sehingga kulit tetap
membutuhkan perlindungan tambahan (Lestari, 2011).
2.2 Sinar Ultra Violet (UV)
Sinar ultraviolet (UV) adalah sinar yang dipancarkan oleh matahari yang
dapat mencapai permukaan bumi selain cahaya tampak dan sinar inframerah.
Sinar UV berada pada kisaran panjang gelombang 200-400 nm. Spektrum UV
terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan panjang gelombang UV C (200-290),
UV B (290-320) dan UV A (320-400). UV A terbagi lagi menjadi dua sub-bagian
yaitu UV A2 (320-340) dan UV A1 (340-400). Tidak semua radiasi sinar UV dari
matahari dapat mencapai permukaan bumi. Sinar UV C yang memiliki energi
terbesar yang tidak dapat mencapai permukaan bumi karena mengalami
penyerapan di lapisan ozon (COLIPA, 2006).
Energi dari radiasi sinar ultraviolet yang mencapai permukaan bumi dapat
memberikan tanda dan simptom terbakarnya atau kerusakan kulit kulit (Stiefel
and Schwack, 2015). UV B yang memiliki panjang gelombang 290-320 nm lebih
efektif dalam menyebabkan kerusakan kulit dibandingkan dengan UV A yang
memiliki panjang gelombang yang lebih panjang 320-400 nm (McKinlay &
Diffey, 1987).
Kerusakan kulit yang diakibatkan oleh sinar UV dapat memicu rentetan jalur
sinyal respons serta kerusakan DNA, selain itu paparan sinar UV dapat pula
menghalangi perbaikan DNA dan apoptosis (kematian sel). Sinar UV juga
menginduksi tekanan genotoksik dan UVA merupakan etiologi dari peneyebab
foto dermatosis. Dan salah satu penyebab alergi (Zimmer et al., 2015).Paparan
terhadap UV mempengaruhi sel pengatur dan dendritik pada kulit sehingga
menyebabkan kemokin dan sitokin dilepaskan dari kulit (Kim et al, 2016). Oleh
karena hal tersebut, tabir surya sangatlah penting untuk digunakan, tentunya tabir
surya kombinasi penghalang UV A dan UV B. Namun dewasa ini menurut salah
satu penelitian dan menurut skema perlindungan yang komprehensif sediaan
8
harusnya tidak hanya melindungi terhadap UV A dan UV B saja, tetapi juga
energi inframerah yang terlihat dan dekat (Lohan et al, 2016).
2.3 Tabir Surya
Menurut Soerati (1993), tabir surya didefinisikan sebagai senyawa yang
secara fisik atau kimia dapat digunakan untuk menyerap sinar matahari secara
efektif terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah gangguan
pada kulit akibat panparan langsung sinar UV. Besarnya radiasi yang mengenai
kulit bergantung pada jarak suatu tempat dengan khatulistiwa, kelembaban udara,
musim, ketinggian tempat, dan jam waktu setempat (Oroh & Harun, 2001;
Taufikkurohmah, 2005).
Secara alami, kulit berusaha melindungi dirinya beserta organ di bawahnya
dari bahaya sinar UV, yaitu dengan membentuk butir-butir pigmen (melanin) yang
akan memantulkan kembali sinar matahari. Jika kulit terpapar sinar matahari,
maka akan timbul dua tipe reaksi melanin, seperti penambahan melanin secara
cepat ke permukaan kulit dan pembentukan tambahan melanin baru. Namun,
apabila terjadi pembentukan tambahan melanin secara berlebihan dan terus-
menerus, maka akan terbentuk noda hitam pada kulit (Trenggono dkk, 2007).
Menurut Wilkinson dan Moore (1982), hal-hal yang diperlukan dalam tabir
surya adalah efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang panjang
gelombang 290-320 nm tanpa menimbulkan gangguan yang akan mengurangi
efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau iritasi, tidak mudah
menguap dan resisten terhadap air dan keringat, memiliki sifat-sifat mudah larut
yang sesuai untuk memberikan formulasi kosmetik yang sesuai, tidak
berbau,dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam, stabil
dalam penggunaan, dan tidak menimbulkan noda pakaian.
Sebagai kosmetik, tabir surya sering digunakan dalam penggunaan harian
pada daerah permukaan tubuh yang luas. Selain itu, tabir surya juga dapat
digunakan pada bagian kulit yang telah rusak karena matahari. Tabir surya
mungkin juga digunakan pada semua kelompok umur dan kondisi kesehatan yang
bervariasi (Wilkinson & Moore, 1982).
Mekanisme sediaan tabir surya dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok
tabir surya kimia yang bekerja menyerap sinar UV, dan kelompok pemblok fisik
9
(tabir surya yang bekerja secara fisik) (Newmann dkk, 2009). Tabir surya
pemblok fisik bekerja dengan cara memantulkan atau membelokkan radiasi UV.
Tabir surya fisik mengandung partikel mineral inert, misalnya titanium dioksida
(TiO2), seng oksida (ZnO), talk (magnesium silikat), magnesium oksida, kaolin,
fero atau ferioksida, barium sulfat, silika, mika, dan red petrolatum (Levy, 2007).
Tabir surya kimiawi (chemical blocker/active sunscreen/organic sunscreen)
adalah penyaring radiasi UV secara parsial/total, yang bila diaplikasikan di
permukaan kulit tampak tipis dan tidak terlihat, umumnya tidak berwarna,
sehingga dari segi estetik lebih dapat diterima (Lademann & Darvin, 2008). Tabir
surya kimiawi biasanya merupakan komponen aromatik yang berkonjugasi
dengan kelompok karbonil. Struktur ini menyebabkan molekul mampu
mengabsorbsi radiasi UV energi tinggi dan mengubahnya menjadi energi rendah
sehingga tidak menyebabkan kerusakan kulit (Rai & Srinivas, 2007).
Perlu diperhatikan, tabir surya bisa dijamin keamanan dan keefektifannya.
Namun yang perlu diketahui ketersediaan tabir surya dibeberapa negara mulai
dibatasi oleh aturan, hal ini dikarenakan produk yang mengandung SPF atau tabir
surya diregulasi sebagai bagian dari obat-obatan. Sehingga hal ini membuatnya
menjadi prioritas tertinggi (Cefali et al, 2016). Selain itu penyerapan merupakan
mekanisme utama untuk menghilangkan filter UV dari formula tabir surya (Li et
al, 2016).
Untuk SPF 15%, yang masih dapat masuk ke kulit adalah 6%. Sementara
SPF 30%, yang bisa masuk ke dalam kulit hanya 3%. Berdasarkan hal ini
memungkinkan tabir surya yang memiliki nilai SPF 15 mampu masuk kedalam
kulit 2x lebih besar dari SPF 30. Adapun yang perlu diperhatikan ialah
penyalahgunaan penggunaan tabir surya seperti penggunaan berlebihan dan terus
menerus akan mampu meningkatkan resiko yang lebih berbahaya seperti kanker
kulit (Autier, 2012). Studi kasus dari Swedia Selatan pada individu yang
menggunakan tabir surya, risiko melanoma ganas tidak mengalami pengurangan
(Ghiasvand et al., 2016).
10
2.4 Kencur
2.4.1 Sejarah dan Klasifikasinya
Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak
tumbuh diberbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara.
Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai
bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan
tanaman kencur sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan dalam jumlah yang
besar. Bagian dari tanaman kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang
tinggal didalam tanah yang disebut dengan rimpang kencur atau rizoma
(Soeprapto, 1986).
Gambar 2.2 Rimpang Kencur (Rahayu, 2002)
Klasifikasi Kaempferia galanga L di dalam dunia botani adalah sebagai
berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermaiophyta
Sob Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Subfamili : Zingiberoideae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga
11
Daun kencur berbentuk bulat lebar, tumbuh mendatar diatas permukaan
tanah dengan jumlah daun tiga sampai empat helai. Permukaan daun sebelah atas
berwarna hijau sedangkan sebelah bawah berwarna hijau pucat. Panjang daun
berukuran 10–12 cm dengan lebar 8–10 cm mempunyai sirip daun yang tipis dari
pangkal daun tanpa tulang tulang induk daun yang nyata (Backer, 1986).
Rimpang kencur terdapat didalam tanah bergerombol dan bercabang cabang
dengan induk rimpang ditengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam putih
berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih
kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua
ditumbuhi akar pada ruas ruas rimpang berwarna putih kekuningan (Backer,
1986).
Bunga kencur berwarna putih, berbau harum, dan terdiri dari empat helai
daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil sepanjang 2–3 cm, tidak bercabang,
dapat tumbuh lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7 cm, berbentuk bulat
dan beruas ruas. Putik menonjol keatas berukuran 1–1,5 cm, tangkai sari berbentk
corong pendek (Backer, 1986).
2.4.2 Kandungan Kencur
Kandungan kimia rimpang kencur menurut Afriastini (1990), yaitu (1) etil
sinamat, (2) etil p-metoksisinamat, (3) p-metoksistiren, (4) karen (5) borneol, dan
(6) paraffin.
Gambar 2.3: Kandungan Kimia Kencur
Keterangan: (1) etil sinamat, (2) etil p-metoksisinamat, (3) p-metoksistiren, (4)
karen (5) borneol, dan (6) paraffin (Atriastini, 1990)
12
Diantara kandungan kimia ini, etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan
komponen utama dari kencur (Afriastini, 1990). Tanaman kencur mempunyai
kandungan kimia antara lain minyak atsiri 2,4-2,9% yang terjadi atas EPMS
(30%). Kamfer, borneol, sineol, penta dekana. Adanya kandungan EPMS dalam
kencur yang merupakan senyawa turunan sinamat (Inayatullah, 1997; Jani, 1993).
Kandungan EPMS didalam rimpang kencur menjadi bagian yang penting didalam
industri kosmetik karena bermanfaat sebagai bahan pemutih dan juga anti eging
atau penuaan jaringan kulit (Rosita, 2007).
Gambar 2.4: Komposisi Persen Kandungan Minyak Esensial Kencur
(Kaempfresia galangal L.) (Sutthanont et al., 2010)
2.4.4 Senyawa Etil p-metoksisinamat (EPMS)
Penelitian telah membuktikan kebenaran pengalaman nenek moyang kita
bahwa dalam tanaman kencur memang mengandung senyawa tabir surya yaitu etil
p-metoksisinamat (EPMS). EPMS adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang
13
kencur yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit
dari paparan sinar matahari. Senyawa tabir surya terutama yang berasal dari alam
dirasa sangat penting saat ini dimana tidak hanya wanita saja yang memerlukan
perlindungan kulit tersebut, akan tetapi pria pun memerlukan tabir surya untuk
melindungi kulit agar tidak coklat atau hitam karena paparan sinar matahari. Kulit
dengan perlindungan akan tampak lebih baik, misal dalam hal warna yaitu terlihat
lebih bersih dan putih (Barus, 2009).
EPMS termasuk turunan asam sinamat, dimana asam sinamat adalah
turunan senyawa phenil propanoat. Senyawa-senyawa yang termasuk turunan
sinamat adalah para hidroksisinamat (7), 3,4-dihidroksisinamat (8), dan 3,4,5
trimetoksisinamat (9):
Gambar 2.5: Senyawa-senyawa Turunan Sinamat
Keterangan: (1) para hidroksi sinamat (7), (2) 3,4-dihidroksisinamat (8),
dan (3) 3,4,5 trimetoksisinamat (9) (Barus, 2009)
EPMS termasuk kedalam senyawa ester yang mengandung cincin benzene
dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat
etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan
pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat,
metanol, air dan heksana (Taufikhurohmah, 2005).
Kadar EPMS dalam simplisia dapat mencapai 2,5% (Dyatmiko et al., 1995).
Mekanisme kerja pengeblok kimia terbagi menjadi dua yaitu; untuk anti UV A
contohnya: benzofenon, turunan antranilat, dan sebagai anti UV B contohnya:
turunan amino benzoat, turunan kamfor, salisilat, dan turunan sinamat, misalnya
14
etil p-metoksisinamat, 2-etoksi etil p-metoksisinamat, 2-etilheksil p-
metoksisinamat (Martindale, 1989) dan diketahui titik leleh EPMS berkisar antara
46,5-47,5°C (Taufiqurohmah, 2005).
2.5 Titanium Dioksida
Titanium dioksida mempunyai efek yang sama dan memiliki kegunaan yang
sama dengan seng oksida. Titanium dioksida dapat memantulkan cahaya
ultraviolet dan digunakan sebagai tabir surya fisik, titanium dioksida juga
merupakan bahan dari beberapa kosmetik yang digunakan sebagai pigmentasi.
Titanium dioksida mampu memberikan nilai SPF (Sun Protection Factor) yang
tinggi meskipun tanpa kombinasi dengan agen tabir surya lainnya. Selain itu,
penggunaan TiO2 sebagai agen tabir surya bekerja pada spektrum yang luas,
sehingga mampu menyerap sinar UV A dan sinar UV B (Hexsel et al., 2008).
Konsentrasi TiO2 yang biasa digunakan dalam sediaan krim tabir surya berada
pada rentang 1,75-2,32% (Oh et al., 2010).
Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa, delapan suspensi TiO2 yang
memiliki ukuran nano yang berbeda dan teridi dari lima konsentrasi yang berbeda
pula diuji bersamaan dengan parameter kualitas air pada (pH, suhu dan kekuatan
ion), sumber cahaya dan intensitas cahaya, kondisi lingkungan yang berbeda.
Hasilnya menunjukkan partikel nano-TiO2, baik ketika ada atau tidaknya adanya
sumber cahaya, hal ini dikarenakan peroksidasi lipid yang diinduksi secara foto
aktif, dan disrupsi respirasi seluler (Erdem et al., 2015).
2.5.1 Kelebihan Titanium Dioksida
Titanium dioksida (TiO2) merupakan logam transisi yang termasuk
golongan IV pada tabel periodik, disebut juga titanium anhidra, anhidrida asam
titanium, titanium oksida, atau titania yang biasanya tersedia dalam serbuk putih.
Kelebihan tersebut diantaranya (Tarr, 2003):
a) Memiliki aktifitas fotokatalis yang lebih tinggi dibandingkan dengan
fotokatalis lain, seperti: ZnO, CdS, WO2, dan SnO2.
b) Mampu menyerap sinar ultraviolet dengan baik.
c) Memiliki kestabilan kimia dalam interval pH yang besar (0 sampai 14).
d) Tahan terhadap fotodegradasi.
15
e) Bersifat inert dan tidak larut dalam reaksi baik secara biologis maupun
kimia.
f) Tidak beracun.
g) Memiliki kemampuan oksidasi yang tinggi.
h) Relatif murah.
2.5.2 Aplikasi Titanium Dioksida
TiO2 merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan karena
kecerahan dan indeks biasnya sangat tinggi (n = 2,4), biasanya ditemukan dalam
bentuk bubuk sebagai produk seperti cat, pelapis, kertas, tinta, makanan, obat-
obatan (pil dan tablet), serta pasta gigi; sebagai pigmen untuk memutihkan susu
skim (Phillips and Barbano, 1997); sebagai tabir surya dan penyerap UV dalam
kosmetik; sebagai fotokatalis karena memiliki sifat fotokatalitik (Fujishima et al.,
2005).
2.6 VCO
Selama sekitar 3960 tahun yang lalu, dari 4000 tahun sejak adanya catatan
sejarah, telah diketahui penggunaan buah kelapa sebagai bahan makanan dan
kesehatan. Selama itu, dicatat bahwa buah kelapa memang sangat bermanfaat,
tanpa efek samping. Pohon kelapa dipandang sebagai sumber daya berkelanjutan
yang memberikan hasil panen yang berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan
masyarakat di daerah tropis. Dan yang penting adalah buahnya, daging kelapa, air
kelapa, santan, dan minyaknya (Darmoyuwono, 2006).
Belakangan ini, pemanfaatan daging buah kelapa menjadi lebih variatif.
Virgin coconut oil (VCO) merupakan bentuk olahan daging kelapa yang baru-baru
ini banyak diproduksi orang. Di beberapa daerah, VCO lebih terkenal dengan
nama minyak perawan, minyak sara, atau minyak kelapa murni (Setiaji dan
Prayugo, 2006).
VCO merupakan hasil olahan kelapa yang bebas dari transfatty acid (TFA)
atau asam lemak trans. Asam lemak trans ini dapat terjadi akibat proses
hidrogenasi. Agar tidak mengalami proses hidrogenasi, maka ekstraksi VCO ini
dilakukan dengan proses dingin. Misalnya, secara fermentasi, pancingan,
16
sentrifugasi, pemanasan terkendali, pengeringan parutan kelapa secara cepat dan
lain-lain (Darmoyuwono, 2006).
Menurut Darmoyuwono (2006), minyak kelapa murni memiliki sifat kimia-
fisika antara lain :
Tabel II.1 Sifat Fisika Kimia VCO
1 Penampakan tidak berwarna, kristal seperti jarum
2 Aroma ada sedikit berbau asam ditambah bau
caramel
3 Kelarutan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
alcohol (1:1)
4 Berat jenis 0,883 pada suhu 20°C
5 Ph tidak terukur, karena tidak larut dalam air.
Namun karena termasuk dalam senyawa
asam maka dipastikan memiliki pH di
bawah 7
6 Persentase penguapan tidak menguap pada suhu 21°C (0%)
7 Titik cair 20-25°C
8 Titik didih 225°C
9 Kerapatan udara (Udara
= 1)
6,91
10 Tekanan uap (mmHg) 1 pada suhu 121°C
2.6.1 Kandungan VCO
Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni mengandung asam lemak
rantai sedang yang mudah dicerna dan dioksidasi oleh tubuh sehingga mencegah
penimbunan di dalam tubuh. Di samping itu ternyata kandungan antioksidan di
dalam VCO pun sangat tinggi seperti tokoferol dan betakaroten. Antioksidan ini
berfungsi untuk mencegah penuaan dini dan menjaga vitalitas tubuh (Setiaji dan
Prayugo, 2006). Komponen utama VCO adalah asam lemak jenuh sekitar 90%
dan asam lemak tak jenuh sekitar 10%. Asam lemak jenuh VCO didominasi oleh
asam laurat. VCO mengandung ± 53% asam laurat dan sekitar 7% asam kaprilat.
Keduanya merupakan asam lemak rantai sedang yang biasa disebut Medium
Chain Fatty Acid (MCFA). Sedangkan VCO mengandung 92% lemak jenuh, 6%
lemak mono tidak jenuh dan 2% lemak poli tidak jenuh (Wardani, 2007).
17
Gambar 2.6: Komposisi Asam Lemak VCO
2.7 Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa bedasarkan perbedaan
distribusi zat terlarut di antara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya
zat terlarut yang di ekstraksi bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu
pelarut tetapi mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat
ditentukan oleh tekstur kandungan air bahan-bahan yang akan di ekstrak dan
senyawa-senyawa yang akan diisolasi (Harbone, 1996). Senyawa yang aktif yang
terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Sturuktur kimia yang berbeda-beda akan
mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap
pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).
2.7.1 Macam-macam Metode Ekstraksi (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986)
a. Ekstraksi secara soxhletasi
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap
penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh
pendingin tegak. Cairan penyari akan turun untuk menyari zat aktif
18
dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka
seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi.
Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia
tersaring seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada
tabung sifon (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
b. Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian
cairan penyari dan kemudian dimasukkan dalam bejana tertutup
sekurang-kurangnya 3 jam. Masa dipindahkan sedikit demi sedikit ke
dalam percolator dan ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup
dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml
permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke
dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung
dari cahaya (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
c. Ekstraksi secara maserasi
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia
dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari
cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya
dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah
pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup,
dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu
endapan dipisahkan (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
d. Ekstraksi secara refluks
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan
penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin
tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap,
uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali
menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya.
19
Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama
4 jam (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
e. Ekstraksi secara penyulingan
Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang
mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi
pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi
kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari
dilakukan dengan penyulingan (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
2.7.2 Proses Pembuatan Ekstrak
1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya.
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan
tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi
mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut (Depkes RI, 2000):
a. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun
makin halus serbuk maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk
tahapan filtrasi (Depkes RI, 2000).
b. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan
interaksi dengan benda keras (logam), maka akan timbul panas yang dapat
berpengaruh pada kandungan senyawa. Namun hal ini dapat dikompensasi
dengan penggunaan nitrogen cair (Depkes RI, 2000).
2. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya sebagian besar senyawa kandungan
yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang
melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI,
2000).
Dalam ekstraksi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah kepolaran,
antara lain pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus memiliki
kepolaran yang sama atau mendekati sama (Taufikhurohmah, 2005).
20
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari/pelarut
adalah sebagai berikut:
a. Selektivitas/kepolaran
b. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
c. Ekonomis
d. Ramah Lingkungan
e. Keamanan.
3. Separasi dan pemurnian
Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang
tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan
senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni.
Proses–proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak
tercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan penukar ion
(Depkes RI, 2000).
4. Pemekatan/Penguapan (Vaporasi dan Evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)
secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya
menjadi kental/pekat (Depkes RI, 2000).
5. Pengeringan Ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga
menghasilkan serbuk. Masa kering rapuh, tergantung proses dan perlalatan
yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak yaitu dengan cara
(Depkes RI, 2000):
a. Pengeringan evaporasi
b. Pengeringan vaporasi
c. Pengeringan sublimasi
d. Pengeringan konveksi
e. Pengeringan kontak
f. Pengeringan radiasi
g. Pengeringan dielektrik.
6. Rendemen
21
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simlisia awal.
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =berat ekstrak
berat sampel kering 𝑥 100 %
2.7.3 Proses Pembuatan Ekstrak Kencur dan Isolasi Senyawa EPMS
Pembuatan ekstrak kencur dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
dan pelarut. Berdesarkan beberapa penelitian, beberapa metode yang sering
digunakan yaitu: metode maserasi (dengan pelarut etanol 96% dan n-heksana),
dan metode perkolasi (dengan pelarut etanol 96% dan petroleum eter).
1. Pembuatan Ekstrak Kencur dengan Cara Maserasi
a. Pelarut Etanol 96%
Lima kilogram rimpang kencur dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan
lalu diiris-iris tipis agar mudah kering dengan pengeringan sinar matahari tidak
langsung atau diangin-anginkan. Setelah kering didapatkan 900 g simplisia
selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk dan direndam menggunakan pelarut etanol
96 % selama 24 jam. Filtrat ditampung dan residu direndam lagi sampai 3 kali
atau sampai diperoleh filtrat yang berwarna kuning pucat. Filtrat selanjutnya
dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator. Filtrat pekat selanjutnya
didinginkan dengan penangas es hingga terbentuk kristal. Kristal yang diperoleh
selanjutnya dicuci dengan etanol dan direkristalisasi dengan metanol hingga
didapat kristal jarum yang tidak berwarna (Taufikkurahman, 2005).
b. Pelarut N-heksan
Kencur dicuci sampai bersih dipotong tipis-tipis lalu dikeringkan dibawah
sinar matahari secara tidak langsung. Serbuk kencur digiling atau dihaluskan
didalam blender, kemudian ditimbang 200 gram serbuk kencur lalu dimasukkan
ke dalam wadah dan direndam serbuk kencur dengan n-heksana sampai terendam
1 cm di atas serbuk kencur yang ada didalam wadah, didiamkan selama 3 hari dan
dimaserasi dengan suhu 60°C. Larutan ekstrak kencur dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, disimpan dalam lemari es hingga terbentuk kristal. Kristal disaring
dan dikeringkan, kemudian ditimbang dan diuji titik lelehnya (Restuti, 2005).
2. Pembuatan Ekstrak Kerncur dengan Cara Perkolasi
a. Pelarut Etanol 96%
22
Rimpang kencur yang sudah dipanen kemudian di sortasi basah yang
bertujuan untuk memisahkan rimpang kencur dengan tanaman lain yang ikut
terbawa saat pemanenan. Kemudian tahap selanjutnya adalah pencucian.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada rimpang
kencur. Jenis kotoran yang dihilangkan adalah sisa tanah yang melekat pada
rimpang kencur. Setelah selesai, rimpang kencur dikeringanginkan agar
mengurangi kadar air setelah pencucian (Caesaria et al., 2009).
Rimpang kencur yang telah dikeringanginkan kemudian dikecilkan
ukurannya dengan cara dipotong dengan ketebalan 3-4 mm. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah proses selanjutnya yaitu proses pengeringan. Pengecilan
ukuran suatu simplisia tergantung dengan senyawa target yang akan diambil.
Apabila senyawa target yang akan diambil bersifat volatile (mudah menguap)
maka jangan mengecilkan ukuran simplisia terlalu kecil, karena akan
mempercepat pengeringan sehingga dikhawatirkan zat aktif yang bersifat volatile
tersebut akan hilang. Kemudian dilakukan pengeringan dengan cara dijemur di
bawah sinar matahari langsung sampai kering. Lalu diserbukkan dengan cara
diblender. Serbuk hasil blender kemudian diayak dengan derajat halus serbuk
20/60 atau serbuk agak kasar. Setelah itu dilakukan ekstraksi (Caesaria et al.,
2009).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstraksi
dilakukan dengan cara perkolasi. Sebelum proses perkolasi, serbuk simplisia
dimaserasi terlebih dahulu, karena bila sebuk simplisia langsung dialiri dengan
cairan penyari maka cairan penyari tidak akan menembus ke seluruh sel dengan
sempurna. Hal ini disebabkan karena tidak seluruh sel mengembang. Setelah
massa didiamkan 24 jam di dalam perkolator, keran dibuka. Keran diatur sehingga
kecepatan menetes 1 ml tiap menit. Jika penetesan terlalu cepat, penyarian tidak
sempurna, sebaliknya jika terlalu lambat akan membuang waktu dan
kemungkinan menguap lebih besar (Caesaria et al., 2009).
Kristal yang telah didapatkan, kemudian dilarutkan kembali dengan etanol
96% dan didesak dengan air sehingga akan terjadi pengendapan. Endapan yang
dihasilkan diambil yang kemudian digunakan untuk proses selanjutnya. Kemudian
23
dilakukan rekristalisasi. Fungsi dari rekristalisasi adalah memisahkan kristal dari
senyawa target dengan zat ballast yang ikut terekstraksi sehingga memaksimalkan
kemurnian senyawa aktif yang diinginkan (Caesaria et al., 2009).
b. Petroleum Eter
Sebanyak 2 kg rimpang kencur dicuci dengan air agar kencur bersih dari
kotoran yang menempel, kemudian rimpang kencur dipotong kecil-kecil
dikeringkan di dalam oven pada suhu 40°C selama 2,5 jam agar kandungan air di
dalam rimpang kencur tersebut berkurang. Diambil suhu 40°C, untuk menjaga
produk etil p-metoksisinamat tidak rusak. Setelah itu rimpang kencur diblender
sampai menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 50 mesh. Kemudian didapatkan
simplisia kencur lalu diuji karakteristik simplisia kencur seperti kadar air dan
kadar abu (Herman dan Rusli, 2011).
Sebanyak 100 gram serbuk kencur dimasukkan dalam alat perkolator dan
dimaserasi dengan pelarut petroleum eter sambil diaduk selama 3 jam, 5 jam, dan
24 jam, waktu disini merupakan variabel bebas. Ekstrak yang terbentuk diuapkan
dalam rotary evaporator kemudian didinginkan hingga terbentuk kristal dan
dimurnikan dengan cara direkristalisasi menggunakan pelarut kloroform untuk
menghilangkan pengotor yang masih tertinggal. Kemudian dipanaskan hingga
terbentuk kristal putih (Nugraha et al., 2012).
2.8 Krim
2.8.1 Definisi Krim
Menurut Farmakope Indonesia III definisi krim adalah sediaan setengah
padat berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan
untuk pemakaian luar (Depkes RI, 1970). Sedangkan, menurut Farmakope
Indonesia edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu
atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai
(Depkes RI, 1995). Sedangkan menurut Formularium Nasional, krim adalah
sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari
60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar (Depkes RI, 1978).
Rheologi merupakan studi atau ilmu mengenai aliran yang membahas
karakteristik viskositas dari serbuk, fluida, dan semipadat. Rheologi dibagi
menjadi dua kategori jenis, yaitu newtonian dan non-newtonian, tergantung pada
24
jenis karakteristik aliran. Aliran Newtonian ditandai dengan viskositas konstan,
berapapun gaya geser, sedangkan aliran non-Newton ditandai oleh perubahan
karakteristik viskositas dengan meningkatnya gaya geser. Aliran non-Newton
sendiri meliputi: aliran plastik, pseudoplastik, dan dilatant. Beberapa sediaan yang
termasuk dalam aliran non-Newtonian adalah larutan koloid, emulsi, suspensi
cair, krim, salep, dan lain-lain (Ansel, 2005).
Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa persyaratan berikut:
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
b. Lunak. Semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk yang
dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
c. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar
krim padat atau cair pada penggunaan (Widodo, 2013).
2.8.2 Keuntungan dan Tipe Krim
Keuntungan sediaan krim ialah kemampuan penyebarannya yang baik pada
kulit, memberikan efek dingin karena lambatnya penguapan air pada kulit,
memberikan efek dingin karena lambatnya penguapan air pada kulit, mudah
dicuci dengan air, serta pelepasan obat yang baik. Selain itu tidak terjadi
penyumbatan dikulit dan krimnya tampak putih dan bersifat lembut kecuali krim
asam stearat (Voight, 1994).
Krim digolongkan menjadi dua tipe, yakni:
1. Tipe a/m, yakni air terdispersi dalam minyak. Contohnya cold cream.
Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk memberi
rasa dingin dan nyaman pada kulit (Voight, 1994).
2. Tipe m/a, yakni minyak terdispersi dalam air. Contohnya, vanishing
cream. Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk
membersihkan, melembabkan dan sebagai alas bedak (Lachman dkk,
1994).
Krim merupakan sistem emulsi sediaan semipadat dengan penampilan tidak
jernih, berbeda dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifatnya
25
tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak
dalam air (Lachman dkk, 1994).
Dasar salep emulsi, ada dua macam yaitu:
1. Dasar salep emulsi tipe a/m seperti lanolin dan cold cream.
2. Dasar salep emulsi tipe m/a seperti vanishing cream dan hydrophilic
ointment (Anief, 1994).
2.9 Vanishing Cream
Vanishing cream adalah suatu sediaan setengah padat, berupa tipe emulsi
mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Krim akan rusak jika terganggu sistem campurannya yang dapat disebabkan
perubahan suhu dan perubahan salah satu fase secara berlebihan. Karena waktu
krim ini digunakan dan digosokkan pada kulit, hanya sedikit atau tidak terlihat.
Hilangnya krim ini dari kulit dipermudah oleh emulsi minyak dalam air yang
terkandung didalamnya (Ikhsanudin, 2012).
2.10 Emulgator (Emulsifying Agent)
Emulsifiying agent atau yang sering disebut emulgator merupakan bahan
yang digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara dua fasa yang
dalam keadaan normal tidak saling bercampur, sehingga keduanya dapat
teremulsi. Secara struktural, emulgator adalah molekul amfifilik, yaitu memiliki
gugus hidrofilik maupun lipofilik atau gugus yang suka air dan suka lemak dalam
satu molekul (Nasution dkk, 2004).
Menurut Ansel (2011), bahan yang umum dan sering digunakan dalam
aplikasi kefarmasian sebagai emulgator adalah sebagai berikut:
1. Bahan mengandung karbohidrat alami.
Bahan-bahan berikut umumnya menghasilkan emulsi tipe m/a. Contoh: akasia,
tragakan, agar dan pectin (Ansel, 2011).
2. Bahan mengandung protein.
Bahan-bahan berikut menghasilkan emulsi m/a. Contoh: gelatin, kuning telur,
dan kasein (Ansel, 2011).
3. Bahan mengandung alkohol bermolekul tinggi.
26
Bahan ini bekerja terutama sebagai agen penebalan dan stabilisator untuk
emulsi tipe m/a dari lotion atau salep tertentu yang digunakan secara eksternal.
Bahan mengandung kolesterol dan turunannya dapat bekerja sebagai
pengemulsi eksternal tipe a/m. Contoh: stearil alkohol, setil alkohol, dan
gliseril monostearat (Ansel, 2011).
4. Agen pembasah (wetting agent) anionik, kationik, nonionik.
Sifat ion surfaktan adalah pertimbangan utama dalam pemilihan agen
pembasah. Surfaktan nonionik yang efektif berada pada rentang pH 3-10,
surfaktan kationik berada pada rentang pH 3-7, sedangkan surfaktan anionik
efektif berada pada rentang pH >8 (Ansel, 2011).
a. Agen pembasah anionik
Bahan ini mempunyai ujung hidrofilik dan lipofilik dengan protein
lipofilik yang dihitung sebagai aktifitas permukaan molekul. Pada agen
anionik, sebagian permukaan lipofiliknya bermuatan negative. Contoh:
sabun monovalen, polivalen dan organik (seperti: trietanolamina (TEA),
oleat, dan sulfonat).
b. Agen pembasah kationik
Bahan ini permukaan lipofiliknya bermuatan positif. Karena itu
kombinasi antara agen anionik dan kationik tidak dianjurkan karena
dapat menetralisir sifat antara keduanya. Contoh: benzalkonium klorida.
c. Agen pembasah nonionik
Pada agen nonionik tidak memiliki kecenderungan untuk mengionisasi.
Tergantung pada sifat masing-masing tipe emulsi m/a ataupun a/.
Contoh: tween, span, ester sorbitan, polioksietilen dan turunannya.
5. Bahan mengandung padatan halus atau koloid
Bahan ini umumnya membentuk emulsi m/a. Ketika larut, bahan
ditambahkan ke fase air jika volume lebih banyak dari fase minyak. Namun jika
bahan ini ditambahkan dalam fase minyak, dapat membentuk emulsi dengan tipe
a/m. Contoh: Bentonit, magnesium klorida, dan aluminium hidroksida (Ansel,
2011).
27
2.10.1 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak dengan cara menurunkan tegangan permukaan antar
fase. Surfaktan dalam jumlah sedikit apabila ditambahkan ke dalam suatu
campuran dua fase yang tidak saling bercampur seperti minyak dan air dapat
mengemulsikan kedua fase tersebut menjadi emulsi yang stabil. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan
rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil. Bagian kepala bersifat hidropilik masuk ke fase hidropil dan
bagian ekor bersifat hidropobik masuk ke fase hidropobik (Jatmika, 1998).
Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan
pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan
pelarut (solubilizing agent). Berdasarkan sifat gugus fungsi yang dimiliki,
surfaktan terbagi menjadi empat golongan, yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatuanion.
Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat
asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatukation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-
dimethilammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, estersukrosa
asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono
alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
28
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muata
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,betain,
fosfobetain.
2.10.2 Jenis Tween dan Span
a. Tween (Rowe et al., 2009)
Tabel II.2: Macam-macam Tween
Polysorbate Rumus molekul Berat molekul
Polysorbate 20 C58H14O26 1128
Polysorbate 21 C26H50O10 523
Polysorbate 40 C62H122O26 1284
Polysorbate 60 C64H26O26 1312
Polysorbate 61 C32H62O10 607
Polysorbate 65 C100H194O28 1845
Polysorbate 80 C64H124O26 1310
Polysorbate 81 C34H64O11 649
Polysorbate 85 C100H188O28 1839
Polysorbate 120 C64H126O26 1312
Tabel II.3: Perbedaan kandungan Tween 20, 40, 60, dan 80
Asam lemak Polysorbate
20
Polysorbate
40
Polysorbate
60
Polysorbate
80
Asam kaproat ≤ 1,0% - -
Asam kaprilat ≤ 10,0% - -
Asam kaprat ≤ 10,0% - -
Asam laurat 40,0-60,0% - -
Asam miristat 14,0-25,0% - - ≤ 5,0%
Asam palmitat 7,0-15,0% ≥ 92,0% + ≤ 16,0%
Asam palmitoleat - - - ≤ 8,0%
Asam stearat ≤7,0% - 40,0-60,0 ≤ 6,0%
Asam oleat ≤11,0% - - 58,0
85,0%
Asam linolenat - - - ≤4,0%
Asam linoleat ≤ 3,0% - - -
29
b. Span (Rowe et al., 2009)
Tabel II.4: Sinonim Span
Nama Sinonim
Sorbitan monoisostearat Anhidrosorbitol
Sorbitan monolaurat Span 20
Sorbitan monooleat Span 80
Sorbitan monopalmitat Span 40
Sorbitan monostearat Span 60
Sorbitan sesquiisostearat Protacem
Sorbitan sesquioleat Sorgen 30
Sorbitan trilaurat Span 25
Sorbitantrioleat Span 85
Sorbitan tristearat Span 65
Tabel II.5: Macam-macam Span
Nama Rumus molekul Berat molekul
Sorbitan diisostearat C42H80O7 697
Sorbitan dioleat C42H76O7 693
Sorbitan monoisostearat C24H46O7 431
Sorbitan monolaurat C18H34O6 346
Sorbitan monooleat C24H44O6 429
Sorbitan monopalmitat C22H42O6 403
Sorbitan monostearat C24H46O6 431
Sorbitan sesquiisostearat C33H63O6,5 564
Sorbitan sesquioleat C33H60O6,5 561
Sorbitan sesquistearat C33H63O6,5 564
Sorbitan triisostearat C60H14O8 964
Sorbitan trioleat C60H108O8 958
Sorbitan tristearat C60H114O8 964
2.11 Formulasi Bahan
Pada penelitian ini menggunakan basis vanishing cream untuk digunakan
dalam formulasi sediaan tabir surya yang mengandung Etil p-metoksisinamat
(EPMS) dari Kaempferia galangal L. dikombinasi dengan Titanium dioxide.
Formula standar cream sebagai berikut :
R/ Asam stearat 150 g
Malam putih 20 g
Vaselin putih 80 g
Trietanolamin 15 g
Propilenglikol 80 g
30
Aquadest 655 g (Martin, 1993 )
Formulasi krim mengandung nipagin dan nipasol (Liony, 2014)
R/ Asam stearat 5 g
Setil alkohol 5 g
Parafin cair 2 g
Olive oil 3 g
Metyl paraben 0,2 g
Propil paraben 0,02 g
Trietanolamin 0,7 g
Gliserin 2 g
Monostearat 8 g
BHT qs
Formulasi krim mengandung EPMS (Wardiyah, 2015)
R/ Kristal EPMS 1%
Setil alkohol 3%
Isopropil miristat 3%
Asam stearat 5%
Minyak zaitun 1%
Propilenglikol 15%
Metil paraben 0,2%
Propil paraben 0,1%
Trietanolamin 0,2%
Vitamin E 0,1%
Alkohol 96% 5%
Aqua destilata ad 100%
Formulasi krim mengandung VCO (Mu’awanah dkk, 2014)
R/ Gliserol 6 g
Asam Stearat 20 g
Setil alkohol 2 g
Lanolin 2 g
KOH 50% 1,4 g
VCO 2-50 g (2, 8, 14, 20,26, 32, 38, 44, 50 g)
31
Aquades 161 g
2.11.1 Komposisi Penyusun
1. VCO (Minyak Kelapa) (Darmoyuwono, 2006)
Sinonim : Virgin coconut oil, minyak perawan, minyak sara
(Setiadji dan Prayugo, 2006)
Berat jenis : 0,883 pada suhu 20⁰C
Pemerian : Tidak berwarna, jernih, bebas endapan, memiliki aroma
seperti kelapa, serta tidak memiliki bau tengik dan rasa
yang masam
Kelarutan : Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alcohol (1:1)
Titik cair : 20-25⁰C
Titik didih : 225⁰C
2. Malam putih (Cera Alba) (Rowe et al., 2009)
Sinonim : White beeswax
Pemerian : Tidak berasa, serpihan putih dan seikit tembus
Kelarutan : Larut dalam kloroform, eter, minyak menguap: sedikit
larut dalam etanol (95%); praktis tidak larut dalam air
Suhu lebur : 61°C – 65°C
Inkompabilitas : Dengan bahan pengoksidasi
Penggunaan : Bahan penstabil emulsi, bahan pengeras, bahan
pembentuk basis (10-30%) pada sediaan krim dan
ointments digunakan untuk meningkatkan konsistensi
dan menstabilkan emulsi air dalam minyak.
3. Vaselin putih (Vaseline Album) (Rowe et al., 2009)
Sinonim : White petrolatum; white petrolatum jelly
Pemerian : Berwarna putih, tembus cahaya, tidak berbau dan tidak
berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol, gliserin dan air,
larut dalam benzene, kloroform, eter, heksan dan minyak
menguap.
Penggunaan : Emolien krim, topikal emulsi, topikal ointments dengan
konsentrasi antara 10-30%
32
4. Nipagin (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Asam 4-hidroksibrnzoat metal ester, metal p-
hidroksibenzoat, metal parahidroksibenzoat, metal
paraben.
Rumus molekul : C8H8O3
Struktur kimia :
Berat molekul : 153,15
Pemerian : Kristal tidak berwarna atau kristal serbuk putih, tidak
berbau atau hampir tidak berbau dan sedikit rasa
membakar.
Kelarutan : Pada suhu 25°C larut dalam 2 bagian etanol, 3 bagian
etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 200 bagian etanol
(10%), 10 bagian eter, 60 bagian gliserin, 2 bagian
methanol, praktis tidak larut dalam minyak mineral, larut
dalam 200 bagian minyak kacang, 5 bagian propilen
glikol, 400 bagian air (25°C), 50 bagian air (50°C) dan
30 bagian air (80°C).
Penggunaan : Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan kosmetik,
sendiri atau kombinasi dengan paraben atau pengawet
yang lain. Efektifitas sebagai pengawet yang lain.
Efektifitas sebagai pengawet dapat ditingkatkan dengan
penambahan 2-5% propilen glikol, feniletilen alkohol
atau EDTA. Efek sinergis sebagai pengawet terjadi pada
penggunaan metilparaben dengan paraben lain. kadar
metilparaben untuk sediaan topikal 0,02-0,3%.
Stabilitas : Larutan pada pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang dari
10%) selama 4 tahun penyimpanan pada suhu ruang.
Larutan pH 8 atau lebih mengalami hidrolisis
33
(dekomposisi terjadi lebih dari 10%) setelah
penyimpanan selama 60 hari pada suhu ruang.
Inkompatibiltas :Aktivitas antimikroba berkurang dengan
kehadiransurfaktan nonionic seperti polisorbat 80 karena
miselisasi. Penambahan 10% propilen glikol
menunjukkan efek potensiasi dan mencegahinteraksi
antara paraben dengan polisorbat 80. Inkompatibel
dengan bentonit, magnesium trisiklat talk, tragakan,
sodium alginate, minyak esensial, sorbitol dan atropin;
diabsorpsi oleh plastic tergantung pada jenis plastic dan
pembawa yangdigunakan, botol polietilen tidak
mengabsorpsi metilparaben; mengalami perubahan
warna akibat hidrolisis dengan adanya besi, alkali lemah
atau asam kuat.
5. Nipasol (Rowe et al., 2009)
Sinonim : 4-hydroxybenzoic acid propyl ester; propagin; Propyl
paraben; propyl p-hydroxybenzoate.
Rumus molekul : C10H12O3
Struktur kimia :
Berat molekul : 180,20
Pemerian : Kristal putih, tidak berbau dan tidak berasa.
Kelarutan : Larut dalam aseton, eter, 1,1 bagian etanol 5,6 bagian
etanol (50%), 250 bagian gliserin, 3330 bagian mineral
oil, 70 bagian minyak kacang, 3,9 bagian propilen glikol,
110 bagian propilen glikol (50%), 4350 bagian air
(15°C), 2500 bagian air, 225 bagian air (80%).
Penggunaan : Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan
kosmetik, sendiri atau kombinasi dengan parabenatau
pengawet yang lain. Kadar metilparaben untuk sediaan
topikal sebesar 0,01%-0,6%.
34
Stabilitas : Aktivitas mikroba berkurang dengan kehadiran
surfaktan nonionik seperti polisorbat 80 karena
miselisasi. Inkompaktibel dengan bentonit, magnesium
trisilikat, talk, tragakan, sodium alginate, minyak
essensial, sorbitol dan atropin; diabsorpsi oleh plastik
tergantung pada jenis plastik dan pembawa yang
digunakan, botol polietilen tidak mengabsorpsi
metilparaben; mengalami perubahan warna akibat
hidrolisis dengan adanya besi, alkali lemah atau asam
kuat.
6. Tween 80 (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Polysorbate 80, Cremophor PS 80.
Rumus molekul : C64H126026
Struktur kimia :
Berat molekul : 131.
Pemerian : Cairan seperti minyak berwaran kuning, berbau khas
dan hangat, rasa agak pahit.
Kelarutan : Larut dalan air dan etanol, tidak larut dalam Minyak
mineral dan minyak sayur.
Penggunaan : Emulgator (Pengguaan sendiri dalam m/a)
7. Span 20 (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Sorbitan monolaurate
Rumus molekul : C18H34O6.
Struktur kimia :
Berat molekul : 346.
Pemerian : Cairan kental berwarna kuning, mempunyai baudan
rasa yang khas.
35
Kelarutan : Larut dalan minyak, sebagian besar larut dalam pelarut
organik, tidak larut dalam air tetapi dapat terdispersi.
Penggunaan : Emulgator (Pengguaan sendiri dalam m/a =1-15%,
kombinasi dengan emulagtor lain 1-10%).
8. Propilen glikol (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Methyl ethylene glycol, metyl glycol.
Rumus molekul : C3H802.
Struktur kimia :
Berat molekul : 76,09.
Pemerian : Tidak berwarna, kental, cairan praktis tidak berbau rasa
manis dan sedikit tajam menyerupai gliserin.
Kelarutan : Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin
dan air. Larut dalam 6 bagian eter, tidak larut dalam 6
bagian eter, tidak larut dalam minyak mineral tetapi
dapat melarutkan beberapa minyak.
Penggunaan : Humectan.
9. Paraffinum liquidum
Sinonim : Parafin cair , minyak mineral ( Depkes RI, 1993).
Pemerian : Cairan kental, transaran, tidak berfluoresensi, tidak
berwarna, hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai
rasa (Farmakope edisi III, 1970).
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (96%),
larut dalam kloroform P dan dalam eter P ( Farmakope
edisi III, 1970).
Kegunaan : khasiat dan penggunaan sebagai laksativum (
Farmakope edisi III, 1970). Berfungsi sebagai pelarut
dan penambah viskositas dalam fase minyak (Depkes RI,
1993).
10. Gliserin (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Glycerol, glycerin, croderol
36
Rumus molekul : C3H8O3
Struktur kima :
Berat molekul : 92,09
Pemerian : Tidak berwarna, tidak berbau, viskos, cairan yang
higroskopis, memiliki rasa yang manis, kurang lebih 0,6
kali manisnya dari sukrosa
Kelarutan : Gliserin praktis tidak larut dengan benzene, kloroform,
dan minyak, larut dengan etanol 95%, methanol dan air.
Stabilitas : Pada suhu 20°C. Gliserin sebaiknya ditempat yang
sejuk dan kering.
Penggunaan : Digunakan pada berbagai formulasi sediaan
farmasetika, pada formulasi farmasetika sediaan topikal
dan kosmetik, gliserin utamanya digunakan sebagai
humektan dan pelembut. Rentang gliserin yang
digunakan sebagai humektan sebesar ≤30%.
11. Asam stearat (Rowe et al, 2009)
Sinonim : Acid cetylacetic, Croadacid, E570, Edernol
Rumus Kimia : C18H3602
Struktur kimia :
Berat molekul : 284,47
Pemerian : Kristal padat warna putih atau sedikit kekuningan,
mengkilap, sediki berbau dan berasa seperti lemak.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam benzen, CCL4, kloroform dan
eter, larut dalam etanol (95%), heksan dan propilen
gilkol, praktis tidak larut dalam air.
Suhu lebur : 54
Inkompabilitas : Dengan logam hidroksi, obat naproxen dan bahan
pengoksidasi.
Penggunaan : Bahan pembentuk emulsi.Asam stearate dalam sediaan
topikal digunakan sebagai pembentuk emulsi dengan
37
konsentrasi kadar 1-20%, sebagaian dari asam stearate
dinetralkan dengan alkalis atau TEA untuk memberikan
tekstur krim yang elastis.
12. BHA (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Butylated Hydroxyanisole, BHA, tert-butyl-4-
methoxyphenol, butylhydroxyanisolum, Nipanox BHA,
Nipantiox 1-F, Tenox BHA.
Rumus molekul : C11H1602
Struktur kimia :
Berat molekul : 180,25
Titik lebur : 47°C
Pemerian : Serbuk kristal atau padatan lemah agak berminyak,
putih kekuningan, putih atau hampir putih. Berbau
aromatik yang khas
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam metanol.
Bebas larut dalam ≥ 50% etanol encer, propilen glikol,
kloroform, eter, heksana, minyak biji kapas, glyceryl
monooleat, lemak babi, dan larutan alkali hidroksida
Penggunaan : BHA digunakan sebagai antioksidan dengan beberapa
sifat anti mikroba. Digunakan dalam berbagai kosmetik,
makanan, dan obat-obatan. BHA sering dikombinasi
dengan BHT, alkyl gallate, dan asam sitrat. Pada sediaan
topikal, BHA digunakan sebagai anti oksidan dengan
kadar 0,005-0,02% yang tercantum dalam peraturan
FDA dan USDA.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi dan garam ferri. Paparan
cahaya dan banyaknya jumlah logam menyebabkan
perubahan warna dan hilangnya aktifitas.
13. BHT (Rowe et al., 2009)
38
Sinonim : Butylated Hydroxytoluene, Agidol, BHT, 2,6-bis(1,1
dimethylethyl)-4-methylphenol, 2,6-di-tert-butyl-p-
cresol, Embanox BHT; Impruvol, Nipanox BHT, Tenox
BHT, Topanol, Vianol, butylhydroxytoluenum.
Rumus molekul : C15H240
Struktur kimia :
Berat molekul : 220,35
Titik lebur : 70°C
Pemerian : Serbuk kristal atau padat kuning putih atau pucat
dengan aroma fenolik yang samar.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol,
larutan alkali hidroksida, dan asam mineral encer. Bebas
larut dalam aceton, benzen etanol 95%, eter metanol,
toluen, berbagai minyak dan minyak mineral.
Penggunaan : BHT digunakan sebgai anti oksidan dalam kosmetik,
makanan, dan obat-obatan, dapat digunakan juga sebagai
anti virus. Pada sediaan topikal, BHT digunakan sebagai
anti oksidan dengan kadar 0,0075-0,1%.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat seperti peroksida dan
permanganat dapat menyebabkan pembakaran spontan.
Garam ferri dapat menyebabkan perubahan warna dan
hilangnya aktifitas. Pemanasan dengan katalitik asam
menyebabkan dekomposisi cepat dengen pelepasan gas
isobutena yang mudah terbakar.
14. Na-EDTA (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Edetate sodium, edetic acid tetrasodium salt; EDTA
tetrasodium, N0-
1,2ethanediylbis[N(carboxymethyl)glycine] tetrasodium
salt, ethylenediaminetetraacetic acid tetrasodium salt,
39
(ethylenedinitrilo) tetraacetic acid tetrasodium salt,
Sequestrene NA4, tetracemate tetrasodium, tetracemin,
tetrasodium edetate, Versene.
Rumus molekul : C10H12N2Na4O8
Berat molekul : 380,20
Titik lebur : > 300°C
pH : 11,3 dalam 1% w/v dalam air
Pemerian : Serbuk kristal putih.
Kelarutan : larut dalam air.
Penggunaan : Na EDTA digunakan sebagai Chellating agent dan juga
sebagai pengawet anti mikroba. Pada sediaan topikal, Na
EDTA digunakan sebagai chellating agent dengan kadar
0,01-0,1%.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat, basa kuat, dan logam
polivalen.
15. Cetyl Alkohol (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Alcohol cetylicus; cachalot; crodacol C70; crodacol
C90; heksadekanol; n-hexadecyl alcohol.
Rumus Molekul : C16H34O
Struktur kimia :
BM : 242.44
Pemerian : Bentuk seperti lilin, serpihan putih, kubus, butiran.
Memiliki bau yang khas dan rasa hambar.
Kelarutan : Bebas larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutannya
akan meningkat dengan meningkatnya suhu, praktis tidak
larut dalam air, larut ketika dilelehkan dengan lemak,
parafin padat, dan isopropil miristat
16. Aqua destilata
Sinonim : Air suling (Farmakope edisi III, 1970)
Struktur kimia :
40
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa. (Farmakope edisi III, 1970)
Kegunaan : Khasiat dan penggunaan sebagai pelarut (Depkes RI,
1993).
2.12 Evaluasi Sediaan Semisolida
Agar sistem pengawasan mutu dapat berfungsi dengan efektif, harus
dibuatkan kebijaksanaan dan peraturan yang mendasari dan ini harus selalu
ditaati. Pertama, tujuan pemeriksaan semata-mata adalah demi mutu obat yang
baik. Kedua, setiap pelaksanaan harus berpegang teguh pada standar atau
spesifikasi dan harus berupaya meningkatkan standar spesifikasi yang telah ada
(Lachman, 1994).
Evaluasi sediaan dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan yang telah
dibuat sesuai dengan kriteria yang di inginkan dan mencapai hasil yang maksimal.
Evaluasi untuk sediaan dermatologi termasuk kosmetika terdiri dari stabilitas
bahan aktif, stabilitas bahan tambahan, organoleptis (warna, bau, dan tekstur),
homogenitas, distribusi ukuran partikel fase terdistribusi, pH, pelepasan atau
bioavaibilitas, viskositas (Barry, 1983).
Evaluasi pada penelitian ini meliputi karakteristik fisika, kimia, dan
stabilitas. Karakteristik fisika meliputi organoleptis, viskositas, daya sebar, dan
homogenitas. Sedangkan karakteristik kimia meliputi pH, dan stabilitas meliputi
freeze thaw (Setyawan dkk, 2012).